Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian)Pengertian gharar secara bahasa dan istilahHukum gharar dalam transaksi muamalahKriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalahPertama: unsur gharar mendominasi akad.Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan.Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak.Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan.Contoh penerapan dalam transaksi muamalahContoh pertama: asuransi konvensional.Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian) Pengertian gharar secara bahasa dan istilah Secara bahasa, gharar adalah isim mashdar untuk (غَرَّرَ) [1]; yang maknanya antara lain: (النقصان) (kekurangan) [2], (الخطر) (bahaya) [3], (التعرغ للهلكة) (menghadapi kehancuran atau berisiko tinggi terhadap kerusakan) [4], dan (الجهل) (kebodohan) [5]. Adapun menurut istilah, maka ungkapan kalimat para ulama untuk mendefinisikannya beraneka ragam, namun maknanya saling berdekatan. As-Sarakhsiy rahimahullah berkata, الغرر: ما يكون مستور العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas akibatnya atau tidak diketahui hasil akhirnya.” [6] Ibnu ‘Urfah rahimahullah berkata, ما شك في حصول أحد عوضيه، أوالمقصود منه غالبا “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terdapat keraguan dalam tercapainya salah satu dari dua penggantinya, atau yang tujuan utamanya sering kali tidak jelas.” [7] Asy-Syirazi rahimahullah berkata, الغرر: ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته “Al-gharar adalah sesuatu yang tersembunyi keadaannya dan tidak jelas akibat akhirnya.” [8] Abu Ya’la rahimahullah berkata, ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terombang-ambing antara dua keadaan, tanpa ada salah satu yang lebih jelas atau lebih kuat.” [9] Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan gharar dengan, الغرر: هو المجهول العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibat (hasil) akhirnya.” [10] Dengan melihat berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharar adalah, ما لا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته و مقداره “(Al-gharar adalah) sesuatu yang tidak diketahui kepastiannya terjadi, atau yang tidak diketahui hakikat dan ukurannya.” [11] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa secara umum, gharar terdiri dari tiga jenis: 1) Barang yang tidak (belum) ada, seperti menjual sesuatu yang tergantung pada hal yang belum terjadi, misalnya menjual janin hewan yang masih dalam kandungan. 2) Barang yang tidak dapat diserahkan, seperti budak yang melarikan diri; atau barang yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya. 3) Barang yang tidak jelas, baik ketidakjelasan tersebut bersifat mutlak (tidak diketahui jenis atau ukurannya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu seorang budak”; “Saya menjualmu apa yang ada di dalam rumah saya”; atau “Saya menjualmu budak-budakku.” Atau ketidakjelasan tertentu (mu’ayyan), yaitu jenis atau ukurannya diketahui, namun tidak diketahui sifat (spesifikasinya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu kain yang ada di lengan baju saya”; atau “Saya menjualmu budak yang saya miliki”; tanpa ada rincian lebih lanjut. [12] Adapun hikmah dilarangnya akad yang mengandung gharar adalah karena pada akad tersebut terdapat ketidakpastian atau risiko tinggi, yang dapat merugikan salah satu pihak. Juga dapat menimbulkan sengketa dan permusuhan, karena salah satu pihak dapat dirugikan dengan kerugian yang sangat besar. [13] Hukum gharar dalam transaksi muamalah Dalil pokok dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513) Dilarangnya gharar merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, jual beli, dan semua akad mu’awwadhat (komersil). [14] Ketika manusia sangat membutuhkan transaksi yang bersifat komersil, maka syariat yang penuh hikmah mewujudkan kebutuhan tersebut, namun dengan meniadakan dan mencegah terjadinya gharar dari berbagai akad yang dibuat. Sehingga sempurnalah maslahat untuk manusia, harta mereka terjaga kerugian dan kerusakan, dan tercegah dari sengketa dan perselisihan sebagai akibat dari akad yang mengandung gharar. [15] Pada masa jahiliyah, terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli yang mengandung gharar yang dilarang dalam syariat, misalnya [16]: Pertama, jual beli hashah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang dalam hadis yang telah disebutkan di atas. Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” Dalam transaksi ini, objek barang yang dijual tidak jelas, karena tidak jelas kain mana yang akan dijatuhi batu, bisa jadi lebih mahal atau lebih murah dari harga jual yang telah ditetapkan sebelum batu dilempar. Kedua, jual beli mulamasah. Dilarangnya jual beli mulamasah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ ، وَالمُلاَمَسَةُ: لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ “(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari jual beli mulamasah.” Abu Sa’id menafsirkan, “(Pembeli hanya boleh) menyentuh kain, tanpa melihatnya.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1511) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena pembeli hanya boleh menyentuh kain saja, tidak boleh membuka atau melihatnya, padahal harga jual telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, jual beli munabadzah. Dilarangnya jual beli munabadzah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ ، وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari jual beli munabadzah. (Abu Sa’id menafsirkan jual beli munabadzah), yaitu “Dua orang penjual dan pembeli saling melempar kain, kain mana saja yang dilempar telah terjadi jual beli, tanpa boleh dibolak-balik atau dilihat.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1512) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kain seperti apa yang akan mereka terima, bisa jadi lebih bagus, lebih mahal dari kain yang mereka lemparkan, atau sebaliknya, justru lebih jelek dan lebih murah. Kriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalah Dalam masalah gharar, kita perlu mengetahui kriteria bagaimanakah bentuk gharar yang dilarang dalam syariat. Tidak serta merta suatu transaksi yang mengandung unsur gharar itu dilarang. Namun, perlu diteliti bagaimanakah tujuan syariat ketika mengharamkan gharar. Kalau semua bentuk gharar dilarang, ini akan meniadakan semua bentuk jual beli, dan tentu ini bukan yang dimaksudkan oleh syariat. [17] Hal ini karena tidak ada satu pun transaksi muamalah, kecuali mengandung sedikit unsur gharar. [18] Oleh karena itu, para ulama membuat kriteria dan batasan bagaimanakah gharar yang apabila terdapat di dalam transaksi muamalah, maka transaksi tersebut hukumnya haram. Kriteria-kriteria tersebut adalah: Pertama: unsur gharar mendominasi akad. Gharar yang dilarang adalah gharar yang dominan dalam akad, atau terdapat dalam jumlah yang besar. Sehingga ulama sepakat bahwa jika gharar-nya sedikit, hal itu tidak mencegah sahnya akad [19], karena tidak mungkin menghindarinya secara totalitas. [20] Contoh: tarif menggunakan toilet umum, misalnya ditetapkan Rp.2.000. Padahal, orang yang menggunakan toilet umum itu berbeda-beda dalam menggunakan air, ada yang sedikit, ada yang agak banyak; ada juga yang hanya sebentar, ada yang agak lama. Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan. Ulama sepakat apabila gharar tersebut tidak mungkin dihindari, atau jika dihindari akan menimbiulkan kesusahan dan kesulitan, maka gharar tersebut diperbolehkan. Hal ini karena seseorang tidak mungkin berlepas diri darinya. [21] Contoh: 1) seseorang yang membeli rumah yang sudah jadi, tentu dia tidak melihat secara langsung bagaimanakah bentuk pondasinya; 2) seseorang yang membeli hewan ternak, tentu dia tidak bisa mengecek langsung kondisi di dalam perut hewan. Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak. Jika dibutuhkan oleh orang banyak, maka statusnya sama seperti darurat. Al-Juwaini rahimahullah berkata, الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة “Hajat (kebutuhan) orang banyak itu kedudukannya seperti darurat.” [22] Kriterianya adalah setiap akad yang apabila ditinggalkan, maka akan menimbulkan bahaya (sangat menyusahkan), baik saat ini maupun di masa datang. [23] Jika masyarakat secara umum membutuhkan akad yang mengandung unsur gharar tersebut, tidak bisa digantikan dengan bentuk akad yang lain, maka akad tersebut termasuk akad yang dimaafkan (dibolehkan). Ibnu Rusyd rahimahullah berkata ketika menyebutkan kriteria gharar yang dibolehkan, وإن غير المؤثر هو اليسير، أو الذي تدعوا إليه ضرورة، أو ما جمع بين أمرين “Gharar yang tidak berpengaruh (dibolehkan) adalah (gharar) yang sedikit, atau dibutuhkan karena darurat, atau yang menggabungkan keduanya.” [24] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ؛ بَلْ يُبِيحُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي ذَلِكَ “Syariat tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam jual beli hanya karena adanya sedikit unsur gharar; tetapi syariat membolehkan apa yang dibutuhkan dalam hal tersebut.” [25] Di antara dalil yang dikemukakan oleh para ulama untuk membolehkan gharar ketika dibutuhkan adalah hadis-hadis yang melarang menjual buah di pohon sebelum buah tersebut cukup tua (matang). Di antaranya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga tampak matang. Beliau melarang hal itu bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2194 dan Muslim no. 1534) Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuk menjual buah-buahan setelah tampak matang, dengan syarat dibiarkan di pohonnya sampai waktu panen, meskipun sebagian dari (buah) yang dijual itu belum tumbuh. Maka hal ini menunjukkan bahwa gharar yang dibutuhkan itu diperbolehkan. [26] Contoh gharar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya adalah jual beli barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka atau telur. Terdapat kebutuhan orang banyak untuk menjual semangka atau telur tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya. [27] Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan. Akad yang mengandung unsur gharar diperbolehkan jika statusnya hanya sebagai pengikut, bukan maksud pokok dari akad tersebut. Contoh: menjual janin di dalam perut induknya tidak diperbolehkan. Karena pada jual beli ini, maksud pokoknya adalah menjual janin yang masih di perut. Akan tetapi, diperbolehkan menjual hewan yang bunting dengan harga yang lebih mahal. Karena maksud pokoknya adalah menjual hewan, sedangkan janin yang masih di dalam perut statusnya sebagai pengikut. Contoh lainnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ، فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ “Siapa saja yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan buah itu untuknya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli buah di pohon yang belum masak (masih muda), karena bisa jadi kemudian terkena hama dan akibatnya gagal panen. Akan tetapi, jika yang dijual adalah kebun kurma, maka tidak masalah. Karena yang menjadi tujuan pokok transaksi adalah jual beli kebun kurma, sedangkan buah yang ada di pohon hanyalah sebagai pengikut. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَجَوَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ: أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ثَمَرَتَهَا، فَيَكُونُ قَدْ اشْتَرَى ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لَكِنْ كُلُّ وَجْهِ الْبَيْعِ لِلْأَصْلِ. فَظَهَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ مِنْ الْغَرَرِ الْيَسِيرِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan, ketika menjual kebun kurma yang telah diserbuki (dikawinkan), bahwa pembeli boleh mensyaratkan buahnya untuk dirinya. Hal itu berarti pembeli telah membeli buah sebelum tampak matang. Namun, transaksi tersebut tetap kembali pada tujuan pokok (yaitu, jual beli  kebun kurma). Oleh karena itu, jelaslah bahwa diperbolehkan adanya unsur gharar yang sedikit dan sebagai pengikut dari transaksi, meskipun tidak diperbolehkan jika unsur tersebut berdiri sendiri.” [28] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Gharar adalah di antara sebab pokok yang menyebabkan haramnya transaksi muamalah saat ini. Akan tetapi, para ulama kontemporer terkadang berbeda pendapat apakah unsur gharar yang terkandung dalam suatu bentuk transaksi itu menyebabkan haram ataukah tidak. Sejumlah transaksi muamalah saat ini dihukumi haram karena unsur gharar yang dominan. Berikut ini sebagian contohnya [29]: Contoh pertama: asuransi konvensional. Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung untuk memberikan ganti kepada tertanggung jika terjadi risiko yang tertuang dalam perjanjian. Sedangkan tertanggung memiliki kewajiban membayar premi kepada penanggung. Akad asuransi semacam ini mengandung unsur gharar yang besar, sehingga sejak awal kemunculannya, para ulama telah mengharamkannya. Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Diharamkannya sistem MLM merupakan pendapat mayoritas ulama kontemporer. Hal ini karena upah (bonus) yang diterima oleh penjual produk MLM tidak jelas, sehingga termasuk gharar. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809; Lisanul ‘Arab, 5: 13. [2] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809. [3] Lihat Ash-Shihah, 2: 768; Lisanul ‘Arab, 5: 13; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 230. [4] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 13-14; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648. [5] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 14. [6] Al-Mabsuth, 12: 194. [7] Syarh Hudud Ibnu ‘Urfah, 1: 350. [8] Al-Muhadzab, 3: 30. [9] Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, 2: 145. [10] Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hal. 161. [11] Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 818; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9; Al-Gharar wa Atsaruhu fil ‘Uqud, hal. 53-54. [12] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 25. [13] Bahjah Qulubil Abrar, hal. 101. [14] Lihat Syarh At-Tibi ‘ala Misykatil Mashabih, 6: 74; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9. [15] Lihat Takhrijul Furu’ ‘ala Al-Ushuul, hal. 145; Hasyiyah Ar-Raudh An-Nadhir, 3: 241. [16] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 227-229 (Cet. Keenam, Desember 2013). [17] Lihat Al-Muwafaqat, 2: 14; 3: 151-152. [18] Lihat ‘Aqdul Jawahir Ats-Tsaminah, 2: 419; Al-Muntaqa li Al-Baaji, 5: 41. [19] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 2: 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 265; dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [20] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 155, 157; Adz-Dzakhirah li Al-Qarafi, 5: 93; Al-Furuq li Al-Qarafi, 3: 265-266; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [21] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258; Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 5: 820. [22] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 478-479. [23] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 481. [24] Bidayatul Mujtahid, 2: 175. Lihat pula Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [25] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 227. [26] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 341; I’lamul Muwaqi’in, 2: 6-7. [27] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 216. [28] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 26. [29] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab III (Gharar Harta Haram); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian)Pengertian gharar secara bahasa dan istilahHukum gharar dalam transaksi muamalahKriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalahPertama: unsur gharar mendominasi akad.Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan.Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak.Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan.Contoh penerapan dalam transaksi muamalahContoh pertama: asuransi konvensional.Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian) Pengertian gharar secara bahasa dan istilah Secara bahasa, gharar adalah isim mashdar untuk (غَرَّرَ) [1]; yang maknanya antara lain: (النقصان) (kekurangan) [2], (الخطر) (bahaya) [3], (التعرغ للهلكة) (menghadapi kehancuran atau berisiko tinggi terhadap kerusakan) [4], dan (الجهل) (kebodohan) [5]. Adapun menurut istilah, maka ungkapan kalimat para ulama untuk mendefinisikannya beraneka ragam, namun maknanya saling berdekatan. As-Sarakhsiy rahimahullah berkata, الغرر: ما يكون مستور العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas akibatnya atau tidak diketahui hasil akhirnya.” [6] Ibnu ‘Urfah rahimahullah berkata, ما شك في حصول أحد عوضيه، أوالمقصود منه غالبا “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terdapat keraguan dalam tercapainya salah satu dari dua penggantinya, atau yang tujuan utamanya sering kali tidak jelas.” [7] Asy-Syirazi rahimahullah berkata, الغرر: ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته “Al-gharar adalah sesuatu yang tersembunyi keadaannya dan tidak jelas akibat akhirnya.” [8] Abu Ya’la rahimahullah berkata, ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terombang-ambing antara dua keadaan, tanpa ada salah satu yang lebih jelas atau lebih kuat.” [9] Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan gharar dengan, الغرر: هو المجهول العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibat (hasil) akhirnya.” [10] Dengan melihat berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharar adalah, ما لا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته و مقداره “(Al-gharar adalah) sesuatu yang tidak diketahui kepastiannya terjadi, atau yang tidak diketahui hakikat dan ukurannya.” [11] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa secara umum, gharar terdiri dari tiga jenis: 1) Barang yang tidak (belum) ada, seperti menjual sesuatu yang tergantung pada hal yang belum terjadi, misalnya menjual janin hewan yang masih dalam kandungan. 2) Barang yang tidak dapat diserahkan, seperti budak yang melarikan diri; atau barang yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya. 3) Barang yang tidak jelas, baik ketidakjelasan tersebut bersifat mutlak (tidak diketahui jenis atau ukurannya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu seorang budak”; “Saya menjualmu apa yang ada di dalam rumah saya”; atau “Saya menjualmu budak-budakku.” Atau ketidakjelasan tertentu (mu’ayyan), yaitu jenis atau ukurannya diketahui, namun tidak diketahui sifat (spesifikasinya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu kain yang ada di lengan baju saya”; atau “Saya menjualmu budak yang saya miliki”; tanpa ada rincian lebih lanjut. [12] Adapun hikmah dilarangnya akad yang mengandung gharar adalah karena pada akad tersebut terdapat ketidakpastian atau risiko tinggi, yang dapat merugikan salah satu pihak. Juga dapat menimbulkan sengketa dan permusuhan, karena salah satu pihak dapat dirugikan dengan kerugian yang sangat besar. [13] Hukum gharar dalam transaksi muamalah Dalil pokok dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513) Dilarangnya gharar merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, jual beli, dan semua akad mu’awwadhat (komersil). [14] Ketika manusia sangat membutuhkan transaksi yang bersifat komersil, maka syariat yang penuh hikmah mewujudkan kebutuhan tersebut, namun dengan meniadakan dan mencegah terjadinya gharar dari berbagai akad yang dibuat. Sehingga sempurnalah maslahat untuk manusia, harta mereka terjaga kerugian dan kerusakan, dan tercegah dari sengketa dan perselisihan sebagai akibat dari akad yang mengandung gharar. [15] Pada masa jahiliyah, terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli yang mengandung gharar yang dilarang dalam syariat, misalnya [16]: Pertama, jual beli hashah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang dalam hadis yang telah disebutkan di atas. Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” Dalam transaksi ini, objek barang yang dijual tidak jelas, karena tidak jelas kain mana yang akan dijatuhi batu, bisa jadi lebih mahal atau lebih murah dari harga jual yang telah ditetapkan sebelum batu dilempar. Kedua, jual beli mulamasah. Dilarangnya jual beli mulamasah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ ، وَالمُلاَمَسَةُ: لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ “(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari jual beli mulamasah.” Abu Sa’id menafsirkan, “(Pembeli hanya boleh) menyentuh kain, tanpa melihatnya.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1511) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena pembeli hanya boleh menyentuh kain saja, tidak boleh membuka atau melihatnya, padahal harga jual telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, jual beli munabadzah. Dilarangnya jual beli munabadzah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ ، وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari jual beli munabadzah. (Abu Sa’id menafsirkan jual beli munabadzah), yaitu “Dua orang penjual dan pembeli saling melempar kain, kain mana saja yang dilempar telah terjadi jual beli, tanpa boleh dibolak-balik atau dilihat.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1512) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kain seperti apa yang akan mereka terima, bisa jadi lebih bagus, lebih mahal dari kain yang mereka lemparkan, atau sebaliknya, justru lebih jelek dan lebih murah. Kriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalah Dalam masalah gharar, kita perlu mengetahui kriteria bagaimanakah bentuk gharar yang dilarang dalam syariat. Tidak serta merta suatu transaksi yang mengandung unsur gharar itu dilarang. Namun, perlu diteliti bagaimanakah tujuan syariat ketika mengharamkan gharar. Kalau semua bentuk gharar dilarang, ini akan meniadakan semua bentuk jual beli, dan tentu ini bukan yang dimaksudkan oleh syariat. [17] Hal ini karena tidak ada satu pun transaksi muamalah, kecuali mengandung sedikit unsur gharar. [18] Oleh karena itu, para ulama membuat kriteria dan batasan bagaimanakah gharar yang apabila terdapat di dalam transaksi muamalah, maka transaksi tersebut hukumnya haram. Kriteria-kriteria tersebut adalah: Pertama: unsur gharar mendominasi akad. Gharar yang dilarang adalah gharar yang dominan dalam akad, atau terdapat dalam jumlah yang besar. Sehingga ulama sepakat bahwa jika gharar-nya sedikit, hal itu tidak mencegah sahnya akad [19], karena tidak mungkin menghindarinya secara totalitas. [20] Contoh: tarif menggunakan toilet umum, misalnya ditetapkan Rp.2.000. Padahal, orang yang menggunakan toilet umum itu berbeda-beda dalam menggunakan air, ada yang sedikit, ada yang agak banyak; ada juga yang hanya sebentar, ada yang agak lama. Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan. Ulama sepakat apabila gharar tersebut tidak mungkin dihindari, atau jika dihindari akan menimbiulkan kesusahan dan kesulitan, maka gharar tersebut diperbolehkan. Hal ini karena seseorang tidak mungkin berlepas diri darinya. [21] Contoh: 1) seseorang yang membeli rumah yang sudah jadi, tentu dia tidak melihat secara langsung bagaimanakah bentuk pondasinya; 2) seseorang yang membeli hewan ternak, tentu dia tidak bisa mengecek langsung kondisi di dalam perut hewan. Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak. Jika dibutuhkan oleh orang banyak, maka statusnya sama seperti darurat. Al-Juwaini rahimahullah berkata, الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة “Hajat (kebutuhan) orang banyak itu kedudukannya seperti darurat.” [22] Kriterianya adalah setiap akad yang apabila ditinggalkan, maka akan menimbulkan bahaya (sangat menyusahkan), baik saat ini maupun di masa datang. [23] Jika masyarakat secara umum membutuhkan akad yang mengandung unsur gharar tersebut, tidak bisa digantikan dengan bentuk akad yang lain, maka akad tersebut termasuk akad yang dimaafkan (dibolehkan). Ibnu Rusyd rahimahullah berkata ketika menyebutkan kriteria gharar yang dibolehkan, وإن غير المؤثر هو اليسير، أو الذي تدعوا إليه ضرورة، أو ما جمع بين أمرين “Gharar yang tidak berpengaruh (dibolehkan) adalah (gharar) yang sedikit, atau dibutuhkan karena darurat, atau yang menggabungkan keduanya.” [24] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ؛ بَلْ يُبِيحُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي ذَلِكَ “Syariat tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam jual beli hanya karena adanya sedikit unsur gharar; tetapi syariat membolehkan apa yang dibutuhkan dalam hal tersebut.” [25] Di antara dalil yang dikemukakan oleh para ulama untuk membolehkan gharar ketika dibutuhkan adalah hadis-hadis yang melarang menjual buah di pohon sebelum buah tersebut cukup tua (matang). Di antaranya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga tampak matang. Beliau melarang hal itu bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2194 dan Muslim no. 1534) Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuk menjual buah-buahan setelah tampak matang, dengan syarat dibiarkan di pohonnya sampai waktu panen, meskipun sebagian dari (buah) yang dijual itu belum tumbuh. Maka hal ini menunjukkan bahwa gharar yang dibutuhkan itu diperbolehkan. [26] Contoh gharar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya adalah jual beli barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka atau telur. Terdapat kebutuhan orang banyak untuk menjual semangka atau telur tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya. [27] Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan. Akad yang mengandung unsur gharar diperbolehkan jika statusnya hanya sebagai pengikut, bukan maksud pokok dari akad tersebut. Contoh: menjual janin di dalam perut induknya tidak diperbolehkan. Karena pada jual beli ini, maksud pokoknya adalah menjual janin yang masih di perut. Akan tetapi, diperbolehkan menjual hewan yang bunting dengan harga yang lebih mahal. Karena maksud pokoknya adalah menjual hewan, sedangkan janin yang masih di dalam perut statusnya sebagai pengikut. Contoh lainnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ، فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ “Siapa saja yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan buah itu untuknya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli buah di pohon yang belum masak (masih muda), karena bisa jadi kemudian terkena hama dan akibatnya gagal panen. Akan tetapi, jika yang dijual adalah kebun kurma, maka tidak masalah. Karena yang menjadi tujuan pokok transaksi adalah jual beli kebun kurma, sedangkan buah yang ada di pohon hanyalah sebagai pengikut. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَجَوَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ: أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ثَمَرَتَهَا، فَيَكُونُ قَدْ اشْتَرَى ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لَكِنْ كُلُّ وَجْهِ الْبَيْعِ لِلْأَصْلِ. فَظَهَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ مِنْ الْغَرَرِ الْيَسِيرِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan, ketika menjual kebun kurma yang telah diserbuki (dikawinkan), bahwa pembeli boleh mensyaratkan buahnya untuk dirinya. Hal itu berarti pembeli telah membeli buah sebelum tampak matang. Namun, transaksi tersebut tetap kembali pada tujuan pokok (yaitu, jual beli  kebun kurma). Oleh karena itu, jelaslah bahwa diperbolehkan adanya unsur gharar yang sedikit dan sebagai pengikut dari transaksi, meskipun tidak diperbolehkan jika unsur tersebut berdiri sendiri.” [28] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Gharar adalah di antara sebab pokok yang menyebabkan haramnya transaksi muamalah saat ini. Akan tetapi, para ulama kontemporer terkadang berbeda pendapat apakah unsur gharar yang terkandung dalam suatu bentuk transaksi itu menyebabkan haram ataukah tidak. Sejumlah transaksi muamalah saat ini dihukumi haram karena unsur gharar yang dominan. Berikut ini sebagian contohnya [29]: Contoh pertama: asuransi konvensional. Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung untuk memberikan ganti kepada tertanggung jika terjadi risiko yang tertuang dalam perjanjian. Sedangkan tertanggung memiliki kewajiban membayar premi kepada penanggung. Akad asuransi semacam ini mengandung unsur gharar yang besar, sehingga sejak awal kemunculannya, para ulama telah mengharamkannya. Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Diharamkannya sistem MLM merupakan pendapat mayoritas ulama kontemporer. Hal ini karena upah (bonus) yang diterima oleh penjual produk MLM tidak jelas, sehingga termasuk gharar. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809; Lisanul ‘Arab, 5: 13. [2] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809. [3] Lihat Ash-Shihah, 2: 768; Lisanul ‘Arab, 5: 13; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 230. [4] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 13-14; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648. [5] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 14. [6] Al-Mabsuth, 12: 194. [7] Syarh Hudud Ibnu ‘Urfah, 1: 350. [8] Al-Muhadzab, 3: 30. [9] Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, 2: 145. [10] Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hal. 161. [11] Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 818; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9; Al-Gharar wa Atsaruhu fil ‘Uqud, hal. 53-54. [12] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 25. [13] Bahjah Qulubil Abrar, hal. 101. [14] Lihat Syarh At-Tibi ‘ala Misykatil Mashabih, 6: 74; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9. [15] Lihat Takhrijul Furu’ ‘ala Al-Ushuul, hal. 145; Hasyiyah Ar-Raudh An-Nadhir, 3: 241. [16] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 227-229 (Cet. Keenam, Desember 2013). [17] Lihat Al-Muwafaqat, 2: 14; 3: 151-152. [18] Lihat ‘Aqdul Jawahir Ats-Tsaminah, 2: 419; Al-Muntaqa li Al-Baaji, 5: 41. [19] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 2: 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 265; dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [20] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 155, 157; Adz-Dzakhirah li Al-Qarafi, 5: 93; Al-Furuq li Al-Qarafi, 3: 265-266; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [21] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258; Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 5: 820. [22] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 478-479. [23] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 481. [24] Bidayatul Mujtahid, 2: 175. Lihat pula Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [25] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 227. [26] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 341; I’lamul Muwaqi’in, 2: 6-7. [27] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 216. [28] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 26. [29] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab III (Gharar Harta Haram); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Daftar Isi Toggle Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian)Pengertian gharar secara bahasa dan istilahHukum gharar dalam transaksi muamalahKriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalahPertama: unsur gharar mendominasi akad.Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan.Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak.Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan.Contoh penerapan dalam transaksi muamalahContoh pertama: asuransi konvensional.Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian) Pengertian gharar secara bahasa dan istilah Secara bahasa, gharar adalah isim mashdar untuk (غَرَّرَ) [1]; yang maknanya antara lain: (النقصان) (kekurangan) [2], (الخطر) (bahaya) [3], (التعرغ للهلكة) (menghadapi kehancuran atau berisiko tinggi terhadap kerusakan) [4], dan (الجهل) (kebodohan) [5]. Adapun menurut istilah, maka ungkapan kalimat para ulama untuk mendefinisikannya beraneka ragam, namun maknanya saling berdekatan. As-Sarakhsiy rahimahullah berkata, الغرر: ما يكون مستور العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas akibatnya atau tidak diketahui hasil akhirnya.” [6] Ibnu ‘Urfah rahimahullah berkata, ما شك في حصول أحد عوضيه، أوالمقصود منه غالبا “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terdapat keraguan dalam tercapainya salah satu dari dua penggantinya, atau yang tujuan utamanya sering kali tidak jelas.” [7] Asy-Syirazi rahimahullah berkata, الغرر: ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته “Al-gharar adalah sesuatu yang tersembunyi keadaannya dan tidak jelas akibat akhirnya.” [8] Abu Ya’la rahimahullah berkata, ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terombang-ambing antara dua keadaan, tanpa ada salah satu yang lebih jelas atau lebih kuat.” [9] Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan gharar dengan, الغرر: هو المجهول العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibat (hasil) akhirnya.” [10] Dengan melihat berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharar adalah, ما لا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته و مقداره “(Al-gharar adalah) sesuatu yang tidak diketahui kepastiannya terjadi, atau yang tidak diketahui hakikat dan ukurannya.” [11] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa secara umum, gharar terdiri dari tiga jenis: 1) Barang yang tidak (belum) ada, seperti menjual sesuatu yang tergantung pada hal yang belum terjadi, misalnya menjual janin hewan yang masih dalam kandungan. 2) Barang yang tidak dapat diserahkan, seperti budak yang melarikan diri; atau barang yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya. 3) Barang yang tidak jelas, baik ketidakjelasan tersebut bersifat mutlak (tidak diketahui jenis atau ukurannya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu seorang budak”; “Saya menjualmu apa yang ada di dalam rumah saya”; atau “Saya menjualmu budak-budakku.” Atau ketidakjelasan tertentu (mu’ayyan), yaitu jenis atau ukurannya diketahui, namun tidak diketahui sifat (spesifikasinya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu kain yang ada di lengan baju saya”; atau “Saya menjualmu budak yang saya miliki”; tanpa ada rincian lebih lanjut. [12] Adapun hikmah dilarangnya akad yang mengandung gharar adalah karena pada akad tersebut terdapat ketidakpastian atau risiko tinggi, yang dapat merugikan salah satu pihak. Juga dapat menimbulkan sengketa dan permusuhan, karena salah satu pihak dapat dirugikan dengan kerugian yang sangat besar. [13] Hukum gharar dalam transaksi muamalah Dalil pokok dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513) Dilarangnya gharar merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, jual beli, dan semua akad mu’awwadhat (komersil). [14] Ketika manusia sangat membutuhkan transaksi yang bersifat komersil, maka syariat yang penuh hikmah mewujudkan kebutuhan tersebut, namun dengan meniadakan dan mencegah terjadinya gharar dari berbagai akad yang dibuat. Sehingga sempurnalah maslahat untuk manusia, harta mereka terjaga kerugian dan kerusakan, dan tercegah dari sengketa dan perselisihan sebagai akibat dari akad yang mengandung gharar. [15] Pada masa jahiliyah, terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli yang mengandung gharar yang dilarang dalam syariat, misalnya [16]: Pertama, jual beli hashah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang dalam hadis yang telah disebutkan di atas. Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” Dalam transaksi ini, objek barang yang dijual tidak jelas, karena tidak jelas kain mana yang akan dijatuhi batu, bisa jadi lebih mahal atau lebih murah dari harga jual yang telah ditetapkan sebelum batu dilempar. Kedua, jual beli mulamasah. Dilarangnya jual beli mulamasah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ ، وَالمُلاَمَسَةُ: لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ “(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari jual beli mulamasah.” Abu Sa’id menafsirkan, “(Pembeli hanya boleh) menyentuh kain, tanpa melihatnya.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1511) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena pembeli hanya boleh menyentuh kain saja, tidak boleh membuka atau melihatnya, padahal harga jual telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, jual beli munabadzah. Dilarangnya jual beli munabadzah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ ، وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari jual beli munabadzah. (Abu Sa’id menafsirkan jual beli munabadzah), yaitu “Dua orang penjual dan pembeli saling melempar kain, kain mana saja yang dilempar telah terjadi jual beli, tanpa boleh dibolak-balik atau dilihat.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1512) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kain seperti apa yang akan mereka terima, bisa jadi lebih bagus, lebih mahal dari kain yang mereka lemparkan, atau sebaliknya, justru lebih jelek dan lebih murah. Kriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalah Dalam masalah gharar, kita perlu mengetahui kriteria bagaimanakah bentuk gharar yang dilarang dalam syariat. Tidak serta merta suatu transaksi yang mengandung unsur gharar itu dilarang. Namun, perlu diteliti bagaimanakah tujuan syariat ketika mengharamkan gharar. Kalau semua bentuk gharar dilarang, ini akan meniadakan semua bentuk jual beli, dan tentu ini bukan yang dimaksudkan oleh syariat. [17] Hal ini karena tidak ada satu pun transaksi muamalah, kecuali mengandung sedikit unsur gharar. [18] Oleh karena itu, para ulama membuat kriteria dan batasan bagaimanakah gharar yang apabila terdapat di dalam transaksi muamalah, maka transaksi tersebut hukumnya haram. Kriteria-kriteria tersebut adalah: Pertama: unsur gharar mendominasi akad. Gharar yang dilarang adalah gharar yang dominan dalam akad, atau terdapat dalam jumlah yang besar. Sehingga ulama sepakat bahwa jika gharar-nya sedikit, hal itu tidak mencegah sahnya akad [19], karena tidak mungkin menghindarinya secara totalitas. [20] Contoh: tarif menggunakan toilet umum, misalnya ditetapkan Rp.2.000. Padahal, orang yang menggunakan toilet umum itu berbeda-beda dalam menggunakan air, ada yang sedikit, ada yang agak banyak; ada juga yang hanya sebentar, ada yang agak lama. Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan. Ulama sepakat apabila gharar tersebut tidak mungkin dihindari, atau jika dihindari akan menimbiulkan kesusahan dan kesulitan, maka gharar tersebut diperbolehkan. Hal ini karena seseorang tidak mungkin berlepas diri darinya. [21] Contoh: 1) seseorang yang membeli rumah yang sudah jadi, tentu dia tidak melihat secara langsung bagaimanakah bentuk pondasinya; 2) seseorang yang membeli hewan ternak, tentu dia tidak bisa mengecek langsung kondisi di dalam perut hewan. Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak. Jika dibutuhkan oleh orang banyak, maka statusnya sama seperti darurat. Al-Juwaini rahimahullah berkata, الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة “Hajat (kebutuhan) orang banyak itu kedudukannya seperti darurat.” [22] Kriterianya adalah setiap akad yang apabila ditinggalkan, maka akan menimbulkan bahaya (sangat menyusahkan), baik saat ini maupun di masa datang. [23] Jika masyarakat secara umum membutuhkan akad yang mengandung unsur gharar tersebut, tidak bisa digantikan dengan bentuk akad yang lain, maka akad tersebut termasuk akad yang dimaafkan (dibolehkan). Ibnu Rusyd rahimahullah berkata ketika menyebutkan kriteria gharar yang dibolehkan, وإن غير المؤثر هو اليسير، أو الذي تدعوا إليه ضرورة، أو ما جمع بين أمرين “Gharar yang tidak berpengaruh (dibolehkan) adalah (gharar) yang sedikit, atau dibutuhkan karena darurat, atau yang menggabungkan keduanya.” [24] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ؛ بَلْ يُبِيحُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي ذَلِكَ “Syariat tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam jual beli hanya karena adanya sedikit unsur gharar; tetapi syariat membolehkan apa yang dibutuhkan dalam hal tersebut.” [25] Di antara dalil yang dikemukakan oleh para ulama untuk membolehkan gharar ketika dibutuhkan adalah hadis-hadis yang melarang menjual buah di pohon sebelum buah tersebut cukup tua (matang). Di antaranya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga tampak matang. Beliau melarang hal itu bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2194 dan Muslim no. 1534) Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuk menjual buah-buahan setelah tampak matang, dengan syarat dibiarkan di pohonnya sampai waktu panen, meskipun sebagian dari (buah) yang dijual itu belum tumbuh. Maka hal ini menunjukkan bahwa gharar yang dibutuhkan itu diperbolehkan. [26] Contoh gharar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya adalah jual beli barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka atau telur. Terdapat kebutuhan orang banyak untuk menjual semangka atau telur tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya. [27] Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan. Akad yang mengandung unsur gharar diperbolehkan jika statusnya hanya sebagai pengikut, bukan maksud pokok dari akad tersebut. Contoh: menjual janin di dalam perut induknya tidak diperbolehkan. Karena pada jual beli ini, maksud pokoknya adalah menjual janin yang masih di perut. Akan tetapi, diperbolehkan menjual hewan yang bunting dengan harga yang lebih mahal. Karena maksud pokoknya adalah menjual hewan, sedangkan janin yang masih di dalam perut statusnya sebagai pengikut. Contoh lainnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ، فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ “Siapa saja yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan buah itu untuknya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli buah di pohon yang belum masak (masih muda), karena bisa jadi kemudian terkena hama dan akibatnya gagal panen. Akan tetapi, jika yang dijual adalah kebun kurma, maka tidak masalah. Karena yang menjadi tujuan pokok transaksi adalah jual beli kebun kurma, sedangkan buah yang ada di pohon hanyalah sebagai pengikut. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَجَوَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ: أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ثَمَرَتَهَا، فَيَكُونُ قَدْ اشْتَرَى ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لَكِنْ كُلُّ وَجْهِ الْبَيْعِ لِلْأَصْلِ. فَظَهَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ مِنْ الْغَرَرِ الْيَسِيرِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan, ketika menjual kebun kurma yang telah diserbuki (dikawinkan), bahwa pembeli boleh mensyaratkan buahnya untuk dirinya. Hal itu berarti pembeli telah membeli buah sebelum tampak matang. Namun, transaksi tersebut tetap kembali pada tujuan pokok (yaitu, jual beli  kebun kurma). Oleh karena itu, jelaslah bahwa diperbolehkan adanya unsur gharar yang sedikit dan sebagai pengikut dari transaksi, meskipun tidak diperbolehkan jika unsur tersebut berdiri sendiri.” [28] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Gharar adalah di antara sebab pokok yang menyebabkan haramnya transaksi muamalah saat ini. Akan tetapi, para ulama kontemporer terkadang berbeda pendapat apakah unsur gharar yang terkandung dalam suatu bentuk transaksi itu menyebabkan haram ataukah tidak. Sejumlah transaksi muamalah saat ini dihukumi haram karena unsur gharar yang dominan. Berikut ini sebagian contohnya [29]: Contoh pertama: asuransi konvensional. Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung untuk memberikan ganti kepada tertanggung jika terjadi risiko yang tertuang dalam perjanjian. Sedangkan tertanggung memiliki kewajiban membayar premi kepada penanggung. Akad asuransi semacam ini mengandung unsur gharar yang besar, sehingga sejak awal kemunculannya, para ulama telah mengharamkannya. Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Diharamkannya sistem MLM merupakan pendapat mayoritas ulama kontemporer. Hal ini karena upah (bonus) yang diterima oleh penjual produk MLM tidak jelas, sehingga termasuk gharar. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809; Lisanul ‘Arab, 5: 13. [2] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809. [3] Lihat Ash-Shihah, 2: 768; Lisanul ‘Arab, 5: 13; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 230. [4] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 13-14; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648. [5] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 14. [6] Al-Mabsuth, 12: 194. [7] Syarh Hudud Ibnu ‘Urfah, 1: 350. [8] Al-Muhadzab, 3: 30. [9] Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, 2: 145. [10] Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hal. 161. [11] Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 818; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9; Al-Gharar wa Atsaruhu fil ‘Uqud, hal. 53-54. [12] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 25. [13] Bahjah Qulubil Abrar, hal. 101. [14] Lihat Syarh At-Tibi ‘ala Misykatil Mashabih, 6: 74; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9. [15] Lihat Takhrijul Furu’ ‘ala Al-Ushuul, hal. 145; Hasyiyah Ar-Raudh An-Nadhir, 3: 241. [16] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 227-229 (Cet. Keenam, Desember 2013). [17] Lihat Al-Muwafaqat, 2: 14; 3: 151-152. [18] Lihat ‘Aqdul Jawahir Ats-Tsaminah, 2: 419; Al-Muntaqa li Al-Baaji, 5: 41. [19] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 2: 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 265; dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [20] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 155, 157; Adz-Dzakhirah li Al-Qarafi, 5: 93; Al-Furuq li Al-Qarafi, 3: 265-266; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [21] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258; Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 5: 820. [22] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 478-479. [23] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 481. [24] Bidayatul Mujtahid, 2: 175. Lihat pula Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [25] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 227. [26] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 341; I’lamul Muwaqi’in, 2: 6-7. [27] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 216. [28] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 26. [29] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab III (Gharar Harta Haram); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.


Daftar Isi Toggle Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian)Pengertian gharar secara bahasa dan istilahHukum gharar dalam transaksi muamalahKriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalahPertama: unsur gharar mendominasi akad.Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan.Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak.Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan.Contoh penerapan dalam transaksi muamalahContoh pertama: asuransi konvensional.Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Prinsip ketiga: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, atau ketidakpastian) Pengertian gharar secara bahasa dan istilah Secara bahasa, gharar adalah isim mashdar untuk (غَرَّرَ) [1]; yang maknanya antara lain: (النقصان) (kekurangan) [2], (الخطر) (bahaya) [3], (التعرغ للهلكة) (menghadapi kehancuran atau berisiko tinggi terhadap kerusakan) [4], dan (الجهل) (kebodohan) [5]. Adapun menurut istilah, maka ungkapan kalimat para ulama untuk mendefinisikannya beraneka ragam, namun maknanya saling berdekatan. As-Sarakhsiy rahimahullah berkata, الغرر: ما يكون مستور العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas akibatnya atau tidak diketahui hasil akhirnya.” [6] Ibnu ‘Urfah rahimahullah berkata, ما شك في حصول أحد عوضيه، أوالمقصود منه غالبا “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terdapat keraguan dalam tercapainya salah satu dari dua penggantinya, atau yang tujuan utamanya sering kali tidak jelas.” [7] Asy-Syirazi rahimahullah berkata, الغرر: ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته “Al-gharar adalah sesuatu yang tersembunyi keadaannya dan tidak jelas akibat akhirnya.” [8] Abu Ya’la rahimahullah berkata, ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر “(Al-gharar adalah) sesuatu yang terombang-ambing antara dua keadaan, tanpa ada salah satu yang lebih jelas atau lebih kuat.” [9] Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan gharar dengan, الغرر: هو المجهول العاقبة “Al-gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibat (hasil) akhirnya.” [10] Dengan melihat berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharar adalah, ما لا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته و مقداره “(Al-gharar adalah) sesuatu yang tidak diketahui kepastiannya terjadi, atau yang tidak diketahui hakikat dan ukurannya.” [11] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa secara umum, gharar terdiri dari tiga jenis: 1) Barang yang tidak (belum) ada, seperti menjual sesuatu yang tergantung pada hal yang belum terjadi, misalnya menjual janin hewan yang masih dalam kandungan. 2) Barang yang tidak dapat diserahkan, seperti budak yang melarikan diri; atau barang yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya. 3) Barang yang tidak jelas, baik ketidakjelasan tersebut bersifat mutlak (tidak diketahui jenis atau ukurannya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu seorang budak”; “Saya menjualmu apa yang ada di dalam rumah saya”; atau “Saya menjualmu budak-budakku.” Atau ketidakjelasan tertentu (mu’ayyan), yaitu jenis atau ukurannya diketahui, namun tidak diketahui sifat (spesifikasinya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu kain yang ada di lengan baju saya”; atau “Saya menjualmu budak yang saya miliki”; tanpa ada rincian lebih lanjut. [12] Adapun hikmah dilarangnya akad yang mengandung gharar adalah karena pada akad tersebut terdapat ketidakpastian atau risiko tinggi, yang dapat merugikan salah satu pihak. Juga dapat menimbulkan sengketa dan permusuhan, karena salah satu pihak dapat dirugikan dengan kerugian yang sangat besar. [13] Hukum gharar dalam transaksi muamalah Dalil pokok dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513) Dilarangnya gharar merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, jual beli, dan semua akad mu’awwadhat (komersil). [14] Ketika manusia sangat membutuhkan transaksi yang bersifat komersil, maka syariat yang penuh hikmah mewujudkan kebutuhan tersebut, namun dengan meniadakan dan mencegah terjadinya gharar dari berbagai akad yang dibuat. Sehingga sempurnalah maslahat untuk manusia, harta mereka terjaga kerugian dan kerusakan, dan tercegah dari sengketa dan perselisihan sebagai akibat dari akad yang mengandung gharar. [15] Pada masa jahiliyah, terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli yang mengandung gharar yang dilarang dalam syariat, misalnya [16]: Pertama, jual beli hashah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang dalam hadis yang telah disebutkan di atas. Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” Dalam transaksi ini, objek barang yang dijual tidak jelas, karena tidak jelas kain mana yang akan dijatuhi batu, bisa jadi lebih mahal atau lebih murah dari harga jual yang telah ditetapkan sebelum batu dilempar. Kedua, jual beli mulamasah. Dilarangnya jual beli mulamasah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ ، وَالمُلاَمَسَةُ: لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ “(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari jual beli mulamasah.” Abu Sa’id menafsirkan, “(Pembeli hanya boleh) menyentuh kain, tanpa melihatnya.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1511) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena pembeli hanya boleh menyentuh kain saja, tidak boleh membuka atau melihatnya, padahal harga jual telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, jual beli munabadzah. Dilarangnya jual beli munabadzah disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ ، وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari jual beli munabadzah. (Abu Sa’id menafsirkan jual beli munabadzah), yaitu “Dua orang penjual dan pembeli saling melempar kain, kain mana saja yang dilempar telah terjadi jual beli, tanpa boleh dibolak-balik atau dilihat.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1512) Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kain seperti apa yang akan mereka terima, bisa jadi lebih bagus, lebih mahal dari kain yang mereka lemparkan, atau sebaliknya, justru lebih jelek dan lebih murah. Kriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalah Dalam masalah gharar, kita perlu mengetahui kriteria bagaimanakah bentuk gharar yang dilarang dalam syariat. Tidak serta merta suatu transaksi yang mengandung unsur gharar itu dilarang. Namun, perlu diteliti bagaimanakah tujuan syariat ketika mengharamkan gharar. Kalau semua bentuk gharar dilarang, ini akan meniadakan semua bentuk jual beli, dan tentu ini bukan yang dimaksudkan oleh syariat. [17] Hal ini karena tidak ada satu pun transaksi muamalah, kecuali mengandung sedikit unsur gharar. [18] Oleh karena itu, para ulama membuat kriteria dan batasan bagaimanakah gharar yang apabila terdapat di dalam transaksi muamalah, maka transaksi tersebut hukumnya haram. Kriteria-kriteria tersebut adalah: Pertama: unsur gharar mendominasi akad. Gharar yang dilarang adalah gharar yang dominan dalam akad, atau terdapat dalam jumlah yang besar. Sehingga ulama sepakat bahwa jika gharar-nya sedikit, hal itu tidak mencegah sahnya akad [19], karena tidak mungkin menghindarinya secara totalitas. [20] Contoh: tarif menggunakan toilet umum, misalnya ditetapkan Rp.2.000. Padahal, orang yang menggunakan toilet umum itu berbeda-beda dalam menggunakan air, ada yang sedikit, ada yang agak banyak; ada juga yang hanya sebentar, ada yang agak lama. Kedua: masih memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan. Ulama sepakat apabila gharar tersebut tidak mungkin dihindari, atau jika dihindari akan menimbiulkan kesusahan dan kesulitan, maka gharar tersebut diperbolehkan. Hal ini karena seseorang tidak mungkin berlepas diri darinya. [21] Contoh: 1) seseorang yang membeli rumah yang sudah jadi, tentu dia tidak melihat secara langsung bagaimanakah bentuk pondasinya; 2) seseorang yang membeli hewan ternak, tentu dia tidak bisa mengecek langsung kondisi di dalam perut hewan. Ketiga: akad yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk akad yang dibutuhkan oleh orang banyak. Jika dibutuhkan oleh orang banyak, maka statusnya sama seperti darurat. Al-Juwaini rahimahullah berkata, الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة “Hajat (kebutuhan) orang banyak itu kedudukannya seperti darurat.” [22] Kriterianya adalah setiap akad yang apabila ditinggalkan, maka akan menimbulkan bahaya (sangat menyusahkan), baik saat ini maupun di masa datang. [23] Jika masyarakat secara umum membutuhkan akad yang mengandung unsur gharar tersebut, tidak bisa digantikan dengan bentuk akad yang lain, maka akad tersebut termasuk akad yang dimaafkan (dibolehkan). Ibnu Rusyd rahimahullah berkata ketika menyebutkan kriteria gharar yang dibolehkan, وإن غير المؤثر هو اليسير، أو الذي تدعوا إليه ضرورة، أو ما جمع بين أمرين “Gharar yang tidak berpengaruh (dibolehkan) adalah (gharar) yang sedikit, atau dibutuhkan karena darurat, atau yang menggabungkan keduanya.” [24] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ؛ بَلْ يُبِيحُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي ذَلِكَ “Syariat tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam jual beli hanya karena adanya sedikit unsur gharar; tetapi syariat membolehkan apa yang dibutuhkan dalam hal tersebut.” [25] Di antara dalil yang dikemukakan oleh para ulama untuk membolehkan gharar ketika dibutuhkan adalah hadis-hadis yang melarang menjual buah di pohon sebelum buah tersebut cukup tua (matang). Di antaranya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga tampak matang. Beliau melarang hal itu bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2194 dan Muslim no. 1534) Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuk menjual buah-buahan setelah tampak matang, dengan syarat dibiarkan di pohonnya sampai waktu panen, meskipun sebagian dari (buah) yang dijual itu belum tumbuh. Maka hal ini menunjukkan bahwa gharar yang dibutuhkan itu diperbolehkan. [26] Contoh gharar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya adalah jual beli barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka atau telur. Terdapat kebutuhan orang banyak untuk menjual semangka atau telur tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya. [27] Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan. Akad yang mengandung unsur gharar diperbolehkan jika statusnya hanya sebagai pengikut, bukan maksud pokok dari akad tersebut. Contoh: menjual janin di dalam perut induknya tidak diperbolehkan. Karena pada jual beli ini, maksud pokoknya adalah menjual janin yang masih di perut. Akan tetapi, diperbolehkan menjual hewan yang bunting dengan harga yang lebih mahal. Karena maksud pokoknya adalah menjual hewan, sedangkan janin yang masih di dalam perut statusnya sebagai pengikut. Contoh lainnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ، فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ “Siapa saja yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan buah itu untuknya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli buah di pohon yang belum masak (masih muda), karena bisa jadi kemudian terkena hama dan akibatnya gagal panen. Akan tetapi, jika yang dijual adalah kebun kurma, maka tidak masalah. Karena yang menjadi tujuan pokok transaksi adalah jual beli kebun kurma, sedangkan buah yang ada di pohon hanyalah sebagai pengikut. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَجَوَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ: أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ثَمَرَتَهَا، فَيَكُونُ قَدْ اشْتَرَى ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لَكِنْ كُلُّ وَجْهِ الْبَيْعِ لِلْأَصْلِ. فَظَهَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ مِنْ الْغَرَرِ الْيَسِيرِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan, ketika menjual kebun kurma yang telah diserbuki (dikawinkan), bahwa pembeli boleh mensyaratkan buahnya untuk dirinya. Hal itu berarti pembeli telah membeli buah sebelum tampak matang. Namun, transaksi tersebut tetap kembali pada tujuan pokok (yaitu, jual beli  kebun kurma). Oleh karena itu, jelaslah bahwa diperbolehkan adanya unsur gharar yang sedikit dan sebagai pengikut dari transaksi, meskipun tidak diperbolehkan jika unsur tersebut berdiri sendiri.” [28] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Gharar adalah di antara sebab pokok yang menyebabkan haramnya transaksi muamalah saat ini. Akan tetapi, para ulama kontemporer terkadang berbeda pendapat apakah unsur gharar yang terkandung dalam suatu bentuk transaksi itu menyebabkan haram ataukah tidak. Sejumlah transaksi muamalah saat ini dihukumi haram karena unsur gharar yang dominan. Berikut ini sebagian contohnya [29]: Contoh pertama: asuransi konvensional. Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung untuk memberikan ganti kepada tertanggung jika terjadi risiko yang tertuang dalam perjanjian. Sedangkan tertanggung memiliki kewajiban membayar premi kepada penanggung. Akad asuransi semacam ini mengandung unsur gharar yang besar, sehingga sejak awal kemunculannya, para ulama telah mengharamkannya. Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM). Diharamkannya sistem MLM merupakan pendapat mayoritas ulama kontemporer. Hal ini karena upah (bonus) yang diterima oleh penjual produk MLM tidak jelas, sehingga termasuk gharar. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809; Lisanul ‘Arab, 5: 13. [2] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809. [3] Lihat Ash-Shihah, 2: 768; Lisanul ‘Arab, 5: 13; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 230. [4] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 13-14; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648. [5] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 14. [6] Al-Mabsuth, 12: 194. [7] Syarh Hudud Ibnu ‘Urfah, 1: 350. [8] Al-Muhadzab, 3: 30. [9] Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, 2: 145. [10] Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hal. 161. [11] Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 818; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9; Al-Gharar wa Atsaruhu fil ‘Uqud, hal. 53-54. [12] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 25. [13] Bahjah Qulubil Abrar, hal. 101. [14] Lihat Syarh At-Tibi ‘ala Misykatil Mashabih, 6: 74; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9. [15] Lihat Takhrijul Furu’ ‘ala Al-Ushuul, hal. 145; Hasyiyah Ar-Raudh An-Nadhir, 3: 241. [16] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 227-229 (Cet. Keenam, Desember 2013). [17] Lihat Al-Muwafaqat, 2: 14; 3: 151-152. [18] Lihat ‘Aqdul Jawahir Ats-Tsaminah, 2: 419; Al-Muntaqa li Al-Baaji, 5: 41. [19] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 2: 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 265; dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [20] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 155, 157; Adz-Dzakhirah li Al-Qarafi, 5: 93; Al-Furuq li Al-Qarafi, 3: 265-266; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [21] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258; Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 5: 820. [22] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 478-479. [23] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 481. [24] Bidayatul Mujtahid, 2: 175. Lihat pula Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258. [25] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 227. [26] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 341; I’lamul Muwaqi’in, 2: 6-7. [27] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 216. [28] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 26. [29] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab III (Gharar Harta Haram); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Dua Pintu Berbahaya yang Harus Anda Hindari – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Janganlah kamu merasa aman bahwa kamu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan bahwa kamu akan menjauh dari kebenaran. Waspadailah dua pintu berbahaya berikut ini yang banyak orang masuk ke dalamnya, sehingga Allah menghapus amal saleh mereka disebabkan itu. PINTU PERTAMA adalah riya (pamer) kepada orang lain dan gila pujian dari mereka.Ini adalah salah satu sebab terhapusnya amal kebaikan, dan membuatnya tidak dianggap di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terhadap para sahabatnya mengenai pintu ini. “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil (riya).” Adapun PINTU KEDUA adalah beramal dengan niat mendapatkan dunia. Ada orang yang tujuan dari amal salehnya adalah demi kepentingan duniawi. Ia ingin agar Allah memberikannya dunia melalui amal salehnya. Kamu bertanya kepadanya: “Untuk apa kamu berzikir kepada Allah?” “Mengapa kamu membaca zikir-zikir pagi dan petang?” Ia menjawab: “Aku takut sihir.” “Aku takut terhadap hasad.” “Aku takut dari kejahatan orang lain.” Dengan ini, ia telah menginginkan perkara duniawi dari zikirnya tersebut, dan ia tidak menginginkan balasan akhirat. Seperti itu juga dalam berdoa. Kamu dapati ada orang yang berdoa kepada Allah selama setengah jam. Dan tujuan dari doanya agar Allah mengabulkan urusan duniawinya. “Ya Allah, berilah aku rezeki!” “Ya Allah, berilah aku jodoh!” “Ya Allah, sukseskanlah aku!” “Ya Allah, naikkanlah jabatanku!” Sehingga tujuannya adalah semata-mata perkara duniawi. Dan tidaklah ia mengharapkan balasan akhirat dari doanya. Dengan demikian, ia tidak mendapatkan pahala sedikit pun. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah kepada Allah, seperti kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’” Dia berdoa atau tidak? Tentu dia berdoa kepada Allah. “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,’ tapi dia tidak punya bagian balasan kebaikan di akhirat.” (QS. al-Baqarah: 200). Di antara manusia ada yang berdoa, tapi di akhirat tidak dapat bagian balasan kebaikan?! Ya, karena ia hanya menginginkan balasan dunia. Tidak ingin kecuali hanya balasan duniawi. “Di antara mereka ada juga yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. al-Baqarah: 201). “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan. Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.” (QS. al-Baqarah: 202). Oleh sebab itu, jika kamu berdoa dalam urusan duniawi, maka hendaklah niatmu adalah menjadikan urusan duniawi itu sebagai wasilah penolongmu dalam urusan akhiratmu. Bukan menjadikan urusan dunia sebagai tujuan intinya. ==== لَا تَأْمَنُ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ وَانْظُرْ لِبَابَيْنِ عَظِيْمَيْنِ دَخَلَ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ بِهَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ رِيَاءُ النَّاسِ وَمَحَبَّةِ الثَّنَاءِ مِنْهُمْ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُبُوطِ الْعَمَلِ وَعَدَمِ اعْتِبَارِهِ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَانْظُرْ كَيْفَ خَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ هَذَا الْبَابَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ وَأَمَّا الْبَابُ الثَّانِي فَهُوَ إِرَادَةُ الدُّنْيَا بِالْأَعْمَالِ يَأْتِيكَ الشَّخْصُ يَكُونُ مَقْصُودُهُ بِعَمَلِهِ الصَّالِحِ أَمْرًا دُنْيَوِيًّا يُرِيْدُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُنِيلَهُ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا تَقُولُ لِيشْ تَذْكُرُ اللَّهَ؟ وَلِمَاذَا تَقُولُ أَذْكَارَ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ؟ فَيَقُولُ أَنَا أَخَافُ مِنَ السِّحْرِ أَخَافُ مِنَ الْحَسَدِ أَخَافُ مِنَ الْبَشَرِ فَيَكُونُ حِينَئِذٍ قَدْ أَرَادَ بِهَذَا الذِّكْرِ الدُّنْيَا وَلَمْ يُرِدْ الْآخِرَةِ وَمِثْلُهُ فِي الدُّعَاءِ تَجِدُ الْإِنْسَانَ يَدْعُو اللَّهَ نِصْفَ سَاعَةٍ مُرَادُهُ بِالدُّعَاءِ أَنْ يُحَقِّقَ أَمْرَهُ الدُّنْيَوِيَّ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي اللَّهُمَّ نَجِّحْنِي اللَّهُمَّ رَقِّنِي فِي وَظِيفَتِيْ فَيَكُونُ مَقْصُودُهُ الْأَمْرَ الدُّنْيَوِيَّ وَلَا يَقْصِدُ الْآخِرَةَ بِدُعَائِهِ وَمِنْ ثَمَّ لَا يَكُونُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ شَيْءٌ وَلِذَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ أَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَدْعُو وَلَا مَا يَدْعُو؟ يَدْعُو اللَّهَ فَمِنْ النَّاسَ مِنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ يَدْعُو وَفِي الْآخِرَةِ مَا لَهُ خَلَاقٌ؟ نَعَمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ وَلِذَلِكَ إِذَا دَعَوْتَ بِأَمْرٍ دُنْيَوِيٍّ لِيَكُنْ مِنْ مَقْصُودِكَ أَنْ تَسْتَعِيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ الدُّنْيَوِيِّ عَلَى آخِرَتِكَ وَلَيْسَ الْأَمْرُ الدُّنْيَوِيُّ مَقْصُودًا لِنَفْسِهِ

Dua Pintu Berbahaya yang Harus Anda Hindari – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Janganlah kamu merasa aman bahwa kamu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan bahwa kamu akan menjauh dari kebenaran. Waspadailah dua pintu berbahaya berikut ini yang banyak orang masuk ke dalamnya, sehingga Allah menghapus amal saleh mereka disebabkan itu. PINTU PERTAMA adalah riya (pamer) kepada orang lain dan gila pujian dari mereka.Ini adalah salah satu sebab terhapusnya amal kebaikan, dan membuatnya tidak dianggap di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terhadap para sahabatnya mengenai pintu ini. “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil (riya).” Adapun PINTU KEDUA adalah beramal dengan niat mendapatkan dunia. Ada orang yang tujuan dari amal salehnya adalah demi kepentingan duniawi. Ia ingin agar Allah memberikannya dunia melalui amal salehnya. Kamu bertanya kepadanya: “Untuk apa kamu berzikir kepada Allah?” “Mengapa kamu membaca zikir-zikir pagi dan petang?” Ia menjawab: “Aku takut sihir.” “Aku takut terhadap hasad.” “Aku takut dari kejahatan orang lain.” Dengan ini, ia telah menginginkan perkara duniawi dari zikirnya tersebut, dan ia tidak menginginkan balasan akhirat. Seperti itu juga dalam berdoa. Kamu dapati ada orang yang berdoa kepada Allah selama setengah jam. Dan tujuan dari doanya agar Allah mengabulkan urusan duniawinya. “Ya Allah, berilah aku rezeki!” “Ya Allah, berilah aku jodoh!” “Ya Allah, sukseskanlah aku!” “Ya Allah, naikkanlah jabatanku!” Sehingga tujuannya adalah semata-mata perkara duniawi. Dan tidaklah ia mengharapkan balasan akhirat dari doanya. Dengan demikian, ia tidak mendapatkan pahala sedikit pun. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah kepada Allah, seperti kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’” Dia berdoa atau tidak? Tentu dia berdoa kepada Allah. “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,’ tapi dia tidak punya bagian balasan kebaikan di akhirat.” (QS. al-Baqarah: 200). Di antara manusia ada yang berdoa, tapi di akhirat tidak dapat bagian balasan kebaikan?! Ya, karena ia hanya menginginkan balasan dunia. Tidak ingin kecuali hanya balasan duniawi. “Di antara mereka ada juga yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. al-Baqarah: 201). “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan. Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.” (QS. al-Baqarah: 202). Oleh sebab itu, jika kamu berdoa dalam urusan duniawi, maka hendaklah niatmu adalah menjadikan urusan duniawi itu sebagai wasilah penolongmu dalam urusan akhiratmu. Bukan menjadikan urusan dunia sebagai tujuan intinya. ==== لَا تَأْمَنُ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ وَانْظُرْ لِبَابَيْنِ عَظِيْمَيْنِ دَخَلَ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ بِهَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ رِيَاءُ النَّاسِ وَمَحَبَّةِ الثَّنَاءِ مِنْهُمْ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُبُوطِ الْعَمَلِ وَعَدَمِ اعْتِبَارِهِ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَانْظُرْ كَيْفَ خَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ هَذَا الْبَابَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ وَأَمَّا الْبَابُ الثَّانِي فَهُوَ إِرَادَةُ الدُّنْيَا بِالْأَعْمَالِ يَأْتِيكَ الشَّخْصُ يَكُونُ مَقْصُودُهُ بِعَمَلِهِ الصَّالِحِ أَمْرًا دُنْيَوِيًّا يُرِيْدُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُنِيلَهُ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا تَقُولُ لِيشْ تَذْكُرُ اللَّهَ؟ وَلِمَاذَا تَقُولُ أَذْكَارَ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ؟ فَيَقُولُ أَنَا أَخَافُ مِنَ السِّحْرِ أَخَافُ مِنَ الْحَسَدِ أَخَافُ مِنَ الْبَشَرِ فَيَكُونُ حِينَئِذٍ قَدْ أَرَادَ بِهَذَا الذِّكْرِ الدُّنْيَا وَلَمْ يُرِدْ الْآخِرَةِ وَمِثْلُهُ فِي الدُّعَاءِ تَجِدُ الْإِنْسَانَ يَدْعُو اللَّهَ نِصْفَ سَاعَةٍ مُرَادُهُ بِالدُّعَاءِ أَنْ يُحَقِّقَ أَمْرَهُ الدُّنْيَوِيَّ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي اللَّهُمَّ نَجِّحْنِي اللَّهُمَّ رَقِّنِي فِي وَظِيفَتِيْ فَيَكُونُ مَقْصُودُهُ الْأَمْرَ الدُّنْيَوِيَّ وَلَا يَقْصِدُ الْآخِرَةَ بِدُعَائِهِ وَمِنْ ثَمَّ لَا يَكُونُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ شَيْءٌ وَلِذَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ أَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَدْعُو وَلَا مَا يَدْعُو؟ يَدْعُو اللَّهَ فَمِنْ النَّاسَ مِنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ يَدْعُو وَفِي الْآخِرَةِ مَا لَهُ خَلَاقٌ؟ نَعَمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ وَلِذَلِكَ إِذَا دَعَوْتَ بِأَمْرٍ دُنْيَوِيٍّ لِيَكُنْ مِنْ مَقْصُودِكَ أَنْ تَسْتَعِيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ الدُّنْيَوِيِّ عَلَى آخِرَتِكَ وَلَيْسَ الْأَمْرُ الدُّنْيَوِيُّ مَقْصُودًا لِنَفْسِهِ
Janganlah kamu merasa aman bahwa kamu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan bahwa kamu akan menjauh dari kebenaran. Waspadailah dua pintu berbahaya berikut ini yang banyak orang masuk ke dalamnya, sehingga Allah menghapus amal saleh mereka disebabkan itu. PINTU PERTAMA adalah riya (pamer) kepada orang lain dan gila pujian dari mereka.Ini adalah salah satu sebab terhapusnya amal kebaikan, dan membuatnya tidak dianggap di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terhadap para sahabatnya mengenai pintu ini. “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil (riya).” Adapun PINTU KEDUA adalah beramal dengan niat mendapatkan dunia. Ada orang yang tujuan dari amal salehnya adalah demi kepentingan duniawi. Ia ingin agar Allah memberikannya dunia melalui amal salehnya. Kamu bertanya kepadanya: “Untuk apa kamu berzikir kepada Allah?” “Mengapa kamu membaca zikir-zikir pagi dan petang?” Ia menjawab: “Aku takut sihir.” “Aku takut terhadap hasad.” “Aku takut dari kejahatan orang lain.” Dengan ini, ia telah menginginkan perkara duniawi dari zikirnya tersebut, dan ia tidak menginginkan balasan akhirat. Seperti itu juga dalam berdoa. Kamu dapati ada orang yang berdoa kepada Allah selama setengah jam. Dan tujuan dari doanya agar Allah mengabulkan urusan duniawinya. “Ya Allah, berilah aku rezeki!” “Ya Allah, berilah aku jodoh!” “Ya Allah, sukseskanlah aku!” “Ya Allah, naikkanlah jabatanku!” Sehingga tujuannya adalah semata-mata perkara duniawi. Dan tidaklah ia mengharapkan balasan akhirat dari doanya. Dengan demikian, ia tidak mendapatkan pahala sedikit pun. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah kepada Allah, seperti kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’” Dia berdoa atau tidak? Tentu dia berdoa kepada Allah. “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,’ tapi dia tidak punya bagian balasan kebaikan di akhirat.” (QS. al-Baqarah: 200). Di antara manusia ada yang berdoa, tapi di akhirat tidak dapat bagian balasan kebaikan?! Ya, karena ia hanya menginginkan balasan dunia. Tidak ingin kecuali hanya balasan duniawi. “Di antara mereka ada juga yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. al-Baqarah: 201). “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan. Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.” (QS. al-Baqarah: 202). Oleh sebab itu, jika kamu berdoa dalam urusan duniawi, maka hendaklah niatmu adalah menjadikan urusan duniawi itu sebagai wasilah penolongmu dalam urusan akhiratmu. Bukan menjadikan urusan dunia sebagai tujuan intinya. ==== لَا تَأْمَنُ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ وَانْظُرْ لِبَابَيْنِ عَظِيْمَيْنِ دَخَلَ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ بِهَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ رِيَاءُ النَّاسِ وَمَحَبَّةِ الثَّنَاءِ مِنْهُمْ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُبُوطِ الْعَمَلِ وَعَدَمِ اعْتِبَارِهِ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَانْظُرْ كَيْفَ خَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ هَذَا الْبَابَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ وَأَمَّا الْبَابُ الثَّانِي فَهُوَ إِرَادَةُ الدُّنْيَا بِالْأَعْمَالِ يَأْتِيكَ الشَّخْصُ يَكُونُ مَقْصُودُهُ بِعَمَلِهِ الصَّالِحِ أَمْرًا دُنْيَوِيًّا يُرِيْدُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُنِيلَهُ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا تَقُولُ لِيشْ تَذْكُرُ اللَّهَ؟ وَلِمَاذَا تَقُولُ أَذْكَارَ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ؟ فَيَقُولُ أَنَا أَخَافُ مِنَ السِّحْرِ أَخَافُ مِنَ الْحَسَدِ أَخَافُ مِنَ الْبَشَرِ فَيَكُونُ حِينَئِذٍ قَدْ أَرَادَ بِهَذَا الذِّكْرِ الدُّنْيَا وَلَمْ يُرِدْ الْآخِرَةِ وَمِثْلُهُ فِي الدُّعَاءِ تَجِدُ الْإِنْسَانَ يَدْعُو اللَّهَ نِصْفَ سَاعَةٍ مُرَادُهُ بِالدُّعَاءِ أَنْ يُحَقِّقَ أَمْرَهُ الدُّنْيَوِيَّ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي اللَّهُمَّ نَجِّحْنِي اللَّهُمَّ رَقِّنِي فِي وَظِيفَتِيْ فَيَكُونُ مَقْصُودُهُ الْأَمْرَ الدُّنْيَوِيَّ وَلَا يَقْصِدُ الْآخِرَةَ بِدُعَائِهِ وَمِنْ ثَمَّ لَا يَكُونُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ شَيْءٌ وَلِذَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ أَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَدْعُو وَلَا مَا يَدْعُو؟ يَدْعُو اللَّهَ فَمِنْ النَّاسَ مِنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ يَدْعُو وَفِي الْآخِرَةِ مَا لَهُ خَلَاقٌ؟ نَعَمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ وَلِذَلِكَ إِذَا دَعَوْتَ بِأَمْرٍ دُنْيَوِيٍّ لِيَكُنْ مِنْ مَقْصُودِكَ أَنْ تَسْتَعِيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ الدُّنْيَوِيِّ عَلَى آخِرَتِكَ وَلَيْسَ الْأَمْرُ الدُّنْيَوِيُّ مَقْصُودًا لِنَفْسِهِ


Janganlah kamu merasa aman bahwa kamu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan bahwa kamu akan menjauh dari kebenaran. Waspadailah dua pintu berbahaya berikut ini yang banyak orang masuk ke dalamnya, sehingga Allah menghapus amal saleh mereka disebabkan itu. PINTU PERTAMA adalah riya (pamer) kepada orang lain dan gila pujian dari mereka.Ini adalah salah satu sebab terhapusnya amal kebaikan, dan membuatnya tidak dianggap di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terhadap para sahabatnya mengenai pintu ini. “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil (riya).” Adapun PINTU KEDUA adalah beramal dengan niat mendapatkan dunia. Ada orang yang tujuan dari amal salehnya adalah demi kepentingan duniawi. Ia ingin agar Allah memberikannya dunia melalui amal salehnya. Kamu bertanya kepadanya: “Untuk apa kamu berzikir kepada Allah?” “Mengapa kamu membaca zikir-zikir pagi dan petang?” Ia menjawab: “Aku takut sihir.” “Aku takut terhadap hasad.” “Aku takut dari kejahatan orang lain.” Dengan ini, ia telah menginginkan perkara duniawi dari zikirnya tersebut, dan ia tidak menginginkan balasan akhirat. Seperti itu juga dalam berdoa. Kamu dapati ada orang yang berdoa kepada Allah selama setengah jam. Dan tujuan dari doanya agar Allah mengabulkan urusan duniawinya. “Ya Allah, berilah aku rezeki!” “Ya Allah, berilah aku jodoh!” “Ya Allah, sukseskanlah aku!” “Ya Allah, naikkanlah jabatanku!” Sehingga tujuannya adalah semata-mata perkara duniawi. Dan tidaklah ia mengharapkan balasan akhirat dari doanya. Dengan demikian, ia tidak mendapatkan pahala sedikit pun. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah kepada Allah, seperti kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’” Dia berdoa atau tidak? Tentu dia berdoa kepada Allah. “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,’ tapi dia tidak punya bagian balasan kebaikan di akhirat.” (QS. al-Baqarah: 200). Di antara manusia ada yang berdoa, tapi di akhirat tidak dapat bagian balasan kebaikan?! Ya, karena ia hanya menginginkan balasan dunia. Tidak ingin kecuali hanya balasan duniawi. “Di antara mereka ada juga yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. al-Baqarah: 201). “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan. Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.” (QS. al-Baqarah: 202). Oleh sebab itu, jika kamu berdoa dalam urusan duniawi, maka hendaklah niatmu adalah menjadikan urusan duniawi itu sebagai wasilah penolongmu dalam urusan akhiratmu. Bukan menjadikan urusan dunia sebagai tujuan intinya. ==== لَا تَأْمَنُ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ وَانْظُرْ لِبَابَيْنِ عَظِيْمَيْنِ دَخَلَ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ بِهَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ رِيَاءُ النَّاسِ وَمَحَبَّةِ الثَّنَاءِ مِنْهُمْ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُبُوطِ الْعَمَلِ وَعَدَمِ اعْتِبَارِهِ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَانْظُرْ كَيْفَ خَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ هَذَا الْبَابَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ وَأَمَّا الْبَابُ الثَّانِي فَهُوَ إِرَادَةُ الدُّنْيَا بِالْأَعْمَالِ يَأْتِيكَ الشَّخْصُ يَكُونُ مَقْصُودُهُ بِعَمَلِهِ الصَّالِحِ أَمْرًا دُنْيَوِيًّا يُرِيْدُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُنِيلَهُ بِعَمَلِهِ الدُّنْيَا تَقُولُ لِيشْ تَذْكُرُ اللَّهَ؟ وَلِمَاذَا تَقُولُ أَذْكَارَ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ؟ فَيَقُولُ أَنَا أَخَافُ مِنَ السِّحْرِ أَخَافُ مِنَ الْحَسَدِ أَخَافُ مِنَ الْبَشَرِ فَيَكُونُ حِينَئِذٍ قَدْ أَرَادَ بِهَذَا الذِّكْرِ الدُّنْيَا وَلَمْ يُرِدْ الْآخِرَةِ وَمِثْلُهُ فِي الدُّعَاءِ تَجِدُ الْإِنْسَانَ يَدْعُو اللَّهَ نِصْفَ سَاعَةٍ مُرَادُهُ بِالدُّعَاءِ أَنْ يُحَقِّقَ أَمْرَهُ الدُّنْيَوِيَّ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي اللَّهُمَّ نَجِّحْنِي اللَّهُمَّ رَقِّنِي فِي وَظِيفَتِيْ فَيَكُونُ مَقْصُودُهُ الْأَمْرَ الدُّنْيَوِيَّ وَلَا يَقْصِدُ الْآخِرَةَ بِدُعَائِهِ وَمِنْ ثَمَّ لَا يَكُونُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ شَيْءٌ وَلِذَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ أَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَدْعُو وَلَا مَا يَدْعُو؟ يَدْعُو اللَّهَ فَمِنْ النَّاسَ مِنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ يَدْعُو وَفِي الْآخِرَةِ مَا لَهُ خَلَاقٌ؟ نَعَمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا لَمْ يُرِدْ إِلَّا الدُّنْيَا وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ وَلِذَلِكَ إِذَا دَعَوْتَ بِأَمْرٍ دُنْيَوِيٍّ لِيَكُنْ مِنْ مَقْصُودِكَ أَنْ تَسْتَعِيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ الدُّنْيَوِيِّ عَلَى آخِرَتِكَ وَلَيْسَ الْأَمْرُ الدُّنْيَوِيُّ مَقْصُودًا لِنَفْسِهِ

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 8)

Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan tentang ketentuan dan poin-poin sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Pada pembahasan kali ini, akan berfokus pada jenis-jenis keadaan sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya, jenis-jenis sewa menyewa jasa yang bersifat khusus sangat banyak ragamnya dan bermacam-macam. Terlebih zaman dan teknologi semakin berkembang. Sehingga perlu untuk mengetahui apa saja jenis-jenis keadaan sewa menyewa tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis keadaannya. Sewa menyewa jasa untuk hal yang haram [1] Tidak boleh hukumnya menyediakan atau menyewa jasa yang digunakan untuk hal-hal yang haram. Seperti menyewa orang untuk berzina, bernyanyi, berjoget, perdukunan, dan lain sebagainya. Akad yang seperti ini adalah akad yang bathil. Bahkan, tidak berhak untuk mendapatkan upahnya, karena hal ini termasuk memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Tentunya, hal ini adalah hal yang terlarang, karena manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang dilarang oleh syari’at. Termasuk dalam pembahasan ini, jumhur ulama berpendapat tidak boleh pula untuk melakukan akad sewa menyewa terhadap suatu perbuatan yang pada asalnya mubah. Namun, perkara mubah ini menyeret kepada perkara yang haram. Seperti, menyewa seorang penulis untuk menuliskan lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian atau menyewa orang yang membawakan khamr untuk peminumnya. Kalau dilihat dari pekerjaan di atas, tidak ada permasalahan karena hukumnya mubah. Namun, dikarenakan pekerjaan itu diperuntukkan untuk sesuatu yang haram, maka haram pula harta yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan haram pula menyewanya. Para ulama menyebutkan kaidah-kaidah terkait hal ini, di antaranya; وَسَائِلُ الأْمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Hukum suatu perantara memiliki hukum yang sama seperti tujuannya. Dan tetapkanlah hukum ini terhadap hal-hal yang mengikuti (tambahan-tambahan).” [2] Kaidah ini sangat jelas, menunjukkan bahwa hukum suatu perantara itu mengikuti tujuannya. Jika tujuannya mubah, maka hukum dari perantara tersebut mubah. Jika tujuannya haram, maka hukum perantara tersebut adalah haram. Simaklah kaidah-kaidah di bawah ini, كُلُّ وَسِيْلَةٍ إِلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap perantara untuk melakukan keharaman, maka hukumnya haram.” Dalam kaidah yang lain, juga disebutkan, الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ “Setiap perantara, maka terkena hukum dari tujuannya.” Terkait dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang membawanya, dan orang yang dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Jelas pada hadis di atas, menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala melaknat pula selain peminum khamr. Karena merekalah yang menjadi sebab diminumnya keharaman itu. Terdapat faedah penting dari pembahasan ini, Pertama, terkait dengan pekerjaan membawa khamr. Maka, bagi penyewanya tetap harus membayarkan upahnya. Karena terkadang pada pekerjaan itu terdapat suatu manfaat yang jelas dan berhak baginya untuk mendapatkan upah, mengingat pekerjaan itu yang tidak haram pada zatnya. Namun, ia haram karena maksud dari penyewanya. Berbeda halnya jika seseorang menyewa pelacur, seseorang untuk melakukan liwath (homoseks), membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan yang dilakukan sudah jelas-jelas haram. Jelas pekerjaan-pekerjaan itu haram bukan karena maksud dari penyewanya. Sehingga tidak boleh untuk memberikan mereka upah. Dalam hadis Abu Mas’ud Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina, dan upah bayaran dukun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, yakni tidak bolehnya bekerja atau menyewa pekerja untuk membawakan khamr untuk diminum. Maka, jika bekerja atau menyewa pekerja untuk menumpahkan dan merusaknya, boleh hukumnya. Karena hal ini termasuk menyewa untuk melakukan hal yang wajib. Inilah terkait jenis keadaan-keadaan yang haram untuk menggunakan jasa sewa menyewa dan juga terkait dengan wasilah (perantara). Silahkan qiyas-kan perkara ini kepada pekerjaan atau jasa sewa menyewa yang lainnya. Sama halnya seperti riba. Tentunya segala wasilah (perantara) yang mengantarkan kepada perbuatan riba adalah haram. Perhatikanlah hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu, لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim) Disamakannya pada transaksi riba antara seorang penulis dan saksi dengan pemakan riba, karena mereka saling menolong dan membantu dalam berbuat dosa. Maka, hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap perkara yang sifatnya wasilah (perantara) yang mubah. Namun, ia bisa menjerumuskan ketika mengantarkan kepada keharaman. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Rajab 1446/ 14 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 291. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 27.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 8)

Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan tentang ketentuan dan poin-poin sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Pada pembahasan kali ini, akan berfokus pada jenis-jenis keadaan sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya, jenis-jenis sewa menyewa jasa yang bersifat khusus sangat banyak ragamnya dan bermacam-macam. Terlebih zaman dan teknologi semakin berkembang. Sehingga perlu untuk mengetahui apa saja jenis-jenis keadaan sewa menyewa tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis keadaannya. Sewa menyewa jasa untuk hal yang haram [1] Tidak boleh hukumnya menyediakan atau menyewa jasa yang digunakan untuk hal-hal yang haram. Seperti menyewa orang untuk berzina, bernyanyi, berjoget, perdukunan, dan lain sebagainya. Akad yang seperti ini adalah akad yang bathil. Bahkan, tidak berhak untuk mendapatkan upahnya, karena hal ini termasuk memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Tentunya, hal ini adalah hal yang terlarang, karena manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang dilarang oleh syari’at. Termasuk dalam pembahasan ini, jumhur ulama berpendapat tidak boleh pula untuk melakukan akad sewa menyewa terhadap suatu perbuatan yang pada asalnya mubah. Namun, perkara mubah ini menyeret kepada perkara yang haram. Seperti, menyewa seorang penulis untuk menuliskan lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian atau menyewa orang yang membawakan khamr untuk peminumnya. Kalau dilihat dari pekerjaan di atas, tidak ada permasalahan karena hukumnya mubah. Namun, dikarenakan pekerjaan itu diperuntukkan untuk sesuatu yang haram, maka haram pula harta yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan haram pula menyewanya. Para ulama menyebutkan kaidah-kaidah terkait hal ini, di antaranya; وَسَائِلُ الأْمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Hukum suatu perantara memiliki hukum yang sama seperti tujuannya. Dan tetapkanlah hukum ini terhadap hal-hal yang mengikuti (tambahan-tambahan).” [2] Kaidah ini sangat jelas, menunjukkan bahwa hukum suatu perantara itu mengikuti tujuannya. Jika tujuannya mubah, maka hukum dari perantara tersebut mubah. Jika tujuannya haram, maka hukum perantara tersebut adalah haram. Simaklah kaidah-kaidah di bawah ini, كُلُّ وَسِيْلَةٍ إِلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap perantara untuk melakukan keharaman, maka hukumnya haram.” Dalam kaidah yang lain, juga disebutkan, الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ “Setiap perantara, maka terkena hukum dari tujuannya.” Terkait dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang membawanya, dan orang yang dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Jelas pada hadis di atas, menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala melaknat pula selain peminum khamr. Karena merekalah yang menjadi sebab diminumnya keharaman itu. Terdapat faedah penting dari pembahasan ini, Pertama, terkait dengan pekerjaan membawa khamr. Maka, bagi penyewanya tetap harus membayarkan upahnya. Karena terkadang pada pekerjaan itu terdapat suatu manfaat yang jelas dan berhak baginya untuk mendapatkan upah, mengingat pekerjaan itu yang tidak haram pada zatnya. Namun, ia haram karena maksud dari penyewanya. Berbeda halnya jika seseorang menyewa pelacur, seseorang untuk melakukan liwath (homoseks), membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan yang dilakukan sudah jelas-jelas haram. Jelas pekerjaan-pekerjaan itu haram bukan karena maksud dari penyewanya. Sehingga tidak boleh untuk memberikan mereka upah. Dalam hadis Abu Mas’ud Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina, dan upah bayaran dukun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, yakni tidak bolehnya bekerja atau menyewa pekerja untuk membawakan khamr untuk diminum. Maka, jika bekerja atau menyewa pekerja untuk menumpahkan dan merusaknya, boleh hukumnya. Karena hal ini termasuk menyewa untuk melakukan hal yang wajib. Inilah terkait jenis keadaan-keadaan yang haram untuk menggunakan jasa sewa menyewa dan juga terkait dengan wasilah (perantara). Silahkan qiyas-kan perkara ini kepada pekerjaan atau jasa sewa menyewa yang lainnya. Sama halnya seperti riba. Tentunya segala wasilah (perantara) yang mengantarkan kepada perbuatan riba adalah haram. Perhatikanlah hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu, لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim) Disamakannya pada transaksi riba antara seorang penulis dan saksi dengan pemakan riba, karena mereka saling menolong dan membantu dalam berbuat dosa. Maka, hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap perkara yang sifatnya wasilah (perantara) yang mubah. Namun, ia bisa menjerumuskan ketika mengantarkan kepada keharaman. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Rajab 1446/ 14 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 291. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 27.
Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan tentang ketentuan dan poin-poin sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Pada pembahasan kali ini, akan berfokus pada jenis-jenis keadaan sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya, jenis-jenis sewa menyewa jasa yang bersifat khusus sangat banyak ragamnya dan bermacam-macam. Terlebih zaman dan teknologi semakin berkembang. Sehingga perlu untuk mengetahui apa saja jenis-jenis keadaan sewa menyewa tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis keadaannya. Sewa menyewa jasa untuk hal yang haram [1] Tidak boleh hukumnya menyediakan atau menyewa jasa yang digunakan untuk hal-hal yang haram. Seperti menyewa orang untuk berzina, bernyanyi, berjoget, perdukunan, dan lain sebagainya. Akad yang seperti ini adalah akad yang bathil. Bahkan, tidak berhak untuk mendapatkan upahnya, karena hal ini termasuk memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Tentunya, hal ini adalah hal yang terlarang, karena manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang dilarang oleh syari’at. Termasuk dalam pembahasan ini, jumhur ulama berpendapat tidak boleh pula untuk melakukan akad sewa menyewa terhadap suatu perbuatan yang pada asalnya mubah. Namun, perkara mubah ini menyeret kepada perkara yang haram. Seperti, menyewa seorang penulis untuk menuliskan lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian atau menyewa orang yang membawakan khamr untuk peminumnya. Kalau dilihat dari pekerjaan di atas, tidak ada permasalahan karena hukumnya mubah. Namun, dikarenakan pekerjaan itu diperuntukkan untuk sesuatu yang haram, maka haram pula harta yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan haram pula menyewanya. Para ulama menyebutkan kaidah-kaidah terkait hal ini, di antaranya; وَسَائِلُ الأْمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Hukum suatu perantara memiliki hukum yang sama seperti tujuannya. Dan tetapkanlah hukum ini terhadap hal-hal yang mengikuti (tambahan-tambahan).” [2] Kaidah ini sangat jelas, menunjukkan bahwa hukum suatu perantara itu mengikuti tujuannya. Jika tujuannya mubah, maka hukum dari perantara tersebut mubah. Jika tujuannya haram, maka hukum perantara tersebut adalah haram. Simaklah kaidah-kaidah di bawah ini, كُلُّ وَسِيْلَةٍ إِلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap perantara untuk melakukan keharaman, maka hukumnya haram.” Dalam kaidah yang lain, juga disebutkan, الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ “Setiap perantara, maka terkena hukum dari tujuannya.” Terkait dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang membawanya, dan orang yang dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Jelas pada hadis di atas, menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala melaknat pula selain peminum khamr. Karena merekalah yang menjadi sebab diminumnya keharaman itu. Terdapat faedah penting dari pembahasan ini, Pertama, terkait dengan pekerjaan membawa khamr. Maka, bagi penyewanya tetap harus membayarkan upahnya. Karena terkadang pada pekerjaan itu terdapat suatu manfaat yang jelas dan berhak baginya untuk mendapatkan upah, mengingat pekerjaan itu yang tidak haram pada zatnya. Namun, ia haram karena maksud dari penyewanya. Berbeda halnya jika seseorang menyewa pelacur, seseorang untuk melakukan liwath (homoseks), membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan yang dilakukan sudah jelas-jelas haram. Jelas pekerjaan-pekerjaan itu haram bukan karena maksud dari penyewanya. Sehingga tidak boleh untuk memberikan mereka upah. Dalam hadis Abu Mas’ud Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina, dan upah bayaran dukun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, yakni tidak bolehnya bekerja atau menyewa pekerja untuk membawakan khamr untuk diminum. Maka, jika bekerja atau menyewa pekerja untuk menumpahkan dan merusaknya, boleh hukumnya. Karena hal ini termasuk menyewa untuk melakukan hal yang wajib. Inilah terkait jenis keadaan-keadaan yang haram untuk menggunakan jasa sewa menyewa dan juga terkait dengan wasilah (perantara). Silahkan qiyas-kan perkara ini kepada pekerjaan atau jasa sewa menyewa yang lainnya. Sama halnya seperti riba. Tentunya segala wasilah (perantara) yang mengantarkan kepada perbuatan riba adalah haram. Perhatikanlah hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu, لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim) Disamakannya pada transaksi riba antara seorang penulis dan saksi dengan pemakan riba, karena mereka saling menolong dan membantu dalam berbuat dosa. Maka, hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap perkara yang sifatnya wasilah (perantara) yang mubah. Namun, ia bisa menjerumuskan ketika mengantarkan kepada keharaman. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Rajab 1446/ 14 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 291. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 27.


Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan tentang ketentuan dan poin-poin sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Pada pembahasan kali ini, akan berfokus pada jenis-jenis keadaan sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya, jenis-jenis sewa menyewa jasa yang bersifat khusus sangat banyak ragamnya dan bermacam-macam. Terlebih zaman dan teknologi semakin berkembang. Sehingga perlu untuk mengetahui apa saja jenis-jenis keadaan sewa menyewa tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis keadaannya. Sewa menyewa jasa untuk hal yang haram [1] Tidak boleh hukumnya menyediakan atau menyewa jasa yang digunakan untuk hal-hal yang haram. Seperti menyewa orang untuk berzina, bernyanyi, berjoget, perdukunan, dan lain sebagainya. Akad yang seperti ini adalah akad yang bathil. Bahkan, tidak berhak untuk mendapatkan upahnya, karena hal ini termasuk memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Tentunya, hal ini adalah hal yang terlarang, karena manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang dilarang oleh syari’at. Termasuk dalam pembahasan ini, jumhur ulama berpendapat tidak boleh pula untuk melakukan akad sewa menyewa terhadap suatu perbuatan yang pada asalnya mubah. Namun, perkara mubah ini menyeret kepada perkara yang haram. Seperti, menyewa seorang penulis untuk menuliskan lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian atau menyewa orang yang membawakan khamr untuk peminumnya. Kalau dilihat dari pekerjaan di atas, tidak ada permasalahan karena hukumnya mubah. Namun, dikarenakan pekerjaan itu diperuntukkan untuk sesuatu yang haram, maka haram pula harta yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan haram pula menyewanya. Para ulama menyebutkan kaidah-kaidah terkait hal ini, di antaranya; وَسَائِلُ الأْمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Hukum suatu perantara memiliki hukum yang sama seperti tujuannya. Dan tetapkanlah hukum ini terhadap hal-hal yang mengikuti (tambahan-tambahan).” [2] Kaidah ini sangat jelas, menunjukkan bahwa hukum suatu perantara itu mengikuti tujuannya. Jika tujuannya mubah, maka hukum dari perantara tersebut mubah. Jika tujuannya haram, maka hukum perantara tersebut adalah haram. Simaklah kaidah-kaidah di bawah ini, كُلُّ وَسِيْلَةٍ إِلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap perantara untuk melakukan keharaman, maka hukumnya haram.” Dalam kaidah yang lain, juga disebutkan, الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ “Setiap perantara, maka terkena hukum dari tujuannya.” Terkait dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang membawanya, dan orang yang dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Jelas pada hadis di atas, menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala melaknat pula selain peminum khamr. Karena merekalah yang menjadi sebab diminumnya keharaman itu. Terdapat faedah penting dari pembahasan ini, Pertama, terkait dengan pekerjaan membawa khamr. Maka, bagi penyewanya tetap harus membayarkan upahnya. Karena terkadang pada pekerjaan itu terdapat suatu manfaat yang jelas dan berhak baginya untuk mendapatkan upah, mengingat pekerjaan itu yang tidak haram pada zatnya. Namun, ia haram karena maksud dari penyewanya. Berbeda halnya jika seseorang menyewa pelacur, seseorang untuk melakukan liwath (homoseks), membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Karena pekerjaan yang dilakukan sudah jelas-jelas haram. Jelas pekerjaan-pekerjaan itu haram bukan karena maksud dari penyewanya. Sehingga tidak boleh untuk memberikan mereka upah. Dalam hadis Abu Mas’ud Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina, dan upah bayaran dukun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, yakni tidak bolehnya bekerja atau menyewa pekerja untuk membawakan khamr untuk diminum. Maka, jika bekerja atau menyewa pekerja untuk menumpahkan dan merusaknya, boleh hukumnya. Karena hal ini termasuk menyewa untuk melakukan hal yang wajib. Inilah terkait jenis keadaan-keadaan yang haram untuk menggunakan jasa sewa menyewa dan juga terkait dengan wasilah (perantara). Silahkan qiyas-kan perkara ini kepada pekerjaan atau jasa sewa menyewa yang lainnya. Sama halnya seperti riba. Tentunya segala wasilah (perantara) yang mengantarkan kepada perbuatan riba adalah haram. Perhatikanlah hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu, لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim) Disamakannya pada transaksi riba antara seorang penulis dan saksi dengan pemakan riba, karena mereka saling menolong dan membantu dalam berbuat dosa. Maka, hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap perkara yang sifatnya wasilah (perantara) yang mubah. Namun, ia bisa menjerumuskan ketika mengantarkan kepada keharaman. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Rajab 1446/ 14 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 291. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 27.

Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita

Daftar Isi Toggle Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumiKeberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslimMemakmurkan masjid, kewajiban kita bersamaAmalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjidPertama, memperbanyak langkah menuju masjid.Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu.Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid.Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Bulan Ramadan sebentar lagi datang mengunjungi kita. Bulan penuh kemuliaan dan keutamaan. Di dalamnya, kaum muslimin berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Masjid-masjid yang biasanya sepi menjadi ramai di bulan tersebut. Saudaraku yang dimuliakan Allah Ta’ala, sebelum bulan penuh kemuliaan ini datang menghampiri, hendaknya masing-masing dari kita menumbuhkan kembali kesadaran dan kecintaan kita untuk meramaikan dan memakmurkan masjid-masjid dan rumah Allah Ta’ala. Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumi Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya tempat yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah adalah masjid yang kita gunakan untuk salat dan beribadah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا “Negeri (tempat) yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya, dan tempat yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Masjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Tempat yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Tempat berkumpulnya orang-orang mukmin dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18) Seorang mukmin berkewajiban menampakkan dan meninggikan (kemuliaan) masjid serta menghidupkannya. Ini berdasarkan firman Allah Azza Wajalla kepada kita semua, فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nur: 36) Allah Ta’ala memberikan ancaman yang sangat keras kepada siapa pun yang menghalangi hamba-hamba Allah dari beribadah di masjid. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 114) Keberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslim Masjid memiliki kedudukan penting bagi kaum muslimin. Di sanalah kaum muslimin melaksanakan salat lima waktu, beramal, dan menjalin hubungan sosial. Oleh karena itu, amal besar pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah adalah membangun masjid. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk membangun, menghidupkan, dan memakmurkan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أمَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ببناءِ المساجدِ في الدورِ، وأن تُنَظَّفَ وتُطَيَّبَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar masjid dibangun di perkampungan (tempat manusia banyak berkumpul), dibersihkan, dan diberi wewangian.” (HR. Abu Dawud no. 455, At-Tirmidzi no. 594, dan Ibnu Majah no. 754) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus bagi mereka yang membangun rumah Allah Ta’ala, مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا؛ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738, Imam Bukhari di dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir, 1: 332, dan Ibnu Khuzaimah no. 1292) Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Memakmurkan masjid, kewajiban kita bersama Di negara kita tercinta, alhamdulillah, masjid sudah banyak tersebar di berbagai daerah dan pelosok. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memakmurkan dan meramaikan masjid dalam rangka beribadah dan melaksanakan salat berjemaah. Padahal, wahai saudaraku sekalian, memakmurkan masjid memiliki urgensi lebih untuk kita berikan perhatian dan kita usahakan. Dalam syariat kita, laki-laki berkewajiban untuk melaksanakan salat berjemaah di masjid dan meramaikannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43) Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi mereka yang tidak berjemaah di masjid, padahal mampu untuk melaksanakannya. إنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ علَى المُنَافِقِينَ صَلَاةُ العِشَاءِ، وَصَلَاةُ الفَجْرِ، ولو يَعْلَمُونَ ما فِيهِما لأَتَوْهُما ولو حَبْوًا، وَلقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فيُصَلِّيَ بالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي برِجَالٍ معهُمْ حُزَمٌ مِن حَطَبٍ إلى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عليهم بُيُوتَهُمْ بالنَّارِ “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh. Kalau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat dalam kedua salat tersebut, mereka akan mendatanginya, walaupun dengan merangkak. Aku sangat ingin memerintahkan salat (dikerjakan), lalu dikumandangkan ikamah dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para jemaah. Sementara itu, aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut salat berjemaah dan membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651) Masjid adalah rumah Allah Ta’ala yang harus kita makmurkan dan kita ramaikan, baik itu dengan melaksanakan salat ataupun dengan membaca Al-Qur’an dan belajar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memberikan motivasi kepada kita semua, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ؛ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِم السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُم الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُم الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُم اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah–rumah Allah (masjid), membaca kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dinaungi oleh para malaikat, serta Allah akan menyebut–nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat dalam beramal, sungguh garis nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. Muslim no. 2699) Amalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjid Saudaraku sekalian, banyak sekali amalan-amalan yang dapat kita lakukan di masjid yang akan mendatangkan keutamaan bagi diri kita, baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Bertepatan dengan bulan Ramadan yang akan datang menghampiri kita, ada baiknya diri kita kembali membiasakan amalan-amalan yang kita sebutkan berikut ini dan kembali memakmurkan masjid-masjid yang ada. Sehingga, masjid-masjid yang begitu banyak tersebar di penjuru negeri, tidak hanya ramai di bulan Ramadan saja, namun juga ramai di bulan-bulan lainnya. Pertama, memperbanyak langkah menuju masjid. Jika lokasi masjid yang dekat dengan tempat tinggal kita masih mudah untuk kita akses dengan berjalan kaki, maka berjalanlah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَن تَطَهَّرَ في بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلى بَيْتٍ مَن بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِن فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إحْدَاهُما تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً. “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu akan menghapus kesalahan dan satunya lagi akan meninggikan derajat.”  (HR. Muslim no. 666) Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلاةُ الرَّجُلِ في جَماعةٍ تُضَعَّفُ عَلى صلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وفي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرينَ ضِعفًا، وذلكَ أَنَّهُ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلى المَسْجِدِ، لا يُخْرِجُه إِلَّا الصَّلاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوةً إِلَّا رُفِعَتْ لَه بهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْه بهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذا صَلى لَمْ تَزَلِ المَلائِكَة تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ في مُصَلَّاه، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارحَمْهُ. وَلا يَزَالُ في صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ “Salatnya seorang lelaki dengan berjemaah itu dilipatgandakan pahalanya melebihi salatnya di rumahnya secara sendirian (munfarid) atau di pasarnya dengan dua puluh lima kali lipatnya. Yang sedemikian itu dikarenakan apabila seseorang berwudu lalu memperbagusi cara wudunya, kemudian keluar ke masjid, sedang tidak ada yang menyebabkan keluarnya itu, melainkan karena hendak melaksanakan salat, maka tidaklah ia melangkah sekali langkah, melainkan dinaikkanlah untuknya sederajat dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Selanjutnya apabila ia salat, maka para malaikat akan senantiasa mendoakan untuknya supaya ia memperoleh rahmat dan kasih sayang Allah, selama dirinya masih tetap berada di tempat salatnya dan ia tidak berhadas. Ucapan malaikat itu ialah, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia.’ Seorang hamba akan dianggap dan diberikan pahala layaknya berada di dalam salat, selama ia menantikan salat berjemaah.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649) Ada keutamaan yang besar juga bagi mereka yang mau bergegas dan pergi ke masjid di kegelapan malam, baik itu untuk melaksanakan salat Isya ataupun salat Subuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بشِّرِ المشَّائينَ في الظُّلَمِ إلى المساجدِ بالنُّورِ التَّامِّ يومَ القيامةَ “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid di kegelapan malam bahwa mereka akan mendapat cahaya yang sempurna kelak di hari kiamat”.  (HR. Abu Dawud no. 561) Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid. Berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat jumat memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا “Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi, lalu dirinya juga mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khotbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya, dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 345) Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, خَرَجَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَنَحْنُ في الصُّفَّةِ، فَقالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَومٍ إلى بُطْحَانَ، أَوْ إلى العَقِيقِ، فَيَأْتِيَ منه بنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ في غيرِ إثْمٍ، وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، نُحِبُّ ذلكَ، قالَ: أَفلا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إلى المَسْجِدِ فَيَعْلَمُ، أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِن كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، خَيْرٌ له مِن نَاقَتَيْنِ، وَثَلَاثٌ خَيْرٌ له مِن ثَلَاثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ له مِن أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الإبِلِ “Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Ṣuffah (tempat berteduhnya para fukara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buṭḥan atau ke ‘Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturahim?’ Kami pun menjawab, ‘Kami semua menyukai hal itu, wahai Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam.’ Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, tidaklah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah ‘Azza Wajalla, (melainkan itu) lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan setiap hitungannya dari unta tersebut.’” (HR. Muslim no. 803) Itulah wahai saudaraku, beberapa amalan yang apabila kita rutinkan akan membantu diri kita untuk dapat memakmurkan dan meramaikan rumah-rumah Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesitikamahan untuk terus datang ke masjid, menjadikan hati kita terikat dengan masjid, dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita

Daftar Isi Toggle Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumiKeberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslimMemakmurkan masjid, kewajiban kita bersamaAmalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjidPertama, memperbanyak langkah menuju masjid.Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu.Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid.Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Bulan Ramadan sebentar lagi datang mengunjungi kita. Bulan penuh kemuliaan dan keutamaan. Di dalamnya, kaum muslimin berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Masjid-masjid yang biasanya sepi menjadi ramai di bulan tersebut. Saudaraku yang dimuliakan Allah Ta’ala, sebelum bulan penuh kemuliaan ini datang menghampiri, hendaknya masing-masing dari kita menumbuhkan kembali kesadaran dan kecintaan kita untuk meramaikan dan memakmurkan masjid-masjid dan rumah Allah Ta’ala. Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumi Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya tempat yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah adalah masjid yang kita gunakan untuk salat dan beribadah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا “Negeri (tempat) yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya, dan tempat yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Masjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Tempat yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Tempat berkumpulnya orang-orang mukmin dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18) Seorang mukmin berkewajiban menampakkan dan meninggikan (kemuliaan) masjid serta menghidupkannya. Ini berdasarkan firman Allah Azza Wajalla kepada kita semua, فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nur: 36) Allah Ta’ala memberikan ancaman yang sangat keras kepada siapa pun yang menghalangi hamba-hamba Allah dari beribadah di masjid. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 114) Keberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslim Masjid memiliki kedudukan penting bagi kaum muslimin. Di sanalah kaum muslimin melaksanakan salat lima waktu, beramal, dan menjalin hubungan sosial. Oleh karena itu, amal besar pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah adalah membangun masjid. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk membangun, menghidupkan, dan memakmurkan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أمَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ببناءِ المساجدِ في الدورِ، وأن تُنَظَّفَ وتُطَيَّبَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar masjid dibangun di perkampungan (tempat manusia banyak berkumpul), dibersihkan, dan diberi wewangian.” (HR. Abu Dawud no. 455, At-Tirmidzi no. 594, dan Ibnu Majah no. 754) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus bagi mereka yang membangun rumah Allah Ta’ala, مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا؛ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738, Imam Bukhari di dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir, 1: 332, dan Ibnu Khuzaimah no. 1292) Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Memakmurkan masjid, kewajiban kita bersama Di negara kita tercinta, alhamdulillah, masjid sudah banyak tersebar di berbagai daerah dan pelosok. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memakmurkan dan meramaikan masjid dalam rangka beribadah dan melaksanakan salat berjemaah. Padahal, wahai saudaraku sekalian, memakmurkan masjid memiliki urgensi lebih untuk kita berikan perhatian dan kita usahakan. Dalam syariat kita, laki-laki berkewajiban untuk melaksanakan salat berjemaah di masjid dan meramaikannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43) Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi mereka yang tidak berjemaah di masjid, padahal mampu untuk melaksanakannya. إنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ علَى المُنَافِقِينَ صَلَاةُ العِشَاءِ، وَصَلَاةُ الفَجْرِ، ولو يَعْلَمُونَ ما فِيهِما لأَتَوْهُما ولو حَبْوًا، وَلقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فيُصَلِّيَ بالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي برِجَالٍ معهُمْ حُزَمٌ مِن حَطَبٍ إلى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عليهم بُيُوتَهُمْ بالنَّارِ “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh. Kalau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat dalam kedua salat tersebut, mereka akan mendatanginya, walaupun dengan merangkak. Aku sangat ingin memerintahkan salat (dikerjakan), lalu dikumandangkan ikamah dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para jemaah. Sementara itu, aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut salat berjemaah dan membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651) Masjid adalah rumah Allah Ta’ala yang harus kita makmurkan dan kita ramaikan, baik itu dengan melaksanakan salat ataupun dengan membaca Al-Qur’an dan belajar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memberikan motivasi kepada kita semua, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ؛ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِم السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُم الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُم الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُم اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah–rumah Allah (masjid), membaca kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dinaungi oleh para malaikat, serta Allah akan menyebut–nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat dalam beramal, sungguh garis nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. Muslim no. 2699) Amalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjid Saudaraku sekalian, banyak sekali amalan-amalan yang dapat kita lakukan di masjid yang akan mendatangkan keutamaan bagi diri kita, baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Bertepatan dengan bulan Ramadan yang akan datang menghampiri kita, ada baiknya diri kita kembali membiasakan amalan-amalan yang kita sebutkan berikut ini dan kembali memakmurkan masjid-masjid yang ada. Sehingga, masjid-masjid yang begitu banyak tersebar di penjuru negeri, tidak hanya ramai di bulan Ramadan saja, namun juga ramai di bulan-bulan lainnya. Pertama, memperbanyak langkah menuju masjid. Jika lokasi masjid yang dekat dengan tempat tinggal kita masih mudah untuk kita akses dengan berjalan kaki, maka berjalanlah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَن تَطَهَّرَ في بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلى بَيْتٍ مَن بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِن فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إحْدَاهُما تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً. “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu akan menghapus kesalahan dan satunya lagi akan meninggikan derajat.”  (HR. Muslim no. 666) Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلاةُ الرَّجُلِ في جَماعةٍ تُضَعَّفُ عَلى صلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وفي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرينَ ضِعفًا، وذلكَ أَنَّهُ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلى المَسْجِدِ، لا يُخْرِجُه إِلَّا الصَّلاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوةً إِلَّا رُفِعَتْ لَه بهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْه بهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذا صَلى لَمْ تَزَلِ المَلائِكَة تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ في مُصَلَّاه، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارحَمْهُ. وَلا يَزَالُ في صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ “Salatnya seorang lelaki dengan berjemaah itu dilipatgandakan pahalanya melebihi salatnya di rumahnya secara sendirian (munfarid) atau di pasarnya dengan dua puluh lima kali lipatnya. Yang sedemikian itu dikarenakan apabila seseorang berwudu lalu memperbagusi cara wudunya, kemudian keluar ke masjid, sedang tidak ada yang menyebabkan keluarnya itu, melainkan karena hendak melaksanakan salat, maka tidaklah ia melangkah sekali langkah, melainkan dinaikkanlah untuknya sederajat dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Selanjutnya apabila ia salat, maka para malaikat akan senantiasa mendoakan untuknya supaya ia memperoleh rahmat dan kasih sayang Allah, selama dirinya masih tetap berada di tempat salatnya dan ia tidak berhadas. Ucapan malaikat itu ialah, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia.’ Seorang hamba akan dianggap dan diberikan pahala layaknya berada di dalam salat, selama ia menantikan salat berjemaah.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649) Ada keutamaan yang besar juga bagi mereka yang mau bergegas dan pergi ke masjid di kegelapan malam, baik itu untuk melaksanakan salat Isya ataupun salat Subuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بشِّرِ المشَّائينَ في الظُّلَمِ إلى المساجدِ بالنُّورِ التَّامِّ يومَ القيامةَ “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid di kegelapan malam bahwa mereka akan mendapat cahaya yang sempurna kelak di hari kiamat”.  (HR. Abu Dawud no. 561) Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid. Berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat jumat memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا “Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi, lalu dirinya juga mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khotbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya, dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 345) Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, خَرَجَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَنَحْنُ في الصُّفَّةِ، فَقالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَومٍ إلى بُطْحَانَ، أَوْ إلى العَقِيقِ، فَيَأْتِيَ منه بنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ في غيرِ إثْمٍ، وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، نُحِبُّ ذلكَ، قالَ: أَفلا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إلى المَسْجِدِ فَيَعْلَمُ، أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِن كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، خَيْرٌ له مِن نَاقَتَيْنِ، وَثَلَاثٌ خَيْرٌ له مِن ثَلَاثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ له مِن أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الإبِلِ “Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Ṣuffah (tempat berteduhnya para fukara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buṭḥan atau ke ‘Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturahim?’ Kami pun menjawab, ‘Kami semua menyukai hal itu, wahai Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam.’ Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, tidaklah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah ‘Azza Wajalla, (melainkan itu) lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan setiap hitungannya dari unta tersebut.’” (HR. Muslim no. 803) Itulah wahai saudaraku, beberapa amalan yang apabila kita rutinkan akan membantu diri kita untuk dapat memakmurkan dan meramaikan rumah-rumah Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesitikamahan untuk terus datang ke masjid, menjadikan hati kita terikat dengan masjid, dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumiKeberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslimMemakmurkan masjid, kewajiban kita bersamaAmalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjidPertama, memperbanyak langkah menuju masjid.Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu.Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid.Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Bulan Ramadan sebentar lagi datang mengunjungi kita. Bulan penuh kemuliaan dan keutamaan. Di dalamnya, kaum muslimin berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Masjid-masjid yang biasanya sepi menjadi ramai di bulan tersebut. Saudaraku yang dimuliakan Allah Ta’ala, sebelum bulan penuh kemuliaan ini datang menghampiri, hendaknya masing-masing dari kita menumbuhkan kembali kesadaran dan kecintaan kita untuk meramaikan dan memakmurkan masjid-masjid dan rumah Allah Ta’ala. Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumi Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya tempat yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah adalah masjid yang kita gunakan untuk salat dan beribadah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا “Negeri (tempat) yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya, dan tempat yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Masjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Tempat yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Tempat berkumpulnya orang-orang mukmin dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18) Seorang mukmin berkewajiban menampakkan dan meninggikan (kemuliaan) masjid serta menghidupkannya. Ini berdasarkan firman Allah Azza Wajalla kepada kita semua, فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nur: 36) Allah Ta’ala memberikan ancaman yang sangat keras kepada siapa pun yang menghalangi hamba-hamba Allah dari beribadah di masjid. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 114) Keberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslim Masjid memiliki kedudukan penting bagi kaum muslimin. Di sanalah kaum muslimin melaksanakan salat lima waktu, beramal, dan menjalin hubungan sosial. Oleh karena itu, amal besar pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah adalah membangun masjid. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk membangun, menghidupkan, dan memakmurkan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أمَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ببناءِ المساجدِ في الدورِ، وأن تُنَظَّفَ وتُطَيَّبَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar masjid dibangun di perkampungan (tempat manusia banyak berkumpul), dibersihkan, dan diberi wewangian.” (HR. Abu Dawud no. 455, At-Tirmidzi no. 594, dan Ibnu Majah no. 754) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus bagi mereka yang membangun rumah Allah Ta’ala, مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا؛ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738, Imam Bukhari di dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir, 1: 332, dan Ibnu Khuzaimah no. 1292) Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Memakmurkan masjid, kewajiban kita bersama Di negara kita tercinta, alhamdulillah, masjid sudah banyak tersebar di berbagai daerah dan pelosok. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memakmurkan dan meramaikan masjid dalam rangka beribadah dan melaksanakan salat berjemaah. Padahal, wahai saudaraku sekalian, memakmurkan masjid memiliki urgensi lebih untuk kita berikan perhatian dan kita usahakan. Dalam syariat kita, laki-laki berkewajiban untuk melaksanakan salat berjemaah di masjid dan meramaikannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43) Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi mereka yang tidak berjemaah di masjid, padahal mampu untuk melaksanakannya. إنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ علَى المُنَافِقِينَ صَلَاةُ العِشَاءِ، وَصَلَاةُ الفَجْرِ، ولو يَعْلَمُونَ ما فِيهِما لأَتَوْهُما ولو حَبْوًا، وَلقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فيُصَلِّيَ بالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي برِجَالٍ معهُمْ حُزَمٌ مِن حَطَبٍ إلى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عليهم بُيُوتَهُمْ بالنَّارِ “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh. Kalau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat dalam kedua salat tersebut, mereka akan mendatanginya, walaupun dengan merangkak. Aku sangat ingin memerintahkan salat (dikerjakan), lalu dikumandangkan ikamah dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para jemaah. Sementara itu, aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut salat berjemaah dan membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651) Masjid adalah rumah Allah Ta’ala yang harus kita makmurkan dan kita ramaikan, baik itu dengan melaksanakan salat ataupun dengan membaca Al-Qur’an dan belajar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memberikan motivasi kepada kita semua, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ؛ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِم السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُم الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُم الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُم اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah–rumah Allah (masjid), membaca kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dinaungi oleh para malaikat, serta Allah akan menyebut–nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat dalam beramal, sungguh garis nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. Muslim no. 2699) Amalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjid Saudaraku sekalian, banyak sekali amalan-amalan yang dapat kita lakukan di masjid yang akan mendatangkan keutamaan bagi diri kita, baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Bertepatan dengan bulan Ramadan yang akan datang menghampiri kita, ada baiknya diri kita kembali membiasakan amalan-amalan yang kita sebutkan berikut ini dan kembali memakmurkan masjid-masjid yang ada. Sehingga, masjid-masjid yang begitu banyak tersebar di penjuru negeri, tidak hanya ramai di bulan Ramadan saja, namun juga ramai di bulan-bulan lainnya. Pertama, memperbanyak langkah menuju masjid. Jika lokasi masjid yang dekat dengan tempat tinggal kita masih mudah untuk kita akses dengan berjalan kaki, maka berjalanlah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَن تَطَهَّرَ في بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلى بَيْتٍ مَن بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِن فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إحْدَاهُما تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً. “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu akan menghapus kesalahan dan satunya lagi akan meninggikan derajat.”  (HR. Muslim no. 666) Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلاةُ الرَّجُلِ في جَماعةٍ تُضَعَّفُ عَلى صلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وفي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرينَ ضِعفًا، وذلكَ أَنَّهُ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلى المَسْجِدِ، لا يُخْرِجُه إِلَّا الصَّلاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوةً إِلَّا رُفِعَتْ لَه بهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْه بهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذا صَلى لَمْ تَزَلِ المَلائِكَة تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ في مُصَلَّاه، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارحَمْهُ. وَلا يَزَالُ في صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ “Salatnya seorang lelaki dengan berjemaah itu dilipatgandakan pahalanya melebihi salatnya di rumahnya secara sendirian (munfarid) atau di pasarnya dengan dua puluh lima kali lipatnya. Yang sedemikian itu dikarenakan apabila seseorang berwudu lalu memperbagusi cara wudunya, kemudian keluar ke masjid, sedang tidak ada yang menyebabkan keluarnya itu, melainkan karena hendak melaksanakan salat, maka tidaklah ia melangkah sekali langkah, melainkan dinaikkanlah untuknya sederajat dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Selanjutnya apabila ia salat, maka para malaikat akan senantiasa mendoakan untuknya supaya ia memperoleh rahmat dan kasih sayang Allah, selama dirinya masih tetap berada di tempat salatnya dan ia tidak berhadas. Ucapan malaikat itu ialah, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia.’ Seorang hamba akan dianggap dan diberikan pahala layaknya berada di dalam salat, selama ia menantikan salat berjemaah.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649) Ada keutamaan yang besar juga bagi mereka yang mau bergegas dan pergi ke masjid di kegelapan malam, baik itu untuk melaksanakan salat Isya ataupun salat Subuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بشِّرِ المشَّائينَ في الظُّلَمِ إلى المساجدِ بالنُّورِ التَّامِّ يومَ القيامةَ “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid di kegelapan malam bahwa mereka akan mendapat cahaya yang sempurna kelak di hari kiamat”.  (HR. Abu Dawud no. 561) Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid. Berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat jumat memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا “Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi, lalu dirinya juga mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khotbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya, dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 345) Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, خَرَجَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَنَحْنُ في الصُّفَّةِ، فَقالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَومٍ إلى بُطْحَانَ، أَوْ إلى العَقِيقِ، فَيَأْتِيَ منه بنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ في غيرِ إثْمٍ، وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، نُحِبُّ ذلكَ، قالَ: أَفلا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إلى المَسْجِدِ فَيَعْلَمُ، أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِن كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، خَيْرٌ له مِن نَاقَتَيْنِ، وَثَلَاثٌ خَيْرٌ له مِن ثَلَاثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ له مِن أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الإبِلِ “Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Ṣuffah (tempat berteduhnya para fukara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buṭḥan atau ke ‘Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturahim?’ Kami pun menjawab, ‘Kami semua menyukai hal itu, wahai Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam.’ Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, tidaklah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah ‘Azza Wajalla, (melainkan itu) lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan setiap hitungannya dari unta tersebut.’” (HR. Muslim no. 803) Itulah wahai saudaraku, beberapa amalan yang apabila kita rutinkan akan membantu diri kita untuk dapat memakmurkan dan meramaikan rumah-rumah Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesitikamahan untuk terus datang ke masjid, menjadikan hati kita terikat dengan masjid, dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumiKeberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslimMemakmurkan masjid, kewajiban kita bersamaAmalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjidPertama, memperbanyak langkah menuju masjid.Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu.Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid.Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Bulan Ramadan sebentar lagi datang mengunjungi kita. Bulan penuh kemuliaan dan keutamaan. Di dalamnya, kaum muslimin berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Masjid-masjid yang biasanya sepi menjadi ramai di bulan tersebut. Saudaraku yang dimuliakan Allah Ta’ala, sebelum bulan penuh kemuliaan ini datang menghampiri, hendaknya masing-masing dari kita menumbuhkan kembali kesadaran dan kecintaan kita untuk meramaikan dan memakmurkan masjid-masjid dan rumah Allah Ta’ala. Masjid adalah tempat paling mulia di muka bumi Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya tempat yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah adalah masjid yang kita gunakan untuk salat dan beribadah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا “Negeri (tempat) yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya, dan tempat yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Masjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Tempat yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Tempat berkumpulnya orang-orang mukmin dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18) Seorang mukmin berkewajiban menampakkan dan meninggikan (kemuliaan) masjid serta menghidupkannya. Ini berdasarkan firman Allah Azza Wajalla kepada kita semua, فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nur: 36) Allah Ta’ala memberikan ancaman yang sangat keras kepada siapa pun yang menghalangi hamba-hamba Allah dari beribadah di masjid. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 114) Keberadaan masjid adalah kebutuhan paling vital bagi masyarakat muslim Masjid memiliki kedudukan penting bagi kaum muslimin. Di sanalah kaum muslimin melaksanakan salat lima waktu, beramal, dan menjalin hubungan sosial. Oleh karena itu, amal besar pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah adalah membangun masjid. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk membangun, menghidupkan, dan memakmurkan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أمَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ببناءِ المساجدِ في الدورِ، وأن تُنَظَّفَ وتُطَيَّبَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar masjid dibangun di perkampungan (tempat manusia banyak berkumpul), dibersihkan, dan diberi wewangian.” (HR. Abu Dawud no. 455, At-Tirmidzi no. 594, dan Ibnu Majah no. 754) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus bagi mereka yang membangun rumah Allah Ta’ala, مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا؛ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738, Imam Bukhari di dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir, 1: 332, dan Ibnu Khuzaimah no. 1292) Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Memakmurkan masjid, kewajiban kita bersama Di negara kita tercinta, alhamdulillah, masjid sudah banyak tersebar di berbagai daerah dan pelosok. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memakmurkan dan meramaikan masjid dalam rangka beribadah dan melaksanakan salat berjemaah. Padahal, wahai saudaraku sekalian, memakmurkan masjid memiliki urgensi lebih untuk kita berikan perhatian dan kita usahakan. Dalam syariat kita, laki-laki berkewajiban untuk melaksanakan salat berjemaah di masjid dan meramaikannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43) Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi mereka yang tidak berjemaah di masjid, padahal mampu untuk melaksanakannya. إنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ علَى المُنَافِقِينَ صَلَاةُ العِشَاءِ، وَصَلَاةُ الفَجْرِ، ولو يَعْلَمُونَ ما فِيهِما لأَتَوْهُما ولو حَبْوًا، وَلقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فيُصَلِّيَ بالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي برِجَالٍ معهُمْ حُزَمٌ مِن حَطَبٍ إلى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عليهم بُيُوتَهُمْ بالنَّارِ “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh. Kalau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat dalam kedua salat tersebut, mereka akan mendatanginya, walaupun dengan merangkak. Aku sangat ingin memerintahkan salat (dikerjakan), lalu dikumandangkan ikamah dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para jemaah. Sementara itu, aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut salat berjemaah dan membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651) Masjid adalah rumah Allah Ta’ala yang harus kita makmurkan dan kita ramaikan, baik itu dengan melaksanakan salat ataupun dengan membaca Al-Qur’an dan belajar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memberikan motivasi kepada kita semua, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ؛ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِم السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُم الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُم الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُم اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah–rumah Allah (masjid), membaca kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dinaungi oleh para malaikat, serta Allah akan menyebut–nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat dalam beramal, sungguh garis nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. Muslim no. 2699) Amalan-amalan yang mendatangkan kemakmuran masjid Saudaraku sekalian, banyak sekali amalan-amalan yang dapat kita lakukan di masjid yang akan mendatangkan keutamaan bagi diri kita, baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Bertepatan dengan bulan Ramadan yang akan datang menghampiri kita, ada baiknya diri kita kembali membiasakan amalan-amalan yang kita sebutkan berikut ini dan kembali memakmurkan masjid-masjid yang ada. Sehingga, masjid-masjid yang begitu banyak tersebar di penjuru negeri, tidak hanya ramai di bulan Ramadan saja, namun juga ramai di bulan-bulan lainnya. Pertama, memperbanyak langkah menuju masjid. Jika lokasi masjid yang dekat dengan tempat tinggal kita masih mudah untuk kita akses dengan berjalan kaki, maka berjalanlah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَن تَطَهَّرَ في بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلى بَيْتٍ مَن بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِن فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إحْدَاهُما تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً. “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu akan menghapus kesalahan dan satunya lagi akan meninggikan derajat.”  (HR. Muslim no. 666) Kedua, bagi laki-laki, tanamkan di hatimu bahwa salat berjemaah di masjid adalah kewajiban yang akan mendatangkan keutamaan besar kepadamu. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلاةُ الرَّجُلِ في جَماعةٍ تُضَعَّفُ عَلى صلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وفي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرينَ ضِعفًا، وذلكَ أَنَّهُ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلى المَسْجِدِ، لا يُخْرِجُه إِلَّا الصَّلاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوةً إِلَّا رُفِعَتْ لَه بهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْه بهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذا صَلى لَمْ تَزَلِ المَلائِكَة تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ في مُصَلَّاه، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارحَمْهُ. وَلا يَزَالُ في صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ “Salatnya seorang lelaki dengan berjemaah itu dilipatgandakan pahalanya melebihi salatnya di rumahnya secara sendirian (munfarid) atau di pasarnya dengan dua puluh lima kali lipatnya. Yang sedemikian itu dikarenakan apabila seseorang berwudu lalu memperbagusi cara wudunya, kemudian keluar ke masjid, sedang tidak ada yang menyebabkan keluarnya itu, melainkan karena hendak melaksanakan salat, maka tidaklah ia melangkah sekali langkah, melainkan dinaikkanlah untuknya sederajat dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Selanjutnya apabila ia salat, maka para malaikat akan senantiasa mendoakan untuknya supaya ia memperoleh rahmat dan kasih sayang Allah, selama dirinya masih tetap berada di tempat salatnya dan ia tidak berhadas. Ucapan malaikat itu ialah, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia.’ Seorang hamba akan dianggap dan diberikan pahala layaknya berada di dalam salat, selama ia menantikan salat berjemaah.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649) Ada keutamaan yang besar juga bagi mereka yang mau bergegas dan pergi ke masjid di kegelapan malam, baik itu untuk melaksanakan salat Isya ataupun salat Subuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بشِّرِ المشَّائينَ في الظُّلَمِ إلى المساجدِ بالنُّورِ التَّامِّ يومَ القيامةَ “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid di kegelapan malam bahwa mereka akan mendapat cahaya yang sempurna kelak di hari kiamat”.  (HR. Abu Dawud no. 561) Ketiga, jangan tertinggal dari melaksanakan salat Jumat di masjid. Berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat jumat memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا “Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi, lalu dirinya juga mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khotbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya, dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 345) Keempat, belajar dan membaca Al-Qur’an di masjid Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, خَرَجَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَنَحْنُ في الصُّفَّةِ، فَقالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَومٍ إلى بُطْحَانَ، أَوْ إلى العَقِيقِ، فَيَأْتِيَ منه بنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ في غيرِ إثْمٍ، وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، نُحِبُّ ذلكَ، قالَ: أَفلا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إلى المَسْجِدِ فَيَعْلَمُ، أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِن كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، خَيْرٌ له مِن نَاقَتَيْنِ، وَثَلَاثٌ خَيْرٌ له مِن ثَلَاثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ له مِن أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الإبِلِ “Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Ṣuffah (tempat berteduhnya para fukara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buṭḥan atau ke ‘Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturahim?’ Kami pun menjawab, ‘Kami semua menyukai hal itu, wahai Rasulullah ṣhallallahu ‘alaihi wasallam.’ Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, tidaklah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah ‘Azza Wajalla, (melainkan itu) lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan setiap hitungannya dari unta tersebut.’” (HR. Muslim no. 803) Itulah wahai saudaraku, beberapa amalan yang apabila kita rutinkan akan membantu diri kita untuk dapat memakmurkan dan meramaikan rumah-rumah Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesitikamahan untuk terus datang ke masjid, menjadikan hati kita terikat dengan masjid, dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Ini Perkiraan Batas Usia Kita di Dunia, Ayo Waspada! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Usia rata-rata umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Usia umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi itu.” (HR. at-Tirmidzi) Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada usia 63 tahun. Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada usia 63 tahun. Umar bin Khattab juga wafat pada usia 63 tahun.” Mereka semua adalah manusia terbaik pada umat ini: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka semua meninggal dunia pada usia 63 tahun. Jadi usia rata-rata umat ini adalah antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit sekali yang melebihi itu. Sedikit sekali dari umat ini yang usianya lebih dari 70 tahun. Sebagaimana dikatakan bahwa orang berusia 70 tahun itu selalu diintai kematian. Oleh sebab itu, jika kamu mengamati keadaan masyarakat, akan kamu temui bahwa sedikit sekali orang yang melebihi usia 70 tahun, jika dibandingkan dengan yang telah wafat sebelum itu. Ini membenarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan sedikit sekali yang melebihi itu (70 tahun).” Juga ketika kita mengamati orang-orang pada usia antara 60 dan 70 tahun ini, kita dapati bahwa mereka sangat sedikit. Jika kamu ambil umur ini dan kamu bandingkan–tidak dengan masa akhirat–tapi bandingkan dengan waktu berdirinya manusia di Padang Mahsyar yang satu harinya setara dengan 50 ribu tahun. Berapa perbandingan 60 atau 70 tahun–atau bahkan 100 tahun–jika dibandingkan dengan 50 ribu tahun? Usia manusia sangat pendek. Maka, hendaklah ia manfaatkan dengan baik dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hal-hal yang bermanfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. ==== مُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَجَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَهَؤُلَاءِ هُمْ خِيَارُ الْأُمَّةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَكُلُّهُمْ مَاتَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَمُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ مَنْ يَجُوزُ السَّبْعِيْنَ قَلِيلٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَا يُقَالُ إِنَّ السَّبْعِيْنَ هِيَ مُعْتَرَكُ الْمَنَايَا وَلِذَلِكَ إِذَا نَظَرْتَ إِلَى الْمُجْتَمَعِ تَجِدُ أَنَّ مَنْ يَتَجَاوَزُ السَّبْعِيْنَ مُقَارَنَةً بِمَنْ يَمُوتُ قَبْلَهَا قَلِيلٌ فَهُوَ مِصْدَاقٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَإِذَا نَظَرْنَا لِهَذَا الْعُمُرِ يَعْنِي مِنْ سِتِّيْنَ إِلَى سَبْعِيْنَ سَنَةً قَلِيلٌ جِدًّا لَوْ أَخَذْتَ هَذَا الْعُمْرَ وَنَسَبْتَهُ فَقَطْ لَيْسَ لِلْآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِوُقُوفِ النَّاسِ فِي الْمَحْشَرِ فَإِنَّهُ يَوْمٌ مِقْدَارُهُ خَمْسُوْنَ أَلْفَ سَنَةٍ كَمْ نِسْبَةُ سِتِّيْنَ أَوْ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَوْ حَتَّى قُلْ مِئَةَ سَنَةٍ إِلَى خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ؟ عُمْرُ الْإِنْسَانِ قَصِيْرٌ فَيَنْبَغِي أَنْ يَغْتَنِمَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا يَنْفَعُهُ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ

Ini Perkiraan Batas Usia Kita di Dunia, Ayo Waspada! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Usia rata-rata umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Usia umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi itu.” (HR. at-Tirmidzi) Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada usia 63 tahun. Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada usia 63 tahun. Umar bin Khattab juga wafat pada usia 63 tahun.” Mereka semua adalah manusia terbaik pada umat ini: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka semua meninggal dunia pada usia 63 tahun. Jadi usia rata-rata umat ini adalah antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit sekali yang melebihi itu. Sedikit sekali dari umat ini yang usianya lebih dari 70 tahun. Sebagaimana dikatakan bahwa orang berusia 70 tahun itu selalu diintai kematian. Oleh sebab itu, jika kamu mengamati keadaan masyarakat, akan kamu temui bahwa sedikit sekali orang yang melebihi usia 70 tahun, jika dibandingkan dengan yang telah wafat sebelum itu. Ini membenarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan sedikit sekali yang melebihi itu (70 tahun).” Juga ketika kita mengamati orang-orang pada usia antara 60 dan 70 tahun ini, kita dapati bahwa mereka sangat sedikit. Jika kamu ambil umur ini dan kamu bandingkan–tidak dengan masa akhirat–tapi bandingkan dengan waktu berdirinya manusia di Padang Mahsyar yang satu harinya setara dengan 50 ribu tahun. Berapa perbandingan 60 atau 70 tahun–atau bahkan 100 tahun–jika dibandingkan dengan 50 ribu tahun? Usia manusia sangat pendek. Maka, hendaklah ia manfaatkan dengan baik dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hal-hal yang bermanfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. ==== مُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَجَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَهَؤُلَاءِ هُمْ خِيَارُ الْأُمَّةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَكُلُّهُمْ مَاتَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَمُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ مَنْ يَجُوزُ السَّبْعِيْنَ قَلِيلٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَا يُقَالُ إِنَّ السَّبْعِيْنَ هِيَ مُعْتَرَكُ الْمَنَايَا وَلِذَلِكَ إِذَا نَظَرْتَ إِلَى الْمُجْتَمَعِ تَجِدُ أَنَّ مَنْ يَتَجَاوَزُ السَّبْعِيْنَ مُقَارَنَةً بِمَنْ يَمُوتُ قَبْلَهَا قَلِيلٌ فَهُوَ مِصْدَاقٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَإِذَا نَظَرْنَا لِهَذَا الْعُمُرِ يَعْنِي مِنْ سِتِّيْنَ إِلَى سَبْعِيْنَ سَنَةً قَلِيلٌ جِدًّا لَوْ أَخَذْتَ هَذَا الْعُمْرَ وَنَسَبْتَهُ فَقَطْ لَيْسَ لِلْآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِوُقُوفِ النَّاسِ فِي الْمَحْشَرِ فَإِنَّهُ يَوْمٌ مِقْدَارُهُ خَمْسُوْنَ أَلْفَ سَنَةٍ كَمْ نِسْبَةُ سِتِّيْنَ أَوْ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَوْ حَتَّى قُلْ مِئَةَ سَنَةٍ إِلَى خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ؟ عُمْرُ الْإِنْسَانِ قَصِيْرٌ فَيَنْبَغِي أَنْ يَغْتَنِمَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا يَنْفَعُهُ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ
Usia rata-rata umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Usia umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi itu.” (HR. at-Tirmidzi) Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada usia 63 tahun. Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada usia 63 tahun. Umar bin Khattab juga wafat pada usia 63 tahun.” Mereka semua adalah manusia terbaik pada umat ini: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka semua meninggal dunia pada usia 63 tahun. Jadi usia rata-rata umat ini adalah antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit sekali yang melebihi itu. Sedikit sekali dari umat ini yang usianya lebih dari 70 tahun. Sebagaimana dikatakan bahwa orang berusia 70 tahun itu selalu diintai kematian. Oleh sebab itu, jika kamu mengamati keadaan masyarakat, akan kamu temui bahwa sedikit sekali orang yang melebihi usia 70 tahun, jika dibandingkan dengan yang telah wafat sebelum itu. Ini membenarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan sedikit sekali yang melebihi itu (70 tahun).” Juga ketika kita mengamati orang-orang pada usia antara 60 dan 70 tahun ini, kita dapati bahwa mereka sangat sedikit. Jika kamu ambil umur ini dan kamu bandingkan–tidak dengan masa akhirat–tapi bandingkan dengan waktu berdirinya manusia di Padang Mahsyar yang satu harinya setara dengan 50 ribu tahun. Berapa perbandingan 60 atau 70 tahun–atau bahkan 100 tahun–jika dibandingkan dengan 50 ribu tahun? Usia manusia sangat pendek. Maka, hendaklah ia manfaatkan dengan baik dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hal-hal yang bermanfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. ==== مُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَجَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَهَؤُلَاءِ هُمْ خِيَارُ الْأُمَّةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَكُلُّهُمْ مَاتَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَمُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ مَنْ يَجُوزُ السَّبْعِيْنَ قَلِيلٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَا يُقَالُ إِنَّ السَّبْعِيْنَ هِيَ مُعْتَرَكُ الْمَنَايَا وَلِذَلِكَ إِذَا نَظَرْتَ إِلَى الْمُجْتَمَعِ تَجِدُ أَنَّ مَنْ يَتَجَاوَزُ السَّبْعِيْنَ مُقَارَنَةً بِمَنْ يَمُوتُ قَبْلَهَا قَلِيلٌ فَهُوَ مِصْدَاقٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَإِذَا نَظَرْنَا لِهَذَا الْعُمُرِ يَعْنِي مِنْ سِتِّيْنَ إِلَى سَبْعِيْنَ سَنَةً قَلِيلٌ جِدًّا لَوْ أَخَذْتَ هَذَا الْعُمْرَ وَنَسَبْتَهُ فَقَطْ لَيْسَ لِلْآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِوُقُوفِ النَّاسِ فِي الْمَحْشَرِ فَإِنَّهُ يَوْمٌ مِقْدَارُهُ خَمْسُوْنَ أَلْفَ سَنَةٍ كَمْ نِسْبَةُ سِتِّيْنَ أَوْ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَوْ حَتَّى قُلْ مِئَةَ سَنَةٍ إِلَى خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ؟ عُمْرُ الْإِنْسَانِ قَصِيْرٌ فَيَنْبَغِي أَنْ يَغْتَنِمَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا يَنْفَعُهُ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ


Usia rata-rata umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Usia umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi itu.” (HR. at-Tirmidzi) Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada usia 63 tahun. Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada usia 63 tahun. Umar bin Khattab juga wafat pada usia 63 tahun.” Mereka semua adalah manusia terbaik pada umat ini: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka semua meninggal dunia pada usia 63 tahun. Jadi usia rata-rata umat ini adalah antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit sekali yang melebihi itu. Sedikit sekali dari umat ini yang usianya lebih dari 70 tahun. Sebagaimana dikatakan bahwa orang berusia 70 tahun itu selalu diintai kematian. Oleh sebab itu, jika kamu mengamati keadaan masyarakat, akan kamu temui bahwa sedikit sekali orang yang melebihi usia 70 tahun, jika dibandingkan dengan yang telah wafat sebelum itu. Ini membenarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan sedikit sekali yang melebihi itu (70 tahun).” Juga ketika kita mengamati orang-orang pada usia antara 60 dan 70 tahun ini, kita dapati bahwa mereka sangat sedikit. Jika kamu ambil umur ini dan kamu bandingkan–tidak dengan masa akhirat–tapi bandingkan dengan waktu berdirinya manusia di Padang Mahsyar yang satu harinya setara dengan 50 ribu tahun. Berapa perbandingan 60 atau 70 tahun–atau bahkan 100 tahun–jika dibandingkan dengan 50 ribu tahun? Usia manusia sangat pendek. Maka, hendaklah ia manfaatkan dengan baik dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hal-hal yang bermanfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. ==== مُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَجَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ وَقُبِضَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَهَؤُلَاءِ هُمْ خِيَارُ الْأُمَّةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَكُلُّهُمْ مَاتَ وَعُمْرُهُ ثَلَاثٌ وَسِتُّونَ فَمُتَوَسِّطُ أَعْمَارِ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ مَنْ يَجُوزُ السَّبْعِيْنَ قَلِيلٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَا يُقَالُ إِنَّ السَّبْعِيْنَ هِيَ مُعْتَرَكُ الْمَنَايَا وَلِذَلِكَ إِذَا نَظَرْتَ إِلَى الْمُجْتَمَعِ تَجِدُ أَنَّ مَنْ يَتَجَاوَزُ السَّبْعِيْنَ مُقَارَنَةً بِمَنْ يَمُوتُ قَبْلَهَا قَلِيلٌ فَهُوَ مِصْدَاقٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ وَإِذَا نَظَرْنَا لِهَذَا الْعُمُرِ يَعْنِي مِنْ سِتِّيْنَ إِلَى سَبْعِيْنَ سَنَةً قَلِيلٌ جِدًّا لَوْ أَخَذْتَ هَذَا الْعُمْرَ وَنَسَبْتَهُ فَقَطْ لَيْسَ لِلْآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِوُقُوفِ النَّاسِ فِي الْمَحْشَرِ فَإِنَّهُ يَوْمٌ مِقْدَارُهُ خَمْسُوْنَ أَلْفَ سَنَةٍ كَمْ نِسْبَةُ سِتِّيْنَ أَوْ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَوْ حَتَّى قُلْ مِئَةَ سَنَةٍ إِلَى خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ؟ عُمْرُ الْإِنْسَانِ قَصِيْرٌ فَيَنْبَغِي أَنْ يَغْتَنِمَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا يَنْفَعُهُ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Bukti secara logikaDalil penciptaanDalil keselarasan dan keseimbanganDalil refleksi diri manusiaDalil alam semestaDalil petunjuk dan arahan Bukti secara logika Pembahasan kali ini adalah tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran yang sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya yang sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum. Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika yang akan dibahas kali ini tetap berdasarkan dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” yang biasa digunakan oleh ahli filsafat ketika ingin membahas sebuah pembuktian, karena Allah dan segala yang berkaitan dengan-Nya adalah sesuatu yang harus kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman yang enam. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu keyakinan ataupun amalan akan mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor yang sesuai syariat). Perlu dipahami bersama pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, bahkan dalam narasi yang lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berlandaskan arahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika terkait eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya: Dalil penciptaan Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang mengadakannya, atau dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.” Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, bahkan anak kecil pun tahu akan hal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak kecil tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, lalu saat ia menanyakan siapa yang memukulnya, ia malah dijawab tidak ada seorang pun yang memukulnya. Anak kecil itu tentu spontan tidak akan percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu yang kecil, bagaimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil! Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui apabila mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka akan menjawab, يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟. “Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan akan unta, dan jejak kaki menunjukkan ada yang lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi yang terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan akan adanya Yang Mahalembut lagi Mahateliti?”[2] Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya, أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ “Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35) Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung gaya sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga bersifat retoris sebagai pertanyaan yang menggugah dan menuntut akal pikiran kita untuk berpikir mendalam. Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya yang menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, bahkan logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah yang menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada yang menciptakan mereka. Siapa yang mampu melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3] Dengan ayat yang pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada yang tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan harus ada yang menciptakannya, alam semesta yang megah ini, manusia dan makhluk lainnya yang begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar yang intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa yang berakal. Dalil keselarasan dan keseimbangan Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan yang ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan bentuk yang presisi, satu dengan makhluk lainnya yang selaras. Untuk itu, ada dua argumen yang menopang dalil logika ini: Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya. Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas yang merancangnya dengan cermat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala yang Allah ciptakan memiliki harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat detail dan sempurna, bahkan sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada manfaat dan hikmah keberadaannya. Itulah ciptaan Allah, yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi dan menyaingi barang secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya. Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, ketika dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk melihat dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya yang harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut (benar-benar) adalah hasil dari penciptaan yang Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi yang bisa melakukan penciptaan dengan sesempurna Allah? Di antara ayat-ayat yang menunjukkan tentang ini adalah, صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ  “(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88) ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7) لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ “Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7) Dalil refleksi diri manusia Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika yang pertama, dalil penciptaan, akan tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini karena Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengamati dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada penciptaan manusia. Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi bagaimana ia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas akan mengantarkan pada satu arti, yaitu adanya eksistensi Allah yang mengaturnya, dari penciptaannya yang sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala yang terjadi dan yang ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya. Berhujah dan berdalil atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, seperti pada ayat berikut, سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53) Allah menyebutkan bahwa Dia akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk yang mengantarkan pada kebenaran akan Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan, وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21) Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia bagaimana supaya mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya. Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan kemampuan manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan yang cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap anggota tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi yang ideal untuk memenuhi fungsi dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan akan kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4] Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan bagaimana ia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari yang awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana ia kemudian bisa memiliki anggota tubuh, bisa memiliki akal pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak akan mampu melakukan hal itu, mengubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, bagaimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu ia belum punya, masih sebatas prototype yang belum sempurna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas, siapa kalau bukan Allah Yang Mahakuasa yang melakukan ini? Dalil alam semesta Pada dasarnya, dalil ini masih termasuk ke dalam Dalil Penciptaan yang disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya. Di setiap ciptaan Allah, pastinya ada tanda-tanda yang pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, yang tidak ada seorang pun atau entitas apa pun yang bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta yang begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia yang begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia yang berakal diminta untuk merenungi dan mentadaburinya. Banyak sekali firman Allah yang mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan akan alam semesta, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190) Juga pada surah Yasin ayat 37-40, yang artinya, “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40) Dalil petunjuk dan arahan Menilik pada fenomena universal, yaitu setiap makhluk hidup memiliki apa yang disebut sebagai insting atau naluri yang membuatnya dapat bertahan hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu yang serta merta ada tanpa ada yang memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya yang mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan atau menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman, رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50) As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus arahan dari Allah ini bersifat universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk memiliki kecenderungan alami untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan, hewan yang tidak memiliki akal sekalipun diberi kemampuan naluriah yang memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah mengapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat, dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6] Itulah di antara dalil-dalil atau bukti serta argumen logika untuk membuktikan eksistensi Allah, atau sebagai penguat keimanan bagi kita selaku umat muslim yang sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun. Terakhir, tetap yang perlu digarisbawahi bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutama yang berhubungan dengan keyakinan dan ketuhanan, tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i, baik Al-Qur’an maupun hadis. Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah hal yang buruk dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan fenomena yang ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) dan juga makrokosmos (bumi, langit, dan semesta). Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika terkait eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang yang fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5: 358. [2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 1: 106. [3] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin, hal. 253. [4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7: 391. [5] As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 506. [6] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi ‘Ilm Al-Aqidah, 1: 130-140.

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Bukti secara logikaDalil penciptaanDalil keselarasan dan keseimbanganDalil refleksi diri manusiaDalil alam semestaDalil petunjuk dan arahan Bukti secara logika Pembahasan kali ini adalah tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran yang sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya yang sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum. Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika yang akan dibahas kali ini tetap berdasarkan dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” yang biasa digunakan oleh ahli filsafat ketika ingin membahas sebuah pembuktian, karena Allah dan segala yang berkaitan dengan-Nya adalah sesuatu yang harus kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman yang enam. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu keyakinan ataupun amalan akan mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor yang sesuai syariat). Perlu dipahami bersama pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, bahkan dalam narasi yang lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berlandaskan arahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika terkait eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya: Dalil penciptaan Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang mengadakannya, atau dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.” Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, bahkan anak kecil pun tahu akan hal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak kecil tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, lalu saat ia menanyakan siapa yang memukulnya, ia malah dijawab tidak ada seorang pun yang memukulnya. Anak kecil itu tentu spontan tidak akan percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu yang kecil, bagaimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil! Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui apabila mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka akan menjawab, يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟. “Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan akan unta, dan jejak kaki menunjukkan ada yang lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi yang terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan akan adanya Yang Mahalembut lagi Mahateliti?”[2] Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya, أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ “Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35) Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung gaya sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga bersifat retoris sebagai pertanyaan yang menggugah dan menuntut akal pikiran kita untuk berpikir mendalam. Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya yang menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, bahkan logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah yang menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada yang menciptakan mereka. Siapa yang mampu melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3] Dengan ayat yang pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada yang tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan harus ada yang menciptakannya, alam semesta yang megah ini, manusia dan makhluk lainnya yang begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar yang intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa yang berakal. Dalil keselarasan dan keseimbangan Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan yang ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan bentuk yang presisi, satu dengan makhluk lainnya yang selaras. Untuk itu, ada dua argumen yang menopang dalil logika ini: Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya. Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas yang merancangnya dengan cermat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala yang Allah ciptakan memiliki harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat detail dan sempurna, bahkan sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada manfaat dan hikmah keberadaannya. Itulah ciptaan Allah, yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi dan menyaingi barang secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya. Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, ketika dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk melihat dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya yang harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut (benar-benar) adalah hasil dari penciptaan yang Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi yang bisa melakukan penciptaan dengan sesempurna Allah? Di antara ayat-ayat yang menunjukkan tentang ini adalah, صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ  “(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88) ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7) لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ “Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7) Dalil refleksi diri manusia Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika yang pertama, dalil penciptaan, akan tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini karena Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengamati dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada penciptaan manusia. Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi bagaimana ia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas akan mengantarkan pada satu arti, yaitu adanya eksistensi Allah yang mengaturnya, dari penciptaannya yang sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala yang terjadi dan yang ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya. Berhujah dan berdalil atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, seperti pada ayat berikut, سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53) Allah menyebutkan bahwa Dia akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk yang mengantarkan pada kebenaran akan Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan, وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21) Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia bagaimana supaya mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya. Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan kemampuan manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan yang cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap anggota tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi yang ideal untuk memenuhi fungsi dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan akan kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4] Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan bagaimana ia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari yang awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana ia kemudian bisa memiliki anggota tubuh, bisa memiliki akal pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak akan mampu melakukan hal itu, mengubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, bagaimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu ia belum punya, masih sebatas prototype yang belum sempurna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas, siapa kalau bukan Allah Yang Mahakuasa yang melakukan ini? Dalil alam semesta Pada dasarnya, dalil ini masih termasuk ke dalam Dalil Penciptaan yang disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya. Di setiap ciptaan Allah, pastinya ada tanda-tanda yang pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, yang tidak ada seorang pun atau entitas apa pun yang bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta yang begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia yang begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia yang berakal diminta untuk merenungi dan mentadaburinya. Banyak sekali firman Allah yang mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan akan alam semesta, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190) Juga pada surah Yasin ayat 37-40, yang artinya, “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40) Dalil petunjuk dan arahan Menilik pada fenomena universal, yaitu setiap makhluk hidup memiliki apa yang disebut sebagai insting atau naluri yang membuatnya dapat bertahan hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu yang serta merta ada tanpa ada yang memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya yang mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan atau menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman, رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50) As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus arahan dari Allah ini bersifat universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk memiliki kecenderungan alami untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan, hewan yang tidak memiliki akal sekalipun diberi kemampuan naluriah yang memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah mengapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat, dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6] Itulah di antara dalil-dalil atau bukti serta argumen logika untuk membuktikan eksistensi Allah, atau sebagai penguat keimanan bagi kita selaku umat muslim yang sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun. Terakhir, tetap yang perlu digarisbawahi bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutama yang berhubungan dengan keyakinan dan ketuhanan, tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i, baik Al-Qur’an maupun hadis. Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah hal yang buruk dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan fenomena yang ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) dan juga makrokosmos (bumi, langit, dan semesta). Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika terkait eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang yang fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5: 358. [2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 1: 106. [3] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin, hal. 253. [4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7: 391. [5] As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 506. [6] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi ‘Ilm Al-Aqidah, 1: 130-140.
Daftar Isi Toggle Bukti secara logikaDalil penciptaanDalil keselarasan dan keseimbanganDalil refleksi diri manusiaDalil alam semestaDalil petunjuk dan arahan Bukti secara logika Pembahasan kali ini adalah tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran yang sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya yang sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum. Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika yang akan dibahas kali ini tetap berdasarkan dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” yang biasa digunakan oleh ahli filsafat ketika ingin membahas sebuah pembuktian, karena Allah dan segala yang berkaitan dengan-Nya adalah sesuatu yang harus kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman yang enam. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu keyakinan ataupun amalan akan mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor yang sesuai syariat). Perlu dipahami bersama pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, bahkan dalam narasi yang lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berlandaskan arahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika terkait eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya: Dalil penciptaan Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang mengadakannya, atau dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.” Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, bahkan anak kecil pun tahu akan hal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak kecil tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, lalu saat ia menanyakan siapa yang memukulnya, ia malah dijawab tidak ada seorang pun yang memukulnya. Anak kecil itu tentu spontan tidak akan percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu yang kecil, bagaimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil! Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui apabila mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka akan menjawab, يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟. “Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan akan unta, dan jejak kaki menunjukkan ada yang lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi yang terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan akan adanya Yang Mahalembut lagi Mahateliti?”[2] Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya, أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ “Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35) Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung gaya sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga bersifat retoris sebagai pertanyaan yang menggugah dan menuntut akal pikiran kita untuk berpikir mendalam. Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya yang menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, bahkan logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah yang menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada yang menciptakan mereka. Siapa yang mampu melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3] Dengan ayat yang pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada yang tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan harus ada yang menciptakannya, alam semesta yang megah ini, manusia dan makhluk lainnya yang begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar yang intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa yang berakal. Dalil keselarasan dan keseimbangan Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan yang ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan bentuk yang presisi, satu dengan makhluk lainnya yang selaras. Untuk itu, ada dua argumen yang menopang dalil logika ini: Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya. Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas yang merancangnya dengan cermat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala yang Allah ciptakan memiliki harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat detail dan sempurna, bahkan sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada manfaat dan hikmah keberadaannya. Itulah ciptaan Allah, yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi dan menyaingi barang secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya. Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, ketika dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk melihat dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya yang harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut (benar-benar) adalah hasil dari penciptaan yang Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi yang bisa melakukan penciptaan dengan sesempurna Allah? Di antara ayat-ayat yang menunjukkan tentang ini adalah, صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ  “(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88) ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7) لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ “Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7) Dalil refleksi diri manusia Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika yang pertama, dalil penciptaan, akan tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini karena Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengamati dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada penciptaan manusia. Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi bagaimana ia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas akan mengantarkan pada satu arti, yaitu adanya eksistensi Allah yang mengaturnya, dari penciptaannya yang sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala yang terjadi dan yang ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya. Berhujah dan berdalil atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, seperti pada ayat berikut, سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53) Allah menyebutkan bahwa Dia akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk yang mengantarkan pada kebenaran akan Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan, وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21) Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia bagaimana supaya mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya. Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan kemampuan manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan yang cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap anggota tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi yang ideal untuk memenuhi fungsi dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan akan kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4] Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan bagaimana ia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari yang awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana ia kemudian bisa memiliki anggota tubuh, bisa memiliki akal pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak akan mampu melakukan hal itu, mengubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, bagaimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu ia belum punya, masih sebatas prototype yang belum sempurna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas, siapa kalau bukan Allah Yang Mahakuasa yang melakukan ini? Dalil alam semesta Pada dasarnya, dalil ini masih termasuk ke dalam Dalil Penciptaan yang disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya. Di setiap ciptaan Allah, pastinya ada tanda-tanda yang pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, yang tidak ada seorang pun atau entitas apa pun yang bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta yang begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia yang begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia yang berakal diminta untuk merenungi dan mentadaburinya. Banyak sekali firman Allah yang mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan akan alam semesta, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190) Juga pada surah Yasin ayat 37-40, yang artinya, “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40) Dalil petunjuk dan arahan Menilik pada fenomena universal, yaitu setiap makhluk hidup memiliki apa yang disebut sebagai insting atau naluri yang membuatnya dapat bertahan hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu yang serta merta ada tanpa ada yang memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya yang mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan atau menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman, رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50) As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus arahan dari Allah ini bersifat universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk memiliki kecenderungan alami untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan, hewan yang tidak memiliki akal sekalipun diberi kemampuan naluriah yang memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah mengapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat, dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6] Itulah di antara dalil-dalil atau bukti serta argumen logika untuk membuktikan eksistensi Allah, atau sebagai penguat keimanan bagi kita selaku umat muslim yang sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun. Terakhir, tetap yang perlu digarisbawahi bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutama yang berhubungan dengan keyakinan dan ketuhanan, tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i, baik Al-Qur’an maupun hadis. Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah hal yang buruk dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan fenomena yang ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) dan juga makrokosmos (bumi, langit, dan semesta). Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika terkait eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang yang fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5: 358. [2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 1: 106. [3] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin, hal. 253. [4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7: 391. [5] As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 506. [6] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi ‘Ilm Al-Aqidah, 1: 130-140.


Daftar Isi Toggle Bukti secara logikaDalil penciptaanDalil keselarasan dan keseimbanganDalil refleksi diri manusiaDalil alam semestaDalil petunjuk dan arahan Bukti secara logika Pembahasan kali ini adalah tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran yang sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya yang sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum. Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika yang akan dibahas kali ini tetap berdasarkan dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” yang biasa digunakan oleh ahli filsafat ketika ingin membahas sebuah pembuktian, karena Allah dan segala yang berkaitan dengan-Nya adalah sesuatu yang harus kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman yang enam. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu keyakinan ataupun amalan akan mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor yang sesuai syariat). Perlu dipahami bersama pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, bahkan dalam narasi yang lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berlandaskan arahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika terkait eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya: Dalil penciptaan Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang mengadakannya, atau dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.” Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, bahkan anak kecil pun tahu akan hal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak kecil tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, lalu saat ia menanyakan siapa yang memukulnya, ia malah dijawab tidak ada seorang pun yang memukulnya. Anak kecil itu tentu spontan tidak akan percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu yang kecil, bagaimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil! Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui apabila mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka akan menjawab, يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟. “Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan akan unta, dan jejak kaki menunjukkan ada yang lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi yang terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan akan adanya Yang Mahalembut lagi Mahateliti?”[2] Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya, أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ “Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35) Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung gaya sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga bersifat retoris sebagai pertanyaan yang menggugah dan menuntut akal pikiran kita untuk berpikir mendalam. Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya yang menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, bahkan logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah yang menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada yang menciptakan mereka. Siapa yang mampu melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3] Dengan ayat yang pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada yang tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan harus ada yang menciptakannya, alam semesta yang megah ini, manusia dan makhluk lainnya yang begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar yang intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa yang berakal. Dalil keselarasan dan keseimbangan Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan yang ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan bentuk yang presisi, satu dengan makhluk lainnya yang selaras. Untuk itu, ada dua argumen yang menopang dalil logika ini: Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya. Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas yang merancangnya dengan cermat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala yang Allah ciptakan memiliki harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat detail dan sempurna, bahkan sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada manfaat dan hikmah keberadaannya. Itulah ciptaan Allah, yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi dan menyaingi barang secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya. Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, ketika dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk melihat dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya yang harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut (benar-benar) adalah hasil dari penciptaan yang Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi yang bisa melakukan penciptaan dengan sesempurna Allah? Di antara ayat-ayat yang menunjukkan tentang ini adalah, صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ  “(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88) ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7) لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ “Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7) Dalil refleksi diri manusia Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika yang pertama, dalil penciptaan, akan tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini karena Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengamati dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada penciptaan manusia. Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi bagaimana ia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas akan mengantarkan pada satu arti, yaitu adanya eksistensi Allah yang mengaturnya, dari penciptaannya yang sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala yang terjadi dan yang ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya. Berhujah dan berdalil atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, seperti pada ayat berikut, سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53) Allah menyebutkan bahwa Dia akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk yang mengantarkan pada kebenaran akan Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan, وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21) Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia bagaimana supaya mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya. Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan kemampuan manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan yang cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap anggota tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi yang ideal untuk memenuhi fungsi dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan akan kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4] Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan bagaimana ia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari yang awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana ia kemudian bisa memiliki anggota tubuh, bisa memiliki akal pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak akan mampu melakukan hal itu, mengubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, bagaimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu ia belum punya, masih sebatas prototype yang belum sempurna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas, siapa kalau bukan Allah Yang Mahakuasa yang melakukan ini? Dalil alam semesta Pada dasarnya, dalil ini masih termasuk ke dalam Dalil Penciptaan yang disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya. Di setiap ciptaan Allah, pastinya ada tanda-tanda yang pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, yang tidak ada seorang pun atau entitas apa pun yang bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta yang begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia yang begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia yang berakal diminta untuk merenungi dan mentadaburinya. Banyak sekali firman Allah yang mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan akan alam semesta, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190) Juga pada surah Yasin ayat 37-40, yang artinya, “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40) Dalil petunjuk dan arahan Menilik pada fenomena universal, yaitu setiap makhluk hidup memiliki apa yang disebut sebagai insting atau naluri yang membuatnya dapat bertahan hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu yang serta merta ada tanpa ada yang memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya yang mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan atau menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman, رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50) As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus arahan dari Allah ini bersifat universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk memiliki kecenderungan alami untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan, hewan yang tidak memiliki akal sekalipun diberi kemampuan naluriah yang memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah mengapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat, dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6] Itulah di antara dalil-dalil atau bukti serta argumen logika untuk membuktikan eksistensi Allah, atau sebagai penguat keimanan bagi kita selaku umat muslim yang sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun. Terakhir, tetap yang perlu digarisbawahi bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutama yang berhubungan dengan keyakinan dan ketuhanan, tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i, baik Al-Qur’an maupun hadis. Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah hal yang buruk dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan fenomena yang ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) dan juga makrokosmos (bumi, langit, dan semesta). Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika terkait eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang yang fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5: 358. [2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 1: 106. [3] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin, hal. 253. [4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7: 391. [5] As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 506. [6] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi ‘Ilm Al-Aqidah, 1: 130-140.

Perhatikan Sepenuh Hati Jika Ada Seruan Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ini juga seruan dari Allah yang berdasarkan iman. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ucapannya: “Jika kamu mendengar Allah berfirman: ‘Hai orang-orang beriman!’ maka siagakanlah pendengaranmu! Karena, bisa jadi itu adalah perintah untuk berbuat kebaikan, atau bisa jadi itu adalah larangan dari perbuatan buruk.” Juga, apabila seorang insan mendengar seruan ini, hendaklah ia meresapi beberapa perkara berikut: Pertama: siapakah yang diseru? Siapa, wahai saudara-saudara? Siapa yang diseru? Orang yang beriman. Kedua: Apa yang dijadikan seruan? Keimanan. Ketiga: perihal apa yang diserukan? Tergantung apa yang disebutkan setelahnya. Di sini adalah: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa!” Keempat: Siapa yang menyeru? Allah Tuhan semesta alam, saudara-saudara! Saudara-saudaraku! Salah seorang dari kita seandainya dipanggil oleh orang besar. Seperti direktur di tempat kerjanya dan lain sebagainya, maka ia pasti akan segera menoleh dan mendengarkannya baik-baik dengan kedua telinganya dan sepenuh hatinya. Sedangkan yang menyeru di sini adalah Tuhan kita, Tuhan langit dan bumi. Lebih dari itu, Allah tidak menyeru kita kecuali kepada perihal yang mengandung kebaikan, kemaslahatan, dan keberuntungan bagi kita. ==== هَذَا نِدَاءٌ أَيْضًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوْلُهُ إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا فَارْعِهَا سَمْعَكَ فَإِمَّا خَيْرًا تُؤْمَرُ بِهِ وَإِمَّا شَرًّا تُنْهَى عَنْهُ وَعِنْدَمَا يَمُرُّ بِالْإِنْسَانِ مَا يَكُونُ هَذَا النِّدَاءُ يَسْتَشْعِرُ الْإِنْسَانُ أُمُورًا الْأَوَّلُ مَنِ الْمُنَادَى؟ نَعَمْ يَا إِخْوَانُ مَنِ الْمُنَادَى؟ الْمُؤْمِنُ الثَّانِي مَا الْمُنَادَى بِهِ؟ الْإِيْمَانُ الثَّالِثُ مَا الْمُنَادَى إِلَيْهِ؟ مَا يَكُونُ بَعْدَهُ اِتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ هُنَا الرَّابِعُ مَنِ الْمُنَادِي؟ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ يَا إِخْوَةُ وَاحِدٌ مِنَّا لَوْ نَادَاهُ يَا إِخْوَانِي كَبِيْرٌ مُدِيْرُهُ فِي عَمَلِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْتَفَتَ إِلَيْهِ وَأَصْغَى بِأُذُنَيْهِ وَبِقَلْبِهِ وَالْمُنَادِي هُنَا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ لَا يُنَادِيْنَا إِلَّا إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُنَا وَصَلَاحُنَا وَفَلَاحُنَا

Perhatikan Sepenuh Hati Jika Ada Seruan Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ini juga seruan dari Allah yang berdasarkan iman. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ucapannya: “Jika kamu mendengar Allah berfirman: ‘Hai orang-orang beriman!’ maka siagakanlah pendengaranmu! Karena, bisa jadi itu adalah perintah untuk berbuat kebaikan, atau bisa jadi itu adalah larangan dari perbuatan buruk.” Juga, apabila seorang insan mendengar seruan ini, hendaklah ia meresapi beberapa perkara berikut: Pertama: siapakah yang diseru? Siapa, wahai saudara-saudara? Siapa yang diseru? Orang yang beriman. Kedua: Apa yang dijadikan seruan? Keimanan. Ketiga: perihal apa yang diserukan? Tergantung apa yang disebutkan setelahnya. Di sini adalah: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa!” Keempat: Siapa yang menyeru? Allah Tuhan semesta alam, saudara-saudara! Saudara-saudaraku! Salah seorang dari kita seandainya dipanggil oleh orang besar. Seperti direktur di tempat kerjanya dan lain sebagainya, maka ia pasti akan segera menoleh dan mendengarkannya baik-baik dengan kedua telinganya dan sepenuh hatinya. Sedangkan yang menyeru di sini adalah Tuhan kita, Tuhan langit dan bumi. Lebih dari itu, Allah tidak menyeru kita kecuali kepada perihal yang mengandung kebaikan, kemaslahatan, dan keberuntungan bagi kita. ==== هَذَا نِدَاءٌ أَيْضًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوْلُهُ إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا فَارْعِهَا سَمْعَكَ فَإِمَّا خَيْرًا تُؤْمَرُ بِهِ وَإِمَّا شَرًّا تُنْهَى عَنْهُ وَعِنْدَمَا يَمُرُّ بِالْإِنْسَانِ مَا يَكُونُ هَذَا النِّدَاءُ يَسْتَشْعِرُ الْإِنْسَانُ أُمُورًا الْأَوَّلُ مَنِ الْمُنَادَى؟ نَعَمْ يَا إِخْوَانُ مَنِ الْمُنَادَى؟ الْمُؤْمِنُ الثَّانِي مَا الْمُنَادَى بِهِ؟ الْإِيْمَانُ الثَّالِثُ مَا الْمُنَادَى إِلَيْهِ؟ مَا يَكُونُ بَعْدَهُ اِتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ هُنَا الرَّابِعُ مَنِ الْمُنَادِي؟ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ يَا إِخْوَةُ وَاحِدٌ مِنَّا لَوْ نَادَاهُ يَا إِخْوَانِي كَبِيْرٌ مُدِيْرُهُ فِي عَمَلِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْتَفَتَ إِلَيْهِ وَأَصْغَى بِأُذُنَيْهِ وَبِقَلْبِهِ وَالْمُنَادِي هُنَا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ لَا يُنَادِيْنَا إِلَّا إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُنَا وَصَلَاحُنَا وَفَلَاحُنَا
Ini juga seruan dari Allah yang berdasarkan iman. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ucapannya: “Jika kamu mendengar Allah berfirman: ‘Hai orang-orang beriman!’ maka siagakanlah pendengaranmu! Karena, bisa jadi itu adalah perintah untuk berbuat kebaikan, atau bisa jadi itu adalah larangan dari perbuatan buruk.” Juga, apabila seorang insan mendengar seruan ini, hendaklah ia meresapi beberapa perkara berikut: Pertama: siapakah yang diseru? Siapa, wahai saudara-saudara? Siapa yang diseru? Orang yang beriman. Kedua: Apa yang dijadikan seruan? Keimanan. Ketiga: perihal apa yang diserukan? Tergantung apa yang disebutkan setelahnya. Di sini adalah: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa!” Keempat: Siapa yang menyeru? Allah Tuhan semesta alam, saudara-saudara! Saudara-saudaraku! Salah seorang dari kita seandainya dipanggil oleh orang besar. Seperti direktur di tempat kerjanya dan lain sebagainya, maka ia pasti akan segera menoleh dan mendengarkannya baik-baik dengan kedua telinganya dan sepenuh hatinya. Sedangkan yang menyeru di sini adalah Tuhan kita, Tuhan langit dan bumi. Lebih dari itu, Allah tidak menyeru kita kecuali kepada perihal yang mengandung kebaikan, kemaslahatan, dan keberuntungan bagi kita. ==== هَذَا نِدَاءٌ أَيْضًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوْلُهُ إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا فَارْعِهَا سَمْعَكَ فَإِمَّا خَيْرًا تُؤْمَرُ بِهِ وَإِمَّا شَرًّا تُنْهَى عَنْهُ وَعِنْدَمَا يَمُرُّ بِالْإِنْسَانِ مَا يَكُونُ هَذَا النِّدَاءُ يَسْتَشْعِرُ الْإِنْسَانُ أُمُورًا الْأَوَّلُ مَنِ الْمُنَادَى؟ نَعَمْ يَا إِخْوَانُ مَنِ الْمُنَادَى؟ الْمُؤْمِنُ الثَّانِي مَا الْمُنَادَى بِهِ؟ الْإِيْمَانُ الثَّالِثُ مَا الْمُنَادَى إِلَيْهِ؟ مَا يَكُونُ بَعْدَهُ اِتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ هُنَا الرَّابِعُ مَنِ الْمُنَادِي؟ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ يَا إِخْوَةُ وَاحِدٌ مِنَّا لَوْ نَادَاهُ يَا إِخْوَانِي كَبِيْرٌ مُدِيْرُهُ فِي عَمَلِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْتَفَتَ إِلَيْهِ وَأَصْغَى بِأُذُنَيْهِ وَبِقَلْبِهِ وَالْمُنَادِي هُنَا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ لَا يُنَادِيْنَا إِلَّا إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُنَا وَصَلَاحُنَا وَفَلَاحُنَا


Ini juga seruan dari Allah yang berdasarkan iman. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ucapannya: “Jika kamu mendengar Allah berfirman: ‘Hai orang-orang beriman!’ maka siagakanlah pendengaranmu! Karena, bisa jadi itu adalah perintah untuk berbuat kebaikan, atau bisa jadi itu adalah larangan dari perbuatan buruk.” Juga, apabila seorang insan mendengar seruan ini, hendaklah ia meresapi beberapa perkara berikut: Pertama: siapakah yang diseru? Siapa, wahai saudara-saudara? Siapa yang diseru? Orang yang beriman. Kedua: Apa yang dijadikan seruan? Keimanan. Ketiga: perihal apa yang diserukan? Tergantung apa yang disebutkan setelahnya. Di sini adalah: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa!” Keempat: Siapa yang menyeru? Allah Tuhan semesta alam, saudara-saudara! Saudara-saudaraku! Salah seorang dari kita seandainya dipanggil oleh orang besar. Seperti direktur di tempat kerjanya dan lain sebagainya, maka ia pasti akan segera menoleh dan mendengarkannya baik-baik dengan kedua telinganya dan sepenuh hatinya. Sedangkan yang menyeru di sini adalah Tuhan kita, Tuhan langit dan bumi. Lebih dari itu, Allah tidak menyeru kita kecuali kepada perihal yang mengandung kebaikan, kemaslahatan, dan keberuntungan bagi kita. ==== هَذَا نِدَاءٌ أَيْضًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوْلُهُ إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا فَارْعِهَا سَمْعَكَ فَإِمَّا خَيْرًا تُؤْمَرُ بِهِ وَإِمَّا شَرًّا تُنْهَى عَنْهُ وَعِنْدَمَا يَمُرُّ بِالْإِنْسَانِ مَا يَكُونُ هَذَا النِّدَاءُ يَسْتَشْعِرُ الْإِنْسَانُ أُمُورًا الْأَوَّلُ مَنِ الْمُنَادَى؟ نَعَمْ يَا إِخْوَانُ مَنِ الْمُنَادَى؟ الْمُؤْمِنُ الثَّانِي مَا الْمُنَادَى بِهِ؟ الْإِيْمَانُ الثَّالِثُ مَا الْمُنَادَى إِلَيْهِ؟ مَا يَكُونُ بَعْدَهُ اِتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ هُنَا الرَّابِعُ مَنِ الْمُنَادِي؟ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ يَا إِخْوَةُ وَاحِدٌ مِنَّا لَوْ نَادَاهُ يَا إِخْوَانِي كَبِيْرٌ مُدِيْرُهُ فِي عَمَلِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْتَفَتَ إِلَيْهِ وَأَصْغَى بِأُذُنَيْهِ وَبِقَلْبِهِ وَالْمُنَادِي هُنَا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ لَا يُنَادِيْنَا إِلَّا إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُنَا وَصَلَاحُنَا وَفَلَاحُنَا

Zikir untuk Membentengi Anak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Ummu Anas bertanya: “Untuk anak kecil yang berumur satu, dua, atau tiga tahun, bagaimana membentenginya dengan zikir?” Jawaban: Anak kecil secara umum, tidak hanya berumur satu, dua, atau tiga tahun, bahkan yang lebih besar dari itu, dapat dibentengi dengan zikir yang dulu dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi al-Hasan dan al-Husain. Di antaranya adalah dengan mengatakan kepada anak-anaknya: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Bisa juga membaca: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbahaya, dan segala mata yang jahat). Jika dibaca keduanya, itu lebih baik. Ini dibaca bersama dengan zikir-zikir pagi dan petang. Bisa juga membaca: A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Lalu membaca: U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan segala mata yang jahat). U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Maka, membentengi anak-anak dilakukan dengan membaca zikir perlindungan ini, yaitu dengan meminta perlindungan kepada Allah dan dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna dari segala kejahatan makhluk. Lalu jika ia ingin menyebutkan keburukan-keburukan tertentu, maka itu juga dibolehkan. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai jenis keburukan: “Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan dari segala mata yang jahat.” Yaitu tatapan mata yang hasad. Juga dari serangga-serangga, serta setan-setan. Inilah zikir perlindungan, dengan mengucapkan: “Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan Allah atau kalimat-kalimat Allah… dari ini dan itu…” Atau mengatakan: “Ya Allah jauhkanlah mereka dari keburukan si Fulan” dengan menyebutkan nama orang-orang tertentu? Itu tidak mengapa jika ia mengetahui bahwa si Fulan ingin mencelakakan mereka dan seterusnya, ia berdoa kepada Allah agar menjauhkan mereka dari keburukannya. Atau mengucapkan: “Ya Allah lindungilah mereka dari keburukan makhluk-Mu.” Atau: “Ya Allah lindungi mereka dari keburukan setan dari golongan jin dan manusia.” Dan seterusnya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda. ==== أُمُّ أَنَسٍ تَسْأَلُ تَقُولُ بِالنِّسْبَةِ لِلطِّفْلِ الصَّغِيْرِ الَّذِي فِي حُدُودِ السَّنَةِ أَوِ السَّنَتَيْنِ أَوِ الثَّلَاثِ كَيْفَ نُحَصِّنُهُ بِالْأَذْكَارِ؟ الْأَطْفَالُ عُمُومًا بَلْ حَتَّى لَيْسَ بِالسَّنَةِ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثِ حَتَّى وَإِنْ كَانُوا أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ يُحَصَّنُونَ بِمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَصِّنُ بِهِ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ لِأَوْلَادِهِ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أَوْ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَفْضَلُ وَيَجْعَلُ هَذَا مَعَ أَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ وَيَتَعَوَّذُ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ يَقُولُ أُعِيْذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَهَذَا يَكُونُ التَّحْصِيْنُ بِهَذَا بِالتَّعْوِيْذِ بِأَنْ يُعِيْذَهُمْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَكَلِمَاتِهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُسَمِّيَ أَيْضًا شُرُورًا مُعَيَّنَةً فَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ يَعْنِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ جَعَلَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى أَنْوَاعًا مِنَ الشُّرُورِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ يَعْنِي الْعَيْنَ الْحَاسِدَةَ وَالْهَوَامُّ الْحَشَرَاتُ وَالشَّيَاطِيْنُ فَهَذَا هُوَ التَّعْوِيْذُ يَقُولُ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَذَا أُعِيذُ أَوْلَادِي بِاللَّهِ أَوْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ مِنْ كَذَا أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شَرَّ فُلَانٍ مَثَلًا يُسَمِّي أَشْخَاصًا مُعَيَّنِيْنَ لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ يَعْرِفُ بِأَنَّ فُلَانًا يَتَرَبَّصُ بِهِمْ وَأَنَّهُ كَذَا يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِأَنْ يَكْفِيَهُمْ شَرَّهُ أَوْ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ خَلْقِكَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ شَيَاطِيْنِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ

Zikir untuk Membentengi Anak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Ummu Anas bertanya: “Untuk anak kecil yang berumur satu, dua, atau tiga tahun, bagaimana membentenginya dengan zikir?” Jawaban: Anak kecil secara umum, tidak hanya berumur satu, dua, atau tiga tahun, bahkan yang lebih besar dari itu, dapat dibentengi dengan zikir yang dulu dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi al-Hasan dan al-Husain. Di antaranya adalah dengan mengatakan kepada anak-anaknya: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Bisa juga membaca: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbahaya, dan segala mata yang jahat). Jika dibaca keduanya, itu lebih baik. Ini dibaca bersama dengan zikir-zikir pagi dan petang. Bisa juga membaca: A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Lalu membaca: U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan segala mata yang jahat). U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Maka, membentengi anak-anak dilakukan dengan membaca zikir perlindungan ini, yaitu dengan meminta perlindungan kepada Allah dan dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna dari segala kejahatan makhluk. Lalu jika ia ingin menyebutkan keburukan-keburukan tertentu, maka itu juga dibolehkan. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai jenis keburukan: “Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan dari segala mata yang jahat.” Yaitu tatapan mata yang hasad. Juga dari serangga-serangga, serta setan-setan. Inilah zikir perlindungan, dengan mengucapkan: “Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan Allah atau kalimat-kalimat Allah… dari ini dan itu…” Atau mengatakan: “Ya Allah jauhkanlah mereka dari keburukan si Fulan” dengan menyebutkan nama orang-orang tertentu? Itu tidak mengapa jika ia mengetahui bahwa si Fulan ingin mencelakakan mereka dan seterusnya, ia berdoa kepada Allah agar menjauhkan mereka dari keburukannya. Atau mengucapkan: “Ya Allah lindungilah mereka dari keburukan makhluk-Mu.” Atau: “Ya Allah lindungi mereka dari keburukan setan dari golongan jin dan manusia.” Dan seterusnya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda. ==== أُمُّ أَنَسٍ تَسْأَلُ تَقُولُ بِالنِّسْبَةِ لِلطِّفْلِ الصَّغِيْرِ الَّذِي فِي حُدُودِ السَّنَةِ أَوِ السَّنَتَيْنِ أَوِ الثَّلَاثِ كَيْفَ نُحَصِّنُهُ بِالْأَذْكَارِ؟ الْأَطْفَالُ عُمُومًا بَلْ حَتَّى لَيْسَ بِالسَّنَةِ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثِ حَتَّى وَإِنْ كَانُوا أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ يُحَصَّنُونَ بِمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَصِّنُ بِهِ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ لِأَوْلَادِهِ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أَوْ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَفْضَلُ وَيَجْعَلُ هَذَا مَعَ أَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ وَيَتَعَوَّذُ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ يَقُولُ أُعِيْذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَهَذَا يَكُونُ التَّحْصِيْنُ بِهَذَا بِالتَّعْوِيْذِ بِأَنْ يُعِيْذَهُمْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَكَلِمَاتِهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُسَمِّيَ أَيْضًا شُرُورًا مُعَيَّنَةً فَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ يَعْنِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ جَعَلَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى أَنْوَاعًا مِنَ الشُّرُورِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ يَعْنِي الْعَيْنَ الْحَاسِدَةَ وَالْهَوَامُّ الْحَشَرَاتُ وَالشَّيَاطِيْنُ فَهَذَا هُوَ التَّعْوِيْذُ يَقُولُ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَذَا أُعِيذُ أَوْلَادِي بِاللَّهِ أَوْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ مِنْ كَذَا أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شَرَّ فُلَانٍ مَثَلًا يُسَمِّي أَشْخَاصًا مُعَيَّنِيْنَ لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ يَعْرِفُ بِأَنَّ فُلَانًا يَتَرَبَّصُ بِهِمْ وَأَنَّهُ كَذَا يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِأَنْ يَكْفِيَهُمْ شَرَّهُ أَوْ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ خَلْقِكَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ شَيَاطِيْنِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ
Pertanyaan: Ummu Anas bertanya: “Untuk anak kecil yang berumur satu, dua, atau tiga tahun, bagaimana membentenginya dengan zikir?” Jawaban: Anak kecil secara umum, tidak hanya berumur satu, dua, atau tiga tahun, bahkan yang lebih besar dari itu, dapat dibentengi dengan zikir yang dulu dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi al-Hasan dan al-Husain. Di antaranya adalah dengan mengatakan kepada anak-anaknya: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Bisa juga membaca: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbahaya, dan segala mata yang jahat). Jika dibaca keduanya, itu lebih baik. Ini dibaca bersama dengan zikir-zikir pagi dan petang. Bisa juga membaca: A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Lalu membaca: U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan segala mata yang jahat). U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Maka, membentengi anak-anak dilakukan dengan membaca zikir perlindungan ini, yaitu dengan meminta perlindungan kepada Allah dan dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna dari segala kejahatan makhluk. Lalu jika ia ingin menyebutkan keburukan-keburukan tertentu, maka itu juga dibolehkan. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai jenis keburukan: “Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan dari segala mata yang jahat.” Yaitu tatapan mata yang hasad. Juga dari serangga-serangga, serta setan-setan. Inilah zikir perlindungan, dengan mengucapkan: “Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan Allah atau kalimat-kalimat Allah… dari ini dan itu…” Atau mengatakan: “Ya Allah jauhkanlah mereka dari keburukan si Fulan” dengan menyebutkan nama orang-orang tertentu? Itu tidak mengapa jika ia mengetahui bahwa si Fulan ingin mencelakakan mereka dan seterusnya, ia berdoa kepada Allah agar menjauhkan mereka dari keburukannya. Atau mengucapkan: “Ya Allah lindungilah mereka dari keburukan makhluk-Mu.” Atau: “Ya Allah lindungi mereka dari keburukan setan dari golongan jin dan manusia.” Dan seterusnya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda. ==== أُمُّ أَنَسٍ تَسْأَلُ تَقُولُ بِالنِّسْبَةِ لِلطِّفْلِ الصَّغِيْرِ الَّذِي فِي حُدُودِ السَّنَةِ أَوِ السَّنَتَيْنِ أَوِ الثَّلَاثِ كَيْفَ نُحَصِّنُهُ بِالْأَذْكَارِ؟ الْأَطْفَالُ عُمُومًا بَلْ حَتَّى لَيْسَ بِالسَّنَةِ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثِ حَتَّى وَإِنْ كَانُوا أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ يُحَصَّنُونَ بِمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَصِّنُ بِهِ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ لِأَوْلَادِهِ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أَوْ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَفْضَلُ وَيَجْعَلُ هَذَا مَعَ أَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ وَيَتَعَوَّذُ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ يَقُولُ أُعِيْذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَهَذَا يَكُونُ التَّحْصِيْنُ بِهَذَا بِالتَّعْوِيْذِ بِأَنْ يُعِيْذَهُمْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَكَلِمَاتِهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُسَمِّيَ أَيْضًا شُرُورًا مُعَيَّنَةً فَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ يَعْنِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ جَعَلَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى أَنْوَاعًا مِنَ الشُّرُورِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ يَعْنِي الْعَيْنَ الْحَاسِدَةَ وَالْهَوَامُّ الْحَشَرَاتُ وَالشَّيَاطِيْنُ فَهَذَا هُوَ التَّعْوِيْذُ يَقُولُ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَذَا أُعِيذُ أَوْلَادِي بِاللَّهِ أَوْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ مِنْ كَذَا أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شَرَّ فُلَانٍ مَثَلًا يُسَمِّي أَشْخَاصًا مُعَيَّنِيْنَ لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ يَعْرِفُ بِأَنَّ فُلَانًا يَتَرَبَّصُ بِهِمْ وَأَنَّهُ كَذَا يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِأَنْ يَكْفِيَهُمْ شَرَّهُ أَوْ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ خَلْقِكَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ شَيَاطِيْنِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ


Pertanyaan: Ummu Anas bertanya: “Untuk anak kecil yang berumur satu, dua, atau tiga tahun, bagaimana membentenginya dengan zikir?” Jawaban: Anak kecil secara umum, tidak hanya berumur satu, dua, atau tiga tahun, bahkan yang lebih besar dari itu, dapat dibentengi dengan zikir yang dulu dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi al-Hasan dan al-Husain. Di antaranya adalah dengan mengatakan kepada anak-anaknya: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Bisa juga membaca: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbahaya, dan segala mata yang jahat). Jika dibaca keduanya, itu lebih baik. Ini dibaca bersama dengan zikir-zikir pagi dan petang. Bisa juga membaca: A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Lalu membaca: U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan segala mata yang jahat). U-’IIDZU AULAADII BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAAT, MIN SYARRI MAA KHOLAQ(Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk). Maka, membentengi anak-anak dilakukan dengan membaca zikir perlindungan ini, yaitu dengan meminta perlindungan kepada Allah dan dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna dari segala kejahatan makhluk. Lalu jika ia ingin menyebutkan keburukan-keburukan tertentu, maka itu juga dibolehkan. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai jenis keburukan: “Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang berbisa, dan dari segala mata yang jahat.” Yaitu tatapan mata yang hasad. Juga dari serangga-serangga, serta setan-setan. Inilah zikir perlindungan, dengan mengucapkan: “Aku memohon perlindungan untuk anak-anakku dengan Allah atau kalimat-kalimat Allah… dari ini dan itu…” Atau mengatakan: “Ya Allah jauhkanlah mereka dari keburukan si Fulan” dengan menyebutkan nama orang-orang tertentu? Itu tidak mengapa jika ia mengetahui bahwa si Fulan ingin mencelakakan mereka dan seterusnya, ia berdoa kepada Allah agar menjauhkan mereka dari keburukannya. Atau mengucapkan: “Ya Allah lindungilah mereka dari keburukan makhluk-Mu.” Atau: “Ya Allah lindungi mereka dari keburukan setan dari golongan jin dan manusia.” Dan seterusnya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda. ==== أُمُّ أَنَسٍ تَسْأَلُ تَقُولُ بِالنِّسْبَةِ لِلطِّفْلِ الصَّغِيْرِ الَّذِي فِي حُدُودِ السَّنَةِ أَوِ السَّنَتَيْنِ أَوِ الثَّلَاثِ كَيْفَ نُحَصِّنُهُ بِالْأَذْكَارِ؟ الْأَطْفَالُ عُمُومًا بَلْ حَتَّى لَيْسَ بِالسَّنَةِ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثِ حَتَّى وَإِنْ كَانُوا أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ يُحَصَّنُونَ بِمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَصِّنُ بِهِ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ لِأَوْلَادِهِ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أَوْ أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَفْضَلُ وَيَجْعَلُ هَذَا مَعَ أَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ وَيَتَعَوَّذُ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ يَقُولُ أُعِيْذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَهَذَا يَكُونُ التَّحْصِيْنُ بِهَذَا بِالتَّعْوِيْذِ بِأَنْ يُعِيْذَهُمْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَكَلِمَاتِهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُسَمِّيَ أَيْضًا شُرُورًا مُعَيَّنَةً فَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ يَعْنِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ جَعَلَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى أَنْوَاعًا مِنَ الشُّرُورِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ يَعْنِي الْعَيْنَ الْحَاسِدَةَ وَالْهَوَامُّ الْحَشَرَاتُ وَالشَّيَاطِيْنُ فَهَذَا هُوَ التَّعْوِيْذُ يَقُولُ أُعِيذُ أَوْلَادِي بِكَذَا أُعِيذُ أَوْلَادِي بِاللَّهِ أَوْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ مِنْ كَذَا أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شَرَّ فُلَانٍ مَثَلًا يُسَمِّي أَشْخَاصًا مُعَيَّنِيْنَ لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ يَعْرِفُ بِأَنَّ فُلَانًا يَتَرَبَّصُ بِهِمْ وَأَنَّهُ كَذَا يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِأَنْ يَكْفِيَهُمْ شَرَّهُ أَوْ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ خَلْقِكَ اللَّهُمَّ اكْفِهِمْ شِرَارَ شَيَاطِيْنِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ

Biografi Ringkas Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Sifat fisikAkhlak dan sifat-sifatnyaKeutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskinKedermawanannyaKe-wara’-annyaKecerdasannyaTawadhu‘ dan tidak sombongPengangkatannya sebagai pengajarWafatPerkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Sifat fisik Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.” [1] Al-Hafiz Al-Bazzar berkata, “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.” [2] Akhlak dan sifat-sifatnya Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah: Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut. [3] Kedermawanannya Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya. [4] Ke-wara’-annya Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5] Kecerdasannya Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya. [6] Tawadhu‘ dan tidak sombong Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya. [7] Pengangkatannya sebagai pengajar Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu. Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.” [8] Wafat Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya. Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih. Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya. Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat. Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat. Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah, إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” [9] Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia. Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya. Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!'” [10] Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.” [11] [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Gazzeta Raka Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al Bidayah wa An Nihayah, 14137. [2] Imam Abdi Al-Hadi, Al- ‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 294. [3] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A‘lam Al‘Aliyyah, hal. 85. [4] Ibid, hlm. 59-61 dengan perubahan dan diringkas. [5] Op.cit, hlm. 41. [6] Ibid, hlm. 53-58. [7] Ibid, hlm. 48. [8] Imam Ibnu Al-Waridi dalam kitabnya Tatimmu Al Mukhtashar, hal. 408 dengan perubahan. [9] QS. Al-Qamar: 54-55. [10] Al Imam Mar’iy Al-Karamiy, Al-Kawakib Addurriyyah, hal. 56. [11] Ibid, hal. 62.

Biografi Ringkas Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Sifat fisikAkhlak dan sifat-sifatnyaKeutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskinKedermawanannyaKe-wara’-annyaKecerdasannyaTawadhu‘ dan tidak sombongPengangkatannya sebagai pengajarWafatPerkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Sifat fisik Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.” [1] Al-Hafiz Al-Bazzar berkata, “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.” [2] Akhlak dan sifat-sifatnya Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah: Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut. [3] Kedermawanannya Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya. [4] Ke-wara’-annya Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5] Kecerdasannya Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya. [6] Tawadhu‘ dan tidak sombong Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya. [7] Pengangkatannya sebagai pengajar Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu. Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.” [8] Wafat Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya. Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih. Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya. Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat. Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat. Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah, إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” [9] Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia. Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya. Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!'” [10] Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.” [11] [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Gazzeta Raka Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al Bidayah wa An Nihayah, 14137. [2] Imam Abdi Al-Hadi, Al- ‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 294. [3] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A‘lam Al‘Aliyyah, hal. 85. [4] Ibid, hlm. 59-61 dengan perubahan dan diringkas. [5] Op.cit, hlm. 41. [6] Ibid, hlm. 53-58. [7] Ibid, hlm. 48. [8] Imam Ibnu Al-Waridi dalam kitabnya Tatimmu Al Mukhtashar, hal. 408 dengan perubahan. [9] QS. Al-Qamar: 54-55. [10] Al Imam Mar’iy Al-Karamiy, Al-Kawakib Addurriyyah, hal. 56. [11] Ibid, hal. 62.
Daftar Isi Toggle Sifat fisikAkhlak dan sifat-sifatnyaKeutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskinKedermawanannyaKe-wara’-annyaKecerdasannyaTawadhu‘ dan tidak sombongPengangkatannya sebagai pengajarWafatPerkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Sifat fisik Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.” [1] Al-Hafiz Al-Bazzar berkata, “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.” [2] Akhlak dan sifat-sifatnya Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah: Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut. [3] Kedermawanannya Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya. [4] Ke-wara’-annya Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5] Kecerdasannya Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya. [6] Tawadhu‘ dan tidak sombong Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya. [7] Pengangkatannya sebagai pengajar Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu. Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.” [8] Wafat Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya. Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih. Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya. Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat. Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat. Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah, إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” [9] Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia. Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya. Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!'” [10] Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.” [11] [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Gazzeta Raka Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al Bidayah wa An Nihayah, 14137. [2] Imam Abdi Al-Hadi, Al- ‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 294. [3] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A‘lam Al‘Aliyyah, hal. 85. [4] Ibid, hlm. 59-61 dengan perubahan dan diringkas. [5] Op.cit, hlm. 41. [6] Ibid, hlm. 53-58. [7] Ibid, hlm. 48. [8] Imam Ibnu Al-Waridi dalam kitabnya Tatimmu Al Mukhtashar, hal. 408 dengan perubahan. [9] QS. Al-Qamar: 54-55. [10] Al Imam Mar’iy Al-Karamiy, Al-Kawakib Addurriyyah, hal. 56. [11] Ibid, hal. 62.


Daftar Isi Toggle Sifat fisikAkhlak dan sifat-sifatnyaKeutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskinKedermawanannyaKe-wara’-annyaKecerdasannyaTawadhu‘ dan tidak sombongPengangkatannya sebagai pengajarWafatPerkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Sifat fisik Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.” [1] Al-Hafiz Al-Bazzar berkata, “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.” [2] Akhlak dan sifat-sifatnya Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah: Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut. [3] Kedermawanannya Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya. [4] Ke-wara’-annya Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5] Kecerdasannya Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya. [6] Tawadhu‘ dan tidak sombong Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya. [7] Pengangkatannya sebagai pengajar Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu. Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.” [8] Wafat Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya. Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih. Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya. Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat. Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat. Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah, إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” [9] Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia. Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya. Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!'” [10] Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.” [11] [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Gazzeta Raka Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al Bidayah wa An Nihayah, 14137. [2] Imam Abdi Al-Hadi, Al- ‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 294. [3] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A‘lam Al‘Aliyyah, hal. 85. [4] Ibid, hlm. 59-61 dengan perubahan dan diringkas. [5] Op.cit, hlm. 41. [6] Ibid, hlm. 53-58. [7] Ibid, hlm. 48. [8] Imam Ibnu Al-Waridi dalam kitabnya Tatimmu Al Mukhtashar, hal. 408 dengan perubahan. [9] QS. Al-Qamar: 54-55. [10] Al Imam Mar’iy Al-Karamiy, Al-Kawakib Addurriyyah, hal. 56. [11] Ibid, hal. 62.

Akhlak Munafik yang Marak di Era Media Sosial – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ

Akhlak Munafik yang Marak di Era Media Sosial – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ
Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ


Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259
Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259


Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 7)

Daftar Isi Toggle Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khususPertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3]Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4]Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, yakni sewa menyewa yang jasanya hanya diberikan untuk pribadi atau individu saja, bukan untuk publik. Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa yang bersifat khusus, Pertama, khusus untuk bekerja selama masa kontrak. Kedua, khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang disepakati. Dan terkait dengan keduanya, telah disebutkan ketentuan-ketentuannya. Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terkait dengan penggabungan kedua akad di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. Yang lebih tepat, menggabungkan antara keduanya itu diperbolehkan. Namun dengan syarat, masa kerja atau kontraknya harus masuk akal. Jika rumah yang harus dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة “Yang benar adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu atau masa kontrak dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat.” [2] Di antara contohnya adalah: A ingin membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bersepakat untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu. Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak harus untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu yang tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti membayar utang sebelum waktunya. Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa kontrak sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak profesional dalam menunaikan akad kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang tepat. Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khusus Pertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3] Amin adalah istilah yang sangat sering digunakan dalam bab Fikih Muamalah, yakni “orang yang dipercaya dalam sebuah akad untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga harta atau barang tertentu.” Berdasarkan pengertian ini, ia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan, baik dari harta atau pekerjaannya, kecuali jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) atau taqshir (ceroboh atau kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan hak upahnya secara utuh. Gambaran sederhananya: A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang yang amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa harta A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B. Berbeda halnya jika B mengetahui adanya orang yang masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah yang dinamakan dengan kelalaian dan B harus bertanggung jawab. Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4] Penyedia jasa yang bersifat khusus ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa atau pengguna jasanya. Mengingat jika ia bekerja pada orang lain, akan lalai, bahkan terluput darinya manfaat yang harus diperoleh dari pihak penyewa. Dalam hal ini terdapat kaidah, المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ “Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).” Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan kaidah ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ              مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ “Setiap yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Seperti pada akad marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).” [5]   Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas, “Inilah makna dari perkataan para ulama Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Yakni, jika ada sesuatu yang sedang disibukkan dengan perkara tertentu, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan perkara yang lain sampai selesai dari kesibukan sebelumnya. Contohnya seperti akad gadai, barang yang masih berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai atau diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, barang yang diwakafkan … begitu juga, penyedia jasa yang bersifat khusus (pribadi), yakni mereka yang manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu ia bekerja, baik per hari atau per jam. Maka, ia tidak boleh disibukkan dengan yang lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu yang ia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.” [6] Bagaimana jika penyedia jasa atau pekerja tetap bekerja untuk orang lain? Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan atau lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan ia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berhak untuk meminta ganti rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa atau pekerja. [7] Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Kafir dzimmi [9] adalah orang kafir yang tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup damai dengan kaum muslimin dan membayar jizyah (upeti). Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi atau mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan yang haram, harus pekerjaan yang halal. Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam bentuk kontrak kerja, mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan yang tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah, karya Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 348. [2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 10: 77. [3] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290, dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358-359. [4] Fiqhul Mu’amalat Al-Muyassar, hal. 358. [5] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48. [6] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48-49; Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 7: 157. [7] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358. [8] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290. [9] Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 278.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 7)

Daftar Isi Toggle Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khususPertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3]Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4]Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, yakni sewa menyewa yang jasanya hanya diberikan untuk pribadi atau individu saja, bukan untuk publik. Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa yang bersifat khusus, Pertama, khusus untuk bekerja selama masa kontrak. Kedua, khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang disepakati. Dan terkait dengan keduanya, telah disebutkan ketentuan-ketentuannya. Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terkait dengan penggabungan kedua akad di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. Yang lebih tepat, menggabungkan antara keduanya itu diperbolehkan. Namun dengan syarat, masa kerja atau kontraknya harus masuk akal. Jika rumah yang harus dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة “Yang benar adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu atau masa kontrak dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat.” [2] Di antara contohnya adalah: A ingin membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bersepakat untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu. Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak harus untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu yang tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti membayar utang sebelum waktunya. Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa kontrak sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak profesional dalam menunaikan akad kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang tepat. Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khusus Pertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3] Amin adalah istilah yang sangat sering digunakan dalam bab Fikih Muamalah, yakni “orang yang dipercaya dalam sebuah akad untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga harta atau barang tertentu.” Berdasarkan pengertian ini, ia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan, baik dari harta atau pekerjaannya, kecuali jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) atau taqshir (ceroboh atau kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan hak upahnya secara utuh. Gambaran sederhananya: A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang yang amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa harta A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B. Berbeda halnya jika B mengetahui adanya orang yang masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah yang dinamakan dengan kelalaian dan B harus bertanggung jawab. Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4] Penyedia jasa yang bersifat khusus ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa atau pengguna jasanya. Mengingat jika ia bekerja pada orang lain, akan lalai, bahkan terluput darinya manfaat yang harus diperoleh dari pihak penyewa. Dalam hal ini terdapat kaidah, المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ “Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).” Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan kaidah ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ              مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ “Setiap yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Seperti pada akad marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).” [5]   Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas, “Inilah makna dari perkataan para ulama Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Yakni, jika ada sesuatu yang sedang disibukkan dengan perkara tertentu, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan perkara yang lain sampai selesai dari kesibukan sebelumnya. Contohnya seperti akad gadai, barang yang masih berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai atau diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, barang yang diwakafkan … begitu juga, penyedia jasa yang bersifat khusus (pribadi), yakni mereka yang manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu ia bekerja, baik per hari atau per jam. Maka, ia tidak boleh disibukkan dengan yang lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu yang ia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.” [6] Bagaimana jika penyedia jasa atau pekerja tetap bekerja untuk orang lain? Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan atau lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan ia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berhak untuk meminta ganti rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa atau pekerja. [7] Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Kafir dzimmi [9] adalah orang kafir yang tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup damai dengan kaum muslimin dan membayar jizyah (upeti). Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi atau mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan yang haram, harus pekerjaan yang halal. Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam bentuk kontrak kerja, mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan yang tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah, karya Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 348. [2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 10: 77. [3] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290, dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358-359. [4] Fiqhul Mu’amalat Al-Muyassar, hal. 358. [5] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48. [6] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48-49; Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 7: 157. [7] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358. [8] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290. [9] Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 278.
Daftar Isi Toggle Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khususPertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3]Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4]Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, yakni sewa menyewa yang jasanya hanya diberikan untuk pribadi atau individu saja, bukan untuk publik. Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa yang bersifat khusus, Pertama, khusus untuk bekerja selama masa kontrak. Kedua, khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang disepakati. Dan terkait dengan keduanya, telah disebutkan ketentuan-ketentuannya. Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terkait dengan penggabungan kedua akad di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. Yang lebih tepat, menggabungkan antara keduanya itu diperbolehkan. Namun dengan syarat, masa kerja atau kontraknya harus masuk akal. Jika rumah yang harus dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة “Yang benar adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu atau masa kontrak dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat.” [2] Di antara contohnya adalah: A ingin membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bersepakat untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu. Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak harus untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu yang tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti membayar utang sebelum waktunya. Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa kontrak sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak profesional dalam menunaikan akad kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang tepat. Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khusus Pertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3] Amin adalah istilah yang sangat sering digunakan dalam bab Fikih Muamalah, yakni “orang yang dipercaya dalam sebuah akad untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga harta atau barang tertentu.” Berdasarkan pengertian ini, ia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan, baik dari harta atau pekerjaannya, kecuali jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) atau taqshir (ceroboh atau kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan hak upahnya secara utuh. Gambaran sederhananya: A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang yang amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa harta A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B. Berbeda halnya jika B mengetahui adanya orang yang masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah yang dinamakan dengan kelalaian dan B harus bertanggung jawab. Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4] Penyedia jasa yang bersifat khusus ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa atau pengguna jasanya. Mengingat jika ia bekerja pada orang lain, akan lalai, bahkan terluput darinya manfaat yang harus diperoleh dari pihak penyewa. Dalam hal ini terdapat kaidah, المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ “Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).” Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan kaidah ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ              مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ “Setiap yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Seperti pada akad marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).” [5]   Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas, “Inilah makna dari perkataan para ulama Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Yakni, jika ada sesuatu yang sedang disibukkan dengan perkara tertentu, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan perkara yang lain sampai selesai dari kesibukan sebelumnya. Contohnya seperti akad gadai, barang yang masih berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai atau diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, barang yang diwakafkan … begitu juga, penyedia jasa yang bersifat khusus (pribadi), yakni mereka yang manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu ia bekerja, baik per hari atau per jam. Maka, ia tidak boleh disibukkan dengan yang lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu yang ia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.” [6] Bagaimana jika penyedia jasa atau pekerja tetap bekerja untuk orang lain? Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan atau lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan ia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berhak untuk meminta ganti rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa atau pekerja. [7] Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Kafir dzimmi [9] adalah orang kafir yang tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup damai dengan kaum muslimin dan membayar jizyah (upeti). Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi atau mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan yang haram, harus pekerjaan yang halal. Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam bentuk kontrak kerja, mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan yang tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah, karya Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 348. [2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 10: 77. [3] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290, dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358-359. [4] Fiqhul Mu’amalat Al-Muyassar, hal. 358. [5] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48. [6] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48-49; Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 7: 157. [7] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358. [8] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290. [9] Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 278.


Daftar Isi Toggle Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khususPertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3]Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4]Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, yakni sewa menyewa yang jasanya hanya diberikan untuk pribadi atau individu saja, bukan untuk publik. Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa yang bersifat khusus, Pertama, khusus untuk bekerja selama masa kontrak. Kedua, khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang disepakati. Dan terkait dengan keduanya, telah disebutkan ketentuan-ketentuannya. Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terkait dengan penggabungan kedua akad di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. Yang lebih tepat, menggabungkan antara keduanya itu diperbolehkan. Namun dengan syarat, masa kerja atau kontraknya harus masuk akal. Jika rumah yang harus dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة “Yang benar adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu atau masa kontrak dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat.” [2] Di antara contohnya adalah: A ingin membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bersepakat untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu. Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak harus untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu yang tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti membayar utang sebelum waktunya. Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa kontrak sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak profesional dalam menunaikan akad kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang tepat. Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khusus Pertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya). [3] Amin adalah istilah yang sangat sering digunakan dalam bab Fikih Muamalah, yakni “orang yang dipercaya dalam sebuah akad untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga harta atau barang tertentu.” Berdasarkan pengertian ini, ia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan, baik dari harta atau pekerjaannya, kecuali jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) atau taqshir (ceroboh atau kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan hak upahnya secara utuh. Gambaran sederhananya: A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang yang amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa harta A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B. Berbeda halnya jika B mengetahui adanya orang yang masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah yang dinamakan dengan kelalaian dan B harus bertanggung jawab. Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain. [4] Penyedia jasa yang bersifat khusus ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa atau pengguna jasanya. Mengingat jika ia bekerja pada orang lain, akan lalai, bahkan terluput darinya manfaat yang harus diperoleh dari pihak penyewa. Dalam hal ini terdapat kaidah, المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ “Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).” Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan kaidah ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ              مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ “Setiap yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Seperti pada akad marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).” [5]   Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas, “Inilah makna dari perkataan para ulama Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Yakni, jika ada sesuatu yang sedang disibukkan dengan perkara tertentu, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan perkara yang lain sampai selesai dari kesibukan sebelumnya. Contohnya seperti akad gadai, barang yang masih berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai atau diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, barang yang diwakafkan … begitu juga, penyedia jasa yang bersifat khusus (pribadi), yakni mereka yang manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu ia bekerja, baik per hari atau per jam. Maka, ia tidak boleh disibukkan dengan yang lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu yang ia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.” [6] Bagaimana jika penyedia jasa atau pekerja tetap bekerja untuk orang lain? Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan atau lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan ia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berhak untuk meminta ganti rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa atau pekerja. [7] Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya. [8] Kafir dzimmi [9] adalah orang kafir yang tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup damai dengan kaum muslimin dan membayar jizyah (upeti). Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi atau mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan yang haram, harus pekerjaan yang halal. Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam bentuk kontrak kerja, mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan yang tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah, karya Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 348. [2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 10: 77. [3] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290, dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358-359. [4] Fiqhul Mu’amalat Al-Muyassar, hal. 358. [5] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48. [6] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48-49; Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 7: 157. [7] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358. [8] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290. [9] Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 278.

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259
Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259


Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang
Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang


Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang
Prev     Next