Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”

Daftar Isi ToggleDefinisi kaidah fikihPertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Definisi “qowa’id” atau “kaidah”Definisi “fikih”Kedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu)Kaidah fikih adalah salah satu cabang ilmu yang disusun oleh para ulama untuk menapaki tangga dalam mengetahui dan memahami ilmu fikih. Singkatnya, dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih yang dibuat oleh para ulama, kita akan lebih mudah untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih yang terdapat pada syari’at ini. Selain ilmu ushul fikih yang dapat membantu untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih, kaidah fikih pun tidak kalah penting untuk diketahui oleh para penuntut ilmu. Ilmu tentang kaidah fikih bertujuan sebagai penopang dari ilmu-ilmu alat yang lainnya untuk memahami syari’at ini.Definisi kaidah fikih Sebelum beranjak lebih jauh, agar mudah untuk memahami tentang kaidah fikih, baiknya kita beranjak dari definisi. Manfaat dari mengetahui definisi tentunya sangat banyak, di antaranya adalah menyatukan persepsi agar mudah dalam memahami cabang ilmu yang ingin dipelajari.Perlu diketahui bahwasanya istilah “kaidah fikih” merupakan istilah gabungan yang terdiri dari dua kata “kaidah” dan “fikih”, atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan القواعد الفقهية (Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah).Oleh karena itu, secara definisi, kaidah fikih terbagi menjadi dua bagian:Pertama: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk).Kedua: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu).Pertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwasanya kaidah fikih terdiri dari dua kata, القواعد الفقهية yaitu kata Al-Qowa’id dan kata Al-Fiqhiyyah.Definisi “qowa’id” atau “kaidah”القواعد (Al-Qowa’id) secara bahasa adalah bentuk jamak dari قاعدة (kaidah). Kata tersebut diambil dari tiga huruf bahasa Arab, yaitu, ق ع د  yang berarti menetap dan stabil. Namun, makna yang lebih dekat dapat diartikan bahwa kaidah adalah fondasi utama. Di antara yang menunjukkan arti tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail…” (QS. Al-Baqarah: 127)Dan juga firman Allah Ta’ala,فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ“Maka, Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari fondasinya…” (QS. An-Nahl: 26)Keterkaitan antara hal tersebut secara makna, bahwasnya hukum-hukum dibangun di atas kaidah (fondasi) sebagaimana dinding (rumah) juga dibangun di atas pondasi.Adapun “kaidah” secara istilah adalah,قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ“Pernyataan yang menyeluruh (universal).”Yakni, suatu perkara yang bersifat menyeluruh (universal) yang mencakup berbagai cabang.Definisi “fikih”Secara bahasa, makna “fikih” adalah الفهم (faham).Allah Ta’ala berfirman,قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗ“Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak mengerti apa yang engkau katakan itu, sedangkan kami sesungguhnya memandang engkau sebagai seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud: 81)Adaun secara istilah, “fikih” adalah,العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amali, yang disarikan dari dalil-dalil terperinci.”Jelaslah hal yang berkaitan dengan “kaidah fikih” jika didefinisikan sesuai dengan gabungan kata.Baca juga: Bersama Kesulitan Terdapat KemudahanKedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu) Sejatinya, tidak banyak dari para ulama yang mendefinisikan kaidah fikih sebagai bentuk laqob atau penamaan untuk disiplin ilmu tertentu. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, perlu diketahui bahwa para ulama tidak menuju kepada definisi secara laqob ilmu kaidah fikih. Namun, para ulama menyebutkan hanya sebatas definisi “kaidah” saja tanpa mendefinisikannya secara laqob.Jika berbicara tentang definisi secara khusus tentang laqob kaidah fikih, bisa dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan di antara ulama terdahulu yang mendefinisikan ilmu ini. Namun, terdapat sebuah definisi yang sekiranya pas untuk digunakan sebagai definisi ilmu kaidah fikih. Berikut ini adalah definisi yang disampaikan oleh Dr. Ya’qub Al-Bahusain rahimahullah. Beliau mengatakan,قضية كلية فقهية، جزئيتها قضايا كلية فقهية“Pernyataan yang sifatnya menyeluruh terkait dengan fikih, yang bagiannya mencakup berbagai masalah fikih.” Artinya, sebagai bagian dari kaidah adalah mencakup berbagai permasalahan fikih.Murid beliau, Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary, juga mendefinisikan tentang ilmu kaidah fikih,القضايا الكلية الفقهية التي جزئيتها كل قضية فيها تمثل قضايا كلية فقيهة“Pernyataan-pernyataan menyeluruh terkait dengan fikih, yang setiap bagian cabangnya mewakili kaidah umum fikih.” Sebagai contoh, terdapat suatu kaidah fikih yang berbunyi,المشقة تجلب التيسير“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”Hal ini dinamakan sebagai kaidah fikih. Dari kaidah ini terdapat permasalahan-permasalahan fikih yang dapat terselesaikan dengan kaidah ini. Seperti, orang yang tidak bisa melaksanakan salat dalam keadaan berdiri dikarenakan sedang sakit. Masalah tersebut bisa dijawab dengan kaidah ini, “bersama kesulitan terdapat kemudahan”; yaitu silakan laksanakan salat dalam keadaan duduk.Atau orang yang berpuasa, ia tidak mampu untuk melaksanakan puasa Ramadan karena sedang dirawat inap di rumah sakit. Dia butuh untuk makan dan minum. Hal ini pun bisa terjawab dengan kaidah fikih yang telah disebutkan para ulama, “bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Silahkan saja untuk berbuka, makan dan minum karena memang sedang membutuhkannya. Di kemudian hari, silahkan untuk meng-qadha’ puasanya karena sebab ia berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadan. Demikianlah di antara bentuk contoh penerapan kaidah fikih.Intinya, mempelajari tentang kaidah fikih adalah termasuk hal yang penting. Sebagai penunjang untuk memudahkan memahami ilmu fikih dan menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan fikih praktis.Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya***Depok, 17 Safar 1447/ 11 Agustus 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.

Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”

Daftar Isi ToggleDefinisi kaidah fikihPertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Definisi “qowa’id” atau “kaidah”Definisi “fikih”Kedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu)Kaidah fikih adalah salah satu cabang ilmu yang disusun oleh para ulama untuk menapaki tangga dalam mengetahui dan memahami ilmu fikih. Singkatnya, dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih yang dibuat oleh para ulama, kita akan lebih mudah untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih yang terdapat pada syari’at ini. Selain ilmu ushul fikih yang dapat membantu untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih, kaidah fikih pun tidak kalah penting untuk diketahui oleh para penuntut ilmu. Ilmu tentang kaidah fikih bertujuan sebagai penopang dari ilmu-ilmu alat yang lainnya untuk memahami syari’at ini.Definisi kaidah fikih Sebelum beranjak lebih jauh, agar mudah untuk memahami tentang kaidah fikih, baiknya kita beranjak dari definisi. Manfaat dari mengetahui definisi tentunya sangat banyak, di antaranya adalah menyatukan persepsi agar mudah dalam memahami cabang ilmu yang ingin dipelajari.Perlu diketahui bahwasanya istilah “kaidah fikih” merupakan istilah gabungan yang terdiri dari dua kata “kaidah” dan “fikih”, atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan القواعد الفقهية (Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah).Oleh karena itu, secara definisi, kaidah fikih terbagi menjadi dua bagian:Pertama: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk).Kedua: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu).Pertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwasanya kaidah fikih terdiri dari dua kata, القواعد الفقهية yaitu kata Al-Qowa’id dan kata Al-Fiqhiyyah.Definisi “qowa’id” atau “kaidah”القواعد (Al-Qowa’id) secara bahasa adalah bentuk jamak dari قاعدة (kaidah). Kata tersebut diambil dari tiga huruf bahasa Arab, yaitu, ق ع د  yang berarti menetap dan stabil. Namun, makna yang lebih dekat dapat diartikan bahwa kaidah adalah fondasi utama. Di antara yang menunjukkan arti tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail…” (QS. Al-Baqarah: 127)Dan juga firman Allah Ta’ala,فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ“Maka, Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari fondasinya…” (QS. An-Nahl: 26)Keterkaitan antara hal tersebut secara makna, bahwasnya hukum-hukum dibangun di atas kaidah (fondasi) sebagaimana dinding (rumah) juga dibangun di atas pondasi.Adapun “kaidah” secara istilah adalah,قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ“Pernyataan yang menyeluruh (universal).”Yakni, suatu perkara yang bersifat menyeluruh (universal) yang mencakup berbagai cabang.Definisi “fikih”Secara bahasa, makna “fikih” adalah الفهم (faham).Allah Ta’ala berfirman,قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗ“Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak mengerti apa yang engkau katakan itu, sedangkan kami sesungguhnya memandang engkau sebagai seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud: 81)Adaun secara istilah, “fikih” adalah,العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amali, yang disarikan dari dalil-dalil terperinci.”Jelaslah hal yang berkaitan dengan “kaidah fikih” jika didefinisikan sesuai dengan gabungan kata.Baca juga: Bersama Kesulitan Terdapat KemudahanKedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu) Sejatinya, tidak banyak dari para ulama yang mendefinisikan kaidah fikih sebagai bentuk laqob atau penamaan untuk disiplin ilmu tertentu. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, perlu diketahui bahwa para ulama tidak menuju kepada definisi secara laqob ilmu kaidah fikih. Namun, para ulama menyebutkan hanya sebatas definisi “kaidah” saja tanpa mendefinisikannya secara laqob.Jika berbicara tentang definisi secara khusus tentang laqob kaidah fikih, bisa dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan di antara ulama terdahulu yang mendefinisikan ilmu ini. Namun, terdapat sebuah definisi yang sekiranya pas untuk digunakan sebagai definisi ilmu kaidah fikih. Berikut ini adalah definisi yang disampaikan oleh Dr. Ya’qub Al-Bahusain rahimahullah. Beliau mengatakan,قضية كلية فقهية، جزئيتها قضايا كلية فقهية“Pernyataan yang sifatnya menyeluruh terkait dengan fikih, yang bagiannya mencakup berbagai masalah fikih.” Artinya, sebagai bagian dari kaidah adalah mencakup berbagai permasalahan fikih.Murid beliau, Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary, juga mendefinisikan tentang ilmu kaidah fikih,القضايا الكلية الفقهية التي جزئيتها كل قضية فيها تمثل قضايا كلية فقيهة“Pernyataan-pernyataan menyeluruh terkait dengan fikih, yang setiap bagian cabangnya mewakili kaidah umum fikih.” Sebagai contoh, terdapat suatu kaidah fikih yang berbunyi,المشقة تجلب التيسير“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”Hal ini dinamakan sebagai kaidah fikih. Dari kaidah ini terdapat permasalahan-permasalahan fikih yang dapat terselesaikan dengan kaidah ini. Seperti, orang yang tidak bisa melaksanakan salat dalam keadaan berdiri dikarenakan sedang sakit. Masalah tersebut bisa dijawab dengan kaidah ini, “bersama kesulitan terdapat kemudahan”; yaitu silakan laksanakan salat dalam keadaan duduk.Atau orang yang berpuasa, ia tidak mampu untuk melaksanakan puasa Ramadan karena sedang dirawat inap di rumah sakit. Dia butuh untuk makan dan minum. Hal ini pun bisa terjawab dengan kaidah fikih yang telah disebutkan para ulama, “bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Silahkan saja untuk berbuka, makan dan minum karena memang sedang membutuhkannya. Di kemudian hari, silahkan untuk meng-qadha’ puasanya karena sebab ia berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadan. Demikianlah di antara bentuk contoh penerapan kaidah fikih.Intinya, mempelajari tentang kaidah fikih adalah termasuk hal yang penting. Sebagai penunjang untuk memudahkan memahami ilmu fikih dan menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan fikih praktis.Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya***Depok, 17 Safar 1447/ 11 Agustus 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.
Daftar Isi ToggleDefinisi kaidah fikihPertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Definisi “qowa’id” atau “kaidah”Definisi “fikih”Kedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu)Kaidah fikih adalah salah satu cabang ilmu yang disusun oleh para ulama untuk menapaki tangga dalam mengetahui dan memahami ilmu fikih. Singkatnya, dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih yang dibuat oleh para ulama, kita akan lebih mudah untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih yang terdapat pada syari’at ini. Selain ilmu ushul fikih yang dapat membantu untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih, kaidah fikih pun tidak kalah penting untuk diketahui oleh para penuntut ilmu. Ilmu tentang kaidah fikih bertujuan sebagai penopang dari ilmu-ilmu alat yang lainnya untuk memahami syari’at ini.Definisi kaidah fikih Sebelum beranjak lebih jauh, agar mudah untuk memahami tentang kaidah fikih, baiknya kita beranjak dari definisi. Manfaat dari mengetahui definisi tentunya sangat banyak, di antaranya adalah menyatukan persepsi agar mudah dalam memahami cabang ilmu yang ingin dipelajari.Perlu diketahui bahwasanya istilah “kaidah fikih” merupakan istilah gabungan yang terdiri dari dua kata “kaidah” dan “fikih”, atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan القواعد الفقهية (Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah).Oleh karena itu, secara definisi, kaidah fikih terbagi menjadi dua bagian:Pertama: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk).Kedua: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu).Pertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwasanya kaidah fikih terdiri dari dua kata, القواعد الفقهية yaitu kata Al-Qowa’id dan kata Al-Fiqhiyyah.Definisi “qowa’id” atau “kaidah”القواعد (Al-Qowa’id) secara bahasa adalah bentuk jamak dari قاعدة (kaidah). Kata tersebut diambil dari tiga huruf bahasa Arab, yaitu, ق ع د  yang berarti menetap dan stabil. Namun, makna yang lebih dekat dapat diartikan bahwa kaidah adalah fondasi utama. Di antara yang menunjukkan arti tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail…” (QS. Al-Baqarah: 127)Dan juga firman Allah Ta’ala,فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ“Maka, Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari fondasinya…” (QS. An-Nahl: 26)Keterkaitan antara hal tersebut secara makna, bahwasnya hukum-hukum dibangun di atas kaidah (fondasi) sebagaimana dinding (rumah) juga dibangun di atas pondasi.Adapun “kaidah” secara istilah adalah,قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ“Pernyataan yang menyeluruh (universal).”Yakni, suatu perkara yang bersifat menyeluruh (universal) yang mencakup berbagai cabang.Definisi “fikih”Secara bahasa, makna “fikih” adalah الفهم (faham).Allah Ta’ala berfirman,قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗ“Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak mengerti apa yang engkau katakan itu, sedangkan kami sesungguhnya memandang engkau sebagai seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud: 81)Adaun secara istilah, “fikih” adalah,العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amali, yang disarikan dari dalil-dalil terperinci.”Jelaslah hal yang berkaitan dengan “kaidah fikih” jika didefinisikan sesuai dengan gabungan kata.Baca juga: Bersama Kesulitan Terdapat KemudahanKedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu) Sejatinya, tidak banyak dari para ulama yang mendefinisikan kaidah fikih sebagai bentuk laqob atau penamaan untuk disiplin ilmu tertentu. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, perlu diketahui bahwa para ulama tidak menuju kepada definisi secara laqob ilmu kaidah fikih. Namun, para ulama menyebutkan hanya sebatas definisi “kaidah” saja tanpa mendefinisikannya secara laqob.Jika berbicara tentang definisi secara khusus tentang laqob kaidah fikih, bisa dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan di antara ulama terdahulu yang mendefinisikan ilmu ini. Namun, terdapat sebuah definisi yang sekiranya pas untuk digunakan sebagai definisi ilmu kaidah fikih. Berikut ini adalah definisi yang disampaikan oleh Dr. Ya’qub Al-Bahusain rahimahullah. Beliau mengatakan,قضية كلية فقهية، جزئيتها قضايا كلية فقهية“Pernyataan yang sifatnya menyeluruh terkait dengan fikih, yang bagiannya mencakup berbagai masalah fikih.” Artinya, sebagai bagian dari kaidah adalah mencakup berbagai permasalahan fikih.Murid beliau, Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary, juga mendefinisikan tentang ilmu kaidah fikih,القضايا الكلية الفقهية التي جزئيتها كل قضية فيها تمثل قضايا كلية فقيهة“Pernyataan-pernyataan menyeluruh terkait dengan fikih, yang setiap bagian cabangnya mewakili kaidah umum fikih.” Sebagai contoh, terdapat suatu kaidah fikih yang berbunyi,المشقة تجلب التيسير“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”Hal ini dinamakan sebagai kaidah fikih. Dari kaidah ini terdapat permasalahan-permasalahan fikih yang dapat terselesaikan dengan kaidah ini. Seperti, orang yang tidak bisa melaksanakan salat dalam keadaan berdiri dikarenakan sedang sakit. Masalah tersebut bisa dijawab dengan kaidah ini, “bersama kesulitan terdapat kemudahan”; yaitu silakan laksanakan salat dalam keadaan duduk.Atau orang yang berpuasa, ia tidak mampu untuk melaksanakan puasa Ramadan karena sedang dirawat inap di rumah sakit. Dia butuh untuk makan dan minum. Hal ini pun bisa terjawab dengan kaidah fikih yang telah disebutkan para ulama, “bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Silahkan saja untuk berbuka, makan dan minum karena memang sedang membutuhkannya. Di kemudian hari, silahkan untuk meng-qadha’ puasanya karena sebab ia berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadan. Demikianlah di antara bentuk contoh penerapan kaidah fikih.Intinya, mempelajari tentang kaidah fikih adalah termasuk hal yang penting. Sebagai penunjang untuk memudahkan memahami ilmu fikih dan menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan fikih praktis.Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya***Depok, 17 Safar 1447/ 11 Agustus 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.


Daftar Isi ToggleDefinisi kaidah fikihPertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Definisi “qowa’id” atau “kaidah”Definisi “fikih”Kedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu)Kaidah fikih adalah salah satu cabang ilmu yang disusun oleh para ulama untuk menapaki tangga dalam mengetahui dan memahami ilmu fikih. Singkatnya, dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih yang dibuat oleh para ulama, kita akan lebih mudah untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih yang terdapat pada syari’at ini. Selain ilmu ushul fikih yang dapat membantu untuk memahami pembahasan-pembahasan fikih, kaidah fikih pun tidak kalah penting untuk diketahui oleh para penuntut ilmu. Ilmu tentang kaidah fikih bertujuan sebagai penopang dari ilmu-ilmu alat yang lainnya untuk memahami syari’at ini.Definisi kaidah fikih Sebelum beranjak lebih jauh, agar mudah untuk memahami tentang kaidah fikih, baiknya kita beranjak dari definisi. Manfaat dari mengetahui definisi tentunya sangat banyak, di antaranya adalah menyatukan persepsi agar mudah dalam memahami cabang ilmu yang ingin dipelajari.Perlu diketahui bahwasanya istilah “kaidah fikih” merupakan istilah gabungan yang terdiri dari dua kata “kaidah” dan “fikih”, atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan القواعد الفقهية (Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah).Oleh karena itu, secara definisi, kaidah fikih terbagi menjadi dua bagian:Pertama: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk).Kedua: Definisi kaidah fikih jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu).Pertama: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai gabungan kata (istilah majemuk)Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwasanya kaidah fikih terdiri dari dua kata, القواعد الفقهية yaitu kata Al-Qowa’id dan kata Al-Fiqhiyyah.Definisi “qowa’id” atau “kaidah”القواعد (Al-Qowa’id) secara bahasa adalah bentuk jamak dari قاعدة (kaidah). Kata tersebut diambil dari tiga huruf bahasa Arab, yaitu, ق ع د  yang berarti menetap dan stabil. Namun, makna yang lebih dekat dapat diartikan bahwa kaidah adalah fondasi utama. Di antara yang menunjukkan arti tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail…” (QS. Al-Baqarah: 127)Dan juga firman Allah Ta’ala,فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ“Maka, Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari fondasinya…” (QS. An-Nahl: 26)Keterkaitan antara hal tersebut secara makna, bahwasnya hukum-hukum dibangun di atas kaidah (fondasi) sebagaimana dinding (rumah) juga dibangun di atas pondasi.Adapun “kaidah” secara istilah adalah,قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ“Pernyataan yang menyeluruh (universal).”Yakni, suatu perkara yang bersifat menyeluruh (universal) yang mencakup berbagai cabang.Definisi “fikih”Secara bahasa, makna “fikih” adalah الفهم (faham).Allah Ta’ala berfirman,قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗ“Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak mengerti apa yang engkau katakan itu, sedangkan kami sesungguhnya memandang engkau sebagai seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud: 81)Adaun secara istilah, “fikih” adalah,العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amali, yang disarikan dari dalil-dalil terperinci.”Jelaslah hal yang berkaitan dengan “kaidah fikih” jika didefinisikan sesuai dengan gabungan kata.Baca juga: Bersama Kesulitan Terdapat KemudahanKedua: Definisi “kaidah fikih” jika dilihat sebagai bentuk laqob (penamaan disiplin ilmu tertentu) Sejatinya, tidak banyak dari para ulama yang mendefinisikan kaidah fikih sebagai bentuk laqob atau penamaan untuk disiplin ilmu tertentu. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, perlu diketahui bahwa para ulama tidak menuju kepada definisi secara laqob ilmu kaidah fikih. Namun, para ulama menyebutkan hanya sebatas definisi “kaidah” saja tanpa mendefinisikannya secara laqob.Jika berbicara tentang definisi secara khusus tentang laqob kaidah fikih, bisa dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan di antara ulama terdahulu yang mendefinisikan ilmu ini. Namun, terdapat sebuah definisi yang sekiranya pas untuk digunakan sebagai definisi ilmu kaidah fikih. Berikut ini adalah definisi yang disampaikan oleh Dr. Ya’qub Al-Bahusain rahimahullah. Beliau mengatakan,قضية كلية فقهية، جزئيتها قضايا كلية فقهية“Pernyataan yang sifatnya menyeluruh terkait dengan fikih, yang bagiannya mencakup berbagai masalah fikih.” Artinya, sebagai bagian dari kaidah adalah mencakup berbagai permasalahan fikih.Murid beliau, Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary, juga mendefinisikan tentang ilmu kaidah fikih,القضايا الكلية الفقهية التي جزئيتها كل قضية فيها تمثل قضايا كلية فقيهة“Pernyataan-pernyataan menyeluruh terkait dengan fikih, yang setiap bagian cabangnya mewakili kaidah umum fikih.” Sebagai contoh, terdapat suatu kaidah fikih yang berbunyi,المشقة تجلب التيسير“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”Hal ini dinamakan sebagai kaidah fikih. Dari kaidah ini terdapat permasalahan-permasalahan fikih yang dapat terselesaikan dengan kaidah ini. Seperti, orang yang tidak bisa melaksanakan salat dalam keadaan berdiri dikarenakan sedang sakit. Masalah tersebut bisa dijawab dengan kaidah ini, “bersama kesulitan terdapat kemudahan”; yaitu silakan laksanakan salat dalam keadaan duduk.Atau orang yang berpuasa, ia tidak mampu untuk melaksanakan puasa Ramadan karena sedang dirawat inap di rumah sakit. Dia butuh untuk makan dan minum. Hal ini pun bisa terjawab dengan kaidah fikih yang telah disebutkan para ulama, “bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Silahkan saja untuk berbuka, makan dan minum karena memang sedang membutuhkannya. Di kemudian hari, silahkan untuk meng-qadha’ puasanya karena sebab ia berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadan. Demikianlah di antara bentuk contoh penerapan kaidah fikih.Intinya, mempelajari tentang kaidah fikih adalah termasuk hal yang penting. Sebagai penunjang untuk memudahkan memahami ilmu fikih dan menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan fikih praktis.Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya***Depok, 17 Safar 1447/ 11 Agustus 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.

Waktumu adalah Umurmu

وقتك عمرك Oleh:  Musthofa bin Abdus Salam al-Kitami مصطفى بن عبدالسلام الكتامي إن الحمد لله نحمده ونستعينه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا كثيرًا، أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkan dan siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak memiliki sekutu, dan saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: فقد خلق الله تعالى الإنسان في هذه الدنيا لعبادته وإعداد العدة للآخرة، ولا يملك الإنسان لتحقيق هذه الغاية إلا استغلال وقته والعناية به أشد العناية، ذلك أن وقته هو عمره، فمن ضيَّع وقته ضيع دنياه وآخرته؛ قال ابن القيم: (ما مضى من الدنيا أحلام، وما بقى منها أماني، والوقت ضائع بينهما)[الفوائد، ص 48، دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة الثانية، 1393 هـ]. Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini untuk beribadah kepada-Nya dan menyiapkan bekal menuju akhirat. Seseorang tidak akan mampu mewujudkan tujuan ini melainkan dengan memanfaatkan waktunya dan memberi perhatian besar terhadapnya, karena waktu adalah umurnya, siapa yang menyia-nyiakan waktunya maka ia telah menyia-nyiakan dunia dan akhiratnya. Ibnu Al-Qayyim berkata, “Apa yang telah berlalu dari dunia hanya menjadi mimpi, dan apa yang masih tersisa hanyalah angan, sedangkan waktu tersia-siakan di antara keduanya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 48). والملاحظ اليوم في عالم كثُرت فيه الملهيات وعظُمت فيه فتن الشهوات والشبهات – هو إضاعة الوقت، حتى إن هذا الأمر أصبح مطلوبًا عند الناس، فتجد الرجل منغمسًا في اللهو سادرًا، فإذا عوتب على ذلك يجيب بقوله مثلا: أقتل الوقت، وقد بيَّن كتاب الله تعالى سرعة زوال الدنيا وقلة أيامنا فيها؛ حتى يتنبه اللبيب الفطن، فيُشمر عن ساعد الجد؛ ليغتنم عمره في طاعة الله عز وجل؛ قال تعالى: ﴿ قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [المؤمنون: 114]. Hal yang sangat mencolok saat ini —di dunia yang penuh dengan senda gurau serta fitnah syubhat dan syahwat— adalah menyia-nyiakan waktu, bahkan hal ini menjadi hal yang dicari-cari banyak orang. Kamu mungkin mendapati seseorang sedang tenggelam dalam senda gurau, lalu ketika ia dicela atas hal itu, ia dengan ringan menjawab, “Sekedar untuk menghabiskan waktu!” Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan betapa cepatnya dunia ini lenyap dan betapa singkat hari-hari kita di dalamnya, agar orang yang cerdas dapat tergugah, sehingga ia dapat kembali bersemangat untuk memanfaatkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dia (Allah) berfirman, ‘Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar jika kamu benar-benar mengetahui.’” (QS. Al-Mu’minun: 114). وحث النبي صلى الله عليه وسلم على استغلال الصحة والفراغ من أجل الاستفادة من الوقت، خاصة أن كثيرًا من الناس لا يحسنون رعاية هاتين النعمتين العظيمتين، فقال: (نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ)[أخرجه البخاري، باب لا عيش إلا عيش الآخرة، برقم 6412]؛  قال ابن بطال رحمه الله: (قال بعض العلماء: إنما أراد صلى الله عليه وسلم بقوله: (الصحة والفراغ نعمتان…) تنبيه أُمَّته على مقدار عظيم نعمة الله على عباده في الصحة والكفاية، وجعل مدة طاعتهم في الدنيا منقضية بانقضاء أعمارهم، فمن أنعم النظر في هذا كان حريًّا ألا يذهب عنه وقت من صحته وفراغه إلا وينفقه في طاعة ربه، ويشكره على عظيم مواهبه، والاعتراف بالتقصير عن بلوغ كُنه تأدية ذلك، فمن لم يكن هكذا وغفل وسها عن التزام ما ذكرنا، ومرت أيامه عنه في سهو ولهو وعجز عن القيام بما لزمه لربه تعالى، فقد غبَن أيامه، وسوف يندم حيث لا ينفعه الندم)[شرح صحيح البخاري لابن بطال 10/ 146 و147، مكتبة الرشد الطبعة الثانية 1423هـ]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi dorongan untuk menggunakan kesehatan dan waktu luang demi pemanfaatan waktu, terlebih lagi banyak orang yang tidak mampu menjaga dua kenikmatan besar tersebut. Beliau bersabda: نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412). Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Seorang ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi bahwa sehat dan waktu luang merupakan dua kenikmatan adalah untuk mengingatkan umatnya tentang betapa besar nikmat Allah bagi para hamba-Nya dari sisi kesehatan dan kecukupan, dan mengingatkan bahwa kesempatan mereka untuk melakukan ketaatan di dunia akan habis dengan habisnya umur mereka. Barang siapa yang mencermati hal ini, selayaknya untuk tidak kehilangan kesempatan dari kesehatan dan waktu luangnya melainkan digunakan untuk ketaatan kepada Tuhannya, bersyukur kepada-Nya atas besarnya limpahan karunia-Nya, dan mengakui kelalaiannya dalam menunaikan itu semua dengan sebenar-benarnya. Barang siapa yang tidak demikian, dan justru lalai dan lengah dari menjalankan apa yang telah kami sebutkan itu, kemudian hari-harinya hanya berlalu dalam senda gurau, main-main, dan kelesuan dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, maka ia telah menipu hari-harinya, dan kelak akan menyesal pada hari tidak berguna lagi penyesalan.” (Kitab Syarh Shahih Al-Bukhari Karya Ibnu Baththal, jilid 10 hlm. 146-147). بل لو تأمَّل العاقل في هلاك كثير من الناس ورجوعهم بالغبن الفاحش، واستحقاقهم للعذاب، لوجد أن سبب ذلك يؤول إلى إضاعة الوقت في غير طائل، فسبحان الله! كم من قتيل لهذا الوقت كان منغمسًا في المعاصي والآثام قد تمرَّس بها، وكان يُمنِّي نفسه بالتوبة في ثنايا ذلك، فلم يشعر إلا وقد كان الموت أسبق إليه من تلك الأماني؛ قال تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ﴾ [محمد: 25]؛ قال الحسن البصري رحمه الله: (أي زيَّن لهم الشيطانُ الخطايا، ومدَّ لهم في الأمل)[الجامع لأحكام القرآن: 16/ 249]. لهذا كان من أعظم مفاسد إضاعة الوقت: الانقطاع عن السعي إلى الآخرة بالأعمال الصالحة والتمادي في طلب متاع الدنيا، وهو ما يسوق المرء إلى شدَّة الغفلة وطول الأمل، والخِذلان من الله تعالى، وضياع النفس وتعريضها للعذاب؛ قال تعالى: ﴿ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ﴾ [الحشر: 19]، لذلك قال ابن القيم: (إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها)[الفوائد ص31]، فكلما أضاع المرء وقتًا للتوبة طمع في وقت آخر وهكذا، حتى يحول الموت بينه وبين ذلك، فيكون من الهالكين. Seandainya orang yang berakal merenungkan kematian banyak orang dan kepulangan mereka dalam keadaan benar-benar merugi serta layak mendapat azab, niscaya ia mengerti bahwa sebab itu semua kembali pada menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak berguna. Subhanallah! Betapa banyak orang yang menghabiskan waktunya dalam kemaksiatan dan dosa yang telah biasa ia perbuat, ia berangan-angan untuk bertobat di sela-sela perbuatannya itu, tapi tanpa terasa kematian telah lebih dulu hadir daripada angan-angannya. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ “Sesungguhnya (bagi) orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran) setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan menggoda mereka dan memanjangkan (angan-angan) mereka.” (QS. Muhammad: 25). Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah mengatakan, “Yakni setan menghiasi dosa-dosa mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Kitab Al-Jami Li-Ahkam Al-Qur’an jilid 16 hlm. 249). Oleh sebab itu, di antara efek negatif terbesar dari menyia-nyiakan waktu adalah terputusnya usaha untuk meraih akhirat dengan amal-amal saleh dan berlarut-larut dalam mengejar kenikmatan dunia. Ini juga yang menyeret manusia menuju kelalaian yang parah, angan-angan panjang, ditelantarkan Allah Ta’ala, pengabaian terhadap diri sendiri, dan penjerumusan diri kepada azab. Allah Ta’ala berfirman: نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ “Orang-orang yang melupakan Allah Ta’ala sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19). Karena itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih parah daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah Ta’ala dan negeri akhirat, sedangkan kematian memutusmu dari dunia dan para penghuninya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 31). Setiap kali seseorang melalaikan waktunya untuk bertobat, ia akan ingin melakukannya di waktu yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjadi penghalang antara dirinya dan tobat, sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang binasa. وقد تؤدي به إضاعة الوقت إلى التكاسل والفتور، فيطمع في رحمة الله تعالى من غير أخد بالأسباب، فيقع في الأمن الذي حذَّر الله منه بقوله: ﴿ أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ﴾ [الأعراف: 99]. وفي المقابل قد يؤدي به ذلك إلى القنوط من رحمة الله تعالى، لما قد يتوهم من عجز عن التوبة بسبب الإدمان على المعاصي، فيقع في اليأس من قدرته على التوبة، فيسخط على نفسه وعلى القدر، ولله در القائل: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Menyia-nyiakan waktu terkadang menjerumuskan kepada rasa malas dan lesu sehingga ia memimpikan rahmat Allah Ta’ala tanpa menempuh jalannya, lalu ia terjerumus ke dalam rasa aman yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya melalui firman-Nya: أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ “Atau apakah mereka merasa aman dari siksa Allah Ta’ala (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada orang yang merasa aman dari siksa Allah Ta’ala, selain kaum yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 99). Di sisi lain, itu juga dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, karena ia merasa tidak mampu untuk bertobat karena telah terperangkap rasa candu terhadap kemaksiatan, sehingga timbul rasa putus asa atas ketidakmampuannya untuk bertobat, sampai-sampai ia murka terhadap diri sendiri dan takdirnya. Betapa bagus yang dikatakan penyair: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Orang yang tak mampu mengungkap pendapat banyak membuang kesempatannya Hingga ketika telah luput kesempatan darinya, ia justru mengutuk takdirnya وقد أرشد الشرع إلى بعض الطرق لعلاج هذه الآفة، ومن ذلك إرشاده إلى ضرورة اغتنام الوقت قبل فواته، فقد روى الحاكم في المستدرك من حديث ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اغتنم خمسًا قبل خمس، ذكر منها: وفراغك قبل شغلك، وشبابك قبل هرمك)[أخرجه الحاكم في المستدرك (5/ 435)، وصحَّحه الشيخ الألباني في صحيح الجامع الصغير (1/ 244) برقم (1077)]. Syariat telah memberi arahan tentang beberapa cara untuk menangani penyakit ini, di antaranya adalah pentingnya memanfaatkan waktu sebelum berlalu. Diriwayatkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara.” Lalu beliau menyebutkan salah satunya, “Waktu luangmu sebelum sibukmu, dan masa mudamu sebelum tuamu.” (HR. Al-Hakim no. 1077 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir 1/244). وقال عليه السلام ناصحًا أمته ومحذرًا من العجز بقوله: (احرص على ما ينفعك ولا تعجز)[أخرجه مسلم، كتاب القدر، باب في الأمر بالقوة وترك العجز، رقم 2664]، فالعجز يحث على إضاعة الوقت وترك ما ينفع، كما حثنا ديننا الحنيف على تذكُّر الموت والحساب، من أجل أن يكون المؤمن شديد الحرص على وقته؛ قال عليه الصلاة والسلام: (أكثروا من ذكر هادم اللَّذات)[رواه الترمذي برقم 2307 والنسائي برقم 1824، وقال النووي في المجموع (105/5): رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه بأسانيد صحيحة كلها على شرط البخاري ومسلم، وقال الألباني في صحيح ابن ماجه: حسن صحيح]، وقال أيضًا: (لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه…)[أخرجه الترمذي، باب في القيامة، رقم 2417، وقال: هذا حديث حسن صحيح]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menasihati umatnya dan memperingatkan mereka dari sikap lemah dengan bersabda:  احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجِزْ “Bersemangatlah mengejar apa yang bermanfaat bagimu dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664). Sebab sikap lemah akan mendorong pada menyia-nyiakan waktu dan mengabaikan apa yang bermanfaat. Agama kita yang lurus juga mendorong kita untuk senantiasa mengingat kematian dan Hari Perhitungan Amal, agar seorang mukmin benar-benar memanfaatkan waktunya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَاتِ “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307 dan An-Nasa’i no. 1824. An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu jilid 5 hlm. 105, “Hadis ini diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad-sanad sahih yang semuanya memenuhi syarat hadis sah menurut Imam Al-Bukhari dan Muslim.” Sedangkan Al-Albani mengatakan dalam kitab Sahih Ibnu Majah, “Hadis ini hasan sahih”).  Beliau juga bersabda: لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417. Beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih”). وليحرص المؤمن على الصحبة الصالحة، ففي ذلك خير كثير، كالتذاكر والتناصح، فهذا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عصمته يأمره سبحانه بأن يصبر نفسه مع المؤمنين، وأن يجانب الغافلين عن ذكره بقوله: ﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾ [الكهف: 28]. Seorang mukmin hendaklah juga berusaha mencari teman yang baik, karena itu mengandung banyak kebaikan, seperti bisa saling mengingatkan dan menasihati. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam —meskipun telah terlindungi dari dosa— tetap diperintahkan Allah untuk menyabarkan diri bersama orang-orang beriman dan menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat-Nya: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا “Bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). وعلى المؤمن أن يلاحظ المفاسد الحاصلة والمصالح التالفة بسبب إضاعة الوقت، وليتفقه في الدين، وليقرأ في سير السلف الصالح وشدة عنايتهم بحفظ الوقت، وسيجد العجب العجاب في هذا الباب، ومما يدل على ذلك قول ابن عمر رضي الله عنهما: (إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحتَ فلا تنتظر المساء، وخُذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك)[أخرجه البخاري، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل، رقم 6416]. Seorang mukmin hendaknya memperhatikan keburukan yang terjadi dan kebaikan yang terbengkalai akibat menyia-nyiakan waktu. Hendaklah ia mendalami agamanya, membaca sejarah hidup para Salafus Shalih dan bagaimana usaha mereka dalam memanfaatkan waktu, niscaya ia akan benar-benar takjub. Di antaranya hal yang membuktikan ini adalah ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan menunggu pagi, dan jika di waktu pagi maka jangan menunggu sore. Manfaatkanlah kesehatanmu untuk mengganti masa sakitmu (yang terbuang), dan masa hidupmu untuk kematianmu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 6416). بل كانوا لا يتركون وقتًا إلا ويصرفونه في طاعة الله تعالى، قال معاذ رضي الله عنه: (أما أنا، فأنام وأقوم فأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي)[أخرجه البخاري، برقم 4344]، وهذا الحسن البصري يقول: (أدركتُ أقوامًا كان أحدهم أشح على عمره منه على درهمه وديناره)[أخرجه ابن أبي الدنيا في العمر والشيب، ص 81، مكتبة الرشد، الرياض، الطبعة الأولى، 1412] وقال ابن الجوزي رحمه الله: (ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه، وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم الأفضل فالأفضل من القول والعمل)[صيد الخاطر، ص 31، دار القلم – دمشق، الطبعة الأولى، 1425هـ]. قال الشاعر: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ وقال الآخر: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ فما أحوجَ الأمة اليوم إلى إدراك قيمة الوقت، فإن ذلك باعث إن شاء الله على الجد والاجتهاد، والسير حثيثًا نحو الفلاح في الدنيا والآخرة! Tidaklah dulu mereka membiarkan waktu berlalu kecuali untuk digunakan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Muadz Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adapun aku, tidur juga Salat Malam, tapi aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana mengharap pahala dari Salat Malamku.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 4344). Demikian juga Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Aku pernah menemui kaum yang mereka lebih pelit terhadap waktunya daripada terhadap dinar dan dirhamnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-Umr wa Asy-Syaib hlm. 81). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Hendaklah manusia mengetahui kemuliaan masanya dan nilai waktunya, sehingga janganlah ia menyia-nyiakan sedikitpun darinya kecuali untuk ibadah. Ia harus mendahulukan ucapan dan perbuatan berdasarkan prioritasnya.” (Kitab Shaid aAl-Khathir hlm. 31). Seorang penyair berkata: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ Waktu adalah hal termahal yang harus kamu jaga Tapi saya melihat itu hal yang paling mudah untuk kamu sia-siakan Penyair lain berkata: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ Masa muda yang telah berlalu tidak dapat kembali Juga hari yang telah lewat tidak dapat diulang lagi Pada zaman ini, betapa besar kebutuhan umat untuk mengetahui nilai waktu, karena itu akan menjadi penumbuh —Insyaallah— kesungguhan dan usaha, dan perjalanan laju menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Sumber: https://www.alukah.net/وقتك عمرك Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 350 times, 1 visit(s) today Post Views: 303 QRIS donasi Yufid

Waktumu adalah Umurmu

وقتك عمرك Oleh:  Musthofa bin Abdus Salam al-Kitami مصطفى بن عبدالسلام الكتامي إن الحمد لله نحمده ونستعينه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا كثيرًا، أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkan dan siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak memiliki sekutu, dan saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: فقد خلق الله تعالى الإنسان في هذه الدنيا لعبادته وإعداد العدة للآخرة، ولا يملك الإنسان لتحقيق هذه الغاية إلا استغلال وقته والعناية به أشد العناية، ذلك أن وقته هو عمره، فمن ضيَّع وقته ضيع دنياه وآخرته؛ قال ابن القيم: (ما مضى من الدنيا أحلام، وما بقى منها أماني، والوقت ضائع بينهما)[الفوائد، ص 48، دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة الثانية، 1393 هـ]. Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini untuk beribadah kepada-Nya dan menyiapkan bekal menuju akhirat. Seseorang tidak akan mampu mewujudkan tujuan ini melainkan dengan memanfaatkan waktunya dan memberi perhatian besar terhadapnya, karena waktu adalah umurnya, siapa yang menyia-nyiakan waktunya maka ia telah menyia-nyiakan dunia dan akhiratnya. Ibnu Al-Qayyim berkata, “Apa yang telah berlalu dari dunia hanya menjadi mimpi, dan apa yang masih tersisa hanyalah angan, sedangkan waktu tersia-siakan di antara keduanya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 48). والملاحظ اليوم في عالم كثُرت فيه الملهيات وعظُمت فيه فتن الشهوات والشبهات – هو إضاعة الوقت، حتى إن هذا الأمر أصبح مطلوبًا عند الناس، فتجد الرجل منغمسًا في اللهو سادرًا، فإذا عوتب على ذلك يجيب بقوله مثلا: أقتل الوقت، وقد بيَّن كتاب الله تعالى سرعة زوال الدنيا وقلة أيامنا فيها؛ حتى يتنبه اللبيب الفطن، فيُشمر عن ساعد الجد؛ ليغتنم عمره في طاعة الله عز وجل؛ قال تعالى: ﴿ قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [المؤمنون: 114]. Hal yang sangat mencolok saat ini —di dunia yang penuh dengan senda gurau serta fitnah syubhat dan syahwat— adalah menyia-nyiakan waktu, bahkan hal ini menjadi hal yang dicari-cari banyak orang. Kamu mungkin mendapati seseorang sedang tenggelam dalam senda gurau, lalu ketika ia dicela atas hal itu, ia dengan ringan menjawab, “Sekedar untuk menghabiskan waktu!” Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan betapa cepatnya dunia ini lenyap dan betapa singkat hari-hari kita di dalamnya, agar orang yang cerdas dapat tergugah, sehingga ia dapat kembali bersemangat untuk memanfaatkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dia (Allah) berfirman, ‘Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar jika kamu benar-benar mengetahui.’” (QS. Al-Mu’minun: 114). وحث النبي صلى الله عليه وسلم على استغلال الصحة والفراغ من أجل الاستفادة من الوقت، خاصة أن كثيرًا من الناس لا يحسنون رعاية هاتين النعمتين العظيمتين، فقال: (نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ)[أخرجه البخاري، باب لا عيش إلا عيش الآخرة، برقم 6412]؛  قال ابن بطال رحمه الله: (قال بعض العلماء: إنما أراد صلى الله عليه وسلم بقوله: (الصحة والفراغ نعمتان…) تنبيه أُمَّته على مقدار عظيم نعمة الله على عباده في الصحة والكفاية، وجعل مدة طاعتهم في الدنيا منقضية بانقضاء أعمارهم، فمن أنعم النظر في هذا كان حريًّا ألا يذهب عنه وقت من صحته وفراغه إلا وينفقه في طاعة ربه، ويشكره على عظيم مواهبه، والاعتراف بالتقصير عن بلوغ كُنه تأدية ذلك، فمن لم يكن هكذا وغفل وسها عن التزام ما ذكرنا، ومرت أيامه عنه في سهو ولهو وعجز عن القيام بما لزمه لربه تعالى، فقد غبَن أيامه، وسوف يندم حيث لا ينفعه الندم)[شرح صحيح البخاري لابن بطال 10/ 146 و147، مكتبة الرشد الطبعة الثانية 1423هـ]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi dorongan untuk menggunakan kesehatan dan waktu luang demi pemanfaatan waktu, terlebih lagi banyak orang yang tidak mampu menjaga dua kenikmatan besar tersebut. Beliau bersabda: نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412). Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Seorang ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi bahwa sehat dan waktu luang merupakan dua kenikmatan adalah untuk mengingatkan umatnya tentang betapa besar nikmat Allah bagi para hamba-Nya dari sisi kesehatan dan kecukupan, dan mengingatkan bahwa kesempatan mereka untuk melakukan ketaatan di dunia akan habis dengan habisnya umur mereka. Barang siapa yang mencermati hal ini, selayaknya untuk tidak kehilangan kesempatan dari kesehatan dan waktu luangnya melainkan digunakan untuk ketaatan kepada Tuhannya, bersyukur kepada-Nya atas besarnya limpahan karunia-Nya, dan mengakui kelalaiannya dalam menunaikan itu semua dengan sebenar-benarnya. Barang siapa yang tidak demikian, dan justru lalai dan lengah dari menjalankan apa yang telah kami sebutkan itu, kemudian hari-harinya hanya berlalu dalam senda gurau, main-main, dan kelesuan dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, maka ia telah menipu hari-harinya, dan kelak akan menyesal pada hari tidak berguna lagi penyesalan.” (Kitab Syarh Shahih Al-Bukhari Karya Ibnu Baththal, jilid 10 hlm. 146-147). بل لو تأمَّل العاقل في هلاك كثير من الناس ورجوعهم بالغبن الفاحش، واستحقاقهم للعذاب، لوجد أن سبب ذلك يؤول إلى إضاعة الوقت في غير طائل، فسبحان الله! كم من قتيل لهذا الوقت كان منغمسًا في المعاصي والآثام قد تمرَّس بها، وكان يُمنِّي نفسه بالتوبة في ثنايا ذلك، فلم يشعر إلا وقد كان الموت أسبق إليه من تلك الأماني؛ قال تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ﴾ [محمد: 25]؛ قال الحسن البصري رحمه الله: (أي زيَّن لهم الشيطانُ الخطايا، ومدَّ لهم في الأمل)[الجامع لأحكام القرآن: 16/ 249]. لهذا كان من أعظم مفاسد إضاعة الوقت: الانقطاع عن السعي إلى الآخرة بالأعمال الصالحة والتمادي في طلب متاع الدنيا، وهو ما يسوق المرء إلى شدَّة الغفلة وطول الأمل، والخِذلان من الله تعالى، وضياع النفس وتعريضها للعذاب؛ قال تعالى: ﴿ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ﴾ [الحشر: 19]، لذلك قال ابن القيم: (إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها)[الفوائد ص31]، فكلما أضاع المرء وقتًا للتوبة طمع في وقت آخر وهكذا، حتى يحول الموت بينه وبين ذلك، فيكون من الهالكين. Seandainya orang yang berakal merenungkan kematian banyak orang dan kepulangan mereka dalam keadaan benar-benar merugi serta layak mendapat azab, niscaya ia mengerti bahwa sebab itu semua kembali pada menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak berguna. Subhanallah! Betapa banyak orang yang menghabiskan waktunya dalam kemaksiatan dan dosa yang telah biasa ia perbuat, ia berangan-angan untuk bertobat di sela-sela perbuatannya itu, tapi tanpa terasa kematian telah lebih dulu hadir daripada angan-angannya. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ “Sesungguhnya (bagi) orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran) setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan menggoda mereka dan memanjangkan (angan-angan) mereka.” (QS. Muhammad: 25). Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah mengatakan, “Yakni setan menghiasi dosa-dosa mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Kitab Al-Jami Li-Ahkam Al-Qur’an jilid 16 hlm. 249). Oleh sebab itu, di antara efek negatif terbesar dari menyia-nyiakan waktu adalah terputusnya usaha untuk meraih akhirat dengan amal-amal saleh dan berlarut-larut dalam mengejar kenikmatan dunia. Ini juga yang menyeret manusia menuju kelalaian yang parah, angan-angan panjang, ditelantarkan Allah Ta’ala, pengabaian terhadap diri sendiri, dan penjerumusan diri kepada azab. Allah Ta’ala berfirman: نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ “Orang-orang yang melupakan Allah Ta’ala sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19). Karena itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih parah daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah Ta’ala dan negeri akhirat, sedangkan kematian memutusmu dari dunia dan para penghuninya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 31). Setiap kali seseorang melalaikan waktunya untuk bertobat, ia akan ingin melakukannya di waktu yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjadi penghalang antara dirinya dan tobat, sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang binasa. وقد تؤدي به إضاعة الوقت إلى التكاسل والفتور، فيطمع في رحمة الله تعالى من غير أخد بالأسباب، فيقع في الأمن الذي حذَّر الله منه بقوله: ﴿ أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ﴾ [الأعراف: 99]. وفي المقابل قد يؤدي به ذلك إلى القنوط من رحمة الله تعالى، لما قد يتوهم من عجز عن التوبة بسبب الإدمان على المعاصي، فيقع في اليأس من قدرته على التوبة، فيسخط على نفسه وعلى القدر، ولله در القائل: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Menyia-nyiakan waktu terkadang menjerumuskan kepada rasa malas dan lesu sehingga ia memimpikan rahmat Allah Ta’ala tanpa menempuh jalannya, lalu ia terjerumus ke dalam rasa aman yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya melalui firman-Nya: أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ “Atau apakah mereka merasa aman dari siksa Allah Ta’ala (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada orang yang merasa aman dari siksa Allah Ta’ala, selain kaum yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 99). Di sisi lain, itu juga dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, karena ia merasa tidak mampu untuk bertobat karena telah terperangkap rasa candu terhadap kemaksiatan, sehingga timbul rasa putus asa atas ketidakmampuannya untuk bertobat, sampai-sampai ia murka terhadap diri sendiri dan takdirnya. Betapa bagus yang dikatakan penyair: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Orang yang tak mampu mengungkap pendapat banyak membuang kesempatannya Hingga ketika telah luput kesempatan darinya, ia justru mengutuk takdirnya وقد أرشد الشرع إلى بعض الطرق لعلاج هذه الآفة، ومن ذلك إرشاده إلى ضرورة اغتنام الوقت قبل فواته، فقد روى الحاكم في المستدرك من حديث ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اغتنم خمسًا قبل خمس، ذكر منها: وفراغك قبل شغلك، وشبابك قبل هرمك)[أخرجه الحاكم في المستدرك (5/ 435)، وصحَّحه الشيخ الألباني في صحيح الجامع الصغير (1/ 244) برقم (1077)]. Syariat telah memberi arahan tentang beberapa cara untuk menangani penyakit ini, di antaranya adalah pentingnya memanfaatkan waktu sebelum berlalu. Diriwayatkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara.” Lalu beliau menyebutkan salah satunya, “Waktu luangmu sebelum sibukmu, dan masa mudamu sebelum tuamu.” (HR. Al-Hakim no. 1077 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir 1/244). وقال عليه السلام ناصحًا أمته ومحذرًا من العجز بقوله: (احرص على ما ينفعك ولا تعجز)[أخرجه مسلم، كتاب القدر، باب في الأمر بالقوة وترك العجز، رقم 2664]، فالعجز يحث على إضاعة الوقت وترك ما ينفع، كما حثنا ديننا الحنيف على تذكُّر الموت والحساب، من أجل أن يكون المؤمن شديد الحرص على وقته؛ قال عليه الصلاة والسلام: (أكثروا من ذكر هادم اللَّذات)[رواه الترمذي برقم 2307 والنسائي برقم 1824، وقال النووي في المجموع (105/5): رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه بأسانيد صحيحة كلها على شرط البخاري ومسلم، وقال الألباني في صحيح ابن ماجه: حسن صحيح]، وقال أيضًا: (لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه…)[أخرجه الترمذي، باب في القيامة، رقم 2417، وقال: هذا حديث حسن صحيح]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menasihati umatnya dan memperingatkan mereka dari sikap lemah dengan bersabda:  احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجِزْ “Bersemangatlah mengejar apa yang bermanfaat bagimu dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664). Sebab sikap lemah akan mendorong pada menyia-nyiakan waktu dan mengabaikan apa yang bermanfaat. Agama kita yang lurus juga mendorong kita untuk senantiasa mengingat kematian dan Hari Perhitungan Amal, agar seorang mukmin benar-benar memanfaatkan waktunya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَاتِ “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307 dan An-Nasa’i no. 1824. An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu jilid 5 hlm. 105, “Hadis ini diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad-sanad sahih yang semuanya memenuhi syarat hadis sah menurut Imam Al-Bukhari dan Muslim.” Sedangkan Al-Albani mengatakan dalam kitab Sahih Ibnu Majah, “Hadis ini hasan sahih”).  Beliau juga bersabda: لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417. Beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih”). وليحرص المؤمن على الصحبة الصالحة، ففي ذلك خير كثير، كالتذاكر والتناصح، فهذا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عصمته يأمره سبحانه بأن يصبر نفسه مع المؤمنين، وأن يجانب الغافلين عن ذكره بقوله: ﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾ [الكهف: 28]. Seorang mukmin hendaklah juga berusaha mencari teman yang baik, karena itu mengandung banyak kebaikan, seperti bisa saling mengingatkan dan menasihati. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam —meskipun telah terlindungi dari dosa— tetap diperintahkan Allah untuk menyabarkan diri bersama orang-orang beriman dan menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat-Nya: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا “Bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). وعلى المؤمن أن يلاحظ المفاسد الحاصلة والمصالح التالفة بسبب إضاعة الوقت، وليتفقه في الدين، وليقرأ في سير السلف الصالح وشدة عنايتهم بحفظ الوقت، وسيجد العجب العجاب في هذا الباب، ومما يدل على ذلك قول ابن عمر رضي الله عنهما: (إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحتَ فلا تنتظر المساء، وخُذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك)[أخرجه البخاري، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل، رقم 6416]. Seorang mukmin hendaknya memperhatikan keburukan yang terjadi dan kebaikan yang terbengkalai akibat menyia-nyiakan waktu. Hendaklah ia mendalami agamanya, membaca sejarah hidup para Salafus Shalih dan bagaimana usaha mereka dalam memanfaatkan waktu, niscaya ia akan benar-benar takjub. Di antaranya hal yang membuktikan ini adalah ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan menunggu pagi, dan jika di waktu pagi maka jangan menunggu sore. Manfaatkanlah kesehatanmu untuk mengganti masa sakitmu (yang terbuang), dan masa hidupmu untuk kematianmu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 6416). بل كانوا لا يتركون وقتًا إلا ويصرفونه في طاعة الله تعالى، قال معاذ رضي الله عنه: (أما أنا، فأنام وأقوم فأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي)[أخرجه البخاري، برقم 4344]، وهذا الحسن البصري يقول: (أدركتُ أقوامًا كان أحدهم أشح على عمره منه على درهمه وديناره)[أخرجه ابن أبي الدنيا في العمر والشيب، ص 81، مكتبة الرشد، الرياض، الطبعة الأولى، 1412] وقال ابن الجوزي رحمه الله: (ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه، وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم الأفضل فالأفضل من القول والعمل)[صيد الخاطر، ص 31، دار القلم – دمشق، الطبعة الأولى، 1425هـ]. قال الشاعر: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ وقال الآخر: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ فما أحوجَ الأمة اليوم إلى إدراك قيمة الوقت، فإن ذلك باعث إن شاء الله على الجد والاجتهاد، والسير حثيثًا نحو الفلاح في الدنيا والآخرة! Tidaklah dulu mereka membiarkan waktu berlalu kecuali untuk digunakan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Muadz Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adapun aku, tidur juga Salat Malam, tapi aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana mengharap pahala dari Salat Malamku.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 4344). Demikian juga Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Aku pernah menemui kaum yang mereka lebih pelit terhadap waktunya daripada terhadap dinar dan dirhamnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-Umr wa Asy-Syaib hlm. 81). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Hendaklah manusia mengetahui kemuliaan masanya dan nilai waktunya, sehingga janganlah ia menyia-nyiakan sedikitpun darinya kecuali untuk ibadah. Ia harus mendahulukan ucapan dan perbuatan berdasarkan prioritasnya.” (Kitab Shaid aAl-Khathir hlm. 31). Seorang penyair berkata: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ Waktu adalah hal termahal yang harus kamu jaga Tapi saya melihat itu hal yang paling mudah untuk kamu sia-siakan Penyair lain berkata: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ Masa muda yang telah berlalu tidak dapat kembali Juga hari yang telah lewat tidak dapat diulang lagi Pada zaman ini, betapa besar kebutuhan umat untuk mengetahui nilai waktu, karena itu akan menjadi penumbuh —Insyaallah— kesungguhan dan usaha, dan perjalanan laju menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Sumber: https://www.alukah.net/وقتك عمرك Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 350 times, 1 visit(s) today Post Views: 303 QRIS donasi Yufid
وقتك عمرك Oleh:  Musthofa bin Abdus Salam al-Kitami مصطفى بن عبدالسلام الكتامي إن الحمد لله نحمده ونستعينه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا كثيرًا، أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkan dan siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak memiliki sekutu, dan saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: فقد خلق الله تعالى الإنسان في هذه الدنيا لعبادته وإعداد العدة للآخرة، ولا يملك الإنسان لتحقيق هذه الغاية إلا استغلال وقته والعناية به أشد العناية، ذلك أن وقته هو عمره، فمن ضيَّع وقته ضيع دنياه وآخرته؛ قال ابن القيم: (ما مضى من الدنيا أحلام، وما بقى منها أماني، والوقت ضائع بينهما)[الفوائد، ص 48، دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة الثانية، 1393 هـ]. Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini untuk beribadah kepada-Nya dan menyiapkan bekal menuju akhirat. Seseorang tidak akan mampu mewujudkan tujuan ini melainkan dengan memanfaatkan waktunya dan memberi perhatian besar terhadapnya, karena waktu adalah umurnya, siapa yang menyia-nyiakan waktunya maka ia telah menyia-nyiakan dunia dan akhiratnya. Ibnu Al-Qayyim berkata, “Apa yang telah berlalu dari dunia hanya menjadi mimpi, dan apa yang masih tersisa hanyalah angan, sedangkan waktu tersia-siakan di antara keduanya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 48). والملاحظ اليوم في عالم كثُرت فيه الملهيات وعظُمت فيه فتن الشهوات والشبهات – هو إضاعة الوقت، حتى إن هذا الأمر أصبح مطلوبًا عند الناس، فتجد الرجل منغمسًا في اللهو سادرًا، فإذا عوتب على ذلك يجيب بقوله مثلا: أقتل الوقت، وقد بيَّن كتاب الله تعالى سرعة زوال الدنيا وقلة أيامنا فيها؛ حتى يتنبه اللبيب الفطن، فيُشمر عن ساعد الجد؛ ليغتنم عمره في طاعة الله عز وجل؛ قال تعالى: ﴿ قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [المؤمنون: 114]. Hal yang sangat mencolok saat ini —di dunia yang penuh dengan senda gurau serta fitnah syubhat dan syahwat— adalah menyia-nyiakan waktu, bahkan hal ini menjadi hal yang dicari-cari banyak orang. Kamu mungkin mendapati seseorang sedang tenggelam dalam senda gurau, lalu ketika ia dicela atas hal itu, ia dengan ringan menjawab, “Sekedar untuk menghabiskan waktu!” Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan betapa cepatnya dunia ini lenyap dan betapa singkat hari-hari kita di dalamnya, agar orang yang cerdas dapat tergugah, sehingga ia dapat kembali bersemangat untuk memanfaatkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dia (Allah) berfirman, ‘Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar jika kamu benar-benar mengetahui.’” (QS. Al-Mu’minun: 114). وحث النبي صلى الله عليه وسلم على استغلال الصحة والفراغ من أجل الاستفادة من الوقت، خاصة أن كثيرًا من الناس لا يحسنون رعاية هاتين النعمتين العظيمتين، فقال: (نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ)[أخرجه البخاري، باب لا عيش إلا عيش الآخرة، برقم 6412]؛  قال ابن بطال رحمه الله: (قال بعض العلماء: إنما أراد صلى الله عليه وسلم بقوله: (الصحة والفراغ نعمتان…) تنبيه أُمَّته على مقدار عظيم نعمة الله على عباده في الصحة والكفاية، وجعل مدة طاعتهم في الدنيا منقضية بانقضاء أعمارهم، فمن أنعم النظر في هذا كان حريًّا ألا يذهب عنه وقت من صحته وفراغه إلا وينفقه في طاعة ربه، ويشكره على عظيم مواهبه، والاعتراف بالتقصير عن بلوغ كُنه تأدية ذلك، فمن لم يكن هكذا وغفل وسها عن التزام ما ذكرنا، ومرت أيامه عنه في سهو ولهو وعجز عن القيام بما لزمه لربه تعالى، فقد غبَن أيامه، وسوف يندم حيث لا ينفعه الندم)[شرح صحيح البخاري لابن بطال 10/ 146 و147، مكتبة الرشد الطبعة الثانية 1423هـ]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi dorongan untuk menggunakan kesehatan dan waktu luang demi pemanfaatan waktu, terlebih lagi banyak orang yang tidak mampu menjaga dua kenikmatan besar tersebut. Beliau bersabda: نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412). Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Seorang ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi bahwa sehat dan waktu luang merupakan dua kenikmatan adalah untuk mengingatkan umatnya tentang betapa besar nikmat Allah bagi para hamba-Nya dari sisi kesehatan dan kecukupan, dan mengingatkan bahwa kesempatan mereka untuk melakukan ketaatan di dunia akan habis dengan habisnya umur mereka. Barang siapa yang mencermati hal ini, selayaknya untuk tidak kehilangan kesempatan dari kesehatan dan waktu luangnya melainkan digunakan untuk ketaatan kepada Tuhannya, bersyukur kepada-Nya atas besarnya limpahan karunia-Nya, dan mengakui kelalaiannya dalam menunaikan itu semua dengan sebenar-benarnya. Barang siapa yang tidak demikian, dan justru lalai dan lengah dari menjalankan apa yang telah kami sebutkan itu, kemudian hari-harinya hanya berlalu dalam senda gurau, main-main, dan kelesuan dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, maka ia telah menipu hari-harinya, dan kelak akan menyesal pada hari tidak berguna lagi penyesalan.” (Kitab Syarh Shahih Al-Bukhari Karya Ibnu Baththal, jilid 10 hlm. 146-147). بل لو تأمَّل العاقل في هلاك كثير من الناس ورجوعهم بالغبن الفاحش، واستحقاقهم للعذاب، لوجد أن سبب ذلك يؤول إلى إضاعة الوقت في غير طائل، فسبحان الله! كم من قتيل لهذا الوقت كان منغمسًا في المعاصي والآثام قد تمرَّس بها، وكان يُمنِّي نفسه بالتوبة في ثنايا ذلك، فلم يشعر إلا وقد كان الموت أسبق إليه من تلك الأماني؛ قال تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ﴾ [محمد: 25]؛ قال الحسن البصري رحمه الله: (أي زيَّن لهم الشيطانُ الخطايا، ومدَّ لهم في الأمل)[الجامع لأحكام القرآن: 16/ 249]. لهذا كان من أعظم مفاسد إضاعة الوقت: الانقطاع عن السعي إلى الآخرة بالأعمال الصالحة والتمادي في طلب متاع الدنيا، وهو ما يسوق المرء إلى شدَّة الغفلة وطول الأمل، والخِذلان من الله تعالى، وضياع النفس وتعريضها للعذاب؛ قال تعالى: ﴿ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ﴾ [الحشر: 19]، لذلك قال ابن القيم: (إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها)[الفوائد ص31]، فكلما أضاع المرء وقتًا للتوبة طمع في وقت آخر وهكذا، حتى يحول الموت بينه وبين ذلك، فيكون من الهالكين. Seandainya orang yang berakal merenungkan kematian banyak orang dan kepulangan mereka dalam keadaan benar-benar merugi serta layak mendapat azab, niscaya ia mengerti bahwa sebab itu semua kembali pada menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak berguna. Subhanallah! Betapa banyak orang yang menghabiskan waktunya dalam kemaksiatan dan dosa yang telah biasa ia perbuat, ia berangan-angan untuk bertobat di sela-sela perbuatannya itu, tapi tanpa terasa kematian telah lebih dulu hadir daripada angan-angannya. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ “Sesungguhnya (bagi) orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran) setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan menggoda mereka dan memanjangkan (angan-angan) mereka.” (QS. Muhammad: 25). Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah mengatakan, “Yakni setan menghiasi dosa-dosa mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Kitab Al-Jami Li-Ahkam Al-Qur’an jilid 16 hlm. 249). Oleh sebab itu, di antara efek negatif terbesar dari menyia-nyiakan waktu adalah terputusnya usaha untuk meraih akhirat dengan amal-amal saleh dan berlarut-larut dalam mengejar kenikmatan dunia. Ini juga yang menyeret manusia menuju kelalaian yang parah, angan-angan panjang, ditelantarkan Allah Ta’ala, pengabaian terhadap diri sendiri, dan penjerumusan diri kepada azab. Allah Ta’ala berfirman: نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ “Orang-orang yang melupakan Allah Ta’ala sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19). Karena itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih parah daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah Ta’ala dan negeri akhirat, sedangkan kematian memutusmu dari dunia dan para penghuninya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 31). Setiap kali seseorang melalaikan waktunya untuk bertobat, ia akan ingin melakukannya di waktu yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjadi penghalang antara dirinya dan tobat, sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang binasa. وقد تؤدي به إضاعة الوقت إلى التكاسل والفتور، فيطمع في رحمة الله تعالى من غير أخد بالأسباب، فيقع في الأمن الذي حذَّر الله منه بقوله: ﴿ أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ﴾ [الأعراف: 99]. وفي المقابل قد يؤدي به ذلك إلى القنوط من رحمة الله تعالى، لما قد يتوهم من عجز عن التوبة بسبب الإدمان على المعاصي، فيقع في اليأس من قدرته على التوبة، فيسخط على نفسه وعلى القدر، ولله در القائل: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Menyia-nyiakan waktu terkadang menjerumuskan kepada rasa malas dan lesu sehingga ia memimpikan rahmat Allah Ta’ala tanpa menempuh jalannya, lalu ia terjerumus ke dalam rasa aman yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya melalui firman-Nya: أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ “Atau apakah mereka merasa aman dari siksa Allah Ta’ala (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada orang yang merasa aman dari siksa Allah Ta’ala, selain kaum yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 99). Di sisi lain, itu juga dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, karena ia merasa tidak mampu untuk bertobat karena telah terperangkap rasa candu terhadap kemaksiatan, sehingga timbul rasa putus asa atas ketidakmampuannya untuk bertobat, sampai-sampai ia murka terhadap diri sendiri dan takdirnya. Betapa bagus yang dikatakan penyair: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Orang yang tak mampu mengungkap pendapat banyak membuang kesempatannya Hingga ketika telah luput kesempatan darinya, ia justru mengutuk takdirnya وقد أرشد الشرع إلى بعض الطرق لعلاج هذه الآفة، ومن ذلك إرشاده إلى ضرورة اغتنام الوقت قبل فواته، فقد روى الحاكم في المستدرك من حديث ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اغتنم خمسًا قبل خمس، ذكر منها: وفراغك قبل شغلك، وشبابك قبل هرمك)[أخرجه الحاكم في المستدرك (5/ 435)، وصحَّحه الشيخ الألباني في صحيح الجامع الصغير (1/ 244) برقم (1077)]. Syariat telah memberi arahan tentang beberapa cara untuk menangani penyakit ini, di antaranya adalah pentingnya memanfaatkan waktu sebelum berlalu. Diriwayatkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara.” Lalu beliau menyebutkan salah satunya, “Waktu luangmu sebelum sibukmu, dan masa mudamu sebelum tuamu.” (HR. Al-Hakim no. 1077 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir 1/244). وقال عليه السلام ناصحًا أمته ومحذرًا من العجز بقوله: (احرص على ما ينفعك ولا تعجز)[أخرجه مسلم، كتاب القدر، باب في الأمر بالقوة وترك العجز، رقم 2664]، فالعجز يحث على إضاعة الوقت وترك ما ينفع، كما حثنا ديننا الحنيف على تذكُّر الموت والحساب، من أجل أن يكون المؤمن شديد الحرص على وقته؛ قال عليه الصلاة والسلام: (أكثروا من ذكر هادم اللَّذات)[رواه الترمذي برقم 2307 والنسائي برقم 1824، وقال النووي في المجموع (105/5): رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه بأسانيد صحيحة كلها على شرط البخاري ومسلم، وقال الألباني في صحيح ابن ماجه: حسن صحيح]، وقال أيضًا: (لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه…)[أخرجه الترمذي، باب في القيامة، رقم 2417، وقال: هذا حديث حسن صحيح]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menasihati umatnya dan memperingatkan mereka dari sikap lemah dengan bersabda:  احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجِزْ “Bersemangatlah mengejar apa yang bermanfaat bagimu dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664). Sebab sikap lemah akan mendorong pada menyia-nyiakan waktu dan mengabaikan apa yang bermanfaat. Agama kita yang lurus juga mendorong kita untuk senantiasa mengingat kematian dan Hari Perhitungan Amal, agar seorang mukmin benar-benar memanfaatkan waktunya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَاتِ “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307 dan An-Nasa’i no. 1824. An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu jilid 5 hlm. 105, “Hadis ini diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad-sanad sahih yang semuanya memenuhi syarat hadis sah menurut Imam Al-Bukhari dan Muslim.” Sedangkan Al-Albani mengatakan dalam kitab Sahih Ibnu Majah, “Hadis ini hasan sahih”).  Beliau juga bersabda: لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417. Beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih”). وليحرص المؤمن على الصحبة الصالحة، ففي ذلك خير كثير، كالتذاكر والتناصح، فهذا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عصمته يأمره سبحانه بأن يصبر نفسه مع المؤمنين، وأن يجانب الغافلين عن ذكره بقوله: ﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾ [الكهف: 28]. Seorang mukmin hendaklah juga berusaha mencari teman yang baik, karena itu mengandung banyak kebaikan, seperti bisa saling mengingatkan dan menasihati. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam —meskipun telah terlindungi dari dosa— tetap diperintahkan Allah untuk menyabarkan diri bersama orang-orang beriman dan menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat-Nya: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا “Bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). وعلى المؤمن أن يلاحظ المفاسد الحاصلة والمصالح التالفة بسبب إضاعة الوقت، وليتفقه في الدين، وليقرأ في سير السلف الصالح وشدة عنايتهم بحفظ الوقت، وسيجد العجب العجاب في هذا الباب، ومما يدل على ذلك قول ابن عمر رضي الله عنهما: (إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحتَ فلا تنتظر المساء، وخُذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك)[أخرجه البخاري، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل، رقم 6416]. Seorang mukmin hendaknya memperhatikan keburukan yang terjadi dan kebaikan yang terbengkalai akibat menyia-nyiakan waktu. Hendaklah ia mendalami agamanya, membaca sejarah hidup para Salafus Shalih dan bagaimana usaha mereka dalam memanfaatkan waktu, niscaya ia akan benar-benar takjub. Di antaranya hal yang membuktikan ini adalah ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan menunggu pagi, dan jika di waktu pagi maka jangan menunggu sore. Manfaatkanlah kesehatanmu untuk mengganti masa sakitmu (yang terbuang), dan masa hidupmu untuk kematianmu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 6416). بل كانوا لا يتركون وقتًا إلا ويصرفونه في طاعة الله تعالى، قال معاذ رضي الله عنه: (أما أنا، فأنام وأقوم فأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي)[أخرجه البخاري، برقم 4344]، وهذا الحسن البصري يقول: (أدركتُ أقوامًا كان أحدهم أشح على عمره منه على درهمه وديناره)[أخرجه ابن أبي الدنيا في العمر والشيب، ص 81، مكتبة الرشد، الرياض، الطبعة الأولى، 1412] وقال ابن الجوزي رحمه الله: (ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه، وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم الأفضل فالأفضل من القول والعمل)[صيد الخاطر، ص 31، دار القلم – دمشق، الطبعة الأولى، 1425هـ]. قال الشاعر: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ وقال الآخر: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ فما أحوجَ الأمة اليوم إلى إدراك قيمة الوقت، فإن ذلك باعث إن شاء الله على الجد والاجتهاد، والسير حثيثًا نحو الفلاح في الدنيا والآخرة! Tidaklah dulu mereka membiarkan waktu berlalu kecuali untuk digunakan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Muadz Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adapun aku, tidur juga Salat Malam, tapi aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana mengharap pahala dari Salat Malamku.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 4344). Demikian juga Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Aku pernah menemui kaum yang mereka lebih pelit terhadap waktunya daripada terhadap dinar dan dirhamnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-Umr wa Asy-Syaib hlm. 81). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Hendaklah manusia mengetahui kemuliaan masanya dan nilai waktunya, sehingga janganlah ia menyia-nyiakan sedikitpun darinya kecuali untuk ibadah. Ia harus mendahulukan ucapan dan perbuatan berdasarkan prioritasnya.” (Kitab Shaid aAl-Khathir hlm. 31). Seorang penyair berkata: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ Waktu adalah hal termahal yang harus kamu jaga Tapi saya melihat itu hal yang paling mudah untuk kamu sia-siakan Penyair lain berkata: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ Masa muda yang telah berlalu tidak dapat kembali Juga hari yang telah lewat tidak dapat diulang lagi Pada zaman ini, betapa besar kebutuhan umat untuk mengetahui nilai waktu, karena itu akan menjadi penumbuh —Insyaallah— kesungguhan dan usaha, dan perjalanan laju menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Sumber: https://www.alukah.net/وقتك عمرك Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 350 times, 1 visit(s) today Post Views: 303 QRIS donasi Yufid


وقتك عمرك Oleh:  Musthofa bin Abdus Salam al-Kitami مصطفى بن عبدالسلام الكتامي إن الحمد لله نحمده ونستعينه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا كثيرًا، أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkan dan siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak memiliki sekutu, dan saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: فقد خلق الله تعالى الإنسان في هذه الدنيا لعبادته وإعداد العدة للآخرة، ولا يملك الإنسان لتحقيق هذه الغاية إلا استغلال وقته والعناية به أشد العناية، ذلك أن وقته هو عمره، فمن ضيَّع وقته ضيع دنياه وآخرته؛ قال ابن القيم: (ما مضى من الدنيا أحلام، وما بقى منها أماني، والوقت ضائع بينهما)[الفوائد، ص 48، دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة الثانية، 1393 هـ]. Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini untuk beribadah kepada-Nya dan menyiapkan bekal menuju akhirat. Seseorang tidak akan mampu mewujudkan tujuan ini melainkan dengan memanfaatkan waktunya dan memberi perhatian besar terhadapnya, karena waktu adalah umurnya, siapa yang menyia-nyiakan waktunya maka ia telah menyia-nyiakan dunia dan akhiratnya. Ibnu Al-Qayyim berkata, “Apa yang telah berlalu dari dunia hanya menjadi mimpi, dan apa yang masih tersisa hanyalah angan, sedangkan waktu tersia-siakan di antara keduanya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 48). والملاحظ اليوم في عالم كثُرت فيه الملهيات وعظُمت فيه فتن الشهوات والشبهات – هو إضاعة الوقت، حتى إن هذا الأمر أصبح مطلوبًا عند الناس، فتجد الرجل منغمسًا في اللهو سادرًا، فإذا عوتب على ذلك يجيب بقوله مثلا: أقتل الوقت، وقد بيَّن كتاب الله تعالى سرعة زوال الدنيا وقلة أيامنا فيها؛ حتى يتنبه اللبيب الفطن، فيُشمر عن ساعد الجد؛ ليغتنم عمره في طاعة الله عز وجل؛ قال تعالى: ﴿ قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [المؤمنون: 114]. Hal yang sangat mencolok saat ini —di dunia yang penuh dengan senda gurau serta fitnah syubhat dan syahwat— adalah menyia-nyiakan waktu, bahkan hal ini menjadi hal yang dicari-cari banyak orang. Kamu mungkin mendapati seseorang sedang tenggelam dalam senda gurau, lalu ketika ia dicela atas hal itu, ia dengan ringan menjawab, “Sekedar untuk menghabiskan waktu!” Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan betapa cepatnya dunia ini lenyap dan betapa singkat hari-hari kita di dalamnya, agar orang yang cerdas dapat tergugah, sehingga ia dapat kembali bersemangat untuk memanfaatkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dia (Allah) berfirman, ‘Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar jika kamu benar-benar mengetahui.’” (QS. Al-Mu’minun: 114). وحث النبي صلى الله عليه وسلم على استغلال الصحة والفراغ من أجل الاستفادة من الوقت، خاصة أن كثيرًا من الناس لا يحسنون رعاية هاتين النعمتين العظيمتين، فقال: (نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ)[أخرجه البخاري، باب لا عيش إلا عيش الآخرة، برقم 6412]؛  قال ابن بطال رحمه الله: (قال بعض العلماء: إنما أراد صلى الله عليه وسلم بقوله: (الصحة والفراغ نعمتان…) تنبيه أُمَّته على مقدار عظيم نعمة الله على عباده في الصحة والكفاية، وجعل مدة طاعتهم في الدنيا منقضية بانقضاء أعمارهم، فمن أنعم النظر في هذا كان حريًّا ألا يذهب عنه وقت من صحته وفراغه إلا وينفقه في طاعة ربه، ويشكره على عظيم مواهبه، والاعتراف بالتقصير عن بلوغ كُنه تأدية ذلك، فمن لم يكن هكذا وغفل وسها عن التزام ما ذكرنا، ومرت أيامه عنه في سهو ولهو وعجز عن القيام بما لزمه لربه تعالى، فقد غبَن أيامه، وسوف يندم حيث لا ينفعه الندم)[شرح صحيح البخاري لابن بطال 10/ 146 و147، مكتبة الرشد الطبعة الثانية 1423هـ]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi dorongan untuk menggunakan kesehatan dan waktu luang demi pemanfaatan waktu, terlebih lagi banyak orang yang tidak mampu menjaga dua kenikmatan besar tersebut. Beliau bersabda: نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412). Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Seorang ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi bahwa sehat dan waktu luang merupakan dua kenikmatan adalah untuk mengingatkan umatnya tentang betapa besar nikmat Allah bagi para hamba-Nya dari sisi kesehatan dan kecukupan, dan mengingatkan bahwa kesempatan mereka untuk melakukan ketaatan di dunia akan habis dengan habisnya umur mereka. Barang siapa yang mencermati hal ini, selayaknya untuk tidak kehilangan kesempatan dari kesehatan dan waktu luangnya melainkan digunakan untuk ketaatan kepada Tuhannya, bersyukur kepada-Nya atas besarnya limpahan karunia-Nya, dan mengakui kelalaiannya dalam menunaikan itu semua dengan sebenar-benarnya. Barang siapa yang tidak demikian, dan justru lalai dan lengah dari menjalankan apa yang telah kami sebutkan itu, kemudian hari-harinya hanya berlalu dalam senda gurau, main-main, dan kelesuan dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, maka ia telah menipu hari-harinya, dan kelak akan menyesal pada hari tidak berguna lagi penyesalan.” (Kitab Syarh Shahih Al-Bukhari Karya Ibnu Baththal, jilid 10 hlm. 146-147). بل لو تأمَّل العاقل في هلاك كثير من الناس ورجوعهم بالغبن الفاحش، واستحقاقهم للعذاب، لوجد أن سبب ذلك يؤول إلى إضاعة الوقت في غير طائل، فسبحان الله! كم من قتيل لهذا الوقت كان منغمسًا في المعاصي والآثام قد تمرَّس بها، وكان يُمنِّي نفسه بالتوبة في ثنايا ذلك، فلم يشعر إلا وقد كان الموت أسبق إليه من تلك الأماني؛ قال تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ﴾ [محمد: 25]؛ قال الحسن البصري رحمه الله: (أي زيَّن لهم الشيطانُ الخطايا، ومدَّ لهم في الأمل)[الجامع لأحكام القرآن: 16/ 249]. لهذا كان من أعظم مفاسد إضاعة الوقت: الانقطاع عن السعي إلى الآخرة بالأعمال الصالحة والتمادي في طلب متاع الدنيا، وهو ما يسوق المرء إلى شدَّة الغفلة وطول الأمل، والخِذلان من الله تعالى، وضياع النفس وتعريضها للعذاب؛ قال تعالى: ﴿ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ﴾ [الحشر: 19]، لذلك قال ابن القيم: (إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها)[الفوائد ص31]، فكلما أضاع المرء وقتًا للتوبة طمع في وقت آخر وهكذا، حتى يحول الموت بينه وبين ذلك، فيكون من الهالكين. Seandainya orang yang berakal merenungkan kematian banyak orang dan kepulangan mereka dalam keadaan benar-benar merugi serta layak mendapat azab, niscaya ia mengerti bahwa sebab itu semua kembali pada menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak berguna. Subhanallah! Betapa banyak orang yang menghabiskan waktunya dalam kemaksiatan dan dosa yang telah biasa ia perbuat, ia berangan-angan untuk bertobat di sela-sela perbuatannya itu, tapi tanpa terasa kematian telah lebih dulu hadir daripada angan-angannya. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ “Sesungguhnya (bagi) orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran) setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan menggoda mereka dan memanjangkan (angan-angan) mereka.” (QS. Muhammad: 25). Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah mengatakan, “Yakni setan menghiasi dosa-dosa mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Kitab Al-Jami Li-Ahkam Al-Qur’an jilid 16 hlm. 249). Oleh sebab itu, di antara efek negatif terbesar dari menyia-nyiakan waktu adalah terputusnya usaha untuk meraih akhirat dengan amal-amal saleh dan berlarut-larut dalam mengejar kenikmatan dunia. Ini juga yang menyeret manusia menuju kelalaian yang parah, angan-angan panjang, ditelantarkan Allah Ta’ala, pengabaian terhadap diri sendiri, dan penjerumusan diri kepada azab. Allah Ta’ala berfirman: نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ “Orang-orang yang melupakan Allah Ta’ala sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19). Karena itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih parah daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah Ta’ala dan negeri akhirat, sedangkan kematian memutusmu dari dunia dan para penghuninya.” (Kitab Al-Fawaid hlm. 31). Setiap kali seseorang melalaikan waktunya untuk bertobat, ia akan ingin melakukannya di waktu yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjadi penghalang antara dirinya dan tobat, sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang binasa. وقد تؤدي به إضاعة الوقت إلى التكاسل والفتور، فيطمع في رحمة الله تعالى من غير أخد بالأسباب، فيقع في الأمن الذي حذَّر الله منه بقوله: ﴿ أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ﴾ [الأعراف: 99]. وفي المقابل قد يؤدي به ذلك إلى القنوط من رحمة الله تعالى، لما قد يتوهم من عجز عن التوبة بسبب الإدمان على المعاصي، فيقع في اليأس من قدرته على التوبة، فيسخط على نفسه وعلى القدر، ولله در القائل: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Menyia-nyiakan waktu terkadang menjerumuskan kepada rasa malas dan lesu sehingga ia memimpikan rahmat Allah Ta’ala tanpa menempuh jalannya, lalu ia terjerumus ke dalam rasa aman yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya melalui firman-Nya: أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ “Atau apakah mereka merasa aman dari siksa Allah Ta’ala (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada orang yang merasa aman dari siksa Allah Ta’ala, selain kaum yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 99). Di sisi lain, itu juga dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, karena ia merasa tidak mampu untuk bertobat karena telah terperangkap rasa candu terhadap kemaksiatan, sehingga timbul rasa putus asa atas ketidakmampuannya untuk bertobat, sampai-sampai ia murka terhadap diri sendiri dan takdirnya. Betapa bagus yang dikatakan penyair: وَعاجزُ الرَّأيِ مِضياعٌ لفرصته *** حَتى إِذا فات أمرٌ عاتب القَدَرا Orang yang tak mampu mengungkap pendapat banyak membuang kesempatannya Hingga ketika telah luput kesempatan darinya, ia justru mengutuk takdirnya وقد أرشد الشرع إلى بعض الطرق لعلاج هذه الآفة، ومن ذلك إرشاده إلى ضرورة اغتنام الوقت قبل فواته، فقد روى الحاكم في المستدرك من حديث ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اغتنم خمسًا قبل خمس، ذكر منها: وفراغك قبل شغلك، وشبابك قبل هرمك)[أخرجه الحاكم في المستدرك (5/ 435)، وصحَّحه الشيخ الألباني في صحيح الجامع الصغير (1/ 244) برقم (1077)]. Syariat telah memberi arahan tentang beberapa cara untuk menangani penyakit ini, di antaranya adalah pentingnya memanfaatkan waktu sebelum berlalu. Diriwayatkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara.” Lalu beliau menyebutkan salah satunya, “Waktu luangmu sebelum sibukmu, dan masa mudamu sebelum tuamu.” (HR. Al-Hakim no. 1077 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir 1/244). وقال عليه السلام ناصحًا أمته ومحذرًا من العجز بقوله: (احرص على ما ينفعك ولا تعجز)[أخرجه مسلم، كتاب القدر، باب في الأمر بالقوة وترك العجز، رقم 2664]، فالعجز يحث على إضاعة الوقت وترك ما ينفع، كما حثنا ديننا الحنيف على تذكُّر الموت والحساب، من أجل أن يكون المؤمن شديد الحرص على وقته؛ قال عليه الصلاة والسلام: (أكثروا من ذكر هادم اللَّذات)[رواه الترمذي برقم 2307 والنسائي برقم 1824، وقال النووي في المجموع (105/5): رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه بأسانيد صحيحة كلها على شرط البخاري ومسلم، وقال الألباني في صحيح ابن ماجه: حسن صحيح]، وقال أيضًا: (لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه…)[أخرجه الترمذي، باب في القيامة، رقم 2417، وقال: هذا حديث حسن صحيح]. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menasihati umatnya dan memperingatkan mereka dari sikap lemah dengan bersabda:  احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجِزْ “Bersemangatlah mengejar apa yang bermanfaat bagimu dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664). Sebab sikap lemah akan mendorong pada menyia-nyiakan waktu dan mengabaikan apa yang bermanfaat. Agama kita yang lurus juga mendorong kita untuk senantiasa mengingat kematian dan Hari Perhitungan Amal, agar seorang mukmin benar-benar memanfaatkan waktunya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَاتِ “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307 dan An-Nasa’i no. 1824. An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu jilid 5 hlm. 105, “Hadis ini diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad-sanad sahih yang semuanya memenuhi syarat hadis sah menurut Imam Al-Bukhari dan Muslim.” Sedangkan Al-Albani mengatakan dalam kitab Sahih Ibnu Majah, “Hadis ini hasan sahih”).  Beliau juga bersabda: لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417. Beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih”). وليحرص المؤمن على الصحبة الصالحة، ففي ذلك خير كثير، كالتذاكر والتناصح، فهذا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عصمته يأمره سبحانه بأن يصبر نفسه مع المؤمنين، وأن يجانب الغافلين عن ذكره بقوله: ﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾ [الكهف: 28]. Seorang mukmin hendaklah juga berusaha mencari teman yang baik, karena itu mengandung banyak kebaikan, seperti bisa saling mengingatkan dan menasihati. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam —meskipun telah terlindungi dari dosa— tetap diperintahkan Allah untuk menyabarkan diri bersama orang-orang beriman dan menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat-Nya: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا “Bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). وعلى المؤمن أن يلاحظ المفاسد الحاصلة والمصالح التالفة بسبب إضاعة الوقت، وليتفقه في الدين، وليقرأ في سير السلف الصالح وشدة عنايتهم بحفظ الوقت، وسيجد العجب العجاب في هذا الباب، ومما يدل على ذلك قول ابن عمر رضي الله عنهما: (إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحتَ فلا تنتظر المساء، وخُذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك)[أخرجه البخاري، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل، رقم 6416]. Seorang mukmin hendaknya memperhatikan keburukan yang terjadi dan kebaikan yang terbengkalai akibat menyia-nyiakan waktu. Hendaklah ia mendalami agamanya, membaca sejarah hidup para Salafus Shalih dan bagaimana usaha mereka dalam memanfaatkan waktu, niscaya ia akan benar-benar takjub. Di antaranya hal yang membuktikan ini adalah ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan menunggu pagi, dan jika di waktu pagi maka jangan menunggu sore. Manfaatkanlah kesehatanmu untuk mengganti masa sakitmu (yang terbuang), dan masa hidupmu untuk kematianmu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 6416). بل كانوا لا يتركون وقتًا إلا ويصرفونه في طاعة الله تعالى، قال معاذ رضي الله عنه: (أما أنا، فأنام وأقوم فأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي)[أخرجه البخاري، برقم 4344]، وهذا الحسن البصري يقول: (أدركتُ أقوامًا كان أحدهم أشح على عمره منه على درهمه وديناره)[أخرجه ابن أبي الدنيا في العمر والشيب، ص 81، مكتبة الرشد، الرياض، الطبعة الأولى، 1412] وقال ابن الجوزي رحمه الله: (ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه، وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم الأفضل فالأفضل من القول والعمل)[صيد الخاطر، ص 31، دار القلم – دمشق، الطبعة الأولى، 1425هـ]. قال الشاعر: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ وقال الآخر: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ فما أحوجَ الأمة اليوم إلى إدراك قيمة الوقت، فإن ذلك باعث إن شاء الله على الجد والاجتهاد، والسير حثيثًا نحو الفلاح في الدنيا والآخرة! Tidaklah dulu mereka membiarkan waktu berlalu kecuali untuk digunakan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Muadz Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adapun aku, tidur juga Salat Malam, tapi aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana mengharap pahala dari Salat Malamku.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 4344). Demikian juga Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Aku pernah menemui kaum yang mereka lebih pelit terhadap waktunya daripada terhadap dinar dan dirhamnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-Umr wa Asy-Syaib hlm. 81). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Hendaklah manusia mengetahui kemuliaan masanya dan nilai waktunya, sehingga janganlah ia menyia-nyiakan sedikitpun darinya kecuali untuk ibadah. Ia harus mendahulukan ucapan dan perbuatan berdasarkan prioritasnya.” (Kitab Shaid aAl-Khathir hlm. 31). Seorang penyair berkata: وَالوقت أنْفَسُ مَا عُنِيتَ بِحفظه *** وَأراه أسهلُ ما عليك يضيعُ Waktu adalah hal termahal yang harus kamu jaga Tapi saya melihat itu hal yang paling mudah untuk kamu sia-siakan Penyair lain berkata: وما ماضي الشبابِ بمستردٍّ *** ولا يوم يمرُّ بِمُستعادِ Masa muda yang telah berlalu tidak dapat kembali Juga hari yang telah lewat tidak dapat diulang lagi Pada zaman ini, betapa besar kebutuhan umat untuk mengetahui nilai waktu, karena itu akan menjadi penumbuh —Insyaallah— kesungguhan dan usaha, dan perjalanan laju menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Sumber: https://www.alukah.net/وقتك عمرك Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 350 times, 1 visit(s) today Post Views: 303 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Keutamaan Masjidil Aqsha dan Kewajiban Umat Islam Menjaganya

Masjidil Aqsha adalah salah satu masjid paling mulia dalam Islam, tempat yang Allah kaitkan langsung dengan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ. Di tanah suci ini para nabi pernah hidup, berdakwah, bahkan dimakamkan, menjadikannya pusat sejarah dan peradaban tauhid. Banyak hadits menegaskan keutamaannya, termasuk pahala shalat yang berlipat dan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga masjid utama. Kini, tanggung jawab kaum muslimin adalah menjaga dan membela Masjidil Aqsha sebagai amanah hingga akhir zaman.  Daftar Isi tutup 1. Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺ 2. Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺ 3. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid Utama 4. Keutamaan Shalat di Masjidil Aqsha 5. Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di Bumi 6. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām 7. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir Zaman 7.1. Referensi: Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺSalah satu keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa Allah ﷻ menjadikannya sebagai tujuan perjalanan malam Nabi ﷺ dari Masjidil Haram. Dari sanalah beliau kemudian mengimami para nabi dalam shalat, sebuah peristiwa agung yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ dan kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam.Allah ﷻ berfirman:﴿ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)Perjalanan agung ini menegaskan betapa Masjidil Aqsha memiliki ikatan erat dengan Masjidil Haram, sekaligus menjadi simbol persatuan umat Islam dengan para nabi sebelumnya.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Allah ﷻ memuji diri-Nya dan mengagungkan kedudukan-Nya karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh siapa pun selain-Nya. Maka tidak ada sesembahan selain Dia, dan tidak ada Tuhan selain Dia.Firman-Nya: (الذي أسرى بعبده) maksudnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.Firman-Nya: (ليلا) yakni pada sebagian waktu malam.Firman-Nya: (من المسجد الحرام) yaitu Masjidil Haram di Mekkah.Firman-Nya: (إلى المسجد الأقصى) yakni Baitul Maqdis yang berada di Iliya (Yerusalem), tempat yang menjadi pusat para nabi sejak Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihis-salām.Karena itulah, seluruh para nabi dikumpulkan untuk beliau di sana. Lalu Rasulullah ﷺ menjadi imam mereka di tempat tinggal dan negeri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah imam terbesar, pemimpin utama, dan yang paling dimuliakan. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau dan seluruh nabi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺDari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:“Sesungguhnya aku pernah berada di Hijr (Hijr Ismail), lalu Quraisy menanyai aku tentang perjalananku di malam Isra’. Mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal dari Baitul Maqdis yang sebelumnya aku tidak menghafalnya. Maka aku merasa sangat gelisah, sebuah kegelisahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidaklah mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku jawab dengan benar.Dan sungguh aku pernah berada di tengah kumpulan para nabi. Tiba-tiba Musa ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Beliau seorang lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, seakan-akan seperti salah seorang lelaki dari kabilah Syanu’ah.Kemudian aku melihat Isa putra Maryam ‘alaihis salām sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.Lalu aku melihat Ibrahim ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (maksudnya: aku sendiri).Tibalah waktu shalat, maka aku mengimami mereka. Setelah aku selesai shalat, ada seseorang berkata: ‘Wahai Muhammad, ini Malik penjaga neraka. Sampaikan salam kepadanya.’ Maka aku menoleh kepadanya, dan ternyata ia yang lebih dahulu memberi salam kepadaku.” (HR. Muslim)Dalam hadits ini tampak jelas bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan dirinya berada di depan seluruh para rasul dan mengimami mereka. Shalatnya para rasul di belakang beliau merupakan pengakuan mereka atas kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah yang dibawa beliau telah menghapus semua risalah sebelumnya. Maka syariat-syariat para nabi terdahulu tidak lagi diamalkan dan tidak menjadi rujukan. Tanggung jawab atas Masjidil Aqsha pun berpindah kepada risalah penutup yang Allah sempurnakan melalui Nabi kita Muhammad ﷺ.Dengan kata lain, Masjidil Aqsha adalah milik kaum muslimin hingga hari kiamat, sebagaimana disaksikan dan diakui oleh seluruh para rasul.Para ulama memang berbeda pendapat tentang lokasi dan waktu shalat bersama para nabi ini. Namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis setelah peristiwa Mi’raj.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Kemudian Nabi ﷺ turun ke Baitul Maqdis, dan para nabi juga turun bersamanya. Beliau pun menunaikan shalat bersama mereka di sana ketika waktu shalat telah tiba. Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh pada hari tersebut.Sebagian orang berpendapat bahwa beliau mengimami para nabi di langit. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang kuat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Namun ada sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa shalat itu dilakukan saat pertama kali beliau memasuki Baitul Maqdis. Yang lebih tepat, shalat itu terjadi setelah beliau kembali ke sana.Sebab, ketika beliau melewati para nabi di tempat kediaman mereka, beliau bertanya kepada Jibril tentang mereka satu per satu, dan Jibril memberitahukan siapa mereka. Hal ini lebih sesuai, karena pada awalnya beliau memang diminta untuk naik ke hadirat Ilahi di langit guna menerima kewajiban yang Allah tetapkan atas beliau dan umatnya.Setelah selesai dari urusan tersebut, barulah beliau berkumpul bersama saudara-saudara beliau dari kalangan para nabi. Lalu ditampakkanlah kemuliaan dan keutamaan beliau di atas mereka dengan dijadikannya beliau sebagai imam shalat. Hal ini pun atas isyarat dari Malaikat Jibril kepadanya.Setelah itu beliau keluar dari Baitul Maqdis, menunggangi Buraq, lalu kembali ke Mekkah dalam keadaan masih gelap. Allah Subhānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir)Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menguatkan hal ini. Beliau berkata:“Yang benar adalah bahwa Nabi ﷺ bertemu dengan para nabi di langit, kemudian turun kembali ke Baitul Maqdis bersama mereka. Di sanalah beliau mengimami mereka dalam shalat. Setelah itu, beliau menunggangi Buraq dan kembali menuju Mekkah. Allah lebih mengetahui.” (Al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, Al-Albani)Catatan:Buraq (ٱلْبُرَاقُ) adalah hewan tunggangan yang Allah ﷻ khususkan untuk perjalanan Nabi ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj.Ciri-ciri Buraq berdasarkan hadis:1. Disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:«أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ – وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ، فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ»“Aku didatangkan dengan Buraq — yaitu seekor hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal. Setiap langkahnya sejauh pandangan mata.” (HR. Muslim no. 162)2. Buraq adalah kendaraan yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cahaya. Ia mampu menempuh jarak yang jauh hanya dalam sekejap.3. Buraq bukanlah hewan biasa yang hidup di dunia, melainkan ciptaan khusus Allah ﷻ untuk mengantarkan Nabi ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Aqsha menuju langit dalam perjalanan Mi‘raj.Makna spiritual:• Perjalanan dengan Buraq menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, karena Allah memuliakan beliau dengan tunggangan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.• Hal ini juga mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas akal manusia, sebab perjalanan yang mustahil secara logika dapat terjadi dengan izin-Nya. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid UtamaDi antara keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa ia termasuk salah satu dari tiga masjid yang disyariatkan untuk melakukan perjalanan jauh khusus demi beribadah di dalamnya.Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Qaz‘ah, maula Ziyad. Ia berkata: Aku mendengar Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu menyampaikan empat hal dari Nabi ﷺ yang membuatku kagum dan senang. Rasulullah ﷺ bersabda:لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ، وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي.“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Tidak boleh berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Tidak boleh shalat setelah dua shalat, yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari)Hadits ini mengandung empat hukum penting:1. Larangan seorang wanita melakukan safar tanpa ditemani suami atau mahramnya.2. Larangan berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.3. Larangan melaksanakan shalat sunnah setelah Subuh hingga matahari terbit, serta setelah Ashar hingga matahari terbenam.4. Larangan melakukan perjalanan jauh secara khusus untuk beribadah di masjid selain tiga masjid utama: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Keutamaan Shalat di Masjidil AqshaShalat di Masjidil Aqsha memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibanding shalat di masjid lainnya, yaitu senilai dua ratus lima puluh kali lipat dibanding shalat di masjid biasa.Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا، أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.“Kami pernah berdiskusi di hadapan Rasulullah ﷺ, manakah yang lebih utama: Masjid Rasulullah atau Masjid Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu shalat di masjidku ini lebih utama dibanding empat shalat di Masjidil Aqsha. Dan Masjidil Aqsha adalah sebaik-baik tempat shalat. Akan datang suatu masa di mana seseorang memiliki sebidang tanah kecil seluas tali kekang kudanya, dari situlah ia bisa melihat Baitul Maqdis, maka itu lebih baik baginya daripada seluruh dunia dan isinya, atau beliau bersabda: lebih baik daripada dunia seisinya.’” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau mensahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di BumiMasjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu.قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ». قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى». قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: «أَرْبَعُونَ سَنَةً، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ».Ia berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Beliau menjawab: ‘Masjidil Haram.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian yang mana?’ Beliau menjawab: ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya: ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab: ‘Empat puluh tahun. Setelah itu, di mana saja waktu shalat mendapati engkau, maka dirikanlah shalat, karena di sanalah terdapat keutamaan.’” (HR. al-Bukhari)Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan:“Ibrahim ‘alaihis-salām bukanlah orang pertama yang membangun Ka’bah, dan Sulaiman ‘alaihis-salām juga bukan yang pertama membangun Baitul Maqdis. Telah diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ‘alaihis-salām. Lalu keturunannya menyebar di muka bumi. Maka mungkin saja salah seorang di antara mereka yang meletakkan dasar Masjidil Aqsha. Adapun Ibrahim ‘alaihis-salām membangun Ka’bah kembali sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Demikian pula al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman benar-benar memulai pembangunan kedua masjid itu dari awal, melainkan keduanya memperbarui bangunan yang sudah diletakkan sebelumnya.” (Fath al-Bari)Nabi Sulaiman ‘alaihis-salām pernah memohon kepada Allah ketika membangun Baitul Maqdis agar siapa saja yang menunaikan shalat di dalamnya diampuni dosanya hingga bersih seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.Dalam Musnad Imam Ahmad dan riwayat lainnya disebutkan bahwa Sulaiman bin Dawud, ketika membangun Baitul Maqdis, meminta tiga hal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Beliau memohon:سَأَلَ اللَّهَ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَلَّا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ – أَيْ لَا يَدْفَعُهُ – إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ، أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ.1. Agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka itu pun Allah berikan kepadanya.2. Agar diberi kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya, dan itu pun Allah kabulkan.3. Agar ketika selesai membangun masjid itu, tidak ada seorang pun yang datang ke sana dengan tujuan semata-mata untuk shalat di dalamnya, kecuali Allah keluarkan ia dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.Kemudian Nabi ﷺ bersabda:“Dua permohonan telah dikabulkan, dan aku berharap yang ketiga pun dikabulkan.”Hadits ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami‘.Dan kita pun berharap semoga Allah mengabulkan doa yang ketiga tersebut, serta menuliskan bagi kita kesempatan untuk bisa shalat di dalam Masjidil Aqsha, sehingga kita memperoleh pahala dan keutamaan itu. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘AlaihissalāmTanah Palestina yang penuh berkah adalah tempat hijrah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘alaihimas-salām. Ketika Allah Tabāraka wa Ta‘ālā menyelamatkan keduanya, Allah menunjuki mereka menuju negeri Palestina untuk menetap dan bermukim di sana.Di tanah inilah Khalilurrahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, wafat di Baitul Maqdis dan dimakamkan di bumi Palestina. Di sinilah pula kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas-salām berdiri di Baitul Maqdis.Di Baitul Maqdis juga hidup keluarga ‘Imran yang Allah pilih. Bahkan, ibunda Maryam pernah bernazar menyerahkan anak yang ada dalam kandungannya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Hal ini menunjukkan betapa agung kedudukan Baitul Maqdis bagi mereka.Allah Ta‘ālā berfirman:﴿ إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلْ مِنِّيٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ﴾“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Āli ‘Imrān: 35)Maknanya adalah bahwa istri Imran menazarkan anak yang ada dalam kandungannya, seraya memohon kepada Rabb-nya agar anak itu menjadi hamba yang ikhlas, sepenuhnya mengabdikan diri untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.Karena kedudukan Baitul Maqdis yang begitu mulia dan penuh berkah, maka Nabi Musa ‘alaihissalām pun pernah memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu menjelang wafatnya.Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ، وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ، يَضَعْ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَي رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكُثِيبِ الْأَحْمَرِ. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,“Telah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘alaihissalām. Ketika malaikat itu datang, Musa menamparnya hingga ia kembali kepada Rabb-nya. Malaikat itu berkata: ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah, lalu katakan kepadanya: Hendaklah ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi jantan. Maka setiap helai bulu yang tertutupi oleh tangannya, baginya umur tambahan satu tahun.’Musa berkata: ‘Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa?’ Allah berfirman: ‘Setelah itu kematian.’ Musa berkata: ‘Kalau begitu, sekarang saja.’Lalu Musa meminta kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu sejauh lemparan batu. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya aku berada di sana, niscaya aku perlihatkan kepada kalian kuburnya yang berada di sisi jalan, di dekat bukit pasir merah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Imam al-Bukhari rahimahullāh memberi judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya: “Bab tentang orang yang menyukai dikuburkan di tanah suci (Palestina).” (Fath al-Bari)Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata: “Adapun permintaan Musa ‘alaihissalām untuk didekatkan ke tanah suci adalah karena kemuliaannya dan keutamaan orang-orang yang dikuburkan di sana, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hanya meminta untuk didekatkan, bukan untuk benar-benar dikuburkan di dalam Baitul Maqdis, karena beliau khawatir jika kuburnya diketahui orang, maka manusia bisa terfitnah dengannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)Telah dimaklumi bahwa pada asalnya keselamatan seseorang ditentukan oleh amal shalihnya. Namun hadits ini menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis, bahwa ia benar-benar tanah yang penuh berkah. Bahkan Nabi Musa ‘alaihissalām sangat berharap agar kuburnya berada di dekat tanah tersebut. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir ZamanHari ini, Masjidil Aqsha berada di tangan segelintir Yahudi penjajah yang semena-mena. Tugas umat Islam adalah berusaha mengembalikannya dan menyatukannya kembali dengan kaum muslimin, karena ia adalah tempat Isra’ Rasulullah ﷺ.Membela Masjidil Aqsha adalah amanah yang berada di pundak setiap muslim. Mengerahkan usaha untuk itu adalah kewajiban, demikian pula menolong saudara-saudara kita di Palestina.Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Dia mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan kaum muslimin, menuliskan bagi kita kesempatan untuk shalat di dalamnya sebelum ajal menjemput, serta menundukkan kaum Zionis yang zalim beserta para penjahat yang serupa dengan mereka.Pada hari itu, kita semua akan bergembira dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.Baca Juga:Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah NabawiyahFaedah Sirah Nabi: Peristiwa Isra Mikraj Referensi:Islamweb. (2017, July 6). مِن فضائل بيت المقدس. Islamweb. https://www.islamweb.net/amp/ar/article/217738/ (diakses 22 Agustus 2025).@ Al-Quds Palestina, 23 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAmanah menjaga Masjidil Aqsha Doa Nabi Sulaiman di Baitul Maqdis Isra Mi’raj Nabi Muhammad Keutamaan Baitul Maqdis Keutamaan tiga masjid utama Kubur Nabi Musa dekat tanah suci Masjidil Aqsha Palestina tanah para nabi Sejarah Yerusalem dalam Islam Shalat di Masjidil Aqsha

Keutamaan Masjidil Aqsha dan Kewajiban Umat Islam Menjaganya

Masjidil Aqsha adalah salah satu masjid paling mulia dalam Islam, tempat yang Allah kaitkan langsung dengan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ. Di tanah suci ini para nabi pernah hidup, berdakwah, bahkan dimakamkan, menjadikannya pusat sejarah dan peradaban tauhid. Banyak hadits menegaskan keutamaannya, termasuk pahala shalat yang berlipat dan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga masjid utama. Kini, tanggung jawab kaum muslimin adalah menjaga dan membela Masjidil Aqsha sebagai amanah hingga akhir zaman.  Daftar Isi tutup 1. Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺ 2. Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺ 3. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid Utama 4. Keutamaan Shalat di Masjidil Aqsha 5. Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di Bumi 6. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām 7. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir Zaman 7.1. Referensi: Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺSalah satu keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa Allah ﷻ menjadikannya sebagai tujuan perjalanan malam Nabi ﷺ dari Masjidil Haram. Dari sanalah beliau kemudian mengimami para nabi dalam shalat, sebuah peristiwa agung yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ dan kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam.Allah ﷻ berfirman:﴿ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)Perjalanan agung ini menegaskan betapa Masjidil Aqsha memiliki ikatan erat dengan Masjidil Haram, sekaligus menjadi simbol persatuan umat Islam dengan para nabi sebelumnya.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Allah ﷻ memuji diri-Nya dan mengagungkan kedudukan-Nya karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh siapa pun selain-Nya. Maka tidak ada sesembahan selain Dia, dan tidak ada Tuhan selain Dia.Firman-Nya: (الذي أسرى بعبده) maksudnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.Firman-Nya: (ليلا) yakni pada sebagian waktu malam.Firman-Nya: (من المسجد الحرام) yaitu Masjidil Haram di Mekkah.Firman-Nya: (إلى المسجد الأقصى) yakni Baitul Maqdis yang berada di Iliya (Yerusalem), tempat yang menjadi pusat para nabi sejak Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihis-salām.Karena itulah, seluruh para nabi dikumpulkan untuk beliau di sana. Lalu Rasulullah ﷺ menjadi imam mereka di tempat tinggal dan negeri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah imam terbesar, pemimpin utama, dan yang paling dimuliakan. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau dan seluruh nabi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺDari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:“Sesungguhnya aku pernah berada di Hijr (Hijr Ismail), lalu Quraisy menanyai aku tentang perjalananku di malam Isra’. Mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal dari Baitul Maqdis yang sebelumnya aku tidak menghafalnya. Maka aku merasa sangat gelisah, sebuah kegelisahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidaklah mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku jawab dengan benar.Dan sungguh aku pernah berada di tengah kumpulan para nabi. Tiba-tiba Musa ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Beliau seorang lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, seakan-akan seperti salah seorang lelaki dari kabilah Syanu’ah.Kemudian aku melihat Isa putra Maryam ‘alaihis salām sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.Lalu aku melihat Ibrahim ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (maksudnya: aku sendiri).Tibalah waktu shalat, maka aku mengimami mereka. Setelah aku selesai shalat, ada seseorang berkata: ‘Wahai Muhammad, ini Malik penjaga neraka. Sampaikan salam kepadanya.’ Maka aku menoleh kepadanya, dan ternyata ia yang lebih dahulu memberi salam kepadaku.” (HR. Muslim)Dalam hadits ini tampak jelas bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan dirinya berada di depan seluruh para rasul dan mengimami mereka. Shalatnya para rasul di belakang beliau merupakan pengakuan mereka atas kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah yang dibawa beliau telah menghapus semua risalah sebelumnya. Maka syariat-syariat para nabi terdahulu tidak lagi diamalkan dan tidak menjadi rujukan. Tanggung jawab atas Masjidil Aqsha pun berpindah kepada risalah penutup yang Allah sempurnakan melalui Nabi kita Muhammad ﷺ.Dengan kata lain, Masjidil Aqsha adalah milik kaum muslimin hingga hari kiamat, sebagaimana disaksikan dan diakui oleh seluruh para rasul.Para ulama memang berbeda pendapat tentang lokasi dan waktu shalat bersama para nabi ini. Namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis setelah peristiwa Mi’raj.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Kemudian Nabi ﷺ turun ke Baitul Maqdis, dan para nabi juga turun bersamanya. Beliau pun menunaikan shalat bersama mereka di sana ketika waktu shalat telah tiba. Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh pada hari tersebut.Sebagian orang berpendapat bahwa beliau mengimami para nabi di langit. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang kuat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Namun ada sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa shalat itu dilakukan saat pertama kali beliau memasuki Baitul Maqdis. Yang lebih tepat, shalat itu terjadi setelah beliau kembali ke sana.Sebab, ketika beliau melewati para nabi di tempat kediaman mereka, beliau bertanya kepada Jibril tentang mereka satu per satu, dan Jibril memberitahukan siapa mereka. Hal ini lebih sesuai, karena pada awalnya beliau memang diminta untuk naik ke hadirat Ilahi di langit guna menerima kewajiban yang Allah tetapkan atas beliau dan umatnya.Setelah selesai dari urusan tersebut, barulah beliau berkumpul bersama saudara-saudara beliau dari kalangan para nabi. Lalu ditampakkanlah kemuliaan dan keutamaan beliau di atas mereka dengan dijadikannya beliau sebagai imam shalat. Hal ini pun atas isyarat dari Malaikat Jibril kepadanya.Setelah itu beliau keluar dari Baitul Maqdis, menunggangi Buraq, lalu kembali ke Mekkah dalam keadaan masih gelap. Allah Subhānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir)Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menguatkan hal ini. Beliau berkata:“Yang benar adalah bahwa Nabi ﷺ bertemu dengan para nabi di langit, kemudian turun kembali ke Baitul Maqdis bersama mereka. Di sanalah beliau mengimami mereka dalam shalat. Setelah itu, beliau menunggangi Buraq dan kembali menuju Mekkah. Allah lebih mengetahui.” (Al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, Al-Albani)Catatan:Buraq (ٱلْبُرَاقُ) adalah hewan tunggangan yang Allah ﷻ khususkan untuk perjalanan Nabi ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj.Ciri-ciri Buraq berdasarkan hadis:1. Disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:«أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ – وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ، فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ»“Aku didatangkan dengan Buraq — yaitu seekor hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal. Setiap langkahnya sejauh pandangan mata.” (HR. Muslim no. 162)2. Buraq adalah kendaraan yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cahaya. Ia mampu menempuh jarak yang jauh hanya dalam sekejap.3. Buraq bukanlah hewan biasa yang hidup di dunia, melainkan ciptaan khusus Allah ﷻ untuk mengantarkan Nabi ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Aqsha menuju langit dalam perjalanan Mi‘raj.Makna spiritual:• Perjalanan dengan Buraq menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, karena Allah memuliakan beliau dengan tunggangan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.• Hal ini juga mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas akal manusia, sebab perjalanan yang mustahil secara logika dapat terjadi dengan izin-Nya. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid UtamaDi antara keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa ia termasuk salah satu dari tiga masjid yang disyariatkan untuk melakukan perjalanan jauh khusus demi beribadah di dalamnya.Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Qaz‘ah, maula Ziyad. Ia berkata: Aku mendengar Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu menyampaikan empat hal dari Nabi ﷺ yang membuatku kagum dan senang. Rasulullah ﷺ bersabda:لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ، وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي.“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Tidak boleh berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Tidak boleh shalat setelah dua shalat, yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari)Hadits ini mengandung empat hukum penting:1. Larangan seorang wanita melakukan safar tanpa ditemani suami atau mahramnya.2. Larangan berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.3. Larangan melaksanakan shalat sunnah setelah Subuh hingga matahari terbit, serta setelah Ashar hingga matahari terbenam.4. Larangan melakukan perjalanan jauh secara khusus untuk beribadah di masjid selain tiga masjid utama: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Keutamaan Shalat di Masjidil AqshaShalat di Masjidil Aqsha memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibanding shalat di masjid lainnya, yaitu senilai dua ratus lima puluh kali lipat dibanding shalat di masjid biasa.Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا، أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.“Kami pernah berdiskusi di hadapan Rasulullah ﷺ, manakah yang lebih utama: Masjid Rasulullah atau Masjid Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu shalat di masjidku ini lebih utama dibanding empat shalat di Masjidil Aqsha. Dan Masjidil Aqsha adalah sebaik-baik tempat shalat. Akan datang suatu masa di mana seseorang memiliki sebidang tanah kecil seluas tali kekang kudanya, dari situlah ia bisa melihat Baitul Maqdis, maka itu lebih baik baginya daripada seluruh dunia dan isinya, atau beliau bersabda: lebih baik daripada dunia seisinya.’” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau mensahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di BumiMasjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu.قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ». قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى». قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: «أَرْبَعُونَ سَنَةً، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ».Ia berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Beliau menjawab: ‘Masjidil Haram.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian yang mana?’ Beliau menjawab: ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya: ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab: ‘Empat puluh tahun. Setelah itu, di mana saja waktu shalat mendapati engkau, maka dirikanlah shalat, karena di sanalah terdapat keutamaan.’” (HR. al-Bukhari)Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan:“Ibrahim ‘alaihis-salām bukanlah orang pertama yang membangun Ka’bah, dan Sulaiman ‘alaihis-salām juga bukan yang pertama membangun Baitul Maqdis. Telah diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ‘alaihis-salām. Lalu keturunannya menyebar di muka bumi. Maka mungkin saja salah seorang di antara mereka yang meletakkan dasar Masjidil Aqsha. Adapun Ibrahim ‘alaihis-salām membangun Ka’bah kembali sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Demikian pula al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman benar-benar memulai pembangunan kedua masjid itu dari awal, melainkan keduanya memperbarui bangunan yang sudah diletakkan sebelumnya.” (Fath al-Bari)Nabi Sulaiman ‘alaihis-salām pernah memohon kepada Allah ketika membangun Baitul Maqdis agar siapa saja yang menunaikan shalat di dalamnya diampuni dosanya hingga bersih seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.Dalam Musnad Imam Ahmad dan riwayat lainnya disebutkan bahwa Sulaiman bin Dawud, ketika membangun Baitul Maqdis, meminta tiga hal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Beliau memohon:سَأَلَ اللَّهَ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَلَّا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ – أَيْ لَا يَدْفَعُهُ – إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ، أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ.1. Agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka itu pun Allah berikan kepadanya.2. Agar diberi kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya, dan itu pun Allah kabulkan.3. Agar ketika selesai membangun masjid itu, tidak ada seorang pun yang datang ke sana dengan tujuan semata-mata untuk shalat di dalamnya, kecuali Allah keluarkan ia dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.Kemudian Nabi ﷺ bersabda:“Dua permohonan telah dikabulkan, dan aku berharap yang ketiga pun dikabulkan.”Hadits ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami‘.Dan kita pun berharap semoga Allah mengabulkan doa yang ketiga tersebut, serta menuliskan bagi kita kesempatan untuk bisa shalat di dalam Masjidil Aqsha, sehingga kita memperoleh pahala dan keutamaan itu. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘AlaihissalāmTanah Palestina yang penuh berkah adalah tempat hijrah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘alaihimas-salām. Ketika Allah Tabāraka wa Ta‘ālā menyelamatkan keduanya, Allah menunjuki mereka menuju negeri Palestina untuk menetap dan bermukim di sana.Di tanah inilah Khalilurrahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, wafat di Baitul Maqdis dan dimakamkan di bumi Palestina. Di sinilah pula kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas-salām berdiri di Baitul Maqdis.Di Baitul Maqdis juga hidup keluarga ‘Imran yang Allah pilih. Bahkan, ibunda Maryam pernah bernazar menyerahkan anak yang ada dalam kandungannya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Hal ini menunjukkan betapa agung kedudukan Baitul Maqdis bagi mereka.Allah Ta‘ālā berfirman:﴿ إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلْ مِنِّيٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ﴾“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Āli ‘Imrān: 35)Maknanya adalah bahwa istri Imran menazarkan anak yang ada dalam kandungannya, seraya memohon kepada Rabb-nya agar anak itu menjadi hamba yang ikhlas, sepenuhnya mengabdikan diri untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.Karena kedudukan Baitul Maqdis yang begitu mulia dan penuh berkah, maka Nabi Musa ‘alaihissalām pun pernah memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu menjelang wafatnya.Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ، وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ، يَضَعْ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَي رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكُثِيبِ الْأَحْمَرِ. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,“Telah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘alaihissalām. Ketika malaikat itu datang, Musa menamparnya hingga ia kembali kepada Rabb-nya. Malaikat itu berkata: ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah, lalu katakan kepadanya: Hendaklah ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi jantan. Maka setiap helai bulu yang tertutupi oleh tangannya, baginya umur tambahan satu tahun.’Musa berkata: ‘Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa?’ Allah berfirman: ‘Setelah itu kematian.’ Musa berkata: ‘Kalau begitu, sekarang saja.’Lalu Musa meminta kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu sejauh lemparan batu. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya aku berada di sana, niscaya aku perlihatkan kepada kalian kuburnya yang berada di sisi jalan, di dekat bukit pasir merah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Imam al-Bukhari rahimahullāh memberi judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya: “Bab tentang orang yang menyukai dikuburkan di tanah suci (Palestina).” (Fath al-Bari)Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata: “Adapun permintaan Musa ‘alaihissalām untuk didekatkan ke tanah suci adalah karena kemuliaannya dan keutamaan orang-orang yang dikuburkan di sana, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hanya meminta untuk didekatkan, bukan untuk benar-benar dikuburkan di dalam Baitul Maqdis, karena beliau khawatir jika kuburnya diketahui orang, maka manusia bisa terfitnah dengannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)Telah dimaklumi bahwa pada asalnya keselamatan seseorang ditentukan oleh amal shalihnya. Namun hadits ini menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis, bahwa ia benar-benar tanah yang penuh berkah. Bahkan Nabi Musa ‘alaihissalām sangat berharap agar kuburnya berada di dekat tanah tersebut. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir ZamanHari ini, Masjidil Aqsha berada di tangan segelintir Yahudi penjajah yang semena-mena. Tugas umat Islam adalah berusaha mengembalikannya dan menyatukannya kembali dengan kaum muslimin, karena ia adalah tempat Isra’ Rasulullah ﷺ.Membela Masjidil Aqsha adalah amanah yang berada di pundak setiap muslim. Mengerahkan usaha untuk itu adalah kewajiban, demikian pula menolong saudara-saudara kita di Palestina.Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Dia mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan kaum muslimin, menuliskan bagi kita kesempatan untuk shalat di dalamnya sebelum ajal menjemput, serta menundukkan kaum Zionis yang zalim beserta para penjahat yang serupa dengan mereka.Pada hari itu, kita semua akan bergembira dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.Baca Juga:Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah NabawiyahFaedah Sirah Nabi: Peristiwa Isra Mikraj Referensi:Islamweb. (2017, July 6). مِن فضائل بيت المقدس. Islamweb. https://www.islamweb.net/amp/ar/article/217738/ (diakses 22 Agustus 2025).@ Al-Quds Palestina, 23 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAmanah menjaga Masjidil Aqsha Doa Nabi Sulaiman di Baitul Maqdis Isra Mi’raj Nabi Muhammad Keutamaan Baitul Maqdis Keutamaan tiga masjid utama Kubur Nabi Musa dekat tanah suci Masjidil Aqsha Palestina tanah para nabi Sejarah Yerusalem dalam Islam Shalat di Masjidil Aqsha
Masjidil Aqsha adalah salah satu masjid paling mulia dalam Islam, tempat yang Allah kaitkan langsung dengan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ. Di tanah suci ini para nabi pernah hidup, berdakwah, bahkan dimakamkan, menjadikannya pusat sejarah dan peradaban tauhid. Banyak hadits menegaskan keutamaannya, termasuk pahala shalat yang berlipat dan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga masjid utama. Kini, tanggung jawab kaum muslimin adalah menjaga dan membela Masjidil Aqsha sebagai amanah hingga akhir zaman.  Daftar Isi tutup 1. Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺ 2. Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺ 3. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid Utama 4. Keutamaan Shalat di Masjidil Aqsha 5. Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di Bumi 6. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām 7. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir Zaman 7.1. Referensi: Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺSalah satu keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa Allah ﷻ menjadikannya sebagai tujuan perjalanan malam Nabi ﷺ dari Masjidil Haram. Dari sanalah beliau kemudian mengimami para nabi dalam shalat, sebuah peristiwa agung yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ dan kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam.Allah ﷻ berfirman:﴿ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)Perjalanan agung ini menegaskan betapa Masjidil Aqsha memiliki ikatan erat dengan Masjidil Haram, sekaligus menjadi simbol persatuan umat Islam dengan para nabi sebelumnya.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Allah ﷻ memuji diri-Nya dan mengagungkan kedudukan-Nya karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh siapa pun selain-Nya. Maka tidak ada sesembahan selain Dia, dan tidak ada Tuhan selain Dia.Firman-Nya: (الذي أسرى بعبده) maksudnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.Firman-Nya: (ليلا) yakni pada sebagian waktu malam.Firman-Nya: (من المسجد الحرام) yaitu Masjidil Haram di Mekkah.Firman-Nya: (إلى المسجد الأقصى) yakni Baitul Maqdis yang berada di Iliya (Yerusalem), tempat yang menjadi pusat para nabi sejak Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihis-salām.Karena itulah, seluruh para nabi dikumpulkan untuk beliau di sana. Lalu Rasulullah ﷺ menjadi imam mereka di tempat tinggal dan negeri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah imam terbesar, pemimpin utama, dan yang paling dimuliakan. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau dan seluruh nabi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺDari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:“Sesungguhnya aku pernah berada di Hijr (Hijr Ismail), lalu Quraisy menanyai aku tentang perjalananku di malam Isra’. Mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal dari Baitul Maqdis yang sebelumnya aku tidak menghafalnya. Maka aku merasa sangat gelisah, sebuah kegelisahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidaklah mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku jawab dengan benar.Dan sungguh aku pernah berada di tengah kumpulan para nabi. Tiba-tiba Musa ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Beliau seorang lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, seakan-akan seperti salah seorang lelaki dari kabilah Syanu’ah.Kemudian aku melihat Isa putra Maryam ‘alaihis salām sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.Lalu aku melihat Ibrahim ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (maksudnya: aku sendiri).Tibalah waktu shalat, maka aku mengimami mereka. Setelah aku selesai shalat, ada seseorang berkata: ‘Wahai Muhammad, ini Malik penjaga neraka. Sampaikan salam kepadanya.’ Maka aku menoleh kepadanya, dan ternyata ia yang lebih dahulu memberi salam kepadaku.” (HR. Muslim)Dalam hadits ini tampak jelas bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan dirinya berada di depan seluruh para rasul dan mengimami mereka. Shalatnya para rasul di belakang beliau merupakan pengakuan mereka atas kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah yang dibawa beliau telah menghapus semua risalah sebelumnya. Maka syariat-syariat para nabi terdahulu tidak lagi diamalkan dan tidak menjadi rujukan. Tanggung jawab atas Masjidil Aqsha pun berpindah kepada risalah penutup yang Allah sempurnakan melalui Nabi kita Muhammad ﷺ.Dengan kata lain, Masjidil Aqsha adalah milik kaum muslimin hingga hari kiamat, sebagaimana disaksikan dan diakui oleh seluruh para rasul.Para ulama memang berbeda pendapat tentang lokasi dan waktu shalat bersama para nabi ini. Namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis setelah peristiwa Mi’raj.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Kemudian Nabi ﷺ turun ke Baitul Maqdis, dan para nabi juga turun bersamanya. Beliau pun menunaikan shalat bersama mereka di sana ketika waktu shalat telah tiba. Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh pada hari tersebut.Sebagian orang berpendapat bahwa beliau mengimami para nabi di langit. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang kuat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Namun ada sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa shalat itu dilakukan saat pertama kali beliau memasuki Baitul Maqdis. Yang lebih tepat, shalat itu terjadi setelah beliau kembali ke sana.Sebab, ketika beliau melewati para nabi di tempat kediaman mereka, beliau bertanya kepada Jibril tentang mereka satu per satu, dan Jibril memberitahukan siapa mereka. Hal ini lebih sesuai, karena pada awalnya beliau memang diminta untuk naik ke hadirat Ilahi di langit guna menerima kewajiban yang Allah tetapkan atas beliau dan umatnya.Setelah selesai dari urusan tersebut, barulah beliau berkumpul bersama saudara-saudara beliau dari kalangan para nabi. Lalu ditampakkanlah kemuliaan dan keutamaan beliau di atas mereka dengan dijadikannya beliau sebagai imam shalat. Hal ini pun atas isyarat dari Malaikat Jibril kepadanya.Setelah itu beliau keluar dari Baitul Maqdis, menunggangi Buraq, lalu kembali ke Mekkah dalam keadaan masih gelap. Allah Subhānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir)Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menguatkan hal ini. Beliau berkata:“Yang benar adalah bahwa Nabi ﷺ bertemu dengan para nabi di langit, kemudian turun kembali ke Baitul Maqdis bersama mereka. Di sanalah beliau mengimami mereka dalam shalat. Setelah itu, beliau menunggangi Buraq dan kembali menuju Mekkah. Allah lebih mengetahui.” (Al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, Al-Albani)Catatan:Buraq (ٱلْبُرَاقُ) adalah hewan tunggangan yang Allah ﷻ khususkan untuk perjalanan Nabi ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj.Ciri-ciri Buraq berdasarkan hadis:1. Disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:«أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ – وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ، فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ»“Aku didatangkan dengan Buraq — yaitu seekor hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal. Setiap langkahnya sejauh pandangan mata.” (HR. Muslim no. 162)2. Buraq adalah kendaraan yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cahaya. Ia mampu menempuh jarak yang jauh hanya dalam sekejap.3. Buraq bukanlah hewan biasa yang hidup di dunia, melainkan ciptaan khusus Allah ﷻ untuk mengantarkan Nabi ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Aqsha menuju langit dalam perjalanan Mi‘raj.Makna spiritual:• Perjalanan dengan Buraq menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, karena Allah memuliakan beliau dengan tunggangan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.• Hal ini juga mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas akal manusia, sebab perjalanan yang mustahil secara logika dapat terjadi dengan izin-Nya. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid UtamaDi antara keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa ia termasuk salah satu dari tiga masjid yang disyariatkan untuk melakukan perjalanan jauh khusus demi beribadah di dalamnya.Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Qaz‘ah, maula Ziyad. Ia berkata: Aku mendengar Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu menyampaikan empat hal dari Nabi ﷺ yang membuatku kagum dan senang. Rasulullah ﷺ bersabda:لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ، وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي.“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Tidak boleh berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Tidak boleh shalat setelah dua shalat, yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari)Hadits ini mengandung empat hukum penting:1. Larangan seorang wanita melakukan safar tanpa ditemani suami atau mahramnya.2. Larangan berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.3. Larangan melaksanakan shalat sunnah setelah Subuh hingga matahari terbit, serta setelah Ashar hingga matahari terbenam.4. Larangan melakukan perjalanan jauh secara khusus untuk beribadah di masjid selain tiga masjid utama: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Keutamaan Shalat di Masjidil AqshaShalat di Masjidil Aqsha memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibanding shalat di masjid lainnya, yaitu senilai dua ratus lima puluh kali lipat dibanding shalat di masjid biasa.Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا، أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.“Kami pernah berdiskusi di hadapan Rasulullah ﷺ, manakah yang lebih utama: Masjid Rasulullah atau Masjid Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu shalat di masjidku ini lebih utama dibanding empat shalat di Masjidil Aqsha. Dan Masjidil Aqsha adalah sebaik-baik tempat shalat. Akan datang suatu masa di mana seseorang memiliki sebidang tanah kecil seluas tali kekang kudanya, dari situlah ia bisa melihat Baitul Maqdis, maka itu lebih baik baginya daripada seluruh dunia dan isinya, atau beliau bersabda: lebih baik daripada dunia seisinya.’” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau mensahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di BumiMasjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu.قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ». قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى». قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: «أَرْبَعُونَ سَنَةً، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ».Ia berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Beliau menjawab: ‘Masjidil Haram.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian yang mana?’ Beliau menjawab: ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya: ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab: ‘Empat puluh tahun. Setelah itu, di mana saja waktu shalat mendapati engkau, maka dirikanlah shalat, karena di sanalah terdapat keutamaan.’” (HR. al-Bukhari)Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan:“Ibrahim ‘alaihis-salām bukanlah orang pertama yang membangun Ka’bah, dan Sulaiman ‘alaihis-salām juga bukan yang pertama membangun Baitul Maqdis. Telah diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ‘alaihis-salām. Lalu keturunannya menyebar di muka bumi. Maka mungkin saja salah seorang di antara mereka yang meletakkan dasar Masjidil Aqsha. Adapun Ibrahim ‘alaihis-salām membangun Ka’bah kembali sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Demikian pula al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman benar-benar memulai pembangunan kedua masjid itu dari awal, melainkan keduanya memperbarui bangunan yang sudah diletakkan sebelumnya.” (Fath al-Bari)Nabi Sulaiman ‘alaihis-salām pernah memohon kepada Allah ketika membangun Baitul Maqdis agar siapa saja yang menunaikan shalat di dalamnya diampuni dosanya hingga bersih seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.Dalam Musnad Imam Ahmad dan riwayat lainnya disebutkan bahwa Sulaiman bin Dawud, ketika membangun Baitul Maqdis, meminta tiga hal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Beliau memohon:سَأَلَ اللَّهَ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَلَّا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ – أَيْ لَا يَدْفَعُهُ – إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ، أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ.1. Agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka itu pun Allah berikan kepadanya.2. Agar diberi kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya, dan itu pun Allah kabulkan.3. Agar ketika selesai membangun masjid itu, tidak ada seorang pun yang datang ke sana dengan tujuan semata-mata untuk shalat di dalamnya, kecuali Allah keluarkan ia dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.Kemudian Nabi ﷺ bersabda:“Dua permohonan telah dikabulkan, dan aku berharap yang ketiga pun dikabulkan.”Hadits ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami‘.Dan kita pun berharap semoga Allah mengabulkan doa yang ketiga tersebut, serta menuliskan bagi kita kesempatan untuk bisa shalat di dalam Masjidil Aqsha, sehingga kita memperoleh pahala dan keutamaan itu. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘AlaihissalāmTanah Palestina yang penuh berkah adalah tempat hijrah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘alaihimas-salām. Ketika Allah Tabāraka wa Ta‘ālā menyelamatkan keduanya, Allah menunjuki mereka menuju negeri Palestina untuk menetap dan bermukim di sana.Di tanah inilah Khalilurrahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, wafat di Baitul Maqdis dan dimakamkan di bumi Palestina. Di sinilah pula kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas-salām berdiri di Baitul Maqdis.Di Baitul Maqdis juga hidup keluarga ‘Imran yang Allah pilih. Bahkan, ibunda Maryam pernah bernazar menyerahkan anak yang ada dalam kandungannya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Hal ini menunjukkan betapa agung kedudukan Baitul Maqdis bagi mereka.Allah Ta‘ālā berfirman:﴿ إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلْ مِنِّيٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ﴾“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Āli ‘Imrān: 35)Maknanya adalah bahwa istri Imran menazarkan anak yang ada dalam kandungannya, seraya memohon kepada Rabb-nya agar anak itu menjadi hamba yang ikhlas, sepenuhnya mengabdikan diri untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.Karena kedudukan Baitul Maqdis yang begitu mulia dan penuh berkah, maka Nabi Musa ‘alaihissalām pun pernah memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu menjelang wafatnya.Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ، وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ، يَضَعْ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَي رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكُثِيبِ الْأَحْمَرِ. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,“Telah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘alaihissalām. Ketika malaikat itu datang, Musa menamparnya hingga ia kembali kepada Rabb-nya. Malaikat itu berkata: ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah, lalu katakan kepadanya: Hendaklah ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi jantan. Maka setiap helai bulu yang tertutupi oleh tangannya, baginya umur tambahan satu tahun.’Musa berkata: ‘Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa?’ Allah berfirman: ‘Setelah itu kematian.’ Musa berkata: ‘Kalau begitu, sekarang saja.’Lalu Musa meminta kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu sejauh lemparan batu. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya aku berada di sana, niscaya aku perlihatkan kepada kalian kuburnya yang berada di sisi jalan, di dekat bukit pasir merah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Imam al-Bukhari rahimahullāh memberi judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya: “Bab tentang orang yang menyukai dikuburkan di tanah suci (Palestina).” (Fath al-Bari)Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata: “Adapun permintaan Musa ‘alaihissalām untuk didekatkan ke tanah suci adalah karena kemuliaannya dan keutamaan orang-orang yang dikuburkan di sana, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hanya meminta untuk didekatkan, bukan untuk benar-benar dikuburkan di dalam Baitul Maqdis, karena beliau khawatir jika kuburnya diketahui orang, maka manusia bisa terfitnah dengannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)Telah dimaklumi bahwa pada asalnya keselamatan seseorang ditentukan oleh amal shalihnya. Namun hadits ini menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis, bahwa ia benar-benar tanah yang penuh berkah. Bahkan Nabi Musa ‘alaihissalām sangat berharap agar kuburnya berada di dekat tanah tersebut. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir ZamanHari ini, Masjidil Aqsha berada di tangan segelintir Yahudi penjajah yang semena-mena. Tugas umat Islam adalah berusaha mengembalikannya dan menyatukannya kembali dengan kaum muslimin, karena ia adalah tempat Isra’ Rasulullah ﷺ.Membela Masjidil Aqsha adalah amanah yang berada di pundak setiap muslim. Mengerahkan usaha untuk itu adalah kewajiban, demikian pula menolong saudara-saudara kita di Palestina.Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Dia mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan kaum muslimin, menuliskan bagi kita kesempatan untuk shalat di dalamnya sebelum ajal menjemput, serta menundukkan kaum Zionis yang zalim beserta para penjahat yang serupa dengan mereka.Pada hari itu, kita semua akan bergembira dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.Baca Juga:Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah NabawiyahFaedah Sirah Nabi: Peristiwa Isra Mikraj Referensi:Islamweb. (2017, July 6). مِن فضائل بيت المقدس. Islamweb. https://www.islamweb.net/amp/ar/article/217738/ (diakses 22 Agustus 2025).@ Al-Quds Palestina, 23 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAmanah menjaga Masjidil Aqsha Doa Nabi Sulaiman di Baitul Maqdis Isra Mi’raj Nabi Muhammad Keutamaan Baitul Maqdis Keutamaan tiga masjid utama Kubur Nabi Musa dekat tanah suci Masjidil Aqsha Palestina tanah para nabi Sejarah Yerusalem dalam Islam Shalat di Masjidil Aqsha


Masjidil Aqsha adalah salah satu masjid paling mulia dalam Islam, tempat yang Allah kaitkan langsung dengan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ. Di tanah suci ini para nabi pernah hidup, berdakwah, bahkan dimakamkan, menjadikannya pusat sejarah dan peradaban tauhid. Banyak hadits menegaskan keutamaannya, termasuk pahala shalat yang berlipat dan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga masjid utama. Kini, tanggung jawab kaum muslimin adalah menjaga dan membela Masjidil Aqsha sebagai amanah hingga akhir zaman.  Daftar Isi tutup 1. Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺ 2. Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺ 3. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid Utama 4. Keutamaan Shalat di Masjidil Aqsha 5. Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di Bumi 6. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām 7. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir Zaman 7.1. Referensi: Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺSalah satu keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa Allah ﷻ menjadikannya sebagai tujuan perjalanan malam Nabi ﷺ dari Masjidil Haram. Dari sanalah beliau kemudian mengimami para nabi dalam shalat, sebuah peristiwa agung yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ dan kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam.Allah ﷻ berfirman:﴿ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)Perjalanan agung ini menegaskan betapa Masjidil Aqsha memiliki ikatan erat dengan Masjidil Haram, sekaligus menjadi simbol persatuan umat Islam dengan para nabi sebelumnya.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Allah ﷻ memuji diri-Nya dan mengagungkan kedudukan-Nya karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh siapa pun selain-Nya. Maka tidak ada sesembahan selain Dia, dan tidak ada Tuhan selain Dia.Firman-Nya: (الذي أسرى بعبده) maksudnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.Firman-Nya: (ليلا) yakni pada sebagian waktu malam.Firman-Nya: (من المسجد الحرام) yaitu Masjidil Haram di Mekkah.Firman-Nya: (إلى المسجد الأقصى) yakni Baitul Maqdis yang berada di Iliya (Yerusalem), tempat yang menjadi pusat para nabi sejak Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihis-salām.Karena itulah, seluruh para nabi dikumpulkan untuk beliau di sana. Lalu Rasulullah ﷺ menjadi imam mereka di tempat tinggal dan negeri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah imam terbesar, pemimpin utama, dan yang paling dimuliakan. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau dan seluruh nabi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺDari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:“Sesungguhnya aku pernah berada di Hijr (Hijr Ismail), lalu Quraisy menanyai aku tentang perjalananku di malam Isra’. Mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal dari Baitul Maqdis yang sebelumnya aku tidak menghafalnya. Maka aku merasa sangat gelisah, sebuah kegelisahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidaklah mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku jawab dengan benar.Dan sungguh aku pernah berada di tengah kumpulan para nabi. Tiba-tiba Musa ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Beliau seorang lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, seakan-akan seperti salah seorang lelaki dari kabilah Syanu’ah.Kemudian aku melihat Isa putra Maryam ‘alaihis salām sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.Lalu aku melihat Ibrahim ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (maksudnya: aku sendiri).Tibalah waktu shalat, maka aku mengimami mereka. Setelah aku selesai shalat, ada seseorang berkata: ‘Wahai Muhammad, ini Malik penjaga neraka. Sampaikan salam kepadanya.’ Maka aku menoleh kepadanya, dan ternyata ia yang lebih dahulu memberi salam kepadaku.” (HR. Muslim)Dalam hadits ini tampak jelas bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan dirinya berada di depan seluruh para rasul dan mengimami mereka. Shalatnya para rasul di belakang beliau merupakan pengakuan mereka atas kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah yang dibawa beliau telah menghapus semua risalah sebelumnya. Maka syariat-syariat para nabi terdahulu tidak lagi diamalkan dan tidak menjadi rujukan. Tanggung jawab atas Masjidil Aqsha pun berpindah kepada risalah penutup yang Allah sempurnakan melalui Nabi kita Muhammad ﷺ.Dengan kata lain, Masjidil Aqsha adalah milik kaum muslimin hingga hari kiamat, sebagaimana disaksikan dan diakui oleh seluruh para rasul.Para ulama memang berbeda pendapat tentang lokasi dan waktu shalat bersama para nabi ini. Namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis setelah peristiwa Mi’raj.Ibnu Katsir rahimahullah berkata:“Kemudian Nabi ﷺ turun ke Baitul Maqdis, dan para nabi juga turun bersamanya. Beliau pun menunaikan shalat bersama mereka di sana ketika waktu shalat telah tiba. Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh pada hari tersebut.Sebagian orang berpendapat bahwa beliau mengimami para nabi di langit. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang kuat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Namun ada sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa shalat itu dilakukan saat pertama kali beliau memasuki Baitul Maqdis. Yang lebih tepat, shalat itu terjadi setelah beliau kembali ke sana.Sebab, ketika beliau melewati para nabi di tempat kediaman mereka, beliau bertanya kepada Jibril tentang mereka satu per satu, dan Jibril memberitahukan siapa mereka. Hal ini lebih sesuai, karena pada awalnya beliau memang diminta untuk naik ke hadirat Ilahi di langit guna menerima kewajiban yang Allah tetapkan atas beliau dan umatnya.Setelah selesai dari urusan tersebut, barulah beliau berkumpul bersama saudara-saudara beliau dari kalangan para nabi. Lalu ditampakkanlah kemuliaan dan keutamaan beliau di atas mereka dengan dijadikannya beliau sebagai imam shalat. Hal ini pun atas isyarat dari Malaikat Jibril kepadanya.Setelah itu beliau keluar dari Baitul Maqdis, menunggangi Buraq, lalu kembali ke Mekkah dalam keadaan masih gelap. Allah Subhānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir)Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menguatkan hal ini. Beliau berkata:“Yang benar adalah bahwa Nabi ﷺ bertemu dengan para nabi di langit, kemudian turun kembali ke Baitul Maqdis bersama mereka. Di sanalah beliau mengimami mereka dalam shalat. Setelah itu, beliau menunggangi Buraq dan kembali menuju Mekkah. Allah lebih mengetahui.” (Al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, Al-Albani)Catatan:Buraq (ٱلْبُرَاقُ) adalah hewan tunggangan yang Allah ﷻ khususkan untuk perjalanan Nabi ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj.Ciri-ciri Buraq berdasarkan hadis:1. Disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:«أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ – وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ، فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ»“Aku didatangkan dengan Buraq — yaitu seekor hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal. Setiap langkahnya sejauh pandangan mata.” (HR. Muslim no. 162)2. Buraq adalah kendaraan yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cahaya. Ia mampu menempuh jarak yang jauh hanya dalam sekejap.3. Buraq bukanlah hewan biasa yang hidup di dunia, melainkan ciptaan khusus Allah ﷻ untuk mengantarkan Nabi ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Aqsha menuju langit dalam perjalanan Mi‘raj.Makna spiritual:• Perjalanan dengan Buraq menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, karena Allah memuliakan beliau dengan tunggangan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.• Hal ini juga mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas akal manusia, sebab perjalanan yang mustahil secara logika dapat terjadi dengan izin-Nya. Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid UtamaDi antara keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa ia termasuk salah satu dari tiga masjid yang disyariatkan untuk melakukan perjalanan jauh khusus demi beribadah di dalamnya.Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Qaz‘ah, maula Ziyad. Ia berkata: Aku mendengar Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu menyampaikan empat hal dari Nabi ﷺ yang membuatku kagum dan senang. Rasulullah ﷺ bersabda:لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ، وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي.“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Tidak boleh berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Tidak boleh shalat setelah dua shalat, yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari)Hadits ini mengandung empat hukum penting:1. Larangan seorang wanita melakukan safar tanpa ditemani suami atau mahramnya.2. Larangan berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.3. Larangan melaksanakan shalat sunnah setelah Subuh hingga matahari terbit, serta setelah Ashar hingga matahari terbenam.4. Larangan melakukan perjalanan jauh secara khusus untuk beribadah di masjid selain tiga masjid utama: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Keutamaan Shalat di Masjidil AqshaShalat di Masjidil Aqsha memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibanding shalat di masjid lainnya, yaitu senilai dua ratus lima puluh kali lipat dibanding shalat di masjid biasa.Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا، أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.“Kami pernah berdiskusi di hadapan Rasulullah ﷺ, manakah yang lebih utama: Masjid Rasulullah atau Masjid Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu shalat di masjidku ini lebih utama dibanding empat shalat di Masjidil Aqsha. Dan Masjidil Aqsha adalah sebaik-baik tempat shalat. Akan datang suatu masa di mana seseorang memiliki sebidang tanah kecil seluas tali kekang kudanya, dari situlah ia bisa melihat Baitul Maqdis, maka itu lebih baik baginya daripada seluruh dunia dan isinya, atau beliau bersabda: lebih baik daripada dunia seisinya.’” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau mensahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi) Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di BumiMasjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu.قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ». قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى». قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: «أَرْبَعُونَ سَنَةً، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ».Ia berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Beliau menjawab: ‘Masjidil Haram.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian yang mana?’ Beliau menjawab: ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya: ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab: ‘Empat puluh tahun. Setelah itu, di mana saja waktu shalat mendapati engkau, maka dirikanlah shalat, karena di sanalah terdapat keutamaan.’” (HR. al-Bukhari)Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan:“Ibrahim ‘alaihis-salām bukanlah orang pertama yang membangun Ka’bah, dan Sulaiman ‘alaihis-salām juga bukan yang pertama membangun Baitul Maqdis. Telah diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ‘alaihis-salām. Lalu keturunannya menyebar di muka bumi. Maka mungkin saja salah seorang di antara mereka yang meletakkan dasar Masjidil Aqsha. Adapun Ibrahim ‘alaihis-salām membangun Ka’bah kembali sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Demikian pula al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman benar-benar memulai pembangunan kedua masjid itu dari awal, melainkan keduanya memperbarui bangunan yang sudah diletakkan sebelumnya.” (Fath al-Bari)Nabi Sulaiman ‘alaihis-salām pernah memohon kepada Allah ketika membangun Baitul Maqdis agar siapa saja yang menunaikan shalat di dalamnya diampuni dosanya hingga bersih seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.Dalam Musnad Imam Ahmad dan riwayat lainnya disebutkan bahwa Sulaiman bin Dawud, ketika membangun Baitul Maqdis, meminta tiga hal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Beliau memohon:سَأَلَ اللَّهَ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَلَّا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ – أَيْ لَا يَدْفَعُهُ – إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ، أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ.1. Agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka itu pun Allah berikan kepadanya.2. Agar diberi kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya, dan itu pun Allah kabulkan.3. Agar ketika selesai membangun masjid itu, tidak ada seorang pun yang datang ke sana dengan tujuan semata-mata untuk shalat di dalamnya, kecuali Allah keluarkan ia dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.Kemudian Nabi ﷺ bersabda:“Dua permohonan telah dikabulkan, dan aku berharap yang ketiga pun dikabulkan.”Hadits ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami‘.Dan kita pun berharap semoga Allah mengabulkan doa yang ketiga tersebut, serta menuliskan bagi kita kesempatan untuk bisa shalat di dalam Masjidil Aqsha, sehingga kita memperoleh pahala dan keutamaan itu. Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘AlaihissalāmTanah Palestina yang penuh berkah adalah tempat hijrah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘alaihimas-salām. Ketika Allah Tabāraka wa Ta‘ālā menyelamatkan keduanya, Allah menunjuki mereka menuju negeri Palestina untuk menetap dan bermukim di sana.Di tanah inilah Khalilurrahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, wafat di Baitul Maqdis dan dimakamkan di bumi Palestina. Di sinilah pula kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas-salām berdiri di Baitul Maqdis.Di Baitul Maqdis juga hidup keluarga ‘Imran yang Allah pilih. Bahkan, ibunda Maryam pernah bernazar menyerahkan anak yang ada dalam kandungannya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Hal ini menunjukkan betapa agung kedudukan Baitul Maqdis bagi mereka.Allah Ta‘ālā berfirman:﴿ إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلْ مِنِّيٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ﴾“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Āli ‘Imrān: 35)Maknanya adalah bahwa istri Imran menazarkan anak yang ada dalam kandungannya, seraya memohon kepada Rabb-nya agar anak itu menjadi hamba yang ikhlas, sepenuhnya mengabdikan diri untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.Karena kedudukan Baitul Maqdis yang begitu mulia dan penuh berkah, maka Nabi Musa ‘alaihissalām pun pernah memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu menjelang wafatnya.Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ، وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ، يَضَعْ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَي رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكُثِيبِ الْأَحْمَرِ. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,“Telah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘alaihissalām. Ketika malaikat itu datang, Musa menamparnya hingga ia kembali kepada Rabb-nya. Malaikat itu berkata: ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah, lalu katakan kepadanya: Hendaklah ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi jantan. Maka setiap helai bulu yang tertutupi oleh tangannya, baginya umur tambahan satu tahun.’Musa berkata: ‘Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa?’ Allah berfirman: ‘Setelah itu kematian.’ Musa berkata: ‘Kalau begitu, sekarang saja.’Lalu Musa meminta kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu sejauh lemparan batu. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya aku berada di sana, niscaya aku perlihatkan kepada kalian kuburnya yang berada di sisi jalan, di dekat bukit pasir merah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Imam al-Bukhari rahimahullāh memberi judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya: “Bab tentang orang yang menyukai dikuburkan di tanah suci (Palestina).” (Fath al-Bari)Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata: “Adapun permintaan Musa ‘alaihissalām untuk didekatkan ke tanah suci adalah karena kemuliaannya dan keutamaan orang-orang yang dikuburkan di sana, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hanya meminta untuk didekatkan, bukan untuk benar-benar dikuburkan di dalam Baitul Maqdis, karena beliau khawatir jika kuburnya diketahui orang, maka manusia bisa terfitnah dengannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)Telah dimaklumi bahwa pada asalnya keselamatan seseorang ditentukan oleh amal shalihnya. Namun hadits ini menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis, bahwa ia benar-benar tanah yang penuh berkah. Bahkan Nabi Musa ‘alaihissalām sangat berharap agar kuburnya berada di dekat tanah tersebut. Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir ZamanHari ini, Masjidil Aqsha berada di tangan segelintir Yahudi penjajah yang semena-mena. Tugas umat Islam adalah berusaha mengembalikannya dan menyatukannya kembali dengan kaum muslimin, karena ia adalah tempat Isra’ Rasulullah ﷺ.Membela Masjidil Aqsha adalah amanah yang berada di pundak setiap muslim. Mengerahkan usaha untuk itu adalah kewajiban, demikian pula menolong saudara-saudara kita di Palestina.Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Dia mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan kaum muslimin, menuliskan bagi kita kesempatan untuk shalat di dalamnya sebelum ajal menjemput, serta menundukkan kaum Zionis yang zalim beserta para penjahat yang serupa dengan mereka.Pada hari itu, kita semua akan bergembira dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.Baca Juga:Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah NabawiyahFaedah Sirah Nabi: Peristiwa Isra Mikraj Referensi:Islamweb. (2017, July 6). مِن فضائل بيت المقدس. Islamweb. https://www.islamweb.net/amp/ar/article/217738/ (diakses 22 Agustus 2025).@ Al-Quds Palestina, 23 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAmanah menjaga Masjidil Aqsha Doa Nabi Sulaiman di Baitul Maqdis Isra Mi’raj Nabi Muhammad Keutamaan Baitul Maqdis Keutamaan tiga masjid utama Kubur Nabi Musa dekat tanah suci Masjidil Aqsha Palestina tanah para nabi Sejarah Yerusalem dalam Islam Shalat di Masjidil Aqsha

Rahasia Shalat 2 Rakaat yang Bisa Hapuskan Dosa – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba berbuat dosa, kemudian ia berdiri berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Setelah itu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (dosa itu), sedangkan mereka mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 135). Shalat ini disebut oleh sebagian ulama sebagai Shalat Taubat.” Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah juga menamainya Shalat Taubat. Apabila engkau terjerumus dalam dosa atau kemaksiatan apa pun, maka bangkitlah untuk berwudhu. Kemudian dirikanlah shalat dua rakaat, lalu mohonlah ampun dan bertobatlah kepada Allah dari dosa itu. Niscaya Allah akan mengampunimu. Hal ini hendaklah menjadi prinsip hidupmu. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam amal keburukan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam dosa, maka pergilah berwudhu. Lalu dirikanlah shalat dan mintalah ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampunimu. Allah Ta’ala menyebut sifat ini sebagai salah satu sifat penghuni surga. Allah berfirman: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seperti langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133). Lalu Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang bertakwa yakni para penghuni surga yang luasnya seperti langit dan bumi itu. Di antara sifat mereka adalah apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, yakni mereka terjerumus ke dalam dosa atau kemaksiatan, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam menjelaskan bahwa bentuk permohonan ampun yang paling sempurna adalah seorang Muslim hendaknya segera berwudhu, lalu mendirikan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun dan bertobat kepada Allah atas dosa itu. Maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosanya. Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ يُسَمِّيهَا بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلَاةَ التَّوْبَةِ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ سَمَّاهَا صَلَاةَ التَّوْبَةِ إِذَا وَقَعْتَ فِي أَيِّ ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ فَقُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَتُبْ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ تَجْعَلَهُ مَبْدَأً لَكَ فِي حَيَاتِكَ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي سَيِّئَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي ذَنْبٍ قُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ اللَّهُ تَعَالَى ذَكَرَ هَذِهِ الصِّفَةَ مِنْ صِفَاتِ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ثُمَّ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَوْصَافَ الْمُتَّقِينَ الَّذِينَ هُمْ أَصْحَابُ هَذِهِ الْجَنَّةِ الَّتِي عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَذَكَرَ مِنْ أَوْصَافِهِمْ أَنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ أَيْ وَقَعُوا فِي ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَبَيَّنَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّ الْأَكْمَلَ فِي هَذَا الِاسْتِغْفَارِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَيَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَيَغْفِرُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ ذَنْبَهُ وَاللَّهُ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ

Rahasia Shalat 2 Rakaat yang Bisa Hapuskan Dosa – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba berbuat dosa, kemudian ia berdiri berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Setelah itu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (dosa itu), sedangkan mereka mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 135). Shalat ini disebut oleh sebagian ulama sebagai Shalat Taubat.” Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah juga menamainya Shalat Taubat. Apabila engkau terjerumus dalam dosa atau kemaksiatan apa pun, maka bangkitlah untuk berwudhu. Kemudian dirikanlah shalat dua rakaat, lalu mohonlah ampun dan bertobatlah kepada Allah dari dosa itu. Niscaya Allah akan mengampunimu. Hal ini hendaklah menjadi prinsip hidupmu. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam amal keburukan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam dosa, maka pergilah berwudhu. Lalu dirikanlah shalat dan mintalah ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampunimu. Allah Ta’ala menyebut sifat ini sebagai salah satu sifat penghuni surga. Allah berfirman: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seperti langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133). Lalu Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang bertakwa yakni para penghuni surga yang luasnya seperti langit dan bumi itu. Di antara sifat mereka adalah apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, yakni mereka terjerumus ke dalam dosa atau kemaksiatan, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam menjelaskan bahwa bentuk permohonan ampun yang paling sempurna adalah seorang Muslim hendaknya segera berwudhu, lalu mendirikan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun dan bertobat kepada Allah atas dosa itu. Maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosanya. Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ يُسَمِّيهَا بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلَاةَ التَّوْبَةِ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ سَمَّاهَا صَلَاةَ التَّوْبَةِ إِذَا وَقَعْتَ فِي أَيِّ ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ فَقُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَتُبْ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ تَجْعَلَهُ مَبْدَأً لَكَ فِي حَيَاتِكَ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي سَيِّئَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي ذَنْبٍ قُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ اللَّهُ تَعَالَى ذَكَرَ هَذِهِ الصِّفَةَ مِنْ صِفَاتِ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ثُمَّ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَوْصَافَ الْمُتَّقِينَ الَّذِينَ هُمْ أَصْحَابُ هَذِهِ الْجَنَّةِ الَّتِي عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَذَكَرَ مِنْ أَوْصَافِهِمْ أَنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ أَيْ وَقَعُوا فِي ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَبَيَّنَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّ الْأَكْمَلَ فِي هَذَا الِاسْتِغْفَارِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَيَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَيَغْفِرُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ ذَنْبَهُ وَاللَّهُ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
Disebutkan dalam hadis Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba berbuat dosa, kemudian ia berdiri berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Setelah itu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (dosa itu), sedangkan mereka mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 135). Shalat ini disebut oleh sebagian ulama sebagai Shalat Taubat.” Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah juga menamainya Shalat Taubat. Apabila engkau terjerumus dalam dosa atau kemaksiatan apa pun, maka bangkitlah untuk berwudhu. Kemudian dirikanlah shalat dua rakaat, lalu mohonlah ampun dan bertobatlah kepada Allah dari dosa itu. Niscaya Allah akan mengampunimu. Hal ini hendaklah menjadi prinsip hidupmu. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam amal keburukan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam dosa, maka pergilah berwudhu. Lalu dirikanlah shalat dan mintalah ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampunimu. Allah Ta’ala menyebut sifat ini sebagai salah satu sifat penghuni surga. Allah berfirman: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seperti langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133). Lalu Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang bertakwa yakni para penghuni surga yang luasnya seperti langit dan bumi itu. Di antara sifat mereka adalah apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, yakni mereka terjerumus ke dalam dosa atau kemaksiatan, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam menjelaskan bahwa bentuk permohonan ampun yang paling sempurna adalah seorang Muslim hendaknya segera berwudhu, lalu mendirikan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun dan bertobat kepada Allah atas dosa itu. Maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosanya. Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ يُسَمِّيهَا بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلَاةَ التَّوْبَةِ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ سَمَّاهَا صَلَاةَ التَّوْبَةِ إِذَا وَقَعْتَ فِي أَيِّ ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ فَقُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَتُبْ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ تَجْعَلَهُ مَبْدَأً لَكَ فِي حَيَاتِكَ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي سَيِّئَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي ذَنْبٍ قُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ اللَّهُ تَعَالَى ذَكَرَ هَذِهِ الصِّفَةَ مِنْ صِفَاتِ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ثُمَّ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَوْصَافَ الْمُتَّقِينَ الَّذِينَ هُمْ أَصْحَابُ هَذِهِ الْجَنَّةِ الَّتِي عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَذَكَرَ مِنْ أَوْصَافِهِمْ أَنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ أَيْ وَقَعُوا فِي ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَبَيَّنَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّ الْأَكْمَلَ فِي هَذَا الِاسْتِغْفَارِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَيَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَيَغْفِرُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ ذَنْبَهُ وَاللَّهُ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ


Disebutkan dalam hadis Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba berbuat dosa, kemudian ia berdiri berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Setelah itu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (dosa itu), sedangkan mereka mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 135). Shalat ini disebut oleh sebagian ulama sebagai Shalat Taubat.” Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah juga menamainya Shalat Taubat. Apabila engkau terjerumus dalam dosa atau kemaksiatan apa pun, maka bangkitlah untuk berwudhu. Kemudian dirikanlah shalat dua rakaat, lalu mohonlah ampun dan bertobatlah kepada Allah dari dosa itu. Niscaya Allah akan mengampunimu. Hal ini hendaklah menjadi prinsip hidupmu. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam amal keburukan. Setiap kali kamu terjerumus ke dalam dosa, maka pergilah berwudhu. Lalu dirikanlah shalat dan mintalah ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampunimu. Allah Ta’ala menyebut sifat ini sebagai salah satu sifat penghuni surga. Allah berfirman: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seperti langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133). Lalu Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang bertakwa yakni para penghuni surga yang luasnya seperti langit dan bumi itu. Di antara sifat mereka adalah apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, yakni mereka terjerumus ke dalam dosa atau kemaksiatan, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam menjelaskan bahwa bentuk permohonan ampun yang paling sempurna adalah seorang Muslim hendaknya segera berwudhu, lalu mendirikan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun dan bertobat kepada Allah atas dosa itu. Maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosanya. Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ يُسَمِّيهَا بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلَاةَ التَّوْبَةِ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ سَمَّاهَا صَلَاةَ التَّوْبَةِ إِذَا وَقَعْتَ فِي أَيِّ ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ فَقُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَتُبْ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ تَجْعَلَهُ مَبْدَأً لَكَ فِي حَيَاتِكَ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي سَيِّئَةٍ كُلَّمَا وَقَعْتَ فِي ذَنْبٍ قُمْ وَتَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ اللَّهُ تَعَالَى ذَكَرَ هَذِهِ الصِّفَةَ مِنْ صِفَاتِ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ثُمَّ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَوْصَافَ الْمُتَّقِينَ الَّذِينَ هُمْ أَصْحَابُ هَذِهِ الْجَنَّةِ الَّتِي عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَذَكَرَ مِنْ أَوْصَافِهِمْ أَنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ أَيْ وَقَعُوا فِي ذَنْبٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَبَيَّنَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّ الْأَكْمَلَ فِي هَذَا الِاسْتِغْفَارِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَيَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَيَغْفِرُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ ذَنْبَهُ وَاللَّهُ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 2): Menjaga Salat, Tak Terkecuali Salat Malam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 2): Menjaga Salat, Tak Terkecuali Salat Malam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 2): Menjaga Salat, Tak Terkecuali Salat Malam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 2): Menjaga Salat, Tak Terkecuali Salat Malam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)Di antara sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang tampak jelas adalah menjaga salat. Salat merupakan amalan fisik yang paling agung, baik salat wajib maupun sunah, tak terkecuali salat malam, karena ia adalah sunah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga salat; dan karena itulah, Allah menyebutkannya secara khusus dalam ayat sebelumnya bahwa ia termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman yang sejati.Di antara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan salat malam adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ“Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ“Hendaklah kalian melakukan salat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 452)Adapun waktu melakukan salat malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya semalam suntuk. Terkadang beliau salat di awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Lalu, beliau lebih sering melakukan salat malamnya di akhir malam, yaitu di waktu sahur, yang merupakan waktu paling utama untuk salat malam. Sebab pada waktu itu, Allah Rabb semesta alam turun ke langit dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ“Rabb kita Tabaraka wa Ta‘ala turun ke langit dunia setiap malam hingga sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya; siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 752)Sudah semestinya bagi seseorang yang ingin menasihati dirinya sendiri untuk bersemangat agar memiliki bagian dari salat malam, sekalipun hanya dengan beberapa rekaat saja, agar ia tetap mendapatkan keutamaan yang agung ini.Inilah keadaan hamba-hamba Ar-Rahman dalam menjaga salat malam, mereka senantiasa beribadah, bermunajat, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sujud, rukuk, dan berdiri mereka. Jika keadaan mereka seperti itu dalam salat malam — yang tidak diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas mereka — maka bagaimana lagi keadaan mereka saat salat lima waktu yang merupakan rukun agama paling agung setelah dua kalimat syahadat?! Tidak diragukan lagi bahwa mereka jauh lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melaksanakannya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 11-13.

Beberapa Wasiat Rasulullah

من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Oleh: Fahd bin Abdul Aziz Abdullah asy-Syuwairikh فهد بن عبدالعزيز عبدالله الشويرخ الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.. أما بعد: فالوصية تعنى الأمر بالشيءٍ أمراً مؤكداً، ومن أُوصِيَ بوصية نافعة من محبٍ ناصحٍ صادقٍ مخلصٍ فإن العاقل يقبلها فإذا كانت هذه الوصية من رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي لا يعلمُ خيراً إلاَّ دلَّ الأمة عليه ولا يعلمُ شراً إلا وحذر الأمة منه، فإن المؤمن لا يتردد في قبولها والعمل بها، ولقد أوصى رسول الله علية الصلاة والسلام بوصايا كثيرة ينبغي الحرص على العمل بها، ومنها: Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Wasiat merupakan perintah yang tegas terhadap sesuatu. Ketika ada orang yang diberi nasihat yang bermanfaat dari orang tercinta yang tulus ikhlas, maka jika ia adalah orang yang berakal, niscaya ia akan menerima wasiat itu. Lalu ketika wasiat ini berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidaklah beliau mengetahui suatu kebaikan melainkan akan menunjukkannya kepada umatnya, dan tidaklah beliau mengetahui keburukan melainkan akan memperingatkan umatnya darinya, maka seorang mukmin selayaknya tidak ragu sama sekali dalam menerima dan mengamalkan wasiat tersebut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi banyak wasiat yang hendaknya kita berusaha mengamalkannya, di antaranya adalah: الوصية بتلاوة القرآن، وذكر الله، وبعدم كثرة الضحك: عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قلتُ يا رسول الله أوصني قال: (أوصيك… بتلاوة القرآن، وذكر الله، فإنه نور لك في الأرض، وذخر لك في السماء) قلت: يا رسول الله زدني قال: (إياك وكثرة الضحك فإنه يميت القلب) [أخرجه ابن حبان]. Wasiat untuk membaca Al-Qur’an, berzikir kepada Allah, dan tidak banyak tertawa Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepadamu untuk membaca Al-Qur’an dan berzikir kepada Allah, karena itu merupakan cahaya bagimu di dunia dan simpanan bagimu di langit.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tambahlah!’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena itu mematikan hati.’” (HR. Ibnu Hibban). الوصية بالعمل بكتاب الله عز وجل: عن طلحة بن مصرف قال: سألت عبدالله بن أبي أوفى رضي الله عنهما: هل كان النبي صلى الله عليه وسلم أوصى؟ فقال: لا. فقلت: كيف كُتِبَ على الناس الوصية أو أمروا بالوصية؟ قال: أوصى بكتاب الله. [متفق عليه] قال الإمام النووي رحمه الله: وقوله (أوصى بكتاب الله) أي بالعمل بما فيه. Wasiat untuk mengamalkan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla Diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Apakah dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ Akupun bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana orang-orang dituliskan wasiat atau diperintahkan berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Beliau berwasiat tentang Kitabullah.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan berwasit tentang Kitabullah yakni mengamalkan apa yang ada di dalamnya.” الوصية بالصلاة لوقتها: عن أبي ذرٍ رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاثة: (.. وصل الصلاة لوقتها) [أخرجه أحمد] Wasiat untuk mendirikan salat pada waktunya Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara, (dan di antaranya) ‘Dirikanlah salat pada waktunya’.” (HR. Ahmad). الوصية بتقوى الله والسمع والطاعة لولي الأمر: عن العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون، ووجلت منها القلوب، فقال رجل: إن هذه موعظة مودع فبماذا تعهد إلينا يا رسول الله؟ قال: (أُوصيكم بتقوى الله، والسمع والطاعة وإن عبداً حبشي، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كبيراً، وإياكم ومحدثات الأمور، فإنها ضلالة، فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين، عضّوا عليها بالنواجذ) [أخرجه أبو داود والترمذي] والوصية بالتقوى، أوصى بها رسول الله عليه الصلاة والسلام رجلاً أراد السفر، فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال: يا رسول الله إني أريدُ أن أسافر فأوصني قال: (عليك بتقوى الله والتكبير على كل شرف) [أخرجه الترمذي] كما أوصى بها أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني، قال: (أوصيك بتقوى الله فإنه رأس الأمر كله) [أخرجه ابن حبان] والوصية بالسمع والطاعة لولي الأمر، أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه أنه انتهى إلى الربذة، وقد أُقيمت الصلاة، فإذا عبد يؤمهم، فقيل: هذا أبو ذر، فذهب يتأخر، فقال أبو ذرِّ: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم أن أسمع وأطيع، وإن كان عبداً حبشياً مُجدع الأطراف. [أخرجه ابن ماجه] قال الإمام ابن رجب رحمه الله: السمع والطاعة لولاة أمور المسلمين فيها سعادة الدنيا وبها تنتظم مصالح العباد في معاشهم وبها يستعينون على إظهار دينهم وطاعة ربهم” Wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan menaati pemimpin Diriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati kami setelah Salat Subuh dengan nasihat mendalam yang membuat air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu ada seorang sahabat yang berkata, ‘Ini seperti nasihat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan menaati pemimpin meskipun ia adalah budak dari Habasyah, karena kelak orang yang hidup dari kalian akan melihat perselisihan yang besar. Jauhilah perkara-perkara bid’ah, karena ia merupakan kesesatan. Barang siapa dari kalian yang mendapati masa itu, maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah itu dengan gigi geraham kalian.’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Wasiat untuk bertakwa juga diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang hendak bersafar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai Rasulullah! Aku hendak bersafar, maka berwasiatlah kepadaku!” Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bertakbir di setiap tanjakan.” (HR. At-Tirmidzi). Beliau juga mewasiatkan takwa kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku!” Rasulullah bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa, karena ia adalah inti dari segala urusan.” (HR. Ibnu Hibban). Adapun wasiat untuk taat kepada pemimpin, disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan darinya bahwa ia pernah sampai di daerah Rabadzah, dan iqamah salat sudah dikumandangkan. Ternyata yang menjadi imam adalah seorang budak. Lalu ada orang yang berseru, “Ini ada Abu Dzar!” Kemudian imam itu mundur. Abu Dzar lalu berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat kepadaku untuk mendengar dan taat, meskipun kepada budak Habasyah yang tangan dan kakinya putus.” (HR. Ibnu Majah).  Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Patuh kepada pemimpin kaum Muslimin mengandung kebahagiaan dunia, karena dengan kepatuhan itu, urusan hidup banyak orang akan teratur dan itu dapat memudahkan mereka dalam menguatkan agama dan menaati Tuhan mereka.” الوصية بالوتر وصوم ثلاثة أيام وركعتي الضحى: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث لا أدعهن حتى أموت: صوم ثلاثة أيامٍ من كل شهر، وصلاة الضحى، ونومٍ على وتر [متفق عليه] وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر، وصلاة الضحى، وبأن لا أنام حتى أوتر [أخرجه مسلم] وعن أبي ذر رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم، بثلاث، لا أدعهن إن شاء الله تعالى أبداً، أوصاني بصلاة الضحى، وبالوتر قبل النوم، وبصيام ثلاثة أيام من كل شهر، [أخرجه النسائي] ووصية عليه الصلاة والسلام لثلاثة من صحابته رضي الله عنهم بهذه الأمور، تؤكد أهميتها، فينبغي الحرص عليها. Wasiat untuk mendirikan Salat Witir, berpuasa tiga hari setiap bulan, dan Salat Dhuha dua rakaat Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati, puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidur setelah Salat Witir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selagi masih hidup: puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidak tidur sebelum mendirikan Salat Witir.” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang Insyaallah tidak akan aku tinggalkan selamanya: beliau berwasiat kepadaku untuk mendirikan Salat Dhuha, Salat Witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari setiap bulan.” (HR. An-Nasa’i).  Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada tiga sahabat beliau dengan tiga perkara ini semakin menegaskan pentingnya perkara-perkara tersebut, sehingga kita harus memberi perhatian besar padanya. الوصية بصحابته رضوان الله عليهم والذين يلونهم ثم الذين يلونهم: خطب عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال: أيها الناس إني قُمتُ فيكم كمقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فينا فقال: (أُوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم) [أخرجه الترمذي] لقد حفظ أهل السنة والجماعة، وصية النبي عليه الصلاة والسلام في أصحابه رضي الله عنهم، فهم يحبونهم، ويترضون عنهم، ويتبعون منهجهم. Wasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat beliau, lalu generasi setelah mereka, dan generasi setelahnya lagi Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah, “Wahai manusia sekalian! Aku berdiri di hadapan kalian, seperti berdirinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadapan kita dulu, lalu beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian para sahabatku, lalu orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelahnya lagi.’” (HR. At-Tirmidzi). Wasiat ini benar-benar dijalankan oleh Ahlusunah waljamaah, yakni wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap para sahabat beliau. Para Ahlusunah waljamaah mencintai mereka, mendoakan keridaan bagi mereka, dan mengikuti jalan hidup mereka. الوصية بقول: اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك، دبر كل صلاة: عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنَّ رسول الله أخذ بيده، وقال: (يا معاذ والله إني لأُحبك، أوصيك يا معاذ أن لا تدعن في دُبُر كل صلاةٍ تقول: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك) [أخرجه أبو داود] قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ويُستحبُّ للمُصلى أن يدعو قبل السلام بما أوصى به النبي صلى الله عليه وسلم مُعاذاً، أن يقول دُبُر كل صلاة: (اللهم اعني على ذكرك، وشُكرك، وحُسن عبادتك) Wasiat untuk mengucapkan di akhir shalat doa: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memegang tangannya lalu bersabda, “Wahai Muadz! Demi Allah aku mencintaimu. Wahai Muadz! Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa di akhir setiap salat: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, berilah pertolongan bagiku untuk berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada Engkau).” (HR. Abu Dawud). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dianjurkan bagi orang yang salat untuk berdoa sebelum salam dengan doa yang diwasiatkan Nabi kepada Muadz, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika.” الوصية بالجار: عن أبي إمامة رضي الله عنه أن النبي علية الصلاة والسلام قال: (أوصيكم بالجار) [أخرجه أحمد] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله: ويحصل امتثال الوصية به، بإيصال ضروب الإحسان إليه بحسب الطاقة كالهدية والسلام وطلاقة الوجه عند لقائه وتفقد حاله ومعاونته فيما يحتاج إليه…وكف أسباب الأذى عنه، على اختلاف أنواعه حسية كانت أو معنوية. Wasiat untuk bersikap baik kepada tetangga Diriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian (untuk bersikap baik) terhadap tetangga.” (HR. Ahmad). Al-Hafizh Ibnu HajarRahimahullah berkata, “Penerapan wasiat ini dapat diwujudkan dengan memberi berbagai kebaikan kepada tetangga sesuai dengan kemampuan, seperti memberi hadiah, mengucap salam, menampakkan wajah berseri ketika berjumpa, menanyakan kabar, memberi bantuan yang dibutuhkan, dan tidak menimbulkan gangguan baginya dalam berbagai bentuknya baik yang lahir maupun batin. الوصية بالنساء: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (استوصوا بالنساء خيراً) [متفق عليه] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله قوله (بالنساء خيراً) كأن فيه رمزاً إلى التقويم برفق، بحيث لا يبالغ فيه فيكسر، ولا يتركه فيستمر على عوجه…وفي الحديث الندب إلى المدارة لاستمالة النفوس وتألف القلوب، وفيه سياسة النساء بأخذ العفو منهن، والصبر على عوجهن، قال العلامة ابن باز رحمه الله: هذا أمر للأزواج والآباء والإخوة وغيرهم أن يستوصوا بالنساء خيراً وأن يحسنوا إليهن وأن لا يظلموهن وأن يعطوهن حقوقهن” Wasiat untuk bersikap baik kepada wanita Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bersikap baik kepada kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sabda beliau: ‘Bersikap baiklah kepada kaum wanita’ memberi isyarat untuk mendidik wanita dengan lembut, dengan cara yang tidak keras yang dapat mematahkannya dan tidak membiarkannya yang membuatnya tetap bengkok.” Hadis tersebut mengandung anjuran untuk bersikap bijak dalam memberi pengaruh bagi jiwa dan menyelaraskan hati. Juga mengandung anjuran bersiasat dalam memperlakukan wanita, dengan menerima permintaan maaf mereka dan bersabar atas kekeliruan mereka. Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata, “Perintah ini ditujukan kepada suami, ayah, saudara, dan lainnya agar bersikap baik kepada wanita, tidak menzalimi mereka, dan menunaikan hak-hak mereka.” الوصية بعدم اللعن والسب: عن جرموز الهجيمي رضي الله عنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني. قال: (أُوصيك أن لا تكون لعاناً) [أخرجه أحمد] وقد أوصى النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً أسلم بعدم السب، فعن أبي تميمة عن رجل من قومه، قال: شهدت رسول الله علية الصلاة والسلام أتاه رجل… فأسلم، ثم قال: أوصني يا رسول الله، فقال له: (لا تسبَّنَّ شيئاً) قال: فما سببتُ شيئاً: بعيراً ولا شاةً، منذ أوصاني رسول الله علية الصلاة والسلام [أخرجه أحمد] Wasiat untuk tidak melaknat dan mengucap sumpah serapah Diriwayatkan dari Jurmuz Al-Hujaimi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku!’ Beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak menjadi orang yang banyak melaknat.’” (HR. Ahmad). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah berwasiat kepada orang yang baru masuk Islam untuk tidak mencaci maki. Diriwayatkan dari Abu Tamimah dari seorang lelaki dari kaumnya yang berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki kemudian ia masuk Islam. Kemudian ia berkata, ‘Wasiatkanlah kepadaku, wahai Rasulullah!’ Beliau lalu bersabda, ‘Janganlah kamu mencaci apapun.’ Ia menceritakan, ‘Maka aku tidak pernah mencaci apapun, baik terhadap itu unta atau kambing, sejak Rasulullah mewasiatkan itu kepadaku.’” (HR. Ahmad). الوصية بعدم الغضب: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم أوصني، قال: (لا تغضب) فردد مراراً (لا تغضب) [أخرجه البخاري] قال الحافظ ابن رجب رحمه الله: هذا الرجل طلب من النبي صلى الله عليه وسلم أن يوصيه وصيةً جامعةً لخصال الخير، ليحفظها عنه، خشية أن لا يحفظها لكثرتها، فوصاه النبي صلى الله عليه وسلم: أن لا يغضب، ثم ردَّد هذه المسألة عليه مراراً، والنبي صلى الله عليه وسلم يردد عليه هذا الجواب، فهذا يدل على أن الغضب جماعُ الشَّرِّ، وأن التحرُّز منه جماع الخير…وقوله صلى الله عليه وسلم: (لا تغضب) يحتمل أمرين: أحدهما: أن يكون مراده الأمر بالأسباب التي توجب حسن الخلق فإن النفس إذا تخلقت بهذه الأخلاق وصارت لها عادة أوجب لها ذلك دفع الغضب عند حصول أسبابه. والثاني: أن يكون المراد لا تعمل بمقتضي الغضب إذا حصل لك، بل جاهد نفسك على ترك تنفيذه والعمل بما يأمر به، فإذا لم يمتثل الإنسان ما يأمرُهُ به غضبُهُ، وجاهد نفسه على ذلك، اندفع عنه شر الغضب، وربما سكن عنه غضبُهُ، وذهب عاجلاً، فكأنه – حينئذ – لم يغضب. اللهم وفقنا للعمل بوصايا رسولك عليه الصلاة والسلام. Wasiat untuk tidak marah Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki pernah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wasiatkanlah kepadaku!” Beliau lalu bersabda, “Jangan marah!” Beliau mengulanginya berkali-kali. (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Lelaki itu meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berwasiat kepadanya dengan wasiat yang menghimpun berbagai bentuk kebaikan, agar ia menghafal wasiat itu dan khawatir ia tidak dapat melaksanakannya karena terlalu banyak, maka Nabi berwasiat dengan ucapan, ‘Jangan marah!’ Namun, orang itu terus mengulangi permintaannya berkali-kali, tapi Nabi juga menjawabnya berkali-kali dengan ucapan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa marah merupakan penghimpun keburukan, dan terbebas darinya merupakan penghimpun kebaikan. Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Jangan marah!’ mengandung dua kemungkinan makna: Pertama: Maksudnya adalah perintah melakukan hal-hal yang mengundang akhlak yang baik, karena jika seseorang punya akhlak yang baik dan sudah menjadi tabiatnya, itu akan mendorongnya untuk menghindari kemarahan saat terjadi hal-hal yang menyulutnya. Kedua: Maksudnya adalah tidak melampiaskan kemarahan saat kemarahan itu datang, tapi melawan hawa nafsu agar tidak melampiaskannya. Apabila seseorang tidak melampiaskan kemarahannya dan melawan hawa nafsunya dalam hal ini, maka keburukan amarah akan jauh darinya, dan bahkan kemarahan itu akan segera reda dan hilang, seakan-akan ia tidak marah sama sekali. Ya Allah! Karuniakanlah kepada kami taufik untuk mengamalkan wasiat-wasiat Rasul-Mu Shallallahu Alaihi wa Sallamm. Sumber: https://www.alukah.net/من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 245 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid

Beberapa Wasiat Rasulullah

من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Oleh: Fahd bin Abdul Aziz Abdullah asy-Syuwairikh فهد بن عبدالعزيز عبدالله الشويرخ الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.. أما بعد: فالوصية تعنى الأمر بالشيءٍ أمراً مؤكداً، ومن أُوصِيَ بوصية نافعة من محبٍ ناصحٍ صادقٍ مخلصٍ فإن العاقل يقبلها فإذا كانت هذه الوصية من رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي لا يعلمُ خيراً إلاَّ دلَّ الأمة عليه ولا يعلمُ شراً إلا وحذر الأمة منه، فإن المؤمن لا يتردد في قبولها والعمل بها، ولقد أوصى رسول الله علية الصلاة والسلام بوصايا كثيرة ينبغي الحرص على العمل بها، ومنها: Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Wasiat merupakan perintah yang tegas terhadap sesuatu. Ketika ada orang yang diberi nasihat yang bermanfaat dari orang tercinta yang tulus ikhlas, maka jika ia adalah orang yang berakal, niscaya ia akan menerima wasiat itu. Lalu ketika wasiat ini berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidaklah beliau mengetahui suatu kebaikan melainkan akan menunjukkannya kepada umatnya, dan tidaklah beliau mengetahui keburukan melainkan akan memperingatkan umatnya darinya, maka seorang mukmin selayaknya tidak ragu sama sekali dalam menerima dan mengamalkan wasiat tersebut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi banyak wasiat yang hendaknya kita berusaha mengamalkannya, di antaranya adalah: الوصية بتلاوة القرآن، وذكر الله، وبعدم كثرة الضحك: عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قلتُ يا رسول الله أوصني قال: (أوصيك… بتلاوة القرآن، وذكر الله، فإنه نور لك في الأرض، وذخر لك في السماء) قلت: يا رسول الله زدني قال: (إياك وكثرة الضحك فإنه يميت القلب) [أخرجه ابن حبان]. Wasiat untuk membaca Al-Qur’an, berzikir kepada Allah, dan tidak banyak tertawa Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepadamu untuk membaca Al-Qur’an dan berzikir kepada Allah, karena itu merupakan cahaya bagimu di dunia dan simpanan bagimu di langit.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tambahlah!’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena itu mematikan hati.’” (HR. Ibnu Hibban). الوصية بالعمل بكتاب الله عز وجل: عن طلحة بن مصرف قال: سألت عبدالله بن أبي أوفى رضي الله عنهما: هل كان النبي صلى الله عليه وسلم أوصى؟ فقال: لا. فقلت: كيف كُتِبَ على الناس الوصية أو أمروا بالوصية؟ قال: أوصى بكتاب الله. [متفق عليه] قال الإمام النووي رحمه الله: وقوله (أوصى بكتاب الله) أي بالعمل بما فيه. Wasiat untuk mengamalkan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla Diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Apakah dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ Akupun bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana orang-orang dituliskan wasiat atau diperintahkan berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Beliau berwasiat tentang Kitabullah.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan berwasit tentang Kitabullah yakni mengamalkan apa yang ada di dalamnya.” الوصية بالصلاة لوقتها: عن أبي ذرٍ رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاثة: (.. وصل الصلاة لوقتها) [أخرجه أحمد] Wasiat untuk mendirikan salat pada waktunya Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara, (dan di antaranya) ‘Dirikanlah salat pada waktunya’.” (HR. Ahmad). الوصية بتقوى الله والسمع والطاعة لولي الأمر: عن العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون، ووجلت منها القلوب، فقال رجل: إن هذه موعظة مودع فبماذا تعهد إلينا يا رسول الله؟ قال: (أُوصيكم بتقوى الله، والسمع والطاعة وإن عبداً حبشي، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كبيراً، وإياكم ومحدثات الأمور، فإنها ضلالة، فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين، عضّوا عليها بالنواجذ) [أخرجه أبو داود والترمذي] والوصية بالتقوى، أوصى بها رسول الله عليه الصلاة والسلام رجلاً أراد السفر، فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال: يا رسول الله إني أريدُ أن أسافر فأوصني قال: (عليك بتقوى الله والتكبير على كل شرف) [أخرجه الترمذي] كما أوصى بها أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني، قال: (أوصيك بتقوى الله فإنه رأس الأمر كله) [أخرجه ابن حبان] والوصية بالسمع والطاعة لولي الأمر، أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه أنه انتهى إلى الربذة، وقد أُقيمت الصلاة، فإذا عبد يؤمهم، فقيل: هذا أبو ذر، فذهب يتأخر، فقال أبو ذرِّ: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم أن أسمع وأطيع، وإن كان عبداً حبشياً مُجدع الأطراف. [أخرجه ابن ماجه] قال الإمام ابن رجب رحمه الله: السمع والطاعة لولاة أمور المسلمين فيها سعادة الدنيا وبها تنتظم مصالح العباد في معاشهم وبها يستعينون على إظهار دينهم وطاعة ربهم” Wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan menaati pemimpin Diriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati kami setelah Salat Subuh dengan nasihat mendalam yang membuat air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu ada seorang sahabat yang berkata, ‘Ini seperti nasihat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan menaati pemimpin meskipun ia adalah budak dari Habasyah, karena kelak orang yang hidup dari kalian akan melihat perselisihan yang besar. Jauhilah perkara-perkara bid’ah, karena ia merupakan kesesatan. Barang siapa dari kalian yang mendapati masa itu, maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah itu dengan gigi geraham kalian.’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Wasiat untuk bertakwa juga diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang hendak bersafar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai Rasulullah! Aku hendak bersafar, maka berwasiatlah kepadaku!” Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bertakbir di setiap tanjakan.” (HR. At-Tirmidzi). Beliau juga mewasiatkan takwa kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku!” Rasulullah bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa, karena ia adalah inti dari segala urusan.” (HR. Ibnu Hibban). Adapun wasiat untuk taat kepada pemimpin, disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan darinya bahwa ia pernah sampai di daerah Rabadzah, dan iqamah salat sudah dikumandangkan. Ternyata yang menjadi imam adalah seorang budak. Lalu ada orang yang berseru, “Ini ada Abu Dzar!” Kemudian imam itu mundur. Abu Dzar lalu berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat kepadaku untuk mendengar dan taat, meskipun kepada budak Habasyah yang tangan dan kakinya putus.” (HR. Ibnu Majah).  Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Patuh kepada pemimpin kaum Muslimin mengandung kebahagiaan dunia, karena dengan kepatuhan itu, urusan hidup banyak orang akan teratur dan itu dapat memudahkan mereka dalam menguatkan agama dan menaati Tuhan mereka.” الوصية بالوتر وصوم ثلاثة أيام وركعتي الضحى: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث لا أدعهن حتى أموت: صوم ثلاثة أيامٍ من كل شهر، وصلاة الضحى، ونومٍ على وتر [متفق عليه] وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر، وصلاة الضحى، وبأن لا أنام حتى أوتر [أخرجه مسلم] وعن أبي ذر رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم، بثلاث، لا أدعهن إن شاء الله تعالى أبداً، أوصاني بصلاة الضحى، وبالوتر قبل النوم، وبصيام ثلاثة أيام من كل شهر، [أخرجه النسائي] ووصية عليه الصلاة والسلام لثلاثة من صحابته رضي الله عنهم بهذه الأمور، تؤكد أهميتها، فينبغي الحرص عليها. Wasiat untuk mendirikan Salat Witir, berpuasa tiga hari setiap bulan, dan Salat Dhuha dua rakaat Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati, puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidur setelah Salat Witir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selagi masih hidup: puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidak tidur sebelum mendirikan Salat Witir.” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang Insyaallah tidak akan aku tinggalkan selamanya: beliau berwasiat kepadaku untuk mendirikan Salat Dhuha, Salat Witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari setiap bulan.” (HR. An-Nasa’i).  Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada tiga sahabat beliau dengan tiga perkara ini semakin menegaskan pentingnya perkara-perkara tersebut, sehingga kita harus memberi perhatian besar padanya. الوصية بصحابته رضوان الله عليهم والذين يلونهم ثم الذين يلونهم: خطب عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال: أيها الناس إني قُمتُ فيكم كمقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فينا فقال: (أُوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم) [أخرجه الترمذي] لقد حفظ أهل السنة والجماعة، وصية النبي عليه الصلاة والسلام في أصحابه رضي الله عنهم، فهم يحبونهم، ويترضون عنهم، ويتبعون منهجهم. Wasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat beliau, lalu generasi setelah mereka, dan generasi setelahnya lagi Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah, “Wahai manusia sekalian! Aku berdiri di hadapan kalian, seperti berdirinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadapan kita dulu, lalu beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian para sahabatku, lalu orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelahnya lagi.’” (HR. At-Tirmidzi). Wasiat ini benar-benar dijalankan oleh Ahlusunah waljamaah, yakni wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap para sahabat beliau. Para Ahlusunah waljamaah mencintai mereka, mendoakan keridaan bagi mereka, dan mengikuti jalan hidup mereka. الوصية بقول: اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك، دبر كل صلاة: عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنَّ رسول الله أخذ بيده، وقال: (يا معاذ والله إني لأُحبك، أوصيك يا معاذ أن لا تدعن في دُبُر كل صلاةٍ تقول: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك) [أخرجه أبو داود] قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ويُستحبُّ للمُصلى أن يدعو قبل السلام بما أوصى به النبي صلى الله عليه وسلم مُعاذاً، أن يقول دُبُر كل صلاة: (اللهم اعني على ذكرك، وشُكرك، وحُسن عبادتك) Wasiat untuk mengucapkan di akhir shalat doa: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memegang tangannya lalu bersabda, “Wahai Muadz! Demi Allah aku mencintaimu. Wahai Muadz! Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa di akhir setiap salat: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, berilah pertolongan bagiku untuk berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada Engkau).” (HR. Abu Dawud). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dianjurkan bagi orang yang salat untuk berdoa sebelum salam dengan doa yang diwasiatkan Nabi kepada Muadz, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika.” الوصية بالجار: عن أبي إمامة رضي الله عنه أن النبي علية الصلاة والسلام قال: (أوصيكم بالجار) [أخرجه أحمد] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله: ويحصل امتثال الوصية به، بإيصال ضروب الإحسان إليه بحسب الطاقة كالهدية والسلام وطلاقة الوجه عند لقائه وتفقد حاله ومعاونته فيما يحتاج إليه…وكف أسباب الأذى عنه، على اختلاف أنواعه حسية كانت أو معنوية. Wasiat untuk bersikap baik kepada tetangga Diriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian (untuk bersikap baik) terhadap tetangga.” (HR. Ahmad). Al-Hafizh Ibnu HajarRahimahullah berkata, “Penerapan wasiat ini dapat diwujudkan dengan memberi berbagai kebaikan kepada tetangga sesuai dengan kemampuan, seperti memberi hadiah, mengucap salam, menampakkan wajah berseri ketika berjumpa, menanyakan kabar, memberi bantuan yang dibutuhkan, dan tidak menimbulkan gangguan baginya dalam berbagai bentuknya baik yang lahir maupun batin. الوصية بالنساء: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (استوصوا بالنساء خيراً) [متفق عليه] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله قوله (بالنساء خيراً) كأن فيه رمزاً إلى التقويم برفق، بحيث لا يبالغ فيه فيكسر، ولا يتركه فيستمر على عوجه…وفي الحديث الندب إلى المدارة لاستمالة النفوس وتألف القلوب، وفيه سياسة النساء بأخذ العفو منهن، والصبر على عوجهن، قال العلامة ابن باز رحمه الله: هذا أمر للأزواج والآباء والإخوة وغيرهم أن يستوصوا بالنساء خيراً وأن يحسنوا إليهن وأن لا يظلموهن وأن يعطوهن حقوقهن” Wasiat untuk bersikap baik kepada wanita Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bersikap baik kepada kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sabda beliau: ‘Bersikap baiklah kepada kaum wanita’ memberi isyarat untuk mendidik wanita dengan lembut, dengan cara yang tidak keras yang dapat mematahkannya dan tidak membiarkannya yang membuatnya tetap bengkok.” Hadis tersebut mengandung anjuran untuk bersikap bijak dalam memberi pengaruh bagi jiwa dan menyelaraskan hati. Juga mengandung anjuran bersiasat dalam memperlakukan wanita, dengan menerima permintaan maaf mereka dan bersabar atas kekeliruan mereka. Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata, “Perintah ini ditujukan kepada suami, ayah, saudara, dan lainnya agar bersikap baik kepada wanita, tidak menzalimi mereka, dan menunaikan hak-hak mereka.” الوصية بعدم اللعن والسب: عن جرموز الهجيمي رضي الله عنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني. قال: (أُوصيك أن لا تكون لعاناً) [أخرجه أحمد] وقد أوصى النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً أسلم بعدم السب، فعن أبي تميمة عن رجل من قومه، قال: شهدت رسول الله علية الصلاة والسلام أتاه رجل… فأسلم، ثم قال: أوصني يا رسول الله، فقال له: (لا تسبَّنَّ شيئاً) قال: فما سببتُ شيئاً: بعيراً ولا شاةً، منذ أوصاني رسول الله علية الصلاة والسلام [أخرجه أحمد] Wasiat untuk tidak melaknat dan mengucap sumpah serapah Diriwayatkan dari Jurmuz Al-Hujaimi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku!’ Beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak menjadi orang yang banyak melaknat.’” (HR. Ahmad). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah berwasiat kepada orang yang baru masuk Islam untuk tidak mencaci maki. Diriwayatkan dari Abu Tamimah dari seorang lelaki dari kaumnya yang berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki kemudian ia masuk Islam. Kemudian ia berkata, ‘Wasiatkanlah kepadaku, wahai Rasulullah!’ Beliau lalu bersabda, ‘Janganlah kamu mencaci apapun.’ Ia menceritakan, ‘Maka aku tidak pernah mencaci apapun, baik terhadap itu unta atau kambing, sejak Rasulullah mewasiatkan itu kepadaku.’” (HR. Ahmad). الوصية بعدم الغضب: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم أوصني، قال: (لا تغضب) فردد مراراً (لا تغضب) [أخرجه البخاري] قال الحافظ ابن رجب رحمه الله: هذا الرجل طلب من النبي صلى الله عليه وسلم أن يوصيه وصيةً جامعةً لخصال الخير، ليحفظها عنه، خشية أن لا يحفظها لكثرتها، فوصاه النبي صلى الله عليه وسلم: أن لا يغضب، ثم ردَّد هذه المسألة عليه مراراً، والنبي صلى الله عليه وسلم يردد عليه هذا الجواب، فهذا يدل على أن الغضب جماعُ الشَّرِّ، وأن التحرُّز منه جماع الخير…وقوله صلى الله عليه وسلم: (لا تغضب) يحتمل أمرين: أحدهما: أن يكون مراده الأمر بالأسباب التي توجب حسن الخلق فإن النفس إذا تخلقت بهذه الأخلاق وصارت لها عادة أوجب لها ذلك دفع الغضب عند حصول أسبابه. والثاني: أن يكون المراد لا تعمل بمقتضي الغضب إذا حصل لك، بل جاهد نفسك على ترك تنفيذه والعمل بما يأمر به، فإذا لم يمتثل الإنسان ما يأمرُهُ به غضبُهُ، وجاهد نفسه على ذلك، اندفع عنه شر الغضب، وربما سكن عنه غضبُهُ، وذهب عاجلاً، فكأنه – حينئذ – لم يغضب. اللهم وفقنا للعمل بوصايا رسولك عليه الصلاة والسلام. Wasiat untuk tidak marah Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki pernah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wasiatkanlah kepadaku!” Beliau lalu bersabda, “Jangan marah!” Beliau mengulanginya berkali-kali. (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Lelaki itu meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berwasiat kepadanya dengan wasiat yang menghimpun berbagai bentuk kebaikan, agar ia menghafal wasiat itu dan khawatir ia tidak dapat melaksanakannya karena terlalu banyak, maka Nabi berwasiat dengan ucapan, ‘Jangan marah!’ Namun, orang itu terus mengulangi permintaannya berkali-kali, tapi Nabi juga menjawabnya berkali-kali dengan ucapan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa marah merupakan penghimpun keburukan, dan terbebas darinya merupakan penghimpun kebaikan. Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Jangan marah!’ mengandung dua kemungkinan makna: Pertama: Maksudnya adalah perintah melakukan hal-hal yang mengundang akhlak yang baik, karena jika seseorang punya akhlak yang baik dan sudah menjadi tabiatnya, itu akan mendorongnya untuk menghindari kemarahan saat terjadi hal-hal yang menyulutnya. Kedua: Maksudnya adalah tidak melampiaskan kemarahan saat kemarahan itu datang, tapi melawan hawa nafsu agar tidak melampiaskannya. Apabila seseorang tidak melampiaskan kemarahannya dan melawan hawa nafsunya dalam hal ini, maka keburukan amarah akan jauh darinya, dan bahkan kemarahan itu akan segera reda dan hilang, seakan-akan ia tidak marah sama sekali. Ya Allah! Karuniakanlah kepada kami taufik untuk mengamalkan wasiat-wasiat Rasul-Mu Shallallahu Alaihi wa Sallamm. Sumber: https://www.alukah.net/من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 245 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid
من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Oleh: Fahd bin Abdul Aziz Abdullah asy-Syuwairikh فهد بن عبدالعزيز عبدالله الشويرخ الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.. أما بعد: فالوصية تعنى الأمر بالشيءٍ أمراً مؤكداً، ومن أُوصِيَ بوصية نافعة من محبٍ ناصحٍ صادقٍ مخلصٍ فإن العاقل يقبلها فإذا كانت هذه الوصية من رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي لا يعلمُ خيراً إلاَّ دلَّ الأمة عليه ولا يعلمُ شراً إلا وحذر الأمة منه، فإن المؤمن لا يتردد في قبولها والعمل بها، ولقد أوصى رسول الله علية الصلاة والسلام بوصايا كثيرة ينبغي الحرص على العمل بها، ومنها: Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Wasiat merupakan perintah yang tegas terhadap sesuatu. Ketika ada orang yang diberi nasihat yang bermanfaat dari orang tercinta yang tulus ikhlas, maka jika ia adalah orang yang berakal, niscaya ia akan menerima wasiat itu. Lalu ketika wasiat ini berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidaklah beliau mengetahui suatu kebaikan melainkan akan menunjukkannya kepada umatnya, dan tidaklah beliau mengetahui keburukan melainkan akan memperingatkan umatnya darinya, maka seorang mukmin selayaknya tidak ragu sama sekali dalam menerima dan mengamalkan wasiat tersebut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi banyak wasiat yang hendaknya kita berusaha mengamalkannya, di antaranya adalah: الوصية بتلاوة القرآن، وذكر الله، وبعدم كثرة الضحك: عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قلتُ يا رسول الله أوصني قال: (أوصيك… بتلاوة القرآن، وذكر الله، فإنه نور لك في الأرض، وذخر لك في السماء) قلت: يا رسول الله زدني قال: (إياك وكثرة الضحك فإنه يميت القلب) [أخرجه ابن حبان]. Wasiat untuk membaca Al-Qur’an, berzikir kepada Allah, dan tidak banyak tertawa Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepadamu untuk membaca Al-Qur’an dan berzikir kepada Allah, karena itu merupakan cahaya bagimu di dunia dan simpanan bagimu di langit.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tambahlah!’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena itu mematikan hati.’” (HR. Ibnu Hibban). الوصية بالعمل بكتاب الله عز وجل: عن طلحة بن مصرف قال: سألت عبدالله بن أبي أوفى رضي الله عنهما: هل كان النبي صلى الله عليه وسلم أوصى؟ فقال: لا. فقلت: كيف كُتِبَ على الناس الوصية أو أمروا بالوصية؟ قال: أوصى بكتاب الله. [متفق عليه] قال الإمام النووي رحمه الله: وقوله (أوصى بكتاب الله) أي بالعمل بما فيه. Wasiat untuk mengamalkan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla Diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Apakah dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ Akupun bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana orang-orang dituliskan wasiat atau diperintahkan berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Beliau berwasiat tentang Kitabullah.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan berwasit tentang Kitabullah yakni mengamalkan apa yang ada di dalamnya.” الوصية بالصلاة لوقتها: عن أبي ذرٍ رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاثة: (.. وصل الصلاة لوقتها) [أخرجه أحمد] Wasiat untuk mendirikan salat pada waktunya Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara, (dan di antaranya) ‘Dirikanlah salat pada waktunya’.” (HR. Ahmad). الوصية بتقوى الله والسمع والطاعة لولي الأمر: عن العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون، ووجلت منها القلوب، فقال رجل: إن هذه موعظة مودع فبماذا تعهد إلينا يا رسول الله؟ قال: (أُوصيكم بتقوى الله، والسمع والطاعة وإن عبداً حبشي، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كبيراً، وإياكم ومحدثات الأمور، فإنها ضلالة، فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين، عضّوا عليها بالنواجذ) [أخرجه أبو داود والترمذي] والوصية بالتقوى، أوصى بها رسول الله عليه الصلاة والسلام رجلاً أراد السفر، فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال: يا رسول الله إني أريدُ أن أسافر فأوصني قال: (عليك بتقوى الله والتكبير على كل شرف) [أخرجه الترمذي] كما أوصى بها أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني، قال: (أوصيك بتقوى الله فإنه رأس الأمر كله) [أخرجه ابن حبان] والوصية بالسمع والطاعة لولي الأمر، أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه أنه انتهى إلى الربذة، وقد أُقيمت الصلاة، فإذا عبد يؤمهم، فقيل: هذا أبو ذر، فذهب يتأخر، فقال أبو ذرِّ: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم أن أسمع وأطيع، وإن كان عبداً حبشياً مُجدع الأطراف. [أخرجه ابن ماجه] قال الإمام ابن رجب رحمه الله: السمع والطاعة لولاة أمور المسلمين فيها سعادة الدنيا وبها تنتظم مصالح العباد في معاشهم وبها يستعينون على إظهار دينهم وطاعة ربهم” Wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan menaati pemimpin Diriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati kami setelah Salat Subuh dengan nasihat mendalam yang membuat air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu ada seorang sahabat yang berkata, ‘Ini seperti nasihat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan menaati pemimpin meskipun ia adalah budak dari Habasyah, karena kelak orang yang hidup dari kalian akan melihat perselisihan yang besar. Jauhilah perkara-perkara bid’ah, karena ia merupakan kesesatan. Barang siapa dari kalian yang mendapati masa itu, maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah itu dengan gigi geraham kalian.’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Wasiat untuk bertakwa juga diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang hendak bersafar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai Rasulullah! Aku hendak bersafar, maka berwasiatlah kepadaku!” Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bertakbir di setiap tanjakan.” (HR. At-Tirmidzi). Beliau juga mewasiatkan takwa kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku!” Rasulullah bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa, karena ia adalah inti dari segala urusan.” (HR. Ibnu Hibban). Adapun wasiat untuk taat kepada pemimpin, disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan darinya bahwa ia pernah sampai di daerah Rabadzah, dan iqamah salat sudah dikumandangkan. Ternyata yang menjadi imam adalah seorang budak. Lalu ada orang yang berseru, “Ini ada Abu Dzar!” Kemudian imam itu mundur. Abu Dzar lalu berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat kepadaku untuk mendengar dan taat, meskipun kepada budak Habasyah yang tangan dan kakinya putus.” (HR. Ibnu Majah).  Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Patuh kepada pemimpin kaum Muslimin mengandung kebahagiaan dunia, karena dengan kepatuhan itu, urusan hidup banyak orang akan teratur dan itu dapat memudahkan mereka dalam menguatkan agama dan menaati Tuhan mereka.” الوصية بالوتر وصوم ثلاثة أيام وركعتي الضحى: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث لا أدعهن حتى أموت: صوم ثلاثة أيامٍ من كل شهر، وصلاة الضحى، ونومٍ على وتر [متفق عليه] وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر، وصلاة الضحى، وبأن لا أنام حتى أوتر [أخرجه مسلم] وعن أبي ذر رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم، بثلاث، لا أدعهن إن شاء الله تعالى أبداً، أوصاني بصلاة الضحى، وبالوتر قبل النوم، وبصيام ثلاثة أيام من كل شهر، [أخرجه النسائي] ووصية عليه الصلاة والسلام لثلاثة من صحابته رضي الله عنهم بهذه الأمور، تؤكد أهميتها، فينبغي الحرص عليها. Wasiat untuk mendirikan Salat Witir, berpuasa tiga hari setiap bulan, dan Salat Dhuha dua rakaat Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati, puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidur setelah Salat Witir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selagi masih hidup: puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidak tidur sebelum mendirikan Salat Witir.” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang Insyaallah tidak akan aku tinggalkan selamanya: beliau berwasiat kepadaku untuk mendirikan Salat Dhuha, Salat Witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari setiap bulan.” (HR. An-Nasa’i).  Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada tiga sahabat beliau dengan tiga perkara ini semakin menegaskan pentingnya perkara-perkara tersebut, sehingga kita harus memberi perhatian besar padanya. الوصية بصحابته رضوان الله عليهم والذين يلونهم ثم الذين يلونهم: خطب عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال: أيها الناس إني قُمتُ فيكم كمقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فينا فقال: (أُوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم) [أخرجه الترمذي] لقد حفظ أهل السنة والجماعة، وصية النبي عليه الصلاة والسلام في أصحابه رضي الله عنهم، فهم يحبونهم، ويترضون عنهم، ويتبعون منهجهم. Wasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat beliau, lalu generasi setelah mereka, dan generasi setelahnya lagi Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah, “Wahai manusia sekalian! Aku berdiri di hadapan kalian, seperti berdirinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadapan kita dulu, lalu beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian para sahabatku, lalu orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelahnya lagi.’” (HR. At-Tirmidzi). Wasiat ini benar-benar dijalankan oleh Ahlusunah waljamaah, yakni wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap para sahabat beliau. Para Ahlusunah waljamaah mencintai mereka, mendoakan keridaan bagi mereka, dan mengikuti jalan hidup mereka. الوصية بقول: اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك، دبر كل صلاة: عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنَّ رسول الله أخذ بيده، وقال: (يا معاذ والله إني لأُحبك، أوصيك يا معاذ أن لا تدعن في دُبُر كل صلاةٍ تقول: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك) [أخرجه أبو داود] قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ويُستحبُّ للمُصلى أن يدعو قبل السلام بما أوصى به النبي صلى الله عليه وسلم مُعاذاً، أن يقول دُبُر كل صلاة: (اللهم اعني على ذكرك، وشُكرك، وحُسن عبادتك) Wasiat untuk mengucapkan di akhir shalat doa: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memegang tangannya lalu bersabda, “Wahai Muadz! Demi Allah aku mencintaimu. Wahai Muadz! Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa di akhir setiap salat: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, berilah pertolongan bagiku untuk berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada Engkau).” (HR. Abu Dawud). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dianjurkan bagi orang yang salat untuk berdoa sebelum salam dengan doa yang diwasiatkan Nabi kepada Muadz, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika.” الوصية بالجار: عن أبي إمامة رضي الله عنه أن النبي علية الصلاة والسلام قال: (أوصيكم بالجار) [أخرجه أحمد] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله: ويحصل امتثال الوصية به، بإيصال ضروب الإحسان إليه بحسب الطاقة كالهدية والسلام وطلاقة الوجه عند لقائه وتفقد حاله ومعاونته فيما يحتاج إليه…وكف أسباب الأذى عنه، على اختلاف أنواعه حسية كانت أو معنوية. Wasiat untuk bersikap baik kepada tetangga Diriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian (untuk bersikap baik) terhadap tetangga.” (HR. Ahmad). Al-Hafizh Ibnu HajarRahimahullah berkata, “Penerapan wasiat ini dapat diwujudkan dengan memberi berbagai kebaikan kepada tetangga sesuai dengan kemampuan, seperti memberi hadiah, mengucap salam, menampakkan wajah berseri ketika berjumpa, menanyakan kabar, memberi bantuan yang dibutuhkan, dan tidak menimbulkan gangguan baginya dalam berbagai bentuknya baik yang lahir maupun batin. الوصية بالنساء: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (استوصوا بالنساء خيراً) [متفق عليه] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله قوله (بالنساء خيراً) كأن فيه رمزاً إلى التقويم برفق، بحيث لا يبالغ فيه فيكسر، ولا يتركه فيستمر على عوجه…وفي الحديث الندب إلى المدارة لاستمالة النفوس وتألف القلوب، وفيه سياسة النساء بأخذ العفو منهن، والصبر على عوجهن، قال العلامة ابن باز رحمه الله: هذا أمر للأزواج والآباء والإخوة وغيرهم أن يستوصوا بالنساء خيراً وأن يحسنوا إليهن وأن لا يظلموهن وأن يعطوهن حقوقهن” Wasiat untuk bersikap baik kepada wanita Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bersikap baik kepada kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sabda beliau: ‘Bersikap baiklah kepada kaum wanita’ memberi isyarat untuk mendidik wanita dengan lembut, dengan cara yang tidak keras yang dapat mematahkannya dan tidak membiarkannya yang membuatnya tetap bengkok.” Hadis tersebut mengandung anjuran untuk bersikap bijak dalam memberi pengaruh bagi jiwa dan menyelaraskan hati. Juga mengandung anjuran bersiasat dalam memperlakukan wanita, dengan menerima permintaan maaf mereka dan bersabar atas kekeliruan mereka. Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata, “Perintah ini ditujukan kepada suami, ayah, saudara, dan lainnya agar bersikap baik kepada wanita, tidak menzalimi mereka, dan menunaikan hak-hak mereka.” الوصية بعدم اللعن والسب: عن جرموز الهجيمي رضي الله عنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني. قال: (أُوصيك أن لا تكون لعاناً) [أخرجه أحمد] وقد أوصى النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً أسلم بعدم السب، فعن أبي تميمة عن رجل من قومه، قال: شهدت رسول الله علية الصلاة والسلام أتاه رجل… فأسلم، ثم قال: أوصني يا رسول الله، فقال له: (لا تسبَّنَّ شيئاً) قال: فما سببتُ شيئاً: بعيراً ولا شاةً، منذ أوصاني رسول الله علية الصلاة والسلام [أخرجه أحمد] Wasiat untuk tidak melaknat dan mengucap sumpah serapah Diriwayatkan dari Jurmuz Al-Hujaimi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku!’ Beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak menjadi orang yang banyak melaknat.’” (HR. Ahmad). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah berwasiat kepada orang yang baru masuk Islam untuk tidak mencaci maki. Diriwayatkan dari Abu Tamimah dari seorang lelaki dari kaumnya yang berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki kemudian ia masuk Islam. Kemudian ia berkata, ‘Wasiatkanlah kepadaku, wahai Rasulullah!’ Beliau lalu bersabda, ‘Janganlah kamu mencaci apapun.’ Ia menceritakan, ‘Maka aku tidak pernah mencaci apapun, baik terhadap itu unta atau kambing, sejak Rasulullah mewasiatkan itu kepadaku.’” (HR. Ahmad). الوصية بعدم الغضب: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم أوصني، قال: (لا تغضب) فردد مراراً (لا تغضب) [أخرجه البخاري] قال الحافظ ابن رجب رحمه الله: هذا الرجل طلب من النبي صلى الله عليه وسلم أن يوصيه وصيةً جامعةً لخصال الخير، ليحفظها عنه، خشية أن لا يحفظها لكثرتها، فوصاه النبي صلى الله عليه وسلم: أن لا يغضب، ثم ردَّد هذه المسألة عليه مراراً، والنبي صلى الله عليه وسلم يردد عليه هذا الجواب، فهذا يدل على أن الغضب جماعُ الشَّرِّ، وأن التحرُّز منه جماع الخير…وقوله صلى الله عليه وسلم: (لا تغضب) يحتمل أمرين: أحدهما: أن يكون مراده الأمر بالأسباب التي توجب حسن الخلق فإن النفس إذا تخلقت بهذه الأخلاق وصارت لها عادة أوجب لها ذلك دفع الغضب عند حصول أسبابه. والثاني: أن يكون المراد لا تعمل بمقتضي الغضب إذا حصل لك، بل جاهد نفسك على ترك تنفيذه والعمل بما يأمر به، فإذا لم يمتثل الإنسان ما يأمرُهُ به غضبُهُ، وجاهد نفسه على ذلك، اندفع عنه شر الغضب، وربما سكن عنه غضبُهُ، وذهب عاجلاً، فكأنه – حينئذ – لم يغضب. اللهم وفقنا للعمل بوصايا رسولك عليه الصلاة والسلام. Wasiat untuk tidak marah Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki pernah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wasiatkanlah kepadaku!” Beliau lalu bersabda, “Jangan marah!” Beliau mengulanginya berkali-kali. (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Lelaki itu meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berwasiat kepadanya dengan wasiat yang menghimpun berbagai bentuk kebaikan, agar ia menghafal wasiat itu dan khawatir ia tidak dapat melaksanakannya karena terlalu banyak, maka Nabi berwasiat dengan ucapan, ‘Jangan marah!’ Namun, orang itu terus mengulangi permintaannya berkali-kali, tapi Nabi juga menjawabnya berkali-kali dengan ucapan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa marah merupakan penghimpun keburukan, dan terbebas darinya merupakan penghimpun kebaikan. Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Jangan marah!’ mengandung dua kemungkinan makna: Pertama: Maksudnya adalah perintah melakukan hal-hal yang mengundang akhlak yang baik, karena jika seseorang punya akhlak yang baik dan sudah menjadi tabiatnya, itu akan mendorongnya untuk menghindari kemarahan saat terjadi hal-hal yang menyulutnya. Kedua: Maksudnya adalah tidak melampiaskan kemarahan saat kemarahan itu datang, tapi melawan hawa nafsu agar tidak melampiaskannya. Apabila seseorang tidak melampiaskan kemarahannya dan melawan hawa nafsunya dalam hal ini, maka keburukan amarah akan jauh darinya, dan bahkan kemarahan itu akan segera reda dan hilang, seakan-akan ia tidak marah sama sekali. Ya Allah! Karuniakanlah kepada kami taufik untuk mengamalkan wasiat-wasiat Rasul-Mu Shallallahu Alaihi wa Sallamm. Sumber: https://www.alukah.net/من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 245 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid


من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Oleh: Fahd bin Abdul Aziz Abdullah asy-Syuwairikh فهد بن عبدالعزيز عبدالله الشويرخ الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.. أما بعد: فالوصية تعنى الأمر بالشيءٍ أمراً مؤكداً، ومن أُوصِيَ بوصية نافعة من محبٍ ناصحٍ صادقٍ مخلصٍ فإن العاقل يقبلها فإذا كانت هذه الوصية من رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي لا يعلمُ خيراً إلاَّ دلَّ الأمة عليه ولا يعلمُ شراً إلا وحذر الأمة منه، فإن المؤمن لا يتردد في قبولها والعمل بها، ولقد أوصى رسول الله علية الصلاة والسلام بوصايا كثيرة ينبغي الحرص على العمل بها، ومنها: Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Wasiat merupakan perintah yang tegas terhadap sesuatu. Ketika ada orang yang diberi nasihat yang bermanfaat dari orang tercinta yang tulus ikhlas, maka jika ia adalah orang yang berakal, niscaya ia akan menerima wasiat itu. Lalu ketika wasiat ini berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidaklah beliau mengetahui suatu kebaikan melainkan akan menunjukkannya kepada umatnya, dan tidaklah beliau mengetahui keburukan melainkan akan memperingatkan umatnya darinya, maka seorang mukmin selayaknya tidak ragu sama sekali dalam menerima dan mengamalkan wasiat tersebut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi banyak wasiat yang hendaknya kita berusaha mengamalkannya, di antaranya adalah: الوصية بتلاوة القرآن، وذكر الله، وبعدم كثرة الضحك: عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قلتُ يا رسول الله أوصني قال: (أوصيك… بتلاوة القرآن، وذكر الله، فإنه نور لك في الأرض، وذخر لك في السماء) قلت: يا رسول الله زدني قال: (إياك وكثرة الضحك فإنه يميت القلب) [أخرجه ابن حبان]. Wasiat untuk membaca Al-Qur’an, berzikir kepada Allah, dan tidak banyak tertawa Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepadamu untuk membaca Al-Qur’an dan berzikir kepada Allah, karena itu merupakan cahaya bagimu di dunia dan simpanan bagimu di langit.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tambahlah!’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena itu mematikan hati.’” (HR. Ibnu Hibban). الوصية بالعمل بكتاب الله عز وجل: عن طلحة بن مصرف قال: سألت عبدالله بن أبي أوفى رضي الله عنهما: هل كان النبي صلى الله عليه وسلم أوصى؟ فقال: لا. فقلت: كيف كُتِبَ على الناس الوصية أو أمروا بالوصية؟ قال: أوصى بكتاب الله. [متفق عليه] قال الإمام النووي رحمه الله: وقوله (أوصى بكتاب الله) أي بالعمل بما فيه. Wasiat untuk mengamalkan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla Diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Apakah dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ Akupun bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana orang-orang dituliskan wasiat atau diperintahkan berwasiat?’ Ia menjawab, ‘Beliau berwasiat tentang Kitabullah.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan berwasit tentang Kitabullah yakni mengamalkan apa yang ada di dalamnya.” الوصية بالصلاة لوقتها: عن أبي ذرٍ رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاثة: (.. وصل الصلاة لوقتها) [أخرجه أحمد] Wasiat untuk mendirikan salat pada waktunya Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara, (dan di antaranya) ‘Dirikanlah salat pada waktunya’.” (HR. Ahmad). الوصية بتقوى الله والسمع والطاعة لولي الأمر: عن العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون، ووجلت منها القلوب، فقال رجل: إن هذه موعظة مودع فبماذا تعهد إلينا يا رسول الله؟ قال: (أُوصيكم بتقوى الله، والسمع والطاعة وإن عبداً حبشي، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كبيراً، وإياكم ومحدثات الأمور، فإنها ضلالة، فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين، عضّوا عليها بالنواجذ) [أخرجه أبو داود والترمذي] والوصية بالتقوى، أوصى بها رسول الله عليه الصلاة والسلام رجلاً أراد السفر، فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال: يا رسول الله إني أريدُ أن أسافر فأوصني قال: (عليك بتقوى الله والتكبير على كل شرف) [أخرجه الترمذي] كما أوصى بها أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني، قال: (أوصيك بتقوى الله فإنه رأس الأمر كله) [أخرجه ابن حبان] والوصية بالسمع والطاعة لولي الأمر، أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أبا ذرٍ رضي الله عنه، فعنه أنه انتهى إلى الربذة، وقد أُقيمت الصلاة، فإذا عبد يؤمهم، فقيل: هذا أبو ذر، فذهب يتأخر، فقال أبو ذرِّ: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم أن أسمع وأطيع، وإن كان عبداً حبشياً مُجدع الأطراف. [أخرجه ابن ماجه] قال الإمام ابن رجب رحمه الله: السمع والطاعة لولاة أمور المسلمين فيها سعادة الدنيا وبها تنتظم مصالح العباد في معاشهم وبها يستعينون على إظهار دينهم وطاعة ربهم” Wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan menaati pemimpin Diriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati kami setelah Salat Subuh dengan nasihat mendalam yang membuat air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu ada seorang sahabat yang berkata, ‘Ini seperti nasihat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan menaati pemimpin meskipun ia adalah budak dari Habasyah, karena kelak orang yang hidup dari kalian akan melihat perselisihan yang besar. Jauhilah perkara-perkara bid’ah, karena ia merupakan kesesatan. Barang siapa dari kalian yang mendapati masa itu, maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah itu dengan gigi geraham kalian.’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Wasiat untuk bertakwa juga diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang hendak bersafar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai Rasulullah! Aku hendak bersafar, maka berwasiatlah kepadaku!” Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bertakbir di setiap tanjakan.” (HR. At-Tirmidzi). Beliau juga mewasiatkan takwa kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku!” Rasulullah bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa, karena ia adalah inti dari segala urusan.” (HR. Ibnu Hibban). Adapun wasiat untuk taat kepada pemimpin, disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan darinya bahwa ia pernah sampai di daerah Rabadzah, dan iqamah salat sudah dikumandangkan. Ternyata yang menjadi imam adalah seorang budak. Lalu ada orang yang berseru, “Ini ada Abu Dzar!” Kemudian imam itu mundur. Abu Dzar lalu berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berwasiat kepadaku untuk mendengar dan taat, meskipun kepada budak Habasyah yang tangan dan kakinya putus.” (HR. Ibnu Majah).  Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Patuh kepada pemimpin kaum Muslimin mengandung kebahagiaan dunia, karena dengan kepatuhan itu, urusan hidup banyak orang akan teratur dan itu dapat memudahkan mereka dalam menguatkan agama dan menaati Tuhan mereka.” الوصية بالوتر وصوم ثلاثة أيام وركعتي الضحى: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث لا أدعهن حتى أموت: صوم ثلاثة أيامٍ من كل شهر، وصلاة الضحى، ونومٍ على وتر [متفق عليه] وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر، وصلاة الضحى، وبأن لا أنام حتى أوتر [أخرجه مسلم] وعن أبي ذر رضي الله عنه قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم، بثلاث، لا أدعهن إن شاء الله تعالى أبداً، أوصاني بصلاة الضحى، وبالوتر قبل النوم، وبصيام ثلاثة أيام من كل شهر، [أخرجه النسائي] ووصية عليه الصلاة والسلام لثلاثة من صحابته رضي الله عنهم بهذه الأمور، تؤكد أهميتها، فينبغي الحرص عليها. Wasiat untuk mendirikan Salat Witir, berpuasa tiga hari setiap bulan, dan Salat Dhuha dua rakaat Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati, puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidur setelah Salat Witir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selagi masih hidup: puasa tiga hari setiap bulan, Salat Dhuha, dan tidak tidur sebelum mendirikan Salat Witir.” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada tiga perkara yang Insyaallah tidak akan aku tinggalkan selamanya: beliau berwasiat kepadaku untuk mendirikan Salat Dhuha, Salat Witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari setiap bulan.” (HR. An-Nasa’i).  Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada tiga sahabat beliau dengan tiga perkara ini semakin menegaskan pentingnya perkara-perkara tersebut, sehingga kita harus memberi perhatian besar padanya. الوصية بصحابته رضوان الله عليهم والذين يلونهم ثم الذين يلونهم: خطب عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال: أيها الناس إني قُمتُ فيكم كمقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فينا فقال: (أُوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم) [أخرجه الترمذي] لقد حفظ أهل السنة والجماعة، وصية النبي عليه الصلاة والسلام في أصحابه رضي الله عنهم، فهم يحبونهم، ويترضون عنهم، ويتبعون منهجهم. Wasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat beliau, lalu generasi setelah mereka, dan generasi setelahnya lagi Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah, “Wahai manusia sekalian! Aku berdiri di hadapan kalian, seperti berdirinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadapan kita dulu, lalu beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian para sahabatku, lalu orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelahnya lagi.’” (HR. At-Tirmidzi). Wasiat ini benar-benar dijalankan oleh Ahlusunah waljamaah, yakni wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap para sahabat beliau. Para Ahlusunah waljamaah mencintai mereka, mendoakan keridaan bagi mereka, dan mengikuti jalan hidup mereka. الوصية بقول: اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك، دبر كل صلاة: عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنَّ رسول الله أخذ بيده، وقال: (يا معاذ والله إني لأُحبك، أوصيك يا معاذ أن لا تدعن في دُبُر كل صلاةٍ تقول: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك) [أخرجه أبو داود] قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ويُستحبُّ للمُصلى أن يدعو قبل السلام بما أوصى به النبي صلى الله عليه وسلم مُعاذاً، أن يقول دُبُر كل صلاة: (اللهم اعني على ذكرك، وشُكرك، وحُسن عبادتك) Wasiat untuk mengucapkan di akhir shalat doa: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memegang tangannya lalu bersabda, “Wahai Muadz! Demi Allah aku mencintaimu. Wahai Muadz! Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa di akhir setiap salat: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, berilah pertolongan bagiku untuk berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada Engkau).” (HR. Abu Dawud). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dianjurkan bagi orang yang salat untuk berdoa sebelum salam dengan doa yang diwasiatkan Nabi kepada Muadz, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika.” الوصية بالجار: عن أبي إمامة رضي الله عنه أن النبي علية الصلاة والسلام قال: (أوصيكم بالجار) [أخرجه أحمد] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله: ويحصل امتثال الوصية به، بإيصال ضروب الإحسان إليه بحسب الطاقة كالهدية والسلام وطلاقة الوجه عند لقائه وتفقد حاله ومعاونته فيما يحتاج إليه…وكف أسباب الأذى عنه، على اختلاف أنواعه حسية كانت أو معنوية. Wasiat untuk bersikap baik kepada tetangga Diriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian (untuk bersikap baik) terhadap tetangga.” (HR. Ahmad). Al-Hafizh Ibnu HajarRahimahullah berkata, “Penerapan wasiat ini dapat diwujudkan dengan memberi berbagai kebaikan kepada tetangga sesuai dengan kemampuan, seperti memberi hadiah, mengucap salam, menampakkan wajah berseri ketika berjumpa, menanyakan kabar, memberi bantuan yang dibutuhkan, dan tidak menimbulkan gangguan baginya dalam berbagai bentuknya baik yang lahir maupun batin. الوصية بالنساء: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (استوصوا بالنساء خيراً) [متفق عليه] قال الحافظ ابن حجر رحمه الله قوله (بالنساء خيراً) كأن فيه رمزاً إلى التقويم برفق، بحيث لا يبالغ فيه فيكسر، ولا يتركه فيستمر على عوجه…وفي الحديث الندب إلى المدارة لاستمالة النفوس وتألف القلوب، وفيه سياسة النساء بأخذ العفو منهن، والصبر على عوجهن، قال العلامة ابن باز رحمه الله: هذا أمر للأزواج والآباء والإخوة وغيرهم أن يستوصوا بالنساء خيراً وأن يحسنوا إليهن وأن لا يظلموهن وأن يعطوهن حقوقهن” Wasiat untuk bersikap baik kepada wanita Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bersikap baik kepada kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sabda beliau: ‘Bersikap baiklah kepada kaum wanita’ memberi isyarat untuk mendidik wanita dengan lembut, dengan cara yang tidak keras yang dapat mematahkannya dan tidak membiarkannya yang membuatnya tetap bengkok.” Hadis tersebut mengandung anjuran untuk bersikap bijak dalam memberi pengaruh bagi jiwa dan menyelaraskan hati. Juga mengandung anjuran bersiasat dalam memperlakukan wanita, dengan menerima permintaan maaf mereka dan bersabar atas kekeliruan mereka. Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata, “Perintah ini ditujukan kepada suami, ayah, saudara, dan lainnya agar bersikap baik kepada wanita, tidak menzalimi mereka, dan menunaikan hak-hak mereka.” الوصية بعدم اللعن والسب: عن جرموز الهجيمي رضي الله عنه قال: قلتُ: يا رسول الله أوصني. قال: (أُوصيك أن لا تكون لعاناً) [أخرجه أحمد] وقد أوصى النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً أسلم بعدم السب، فعن أبي تميمة عن رجل من قومه، قال: شهدت رسول الله علية الصلاة والسلام أتاه رجل… فأسلم، ثم قال: أوصني يا رسول الله، فقال له: (لا تسبَّنَّ شيئاً) قال: فما سببتُ شيئاً: بعيراً ولا شاةً، منذ أوصاني رسول الله علية الصلاة والسلام [أخرجه أحمد] Wasiat untuk tidak melaknat dan mengucap sumpah serapah Diriwayatkan dari Jurmuz Al-Hujaimi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku!’ Beliau bersabda, ‘Aku wasiatkan kepadamu untuk tidak menjadi orang yang banyak melaknat.’” (HR. Ahmad). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah berwasiat kepada orang yang baru masuk Islam untuk tidak mencaci maki. Diriwayatkan dari Abu Tamimah dari seorang lelaki dari kaumnya yang berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki kemudian ia masuk Islam. Kemudian ia berkata, ‘Wasiatkanlah kepadaku, wahai Rasulullah!’ Beliau lalu bersabda, ‘Janganlah kamu mencaci apapun.’ Ia menceritakan, ‘Maka aku tidak pernah mencaci apapun, baik terhadap itu unta atau kambing, sejak Rasulullah mewasiatkan itu kepadaku.’” (HR. Ahmad). الوصية بعدم الغضب: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم أوصني، قال: (لا تغضب) فردد مراراً (لا تغضب) [أخرجه البخاري] قال الحافظ ابن رجب رحمه الله: هذا الرجل طلب من النبي صلى الله عليه وسلم أن يوصيه وصيةً جامعةً لخصال الخير، ليحفظها عنه، خشية أن لا يحفظها لكثرتها، فوصاه النبي صلى الله عليه وسلم: أن لا يغضب، ثم ردَّد هذه المسألة عليه مراراً، والنبي صلى الله عليه وسلم يردد عليه هذا الجواب، فهذا يدل على أن الغضب جماعُ الشَّرِّ، وأن التحرُّز منه جماع الخير…وقوله صلى الله عليه وسلم: (لا تغضب) يحتمل أمرين: أحدهما: أن يكون مراده الأمر بالأسباب التي توجب حسن الخلق فإن النفس إذا تخلقت بهذه الأخلاق وصارت لها عادة أوجب لها ذلك دفع الغضب عند حصول أسبابه. والثاني: أن يكون المراد لا تعمل بمقتضي الغضب إذا حصل لك، بل جاهد نفسك على ترك تنفيذه والعمل بما يأمر به، فإذا لم يمتثل الإنسان ما يأمرُهُ به غضبُهُ، وجاهد نفسه على ذلك، اندفع عنه شر الغضب، وربما سكن عنه غضبُهُ، وذهب عاجلاً، فكأنه – حينئذ – لم يغضب. اللهم وفقنا للعمل بوصايا رسولك عليه الصلاة والسلام. Wasiat untuk tidak marah Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki pernah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wasiatkanlah kepadaku!” Beliau lalu bersabda, “Jangan marah!” Beliau mengulanginya berkali-kali. (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Lelaki itu meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berwasiat kepadanya dengan wasiat yang menghimpun berbagai bentuk kebaikan, agar ia menghafal wasiat itu dan khawatir ia tidak dapat melaksanakannya karena terlalu banyak, maka Nabi berwasiat dengan ucapan, ‘Jangan marah!’ Namun, orang itu terus mengulangi permintaannya berkali-kali, tapi Nabi juga menjawabnya berkali-kali dengan ucapan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa marah merupakan penghimpun keburukan, dan terbebas darinya merupakan penghimpun kebaikan. Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Jangan marah!’ mengandung dua kemungkinan makna: Pertama: Maksudnya adalah perintah melakukan hal-hal yang mengundang akhlak yang baik, karena jika seseorang punya akhlak yang baik dan sudah menjadi tabiatnya, itu akan mendorongnya untuk menghindari kemarahan saat terjadi hal-hal yang menyulutnya. Kedua: Maksudnya adalah tidak melampiaskan kemarahan saat kemarahan itu datang, tapi melawan hawa nafsu agar tidak melampiaskannya. Apabila seseorang tidak melampiaskan kemarahannya dan melawan hawa nafsunya dalam hal ini, maka keburukan amarah akan jauh darinya, dan bahkan kemarahan itu akan segera reda dan hilang, seakan-akan ia tidak marah sama sekali. Ya Allah! Karuniakanlah kepada kami taufik untuk mengamalkan wasiat-wasiat Rasul-Mu Shallallahu Alaihi wa Sallamm. Sumber: https://www.alukah.net/من وصايا الرسول عليه الصلاة والسلام Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 245 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Banyak Orang Rugi Karena Lupa Sunnah Penting Ini dalam Urusan Harta! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…Lalu apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu menghadirkan saksi bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 6) Tuhan kita memerintahkan menghadirkan saksi dalam banyak urusan harta. Telah kita bahas dalam ayat tentang utang di surah Al-Baqarah. Dalam urusan utang, ia sudah ditegaskan dengan pencatatan. Kendati demikian Allah tetap memerintahkan, “…Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu…” (QS. Al-Baqarah: 282). Sedangkan dalam akad jual beli, Allah berfirman, “…Ambillah saksi apabila kamu berjual beli…” (QS. Al-Baqarah: 282). Tidak diragukan bahwa menghadirkan saksi merupakan salah satu sarana pengesahan, penegasan, dan pembuktian keabsahan suatu akad. Namun banyak orang yang meremehkan hal ini dan enggan menghadirkan saksi, sehingga terjerumus dalam berbagai pelanggaran, serta terlibat dalam perkara yang tiada habisnya dan perselisihan di pengadilan yang tak kunjung selesai. Sekiranya mereka menerapkan syariat Allah dengan menghadirkan saksi, semua itu tidak akan terjadi.Karena manusia punya kemungkinan besar untuk lupa. Contoh mudahnya, terkadang seseorang berprasangka baik kepada pihak lain dan berkata, “Untuk apa saksi? Aku percaya kepadanya.” Kamu mungkin percaya pada sifat amanahnya, tapi tetapi kamu tidak bisa mengatakan, “Aku percaya pada ingatannya.” Sebab bisa saja dia lupa, atau kamu yang lupa. Betapa banyak orang yang berutang kepada orang lain, lalu uangnya telah diberikan, tapi ia datang lagi dan menuntut untuk diberi lagi?! Ini masalah! Jadi harus ada pencatatan. Meskipun sekarang transfer uang telah sedikit memudahkan urusan, tapi pencatatan tetap sangat ditekankan untuk memastikan hak-hak tetap terjaga, dan untuk mencegah perselisihan di antara manusia. ===== فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ يَأْمُرُ رَبُّنَا بِالْإِشْهَادِ يَا إِخْوَانِي فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ فِي أُمُورِ الْمَالِ وَقَدْ مَرَّ فِي آيَةِ الدَّيْنِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَفِي كِتَابَةِ الدَّيْنِ يُوَثَّقُ الدَّيْنُ بِالْكِتَابَةِ وَمَعَ ذَلِكَ قَالَ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ وَفِي الْبَيْعِ قَالَ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَالْإِشْهَادُ لَا شَكَّ مِنْ وَسَائِلِ التَّوْثِيق لِلْعُقُودِ وَالتَّثَبُّتِ وَالتَّأَكُّدِ مِنْهَا وَيَتَسَاهَلُ النَّاسُ فَيَتْرُكُونَ الْإِشْهَادَ فَيَقَعُوْنَ فِي مَحَاذِيْرَ وَفِي أُمُورٍ لَا تَنْتَهِي وَقَضَايَا فِي الْمَحَاكِمِ لَا تَنْقَضِي وَلَوْ طَبَّقُوا شَرْعَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِشْهَادِ مَا حَصَلَ هَذَا الْأَمْرُ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ مُعَرَّضٌ لِلنِّسْيَانِ يَعْنِي أَبْسَطُ الْأُمُورِ أَحْيَانًا يُحْسِنُ الظَّنَّ الْإِنْسَانُ بِغَيْرِهِ يَقُولُ لِيشْ الْإِشْهَادُ؟ خَلَاصٌ أَنَا وَاثِقٌ بِهِ أَنْتَ وَاثِقٌ بِذِمَّتِهِ لَكِنْ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَقُولَ أَنَا وَاثِقٌ بِذَاكِرَتِهِ وَأَنَّهُ لَنْ يَنْسَى أَوْ أَنَّك لَنْ تَنْسَى وَكَمْ مِنْ إِنْسَانٍ اسْتَدَانَ مِنْ إِنْسَانٍ وَأَعْطَاهُ ثُمَّ جَاءَ يَقُولُ لَهُ أَعْطِنِي مَرَّةً ثَانِيَةً مُشْكِلَةٌ وَلَكِنَّ الْكِتَابَةَ مَعَ أَنَّ التَّحْوِيْلَاتِ الْآنَ سَهَّلَتْ الْأَمْرَ بَعْضَ الشَّيْءِ لَكِنْ الْكِتَابَةُ يَا إِخْوَانِي مَطْلُوبَةٌ حَقِيقَةً لِتَوْثِيقِ الْحُقُوقِ وَلِدَرْءِ الْإِشْكَالَاتِ الَّتِي تَكُونُ بَيْنَ النَّاسِ

Banyak Orang Rugi Karena Lupa Sunnah Penting Ini dalam Urusan Harta! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…Lalu apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu menghadirkan saksi bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 6) Tuhan kita memerintahkan menghadirkan saksi dalam banyak urusan harta. Telah kita bahas dalam ayat tentang utang di surah Al-Baqarah. Dalam urusan utang, ia sudah ditegaskan dengan pencatatan. Kendati demikian Allah tetap memerintahkan, “…Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu…” (QS. Al-Baqarah: 282). Sedangkan dalam akad jual beli, Allah berfirman, “…Ambillah saksi apabila kamu berjual beli…” (QS. Al-Baqarah: 282). Tidak diragukan bahwa menghadirkan saksi merupakan salah satu sarana pengesahan, penegasan, dan pembuktian keabsahan suatu akad. Namun banyak orang yang meremehkan hal ini dan enggan menghadirkan saksi, sehingga terjerumus dalam berbagai pelanggaran, serta terlibat dalam perkara yang tiada habisnya dan perselisihan di pengadilan yang tak kunjung selesai. Sekiranya mereka menerapkan syariat Allah dengan menghadirkan saksi, semua itu tidak akan terjadi.Karena manusia punya kemungkinan besar untuk lupa. Contoh mudahnya, terkadang seseorang berprasangka baik kepada pihak lain dan berkata, “Untuk apa saksi? Aku percaya kepadanya.” Kamu mungkin percaya pada sifat amanahnya, tapi tetapi kamu tidak bisa mengatakan, “Aku percaya pada ingatannya.” Sebab bisa saja dia lupa, atau kamu yang lupa. Betapa banyak orang yang berutang kepada orang lain, lalu uangnya telah diberikan, tapi ia datang lagi dan menuntut untuk diberi lagi?! Ini masalah! Jadi harus ada pencatatan. Meskipun sekarang transfer uang telah sedikit memudahkan urusan, tapi pencatatan tetap sangat ditekankan untuk memastikan hak-hak tetap terjaga, dan untuk mencegah perselisihan di antara manusia. ===== فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ يَأْمُرُ رَبُّنَا بِالْإِشْهَادِ يَا إِخْوَانِي فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ فِي أُمُورِ الْمَالِ وَقَدْ مَرَّ فِي آيَةِ الدَّيْنِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَفِي كِتَابَةِ الدَّيْنِ يُوَثَّقُ الدَّيْنُ بِالْكِتَابَةِ وَمَعَ ذَلِكَ قَالَ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ وَفِي الْبَيْعِ قَالَ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَالْإِشْهَادُ لَا شَكَّ مِنْ وَسَائِلِ التَّوْثِيق لِلْعُقُودِ وَالتَّثَبُّتِ وَالتَّأَكُّدِ مِنْهَا وَيَتَسَاهَلُ النَّاسُ فَيَتْرُكُونَ الْإِشْهَادَ فَيَقَعُوْنَ فِي مَحَاذِيْرَ وَفِي أُمُورٍ لَا تَنْتَهِي وَقَضَايَا فِي الْمَحَاكِمِ لَا تَنْقَضِي وَلَوْ طَبَّقُوا شَرْعَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِشْهَادِ مَا حَصَلَ هَذَا الْأَمْرُ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ مُعَرَّضٌ لِلنِّسْيَانِ يَعْنِي أَبْسَطُ الْأُمُورِ أَحْيَانًا يُحْسِنُ الظَّنَّ الْإِنْسَانُ بِغَيْرِهِ يَقُولُ لِيشْ الْإِشْهَادُ؟ خَلَاصٌ أَنَا وَاثِقٌ بِهِ أَنْتَ وَاثِقٌ بِذِمَّتِهِ لَكِنْ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَقُولَ أَنَا وَاثِقٌ بِذَاكِرَتِهِ وَأَنَّهُ لَنْ يَنْسَى أَوْ أَنَّك لَنْ تَنْسَى وَكَمْ مِنْ إِنْسَانٍ اسْتَدَانَ مِنْ إِنْسَانٍ وَأَعْطَاهُ ثُمَّ جَاءَ يَقُولُ لَهُ أَعْطِنِي مَرَّةً ثَانِيَةً مُشْكِلَةٌ وَلَكِنَّ الْكِتَابَةَ مَعَ أَنَّ التَّحْوِيْلَاتِ الْآنَ سَهَّلَتْ الْأَمْرَ بَعْضَ الشَّيْءِ لَكِنْ الْكِتَابَةُ يَا إِخْوَانِي مَطْلُوبَةٌ حَقِيقَةً لِتَوْثِيقِ الْحُقُوقِ وَلِدَرْءِ الْإِشْكَالَاتِ الَّتِي تَكُونُ بَيْنَ النَّاسِ
“…Lalu apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu menghadirkan saksi bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 6) Tuhan kita memerintahkan menghadirkan saksi dalam banyak urusan harta. Telah kita bahas dalam ayat tentang utang di surah Al-Baqarah. Dalam urusan utang, ia sudah ditegaskan dengan pencatatan. Kendati demikian Allah tetap memerintahkan, “…Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu…” (QS. Al-Baqarah: 282). Sedangkan dalam akad jual beli, Allah berfirman, “…Ambillah saksi apabila kamu berjual beli…” (QS. Al-Baqarah: 282). Tidak diragukan bahwa menghadirkan saksi merupakan salah satu sarana pengesahan, penegasan, dan pembuktian keabsahan suatu akad. Namun banyak orang yang meremehkan hal ini dan enggan menghadirkan saksi, sehingga terjerumus dalam berbagai pelanggaran, serta terlibat dalam perkara yang tiada habisnya dan perselisihan di pengadilan yang tak kunjung selesai. Sekiranya mereka menerapkan syariat Allah dengan menghadirkan saksi, semua itu tidak akan terjadi.Karena manusia punya kemungkinan besar untuk lupa. Contoh mudahnya, terkadang seseorang berprasangka baik kepada pihak lain dan berkata, “Untuk apa saksi? Aku percaya kepadanya.” Kamu mungkin percaya pada sifat amanahnya, tapi tetapi kamu tidak bisa mengatakan, “Aku percaya pada ingatannya.” Sebab bisa saja dia lupa, atau kamu yang lupa. Betapa banyak orang yang berutang kepada orang lain, lalu uangnya telah diberikan, tapi ia datang lagi dan menuntut untuk diberi lagi?! Ini masalah! Jadi harus ada pencatatan. Meskipun sekarang transfer uang telah sedikit memudahkan urusan, tapi pencatatan tetap sangat ditekankan untuk memastikan hak-hak tetap terjaga, dan untuk mencegah perselisihan di antara manusia. ===== فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ يَأْمُرُ رَبُّنَا بِالْإِشْهَادِ يَا إِخْوَانِي فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ فِي أُمُورِ الْمَالِ وَقَدْ مَرَّ فِي آيَةِ الدَّيْنِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَفِي كِتَابَةِ الدَّيْنِ يُوَثَّقُ الدَّيْنُ بِالْكِتَابَةِ وَمَعَ ذَلِكَ قَالَ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ وَفِي الْبَيْعِ قَالَ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَالْإِشْهَادُ لَا شَكَّ مِنْ وَسَائِلِ التَّوْثِيق لِلْعُقُودِ وَالتَّثَبُّتِ وَالتَّأَكُّدِ مِنْهَا وَيَتَسَاهَلُ النَّاسُ فَيَتْرُكُونَ الْإِشْهَادَ فَيَقَعُوْنَ فِي مَحَاذِيْرَ وَفِي أُمُورٍ لَا تَنْتَهِي وَقَضَايَا فِي الْمَحَاكِمِ لَا تَنْقَضِي وَلَوْ طَبَّقُوا شَرْعَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِشْهَادِ مَا حَصَلَ هَذَا الْأَمْرُ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ مُعَرَّضٌ لِلنِّسْيَانِ يَعْنِي أَبْسَطُ الْأُمُورِ أَحْيَانًا يُحْسِنُ الظَّنَّ الْإِنْسَانُ بِغَيْرِهِ يَقُولُ لِيشْ الْإِشْهَادُ؟ خَلَاصٌ أَنَا وَاثِقٌ بِهِ أَنْتَ وَاثِقٌ بِذِمَّتِهِ لَكِنْ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَقُولَ أَنَا وَاثِقٌ بِذَاكِرَتِهِ وَأَنَّهُ لَنْ يَنْسَى أَوْ أَنَّك لَنْ تَنْسَى وَكَمْ مِنْ إِنْسَانٍ اسْتَدَانَ مِنْ إِنْسَانٍ وَأَعْطَاهُ ثُمَّ جَاءَ يَقُولُ لَهُ أَعْطِنِي مَرَّةً ثَانِيَةً مُشْكِلَةٌ وَلَكِنَّ الْكِتَابَةَ مَعَ أَنَّ التَّحْوِيْلَاتِ الْآنَ سَهَّلَتْ الْأَمْرَ بَعْضَ الشَّيْءِ لَكِنْ الْكِتَابَةُ يَا إِخْوَانِي مَطْلُوبَةٌ حَقِيقَةً لِتَوْثِيقِ الْحُقُوقِ وَلِدَرْءِ الْإِشْكَالَاتِ الَّتِي تَكُونُ بَيْنَ النَّاسِ


“…Lalu apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu menghadirkan saksi bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 6) Tuhan kita memerintahkan menghadirkan saksi dalam banyak urusan harta. Telah kita bahas dalam ayat tentang utang di surah Al-Baqarah. Dalam urusan utang, ia sudah ditegaskan dengan pencatatan. Kendati demikian Allah tetap memerintahkan, “…Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu…” (QS. Al-Baqarah: 282). Sedangkan dalam akad jual beli, Allah berfirman, “…Ambillah saksi apabila kamu berjual beli…” (QS. Al-Baqarah: 282). Tidak diragukan bahwa menghadirkan saksi merupakan salah satu sarana pengesahan, penegasan, dan pembuktian keabsahan suatu akad. Namun banyak orang yang meremehkan hal ini dan enggan menghadirkan saksi, sehingga terjerumus dalam berbagai pelanggaran, serta terlibat dalam perkara yang tiada habisnya dan perselisihan di pengadilan yang tak kunjung selesai. Sekiranya mereka menerapkan syariat Allah dengan menghadirkan saksi, semua itu tidak akan terjadi.Karena manusia punya kemungkinan besar untuk lupa. Contoh mudahnya, terkadang seseorang berprasangka baik kepada pihak lain dan berkata, “Untuk apa saksi? Aku percaya kepadanya.” Kamu mungkin percaya pada sifat amanahnya, tapi tetapi kamu tidak bisa mengatakan, “Aku percaya pada ingatannya.” Sebab bisa saja dia lupa, atau kamu yang lupa. Betapa banyak orang yang berutang kepada orang lain, lalu uangnya telah diberikan, tapi ia datang lagi dan menuntut untuk diberi lagi?! Ini masalah! Jadi harus ada pencatatan. Meskipun sekarang transfer uang telah sedikit memudahkan urusan, tapi pencatatan tetap sangat ditekankan untuk memastikan hak-hak tetap terjaga, dan untuk mencegah perselisihan di antara manusia. ===== فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ يَأْمُرُ رَبُّنَا بِالْإِشْهَادِ يَا إِخْوَانِي فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ فِي أُمُورِ الْمَالِ وَقَدْ مَرَّ فِي آيَةِ الدَّيْنِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَفِي كِتَابَةِ الدَّيْنِ يُوَثَّقُ الدَّيْنُ بِالْكِتَابَةِ وَمَعَ ذَلِكَ قَالَ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ وَفِي الْبَيْعِ قَالَ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَالْإِشْهَادُ لَا شَكَّ مِنْ وَسَائِلِ التَّوْثِيق لِلْعُقُودِ وَالتَّثَبُّتِ وَالتَّأَكُّدِ مِنْهَا وَيَتَسَاهَلُ النَّاسُ فَيَتْرُكُونَ الْإِشْهَادَ فَيَقَعُوْنَ فِي مَحَاذِيْرَ وَفِي أُمُورٍ لَا تَنْتَهِي وَقَضَايَا فِي الْمَحَاكِمِ لَا تَنْقَضِي وَلَوْ طَبَّقُوا شَرْعَ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِشْهَادِ مَا حَصَلَ هَذَا الْأَمْرُ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ مُعَرَّضٌ لِلنِّسْيَانِ يَعْنِي أَبْسَطُ الْأُمُورِ أَحْيَانًا يُحْسِنُ الظَّنَّ الْإِنْسَانُ بِغَيْرِهِ يَقُولُ لِيشْ الْإِشْهَادُ؟ خَلَاصٌ أَنَا وَاثِقٌ بِهِ أَنْتَ وَاثِقٌ بِذِمَّتِهِ لَكِنْ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَقُولَ أَنَا وَاثِقٌ بِذَاكِرَتِهِ وَأَنَّهُ لَنْ يَنْسَى أَوْ أَنَّك لَنْ تَنْسَى وَكَمْ مِنْ إِنْسَانٍ اسْتَدَانَ مِنْ إِنْسَانٍ وَأَعْطَاهُ ثُمَّ جَاءَ يَقُولُ لَهُ أَعْطِنِي مَرَّةً ثَانِيَةً مُشْكِلَةٌ وَلَكِنَّ الْكِتَابَةَ مَعَ أَنَّ التَّحْوِيْلَاتِ الْآنَ سَهَّلَتْ الْأَمْرَ بَعْضَ الشَّيْءِ لَكِنْ الْكِتَابَةُ يَا إِخْوَانِي مَطْلُوبَةٌ حَقِيقَةً لِتَوْثِيقِ الْحُقُوقِ وَلِدَرْءِ الْإِشْكَالَاتِ الَّتِي تَكُونُ بَيْنَ النَّاسِ

Beriman kepada Takdir: Rahasia Kebahagiaan

الإيمان بالقدر من أسرار السعادة الإيمان بالقدر هو أحد أركان الإيمان الستة التي لا يصح إيمان العبد إلا بها، فقد ورد في حديث جبريل -عليه السلام- المشهور عندما سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان، فقال: “أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره”. (رواه مسلم). والإيمان بالقدر هو الاعتقاد الجازم بأن كل ما يحدث في الكون هو بتقدير الله وعلمه السابق، وأن كل شيء يجري بمشيئته وحكمته وعدله، سواء كان مما يحبه العبد ويرضاه، أو مما يكرهه ويجده صعبًا على نفسه. Iman kepada takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman yang mana keimanan seorang hamba tidak akan sah kecuali dengannya. Disebutkan dalam hadis masyhur tentang Jibril Alaihissalam yang datang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkaitan dengan keimanan, lalu beliau menjawab, “yaitu dengan kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan beriman kepada takdir-Nya yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Beriman kepada takdir yakni meyakini sepenuhnya bahwa segala hal yang terjadi di alam semesta ini berdasarkan takdir Allah dan ilmu-Nya mengenai kejadian itu yang telah ada sebelumnya, dan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak, hikmah, dan ilmu Allah, baik itu hal yang disukai dan diridai oleh seorang hamba atau yang dibenci dan sulit diterima olehnya. أثر الإيمان بالقدر في تحقيق السعادة إن الإيمان بالقدر هو أحد المفاتيح العظيمة للسعادة والرضا، لأن المؤمن عندما يوقن أن الله قد كتب كل شيء بحكمة وعدل، فإنه يتوكل عليه ويسلم أمره له، فيزول عنه الهمّ والقلق. وتنبعث في القلب الطمأنينة والراحة. فالمؤمن بالقدر يعلم أن كل ما يصيبه هو بقدر الله، وأن الله لا يقدر إلا الخير لعباده. يقول الله -تعالى-: {مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} (الحديد: 22). هذه الآية تُطمئن المؤمن بأن كل ما يحدث مكتوب في كتاب عند الله، ولا يقع إلا بعلمه وإرادته، مما يدفعه إلى الرضا بالقضاء، وعدم الحزن المفرط على ما فاته أو الخوف مما سيأتي. Pengaruh iman kepada takdir terhadap realisasi kebahagiaan Iman kepada takdir merupakan salah satu kunci agung untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup, karena seorang mukmin ketika meyakini bahwa Allah telah menulis segala hal dengan hikmah dan adil, dia akan bertawakal dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, sehingga kegalauan dan kecemasannya akan lenyap, lalu timbul dalam hatinya ketenangan dan ketenteraman. Orang yang beriman kepada takdir akan mengetahui bahwa setiap hal yang menimpanya merupakan takdir Allah, dan Allah tidak menakdirkan bagi hamba-hamba-Nya kecuali kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfuz sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22). Ayat ini akan memberi ketenangan bagi orang yang beriman bahwa segala hal yang terjadi telah tertulis dalam Kitab yang ada di sisi Allah, dan tidak terjadi melainkan dengan ilmu dan kehendak-Nya, sehingga ini mendorongnya untuk merasa rida terhadap ketetapan yang terjadi dan tidak terlalu bersedih atas apa yang luput darinya atau khawatir terhadap apa yang akan dia hadapi. الإيمان بالقدر يزيل القلق من المستقبل من أعظم مصادر الشقاء لدى الإنسان خوفه من المستقبل، وتفكيره الدائم في المجهول. لكن الإيمان بالقدر يجعل المؤمن يعتمد على الله، ويعلم أن ما كُتب له سيصيبه، وأن الله يدبر الأمور بحكمته. يقول النبي صلى الله عليه وسلم: “احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن (لو) تفتح عمل الشيطان”. (رواه مسلم). هذا الحديث يعلمنا أن المؤمن يأخذ بالأسباب المشروعة، ولكنه لا يأسف على ما فات أو يخاف مما لم يحدث بعد، لأن كل شيء تحت تقدير الله وحكمته. Iman kepada takdir akan melenyapkan kegalauan terhadap masa depan Di antara sumber kesengsaraan manusia yang terbesar adalah ketakutannya terhadap masa depan dan beban pikirannya yang berkelanjutan tentang hal yang masih belum diketahui. Namun, keimanan kepada takdir akan membuat seorang mukmin bersandar kepada Allah, dia mengetahui bahwa apa yang ditetapkan baginya pasti akan terjadi padanya, dan Allah telah mengatur segala urusan berdasarkan hikmah-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ, وَلَا تَعْجَزْ, وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اَللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ; فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ اَلشَّيْطَانِ “Bersemangatlah dalam meraih hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah! Apabila kamu tertimpa sesuatu musibah, janganlah kamu mengucapkan, ‘Andai kau melakukan ini, pasti yang terjadi akan begini dan begitu!’ Namun katakanlah, ‘Allah telah menakdirkan ini dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai’ dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus berikhtiar melakukan hal-hal yang disyariatkan yang menjadi sebab sesuatu. Namun, dia tidak boleh merasa sedih atas apa yang luput darinya atau merasa takut dari apa yang belum terjadi, karena segala hal berada di bawah takdir Allah dan hikmah-Nya. الإيمان بالقدر يعزز الرضا عند المصائب المصائب جزء من حياة الإنسان، لكن المؤمن يراها بمنظور مختلف عن غيره. فهو يعلم أن البلاء من عند الله، وأنه فرصة للتطهير من الذنوب ورفع الدرجات. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كله له خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرًا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرًا له”. (رواه مسلم). بهذا الفهم العميق، يعيش المؤمن سعيدًا مطمئنًا، لأنه يعلم أن الذي يصيبه هو خير له حتى الألم. قال عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-: “لو كُشف الغطاء ما ازددت يقينًا”، وذلك ليقينه التام أن كل شيء يجري بقدر الله. وقال الحسن البصري -رحمه الله-: “علمت أن رزقي لن يأخذه غيري، فاطمأن قلبي”. هذا القول يدل على أن المؤمن يثق بأن أرزاقه وأقداره بيد الله وحده، فلا يتكالب على الدنيا ولا يقلق بشأن الرزق. وقال ابن القيم -رحمه الله-: “الإيمان بالقدر يُثمر في القلب الرضا بالله ربًّا، ويُطفئ نار التسخّط، ويُزيل غبار الشك والاعتراض”. Iman kepada takdir akan menguatkan keridaan atas musibah Musibah sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, seorang mukmin memandang musibah dengan cara pandang yang berbeda dari orang lain, karena ia mengetahui bahwa musibah berasal dari Allah dan menjadi kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan meningkatkan derajat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim). Dengan pemahaman yang mendalam seperti ini, seorang mukmin dapat hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram, karena ia mengetahui bahwa segala yang menimpanya mengandung kebaikan baginya, meskipun itu berupa kesakitan. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya tabir penutup (yang menutup rahasia takdir) niscaya keyakinanku sudah tidak akan bertambah lagi.” Hal ini karena keyakinannya sudah total bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan takdir Allah. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Saya telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, sehingga hatiku menjadi tenang.” Ucapan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin telah percaya bahwa rezeki dan takdirnya berada di tangan Allah semata, sehingga ia tidak sibuk berebut dunia dan tidak galau dengan urusan rezeki. Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir dapat membuahkan keridaan dalam hati kepada Allah, memadamkan api ketidakpuasan, dan melenyapkan debu-debu keraguan dan keberpalingan.” كيف نغرس الإيمان بالقدر في حياتنا؟ قراءة القرآن وتدبر آياته القرآن الكريم مليء بالآيات التي تؤكد على أن الله هو المدبر والمقدر لكل شيء. مثل قوله -تعالى-: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} (الأحزاب: 38). التعرف على أسماء الله وصفاته معرفة أسماء الله الحسنى وصفاته، مثل: “العليم”، “الحكيم”، “الخبير” و”اللطيف” و”الرحيم”، وبقية الأسماء الحسنى والصفات العلى، تجعل العبد يثق في أقدار الله، ويعلم أنها كلها خير وإن لم يدرك الحكمة منها. الدعاء والاستعانة بالله على المسلم أن يدعو الله دائمًا بأن يرزقه الإيمان بقضائه وقدره، وأن يرضيه به. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “وأسألُكَ الرِّضا بعد القضاءِ” (رواه النسائي). التفكر في حِكَم الله في المصائب حينما تصيب الإنسان مصيبة، عليه أن يتذكر أن فيها حكمة من الله، فقد تكون تكفيرًا للذنوب، أو رفعة في الدرجات، أو وقاية من شر أكبر. Bagaimana cara menanamkan keimanan kepada takdir dalam kehidupan kita? Membaca Al-Qur’an dan menghayati ayat-ayatnya Al-Qur’an Al-Karim penuh dengan ayat-ayat yang menegaskan bahwa Allah Ta’ala merupakan pengatur dan penetap segala hal, seperti firman Allah Ta’ala: وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا “Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab: 38). Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah sepertiAl-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Lathif (Yang Maha Lembut),Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah lainnya. Ini menjadikan seorang hamba percaya terhadap takdir-takdir Allah dan mengetahui bahwa seluruhnya mengandung kebaikan, meskipun ada yang belum diketahui hikmahnya. Berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Seorang Muslim harus selalu berdoa kepada Allah agar Dia mengaruniakan kepadanya keimanan kepada takdir dan ketetapan-Nya, serta membuatnya rida terhadap itu semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam doanya: وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ “dan aku memohon kepada Engkau keridaan atas ketetapan-Mu.” (HR. aAn-Nasa’i). Mencermati hikmah-hikmah Allah dalam musibah yang terjadi Ketika seorang insan tertimpa suatu musibah, hendaklah ia mencermati hikmah Allah yang terkandung di dalamnya, bisa jadi itu berupa pelebur dosa-dosanya, peningkat derajatnya, atau perlindungan baginya dari keburukan yang lebih besar. إن الإيمان بالقدر هو السر الحقيقي للسعادة والطمأنينة في هذه الحياة. فمن علم أن الله هو المدبر الحكيم، وأن كل ما يجري هو وفق علمه وعدله وحكمته، عاش راضيًا مطمئنًا، لا تهزّه المصائب، ولا تُضعفه تقلبات الأيام. وكلما زاد إيماننا بأن الله يدبر شؤون حياتنا بحكمة ولطف، شعرنا بالراحة والأمل مهما كانت التحديات. Keimanan kepada takdir merupakan rahasia sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup ini. Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah merupakan Dzat Yang Maha Mengatur dan Bijaksana, serta segala hal terjadi berdasarkan ilmu, keadilan, dan hikmah-Nya, niscaya ia akan hidup dengan penuh keridaan dan kedamaian, tidak tergoyahkan oleh musibah, tidak terlemahkan oleh gonjang-ganjing perubahan nasib. Semakin besar keimanan kita bahwa Allah yang mengatur segala urusan hidup kita dengan penuh hikmah dan kelembutan, maka kita akan semakin merasakan kedamaian dan harapan, sebesar apapun tantangannya. Sumber: https://www.islamweb.net/الإيمان بالقدر من أسرار السعادة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 266 times, 1 visit(s) today Post Views: 332 QRIS donasi Yufid

Beriman kepada Takdir: Rahasia Kebahagiaan

الإيمان بالقدر من أسرار السعادة الإيمان بالقدر هو أحد أركان الإيمان الستة التي لا يصح إيمان العبد إلا بها، فقد ورد في حديث جبريل -عليه السلام- المشهور عندما سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان، فقال: “أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره”. (رواه مسلم). والإيمان بالقدر هو الاعتقاد الجازم بأن كل ما يحدث في الكون هو بتقدير الله وعلمه السابق، وأن كل شيء يجري بمشيئته وحكمته وعدله، سواء كان مما يحبه العبد ويرضاه، أو مما يكرهه ويجده صعبًا على نفسه. Iman kepada takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman yang mana keimanan seorang hamba tidak akan sah kecuali dengannya. Disebutkan dalam hadis masyhur tentang Jibril Alaihissalam yang datang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkaitan dengan keimanan, lalu beliau menjawab, “yaitu dengan kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan beriman kepada takdir-Nya yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Beriman kepada takdir yakni meyakini sepenuhnya bahwa segala hal yang terjadi di alam semesta ini berdasarkan takdir Allah dan ilmu-Nya mengenai kejadian itu yang telah ada sebelumnya, dan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak, hikmah, dan ilmu Allah, baik itu hal yang disukai dan diridai oleh seorang hamba atau yang dibenci dan sulit diterima olehnya. أثر الإيمان بالقدر في تحقيق السعادة إن الإيمان بالقدر هو أحد المفاتيح العظيمة للسعادة والرضا، لأن المؤمن عندما يوقن أن الله قد كتب كل شيء بحكمة وعدل، فإنه يتوكل عليه ويسلم أمره له، فيزول عنه الهمّ والقلق. وتنبعث في القلب الطمأنينة والراحة. فالمؤمن بالقدر يعلم أن كل ما يصيبه هو بقدر الله، وأن الله لا يقدر إلا الخير لعباده. يقول الله -تعالى-: {مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} (الحديد: 22). هذه الآية تُطمئن المؤمن بأن كل ما يحدث مكتوب في كتاب عند الله، ولا يقع إلا بعلمه وإرادته، مما يدفعه إلى الرضا بالقضاء، وعدم الحزن المفرط على ما فاته أو الخوف مما سيأتي. Pengaruh iman kepada takdir terhadap realisasi kebahagiaan Iman kepada takdir merupakan salah satu kunci agung untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup, karena seorang mukmin ketika meyakini bahwa Allah telah menulis segala hal dengan hikmah dan adil, dia akan bertawakal dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, sehingga kegalauan dan kecemasannya akan lenyap, lalu timbul dalam hatinya ketenangan dan ketenteraman. Orang yang beriman kepada takdir akan mengetahui bahwa setiap hal yang menimpanya merupakan takdir Allah, dan Allah tidak menakdirkan bagi hamba-hamba-Nya kecuali kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfuz sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22). Ayat ini akan memberi ketenangan bagi orang yang beriman bahwa segala hal yang terjadi telah tertulis dalam Kitab yang ada di sisi Allah, dan tidak terjadi melainkan dengan ilmu dan kehendak-Nya, sehingga ini mendorongnya untuk merasa rida terhadap ketetapan yang terjadi dan tidak terlalu bersedih atas apa yang luput darinya atau khawatir terhadap apa yang akan dia hadapi. الإيمان بالقدر يزيل القلق من المستقبل من أعظم مصادر الشقاء لدى الإنسان خوفه من المستقبل، وتفكيره الدائم في المجهول. لكن الإيمان بالقدر يجعل المؤمن يعتمد على الله، ويعلم أن ما كُتب له سيصيبه، وأن الله يدبر الأمور بحكمته. يقول النبي صلى الله عليه وسلم: “احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن (لو) تفتح عمل الشيطان”. (رواه مسلم). هذا الحديث يعلمنا أن المؤمن يأخذ بالأسباب المشروعة، ولكنه لا يأسف على ما فات أو يخاف مما لم يحدث بعد، لأن كل شيء تحت تقدير الله وحكمته. Iman kepada takdir akan melenyapkan kegalauan terhadap masa depan Di antara sumber kesengsaraan manusia yang terbesar adalah ketakutannya terhadap masa depan dan beban pikirannya yang berkelanjutan tentang hal yang masih belum diketahui. Namun, keimanan kepada takdir akan membuat seorang mukmin bersandar kepada Allah, dia mengetahui bahwa apa yang ditetapkan baginya pasti akan terjadi padanya, dan Allah telah mengatur segala urusan berdasarkan hikmah-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ, وَلَا تَعْجَزْ, وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اَللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ; فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ اَلشَّيْطَانِ “Bersemangatlah dalam meraih hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah! Apabila kamu tertimpa sesuatu musibah, janganlah kamu mengucapkan, ‘Andai kau melakukan ini, pasti yang terjadi akan begini dan begitu!’ Namun katakanlah, ‘Allah telah menakdirkan ini dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai’ dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus berikhtiar melakukan hal-hal yang disyariatkan yang menjadi sebab sesuatu. Namun, dia tidak boleh merasa sedih atas apa yang luput darinya atau merasa takut dari apa yang belum terjadi, karena segala hal berada di bawah takdir Allah dan hikmah-Nya. الإيمان بالقدر يعزز الرضا عند المصائب المصائب جزء من حياة الإنسان، لكن المؤمن يراها بمنظور مختلف عن غيره. فهو يعلم أن البلاء من عند الله، وأنه فرصة للتطهير من الذنوب ورفع الدرجات. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كله له خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرًا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرًا له”. (رواه مسلم). بهذا الفهم العميق، يعيش المؤمن سعيدًا مطمئنًا، لأنه يعلم أن الذي يصيبه هو خير له حتى الألم. قال عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-: “لو كُشف الغطاء ما ازددت يقينًا”، وذلك ليقينه التام أن كل شيء يجري بقدر الله. وقال الحسن البصري -رحمه الله-: “علمت أن رزقي لن يأخذه غيري، فاطمأن قلبي”. هذا القول يدل على أن المؤمن يثق بأن أرزاقه وأقداره بيد الله وحده، فلا يتكالب على الدنيا ولا يقلق بشأن الرزق. وقال ابن القيم -رحمه الله-: “الإيمان بالقدر يُثمر في القلب الرضا بالله ربًّا، ويُطفئ نار التسخّط، ويُزيل غبار الشك والاعتراض”. Iman kepada takdir akan menguatkan keridaan atas musibah Musibah sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, seorang mukmin memandang musibah dengan cara pandang yang berbeda dari orang lain, karena ia mengetahui bahwa musibah berasal dari Allah dan menjadi kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan meningkatkan derajat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim). Dengan pemahaman yang mendalam seperti ini, seorang mukmin dapat hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram, karena ia mengetahui bahwa segala yang menimpanya mengandung kebaikan baginya, meskipun itu berupa kesakitan. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya tabir penutup (yang menutup rahasia takdir) niscaya keyakinanku sudah tidak akan bertambah lagi.” Hal ini karena keyakinannya sudah total bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan takdir Allah. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Saya telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, sehingga hatiku menjadi tenang.” Ucapan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin telah percaya bahwa rezeki dan takdirnya berada di tangan Allah semata, sehingga ia tidak sibuk berebut dunia dan tidak galau dengan urusan rezeki. Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir dapat membuahkan keridaan dalam hati kepada Allah, memadamkan api ketidakpuasan, dan melenyapkan debu-debu keraguan dan keberpalingan.” كيف نغرس الإيمان بالقدر في حياتنا؟ قراءة القرآن وتدبر آياته القرآن الكريم مليء بالآيات التي تؤكد على أن الله هو المدبر والمقدر لكل شيء. مثل قوله -تعالى-: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} (الأحزاب: 38). التعرف على أسماء الله وصفاته معرفة أسماء الله الحسنى وصفاته، مثل: “العليم”، “الحكيم”، “الخبير” و”اللطيف” و”الرحيم”، وبقية الأسماء الحسنى والصفات العلى، تجعل العبد يثق في أقدار الله، ويعلم أنها كلها خير وإن لم يدرك الحكمة منها. الدعاء والاستعانة بالله على المسلم أن يدعو الله دائمًا بأن يرزقه الإيمان بقضائه وقدره، وأن يرضيه به. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “وأسألُكَ الرِّضا بعد القضاءِ” (رواه النسائي). التفكر في حِكَم الله في المصائب حينما تصيب الإنسان مصيبة، عليه أن يتذكر أن فيها حكمة من الله، فقد تكون تكفيرًا للذنوب، أو رفعة في الدرجات، أو وقاية من شر أكبر. Bagaimana cara menanamkan keimanan kepada takdir dalam kehidupan kita? Membaca Al-Qur’an dan menghayati ayat-ayatnya Al-Qur’an Al-Karim penuh dengan ayat-ayat yang menegaskan bahwa Allah Ta’ala merupakan pengatur dan penetap segala hal, seperti firman Allah Ta’ala: وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا “Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab: 38). Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah sepertiAl-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Lathif (Yang Maha Lembut),Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah lainnya. Ini menjadikan seorang hamba percaya terhadap takdir-takdir Allah dan mengetahui bahwa seluruhnya mengandung kebaikan, meskipun ada yang belum diketahui hikmahnya. Berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Seorang Muslim harus selalu berdoa kepada Allah agar Dia mengaruniakan kepadanya keimanan kepada takdir dan ketetapan-Nya, serta membuatnya rida terhadap itu semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam doanya: وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ “dan aku memohon kepada Engkau keridaan atas ketetapan-Mu.” (HR. aAn-Nasa’i). Mencermati hikmah-hikmah Allah dalam musibah yang terjadi Ketika seorang insan tertimpa suatu musibah, hendaklah ia mencermati hikmah Allah yang terkandung di dalamnya, bisa jadi itu berupa pelebur dosa-dosanya, peningkat derajatnya, atau perlindungan baginya dari keburukan yang lebih besar. إن الإيمان بالقدر هو السر الحقيقي للسعادة والطمأنينة في هذه الحياة. فمن علم أن الله هو المدبر الحكيم، وأن كل ما يجري هو وفق علمه وعدله وحكمته، عاش راضيًا مطمئنًا، لا تهزّه المصائب، ولا تُضعفه تقلبات الأيام. وكلما زاد إيماننا بأن الله يدبر شؤون حياتنا بحكمة ولطف، شعرنا بالراحة والأمل مهما كانت التحديات. Keimanan kepada takdir merupakan rahasia sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup ini. Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah merupakan Dzat Yang Maha Mengatur dan Bijaksana, serta segala hal terjadi berdasarkan ilmu, keadilan, dan hikmah-Nya, niscaya ia akan hidup dengan penuh keridaan dan kedamaian, tidak tergoyahkan oleh musibah, tidak terlemahkan oleh gonjang-ganjing perubahan nasib. Semakin besar keimanan kita bahwa Allah yang mengatur segala urusan hidup kita dengan penuh hikmah dan kelembutan, maka kita akan semakin merasakan kedamaian dan harapan, sebesar apapun tantangannya. Sumber: https://www.islamweb.net/الإيمان بالقدر من أسرار السعادة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 266 times, 1 visit(s) today Post Views: 332 QRIS donasi Yufid
الإيمان بالقدر من أسرار السعادة الإيمان بالقدر هو أحد أركان الإيمان الستة التي لا يصح إيمان العبد إلا بها، فقد ورد في حديث جبريل -عليه السلام- المشهور عندما سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان، فقال: “أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره”. (رواه مسلم). والإيمان بالقدر هو الاعتقاد الجازم بأن كل ما يحدث في الكون هو بتقدير الله وعلمه السابق، وأن كل شيء يجري بمشيئته وحكمته وعدله، سواء كان مما يحبه العبد ويرضاه، أو مما يكرهه ويجده صعبًا على نفسه. Iman kepada takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman yang mana keimanan seorang hamba tidak akan sah kecuali dengannya. Disebutkan dalam hadis masyhur tentang Jibril Alaihissalam yang datang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkaitan dengan keimanan, lalu beliau menjawab, “yaitu dengan kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan beriman kepada takdir-Nya yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Beriman kepada takdir yakni meyakini sepenuhnya bahwa segala hal yang terjadi di alam semesta ini berdasarkan takdir Allah dan ilmu-Nya mengenai kejadian itu yang telah ada sebelumnya, dan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak, hikmah, dan ilmu Allah, baik itu hal yang disukai dan diridai oleh seorang hamba atau yang dibenci dan sulit diterima olehnya. أثر الإيمان بالقدر في تحقيق السعادة إن الإيمان بالقدر هو أحد المفاتيح العظيمة للسعادة والرضا، لأن المؤمن عندما يوقن أن الله قد كتب كل شيء بحكمة وعدل، فإنه يتوكل عليه ويسلم أمره له، فيزول عنه الهمّ والقلق. وتنبعث في القلب الطمأنينة والراحة. فالمؤمن بالقدر يعلم أن كل ما يصيبه هو بقدر الله، وأن الله لا يقدر إلا الخير لعباده. يقول الله -تعالى-: {مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} (الحديد: 22). هذه الآية تُطمئن المؤمن بأن كل ما يحدث مكتوب في كتاب عند الله، ولا يقع إلا بعلمه وإرادته، مما يدفعه إلى الرضا بالقضاء، وعدم الحزن المفرط على ما فاته أو الخوف مما سيأتي. Pengaruh iman kepada takdir terhadap realisasi kebahagiaan Iman kepada takdir merupakan salah satu kunci agung untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup, karena seorang mukmin ketika meyakini bahwa Allah telah menulis segala hal dengan hikmah dan adil, dia akan bertawakal dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, sehingga kegalauan dan kecemasannya akan lenyap, lalu timbul dalam hatinya ketenangan dan ketenteraman. Orang yang beriman kepada takdir akan mengetahui bahwa setiap hal yang menimpanya merupakan takdir Allah, dan Allah tidak menakdirkan bagi hamba-hamba-Nya kecuali kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfuz sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22). Ayat ini akan memberi ketenangan bagi orang yang beriman bahwa segala hal yang terjadi telah tertulis dalam Kitab yang ada di sisi Allah, dan tidak terjadi melainkan dengan ilmu dan kehendak-Nya, sehingga ini mendorongnya untuk merasa rida terhadap ketetapan yang terjadi dan tidak terlalu bersedih atas apa yang luput darinya atau khawatir terhadap apa yang akan dia hadapi. الإيمان بالقدر يزيل القلق من المستقبل من أعظم مصادر الشقاء لدى الإنسان خوفه من المستقبل، وتفكيره الدائم في المجهول. لكن الإيمان بالقدر يجعل المؤمن يعتمد على الله، ويعلم أن ما كُتب له سيصيبه، وأن الله يدبر الأمور بحكمته. يقول النبي صلى الله عليه وسلم: “احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن (لو) تفتح عمل الشيطان”. (رواه مسلم). هذا الحديث يعلمنا أن المؤمن يأخذ بالأسباب المشروعة، ولكنه لا يأسف على ما فات أو يخاف مما لم يحدث بعد، لأن كل شيء تحت تقدير الله وحكمته. Iman kepada takdir akan melenyapkan kegalauan terhadap masa depan Di antara sumber kesengsaraan manusia yang terbesar adalah ketakutannya terhadap masa depan dan beban pikirannya yang berkelanjutan tentang hal yang masih belum diketahui. Namun, keimanan kepada takdir akan membuat seorang mukmin bersandar kepada Allah, dia mengetahui bahwa apa yang ditetapkan baginya pasti akan terjadi padanya, dan Allah telah mengatur segala urusan berdasarkan hikmah-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ, وَلَا تَعْجَزْ, وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اَللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ; فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ اَلشَّيْطَانِ “Bersemangatlah dalam meraih hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah! Apabila kamu tertimpa sesuatu musibah, janganlah kamu mengucapkan, ‘Andai kau melakukan ini, pasti yang terjadi akan begini dan begitu!’ Namun katakanlah, ‘Allah telah menakdirkan ini dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai’ dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus berikhtiar melakukan hal-hal yang disyariatkan yang menjadi sebab sesuatu. Namun, dia tidak boleh merasa sedih atas apa yang luput darinya atau merasa takut dari apa yang belum terjadi, karena segala hal berada di bawah takdir Allah dan hikmah-Nya. الإيمان بالقدر يعزز الرضا عند المصائب المصائب جزء من حياة الإنسان، لكن المؤمن يراها بمنظور مختلف عن غيره. فهو يعلم أن البلاء من عند الله، وأنه فرصة للتطهير من الذنوب ورفع الدرجات. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كله له خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرًا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرًا له”. (رواه مسلم). بهذا الفهم العميق، يعيش المؤمن سعيدًا مطمئنًا، لأنه يعلم أن الذي يصيبه هو خير له حتى الألم. قال عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-: “لو كُشف الغطاء ما ازددت يقينًا”، وذلك ليقينه التام أن كل شيء يجري بقدر الله. وقال الحسن البصري -رحمه الله-: “علمت أن رزقي لن يأخذه غيري، فاطمأن قلبي”. هذا القول يدل على أن المؤمن يثق بأن أرزاقه وأقداره بيد الله وحده، فلا يتكالب على الدنيا ولا يقلق بشأن الرزق. وقال ابن القيم -رحمه الله-: “الإيمان بالقدر يُثمر في القلب الرضا بالله ربًّا، ويُطفئ نار التسخّط، ويُزيل غبار الشك والاعتراض”. Iman kepada takdir akan menguatkan keridaan atas musibah Musibah sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, seorang mukmin memandang musibah dengan cara pandang yang berbeda dari orang lain, karena ia mengetahui bahwa musibah berasal dari Allah dan menjadi kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan meningkatkan derajat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim). Dengan pemahaman yang mendalam seperti ini, seorang mukmin dapat hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram, karena ia mengetahui bahwa segala yang menimpanya mengandung kebaikan baginya, meskipun itu berupa kesakitan. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya tabir penutup (yang menutup rahasia takdir) niscaya keyakinanku sudah tidak akan bertambah lagi.” Hal ini karena keyakinannya sudah total bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan takdir Allah. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Saya telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, sehingga hatiku menjadi tenang.” Ucapan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin telah percaya bahwa rezeki dan takdirnya berada di tangan Allah semata, sehingga ia tidak sibuk berebut dunia dan tidak galau dengan urusan rezeki. Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir dapat membuahkan keridaan dalam hati kepada Allah, memadamkan api ketidakpuasan, dan melenyapkan debu-debu keraguan dan keberpalingan.” كيف نغرس الإيمان بالقدر في حياتنا؟ قراءة القرآن وتدبر آياته القرآن الكريم مليء بالآيات التي تؤكد على أن الله هو المدبر والمقدر لكل شيء. مثل قوله -تعالى-: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} (الأحزاب: 38). التعرف على أسماء الله وصفاته معرفة أسماء الله الحسنى وصفاته، مثل: “العليم”، “الحكيم”، “الخبير” و”اللطيف” و”الرحيم”، وبقية الأسماء الحسنى والصفات العلى، تجعل العبد يثق في أقدار الله، ويعلم أنها كلها خير وإن لم يدرك الحكمة منها. الدعاء والاستعانة بالله على المسلم أن يدعو الله دائمًا بأن يرزقه الإيمان بقضائه وقدره، وأن يرضيه به. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “وأسألُكَ الرِّضا بعد القضاءِ” (رواه النسائي). التفكر في حِكَم الله في المصائب حينما تصيب الإنسان مصيبة، عليه أن يتذكر أن فيها حكمة من الله، فقد تكون تكفيرًا للذنوب، أو رفعة في الدرجات، أو وقاية من شر أكبر. Bagaimana cara menanamkan keimanan kepada takdir dalam kehidupan kita? Membaca Al-Qur’an dan menghayati ayat-ayatnya Al-Qur’an Al-Karim penuh dengan ayat-ayat yang menegaskan bahwa Allah Ta’ala merupakan pengatur dan penetap segala hal, seperti firman Allah Ta’ala: وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا “Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab: 38). Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah sepertiAl-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Lathif (Yang Maha Lembut),Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah lainnya. Ini menjadikan seorang hamba percaya terhadap takdir-takdir Allah dan mengetahui bahwa seluruhnya mengandung kebaikan, meskipun ada yang belum diketahui hikmahnya. Berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Seorang Muslim harus selalu berdoa kepada Allah agar Dia mengaruniakan kepadanya keimanan kepada takdir dan ketetapan-Nya, serta membuatnya rida terhadap itu semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam doanya: وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ “dan aku memohon kepada Engkau keridaan atas ketetapan-Mu.” (HR. aAn-Nasa’i). Mencermati hikmah-hikmah Allah dalam musibah yang terjadi Ketika seorang insan tertimpa suatu musibah, hendaklah ia mencermati hikmah Allah yang terkandung di dalamnya, bisa jadi itu berupa pelebur dosa-dosanya, peningkat derajatnya, atau perlindungan baginya dari keburukan yang lebih besar. إن الإيمان بالقدر هو السر الحقيقي للسعادة والطمأنينة في هذه الحياة. فمن علم أن الله هو المدبر الحكيم، وأن كل ما يجري هو وفق علمه وعدله وحكمته، عاش راضيًا مطمئنًا، لا تهزّه المصائب، ولا تُضعفه تقلبات الأيام. وكلما زاد إيماننا بأن الله يدبر شؤون حياتنا بحكمة ولطف، شعرنا بالراحة والأمل مهما كانت التحديات. Keimanan kepada takdir merupakan rahasia sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup ini. Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah merupakan Dzat Yang Maha Mengatur dan Bijaksana, serta segala hal terjadi berdasarkan ilmu, keadilan, dan hikmah-Nya, niscaya ia akan hidup dengan penuh keridaan dan kedamaian, tidak tergoyahkan oleh musibah, tidak terlemahkan oleh gonjang-ganjing perubahan nasib. Semakin besar keimanan kita bahwa Allah yang mengatur segala urusan hidup kita dengan penuh hikmah dan kelembutan, maka kita akan semakin merasakan kedamaian dan harapan, sebesar apapun tantangannya. Sumber: https://www.islamweb.net/الإيمان بالقدر من أسرار السعادة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 266 times, 1 visit(s) today Post Views: 332 QRIS donasi Yufid


الإيمان بالقدر من أسرار السعادة الإيمان بالقدر هو أحد أركان الإيمان الستة التي لا يصح إيمان العبد إلا بها، فقد ورد في حديث جبريل -عليه السلام- المشهور عندما سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان، فقال: “أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره”. (رواه مسلم). والإيمان بالقدر هو الاعتقاد الجازم بأن كل ما يحدث في الكون هو بتقدير الله وعلمه السابق، وأن كل شيء يجري بمشيئته وحكمته وعدله، سواء كان مما يحبه العبد ويرضاه، أو مما يكرهه ويجده صعبًا على نفسه. Iman kepada takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman yang mana keimanan seorang hamba tidak akan sah kecuali dengannya. Disebutkan dalam hadis masyhur tentang Jibril Alaihissalam yang datang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkaitan dengan keimanan, lalu beliau menjawab, “yaitu dengan kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan beriman kepada takdir-Nya yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Beriman kepada takdir yakni meyakini sepenuhnya bahwa segala hal yang terjadi di alam semesta ini berdasarkan takdir Allah dan ilmu-Nya mengenai kejadian itu yang telah ada sebelumnya, dan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak, hikmah, dan ilmu Allah, baik itu hal yang disukai dan diridai oleh seorang hamba atau yang dibenci dan sulit diterima olehnya. أثر الإيمان بالقدر في تحقيق السعادة إن الإيمان بالقدر هو أحد المفاتيح العظيمة للسعادة والرضا، لأن المؤمن عندما يوقن أن الله قد كتب كل شيء بحكمة وعدل، فإنه يتوكل عليه ويسلم أمره له، فيزول عنه الهمّ والقلق. وتنبعث في القلب الطمأنينة والراحة. فالمؤمن بالقدر يعلم أن كل ما يصيبه هو بقدر الله، وأن الله لا يقدر إلا الخير لعباده. يقول الله -تعالى-: {مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} (الحديد: 22). هذه الآية تُطمئن المؤمن بأن كل ما يحدث مكتوب في كتاب عند الله، ولا يقع إلا بعلمه وإرادته، مما يدفعه إلى الرضا بالقضاء، وعدم الحزن المفرط على ما فاته أو الخوف مما سيأتي. Pengaruh iman kepada takdir terhadap realisasi kebahagiaan Iman kepada takdir merupakan salah satu kunci agung untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup, karena seorang mukmin ketika meyakini bahwa Allah telah menulis segala hal dengan hikmah dan adil, dia akan bertawakal dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, sehingga kegalauan dan kecemasannya akan lenyap, lalu timbul dalam hatinya ketenangan dan ketenteraman. Orang yang beriman kepada takdir akan mengetahui bahwa setiap hal yang menimpanya merupakan takdir Allah, dan Allah tidak menakdirkan bagi hamba-hamba-Nya kecuali kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfuz sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22). Ayat ini akan memberi ketenangan bagi orang yang beriman bahwa segala hal yang terjadi telah tertulis dalam Kitab yang ada di sisi Allah, dan tidak terjadi melainkan dengan ilmu dan kehendak-Nya, sehingga ini mendorongnya untuk merasa rida terhadap ketetapan yang terjadi dan tidak terlalu bersedih atas apa yang luput darinya atau khawatir terhadap apa yang akan dia hadapi. الإيمان بالقدر يزيل القلق من المستقبل من أعظم مصادر الشقاء لدى الإنسان خوفه من المستقبل، وتفكيره الدائم في المجهول. لكن الإيمان بالقدر يجعل المؤمن يعتمد على الله، ويعلم أن ما كُتب له سيصيبه، وأن الله يدبر الأمور بحكمته. يقول النبي صلى الله عليه وسلم: “احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن (لو) تفتح عمل الشيطان”. (رواه مسلم). هذا الحديث يعلمنا أن المؤمن يأخذ بالأسباب المشروعة، ولكنه لا يأسف على ما فات أو يخاف مما لم يحدث بعد، لأن كل شيء تحت تقدير الله وحكمته. Iman kepada takdir akan melenyapkan kegalauan terhadap masa depan Di antara sumber kesengsaraan manusia yang terbesar adalah ketakutannya terhadap masa depan dan beban pikirannya yang berkelanjutan tentang hal yang masih belum diketahui. Namun, keimanan kepada takdir akan membuat seorang mukmin bersandar kepada Allah, dia mengetahui bahwa apa yang ditetapkan baginya pasti akan terjadi padanya, dan Allah telah mengatur segala urusan berdasarkan hikmah-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ, وَلَا تَعْجَزْ, وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اَللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ; فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ اَلشَّيْطَانِ “Bersemangatlah dalam meraih hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah! Apabila kamu tertimpa sesuatu musibah, janganlah kamu mengucapkan, ‘Andai kau melakukan ini, pasti yang terjadi akan begini dan begitu!’ Namun katakanlah, ‘Allah telah menakdirkan ini dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai’ dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus berikhtiar melakukan hal-hal yang disyariatkan yang menjadi sebab sesuatu. Namun, dia tidak boleh merasa sedih atas apa yang luput darinya atau merasa takut dari apa yang belum terjadi, karena segala hal berada di bawah takdir Allah dan hikmah-Nya. الإيمان بالقدر يعزز الرضا عند المصائب المصائب جزء من حياة الإنسان، لكن المؤمن يراها بمنظور مختلف عن غيره. فهو يعلم أن البلاء من عند الله، وأنه فرصة للتطهير من الذنوب ورفع الدرجات. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كله له خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرًا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرًا له”. (رواه مسلم). بهذا الفهم العميق، يعيش المؤمن سعيدًا مطمئنًا، لأنه يعلم أن الذي يصيبه هو خير له حتى الألم. قال عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-: “لو كُشف الغطاء ما ازددت يقينًا”، وذلك ليقينه التام أن كل شيء يجري بقدر الله. وقال الحسن البصري -رحمه الله-: “علمت أن رزقي لن يأخذه غيري، فاطمأن قلبي”. هذا القول يدل على أن المؤمن يثق بأن أرزاقه وأقداره بيد الله وحده، فلا يتكالب على الدنيا ولا يقلق بشأن الرزق. وقال ابن القيم -رحمه الله-: “الإيمان بالقدر يُثمر في القلب الرضا بالله ربًّا، ويُطفئ نار التسخّط، ويُزيل غبار الشك والاعتراض”. Iman kepada takdir akan menguatkan keridaan atas musibah Musibah sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, seorang mukmin memandang musibah dengan cara pandang yang berbeda dari orang lain, karena ia mengetahui bahwa musibah berasal dari Allah dan menjadi kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan meningkatkan derajat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim). Dengan pemahaman yang mendalam seperti ini, seorang mukmin dapat hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram, karena ia mengetahui bahwa segala yang menimpanya mengandung kebaikan baginya, meskipun itu berupa kesakitan. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya tabir penutup (yang menutup rahasia takdir) niscaya keyakinanku sudah tidak akan bertambah lagi.” Hal ini karena keyakinannya sudah total bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan takdir Allah. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Saya telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, sehingga hatiku menjadi tenang.” Ucapan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin telah percaya bahwa rezeki dan takdirnya berada di tangan Allah semata, sehingga ia tidak sibuk berebut dunia dan tidak galau dengan urusan rezeki. Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir dapat membuahkan keridaan dalam hati kepada Allah, memadamkan api ketidakpuasan, dan melenyapkan debu-debu keraguan dan keberpalingan.” كيف نغرس الإيمان بالقدر في حياتنا؟ قراءة القرآن وتدبر آياته القرآن الكريم مليء بالآيات التي تؤكد على أن الله هو المدبر والمقدر لكل شيء. مثل قوله -تعالى-: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} (الأحزاب: 38). التعرف على أسماء الله وصفاته معرفة أسماء الله الحسنى وصفاته، مثل: “العليم”، “الحكيم”، “الخبير” و”اللطيف” و”الرحيم”، وبقية الأسماء الحسنى والصفات العلى، تجعل العبد يثق في أقدار الله، ويعلم أنها كلها خير وإن لم يدرك الحكمة منها. الدعاء والاستعانة بالله على المسلم أن يدعو الله دائمًا بأن يرزقه الإيمان بقضائه وقدره، وأن يرضيه به. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “وأسألُكَ الرِّضا بعد القضاءِ” (رواه النسائي). التفكر في حِكَم الله في المصائب حينما تصيب الإنسان مصيبة، عليه أن يتذكر أن فيها حكمة من الله، فقد تكون تكفيرًا للذنوب، أو رفعة في الدرجات، أو وقاية من شر أكبر. Bagaimana cara menanamkan keimanan kepada takdir dalam kehidupan kita? Membaca Al-Qur’an dan menghayati ayat-ayatnya Al-Qur’an Al-Karim penuh dengan ayat-ayat yang menegaskan bahwa Allah Ta’ala merupakan pengatur dan penetap segala hal, seperti firman Allah Ta’ala: وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا “Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab: 38). Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah sepertiAl-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Lathif (Yang Maha Lembut),Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah lainnya. Ini menjadikan seorang hamba percaya terhadap takdir-takdir Allah dan mengetahui bahwa seluruhnya mengandung kebaikan, meskipun ada yang belum diketahui hikmahnya. Berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Seorang Muslim harus selalu berdoa kepada Allah agar Dia mengaruniakan kepadanya keimanan kepada takdir dan ketetapan-Nya, serta membuatnya rida terhadap itu semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam doanya: وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ “dan aku memohon kepada Engkau keridaan atas ketetapan-Mu.” (HR. aAn-Nasa’i). Mencermati hikmah-hikmah Allah dalam musibah yang terjadi Ketika seorang insan tertimpa suatu musibah, hendaklah ia mencermati hikmah Allah yang terkandung di dalamnya, bisa jadi itu berupa pelebur dosa-dosanya, peningkat derajatnya, atau perlindungan baginya dari keburukan yang lebih besar. إن الإيمان بالقدر هو السر الحقيقي للسعادة والطمأنينة في هذه الحياة. فمن علم أن الله هو المدبر الحكيم، وأن كل ما يجري هو وفق علمه وعدله وحكمته، عاش راضيًا مطمئنًا، لا تهزّه المصائب، ولا تُضعفه تقلبات الأيام. وكلما زاد إيماننا بأن الله يدبر شؤون حياتنا بحكمة ولطف، شعرنا بالراحة والأمل مهما كانت التحديات. Keimanan kepada takdir merupakan rahasia sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup ini. Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah merupakan Dzat Yang Maha Mengatur dan Bijaksana, serta segala hal terjadi berdasarkan ilmu, keadilan, dan hikmah-Nya, niscaya ia akan hidup dengan penuh keridaan dan kedamaian, tidak tergoyahkan oleh musibah, tidak terlemahkan oleh gonjang-ganjing perubahan nasib. Semakin besar keimanan kita bahwa Allah yang mengatur segala urusan hidup kita dengan penuh hikmah dan kelembutan, maka kita akan semakin merasakan kedamaian dan harapan, sebesar apapun tantangannya. Sumber: https://www.islamweb.net/الإيمان بالقدر من أسرار السعادة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 266 times, 1 visit(s) today Post Views: 332 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kisah Jihad Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]Dan firman Allah,وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8][Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[7] QS. An-Nisa’: 19.[8] QS. Al-Baqarah: 216.

Kisah Jihad Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]Dan firman Allah,وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8][Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[7] QS. An-Nisa’: 19.[8] QS. Al-Baqarah: 216.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]Dan firman Allah,وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8][Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[7] QS. An-Nisa’: 19.[8] QS. Al-Baqarah: 216.


Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]Dan firman Allah,وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8][Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.[7] QS. An-Nisa’: 19.[8] QS. Al-Baqarah: 216.

Faidah Surah Al-A’raf Ayat 137: Biarlah Allah yang Menyelesaikan Masalahmu dengan Cara-Nya

Daftar Isi ToggleMakna dan hakikat sabarAgar bisa bertahan dalam kesabaranAdab dalam bersabarAdab pertama: ikhlas karena AllahAdab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaBiarlah Allah yang menolongmu dengan cara-Nya“Biarlah Allah yang menolong dan menyelesaikan masalahmu dengan cara-Nya”, sebuah kaidah kehidupan yang diambil dari firman Allah di surah Al-A’raf ayat 137,وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ“Dan telah sempurnalah perkataan (keputusan) Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A’raf: 137)Ayat ini menjelaskan bahwa pada akhirnya, Allah menurunkan pertolongan kepada Bani Israil setelah ratusan tahun mereka ditindas oleh Fir’aun. Kapan pertolongan itu datang? Ketika mereka bersabar, baru Allah turunkan pertolongan-Nya sehingga mereka pun terbebas dari penindasan Fir’aun. Dengan kata lain, bersabar adalah sebab pertolongan Allah, dengan cara Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sebelumnya, Fir’aun menindas Bani Israil selama ratusan tahun. Selama itu pula Allah tidak memberikan keselamatan kepada Bani Israil, karena mereka tidak sabar. Sampai akhirnya Allah utus Nabi Musa ‘alaihis salam untuk mengajarkan kesabaran kepada mereka,قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah … “ (QS. Al-A’raf: 128)Ketika mereka bersabar, Allah pun memberikan solusi dengan cara Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita akan membahas terlebih dahulu makna (hakikat) dan adab sabar.Makna dan hakikat sabarSecara bahasa, sabar bermakna “menahan”. Secara istilah, maknanya adalah menahan diri dari hal-hal yang menunjukkan protes atas keputusan (takdir) Allah. Di antaranya dengan menahan lisan, hati, dan anggota badan yang lain. Jangan sampai hati ini benci, protes, marah kepada Allah atas takdir-Nya. Atau merasa Allah tidak adil dan zalim terhadap dirinya, atau merasa bahwa Allah telah salah dalam keputusannya, juga merasa Allah tidak sayang kepada dirinya.Allah Ta’ala berfirman,وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا“Dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10)Yaitu, ada yang berprasangka baik, dan ada pula yang berprasangka buruk.Dalam ayat yang lain Allah berfirman,وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ” … mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar, sangkaan jahiliah … ” (QS. Ali ‘Imran: 154)Orang yang tertimpa musibah, hendaknya dia menyabarkan hatinya agar tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dia tahan hatinya agar tidak protes kepada Allah, mengapa Allah begini dan begitu, mengapa Allah turunkan musibah bertubi-tubi tanpa henti, mengapa Allah tidak segera menolongnya, dan berbagai prasangka buruk yang lainnya.Dia pun menahan lisan dari kata-kata yang menunjukkan protes. Oleh karena itulah, salah satu dosa besar adalah niyahah (meratapi mayit), yaitu teriak-teriak protes kepada Allah, mengapa Engkau ambil anakku (misalnya), dan seterusnya. Sedih dan menangis itu boleh, namun ketika berubah menjadi protes dalam bentuk niyahah, maka itu menjadi dosa besar.Demikian pula menahan anggota tubuh dari perbuatan yang menunjukkan sikap protes atas takdir Allah, misalnya dengan memukulkan tangan ke pipi, atau membentur-benturkan kepala, menjambak rambut, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk protes terhadap takdir dan keputusan Allah. [1]Agar bisa bertahan dalam kesabaranBanyak sebab yang bisa membuat kita bertahan dalam kesadaran. Di antaranya dengan meyakini bahwa Allah memiliki hikmah di balik semua musibah yang menimpa kita. Terkadang, Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba dalam bentuk musibah. Musibah itu adalah cara Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba. Contohnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Nabi Yusuf dibawa pergi oleh kakak-kakaknya, dilemparkan ke dalam sumur, lalu dijual menjadi budak, dipisahkan dari ayah yang sangat dia cintai, lalu musibah dipenjara. Beliau mengalami musibah bertubi-tubi itu sebelum akhirnya menjadi bangsawan.Terkadang Allah memberikan nikmat berupa ditimpakan musibah yang kecil (ringan) agar terhindar dari musibah yang jauh lebih berat. Misalnya, orang yang ketinggalan pesawat, namun ternyata pesawat itu kemudian mengalami kecelakaan. Dia tertimpa musibah kecil (yaitu hilangnya uang untuk beli tiket), namun dia terhindar dari musibah yang jauh lebih besar.Contoh lainnya, dengan musibah, Allah selamatkan dia dari penyakit hati berupa ujub, sombong, dan lupa diri. Bayangkan jika ada orang yang tidak pernah gagal, maka bisa jadi dia tertimpa penyakit hati tersebut. Namun ketika sesekali dia gagal, dia pun ingat kepada Allah dan kembali mendekat kepada-Nya. Selain itu, musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa-dosa kita, ketika istigfar dan tobat kita yang tentu tidak sempurna dan banyak kekurangan.Baca juga: Fawaid Seputar Surat Al IkhlashAdab dalam bersabarAda dua adab dalam bersabar:Adab pertama: ikhlas karena AllahSebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya … “ (QS. Ar-Ra’du: 22)Jadi, tidak perlu menyampaikan dan mengumumkan kepada orang lain bahwa dia bersabar. Karena dia bersabar bukan untuk dipuji.Allah Ta’ala berfirman memuji kaum Muhajirin,لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)Adab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaAllah Ta’ala berfirman,وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلاَّ بِاللّهِ“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl: 127)Maka janganlah pede dengan diri kita sendiri. Mohonlah kepada Allah agar Allah memberikan kita kesabaran. Ketika ada masalah di depan kita, kita memohon kepada Allah agar diberikan kesabaran.Oleh karena itulah, ketika terkena musibah, kita ucapkan,إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali.”Di antaranya kita juga ucapkan,ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ“Segala puji bagi Allah atas semua keadaan.”Biarlah Allah yang menolongmu dengan cara-NyaSetiap ada masalah, tentu kita berusaha mencari solusi sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia, bukan hanya berpangku tangan. Namun, kita tidak dibebani untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Yang Allah perintahkan dan wajibkan kepada kita adalah untuk bersabar. Kita berbaik sangka kepada Allah, serta tidak tergesa-gesa dan terburu-buru mengharap solusi dan pertolongan Allah dalam waktu singkat.Sabar dan berusaha adalah sebab mendapatkan solusi dan jalan keluar dari Allah Ta’ala. Inilah di antara salah satu keutamaan sabar sebagaimana dalam surah Al-A’raf ayat 137 yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)Berdasarkan ayat di atas, sabar adalah solusi terbaik. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَن يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ صَبَرَ فَاللَّهُ نَاصِرُهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ اللَّهَ وَكِيلُ مَن صَبَرَ وَأَحَالَ ظَالِمَهُ عَلَيْهِ، وَمَن ٱنتَصَرَ بِنَفْسِهِ لِنَفْسِهِ وَكَّلَهُ اللَّهُ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَكَانَ هُوَ ٱلنَّاصِرَ لَهَا، فَأَيْنَ مَنْ نَاصَرَهُ اللَّهُ خَيْرُ ٱلنَّاصِرِينَ، إِلَىٰ مَنْ نَاصَرَهُ نَفْسُهُ أَعْجَزُ ٱلنَّاصِرِينَ وَأَضْعَفُهُ“Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia bersabar, maka Allah pasti akan menolongnya. Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang yang bersabar, dan Dia akan membalikkan keadaan orang yang zalim atas dirinya sendiri. Barang siapa yang menolong dirinya sendiri, maka Allah menyerahkan urusannya kepada dirinya, sehingga dialah yang menolong dirinya sendiri. Maka, di manakah orang yang ditolong Allah -sedangkan Dia adalah sebaik-baik penolong-, dibandingkan dengan orang yang hanya ditolong oleh dirinya sendiri, yang justru merupakan penolong yang paling lemah dan paling tidak berdaya?” (Qa’idah fi Ash-Shabr, 1: 101)Oleh karena itu, ketika sedang mendapatkan masalah dan musibah, kita tetap berusaha sebatas kemampuan kita sebagai manusia, namun jangan hilangkan kesabaran dari diri kita. Kita bersabar, terus meminta kepada Allah, dan yakinlah bahwa Allah yang akan mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah kita dengan cara Allah sendiri.Ketika menjelaskan surah Al-A’raf ayat 137 di atas, Al-Alusi rahimahullah menyebutkan atsar dari Hasan Al-Bashri rahimahullah,لَوْ أَنَّ ٱلنَّاسَ إِذَا ٱبْتُلُوا۟ مِن قَبْلِ سُلْطَٰنِهِم بِشَىْءٍ صَبَرُوا۟ وَدَعَوُا۟ ٱللَّهَ تَعَالَىٰ لَمْ يَلَبَثُوا۟ أَنْ يَرْفَعَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ ذَٰلِكَ عَنْهُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ يَفْزَعُونَ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَيُوَكِّلُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلَا هَٰذِهِ ٱلْآيَةَ“Seandainya manusia apabila diuji oleh penguasa mereka dengan suatu perkara (yaitu penguasa yang zalim), mereka bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Tinggi, niscaya tidak lama kemudian Allah Yang Maha Tinggi akan mengangkat perkara (kezaliman) itu dari mereka. Namun, mereka justru tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (yaitu melakukan pemberontakan), lalu menyerahkan urusan kepada pedang itu.” Kemudian beliau membaca ayat ini. (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Al-Alusi rahimahullah berkata,قَدْ شَاهَدْنَا ٱلنَّاسَ سَنَةَ ٱلْأَلْفِ وَٱلْمِائَتَيْنِ وَٱلثَّمَٰنِينَ وَٱلْأَرْبَعِينَ قَدْ فَزَعُوا۟ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَمَا أَغْنَاهُمْ شَيْئًا وَلَا تَمَّ لَهُمْ مَرَادٌ وَلَا حَمِدَ مِنْهُمْ“Sesungguhnya kami telah menyaksikan manusia pada tahun seribu dua ratus empat puluh (1248 H) yang tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (melakukan pemberontakan), namun itu tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka, tujuan mereka pun tidak tercapai … ” (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Sekali lagi, bersabarlah dan tunggulah pertolongan-Nya dengan tetap berusaha semaksimal kemapuan kita sebagai manusia. Biarlah Allah yang menyelesaikan dengan cara-Nya … [2]Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah***Unayzah, KSA; Selasa, 18 Safar 1447/ 12 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Sabar menghadapi musibah adalah salah satu bentuk sabar. Bentuk sabar yang lain adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menahan diri dari berbuat maksiat.[2] Disarikan dari kajian Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA., berjudul: “Kaidah Kehidupan Dalam Al-Quran #38: Biar Allah yang Menyelesaikan Masalahmu” di tautan ini.

Faidah Surah Al-A’raf Ayat 137: Biarlah Allah yang Menyelesaikan Masalahmu dengan Cara-Nya

Daftar Isi ToggleMakna dan hakikat sabarAgar bisa bertahan dalam kesabaranAdab dalam bersabarAdab pertama: ikhlas karena AllahAdab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaBiarlah Allah yang menolongmu dengan cara-Nya“Biarlah Allah yang menolong dan menyelesaikan masalahmu dengan cara-Nya”, sebuah kaidah kehidupan yang diambil dari firman Allah di surah Al-A’raf ayat 137,وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ“Dan telah sempurnalah perkataan (keputusan) Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A’raf: 137)Ayat ini menjelaskan bahwa pada akhirnya, Allah menurunkan pertolongan kepada Bani Israil setelah ratusan tahun mereka ditindas oleh Fir’aun. Kapan pertolongan itu datang? Ketika mereka bersabar, baru Allah turunkan pertolongan-Nya sehingga mereka pun terbebas dari penindasan Fir’aun. Dengan kata lain, bersabar adalah sebab pertolongan Allah, dengan cara Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sebelumnya, Fir’aun menindas Bani Israil selama ratusan tahun. Selama itu pula Allah tidak memberikan keselamatan kepada Bani Israil, karena mereka tidak sabar. Sampai akhirnya Allah utus Nabi Musa ‘alaihis salam untuk mengajarkan kesabaran kepada mereka,قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah … “ (QS. Al-A’raf: 128)Ketika mereka bersabar, Allah pun memberikan solusi dengan cara Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita akan membahas terlebih dahulu makna (hakikat) dan adab sabar.Makna dan hakikat sabarSecara bahasa, sabar bermakna “menahan”. Secara istilah, maknanya adalah menahan diri dari hal-hal yang menunjukkan protes atas keputusan (takdir) Allah. Di antaranya dengan menahan lisan, hati, dan anggota badan yang lain. Jangan sampai hati ini benci, protes, marah kepada Allah atas takdir-Nya. Atau merasa Allah tidak adil dan zalim terhadap dirinya, atau merasa bahwa Allah telah salah dalam keputusannya, juga merasa Allah tidak sayang kepada dirinya.Allah Ta’ala berfirman,وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا“Dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10)Yaitu, ada yang berprasangka baik, dan ada pula yang berprasangka buruk.Dalam ayat yang lain Allah berfirman,وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ” … mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar, sangkaan jahiliah … ” (QS. Ali ‘Imran: 154)Orang yang tertimpa musibah, hendaknya dia menyabarkan hatinya agar tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dia tahan hatinya agar tidak protes kepada Allah, mengapa Allah begini dan begitu, mengapa Allah turunkan musibah bertubi-tubi tanpa henti, mengapa Allah tidak segera menolongnya, dan berbagai prasangka buruk yang lainnya.Dia pun menahan lisan dari kata-kata yang menunjukkan protes. Oleh karena itulah, salah satu dosa besar adalah niyahah (meratapi mayit), yaitu teriak-teriak protes kepada Allah, mengapa Engkau ambil anakku (misalnya), dan seterusnya. Sedih dan menangis itu boleh, namun ketika berubah menjadi protes dalam bentuk niyahah, maka itu menjadi dosa besar.Demikian pula menahan anggota tubuh dari perbuatan yang menunjukkan sikap protes atas takdir Allah, misalnya dengan memukulkan tangan ke pipi, atau membentur-benturkan kepala, menjambak rambut, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk protes terhadap takdir dan keputusan Allah. [1]Agar bisa bertahan dalam kesabaranBanyak sebab yang bisa membuat kita bertahan dalam kesadaran. Di antaranya dengan meyakini bahwa Allah memiliki hikmah di balik semua musibah yang menimpa kita. Terkadang, Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba dalam bentuk musibah. Musibah itu adalah cara Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba. Contohnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Nabi Yusuf dibawa pergi oleh kakak-kakaknya, dilemparkan ke dalam sumur, lalu dijual menjadi budak, dipisahkan dari ayah yang sangat dia cintai, lalu musibah dipenjara. Beliau mengalami musibah bertubi-tubi itu sebelum akhirnya menjadi bangsawan.Terkadang Allah memberikan nikmat berupa ditimpakan musibah yang kecil (ringan) agar terhindar dari musibah yang jauh lebih berat. Misalnya, orang yang ketinggalan pesawat, namun ternyata pesawat itu kemudian mengalami kecelakaan. Dia tertimpa musibah kecil (yaitu hilangnya uang untuk beli tiket), namun dia terhindar dari musibah yang jauh lebih besar.Contoh lainnya, dengan musibah, Allah selamatkan dia dari penyakit hati berupa ujub, sombong, dan lupa diri. Bayangkan jika ada orang yang tidak pernah gagal, maka bisa jadi dia tertimpa penyakit hati tersebut. Namun ketika sesekali dia gagal, dia pun ingat kepada Allah dan kembali mendekat kepada-Nya. Selain itu, musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa-dosa kita, ketika istigfar dan tobat kita yang tentu tidak sempurna dan banyak kekurangan.Baca juga: Fawaid Seputar Surat Al IkhlashAdab dalam bersabarAda dua adab dalam bersabar:Adab pertama: ikhlas karena AllahSebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya … “ (QS. Ar-Ra’du: 22)Jadi, tidak perlu menyampaikan dan mengumumkan kepada orang lain bahwa dia bersabar. Karena dia bersabar bukan untuk dipuji.Allah Ta’ala berfirman memuji kaum Muhajirin,لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)Adab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaAllah Ta’ala berfirman,وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلاَّ بِاللّهِ“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl: 127)Maka janganlah pede dengan diri kita sendiri. Mohonlah kepada Allah agar Allah memberikan kita kesabaran. Ketika ada masalah di depan kita, kita memohon kepada Allah agar diberikan kesabaran.Oleh karena itulah, ketika terkena musibah, kita ucapkan,إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali.”Di antaranya kita juga ucapkan,ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ“Segala puji bagi Allah atas semua keadaan.”Biarlah Allah yang menolongmu dengan cara-NyaSetiap ada masalah, tentu kita berusaha mencari solusi sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia, bukan hanya berpangku tangan. Namun, kita tidak dibebani untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Yang Allah perintahkan dan wajibkan kepada kita adalah untuk bersabar. Kita berbaik sangka kepada Allah, serta tidak tergesa-gesa dan terburu-buru mengharap solusi dan pertolongan Allah dalam waktu singkat.Sabar dan berusaha adalah sebab mendapatkan solusi dan jalan keluar dari Allah Ta’ala. Inilah di antara salah satu keutamaan sabar sebagaimana dalam surah Al-A’raf ayat 137 yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)Berdasarkan ayat di atas, sabar adalah solusi terbaik. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَن يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ صَبَرَ فَاللَّهُ نَاصِرُهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ اللَّهَ وَكِيلُ مَن صَبَرَ وَأَحَالَ ظَالِمَهُ عَلَيْهِ، وَمَن ٱنتَصَرَ بِنَفْسِهِ لِنَفْسِهِ وَكَّلَهُ اللَّهُ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَكَانَ هُوَ ٱلنَّاصِرَ لَهَا، فَأَيْنَ مَنْ نَاصَرَهُ اللَّهُ خَيْرُ ٱلنَّاصِرِينَ، إِلَىٰ مَنْ نَاصَرَهُ نَفْسُهُ أَعْجَزُ ٱلنَّاصِرِينَ وَأَضْعَفُهُ“Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia bersabar, maka Allah pasti akan menolongnya. Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang yang bersabar, dan Dia akan membalikkan keadaan orang yang zalim atas dirinya sendiri. Barang siapa yang menolong dirinya sendiri, maka Allah menyerahkan urusannya kepada dirinya, sehingga dialah yang menolong dirinya sendiri. Maka, di manakah orang yang ditolong Allah -sedangkan Dia adalah sebaik-baik penolong-, dibandingkan dengan orang yang hanya ditolong oleh dirinya sendiri, yang justru merupakan penolong yang paling lemah dan paling tidak berdaya?” (Qa’idah fi Ash-Shabr, 1: 101)Oleh karena itu, ketika sedang mendapatkan masalah dan musibah, kita tetap berusaha sebatas kemampuan kita sebagai manusia, namun jangan hilangkan kesabaran dari diri kita. Kita bersabar, terus meminta kepada Allah, dan yakinlah bahwa Allah yang akan mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah kita dengan cara Allah sendiri.Ketika menjelaskan surah Al-A’raf ayat 137 di atas, Al-Alusi rahimahullah menyebutkan atsar dari Hasan Al-Bashri rahimahullah,لَوْ أَنَّ ٱلنَّاسَ إِذَا ٱبْتُلُوا۟ مِن قَبْلِ سُلْطَٰنِهِم بِشَىْءٍ صَبَرُوا۟ وَدَعَوُا۟ ٱللَّهَ تَعَالَىٰ لَمْ يَلَبَثُوا۟ أَنْ يَرْفَعَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ ذَٰلِكَ عَنْهُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ يَفْزَعُونَ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَيُوَكِّلُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلَا هَٰذِهِ ٱلْآيَةَ“Seandainya manusia apabila diuji oleh penguasa mereka dengan suatu perkara (yaitu penguasa yang zalim), mereka bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Tinggi, niscaya tidak lama kemudian Allah Yang Maha Tinggi akan mengangkat perkara (kezaliman) itu dari mereka. Namun, mereka justru tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (yaitu melakukan pemberontakan), lalu menyerahkan urusan kepada pedang itu.” Kemudian beliau membaca ayat ini. (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Al-Alusi rahimahullah berkata,قَدْ شَاهَدْنَا ٱلنَّاسَ سَنَةَ ٱلْأَلْفِ وَٱلْمِائَتَيْنِ وَٱلثَّمَٰنِينَ وَٱلْأَرْبَعِينَ قَدْ فَزَعُوا۟ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَمَا أَغْنَاهُمْ شَيْئًا وَلَا تَمَّ لَهُمْ مَرَادٌ وَلَا حَمِدَ مِنْهُمْ“Sesungguhnya kami telah menyaksikan manusia pada tahun seribu dua ratus empat puluh (1248 H) yang tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (melakukan pemberontakan), namun itu tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka, tujuan mereka pun tidak tercapai … ” (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Sekali lagi, bersabarlah dan tunggulah pertolongan-Nya dengan tetap berusaha semaksimal kemapuan kita sebagai manusia. Biarlah Allah yang menyelesaikan dengan cara-Nya … [2]Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah***Unayzah, KSA; Selasa, 18 Safar 1447/ 12 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Sabar menghadapi musibah adalah salah satu bentuk sabar. Bentuk sabar yang lain adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menahan diri dari berbuat maksiat.[2] Disarikan dari kajian Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA., berjudul: “Kaidah Kehidupan Dalam Al-Quran #38: Biar Allah yang Menyelesaikan Masalahmu” di tautan ini.
Daftar Isi ToggleMakna dan hakikat sabarAgar bisa bertahan dalam kesabaranAdab dalam bersabarAdab pertama: ikhlas karena AllahAdab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaBiarlah Allah yang menolongmu dengan cara-Nya“Biarlah Allah yang menolong dan menyelesaikan masalahmu dengan cara-Nya”, sebuah kaidah kehidupan yang diambil dari firman Allah di surah Al-A’raf ayat 137,وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ“Dan telah sempurnalah perkataan (keputusan) Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A’raf: 137)Ayat ini menjelaskan bahwa pada akhirnya, Allah menurunkan pertolongan kepada Bani Israil setelah ratusan tahun mereka ditindas oleh Fir’aun. Kapan pertolongan itu datang? Ketika mereka bersabar, baru Allah turunkan pertolongan-Nya sehingga mereka pun terbebas dari penindasan Fir’aun. Dengan kata lain, bersabar adalah sebab pertolongan Allah, dengan cara Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sebelumnya, Fir’aun menindas Bani Israil selama ratusan tahun. Selama itu pula Allah tidak memberikan keselamatan kepada Bani Israil, karena mereka tidak sabar. Sampai akhirnya Allah utus Nabi Musa ‘alaihis salam untuk mengajarkan kesabaran kepada mereka,قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah … “ (QS. Al-A’raf: 128)Ketika mereka bersabar, Allah pun memberikan solusi dengan cara Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita akan membahas terlebih dahulu makna (hakikat) dan adab sabar.Makna dan hakikat sabarSecara bahasa, sabar bermakna “menahan”. Secara istilah, maknanya adalah menahan diri dari hal-hal yang menunjukkan protes atas keputusan (takdir) Allah. Di antaranya dengan menahan lisan, hati, dan anggota badan yang lain. Jangan sampai hati ini benci, protes, marah kepada Allah atas takdir-Nya. Atau merasa Allah tidak adil dan zalim terhadap dirinya, atau merasa bahwa Allah telah salah dalam keputusannya, juga merasa Allah tidak sayang kepada dirinya.Allah Ta’ala berfirman,وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا“Dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10)Yaitu, ada yang berprasangka baik, dan ada pula yang berprasangka buruk.Dalam ayat yang lain Allah berfirman,وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ” … mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar, sangkaan jahiliah … ” (QS. Ali ‘Imran: 154)Orang yang tertimpa musibah, hendaknya dia menyabarkan hatinya agar tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dia tahan hatinya agar tidak protes kepada Allah, mengapa Allah begini dan begitu, mengapa Allah turunkan musibah bertubi-tubi tanpa henti, mengapa Allah tidak segera menolongnya, dan berbagai prasangka buruk yang lainnya.Dia pun menahan lisan dari kata-kata yang menunjukkan protes. Oleh karena itulah, salah satu dosa besar adalah niyahah (meratapi mayit), yaitu teriak-teriak protes kepada Allah, mengapa Engkau ambil anakku (misalnya), dan seterusnya. Sedih dan menangis itu boleh, namun ketika berubah menjadi protes dalam bentuk niyahah, maka itu menjadi dosa besar.Demikian pula menahan anggota tubuh dari perbuatan yang menunjukkan sikap protes atas takdir Allah, misalnya dengan memukulkan tangan ke pipi, atau membentur-benturkan kepala, menjambak rambut, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk protes terhadap takdir dan keputusan Allah. [1]Agar bisa bertahan dalam kesabaranBanyak sebab yang bisa membuat kita bertahan dalam kesadaran. Di antaranya dengan meyakini bahwa Allah memiliki hikmah di balik semua musibah yang menimpa kita. Terkadang, Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba dalam bentuk musibah. Musibah itu adalah cara Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba. Contohnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Nabi Yusuf dibawa pergi oleh kakak-kakaknya, dilemparkan ke dalam sumur, lalu dijual menjadi budak, dipisahkan dari ayah yang sangat dia cintai, lalu musibah dipenjara. Beliau mengalami musibah bertubi-tubi itu sebelum akhirnya menjadi bangsawan.Terkadang Allah memberikan nikmat berupa ditimpakan musibah yang kecil (ringan) agar terhindar dari musibah yang jauh lebih berat. Misalnya, orang yang ketinggalan pesawat, namun ternyata pesawat itu kemudian mengalami kecelakaan. Dia tertimpa musibah kecil (yaitu hilangnya uang untuk beli tiket), namun dia terhindar dari musibah yang jauh lebih besar.Contoh lainnya, dengan musibah, Allah selamatkan dia dari penyakit hati berupa ujub, sombong, dan lupa diri. Bayangkan jika ada orang yang tidak pernah gagal, maka bisa jadi dia tertimpa penyakit hati tersebut. Namun ketika sesekali dia gagal, dia pun ingat kepada Allah dan kembali mendekat kepada-Nya. Selain itu, musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa-dosa kita, ketika istigfar dan tobat kita yang tentu tidak sempurna dan banyak kekurangan.Baca juga: Fawaid Seputar Surat Al IkhlashAdab dalam bersabarAda dua adab dalam bersabar:Adab pertama: ikhlas karena AllahSebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya … “ (QS. Ar-Ra’du: 22)Jadi, tidak perlu menyampaikan dan mengumumkan kepada orang lain bahwa dia bersabar. Karena dia bersabar bukan untuk dipuji.Allah Ta’ala berfirman memuji kaum Muhajirin,لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)Adab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaAllah Ta’ala berfirman,وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلاَّ بِاللّهِ“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl: 127)Maka janganlah pede dengan diri kita sendiri. Mohonlah kepada Allah agar Allah memberikan kita kesabaran. Ketika ada masalah di depan kita, kita memohon kepada Allah agar diberikan kesabaran.Oleh karena itulah, ketika terkena musibah, kita ucapkan,إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali.”Di antaranya kita juga ucapkan,ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ“Segala puji bagi Allah atas semua keadaan.”Biarlah Allah yang menolongmu dengan cara-NyaSetiap ada masalah, tentu kita berusaha mencari solusi sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia, bukan hanya berpangku tangan. Namun, kita tidak dibebani untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Yang Allah perintahkan dan wajibkan kepada kita adalah untuk bersabar. Kita berbaik sangka kepada Allah, serta tidak tergesa-gesa dan terburu-buru mengharap solusi dan pertolongan Allah dalam waktu singkat.Sabar dan berusaha adalah sebab mendapatkan solusi dan jalan keluar dari Allah Ta’ala. Inilah di antara salah satu keutamaan sabar sebagaimana dalam surah Al-A’raf ayat 137 yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)Berdasarkan ayat di atas, sabar adalah solusi terbaik. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَن يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ صَبَرَ فَاللَّهُ نَاصِرُهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ اللَّهَ وَكِيلُ مَن صَبَرَ وَأَحَالَ ظَالِمَهُ عَلَيْهِ، وَمَن ٱنتَصَرَ بِنَفْسِهِ لِنَفْسِهِ وَكَّلَهُ اللَّهُ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَكَانَ هُوَ ٱلنَّاصِرَ لَهَا، فَأَيْنَ مَنْ نَاصَرَهُ اللَّهُ خَيْرُ ٱلنَّاصِرِينَ، إِلَىٰ مَنْ نَاصَرَهُ نَفْسُهُ أَعْجَزُ ٱلنَّاصِرِينَ وَأَضْعَفُهُ“Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia bersabar, maka Allah pasti akan menolongnya. Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang yang bersabar, dan Dia akan membalikkan keadaan orang yang zalim atas dirinya sendiri. Barang siapa yang menolong dirinya sendiri, maka Allah menyerahkan urusannya kepada dirinya, sehingga dialah yang menolong dirinya sendiri. Maka, di manakah orang yang ditolong Allah -sedangkan Dia adalah sebaik-baik penolong-, dibandingkan dengan orang yang hanya ditolong oleh dirinya sendiri, yang justru merupakan penolong yang paling lemah dan paling tidak berdaya?” (Qa’idah fi Ash-Shabr, 1: 101)Oleh karena itu, ketika sedang mendapatkan masalah dan musibah, kita tetap berusaha sebatas kemampuan kita sebagai manusia, namun jangan hilangkan kesabaran dari diri kita. Kita bersabar, terus meminta kepada Allah, dan yakinlah bahwa Allah yang akan mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah kita dengan cara Allah sendiri.Ketika menjelaskan surah Al-A’raf ayat 137 di atas, Al-Alusi rahimahullah menyebutkan atsar dari Hasan Al-Bashri rahimahullah,لَوْ أَنَّ ٱلنَّاسَ إِذَا ٱبْتُلُوا۟ مِن قَبْلِ سُلْطَٰنِهِم بِشَىْءٍ صَبَرُوا۟ وَدَعَوُا۟ ٱللَّهَ تَعَالَىٰ لَمْ يَلَبَثُوا۟ أَنْ يَرْفَعَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ ذَٰلِكَ عَنْهُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ يَفْزَعُونَ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَيُوَكِّلُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلَا هَٰذِهِ ٱلْآيَةَ“Seandainya manusia apabila diuji oleh penguasa mereka dengan suatu perkara (yaitu penguasa yang zalim), mereka bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Tinggi, niscaya tidak lama kemudian Allah Yang Maha Tinggi akan mengangkat perkara (kezaliman) itu dari mereka. Namun, mereka justru tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (yaitu melakukan pemberontakan), lalu menyerahkan urusan kepada pedang itu.” Kemudian beliau membaca ayat ini. (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Al-Alusi rahimahullah berkata,قَدْ شَاهَدْنَا ٱلنَّاسَ سَنَةَ ٱلْأَلْفِ وَٱلْمِائَتَيْنِ وَٱلثَّمَٰنِينَ وَٱلْأَرْبَعِينَ قَدْ فَزَعُوا۟ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَمَا أَغْنَاهُمْ شَيْئًا وَلَا تَمَّ لَهُمْ مَرَادٌ وَلَا حَمِدَ مِنْهُمْ“Sesungguhnya kami telah menyaksikan manusia pada tahun seribu dua ratus empat puluh (1248 H) yang tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (melakukan pemberontakan), namun itu tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka, tujuan mereka pun tidak tercapai … ” (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Sekali lagi, bersabarlah dan tunggulah pertolongan-Nya dengan tetap berusaha semaksimal kemapuan kita sebagai manusia. Biarlah Allah yang menyelesaikan dengan cara-Nya … [2]Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah***Unayzah, KSA; Selasa, 18 Safar 1447/ 12 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Sabar menghadapi musibah adalah salah satu bentuk sabar. Bentuk sabar yang lain adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menahan diri dari berbuat maksiat.[2] Disarikan dari kajian Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA., berjudul: “Kaidah Kehidupan Dalam Al-Quran #38: Biar Allah yang Menyelesaikan Masalahmu” di tautan ini.


Daftar Isi ToggleMakna dan hakikat sabarAgar bisa bertahan dalam kesabaranAdab dalam bersabarAdab pertama: ikhlas karena AllahAdab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaBiarlah Allah yang menolongmu dengan cara-Nya“Biarlah Allah yang menolong dan menyelesaikan masalahmu dengan cara-Nya”, sebuah kaidah kehidupan yang diambil dari firman Allah di surah Al-A’raf ayat 137,وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ“Dan telah sempurnalah perkataan (keputusan) Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A’raf: 137)Ayat ini menjelaskan bahwa pada akhirnya, Allah menurunkan pertolongan kepada Bani Israil setelah ratusan tahun mereka ditindas oleh Fir’aun. Kapan pertolongan itu datang? Ketika mereka bersabar, baru Allah turunkan pertolongan-Nya sehingga mereka pun terbebas dari penindasan Fir’aun. Dengan kata lain, bersabar adalah sebab pertolongan Allah, dengan cara Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sebelumnya, Fir’aun menindas Bani Israil selama ratusan tahun. Selama itu pula Allah tidak memberikan keselamatan kepada Bani Israil, karena mereka tidak sabar. Sampai akhirnya Allah utus Nabi Musa ‘alaihis salam untuk mengajarkan kesabaran kepada mereka,قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah … “ (QS. Al-A’raf: 128)Ketika mereka bersabar, Allah pun memberikan solusi dengan cara Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita akan membahas terlebih dahulu makna (hakikat) dan adab sabar.Makna dan hakikat sabarSecara bahasa, sabar bermakna “menahan”. Secara istilah, maknanya adalah menahan diri dari hal-hal yang menunjukkan protes atas keputusan (takdir) Allah. Di antaranya dengan menahan lisan, hati, dan anggota badan yang lain. Jangan sampai hati ini benci, protes, marah kepada Allah atas takdir-Nya. Atau merasa Allah tidak adil dan zalim terhadap dirinya, atau merasa bahwa Allah telah salah dalam keputusannya, juga merasa Allah tidak sayang kepada dirinya.Allah Ta’ala berfirman,وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا“Dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10)Yaitu, ada yang berprasangka baik, dan ada pula yang berprasangka buruk.Dalam ayat yang lain Allah berfirman,وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ” … mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar, sangkaan jahiliah … ” (QS. Ali ‘Imran: 154)Orang yang tertimpa musibah, hendaknya dia menyabarkan hatinya agar tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dia tahan hatinya agar tidak protes kepada Allah, mengapa Allah begini dan begitu, mengapa Allah turunkan musibah bertubi-tubi tanpa henti, mengapa Allah tidak segera menolongnya, dan berbagai prasangka buruk yang lainnya.Dia pun menahan lisan dari kata-kata yang menunjukkan protes. Oleh karena itulah, salah satu dosa besar adalah niyahah (meratapi mayit), yaitu teriak-teriak protes kepada Allah, mengapa Engkau ambil anakku (misalnya), dan seterusnya. Sedih dan menangis itu boleh, namun ketika berubah menjadi protes dalam bentuk niyahah, maka itu menjadi dosa besar.Demikian pula menahan anggota tubuh dari perbuatan yang menunjukkan sikap protes atas takdir Allah, misalnya dengan memukulkan tangan ke pipi, atau membentur-benturkan kepala, menjambak rambut, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk protes terhadap takdir dan keputusan Allah. [1]Agar bisa bertahan dalam kesabaranBanyak sebab yang bisa membuat kita bertahan dalam kesadaran. Di antaranya dengan meyakini bahwa Allah memiliki hikmah di balik semua musibah yang menimpa kita. Terkadang, Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba dalam bentuk musibah. Musibah itu adalah cara Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba. Contohnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Nabi Yusuf dibawa pergi oleh kakak-kakaknya, dilemparkan ke dalam sumur, lalu dijual menjadi budak, dipisahkan dari ayah yang sangat dia cintai, lalu musibah dipenjara. Beliau mengalami musibah bertubi-tubi itu sebelum akhirnya menjadi bangsawan.Terkadang Allah memberikan nikmat berupa ditimpakan musibah yang kecil (ringan) agar terhindar dari musibah yang jauh lebih berat. Misalnya, orang yang ketinggalan pesawat, namun ternyata pesawat itu kemudian mengalami kecelakaan. Dia tertimpa musibah kecil (yaitu hilangnya uang untuk beli tiket), namun dia terhindar dari musibah yang jauh lebih besar.Contoh lainnya, dengan musibah, Allah selamatkan dia dari penyakit hati berupa ujub, sombong, dan lupa diri. Bayangkan jika ada orang yang tidak pernah gagal, maka bisa jadi dia tertimpa penyakit hati tersebut. Namun ketika sesekali dia gagal, dia pun ingat kepada Allah dan kembali mendekat kepada-Nya. Selain itu, musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa-dosa kita, ketika istigfar dan tobat kita yang tentu tidak sempurna dan banyak kekurangan.Baca juga: Fawaid Seputar Surat Al IkhlashAdab dalam bersabarAda dua adab dalam bersabar:Adab pertama: ikhlas karena AllahSebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya … “ (QS. Ar-Ra’du: 22)Jadi, tidak perlu menyampaikan dan mengumumkan kepada orang lain bahwa dia bersabar. Karena dia bersabar bukan untuk dipuji.Allah Ta’ala berfirman memuji kaum Muhajirin,لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)Adab kedua: meyakini bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bersabar kecuali Allah sajaAllah Ta’ala berfirman,وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلاَّ بِاللّهِ“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl: 127)Maka janganlah pede dengan diri kita sendiri. Mohonlah kepada Allah agar Allah memberikan kita kesabaran. Ketika ada masalah di depan kita, kita memohon kepada Allah agar diberikan kesabaran.Oleh karena itulah, ketika terkena musibah, kita ucapkan,إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali.”Di antaranya kita juga ucapkan,ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ“Segala puji bagi Allah atas semua keadaan.”Biarlah Allah yang menolongmu dengan cara-NyaSetiap ada masalah, tentu kita berusaha mencari solusi sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia, bukan hanya berpangku tangan. Namun, kita tidak dibebani untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Yang Allah perintahkan dan wajibkan kepada kita adalah untuk bersabar. Kita berbaik sangka kepada Allah, serta tidak tergesa-gesa dan terburu-buru mengharap solusi dan pertolongan Allah dalam waktu singkat.Sabar dan berusaha adalah sebab mendapatkan solusi dan jalan keluar dari Allah Ta’ala. Inilah di antara salah satu keutamaan sabar sebagaimana dalam surah Al-A’raf ayat 137 yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)Berdasarkan ayat di atas, sabar adalah solusi terbaik. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَن يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ صَبَرَ فَاللَّهُ نَاصِرُهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ اللَّهَ وَكِيلُ مَن صَبَرَ وَأَحَالَ ظَالِمَهُ عَلَيْهِ، وَمَن ٱنتَصَرَ بِنَفْسِهِ لِنَفْسِهِ وَكَّلَهُ اللَّهُ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَكَانَ هُوَ ٱلنَّاصِرَ لَهَا، فَأَيْنَ مَنْ نَاصَرَهُ اللَّهُ خَيْرُ ٱلنَّاصِرِينَ، إِلَىٰ مَنْ نَاصَرَهُ نَفْسُهُ أَعْجَزُ ٱلنَّاصِرِينَ وَأَضْعَفُهُ“Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia bersabar, maka Allah pasti akan menolongnya. Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang yang bersabar, dan Dia akan membalikkan keadaan orang yang zalim atas dirinya sendiri. Barang siapa yang menolong dirinya sendiri, maka Allah menyerahkan urusannya kepada dirinya, sehingga dialah yang menolong dirinya sendiri. Maka, di manakah orang yang ditolong Allah -sedangkan Dia adalah sebaik-baik penolong-, dibandingkan dengan orang yang hanya ditolong oleh dirinya sendiri, yang justru merupakan penolong yang paling lemah dan paling tidak berdaya?” (Qa’idah fi Ash-Shabr, 1: 101)Oleh karena itu, ketika sedang mendapatkan masalah dan musibah, kita tetap berusaha sebatas kemampuan kita sebagai manusia, namun jangan hilangkan kesabaran dari diri kita. Kita bersabar, terus meminta kepada Allah, dan yakinlah bahwa Allah yang akan mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah kita dengan cara Allah sendiri.Ketika menjelaskan surah Al-A’raf ayat 137 di atas, Al-Alusi rahimahullah menyebutkan atsar dari Hasan Al-Bashri rahimahullah,لَوْ أَنَّ ٱلنَّاسَ إِذَا ٱبْتُلُوا۟ مِن قَبْلِ سُلْطَٰنِهِم بِشَىْءٍ صَبَرُوا۟ وَدَعَوُا۟ ٱللَّهَ تَعَالَىٰ لَمْ يَلَبَثُوا۟ أَنْ يَرْفَعَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ ذَٰلِكَ عَنْهُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ يَفْزَعُونَ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَيُوَكِّلُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلَا هَٰذِهِ ٱلْآيَةَ“Seandainya manusia apabila diuji oleh penguasa mereka dengan suatu perkara (yaitu penguasa yang zalim), mereka bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Tinggi, niscaya tidak lama kemudian Allah Yang Maha Tinggi akan mengangkat perkara (kezaliman) itu dari mereka. Namun, mereka justru tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (yaitu melakukan pemberontakan), lalu menyerahkan urusan kepada pedang itu.” Kemudian beliau membaca ayat ini. (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Al-Alusi rahimahullah berkata,قَدْ شَاهَدْنَا ٱلنَّاسَ سَنَةَ ٱلْأَلْفِ وَٱلْمِائَتَيْنِ وَٱلثَّمَٰنِينَ وَٱلْأَرْبَعِينَ قَدْ فَزَعُوا۟ إِلَى ٱلسَّيْفِ فَمَا أَغْنَاهُمْ شَيْئًا وَلَا تَمَّ لَهُمْ مَرَادٌ وَلَا حَمِدَ مِنْهُمْ“Sesungguhnya kami telah menyaksikan manusia pada tahun seribu dua ratus empat puluh (1248 H) yang tergesa-gesa (tidak sabar) dan lari kepada pedang (melakukan pemberontakan), namun itu tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka, tujuan mereka pun tidak tercapai … ” (Tafsir Al-Alusi: Ruuhul Ma’ani, 5: 38)Sekali lagi, bersabarlah dan tunggulah pertolongan-Nya dengan tetap berusaha semaksimal kemapuan kita sebagai manusia. Biarlah Allah yang menyelesaikan dengan cara-Nya … [2]Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah***Unayzah, KSA; Selasa, 18 Safar 1447/ 12 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Sabar menghadapi musibah adalah salah satu bentuk sabar. Bentuk sabar yang lain adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menahan diri dari berbuat maksiat.[2] Disarikan dari kajian Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA., berjudul: “Kaidah Kehidupan Dalam Al-Quran #38: Biar Allah yang Menyelesaikan Masalahmu” di tautan ini.

Fasik, Fajir, dan Maksiat: Apa Bedanya?

Dalam Islam, setiap istilah yang berkaitan dengan dosa memiliki makna khusus dan tingkatan yang berbeda. Tiga istilah yang sering disebut adalah fasik, fujur, dan maksiat. Sekilas terlihat mirip, tetapi para ulama menjelaskan adanya perbedaan mendasar di antara ketiganya. Memahami perbedaan ini penting agar seorang muslim lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa, khususnya dosa besar.  Daftar Isi tutup 1. Fasiq (الفسق): 2. Fujūr (الفجور): 3. Penjelasan Ulama 4. Catatan Penting 5. Kesimpulan Fasiq (الفسق):Kata ini lebih sering digunakan untuk dosa-dosa besar, seperti mencuri, memakan riba, berzina, dan sejenisnya.Fujūr (الفجور):Kata ini juga banyak dipakai untuk dosa-dosa besar. Namun, penggunaannya seringkali lebih khusus, yaitu pada mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, bersikap meremehkan, dan larut di dalamnya. Istilah ini juga kerap dipakai untuk dosa-dosa yang sangat keji, yang bahkan orang berakal sekalipun—meskipun ia bukan seorang muslim—akan menganggapnya menjijikkan. Misalnya perbuatan homoseksual, zina dengan mahram, tuduhan dusta (fitnah keji), menyiksa dengan kejam dalam pembunuhan, serta sumpah palsu yang berat (al-yamīn al-ghamūs), dan semacamnya.Dengan demikian, fujūr lebih keji daripada fisq, sedangkan istilah ma‘ṣiyah (معصية / maksiat) menempati tingkat yang lebih rendah dibanding keduanya.Penjelasan UlamaAbu Hilāl al-‘Askarī rahimahullah berkata:“Perbedaan antara al-fisq dan al-fujūr adalah:Al-fisq berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan dosa besar.Sedangkan al-fujūr bermakna larut dalam kemaksiatan dan melebar di dalamnya. Asalnya dari ucapanmu: أَفْجَرْتُ السَّكْرَ (aku membolongi bendungan), jika engkau membuat lubang yang lebar sehingga air pun keluar deras dari semua arah. Karena itu, tidaklah pantas orang yang hanya melakukan dosa kecil disebut fājir (pelaku fujūr). Sebagaimana tidak pantas pula jika seseorang hanya membuat lubang kecil pada bendungan lalu dikatakan: ia telah ‘memecahkan’ bendungan.”Kemudian, istilah fujūr makin sering digunakan sehingga menjadi khusus bagi dosa zina, homoseksual, dan sejenisnya.” (Al-Furūq, hlm. 231).Abu al-Makārim al-Khuwārizmī (w. 610 H) rahimahullah berkata:“Fujūr, fisq, dan ‘iṣyān (maksiat) memiliki kedekatan makna. Seakan-akan seorang fājir adalah orang yang membuka pintu maksiat lalu meluas di dalamnya. Dalam doa qunūt terdapat bacaan: wa natruka man yafjuruk—maksudnya: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351).Catatan PentingSemua keterangan di atas tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah fisq, fujūr, dan maksiat secara saling menggantikan. Perbedaan yang telah dijelaskan tadi baru berlaku ketika ketiga istilah tersebut disebutkan bersamaan, atau ketika digunakan dengan pengertian khusus sesuai istilah para ulama.Namun, bila disebutkan secara terpisah, maka ketiganya bisa saja dipakai untuk makna yang sama. Contoh, perbuatan homoseksual bisa disebut ma‘ṣiyah, kabīrah (dosa besar), maupun fujūr. Abu al-Baqā’ al-Kaffawī rahimahullah berkata: “Seorang fājir bisa berarti seorang kafir atau seorang fāsiq.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).Adapun dosa-dosa kecil biasanya tidak disebut dengan istilah fisq atau fujūr. Karena itu, penyematan kata fisq atau fujūr menjadi tanda bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir (1/8).Meski begitu, ada beberapa riwayat yang memperluas makna fisq dan fujūr hingga mencakup seluruh bentuk maksiat.Contohnya, Abu al-Makārim al-Khuwārizmī رحمه الله mengatakan tentang doa qunūt: “Dalam doa qunūt: wa natruka man yafjuruk—maksudnya adalah: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351). Hal ini juga dikatakan oleh al-‘Ainī dalam ‘Umdat al-Qārī (14/307).Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Fujūr adalah istilah umum bagi siapa pun yang terang-terangan dalam kemaksiatan, atau ucapan keji yang memperlihatkan kebusukan hati si pengucap.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 15/286).Abu al-Baqā’ al-Kaffawī رحمه الله juga menuturkan: “Fisq dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah makna ‘perbuatan dosa’, seperti dalam firman Allah:وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ(tidak ada kefasikan dan tidak ada perdebatan dalam haji) [QS. Al-Baqarah: 197]. Semua kembali kepada akar bahasa yang berarti ‘keluar’. Misalnya, mereka mengatakan: fasaqati ar-rutbah ‘anil-qishr—kurma itu keluar dari kulitnya.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).KesimpulanJika ketiga istilah ini disebutkan bersamaan, maka tingkatan paling keji adalah fujūr, kemudian fisq, lalu ma‘ṣiyah.Jika disebutkan terpisah, maka masing-masing istilah boleh dipakai untuk menggambarkan yang lain.Namun, penggunaan kata fujūr dan fisq untuk menyebut semua bentuk maksiat, termasuk dosa kecil, jarang digunakan.Wallāhu a‘lam.Baca Juga:Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim—- Perjalanan Darush Sholihin – Sekar Kedhaton, 26 Safar 1447 H, 20 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar fajir fasik fujur fusuk maksiat

Fasik, Fajir, dan Maksiat: Apa Bedanya?

Dalam Islam, setiap istilah yang berkaitan dengan dosa memiliki makna khusus dan tingkatan yang berbeda. Tiga istilah yang sering disebut adalah fasik, fujur, dan maksiat. Sekilas terlihat mirip, tetapi para ulama menjelaskan adanya perbedaan mendasar di antara ketiganya. Memahami perbedaan ini penting agar seorang muslim lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa, khususnya dosa besar.  Daftar Isi tutup 1. Fasiq (الفسق): 2. Fujūr (الفجور): 3. Penjelasan Ulama 4. Catatan Penting 5. Kesimpulan Fasiq (الفسق):Kata ini lebih sering digunakan untuk dosa-dosa besar, seperti mencuri, memakan riba, berzina, dan sejenisnya.Fujūr (الفجور):Kata ini juga banyak dipakai untuk dosa-dosa besar. Namun, penggunaannya seringkali lebih khusus, yaitu pada mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, bersikap meremehkan, dan larut di dalamnya. Istilah ini juga kerap dipakai untuk dosa-dosa yang sangat keji, yang bahkan orang berakal sekalipun—meskipun ia bukan seorang muslim—akan menganggapnya menjijikkan. Misalnya perbuatan homoseksual, zina dengan mahram, tuduhan dusta (fitnah keji), menyiksa dengan kejam dalam pembunuhan, serta sumpah palsu yang berat (al-yamīn al-ghamūs), dan semacamnya.Dengan demikian, fujūr lebih keji daripada fisq, sedangkan istilah ma‘ṣiyah (معصية / maksiat) menempati tingkat yang lebih rendah dibanding keduanya.Penjelasan UlamaAbu Hilāl al-‘Askarī rahimahullah berkata:“Perbedaan antara al-fisq dan al-fujūr adalah:Al-fisq berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan dosa besar.Sedangkan al-fujūr bermakna larut dalam kemaksiatan dan melebar di dalamnya. Asalnya dari ucapanmu: أَفْجَرْتُ السَّكْرَ (aku membolongi bendungan), jika engkau membuat lubang yang lebar sehingga air pun keluar deras dari semua arah. Karena itu, tidaklah pantas orang yang hanya melakukan dosa kecil disebut fājir (pelaku fujūr). Sebagaimana tidak pantas pula jika seseorang hanya membuat lubang kecil pada bendungan lalu dikatakan: ia telah ‘memecahkan’ bendungan.”Kemudian, istilah fujūr makin sering digunakan sehingga menjadi khusus bagi dosa zina, homoseksual, dan sejenisnya.” (Al-Furūq, hlm. 231).Abu al-Makārim al-Khuwārizmī (w. 610 H) rahimahullah berkata:“Fujūr, fisq, dan ‘iṣyān (maksiat) memiliki kedekatan makna. Seakan-akan seorang fājir adalah orang yang membuka pintu maksiat lalu meluas di dalamnya. Dalam doa qunūt terdapat bacaan: wa natruka man yafjuruk—maksudnya: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351).Catatan PentingSemua keterangan di atas tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah fisq, fujūr, dan maksiat secara saling menggantikan. Perbedaan yang telah dijelaskan tadi baru berlaku ketika ketiga istilah tersebut disebutkan bersamaan, atau ketika digunakan dengan pengertian khusus sesuai istilah para ulama.Namun, bila disebutkan secara terpisah, maka ketiganya bisa saja dipakai untuk makna yang sama. Contoh, perbuatan homoseksual bisa disebut ma‘ṣiyah, kabīrah (dosa besar), maupun fujūr. Abu al-Baqā’ al-Kaffawī rahimahullah berkata: “Seorang fājir bisa berarti seorang kafir atau seorang fāsiq.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).Adapun dosa-dosa kecil biasanya tidak disebut dengan istilah fisq atau fujūr. Karena itu, penyematan kata fisq atau fujūr menjadi tanda bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir (1/8).Meski begitu, ada beberapa riwayat yang memperluas makna fisq dan fujūr hingga mencakup seluruh bentuk maksiat.Contohnya, Abu al-Makārim al-Khuwārizmī رحمه الله mengatakan tentang doa qunūt: “Dalam doa qunūt: wa natruka man yafjuruk—maksudnya adalah: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351). Hal ini juga dikatakan oleh al-‘Ainī dalam ‘Umdat al-Qārī (14/307).Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Fujūr adalah istilah umum bagi siapa pun yang terang-terangan dalam kemaksiatan, atau ucapan keji yang memperlihatkan kebusukan hati si pengucap.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 15/286).Abu al-Baqā’ al-Kaffawī رحمه الله juga menuturkan: “Fisq dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah makna ‘perbuatan dosa’, seperti dalam firman Allah:وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ(tidak ada kefasikan dan tidak ada perdebatan dalam haji) [QS. Al-Baqarah: 197]. Semua kembali kepada akar bahasa yang berarti ‘keluar’. Misalnya, mereka mengatakan: fasaqati ar-rutbah ‘anil-qishr—kurma itu keluar dari kulitnya.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).KesimpulanJika ketiga istilah ini disebutkan bersamaan, maka tingkatan paling keji adalah fujūr, kemudian fisq, lalu ma‘ṣiyah.Jika disebutkan terpisah, maka masing-masing istilah boleh dipakai untuk menggambarkan yang lain.Namun, penggunaan kata fujūr dan fisq untuk menyebut semua bentuk maksiat, termasuk dosa kecil, jarang digunakan.Wallāhu a‘lam.Baca Juga:Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim—- Perjalanan Darush Sholihin – Sekar Kedhaton, 26 Safar 1447 H, 20 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar fajir fasik fujur fusuk maksiat
Dalam Islam, setiap istilah yang berkaitan dengan dosa memiliki makna khusus dan tingkatan yang berbeda. Tiga istilah yang sering disebut adalah fasik, fujur, dan maksiat. Sekilas terlihat mirip, tetapi para ulama menjelaskan adanya perbedaan mendasar di antara ketiganya. Memahami perbedaan ini penting agar seorang muslim lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa, khususnya dosa besar.  Daftar Isi tutup 1. Fasiq (الفسق): 2. Fujūr (الفجور): 3. Penjelasan Ulama 4. Catatan Penting 5. Kesimpulan Fasiq (الفسق):Kata ini lebih sering digunakan untuk dosa-dosa besar, seperti mencuri, memakan riba, berzina, dan sejenisnya.Fujūr (الفجور):Kata ini juga banyak dipakai untuk dosa-dosa besar. Namun, penggunaannya seringkali lebih khusus, yaitu pada mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, bersikap meremehkan, dan larut di dalamnya. Istilah ini juga kerap dipakai untuk dosa-dosa yang sangat keji, yang bahkan orang berakal sekalipun—meskipun ia bukan seorang muslim—akan menganggapnya menjijikkan. Misalnya perbuatan homoseksual, zina dengan mahram, tuduhan dusta (fitnah keji), menyiksa dengan kejam dalam pembunuhan, serta sumpah palsu yang berat (al-yamīn al-ghamūs), dan semacamnya.Dengan demikian, fujūr lebih keji daripada fisq, sedangkan istilah ma‘ṣiyah (معصية / maksiat) menempati tingkat yang lebih rendah dibanding keduanya.Penjelasan UlamaAbu Hilāl al-‘Askarī rahimahullah berkata:“Perbedaan antara al-fisq dan al-fujūr adalah:Al-fisq berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan dosa besar.Sedangkan al-fujūr bermakna larut dalam kemaksiatan dan melebar di dalamnya. Asalnya dari ucapanmu: أَفْجَرْتُ السَّكْرَ (aku membolongi bendungan), jika engkau membuat lubang yang lebar sehingga air pun keluar deras dari semua arah. Karena itu, tidaklah pantas orang yang hanya melakukan dosa kecil disebut fājir (pelaku fujūr). Sebagaimana tidak pantas pula jika seseorang hanya membuat lubang kecil pada bendungan lalu dikatakan: ia telah ‘memecahkan’ bendungan.”Kemudian, istilah fujūr makin sering digunakan sehingga menjadi khusus bagi dosa zina, homoseksual, dan sejenisnya.” (Al-Furūq, hlm. 231).Abu al-Makārim al-Khuwārizmī (w. 610 H) rahimahullah berkata:“Fujūr, fisq, dan ‘iṣyān (maksiat) memiliki kedekatan makna. Seakan-akan seorang fājir adalah orang yang membuka pintu maksiat lalu meluas di dalamnya. Dalam doa qunūt terdapat bacaan: wa natruka man yafjuruk—maksudnya: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351).Catatan PentingSemua keterangan di atas tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah fisq, fujūr, dan maksiat secara saling menggantikan. Perbedaan yang telah dijelaskan tadi baru berlaku ketika ketiga istilah tersebut disebutkan bersamaan, atau ketika digunakan dengan pengertian khusus sesuai istilah para ulama.Namun, bila disebutkan secara terpisah, maka ketiganya bisa saja dipakai untuk makna yang sama. Contoh, perbuatan homoseksual bisa disebut ma‘ṣiyah, kabīrah (dosa besar), maupun fujūr. Abu al-Baqā’ al-Kaffawī rahimahullah berkata: “Seorang fājir bisa berarti seorang kafir atau seorang fāsiq.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).Adapun dosa-dosa kecil biasanya tidak disebut dengan istilah fisq atau fujūr. Karena itu, penyematan kata fisq atau fujūr menjadi tanda bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir (1/8).Meski begitu, ada beberapa riwayat yang memperluas makna fisq dan fujūr hingga mencakup seluruh bentuk maksiat.Contohnya, Abu al-Makārim al-Khuwārizmī رحمه الله mengatakan tentang doa qunūt: “Dalam doa qunūt: wa natruka man yafjuruk—maksudnya adalah: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351). Hal ini juga dikatakan oleh al-‘Ainī dalam ‘Umdat al-Qārī (14/307).Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Fujūr adalah istilah umum bagi siapa pun yang terang-terangan dalam kemaksiatan, atau ucapan keji yang memperlihatkan kebusukan hati si pengucap.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 15/286).Abu al-Baqā’ al-Kaffawī رحمه الله juga menuturkan: “Fisq dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah makna ‘perbuatan dosa’, seperti dalam firman Allah:وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ(tidak ada kefasikan dan tidak ada perdebatan dalam haji) [QS. Al-Baqarah: 197]. Semua kembali kepada akar bahasa yang berarti ‘keluar’. Misalnya, mereka mengatakan: fasaqati ar-rutbah ‘anil-qishr—kurma itu keluar dari kulitnya.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).KesimpulanJika ketiga istilah ini disebutkan bersamaan, maka tingkatan paling keji adalah fujūr, kemudian fisq, lalu ma‘ṣiyah.Jika disebutkan terpisah, maka masing-masing istilah boleh dipakai untuk menggambarkan yang lain.Namun, penggunaan kata fujūr dan fisq untuk menyebut semua bentuk maksiat, termasuk dosa kecil, jarang digunakan.Wallāhu a‘lam.Baca Juga:Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim—- Perjalanan Darush Sholihin – Sekar Kedhaton, 26 Safar 1447 H, 20 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar fajir fasik fujur fusuk maksiat


Dalam Islam, setiap istilah yang berkaitan dengan dosa memiliki makna khusus dan tingkatan yang berbeda. Tiga istilah yang sering disebut adalah fasik, fujur, dan maksiat. Sekilas terlihat mirip, tetapi para ulama menjelaskan adanya perbedaan mendasar di antara ketiganya. Memahami perbedaan ini penting agar seorang muslim lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa, khususnya dosa besar.  Daftar Isi tutup 1. Fasiq (الفسق): 2. Fujūr (الفجور): 3. Penjelasan Ulama 4. Catatan Penting 5. Kesimpulan Fasiq (الفسق):Kata ini lebih sering digunakan untuk dosa-dosa besar, seperti mencuri, memakan riba, berzina, dan sejenisnya.Fujūr (الفجور):Kata ini juga banyak dipakai untuk dosa-dosa besar. Namun, penggunaannya seringkali lebih khusus, yaitu pada mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, bersikap meremehkan, dan larut di dalamnya. Istilah ini juga kerap dipakai untuk dosa-dosa yang sangat keji, yang bahkan orang berakal sekalipun—meskipun ia bukan seorang muslim—akan menganggapnya menjijikkan. Misalnya perbuatan homoseksual, zina dengan mahram, tuduhan dusta (fitnah keji), menyiksa dengan kejam dalam pembunuhan, serta sumpah palsu yang berat (al-yamīn al-ghamūs), dan semacamnya.Dengan demikian, fujūr lebih keji daripada fisq, sedangkan istilah ma‘ṣiyah (معصية / maksiat) menempati tingkat yang lebih rendah dibanding keduanya.Penjelasan UlamaAbu Hilāl al-‘Askarī rahimahullah berkata:“Perbedaan antara al-fisq dan al-fujūr adalah:Al-fisq berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan dosa besar.Sedangkan al-fujūr bermakna larut dalam kemaksiatan dan melebar di dalamnya. Asalnya dari ucapanmu: أَفْجَرْتُ السَّكْرَ (aku membolongi bendungan), jika engkau membuat lubang yang lebar sehingga air pun keluar deras dari semua arah. Karena itu, tidaklah pantas orang yang hanya melakukan dosa kecil disebut fājir (pelaku fujūr). Sebagaimana tidak pantas pula jika seseorang hanya membuat lubang kecil pada bendungan lalu dikatakan: ia telah ‘memecahkan’ bendungan.”Kemudian, istilah fujūr makin sering digunakan sehingga menjadi khusus bagi dosa zina, homoseksual, dan sejenisnya.” (Al-Furūq, hlm. 231).Abu al-Makārim al-Khuwārizmī (w. 610 H) rahimahullah berkata:“Fujūr, fisq, dan ‘iṣyān (maksiat) memiliki kedekatan makna. Seakan-akan seorang fājir adalah orang yang membuka pintu maksiat lalu meluas di dalamnya. Dalam doa qunūt terdapat bacaan: wa natruka man yafjuruk—maksudnya: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351).Catatan PentingSemua keterangan di atas tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah fisq, fujūr, dan maksiat secara saling menggantikan. Perbedaan yang telah dijelaskan tadi baru berlaku ketika ketiga istilah tersebut disebutkan bersamaan, atau ketika digunakan dengan pengertian khusus sesuai istilah para ulama.Namun, bila disebutkan secara terpisah, maka ketiganya bisa saja dipakai untuk makna yang sama. Contoh, perbuatan homoseksual bisa disebut ma‘ṣiyah, kabīrah (dosa besar), maupun fujūr. Abu al-Baqā’ al-Kaffawī rahimahullah berkata: “Seorang fājir bisa berarti seorang kafir atau seorang fāsiq.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).Adapun dosa-dosa kecil biasanya tidak disebut dengan istilah fisq atau fujūr. Karena itu, penyematan kata fisq atau fujūr menjadi tanda bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir (1/8).Meski begitu, ada beberapa riwayat yang memperluas makna fisq dan fujūr hingga mencakup seluruh bentuk maksiat.Contohnya, Abu al-Makārim al-Khuwārizmī رحمه الله mengatakan tentang doa qunūt: “Dalam doa qunūt: wa natruka man yafjuruk—maksudnya adalah: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351). Hal ini juga dikatakan oleh al-‘Ainī dalam ‘Umdat al-Qārī (14/307).Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Fujūr adalah istilah umum bagi siapa pun yang terang-terangan dalam kemaksiatan, atau ucapan keji yang memperlihatkan kebusukan hati si pengucap.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 15/286).Abu al-Baqā’ al-Kaffawī رحمه الله juga menuturkan: “Fisq dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah makna ‘perbuatan dosa’, seperti dalam firman Allah:وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ(tidak ada kefasikan dan tidak ada perdebatan dalam haji) [QS. Al-Baqarah: 197]. Semua kembali kepada akar bahasa yang berarti ‘keluar’. Misalnya, mereka mengatakan: fasaqati ar-rutbah ‘anil-qishr—kurma itu keluar dari kulitnya.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).KesimpulanJika ketiga istilah ini disebutkan bersamaan, maka tingkatan paling keji adalah fujūr, kemudian fisq, lalu ma‘ṣiyah.Jika disebutkan terpisah, maka masing-masing istilah boleh dipakai untuk menggambarkan yang lain.Namun, penggunaan kata fujūr dan fisq untuk menyebut semua bentuk maksiat, termasuk dosa kecil, jarang digunakan.Wallāhu a‘lam.Baca Juga:Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim—- Perjalanan Darush Sholihin – Sekar Kedhaton, 26 Safar 1447 H, 20 Agustus 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar fajir fasik fujur fusuk maksiat

Doa Rahasia Agar Selamat dari Lilitan Utang – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir, “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari utang dan dosa.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering memohon perlindungan dari utang?” Adapun (المَغْرَمُ) artinya adalah utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta. Jika berjanji, ia mengingkari.” Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitabnya Ash-Shahih. Perhatikanlah, wahai saudaraku sesama muslim, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari utang dalam shalatnya.Beliau berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari utang…” “dan dari dosa,” yaitu kemaksiatan. Dalam Shahih Al-Bukhari juga, diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dahulu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku sering mendengar beliau membaca doa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dan dari lilitan utang serta tekanan manusia.’” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memohon perlindungan dari lilitan utang, yakni dari utang yang menumpuk hingga melilit seseorang. Karena ini sangat menyakitkan secara batin. Bahkan terkadang menyeret kepada maksiat-maksiat lain, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta, karena tekanan utang itu membuatnya terdorong untuk berbohong. “Jika berjanji, ia mengingkari.” Yakni utang menyebabkannya mengingkari janji. Maka utang bisa menjadi sebab terjerumusnya seseorang ke dalam maksiat-maksiat lainnya. yang akhirnya dilakukannya. Karena itu, wahai saudara-saudara, hendaklah kita meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta‘ala dari utang, dengan membaca doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kepengecutan, kebakhilan, lilitan utang, dan kezaliman orang lain.” Atau doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Namun yang lebih baik, kita membaca keduanya sekaligus.Akan tetapi, doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang” lebih sering dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat-shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir sebelum salam. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي صَلَاتِهِ أَيْ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ وَمِنَ الْمَأْثَمِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ وَالْمَغْرَمُ هُوَ الدَّيْنُ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ فَانْظُرْ يَا أَخِي الْمُسْلِمَ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى فِي صَلَاتِهِ مِنَ الدَّيْنِ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ يَعْنِي مِنَ الدَّيْنِ وَمِنَ الْمَأْثَم أَيْ مِنَ الْمَعَاصِي وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ مِنْ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَمِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَمِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَمِنْ غَلَبَةِ الدَّينِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ مِنْ أَنْ تَتَرَاكَمَ الدُّيُونُ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَغْلِبُهُ الدَّيْنُ فَإِنَّ هَذَا مُؤْلِمٌ لِلْإِنْسَانِ نَفْسِيًّا وَرُبَّمَا يَجُرُّ مَعَهُ مَعَاصٍ أُخْرَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ أَيْ أَنَّ هَذَا الدَّيْنَ يَتَسَبَّبُ فِي أَنْ يَضْغَطَ عَلَيْهِ فِي أَنْ يَكْذِبَ فِي الْحَدِيثِ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَنْ يَتَسَبَّبَ هَذَا الدَّيْنُ فِي أَنْ يُخْلِفَ الْوَعْدَ فَهَذَا الدَّيْنُ رُبَّمَا يَتَسَبَّبُ فِي مَعَاصٍ أُخْرَى يَقَعُ فِيْهَا الْإِنْسَانُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَنَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَقْتَدِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدَّيْنِ أَنْ نَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَغَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ أَوْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ وَالْأَحْسَنُ أَنْ نَجْمَعَ بَيْنَهُمَا لَكِنَّ حَدِيثَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ هَذَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُهُ غَالِبًا فِي صَلَوَاتِهِ فِى التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ قُبَيْلَ السَّلَامِ

Doa Rahasia Agar Selamat dari Lilitan Utang – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir, “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari utang dan dosa.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering memohon perlindungan dari utang?” Adapun (المَغْرَمُ) artinya adalah utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta. Jika berjanji, ia mengingkari.” Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitabnya Ash-Shahih. Perhatikanlah, wahai saudaraku sesama muslim, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari utang dalam shalatnya.Beliau berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari utang…” “dan dari dosa,” yaitu kemaksiatan. Dalam Shahih Al-Bukhari juga, diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dahulu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku sering mendengar beliau membaca doa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dan dari lilitan utang serta tekanan manusia.’” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memohon perlindungan dari lilitan utang, yakni dari utang yang menumpuk hingga melilit seseorang. Karena ini sangat menyakitkan secara batin. Bahkan terkadang menyeret kepada maksiat-maksiat lain, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta, karena tekanan utang itu membuatnya terdorong untuk berbohong. “Jika berjanji, ia mengingkari.” Yakni utang menyebabkannya mengingkari janji. Maka utang bisa menjadi sebab terjerumusnya seseorang ke dalam maksiat-maksiat lainnya. yang akhirnya dilakukannya. Karena itu, wahai saudara-saudara, hendaklah kita meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta‘ala dari utang, dengan membaca doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kepengecutan, kebakhilan, lilitan utang, dan kezaliman orang lain.” Atau doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Namun yang lebih baik, kita membaca keduanya sekaligus.Akan tetapi, doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang” lebih sering dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat-shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir sebelum salam. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي صَلَاتِهِ أَيْ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ وَمِنَ الْمَأْثَمِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ وَالْمَغْرَمُ هُوَ الدَّيْنُ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ فَانْظُرْ يَا أَخِي الْمُسْلِمَ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى فِي صَلَاتِهِ مِنَ الدَّيْنِ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ يَعْنِي مِنَ الدَّيْنِ وَمِنَ الْمَأْثَم أَيْ مِنَ الْمَعَاصِي وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ مِنْ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَمِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَمِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَمِنْ غَلَبَةِ الدَّينِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ مِنْ أَنْ تَتَرَاكَمَ الدُّيُونُ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَغْلِبُهُ الدَّيْنُ فَإِنَّ هَذَا مُؤْلِمٌ لِلْإِنْسَانِ نَفْسِيًّا وَرُبَّمَا يَجُرُّ مَعَهُ مَعَاصٍ أُخْرَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ أَيْ أَنَّ هَذَا الدَّيْنَ يَتَسَبَّبُ فِي أَنْ يَضْغَطَ عَلَيْهِ فِي أَنْ يَكْذِبَ فِي الْحَدِيثِ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَنْ يَتَسَبَّبَ هَذَا الدَّيْنُ فِي أَنْ يُخْلِفَ الْوَعْدَ فَهَذَا الدَّيْنُ رُبَّمَا يَتَسَبَّبُ فِي مَعَاصٍ أُخْرَى يَقَعُ فِيْهَا الْإِنْسَانُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَنَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَقْتَدِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدَّيْنِ أَنْ نَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَغَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ أَوْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ وَالْأَحْسَنُ أَنْ نَجْمَعَ بَيْنَهُمَا لَكِنَّ حَدِيثَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ هَذَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُهُ غَالِبًا فِي صَلَوَاتِهِ فِى التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ قُبَيْلَ السَّلَامِ
Disebutkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir, “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari utang dan dosa.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering memohon perlindungan dari utang?” Adapun (المَغْرَمُ) artinya adalah utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta. Jika berjanji, ia mengingkari.” Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitabnya Ash-Shahih. Perhatikanlah, wahai saudaraku sesama muslim, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari utang dalam shalatnya.Beliau berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari utang…” “dan dari dosa,” yaitu kemaksiatan. Dalam Shahih Al-Bukhari juga, diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dahulu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku sering mendengar beliau membaca doa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dan dari lilitan utang serta tekanan manusia.’” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memohon perlindungan dari lilitan utang, yakni dari utang yang menumpuk hingga melilit seseorang. Karena ini sangat menyakitkan secara batin. Bahkan terkadang menyeret kepada maksiat-maksiat lain, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta, karena tekanan utang itu membuatnya terdorong untuk berbohong. “Jika berjanji, ia mengingkari.” Yakni utang menyebabkannya mengingkari janji. Maka utang bisa menjadi sebab terjerumusnya seseorang ke dalam maksiat-maksiat lainnya. yang akhirnya dilakukannya. Karena itu, wahai saudara-saudara, hendaklah kita meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta‘ala dari utang, dengan membaca doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kepengecutan, kebakhilan, lilitan utang, dan kezaliman orang lain.” Atau doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Namun yang lebih baik, kita membaca keduanya sekaligus.Akan tetapi, doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang” lebih sering dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat-shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir sebelum salam. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي صَلَاتِهِ أَيْ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ وَمِنَ الْمَأْثَمِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ وَالْمَغْرَمُ هُوَ الدَّيْنُ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ فَانْظُرْ يَا أَخِي الْمُسْلِمَ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى فِي صَلَاتِهِ مِنَ الدَّيْنِ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ يَعْنِي مِنَ الدَّيْنِ وَمِنَ الْمَأْثَم أَيْ مِنَ الْمَعَاصِي وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ مِنْ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَمِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَمِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَمِنْ غَلَبَةِ الدَّينِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ مِنْ أَنْ تَتَرَاكَمَ الدُّيُونُ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَغْلِبُهُ الدَّيْنُ فَإِنَّ هَذَا مُؤْلِمٌ لِلْإِنْسَانِ نَفْسِيًّا وَرُبَّمَا يَجُرُّ مَعَهُ مَعَاصٍ أُخْرَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ أَيْ أَنَّ هَذَا الدَّيْنَ يَتَسَبَّبُ فِي أَنْ يَضْغَطَ عَلَيْهِ فِي أَنْ يَكْذِبَ فِي الْحَدِيثِ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَنْ يَتَسَبَّبَ هَذَا الدَّيْنُ فِي أَنْ يُخْلِفَ الْوَعْدَ فَهَذَا الدَّيْنُ رُبَّمَا يَتَسَبَّبُ فِي مَعَاصٍ أُخْرَى يَقَعُ فِيْهَا الْإِنْسَانُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَنَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَقْتَدِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدَّيْنِ أَنْ نَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَغَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ أَوْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ وَالْأَحْسَنُ أَنْ نَجْمَعَ بَيْنَهُمَا لَكِنَّ حَدِيثَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ هَذَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُهُ غَالِبًا فِي صَلَوَاتِهِ فِى التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ قُبَيْلَ السَّلَامِ


Disebutkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir, “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari utang dan dosa.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering memohon perlindungan dari utang?” Adapun (المَغْرَمُ) artinya adalah utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta. Jika berjanji, ia mengingkari.” Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitabnya Ash-Shahih. Perhatikanlah, wahai saudaraku sesama muslim, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari utang dalam shalatnya.Beliau berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari utang…” “dan dari dosa,” yaitu kemaksiatan. Dalam Shahih Al-Bukhari juga, diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dahulu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku sering mendengar beliau membaca doa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dan dari lilitan utang serta tekanan manusia.’” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memohon perlindungan dari lilitan utang, yakni dari utang yang menumpuk hingga melilit seseorang. Karena ini sangat menyakitkan secara batin. Bahkan terkadang menyeret kepada maksiat-maksiat lain, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya jika seseorang berutang, tatkala berbicara, ia berdusta, karena tekanan utang itu membuatnya terdorong untuk berbohong. “Jika berjanji, ia mengingkari.” Yakni utang menyebabkannya mengingkari janji. Maka utang bisa menjadi sebab terjerumusnya seseorang ke dalam maksiat-maksiat lainnya. yang akhirnya dilakukannya. Karena itu, wahai saudara-saudara, hendaklah kita meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta‘ala dari utang, dengan membaca doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kepengecutan, kebakhilan, lilitan utang, dan kezaliman orang lain.” Atau doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Namun yang lebih baik, kita membaca keduanya sekaligus.Akan tetapi, doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang” lebih sering dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat-shalatnya, yaitu pada tasyahud akhir sebelum salam. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي صَلَاتِهِ أَيْ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ وَمِنَ الْمَأْثَمِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ وَالْمَغْرَمُ هُوَ الدَّيْنُ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ فَانْظُرْ يَا أَخِي الْمُسْلِمَ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى فِي صَلَاتِهِ مِنَ الدَّيْنِ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَغْرَمِ يَعْنِي مِنَ الدَّيْنِ وَمِنَ الْمَأْثَم أَيْ مِنَ الْمَعَاصِي وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ مِنْ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَمِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَمِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَمِنْ غَلَبَةِ الدَّينِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ مِنْ أَنْ تَتَرَاكَمَ الدُّيُونُ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَغْلِبُهُ الدَّيْنُ فَإِنَّ هَذَا مُؤْلِمٌ لِلْإِنْسَانِ نَفْسِيًّا وَرُبَّمَا يَجُرُّ مَعَهُ مَعَاصٍ أُخْرَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ أَيْ أَنَّ هَذَا الدَّيْنَ يَتَسَبَّبُ فِي أَنْ يَضْغَطَ عَلَيْهِ فِي أَنْ يَكْذِبَ فِي الْحَدِيثِ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ أَنْ يَتَسَبَّبَ هَذَا الدَّيْنُ فِي أَنْ يُخْلِفَ الْوَعْدَ فَهَذَا الدَّيْنُ رُبَّمَا يَتَسَبَّبُ فِي مَعَاصٍ أُخْرَى يَقَعُ فِيْهَا الْإِنْسَانُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَنَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَقْتَدِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدَّيْنِ أَنْ نَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَغَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ أَوْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ وَالْأَحْسَنُ أَنْ نَجْمَعَ بَيْنَهُمَا لَكِنَّ حَدِيثَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ هَذَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُهُ غَالِبًا فِي صَلَوَاتِهِ فِى التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ قُبَيْلَ السَّلَامِ

Mengapa Kita Sakit?

لماذا نمرض؟! Oleh: Dr. Shalah Abdul Syakur د. صلاح عبدالشكور قد يبدو هذا السؤال فلسفيًّا بعضَ الشيء، ولكنه سؤال مشروع، لماذا نمرض؟! وهذا السؤال قد يسأله طبيبٌ لطلابه كمقدمة لشرح أسباب المرض المادية الحسية، ولكنني هنا أسأل فيما هو أكبر من ذلك، وبمعنى آخر: لماذا أوجد الله المرض؟ ولماذا يصيبنا هذا المرض فيخنق ابتسامتنا، وتعترينا الكآبة والتفكير، والألم والوجع؟! بداية يجب أن تعلمَ أن هذه الحياة أوجد الله فيها سُنَنًا جارية تجري على كل البشر، لا تختلف ولا تتبدل عبر الأزمان والعصور، من هذه السنن أن الله يبتلي عباده بالخير والشر؛ تمحيصًا لهم واختبارًا؛ قال تعالى: ﴿ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴾ [الأنبياء: 35]، فتعالَ أُحدِّثْك عن بعض الحِكَمِ والفوائد للأمراض: Sekilas, pertanyaan ini terlihat sedikit filosofis, tapi pertanyaan yang pantas untuk diajukan adalah, “mengapa kita sakit?” Pertanyaan ini mungkin terkadang ditanyakan oleh dokter kepada para muridnya sebagai pembuka penjelasannya terhadap sebab-sebab penyakit jasmani. Namun, di sini saya bertanya tentang sesuatu yang lebih besar dari itu, dengan ungkapan lain, mengapa Allah menciptakan penyakit? Dan mengapa kita terkena penyakit itu, sehingga mencekik senyuman kita, lalu membuat kita tenggelam dalam kesedihan, beban pikiran, serta rasa sakit dan perih? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa kehidupan ini Allah ciptakan dengan aturan-aturan yang berlaku terhadap seluruh manusia. Aturan-aturan ini selalu sama dan tidak pernah berganti sepanjang zaman. Di antara aturan ini adalah Allah menguji para hamba-Nya dengan hal yang baik dan yang buruk, sebagai penyaring dan ujian bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman: وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35). Marilah saya sampaikan kepadamu beberapa hikmah dan faedah dari adanya penyakit: كله خير: • استخراج عبودية الضرَّاء؛ أي: إن الله تبارك وتعالى يستخرج من المريض عبوديةَ الضراء بإصابته بالمرض، وعبودية الضراء هي الصبر والخضوع، والانكسار والذلة لله، والانطراح بين يديه وسؤاله، وهذه الأعمال القلبية العظيمة لا تتحقق إلا بالابتلاء؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كلَّه خير، وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن؛ إن أصابته سرَّاءُ شَكَرَ، فكان خيرًا له، وإن أصابته ضرَّاءُ، صَبَرَ فكان خيرًا له)). Segala hal mengandung kebaikan Menumbuhkan penghambaan dari hal yang tidak disukai. Yakni Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menumbuhkan sikap penghambaan dari hal yang tidak disukai dengan menimpakan penyakit. Dan penghambaan dari hal ini berupa kesabaran, ketundukan, kebergantungan, dan kepatuhan kepada Allah, serta bersimpuh di hadapan-Nya dan memohon kepada-Nya. Amalan-amalan hati yang agung ini tidak akan dapat terwujud kecuali dengan cobaan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” • تكفير الذنوب والسيئات: فالمرض سبب في تكفير خطاياك التي اقترفتها بقلبك وسمعك، وبصرك ولسانك، وسائر جوارحك؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((ما من مسلم يُصيبه أذًى من مرض، فما سواه، إلا حطَّ الله به سيئاتِه، كما تحطُّ الشجرةُ ورقَها))؛ [متفق عليه]، وقال صلى الله عليه وسلم: ((ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله، حتى يلقى الله وما عليه خطيئة))؛ [رواه الترمذي]، تأمل هنا كيف عبَّر المصطفى صلى الله عليه وسلم بلفظ: (ما يزال)، عن دوام واستمرار بعض الأمراض، ثم لاحِظْ جزاءَ هذا الاستمرار: (حتى يلقى الله وما عليه خطيئة)، وفي هذا يتجلى عدل الله ولطفه ورحمته سبحانه. Menghapus dosa-dosa dan kesalahan. Penyakit merupakan sarana penghapus dosa-dosamu yang telah diperbuat oleh hati, pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota badanmu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ما مِن مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أذًى، مَرَضٌ فَما سِواهُ، إلَّا حَطَّ اللَّهُ له سَيِّئاتِهِ، كما تَحُطُّ الشَّجَرَةُ ورَقَها. “Tidaklah seorang Muslim yang menderita sakit atau yang lain, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan dedaunannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة “Cobaan akan senantiasa menimpa seorang mukmin laki-laki dan perempuan pada diri, anak keturunan, dan hartanya, hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satu pun dosa.” (HR. At-Tirmidzi). Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggunakan kata “senantiasa” sebagai ungkapan tentang keberlanjutan dan terus-menerusnya beberapa penyakit. Lalu perhatikanlah juga balasan atas terus-menerusnya cobaan tersebut, “hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satupun dosa.” Dari sini, terlihatlah keadilan, kelembutan, dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. حُفَّتِ الجنَّةُ بالمكارِهِ: • الأمراض سببٌ في دخول الجنة؛ فالجنة لا تُنال إلا بما تكرهه النفس؛ كما في الحديث: ((حُفَّتِ الجنة بالمكاره))؛ [متفق عليه]، والنبي صلى الله عليه وسلم قال للمرأة التي تُصرَع: ((إن شئتِ صبرتِ ولكِ الجنة))؛ [متفق عليه]، وفي الحديث القدسي: ((إذا ابتليتُ عبدي بحبِيبَتَيه فصبر، عوَّضته منهما الجنة))؛ [رواه البخاري]، فالبلايا والأمراض والأحزان من أسباب دخول الجنة. Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai Penyakit menjadi sebab masuk surga. Surga tidak dapat diraih kecuali dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ “Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda kepada wanita yang terkena penyakit kejang, “Jika kamu ingin, bersabarlah dan kamu akan mendapatkan surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Disebutkan juga dalam hadis qudsi, “Apabila Aku menguji hamba-Ku pada kedua matanya, lalu ia bersabar, maka Aku akan mengganti baginya atas keduanya dengan surga.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, segala ujian, penyakit, dan kesedihan merupakan sebab masuk surga. • ردُّ العبد إلى ربه وتذكيره بمعصيته، وإيقاظه من غفلته: فالمرض والمصائب ترد العبد الغافل عن ربه إليه، وتكفُّه عن معصيته؛ لأنه إذا ابتلاه الله بمرض أو غيره، استشعر ضعفه وذله وفقره إلى مولاه، وتذكَّر تقصيره في حقه، فعاد إليه نادمًا؛ قال تعالى: ﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ ﴾ [الأنعام: 42]؛ قال الطبري رحمه الله: “فامتحناهم بشدة الفقر والأسقام؛ لعلهم يتضرعون إليَّ، ويخلصوا لي العبادة”. Mengembalikan hamba kepada Tuhannya dan mengingatkannya atas kemaksiatan serta membangunkannya dari kelalaian. Penyakit dan musibah-musibah akan mengembalikan hamba yang lalai kepada Tuhannya dan menghentikannya dari kemaksiatan, karena apabila Allah mengujinya dengan penyakit atau lainnya, ia akan merasakan kelemahan, kerendahan, dan ketidakberdayaannya di hadapan Allah, lalu ia teringat pada kelalaiannya terhadap kewajiban, sehingga ia kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 42). Imam Ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Yakni Kami menguji mereka dengan kemiskinan dan penyakit yang berat, agar mereka tunduk kepada-Ku dan mengikhlaskan ibadah untuk-Ku.” ما ابتلاك إلا ليُعافِيَك!  • ومن حِكَمِ وأسرار المرض أنه يُخرج ما في نفس الإنسان من أمراض قلبية؛ كالكِبْرِ والفخر، والإعجاب والبَطَر، وغمط الناس واستحقارهم، وغيرها، فقد يبتلي الله شخصًا بمرض في بدنه؛ لكي يعالج قلبه من مرض خفيٍّ استحكم فيه، وربما أوبق ذلك المرضُ القلبي دنياه وآخرتَه، فيبتليه الله بمرض لكي يُنجِّيه ويُذهب ما في قلبه من أمراض؛ ولذلك يقول ابن القيم رحمه الله: “لولا مِحَنُ الدنيا ومصائبها، لأصاب العبد من أدواء الكِبْرِ والعُجب، والفَرْعَنَةِ وقسوة القلب، ما هو سبب هلاكه عاجلًا أو آجلًا”. Tidaklah Allah mengujimu melainkan untuk memberimu keselamatan! Di antara hikmah dan rahasia adanya penyakit adalah dapat mengeluarkan penyakit-penyakit hati dari jiwa manusia, seperti sombong, angkuh, takjub dengan diri sendiri, dan tinggi hati, meremehkan orang lain, dan lain sebagainya. Terkadang Allah menguji seseorang dengan suatu penyakit di badannya, agar hatinya disembuhkan dari penyakit tersembunyi yang sudah melekat padanya, yang bahkan penyakit hati itu dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya, sehingga Allah mengujinya dengan penyakit itu, agar Dia menyelamatkannya dan menghilangkan penyakit itu dari hatinya. Oleh sebab itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Kalaulah bukan karena ujian-ujian dan musibah-musibah di dunia, niscaya hamba akan tertimpa penyakit sombong, angkuh, sewenang-wenang, dan hati yang keras yang itu semua menjadi sebab kebinasaannya cepat atau lambat.” هذه بعض حِكَمِ الأمراض، ولله في كل ما يبتلي ويصيب حكمة تفوق فهم البشر وإدراكهم، وعلى المؤمن التسليم لله في كل الأحوال، فإذا أدركتَ لماذا أصابك الله بالمرض، وجب عليك الامتثال لأمره، والتسليم لحكمه، والرضا بقضائه وقدره، فما يأتي من الرب الرحيم اللطيف كله خير ورحمة، وإن كان بعضها مما تكرهه نفوسنا؛ قال سفيان الثوري: “ليس بفقيه من لم يَعُدُّ البلاء نعمةً، والرخاء مصيبة”، وقال ابن القيم رحمه الله: “ارضَ عن الله في جميع ما يفعله بك، فإنه ما منعك إلا ليُعطيك، ولا ابتلاك إلا ليُعافيك، ولا أمرضك إلا ليشفيك، ولا أماتك إلا ليُحييك، فإياك أن تفارق الرضا عنه طرفة عين، فتسقط من عينه”. Demikianlah beberapa hikmah dari penyakit. Allah memiliki hikmah dalam setiap ujian dan cobaan yang Dia berikan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dapat dipahami dan dicerna oleh manusia. Adapun seorang mukmin harus berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan. Apabila kamu telah mengetahui mengapa Allah menimpakan penyakit kepadamu, maka kamu harus menjalankan perintah-Nya, berserah diri atas ketetapan-Nya, serta rida dengan takdir dan keputusan-Nya. Apa yang datang dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Lembut semuanya pasti baik dan mengandung rahmat, meskipun sebagiannya tidak disukai oleh diri kita. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bukan termasuk orang paham agama, orang yang tidak menganggap musibah sebagai kenikmatan dan kesejahteraan sebagai musibah.”  Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Ridalah kepada Allah dalam segala hal yang Allah perbuat terhadapmu, karena tidaklah Dia menghalangimu dari sesuatu melainkan untuk memberimu, tidaklah Dia memberimu musibah melainkan untuk memberimu keselamatan, dan tidaklah Dia memberimu penyakit melainkan untuk menyembuhkanmu, serta tidaklah Dia mematikanmu melainkan untuk menghidupkanmu kembali. Oleh sebab itu, janganlah kamu sekali-kali meninggalkan keridaan kepada-Nya meski hanya sekejap mata, sehingga kamu dapat terabaikan dari mata-Nya.” Sumber: https://www.alukah.net/لماذا نمرض؟! Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 304 times, 1 visit(s) today Post Views: 310 QRIS donasi Yufid

Mengapa Kita Sakit?

لماذا نمرض؟! Oleh: Dr. Shalah Abdul Syakur د. صلاح عبدالشكور قد يبدو هذا السؤال فلسفيًّا بعضَ الشيء، ولكنه سؤال مشروع، لماذا نمرض؟! وهذا السؤال قد يسأله طبيبٌ لطلابه كمقدمة لشرح أسباب المرض المادية الحسية، ولكنني هنا أسأل فيما هو أكبر من ذلك، وبمعنى آخر: لماذا أوجد الله المرض؟ ولماذا يصيبنا هذا المرض فيخنق ابتسامتنا، وتعترينا الكآبة والتفكير، والألم والوجع؟! بداية يجب أن تعلمَ أن هذه الحياة أوجد الله فيها سُنَنًا جارية تجري على كل البشر، لا تختلف ولا تتبدل عبر الأزمان والعصور، من هذه السنن أن الله يبتلي عباده بالخير والشر؛ تمحيصًا لهم واختبارًا؛ قال تعالى: ﴿ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴾ [الأنبياء: 35]، فتعالَ أُحدِّثْك عن بعض الحِكَمِ والفوائد للأمراض: Sekilas, pertanyaan ini terlihat sedikit filosofis, tapi pertanyaan yang pantas untuk diajukan adalah, “mengapa kita sakit?” Pertanyaan ini mungkin terkadang ditanyakan oleh dokter kepada para muridnya sebagai pembuka penjelasannya terhadap sebab-sebab penyakit jasmani. Namun, di sini saya bertanya tentang sesuatu yang lebih besar dari itu, dengan ungkapan lain, mengapa Allah menciptakan penyakit? Dan mengapa kita terkena penyakit itu, sehingga mencekik senyuman kita, lalu membuat kita tenggelam dalam kesedihan, beban pikiran, serta rasa sakit dan perih? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa kehidupan ini Allah ciptakan dengan aturan-aturan yang berlaku terhadap seluruh manusia. Aturan-aturan ini selalu sama dan tidak pernah berganti sepanjang zaman. Di antara aturan ini adalah Allah menguji para hamba-Nya dengan hal yang baik dan yang buruk, sebagai penyaring dan ujian bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman: وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35). Marilah saya sampaikan kepadamu beberapa hikmah dan faedah dari adanya penyakit: كله خير: • استخراج عبودية الضرَّاء؛ أي: إن الله تبارك وتعالى يستخرج من المريض عبوديةَ الضراء بإصابته بالمرض، وعبودية الضراء هي الصبر والخضوع، والانكسار والذلة لله، والانطراح بين يديه وسؤاله، وهذه الأعمال القلبية العظيمة لا تتحقق إلا بالابتلاء؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كلَّه خير، وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن؛ إن أصابته سرَّاءُ شَكَرَ، فكان خيرًا له، وإن أصابته ضرَّاءُ، صَبَرَ فكان خيرًا له)). Segala hal mengandung kebaikan Menumbuhkan penghambaan dari hal yang tidak disukai. Yakni Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menumbuhkan sikap penghambaan dari hal yang tidak disukai dengan menimpakan penyakit. Dan penghambaan dari hal ini berupa kesabaran, ketundukan, kebergantungan, dan kepatuhan kepada Allah, serta bersimpuh di hadapan-Nya dan memohon kepada-Nya. Amalan-amalan hati yang agung ini tidak akan dapat terwujud kecuali dengan cobaan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” • تكفير الذنوب والسيئات: فالمرض سبب في تكفير خطاياك التي اقترفتها بقلبك وسمعك، وبصرك ولسانك، وسائر جوارحك؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((ما من مسلم يُصيبه أذًى من مرض، فما سواه، إلا حطَّ الله به سيئاتِه، كما تحطُّ الشجرةُ ورقَها))؛ [متفق عليه]، وقال صلى الله عليه وسلم: ((ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله، حتى يلقى الله وما عليه خطيئة))؛ [رواه الترمذي]، تأمل هنا كيف عبَّر المصطفى صلى الله عليه وسلم بلفظ: (ما يزال)، عن دوام واستمرار بعض الأمراض، ثم لاحِظْ جزاءَ هذا الاستمرار: (حتى يلقى الله وما عليه خطيئة)، وفي هذا يتجلى عدل الله ولطفه ورحمته سبحانه. Menghapus dosa-dosa dan kesalahan. Penyakit merupakan sarana penghapus dosa-dosamu yang telah diperbuat oleh hati, pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota badanmu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ما مِن مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أذًى، مَرَضٌ فَما سِواهُ، إلَّا حَطَّ اللَّهُ له سَيِّئاتِهِ، كما تَحُطُّ الشَّجَرَةُ ورَقَها. “Tidaklah seorang Muslim yang menderita sakit atau yang lain, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan dedaunannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة “Cobaan akan senantiasa menimpa seorang mukmin laki-laki dan perempuan pada diri, anak keturunan, dan hartanya, hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satu pun dosa.” (HR. At-Tirmidzi). Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggunakan kata “senantiasa” sebagai ungkapan tentang keberlanjutan dan terus-menerusnya beberapa penyakit. Lalu perhatikanlah juga balasan atas terus-menerusnya cobaan tersebut, “hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satupun dosa.” Dari sini, terlihatlah keadilan, kelembutan, dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. حُفَّتِ الجنَّةُ بالمكارِهِ: • الأمراض سببٌ في دخول الجنة؛ فالجنة لا تُنال إلا بما تكرهه النفس؛ كما في الحديث: ((حُفَّتِ الجنة بالمكاره))؛ [متفق عليه]، والنبي صلى الله عليه وسلم قال للمرأة التي تُصرَع: ((إن شئتِ صبرتِ ولكِ الجنة))؛ [متفق عليه]، وفي الحديث القدسي: ((إذا ابتليتُ عبدي بحبِيبَتَيه فصبر، عوَّضته منهما الجنة))؛ [رواه البخاري]، فالبلايا والأمراض والأحزان من أسباب دخول الجنة. Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai Penyakit menjadi sebab masuk surga. Surga tidak dapat diraih kecuali dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ “Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda kepada wanita yang terkena penyakit kejang, “Jika kamu ingin, bersabarlah dan kamu akan mendapatkan surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Disebutkan juga dalam hadis qudsi, “Apabila Aku menguji hamba-Ku pada kedua matanya, lalu ia bersabar, maka Aku akan mengganti baginya atas keduanya dengan surga.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, segala ujian, penyakit, dan kesedihan merupakan sebab masuk surga. • ردُّ العبد إلى ربه وتذكيره بمعصيته، وإيقاظه من غفلته: فالمرض والمصائب ترد العبد الغافل عن ربه إليه، وتكفُّه عن معصيته؛ لأنه إذا ابتلاه الله بمرض أو غيره، استشعر ضعفه وذله وفقره إلى مولاه، وتذكَّر تقصيره في حقه، فعاد إليه نادمًا؛ قال تعالى: ﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ ﴾ [الأنعام: 42]؛ قال الطبري رحمه الله: “فامتحناهم بشدة الفقر والأسقام؛ لعلهم يتضرعون إليَّ، ويخلصوا لي العبادة”. Mengembalikan hamba kepada Tuhannya dan mengingatkannya atas kemaksiatan serta membangunkannya dari kelalaian. Penyakit dan musibah-musibah akan mengembalikan hamba yang lalai kepada Tuhannya dan menghentikannya dari kemaksiatan, karena apabila Allah mengujinya dengan penyakit atau lainnya, ia akan merasakan kelemahan, kerendahan, dan ketidakberdayaannya di hadapan Allah, lalu ia teringat pada kelalaiannya terhadap kewajiban, sehingga ia kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 42). Imam Ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Yakni Kami menguji mereka dengan kemiskinan dan penyakit yang berat, agar mereka tunduk kepada-Ku dan mengikhlaskan ibadah untuk-Ku.” ما ابتلاك إلا ليُعافِيَك!  • ومن حِكَمِ وأسرار المرض أنه يُخرج ما في نفس الإنسان من أمراض قلبية؛ كالكِبْرِ والفخر، والإعجاب والبَطَر، وغمط الناس واستحقارهم، وغيرها، فقد يبتلي الله شخصًا بمرض في بدنه؛ لكي يعالج قلبه من مرض خفيٍّ استحكم فيه، وربما أوبق ذلك المرضُ القلبي دنياه وآخرتَه، فيبتليه الله بمرض لكي يُنجِّيه ويُذهب ما في قلبه من أمراض؛ ولذلك يقول ابن القيم رحمه الله: “لولا مِحَنُ الدنيا ومصائبها، لأصاب العبد من أدواء الكِبْرِ والعُجب، والفَرْعَنَةِ وقسوة القلب، ما هو سبب هلاكه عاجلًا أو آجلًا”. Tidaklah Allah mengujimu melainkan untuk memberimu keselamatan! Di antara hikmah dan rahasia adanya penyakit adalah dapat mengeluarkan penyakit-penyakit hati dari jiwa manusia, seperti sombong, angkuh, takjub dengan diri sendiri, dan tinggi hati, meremehkan orang lain, dan lain sebagainya. Terkadang Allah menguji seseorang dengan suatu penyakit di badannya, agar hatinya disembuhkan dari penyakit tersembunyi yang sudah melekat padanya, yang bahkan penyakit hati itu dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya, sehingga Allah mengujinya dengan penyakit itu, agar Dia menyelamatkannya dan menghilangkan penyakit itu dari hatinya. Oleh sebab itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Kalaulah bukan karena ujian-ujian dan musibah-musibah di dunia, niscaya hamba akan tertimpa penyakit sombong, angkuh, sewenang-wenang, dan hati yang keras yang itu semua menjadi sebab kebinasaannya cepat atau lambat.” هذه بعض حِكَمِ الأمراض، ولله في كل ما يبتلي ويصيب حكمة تفوق فهم البشر وإدراكهم، وعلى المؤمن التسليم لله في كل الأحوال، فإذا أدركتَ لماذا أصابك الله بالمرض، وجب عليك الامتثال لأمره، والتسليم لحكمه، والرضا بقضائه وقدره، فما يأتي من الرب الرحيم اللطيف كله خير ورحمة، وإن كان بعضها مما تكرهه نفوسنا؛ قال سفيان الثوري: “ليس بفقيه من لم يَعُدُّ البلاء نعمةً، والرخاء مصيبة”، وقال ابن القيم رحمه الله: “ارضَ عن الله في جميع ما يفعله بك، فإنه ما منعك إلا ليُعطيك، ولا ابتلاك إلا ليُعافيك، ولا أمرضك إلا ليشفيك، ولا أماتك إلا ليُحييك، فإياك أن تفارق الرضا عنه طرفة عين، فتسقط من عينه”. Demikianlah beberapa hikmah dari penyakit. Allah memiliki hikmah dalam setiap ujian dan cobaan yang Dia berikan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dapat dipahami dan dicerna oleh manusia. Adapun seorang mukmin harus berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan. Apabila kamu telah mengetahui mengapa Allah menimpakan penyakit kepadamu, maka kamu harus menjalankan perintah-Nya, berserah diri atas ketetapan-Nya, serta rida dengan takdir dan keputusan-Nya. Apa yang datang dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Lembut semuanya pasti baik dan mengandung rahmat, meskipun sebagiannya tidak disukai oleh diri kita. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bukan termasuk orang paham agama, orang yang tidak menganggap musibah sebagai kenikmatan dan kesejahteraan sebagai musibah.”  Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Ridalah kepada Allah dalam segala hal yang Allah perbuat terhadapmu, karena tidaklah Dia menghalangimu dari sesuatu melainkan untuk memberimu, tidaklah Dia memberimu musibah melainkan untuk memberimu keselamatan, dan tidaklah Dia memberimu penyakit melainkan untuk menyembuhkanmu, serta tidaklah Dia mematikanmu melainkan untuk menghidupkanmu kembali. Oleh sebab itu, janganlah kamu sekali-kali meninggalkan keridaan kepada-Nya meski hanya sekejap mata, sehingga kamu dapat terabaikan dari mata-Nya.” Sumber: https://www.alukah.net/لماذا نمرض؟! Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 304 times, 1 visit(s) today Post Views: 310 QRIS donasi Yufid
لماذا نمرض؟! Oleh: Dr. Shalah Abdul Syakur د. صلاح عبدالشكور قد يبدو هذا السؤال فلسفيًّا بعضَ الشيء، ولكنه سؤال مشروع، لماذا نمرض؟! وهذا السؤال قد يسأله طبيبٌ لطلابه كمقدمة لشرح أسباب المرض المادية الحسية، ولكنني هنا أسأل فيما هو أكبر من ذلك، وبمعنى آخر: لماذا أوجد الله المرض؟ ولماذا يصيبنا هذا المرض فيخنق ابتسامتنا، وتعترينا الكآبة والتفكير، والألم والوجع؟! بداية يجب أن تعلمَ أن هذه الحياة أوجد الله فيها سُنَنًا جارية تجري على كل البشر، لا تختلف ولا تتبدل عبر الأزمان والعصور، من هذه السنن أن الله يبتلي عباده بالخير والشر؛ تمحيصًا لهم واختبارًا؛ قال تعالى: ﴿ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴾ [الأنبياء: 35]، فتعالَ أُحدِّثْك عن بعض الحِكَمِ والفوائد للأمراض: Sekilas, pertanyaan ini terlihat sedikit filosofis, tapi pertanyaan yang pantas untuk diajukan adalah, “mengapa kita sakit?” Pertanyaan ini mungkin terkadang ditanyakan oleh dokter kepada para muridnya sebagai pembuka penjelasannya terhadap sebab-sebab penyakit jasmani. Namun, di sini saya bertanya tentang sesuatu yang lebih besar dari itu, dengan ungkapan lain, mengapa Allah menciptakan penyakit? Dan mengapa kita terkena penyakit itu, sehingga mencekik senyuman kita, lalu membuat kita tenggelam dalam kesedihan, beban pikiran, serta rasa sakit dan perih? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa kehidupan ini Allah ciptakan dengan aturan-aturan yang berlaku terhadap seluruh manusia. Aturan-aturan ini selalu sama dan tidak pernah berganti sepanjang zaman. Di antara aturan ini adalah Allah menguji para hamba-Nya dengan hal yang baik dan yang buruk, sebagai penyaring dan ujian bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman: وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35). Marilah saya sampaikan kepadamu beberapa hikmah dan faedah dari adanya penyakit: كله خير: • استخراج عبودية الضرَّاء؛ أي: إن الله تبارك وتعالى يستخرج من المريض عبوديةَ الضراء بإصابته بالمرض، وعبودية الضراء هي الصبر والخضوع، والانكسار والذلة لله، والانطراح بين يديه وسؤاله، وهذه الأعمال القلبية العظيمة لا تتحقق إلا بالابتلاء؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كلَّه خير، وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن؛ إن أصابته سرَّاءُ شَكَرَ، فكان خيرًا له، وإن أصابته ضرَّاءُ، صَبَرَ فكان خيرًا له)). Segala hal mengandung kebaikan Menumbuhkan penghambaan dari hal yang tidak disukai. Yakni Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menumbuhkan sikap penghambaan dari hal yang tidak disukai dengan menimpakan penyakit. Dan penghambaan dari hal ini berupa kesabaran, ketundukan, kebergantungan, dan kepatuhan kepada Allah, serta bersimpuh di hadapan-Nya dan memohon kepada-Nya. Amalan-amalan hati yang agung ini tidak akan dapat terwujud kecuali dengan cobaan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” • تكفير الذنوب والسيئات: فالمرض سبب في تكفير خطاياك التي اقترفتها بقلبك وسمعك، وبصرك ولسانك، وسائر جوارحك؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((ما من مسلم يُصيبه أذًى من مرض، فما سواه، إلا حطَّ الله به سيئاتِه، كما تحطُّ الشجرةُ ورقَها))؛ [متفق عليه]، وقال صلى الله عليه وسلم: ((ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله، حتى يلقى الله وما عليه خطيئة))؛ [رواه الترمذي]، تأمل هنا كيف عبَّر المصطفى صلى الله عليه وسلم بلفظ: (ما يزال)، عن دوام واستمرار بعض الأمراض، ثم لاحِظْ جزاءَ هذا الاستمرار: (حتى يلقى الله وما عليه خطيئة)، وفي هذا يتجلى عدل الله ولطفه ورحمته سبحانه. Menghapus dosa-dosa dan kesalahan. Penyakit merupakan sarana penghapus dosa-dosamu yang telah diperbuat oleh hati, pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota badanmu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ما مِن مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أذًى، مَرَضٌ فَما سِواهُ، إلَّا حَطَّ اللَّهُ له سَيِّئاتِهِ، كما تَحُطُّ الشَّجَرَةُ ورَقَها. “Tidaklah seorang Muslim yang menderita sakit atau yang lain, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan dedaunannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة “Cobaan akan senantiasa menimpa seorang mukmin laki-laki dan perempuan pada diri, anak keturunan, dan hartanya, hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satu pun dosa.” (HR. At-Tirmidzi). Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggunakan kata “senantiasa” sebagai ungkapan tentang keberlanjutan dan terus-menerusnya beberapa penyakit. Lalu perhatikanlah juga balasan atas terus-menerusnya cobaan tersebut, “hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satupun dosa.” Dari sini, terlihatlah keadilan, kelembutan, dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. حُفَّتِ الجنَّةُ بالمكارِهِ: • الأمراض سببٌ في دخول الجنة؛ فالجنة لا تُنال إلا بما تكرهه النفس؛ كما في الحديث: ((حُفَّتِ الجنة بالمكاره))؛ [متفق عليه]، والنبي صلى الله عليه وسلم قال للمرأة التي تُصرَع: ((إن شئتِ صبرتِ ولكِ الجنة))؛ [متفق عليه]، وفي الحديث القدسي: ((إذا ابتليتُ عبدي بحبِيبَتَيه فصبر، عوَّضته منهما الجنة))؛ [رواه البخاري]، فالبلايا والأمراض والأحزان من أسباب دخول الجنة. Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai Penyakit menjadi sebab masuk surga. Surga tidak dapat diraih kecuali dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ “Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda kepada wanita yang terkena penyakit kejang, “Jika kamu ingin, bersabarlah dan kamu akan mendapatkan surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Disebutkan juga dalam hadis qudsi, “Apabila Aku menguji hamba-Ku pada kedua matanya, lalu ia bersabar, maka Aku akan mengganti baginya atas keduanya dengan surga.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, segala ujian, penyakit, dan kesedihan merupakan sebab masuk surga. • ردُّ العبد إلى ربه وتذكيره بمعصيته، وإيقاظه من غفلته: فالمرض والمصائب ترد العبد الغافل عن ربه إليه، وتكفُّه عن معصيته؛ لأنه إذا ابتلاه الله بمرض أو غيره، استشعر ضعفه وذله وفقره إلى مولاه، وتذكَّر تقصيره في حقه، فعاد إليه نادمًا؛ قال تعالى: ﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ ﴾ [الأنعام: 42]؛ قال الطبري رحمه الله: “فامتحناهم بشدة الفقر والأسقام؛ لعلهم يتضرعون إليَّ، ويخلصوا لي العبادة”. Mengembalikan hamba kepada Tuhannya dan mengingatkannya atas kemaksiatan serta membangunkannya dari kelalaian. Penyakit dan musibah-musibah akan mengembalikan hamba yang lalai kepada Tuhannya dan menghentikannya dari kemaksiatan, karena apabila Allah mengujinya dengan penyakit atau lainnya, ia akan merasakan kelemahan, kerendahan, dan ketidakberdayaannya di hadapan Allah, lalu ia teringat pada kelalaiannya terhadap kewajiban, sehingga ia kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 42). Imam Ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Yakni Kami menguji mereka dengan kemiskinan dan penyakit yang berat, agar mereka tunduk kepada-Ku dan mengikhlaskan ibadah untuk-Ku.” ما ابتلاك إلا ليُعافِيَك!  • ومن حِكَمِ وأسرار المرض أنه يُخرج ما في نفس الإنسان من أمراض قلبية؛ كالكِبْرِ والفخر، والإعجاب والبَطَر، وغمط الناس واستحقارهم، وغيرها، فقد يبتلي الله شخصًا بمرض في بدنه؛ لكي يعالج قلبه من مرض خفيٍّ استحكم فيه، وربما أوبق ذلك المرضُ القلبي دنياه وآخرتَه، فيبتليه الله بمرض لكي يُنجِّيه ويُذهب ما في قلبه من أمراض؛ ولذلك يقول ابن القيم رحمه الله: “لولا مِحَنُ الدنيا ومصائبها، لأصاب العبد من أدواء الكِبْرِ والعُجب، والفَرْعَنَةِ وقسوة القلب، ما هو سبب هلاكه عاجلًا أو آجلًا”. Tidaklah Allah mengujimu melainkan untuk memberimu keselamatan! Di antara hikmah dan rahasia adanya penyakit adalah dapat mengeluarkan penyakit-penyakit hati dari jiwa manusia, seperti sombong, angkuh, takjub dengan diri sendiri, dan tinggi hati, meremehkan orang lain, dan lain sebagainya. Terkadang Allah menguji seseorang dengan suatu penyakit di badannya, agar hatinya disembuhkan dari penyakit tersembunyi yang sudah melekat padanya, yang bahkan penyakit hati itu dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya, sehingga Allah mengujinya dengan penyakit itu, agar Dia menyelamatkannya dan menghilangkan penyakit itu dari hatinya. Oleh sebab itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Kalaulah bukan karena ujian-ujian dan musibah-musibah di dunia, niscaya hamba akan tertimpa penyakit sombong, angkuh, sewenang-wenang, dan hati yang keras yang itu semua menjadi sebab kebinasaannya cepat atau lambat.” هذه بعض حِكَمِ الأمراض، ولله في كل ما يبتلي ويصيب حكمة تفوق فهم البشر وإدراكهم، وعلى المؤمن التسليم لله في كل الأحوال، فإذا أدركتَ لماذا أصابك الله بالمرض، وجب عليك الامتثال لأمره، والتسليم لحكمه، والرضا بقضائه وقدره، فما يأتي من الرب الرحيم اللطيف كله خير ورحمة، وإن كان بعضها مما تكرهه نفوسنا؛ قال سفيان الثوري: “ليس بفقيه من لم يَعُدُّ البلاء نعمةً، والرخاء مصيبة”، وقال ابن القيم رحمه الله: “ارضَ عن الله في جميع ما يفعله بك، فإنه ما منعك إلا ليُعطيك، ولا ابتلاك إلا ليُعافيك، ولا أمرضك إلا ليشفيك، ولا أماتك إلا ليُحييك، فإياك أن تفارق الرضا عنه طرفة عين، فتسقط من عينه”. Demikianlah beberapa hikmah dari penyakit. Allah memiliki hikmah dalam setiap ujian dan cobaan yang Dia berikan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dapat dipahami dan dicerna oleh manusia. Adapun seorang mukmin harus berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan. Apabila kamu telah mengetahui mengapa Allah menimpakan penyakit kepadamu, maka kamu harus menjalankan perintah-Nya, berserah diri atas ketetapan-Nya, serta rida dengan takdir dan keputusan-Nya. Apa yang datang dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Lembut semuanya pasti baik dan mengandung rahmat, meskipun sebagiannya tidak disukai oleh diri kita. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bukan termasuk orang paham agama, orang yang tidak menganggap musibah sebagai kenikmatan dan kesejahteraan sebagai musibah.”  Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Ridalah kepada Allah dalam segala hal yang Allah perbuat terhadapmu, karena tidaklah Dia menghalangimu dari sesuatu melainkan untuk memberimu, tidaklah Dia memberimu musibah melainkan untuk memberimu keselamatan, dan tidaklah Dia memberimu penyakit melainkan untuk menyembuhkanmu, serta tidaklah Dia mematikanmu melainkan untuk menghidupkanmu kembali. Oleh sebab itu, janganlah kamu sekali-kali meninggalkan keridaan kepada-Nya meski hanya sekejap mata, sehingga kamu dapat terabaikan dari mata-Nya.” Sumber: https://www.alukah.net/لماذا نمرض؟! Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 304 times, 1 visit(s) today Post Views: 310 QRIS donasi Yufid


لماذا نمرض؟! Oleh: Dr. Shalah Abdul Syakur د. صلاح عبدالشكور قد يبدو هذا السؤال فلسفيًّا بعضَ الشيء، ولكنه سؤال مشروع، لماذا نمرض؟! وهذا السؤال قد يسأله طبيبٌ لطلابه كمقدمة لشرح أسباب المرض المادية الحسية، ولكنني هنا أسأل فيما هو أكبر من ذلك، وبمعنى آخر: لماذا أوجد الله المرض؟ ولماذا يصيبنا هذا المرض فيخنق ابتسامتنا، وتعترينا الكآبة والتفكير، والألم والوجع؟! بداية يجب أن تعلمَ أن هذه الحياة أوجد الله فيها سُنَنًا جارية تجري على كل البشر، لا تختلف ولا تتبدل عبر الأزمان والعصور، من هذه السنن أن الله يبتلي عباده بالخير والشر؛ تمحيصًا لهم واختبارًا؛ قال تعالى: ﴿ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴾ [الأنبياء: 35]، فتعالَ أُحدِّثْك عن بعض الحِكَمِ والفوائد للأمراض: Sekilas, pertanyaan ini terlihat sedikit filosofis, tapi pertanyaan yang pantas untuk diajukan adalah, “mengapa kita sakit?” Pertanyaan ini mungkin terkadang ditanyakan oleh dokter kepada para muridnya sebagai pembuka penjelasannya terhadap sebab-sebab penyakit jasmani. Namun, di sini saya bertanya tentang sesuatu yang lebih besar dari itu, dengan ungkapan lain, mengapa Allah menciptakan penyakit? Dan mengapa kita terkena penyakit itu, sehingga mencekik senyuman kita, lalu membuat kita tenggelam dalam kesedihan, beban pikiran, serta rasa sakit dan perih? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa kehidupan ini Allah ciptakan dengan aturan-aturan yang berlaku terhadap seluruh manusia. Aturan-aturan ini selalu sama dan tidak pernah berganti sepanjang zaman. Di antara aturan ini adalah Allah menguji para hamba-Nya dengan hal yang baik dan yang buruk, sebagai penyaring dan ujian bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman: وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35). Marilah saya sampaikan kepadamu beberapa hikmah dan faedah dari adanya penyakit: كله خير: • استخراج عبودية الضرَّاء؛ أي: إن الله تبارك وتعالى يستخرج من المريض عبوديةَ الضراء بإصابته بالمرض، وعبودية الضراء هي الصبر والخضوع، والانكسار والذلة لله، والانطراح بين يديه وسؤاله، وهذه الأعمال القلبية العظيمة لا تتحقق إلا بالابتلاء؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كلَّه خير، وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن؛ إن أصابته سرَّاءُ شَكَرَ، فكان خيرًا له، وإن أصابته ضرَّاءُ، صَبَرَ فكان خيرًا له)). Segala hal mengandung kebaikan Menumbuhkan penghambaan dari hal yang tidak disukai. Yakni Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menumbuhkan sikap penghambaan dari hal yang tidak disukai dengan menimpakan penyakit. Dan penghambaan dari hal ini berupa kesabaran, ketundukan, kebergantungan, dan kepatuhan kepada Allah, serta bersimpuh di hadapan-Nya dan memohon kepada-Nya. Amalan-amalan hati yang agung ini tidak akan dapat terwujud kecuali dengan cobaan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” • تكفير الذنوب والسيئات: فالمرض سبب في تكفير خطاياك التي اقترفتها بقلبك وسمعك، وبصرك ولسانك، وسائر جوارحك؛ قال صلى الله عليه وسلم: ((ما من مسلم يُصيبه أذًى من مرض، فما سواه، إلا حطَّ الله به سيئاتِه، كما تحطُّ الشجرةُ ورقَها))؛ [متفق عليه]، وقال صلى الله عليه وسلم: ((ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله، حتى يلقى الله وما عليه خطيئة))؛ [رواه الترمذي]، تأمل هنا كيف عبَّر المصطفى صلى الله عليه وسلم بلفظ: (ما يزال)، عن دوام واستمرار بعض الأمراض، ثم لاحِظْ جزاءَ هذا الاستمرار: (حتى يلقى الله وما عليه خطيئة)، وفي هذا يتجلى عدل الله ولطفه ورحمته سبحانه. Menghapus dosa-dosa dan kesalahan. Penyakit merupakan sarana penghapus dosa-dosamu yang telah diperbuat oleh hati, pendengaran, penglihatan, lisan, dan seluruh anggota badanmu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ما مِن مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أذًى، مَرَضٌ فَما سِواهُ، إلَّا حَطَّ اللَّهُ له سَيِّئاتِهِ، كما تَحُطُّ الشَّجَرَةُ ورَقَها. “Tidaklah seorang Muslim yang menderita sakit atau yang lain, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan dedaunannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة “Cobaan akan senantiasa menimpa seorang mukmin laki-laki dan perempuan pada diri, anak keturunan, dan hartanya, hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satu pun dosa.” (HR. At-Tirmidzi). Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggunakan kata “senantiasa” sebagai ungkapan tentang keberlanjutan dan terus-menerusnya beberapa penyakit. Lalu perhatikanlah juga balasan atas terus-menerusnya cobaan tersebut, “hingga ia menghadap kepada Allah tanpa membawa satupun dosa.” Dari sini, terlihatlah keadilan, kelembutan, dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. حُفَّتِ الجنَّةُ بالمكارِهِ: • الأمراض سببٌ في دخول الجنة؛ فالجنة لا تُنال إلا بما تكرهه النفس؛ كما في الحديث: ((حُفَّتِ الجنة بالمكاره))؛ [متفق عليه]، والنبي صلى الله عليه وسلم قال للمرأة التي تُصرَع: ((إن شئتِ صبرتِ ولكِ الجنة))؛ [متفق عليه]، وفي الحديث القدسي: ((إذا ابتليتُ عبدي بحبِيبَتَيه فصبر، عوَّضته منهما الجنة))؛ [رواه البخاري]، فالبلايا والأمراض والأحزان من أسباب دخول الجنة. Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai Penyakit menjadi sebab masuk surga. Surga tidak dapat diraih kecuali dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ “Surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda kepada wanita yang terkena penyakit kejang, “Jika kamu ingin, bersabarlah dan kamu akan mendapatkan surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Disebutkan juga dalam hadis qudsi, “Apabila Aku menguji hamba-Ku pada kedua matanya, lalu ia bersabar, maka Aku akan mengganti baginya atas keduanya dengan surga.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, segala ujian, penyakit, dan kesedihan merupakan sebab masuk surga. • ردُّ العبد إلى ربه وتذكيره بمعصيته، وإيقاظه من غفلته: فالمرض والمصائب ترد العبد الغافل عن ربه إليه، وتكفُّه عن معصيته؛ لأنه إذا ابتلاه الله بمرض أو غيره، استشعر ضعفه وذله وفقره إلى مولاه، وتذكَّر تقصيره في حقه، فعاد إليه نادمًا؛ قال تعالى: ﴿ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ ﴾ [الأنعام: 42]؛ قال الطبري رحمه الله: “فامتحناهم بشدة الفقر والأسقام؛ لعلهم يتضرعون إليَّ، ويخلصوا لي العبادة”. Mengembalikan hamba kepada Tuhannya dan mengingatkannya atas kemaksiatan serta membangunkannya dari kelalaian. Penyakit dan musibah-musibah akan mengembalikan hamba yang lalai kepada Tuhannya dan menghentikannya dari kemaksiatan, karena apabila Allah mengujinya dengan penyakit atau lainnya, ia akan merasakan kelemahan, kerendahan, dan ketidakberdayaannya di hadapan Allah, lalu ia teringat pada kelalaiannya terhadap kewajiban, sehingga ia kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 42). Imam Ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Yakni Kami menguji mereka dengan kemiskinan dan penyakit yang berat, agar mereka tunduk kepada-Ku dan mengikhlaskan ibadah untuk-Ku.” ما ابتلاك إلا ليُعافِيَك!  • ومن حِكَمِ وأسرار المرض أنه يُخرج ما في نفس الإنسان من أمراض قلبية؛ كالكِبْرِ والفخر، والإعجاب والبَطَر، وغمط الناس واستحقارهم، وغيرها، فقد يبتلي الله شخصًا بمرض في بدنه؛ لكي يعالج قلبه من مرض خفيٍّ استحكم فيه، وربما أوبق ذلك المرضُ القلبي دنياه وآخرتَه، فيبتليه الله بمرض لكي يُنجِّيه ويُذهب ما في قلبه من أمراض؛ ولذلك يقول ابن القيم رحمه الله: “لولا مِحَنُ الدنيا ومصائبها، لأصاب العبد من أدواء الكِبْرِ والعُجب، والفَرْعَنَةِ وقسوة القلب، ما هو سبب هلاكه عاجلًا أو آجلًا”. Tidaklah Allah mengujimu melainkan untuk memberimu keselamatan! Di antara hikmah dan rahasia adanya penyakit adalah dapat mengeluarkan penyakit-penyakit hati dari jiwa manusia, seperti sombong, angkuh, takjub dengan diri sendiri, dan tinggi hati, meremehkan orang lain, dan lain sebagainya. Terkadang Allah menguji seseorang dengan suatu penyakit di badannya, agar hatinya disembuhkan dari penyakit tersembunyi yang sudah melekat padanya, yang bahkan penyakit hati itu dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya, sehingga Allah mengujinya dengan penyakit itu, agar Dia menyelamatkannya dan menghilangkan penyakit itu dari hatinya. Oleh sebab itu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Kalaulah bukan karena ujian-ujian dan musibah-musibah di dunia, niscaya hamba akan tertimpa penyakit sombong, angkuh, sewenang-wenang, dan hati yang keras yang itu semua menjadi sebab kebinasaannya cepat atau lambat.” هذه بعض حِكَمِ الأمراض، ولله في كل ما يبتلي ويصيب حكمة تفوق فهم البشر وإدراكهم، وعلى المؤمن التسليم لله في كل الأحوال، فإذا أدركتَ لماذا أصابك الله بالمرض، وجب عليك الامتثال لأمره، والتسليم لحكمه، والرضا بقضائه وقدره، فما يأتي من الرب الرحيم اللطيف كله خير ورحمة، وإن كان بعضها مما تكرهه نفوسنا؛ قال سفيان الثوري: “ليس بفقيه من لم يَعُدُّ البلاء نعمةً، والرخاء مصيبة”، وقال ابن القيم رحمه الله: “ارضَ عن الله في جميع ما يفعله بك، فإنه ما منعك إلا ليُعطيك، ولا ابتلاك إلا ليُعافيك، ولا أمرضك إلا ليشفيك، ولا أماتك إلا ليُحييك، فإياك أن تفارق الرضا عنه طرفة عين، فتسقط من عينه”. Demikianlah beberapa hikmah dari penyakit. Allah memiliki hikmah dalam setiap ujian dan cobaan yang Dia berikan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dapat dipahami dan dicerna oleh manusia. Adapun seorang mukmin harus berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan. Apabila kamu telah mengetahui mengapa Allah menimpakan penyakit kepadamu, maka kamu harus menjalankan perintah-Nya, berserah diri atas ketetapan-Nya, serta rida dengan takdir dan keputusan-Nya. Apa yang datang dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Lembut semuanya pasti baik dan mengandung rahmat, meskipun sebagiannya tidak disukai oleh diri kita. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bukan termasuk orang paham agama, orang yang tidak menganggap musibah sebagai kenikmatan dan kesejahteraan sebagai musibah.”  Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Ridalah kepada Allah dalam segala hal yang Allah perbuat terhadapmu, karena tidaklah Dia menghalangimu dari sesuatu melainkan untuk memberimu, tidaklah Dia memberimu musibah melainkan untuk memberimu keselamatan, dan tidaklah Dia memberimu penyakit melainkan untuk menyembuhkanmu, serta tidaklah Dia mematikanmu melainkan untuk menghidupkanmu kembali. Oleh sebab itu, janganlah kamu sekali-kali meninggalkan keridaan kepada-Nya meski hanya sekejap mata, sehingga kamu dapat terabaikan dari mata-Nya.” Sumber: https://www.alukah.net/لماذا نمرض؟! Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 304 times, 1 visit(s) today Post Views: 310 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next