Kenapa Hidupmu Kurang Berkah? Mungkin Kau Abaikan 2 Sesepuh Ini – Syaikh Shalih Al-Ushaimi

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Keberkahan itu bersama para sesepuh di antara kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, namun ia memiliki cacat (kelemahan). Hadis ini menjelaskan bahwa keberkahan itu bersama orang-orang yang lebih tua (sesepuh). Makna ini telah tetap (diakui) dalam syariat, meskipun riwayatnya lemah. Banyak riwayat yang mendukung makna ini dari para sahabat. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengenai makna ini: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari para sesepuh mereka.” Yang dimaksud dengan “ilmu” di sini adalah seluruh ajaran agama. Maka keberkahan akan senantiasa ada di tengah manusia, selama mereka mengambil urusan agama mereka dari para sesepuhnya. Keberkahan yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas itu adalah kebaikan yang datang dalam atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Dalam hadis ini disebutkan bahwa keberkahan ada bersama para sesepuh. Dan ini merupakan makna yang telah tetap dalam dalil-dalil syariat. Yang dimaksud dengan para sesepuh adalah mereka yang memiliki dua sifat utama: Sifat pertama: lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat pertama adalah lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat kedua: benarnya agama dan ilmunya. Sifat kedua adalah benarnya agama dan ilmunya. Jika dua sifat ini terhimpun dalam seseorang maka keberkahannya akan sempurna. Jika seseorang dari kaum muslimin lebih dahulu dalam usia, sehingga ia tergolong orang yang lebih tua, lalu ia juga punya pemahaman agama yang sahih, lurus, dan istiqamah di atas kebenaran dan sunah, serta luas ilmunya, maka ada harapan besar bahwa ia termasuk orang yang diliputi keberkahan. Lalu keberkahan akan berkurang sesuai kadar berkurangnya sifat tersebut yang ada pada seseorang. Berkurangnya keberkahan karena kurangnya usia seseorang sangat mungkin terjadi. Namun yang lebih parah dari itu adalah berkurangnya keberkahan seiring dengan berkurangnya tanda-tanda lurusnya agama dan lemahnya komitmen terhadap kebenaran. Maka siapa yang menginginkan banyak keberkahan, hendaknya ia senantiasa bersama para sesepuh yang memiliki dua sifat tersebut. Adapun mengambil manfaat dari selain mereka tetap diperbolehkan, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abdurrahman bin Auf, mempelajari Al-Qur’an dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Padahal Ibnu Abbas jauh lebih muda dari mereka, termasuk lebih muda dari Abdurrahman bin Auf. Maka hal ini boleh saja. Namun prinsip utama dalam Islam adalah: mengagungkan para salaf (pendahulu) dan orang-orang tua (sesepuh), berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan, yaitu karena terdapat keberkahan padanya. ==== عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَلَهُ عِلَّةٌ وَفِي الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهَذَا الْمَعْنَى مُتَقَرِّرٌ فِي الشَّرْعِ وَإِنْ ضَعُفَتْ فِيْهِ الرِّوَايَةُ فَالْمَأْثُوْرُ فِي ذَلِكَ عَنِ الصَّحَابَةِ كَثِيرٌ فَيُرْوَى فِي هَذَا الْمَعْنَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمْ الْعِلْمُ مِنْ أَكَابِرِهِمْ وَمُرَادُهُمْ بِالْعِلْمِ الدِّينُ كُلُّهُ فَلَا تَزَالُ الْبَرَكَةُ فِي النَّاسِ بَاقِيَةً مَا صَدَرُوا فِي دِينِهِمْ عَنْ أَكَابِرِهِم وَالْبَرَكَةُ الْمَذْكُورَةُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ الْخَيْرُ الَّذِي جَاءَ فِي الْآثَارِ الْمَرْوِيَّةِ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ فَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهُوَ مَعْنًى مُتَقَرِّرٌ فِي دَلَائِلِ الشَّرْعِ وَالْمُرَادُ بِالْأَكَابِرِ الْجَامِعُوْنَ وَصْفَيْنِ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ فَإِذَا جُمِعَ هَذَانِ الْمَعْنَيَانِ كَمُلَتِ الْبَرَكَةُ فَإِذَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَوْصُوفًا بِتَقَدُّمِهِ فِي السِّنِّ بِكَوْنِهِ كَبِيرًا فِيهِ مَعَ صِحَّةِ دِيَانَتِهِ وَسَلَامَتِهِ وَلُزُومِهِ الْحَقَّ وَالسُّنَّةَ وَاتِّسَاعِهِ فِي الْعِلْمِ كَانَ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يُرْجَى مِنَ الْبَرَكَةِ مَعَهُ وَيَحْصُلُ النَّقْصُ لِغَيْرِهِ بِقَدْرِ مَا يَحْصُلُ مِنَ الْوَصْفِ فَالنَّقْصُ لِلْبَرَكَةِ مَعَ السِّنِّ وَاقِعٌ وَأَشَدُّ مِنْهُ نَقْصُ الْبَرَكَةِ مَعَ زَوَالِ اسْمِ صِحَّةِ الدِّيَانَةِ وَمُلَازَمَةِ الْحَقِّ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الْبَرَكَةِ فَإِنَّهُ يُلَازِمُ الْأَكَابِرَ الْمَوْصُوفِيْنَ بِهَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وَالِانْتِفَاعُ بِغَيْرِهِم جَائِزٌ وَعَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَقَدْ أَخَذَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْقُرْآنَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَصْغَرَ بِكَثِيرٍ مِنْ هَؤُلَاءِ وَمِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فَهَذَا جَائِزٌ لَكِنَّ الْأَصْلَ الْكُلِّيَّ فِي الْإِسْلَامِ تَعْظِيْمُ الأَسْلَافِ وَالْأَكَابِرِ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَوْنِ الْبَرَكَةِ فِي ذَلِكَ

Kenapa Hidupmu Kurang Berkah? Mungkin Kau Abaikan 2 Sesepuh Ini – Syaikh Shalih Al-Ushaimi

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Keberkahan itu bersama para sesepuh di antara kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, namun ia memiliki cacat (kelemahan). Hadis ini menjelaskan bahwa keberkahan itu bersama orang-orang yang lebih tua (sesepuh). Makna ini telah tetap (diakui) dalam syariat, meskipun riwayatnya lemah. Banyak riwayat yang mendukung makna ini dari para sahabat. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengenai makna ini: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari para sesepuh mereka.” Yang dimaksud dengan “ilmu” di sini adalah seluruh ajaran agama. Maka keberkahan akan senantiasa ada di tengah manusia, selama mereka mengambil urusan agama mereka dari para sesepuhnya. Keberkahan yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas itu adalah kebaikan yang datang dalam atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Dalam hadis ini disebutkan bahwa keberkahan ada bersama para sesepuh. Dan ini merupakan makna yang telah tetap dalam dalil-dalil syariat. Yang dimaksud dengan para sesepuh adalah mereka yang memiliki dua sifat utama: Sifat pertama: lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat pertama adalah lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat kedua: benarnya agama dan ilmunya. Sifat kedua adalah benarnya agama dan ilmunya. Jika dua sifat ini terhimpun dalam seseorang maka keberkahannya akan sempurna. Jika seseorang dari kaum muslimin lebih dahulu dalam usia, sehingga ia tergolong orang yang lebih tua, lalu ia juga punya pemahaman agama yang sahih, lurus, dan istiqamah di atas kebenaran dan sunah, serta luas ilmunya, maka ada harapan besar bahwa ia termasuk orang yang diliputi keberkahan. Lalu keberkahan akan berkurang sesuai kadar berkurangnya sifat tersebut yang ada pada seseorang. Berkurangnya keberkahan karena kurangnya usia seseorang sangat mungkin terjadi. Namun yang lebih parah dari itu adalah berkurangnya keberkahan seiring dengan berkurangnya tanda-tanda lurusnya agama dan lemahnya komitmen terhadap kebenaran. Maka siapa yang menginginkan banyak keberkahan, hendaknya ia senantiasa bersama para sesepuh yang memiliki dua sifat tersebut. Adapun mengambil manfaat dari selain mereka tetap diperbolehkan, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abdurrahman bin Auf, mempelajari Al-Qur’an dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Padahal Ibnu Abbas jauh lebih muda dari mereka, termasuk lebih muda dari Abdurrahman bin Auf. Maka hal ini boleh saja. Namun prinsip utama dalam Islam adalah: mengagungkan para salaf (pendahulu) dan orang-orang tua (sesepuh), berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan, yaitu karena terdapat keberkahan padanya. ==== عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَلَهُ عِلَّةٌ وَفِي الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهَذَا الْمَعْنَى مُتَقَرِّرٌ فِي الشَّرْعِ وَإِنْ ضَعُفَتْ فِيْهِ الرِّوَايَةُ فَالْمَأْثُوْرُ فِي ذَلِكَ عَنِ الصَّحَابَةِ كَثِيرٌ فَيُرْوَى فِي هَذَا الْمَعْنَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمْ الْعِلْمُ مِنْ أَكَابِرِهِمْ وَمُرَادُهُمْ بِالْعِلْمِ الدِّينُ كُلُّهُ فَلَا تَزَالُ الْبَرَكَةُ فِي النَّاسِ بَاقِيَةً مَا صَدَرُوا فِي دِينِهِمْ عَنْ أَكَابِرِهِم وَالْبَرَكَةُ الْمَذْكُورَةُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ الْخَيْرُ الَّذِي جَاءَ فِي الْآثَارِ الْمَرْوِيَّةِ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ فَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهُوَ مَعْنًى مُتَقَرِّرٌ فِي دَلَائِلِ الشَّرْعِ وَالْمُرَادُ بِالْأَكَابِرِ الْجَامِعُوْنَ وَصْفَيْنِ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ فَإِذَا جُمِعَ هَذَانِ الْمَعْنَيَانِ كَمُلَتِ الْبَرَكَةُ فَإِذَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَوْصُوفًا بِتَقَدُّمِهِ فِي السِّنِّ بِكَوْنِهِ كَبِيرًا فِيهِ مَعَ صِحَّةِ دِيَانَتِهِ وَسَلَامَتِهِ وَلُزُومِهِ الْحَقَّ وَالسُّنَّةَ وَاتِّسَاعِهِ فِي الْعِلْمِ كَانَ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يُرْجَى مِنَ الْبَرَكَةِ مَعَهُ وَيَحْصُلُ النَّقْصُ لِغَيْرِهِ بِقَدْرِ مَا يَحْصُلُ مِنَ الْوَصْفِ فَالنَّقْصُ لِلْبَرَكَةِ مَعَ السِّنِّ وَاقِعٌ وَأَشَدُّ مِنْهُ نَقْصُ الْبَرَكَةِ مَعَ زَوَالِ اسْمِ صِحَّةِ الدِّيَانَةِ وَمُلَازَمَةِ الْحَقِّ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الْبَرَكَةِ فَإِنَّهُ يُلَازِمُ الْأَكَابِرَ الْمَوْصُوفِيْنَ بِهَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وَالِانْتِفَاعُ بِغَيْرِهِم جَائِزٌ وَعَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَقَدْ أَخَذَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْقُرْآنَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَصْغَرَ بِكَثِيرٍ مِنْ هَؤُلَاءِ وَمِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فَهَذَا جَائِزٌ لَكِنَّ الْأَصْلَ الْكُلِّيَّ فِي الْإِسْلَامِ تَعْظِيْمُ الأَسْلَافِ وَالْأَكَابِرِ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَوْنِ الْبَرَكَةِ فِي ذَلِكَ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Keberkahan itu bersama para sesepuh di antara kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, namun ia memiliki cacat (kelemahan). Hadis ini menjelaskan bahwa keberkahan itu bersama orang-orang yang lebih tua (sesepuh). Makna ini telah tetap (diakui) dalam syariat, meskipun riwayatnya lemah. Banyak riwayat yang mendukung makna ini dari para sahabat. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengenai makna ini: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari para sesepuh mereka.” Yang dimaksud dengan “ilmu” di sini adalah seluruh ajaran agama. Maka keberkahan akan senantiasa ada di tengah manusia, selama mereka mengambil urusan agama mereka dari para sesepuhnya. Keberkahan yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas itu adalah kebaikan yang datang dalam atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Dalam hadis ini disebutkan bahwa keberkahan ada bersama para sesepuh. Dan ini merupakan makna yang telah tetap dalam dalil-dalil syariat. Yang dimaksud dengan para sesepuh adalah mereka yang memiliki dua sifat utama: Sifat pertama: lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat pertama adalah lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat kedua: benarnya agama dan ilmunya. Sifat kedua adalah benarnya agama dan ilmunya. Jika dua sifat ini terhimpun dalam seseorang maka keberkahannya akan sempurna. Jika seseorang dari kaum muslimin lebih dahulu dalam usia, sehingga ia tergolong orang yang lebih tua, lalu ia juga punya pemahaman agama yang sahih, lurus, dan istiqamah di atas kebenaran dan sunah, serta luas ilmunya, maka ada harapan besar bahwa ia termasuk orang yang diliputi keberkahan. Lalu keberkahan akan berkurang sesuai kadar berkurangnya sifat tersebut yang ada pada seseorang. Berkurangnya keberkahan karena kurangnya usia seseorang sangat mungkin terjadi. Namun yang lebih parah dari itu adalah berkurangnya keberkahan seiring dengan berkurangnya tanda-tanda lurusnya agama dan lemahnya komitmen terhadap kebenaran. Maka siapa yang menginginkan banyak keberkahan, hendaknya ia senantiasa bersama para sesepuh yang memiliki dua sifat tersebut. Adapun mengambil manfaat dari selain mereka tetap diperbolehkan, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abdurrahman bin Auf, mempelajari Al-Qur’an dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Padahal Ibnu Abbas jauh lebih muda dari mereka, termasuk lebih muda dari Abdurrahman bin Auf. Maka hal ini boleh saja. Namun prinsip utama dalam Islam adalah: mengagungkan para salaf (pendahulu) dan orang-orang tua (sesepuh), berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan, yaitu karena terdapat keberkahan padanya. ==== عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَلَهُ عِلَّةٌ وَفِي الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهَذَا الْمَعْنَى مُتَقَرِّرٌ فِي الشَّرْعِ وَإِنْ ضَعُفَتْ فِيْهِ الرِّوَايَةُ فَالْمَأْثُوْرُ فِي ذَلِكَ عَنِ الصَّحَابَةِ كَثِيرٌ فَيُرْوَى فِي هَذَا الْمَعْنَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمْ الْعِلْمُ مِنْ أَكَابِرِهِمْ وَمُرَادُهُمْ بِالْعِلْمِ الدِّينُ كُلُّهُ فَلَا تَزَالُ الْبَرَكَةُ فِي النَّاسِ بَاقِيَةً مَا صَدَرُوا فِي دِينِهِمْ عَنْ أَكَابِرِهِم وَالْبَرَكَةُ الْمَذْكُورَةُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ الْخَيْرُ الَّذِي جَاءَ فِي الْآثَارِ الْمَرْوِيَّةِ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ فَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهُوَ مَعْنًى مُتَقَرِّرٌ فِي دَلَائِلِ الشَّرْعِ وَالْمُرَادُ بِالْأَكَابِرِ الْجَامِعُوْنَ وَصْفَيْنِ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ فَإِذَا جُمِعَ هَذَانِ الْمَعْنَيَانِ كَمُلَتِ الْبَرَكَةُ فَإِذَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَوْصُوفًا بِتَقَدُّمِهِ فِي السِّنِّ بِكَوْنِهِ كَبِيرًا فِيهِ مَعَ صِحَّةِ دِيَانَتِهِ وَسَلَامَتِهِ وَلُزُومِهِ الْحَقَّ وَالسُّنَّةَ وَاتِّسَاعِهِ فِي الْعِلْمِ كَانَ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يُرْجَى مِنَ الْبَرَكَةِ مَعَهُ وَيَحْصُلُ النَّقْصُ لِغَيْرِهِ بِقَدْرِ مَا يَحْصُلُ مِنَ الْوَصْفِ فَالنَّقْصُ لِلْبَرَكَةِ مَعَ السِّنِّ وَاقِعٌ وَأَشَدُّ مِنْهُ نَقْصُ الْبَرَكَةِ مَعَ زَوَالِ اسْمِ صِحَّةِ الدِّيَانَةِ وَمُلَازَمَةِ الْحَقِّ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الْبَرَكَةِ فَإِنَّهُ يُلَازِمُ الْأَكَابِرَ الْمَوْصُوفِيْنَ بِهَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وَالِانْتِفَاعُ بِغَيْرِهِم جَائِزٌ وَعَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَقَدْ أَخَذَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْقُرْآنَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَصْغَرَ بِكَثِيرٍ مِنْ هَؤُلَاءِ وَمِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فَهَذَا جَائِزٌ لَكِنَّ الْأَصْلَ الْكُلِّيَّ فِي الْإِسْلَامِ تَعْظِيْمُ الأَسْلَافِ وَالْأَكَابِرِ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَوْنِ الْبَرَكَةِ فِي ذَلِكَ


Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Keberkahan itu bersama para sesepuh di antara kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, namun ia memiliki cacat (kelemahan). Hadis ini menjelaskan bahwa keberkahan itu bersama orang-orang yang lebih tua (sesepuh). Makna ini telah tetap (diakui) dalam syariat, meskipun riwayatnya lemah. Banyak riwayat yang mendukung makna ini dari para sahabat. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengenai makna ini: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari para sesepuh mereka.” Yang dimaksud dengan “ilmu” di sini adalah seluruh ajaran agama. Maka keberkahan akan senantiasa ada di tengah manusia, selama mereka mengambil urusan agama mereka dari para sesepuhnya. Keberkahan yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas itu adalah kebaikan yang datang dalam atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Karena hakikat keberkahan adalah melimpahnya kebaikan dan keberlanjutannya. Dalam hadis ini disebutkan bahwa keberkahan ada bersama para sesepuh. Dan ini merupakan makna yang telah tetap dalam dalil-dalil syariat. Yang dimaksud dengan para sesepuh adalah mereka yang memiliki dua sifat utama: Sifat pertama: lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat pertama adalah lebih dahulu dalam usia (lebih tua). Sifat kedua: benarnya agama dan ilmunya. Sifat kedua adalah benarnya agama dan ilmunya. Jika dua sifat ini terhimpun dalam seseorang maka keberkahannya akan sempurna. Jika seseorang dari kaum muslimin lebih dahulu dalam usia, sehingga ia tergolong orang yang lebih tua, lalu ia juga punya pemahaman agama yang sahih, lurus, dan istiqamah di atas kebenaran dan sunah, serta luas ilmunya, maka ada harapan besar bahwa ia termasuk orang yang diliputi keberkahan. Lalu keberkahan akan berkurang sesuai kadar berkurangnya sifat tersebut yang ada pada seseorang. Berkurangnya keberkahan karena kurangnya usia seseorang sangat mungkin terjadi. Namun yang lebih parah dari itu adalah berkurangnya keberkahan seiring dengan berkurangnya tanda-tanda lurusnya agama dan lemahnya komitmen terhadap kebenaran. Maka siapa yang menginginkan banyak keberkahan, hendaknya ia senantiasa bersama para sesepuh yang memiliki dua sifat tersebut. Adapun mengambil manfaat dari selain mereka tetap diperbolehkan, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abdurrahman bin Auf, mempelajari Al-Qur’an dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Padahal Ibnu Abbas jauh lebih muda dari mereka, termasuk lebih muda dari Abdurrahman bin Auf. Maka hal ini boleh saja. Namun prinsip utama dalam Islam adalah: mengagungkan para salaf (pendahulu) dan orang-orang tua (sesepuh), berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan, yaitu karena terdapat keberkahan padanya. ==== عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَلَهُ عِلَّةٌ وَفِي الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهَذَا الْمَعْنَى مُتَقَرِّرٌ فِي الشَّرْعِ وَإِنْ ضَعُفَتْ فِيْهِ الرِّوَايَةُ فَالْمَأْثُوْرُ فِي ذَلِكَ عَنِ الصَّحَابَةِ كَثِيرٌ فَيُرْوَى فِي هَذَا الْمَعْنَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمْ الْعِلْمُ مِنْ أَكَابِرِهِمْ وَمُرَادُهُمْ بِالْعِلْمِ الدِّينُ كُلُّهُ فَلَا تَزَالُ الْبَرَكَةُ فِي النَّاسِ بَاقِيَةً مَا صَدَرُوا فِي دِينِهِمْ عَنْ أَكَابِرِهِم وَالْبَرَكَةُ الْمَذْكُورَةُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ الْخَيْرُ الَّذِي جَاءَ فِي الْآثَارِ الْمَرْوِيَّةِ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ لِأَنَّ أَصْلَ الْبَرَكَةِ هِيَ كَثْرَةُ الْخَيْرِ وَدَوَامُهُ فَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْأَكَابِرِ وَهُوَ مَعْنًى مُتَقَرِّرٌ فِي دَلَائِلِ الشَّرْعِ وَالْمُرَادُ بِالْأَكَابِرِ الْجَامِعُوْنَ وَصْفَيْنِ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ أَحَدُهُمَا التَّقَدُّمُ فِي السِّنِّ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ وَالْآخَرُ صِحَّةُ الدِّيَانَةِ وَالْعِلْمِ فَإِذَا جُمِعَ هَذَانِ الْمَعْنَيَانِ كَمُلَتِ الْبَرَكَةُ فَإِذَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَوْصُوفًا بِتَقَدُّمِهِ فِي السِّنِّ بِكَوْنِهِ كَبِيرًا فِيهِ مَعَ صِحَّةِ دِيَانَتِهِ وَسَلَامَتِهِ وَلُزُومِهِ الْحَقَّ وَالسُّنَّةَ وَاتِّسَاعِهِ فِي الْعِلْمِ كَانَ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يُرْجَى مِنَ الْبَرَكَةِ مَعَهُ وَيَحْصُلُ النَّقْصُ لِغَيْرِهِ بِقَدْرِ مَا يَحْصُلُ مِنَ الْوَصْفِ فَالنَّقْصُ لِلْبَرَكَةِ مَعَ السِّنِّ وَاقِعٌ وَأَشَدُّ مِنْهُ نَقْصُ الْبَرَكَةِ مَعَ زَوَالِ اسْمِ صِحَّةِ الدِّيَانَةِ وَمُلَازَمَةِ الْحَقِّ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الْبَرَكَةِ فَإِنَّهُ يُلَازِمُ الْأَكَابِرَ الْمَوْصُوفِيْنَ بِهَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وَالِانْتِفَاعُ بِغَيْرِهِم جَائِزٌ وَعَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَقَدْ أَخَذَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْقُرْآنَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَصْغَرَ بِكَثِيرٍ مِنْ هَؤُلَاءِ وَمِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فَهَذَا جَائِزٌ لَكِنَّ الْأَصْلَ الْكُلِّيَّ فِي الْإِسْلَامِ تَعْظِيْمُ الأَسْلَافِ وَالْأَكَابِرِ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَوْنِ الْبَرَكَةِ فِي ذَلِكَ

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 10): Bahaya Kufur Terhadap Kasih Sayang Allah

Daftar Isi ToggleKufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahMengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanKufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratPenutupBayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya selalu diberi kebaikan—diberi makanan saat lapar, dilindungi saat dalam bahaya, dan disayangi tanpa syarat. Namun, orang itu justru melupakan semua kebaikan yang diterimanya, tidak pernah berterima kasih, bahkan membalasnya dengan sikap acuh. Bagaimana perasaan kita jika berada di posisi orang yang telah berbuat baik itu?Sekarang, mari kita renungkan. Bukankah Allah telah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita hitung? Udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, rezeki yang cukup, keluarga yang mencintai—semua itu adalah bukti kasih sayang Allah yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, terkadang kita lupa. Kita merasa semua itu sudah seharusnya kita miliki, tanpa menyadari bahwa itu semua adalah anugerah dari-Nya.Lalu, bagaimana jika seseorang tidak hanya lupa bersyukur, tetapi juga mengingkari kasih sayang Allah? Apa akibatnya jika hati mulai merasa cukup tanpa-Nya, mulai meragukan rahmat-Nya, atau bahkan menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat? Inilah yang disebut kufur terhadap kasih sayang Allah—dan ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya.Allah telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada kita. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam setiap tarikan napas, dan bahkan tetap memberikan nikmat-Nya meskipun kita sering lupa kepada-Nya. Begitu luas rahmat-Nya, hingga Rasulullah ﷺ menggambarkannya dalam sebuah hadis,ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [1]Kufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahAllah adalah sumber segala kebaikan, tetapi ketika seseorang mulai mengingkari nikmat-Nya, hatinya perlahan menjadi keras. Ia menjadi sulit menerima nasihat, mudah mengeluh, dan tidak merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ketika seseorang tidak lagi menyadari besarnya nikmat Allah, hatinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [2]Kufur nikmat bukan hanya tentang tidak mengucapkan, “Alhamdulillah”; tetapi juga ketika seseorang menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, melupakan ibadah, dan lebih mencintai dunia daripada akhirat. Hati yang tidak bersyukur akan semakin jauh dari Allah, sulit menerima nasihat, dan mudah terjerumus dalam kesalahan.Mengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanSalah satu bentuk kufur terhadap kasih sayang Allah adalah merasa bahwa diri ini tidak lagi layak untuk mendapat ampunan-Nya. Padahal, Allah sendiri telah menjanjikan bahwa rahmat-Nya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Allah sendiri telah berfirman,قُل يٰعِبَادِىَ الَّذِينَ اَسرَفُوا عَلٰى اَنفُسِهِم لَا تَقنَطُوا مِن رَّحمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا​  اِنَّه هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ‏“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [3]Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa, tetapi Allah selalu membuka pintu ampunan. Jangan pernah berpikir bahwa dosa kita terlalu besar untuk diampuni. Allah lebih luas rahmat-Nya daripada dosa-dosa hamba-Nya. Justru yang lebih berbahaya adalah jika kita merasa tidak lagi membutuhkan ampunan-Nya.Kufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratOrang yang terus mengingkari kasih sayang Allah, tidak bersyukur, dan menolak petunjuk-Nya, pada akhirnya akan menghadapi akibat yang berat. Allah memberikan banyak contoh dalam Al-Qur’an tentang kaum yang kufur terhadap nikmat-Nya, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Mereka diberi banyak kenikmatan, tetapi malah sombong dan berpaling dari Allah, hingga akhirnya ditimpa azab. Allah berfirman,وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرَةً كَانَت اٰمِنَةً مُّطمَئنَّةً يَّاتِيهَا رِزقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَت بِاَنعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الجُـوعِ وَالخَـوفِ بِمَا كَانُوا يَصنَعُونَ‏“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) suatu negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” [4]Di akhirat, orang-orang yang kufur terhadap kasih sayang Allah akan menyesal, tetapi penyesalan itu sudah terlambat. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya mengenai tiga sifat pembawa celaka yang bisa mengantarkan ke jurang neraka,أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍDari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun, jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran, lagi sombong.” [5]Azab Allah tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Terkadang, Allah mencabut keberkahan dalam hidup seseorang—hatinya gelisah, keluarganya tidak harmonis, rezekinya terasa sulit, dan kebahagiaan menjauh darinya.Kasih sayang Allah tidak terbatas. Dia terus memberi kita kesempatan untuk berubah, untuk kembali, dan untuk merasakan indahnya iman. Jika kita pernah lalai, jika kita pernah mengabaikan nikmat-Nya, jangan biarkan itu berlarut. Allah selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya.PenutupTelah selesai serial “Besarnya Kasih Sayang Allah”. Semoga Allah menjadikan serial ini bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikannya ikhlas karena Allah serta menjadi amal jariyah bagi penulis. Serial “Besarnya Kasih Sayang Allah” ini mungkin telah berakhir, tetapi kasih sayang Allah tidak akan pernah berakhir. Semoga kita termasuk hamba yang selalu bersyukur, selalu mengingat-Nya, dan selalu merasakan ketenangan dalam naungan rahmat-Nya.Ya Allah, jangan biarkan hati kami lalai dari mengingat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi hamba yang kufur terhadap nikmat-Mu. Bimbing kami selalu agar tetap dalam iman dan Islam hingga akhir hayat. آمين.الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات[Selesai]Kembali ke bagian 9 Mulai dari bagian 1***Serial ini diselesaikan di Jember, 3 Ramadan 1446/ 2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Bukhari dan Muslim[2] QS. Ibrahim: 7[3] QS. Az-Zumar: 53[4] QS. An-Nahl: 112[5] HR. Bukhari dan Muslim

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 10): Bahaya Kufur Terhadap Kasih Sayang Allah

Daftar Isi ToggleKufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahMengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanKufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratPenutupBayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya selalu diberi kebaikan—diberi makanan saat lapar, dilindungi saat dalam bahaya, dan disayangi tanpa syarat. Namun, orang itu justru melupakan semua kebaikan yang diterimanya, tidak pernah berterima kasih, bahkan membalasnya dengan sikap acuh. Bagaimana perasaan kita jika berada di posisi orang yang telah berbuat baik itu?Sekarang, mari kita renungkan. Bukankah Allah telah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita hitung? Udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, rezeki yang cukup, keluarga yang mencintai—semua itu adalah bukti kasih sayang Allah yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, terkadang kita lupa. Kita merasa semua itu sudah seharusnya kita miliki, tanpa menyadari bahwa itu semua adalah anugerah dari-Nya.Lalu, bagaimana jika seseorang tidak hanya lupa bersyukur, tetapi juga mengingkari kasih sayang Allah? Apa akibatnya jika hati mulai merasa cukup tanpa-Nya, mulai meragukan rahmat-Nya, atau bahkan menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat? Inilah yang disebut kufur terhadap kasih sayang Allah—dan ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya.Allah telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada kita. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam setiap tarikan napas, dan bahkan tetap memberikan nikmat-Nya meskipun kita sering lupa kepada-Nya. Begitu luas rahmat-Nya, hingga Rasulullah ﷺ menggambarkannya dalam sebuah hadis,ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [1]Kufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahAllah adalah sumber segala kebaikan, tetapi ketika seseorang mulai mengingkari nikmat-Nya, hatinya perlahan menjadi keras. Ia menjadi sulit menerima nasihat, mudah mengeluh, dan tidak merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ketika seseorang tidak lagi menyadari besarnya nikmat Allah, hatinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [2]Kufur nikmat bukan hanya tentang tidak mengucapkan, “Alhamdulillah”; tetapi juga ketika seseorang menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, melupakan ibadah, dan lebih mencintai dunia daripada akhirat. Hati yang tidak bersyukur akan semakin jauh dari Allah, sulit menerima nasihat, dan mudah terjerumus dalam kesalahan.Mengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanSalah satu bentuk kufur terhadap kasih sayang Allah adalah merasa bahwa diri ini tidak lagi layak untuk mendapat ampunan-Nya. Padahal, Allah sendiri telah menjanjikan bahwa rahmat-Nya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Allah sendiri telah berfirman,قُل يٰعِبَادِىَ الَّذِينَ اَسرَفُوا عَلٰى اَنفُسِهِم لَا تَقنَطُوا مِن رَّحمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا​  اِنَّه هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ‏“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [3]Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa, tetapi Allah selalu membuka pintu ampunan. Jangan pernah berpikir bahwa dosa kita terlalu besar untuk diampuni. Allah lebih luas rahmat-Nya daripada dosa-dosa hamba-Nya. Justru yang lebih berbahaya adalah jika kita merasa tidak lagi membutuhkan ampunan-Nya.Kufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratOrang yang terus mengingkari kasih sayang Allah, tidak bersyukur, dan menolak petunjuk-Nya, pada akhirnya akan menghadapi akibat yang berat. Allah memberikan banyak contoh dalam Al-Qur’an tentang kaum yang kufur terhadap nikmat-Nya, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Mereka diberi banyak kenikmatan, tetapi malah sombong dan berpaling dari Allah, hingga akhirnya ditimpa azab. Allah berfirman,وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرَةً كَانَت اٰمِنَةً مُّطمَئنَّةً يَّاتِيهَا رِزقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَت بِاَنعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الجُـوعِ وَالخَـوفِ بِمَا كَانُوا يَصنَعُونَ‏“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) suatu negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” [4]Di akhirat, orang-orang yang kufur terhadap kasih sayang Allah akan menyesal, tetapi penyesalan itu sudah terlambat. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya mengenai tiga sifat pembawa celaka yang bisa mengantarkan ke jurang neraka,أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍDari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun, jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran, lagi sombong.” [5]Azab Allah tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Terkadang, Allah mencabut keberkahan dalam hidup seseorang—hatinya gelisah, keluarganya tidak harmonis, rezekinya terasa sulit, dan kebahagiaan menjauh darinya.Kasih sayang Allah tidak terbatas. Dia terus memberi kita kesempatan untuk berubah, untuk kembali, dan untuk merasakan indahnya iman. Jika kita pernah lalai, jika kita pernah mengabaikan nikmat-Nya, jangan biarkan itu berlarut. Allah selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya.PenutupTelah selesai serial “Besarnya Kasih Sayang Allah”. Semoga Allah menjadikan serial ini bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikannya ikhlas karena Allah serta menjadi amal jariyah bagi penulis. Serial “Besarnya Kasih Sayang Allah” ini mungkin telah berakhir, tetapi kasih sayang Allah tidak akan pernah berakhir. Semoga kita termasuk hamba yang selalu bersyukur, selalu mengingat-Nya, dan selalu merasakan ketenangan dalam naungan rahmat-Nya.Ya Allah, jangan biarkan hati kami lalai dari mengingat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi hamba yang kufur terhadap nikmat-Mu. Bimbing kami selalu agar tetap dalam iman dan Islam hingga akhir hayat. آمين.الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات[Selesai]Kembali ke bagian 9 Mulai dari bagian 1***Serial ini diselesaikan di Jember, 3 Ramadan 1446/ 2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Bukhari dan Muslim[2] QS. Ibrahim: 7[3] QS. Az-Zumar: 53[4] QS. An-Nahl: 112[5] HR. Bukhari dan Muslim
Daftar Isi ToggleKufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahMengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanKufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratPenutupBayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya selalu diberi kebaikan—diberi makanan saat lapar, dilindungi saat dalam bahaya, dan disayangi tanpa syarat. Namun, orang itu justru melupakan semua kebaikan yang diterimanya, tidak pernah berterima kasih, bahkan membalasnya dengan sikap acuh. Bagaimana perasaan kita jika berada di posisi orang yang telah berbuat baik itu?Sekarang, mari kita renungkan. Bukankah Allah telah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita hitung? Udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, rezeki yang cukup, keluarga yang mencintai—semua itu adalah bukti kasih sayang Allah yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, terkadang kita lupa. Kita merasa semua itu sudah seharusnya kita miliki, tanpa menyadari bahwa itu semua adalah anugerah dari-Nya.Lalu, bagaimana jika seseorang tidak hanya lupa bersyukur, tetapi juga mengingkari kasih sayang Allah? Apa akibatnya jika hati mulai merasa cukup tanpa-Nya, mulai meragukan rahmat-Nya, atau bahkan menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat? Inilah yang disebut kufur terhadap kasih sayang Allah—dan ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya.Allah telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada kita. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam setiap tarikan napas, dan bahkan tetap memberikan nikmat-Nya meskipun kita sering lupa kepada-Nya. Begitu luas rahmat-Nya, hingga Rasulullah ﷺ menggambarkannya dalam sebuah hadis,ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [1]Kufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahAllah adalah sumber segala kebaikan, tetapi ketika seseorang mulai mengingkari nikmat-Nya, hatinya perlahan menjadi keras. Ia menjadi sulit menerima nasihat, mudah mengeluh, dan tidak merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ketika seseorang tidak lagi menyadari besarnya nikmat Allah, hatinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [2]Kufur nikmat bukan hanya tentang tidak mengucapkan, “Alhamdulillah”; tetapi juga ketika seseorang menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, melupakan ibadah, dan lebih mencintai dunia daripada akhirat. Hati yang tidak bersyukur akan semakin jauh dari Allah, sulit menerima nasihat, dan mudah terjerumus dalam kesalahan.Mengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanSalah satu bentuk kufur terhadap kasih sayang Allah adalah merasa bahwa diri ini tidak lagi layak untuk mendapat ampunan-Nya. Padahal, Allah sendiri telah menjanjikan bahwa rahmat-Nya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Allah sendiri telah berfirman,قُل يٰعِبَادِىَ الَّذِينَ اَسرَفُوا عَلٰى اَنفُسِهِم لَا تَقنَطُوا مِن رَّحمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا​  اِنَّه هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ‏“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [3]Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa, tetapi Allah selalu membuka pintu ampunan. Jangan pernah berpikir bahwa dosa kita terlalu besar untuk diampuni. Allah lebih luas rahmat-Nya daripada dosa-dosa hamba-Nya. Justru yang lebih berbahaya adalah jika kita merasa tidak lagi membutuhkan ampunan-Nya.Kufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratOrang yang terus mengingkari kasih sayang Allah, tidak bersyukur, dan menolak petunjuk-Nya, pada akhirnya akan menghadapi akibat yang berat. Allah memberikan banyak contoh dalam Al-Qur’an tentang kaum yang kufur terhadap nikmat-Nya, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Mereka diberi banyak kenikmatan, tetapi malah sombong dan berpaling dari Allah, hingga akhirnya ditimpa azab. Allah berfirman,وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرَةً كَانَت اٰمِنَةً مُّطمَئنَّةً يَّاتِيهَا رِزقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَت بِاَنعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الجُـوعِ وَالخَـوفِ بِمَا كَانُوا يَصنَعُونَ‏“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) suatu negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” [4]Di akhirat, orang-orang yang kufur terhadap kasih sayang Allah akan menyesal, tetapi penyesalan itu sudah terlambat. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya mengenai tiga sifat pembawa celaka yang bisa mengantarkan ke jurang neraka,أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍDari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun, jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran, lagi sombong.” [5]Azab Allah tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Terkadang, Allah mencabut keberkahan dalam hidup seseorang—hatinya gelisah, keluarganya tidak harmonis, rezekinya terasa sulit, dan kebahagiaan menjauh darinya.Kasih sayang Allah tidak terbatas. Dia terus memberi kita kesempatan untuk berubah, untuk kembali, dan untuk merasakan indahnya iman. Jika kita pernah lalai, jika kita pernah mengabaikan nikmat-Nya, jangan biarkan itu berlarut. Allah selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya.PenutupTelah selesai serial “Besarnya Kasih Sayang Allah”. Semoga Allah menjadikan serial ini bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikannya ikhlas karena Allah serta menjadi amal jariyah bagi penulis. Serial “Besarnya Kasih Sayang Allah” ini mungkin telah berakhir, tetapi kasih sayang Allah tidak akan pernah berakhir. Semoga kita termasuk hamba yang selalu bersyukur, selalu mengingat-Nya, dan selalu merasakan ketenangan dalam naungan rahmat-Nya.Ya Allah, jangan biarkan hati kami lalai dari mengingat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi hamba yang kufur terhadap nikmat-Mu. Bimbing kami selalu agar tetap dalam iman dan Islam hingga akhir hayat. آمين.الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات[Selesai]Kembali ke bagian 9 Mulai dari bagian 1***Serial ini diselesaikan di Jember, 3 Ramadan 1446/ 2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Bukhari dan Muslim[2] QS. Ibrahim: 7[3] QS. Az-Zumar: 53[4] QS. An-Nahl: 112[5] HR. Bukhari dan Muslim


Daftar Isi ToggleKufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahMengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanKufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratPenutupBayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya selalu diberi kebaikan—diberi makanan saat lapar, dilindungi saat dalam bahaya, dan disayangi tanpa syarat. Namun, orang itu justru melupakan semua kebaikan yang diterimanya, tidak pernah berterima kasih, bahkan membalasnya dengan sikap acuh. Bagaimana perasaan kita jika berada di posisi orang yang telah berbuat baik itu?Sekarang, mari kita renungkan. Bukankah Allah telah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita hitung? Udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, rezeki yang cukup, keluarga yang mencintai—semua itu adalah bukti kasih sayang Allah yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, terkadang kita lupa. Kita merasa semua itu sudah seharusnya kita miliki, tanpa menyadari bahwa itu semua adalah anugerah dari-Nya.Lalu, bagaimana jika seseorang tidak hanya lupa bersyukur, tetapi juga mengingkari kasih sayang Allah? Apa akibatnya jika hati mulai merasa cukup tanpa-Nya, mulai meragukan rahmat-Nya, atau bahkan menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat? Inilah yang disebut kufur terhadap kasih sayang Allah—dan ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya.Allah telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada kita. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam setiap tarikan napas, dan bahkan tetap memberikan nikmat-Nya meskipun kita sering lupa kepada-Nya. Begitu luas rahmat-Nya, hingga Rasulullah ﷺ menggambarkannya dalam sebuah hadis,ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [1]Kufur nikmat menjadikan hati keras dan jauh dari AllahAllah adalah sumber segala kebaikan, tetapi ketika seseorang mulai mengingkari nikmat-Nya, hatinya perlahan menjadi keras. Ia menjadi sulit menerima nasihat, mudah mengeluh, dan tidak merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ketika seseorang tidak lagi menyadari besarnya nikmat Allah, hatinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [2]Kufur nikmat bukan hanya tentang tidak mengucapkan, “Alhamdulillah”; tetapi juga ketika seseorang menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, melupakan ibadah, dan lebih mencintai dunia daripada akhirat. Hati yang tidak bersyukur akan semakin jauh dari Allah, sulit menerima nasihat, dan mudah terjerumus dalam kesalahan.Mengingkari rahmat Allah bisa membawa keputusasaanSalah satu bentuk kufur terhadap kasih sayang Allah adalah merasa bahwa diri ini tidak lagi layak untuk mendapat ampunan-Nya. Padahal, Allah sendiri telah menjanjikan bahwa rahmat-Nya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Allah sendiri telah berfirman,قُل يٰعِبَادِىَ الَّذِينَ اَسرَفُوا عَلٰى اَنفُسِهِم لَا تَقنَطُوا مِن رَّحمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا​  اِنَّه هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ‏“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [3]Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa, tetapi Allah selalu membuka pintu ampunan. Jangan pernah berpikir bahwa dosa kita terlalu besar untuk diampuni. Allah lebih luas rahmat-Nya daripada dosa-dosa hamba-Nya. Justru yang lebih berbahaya adalah jika kita merasa tidak lagi membutuhkan ampunan-Nya.Kufur terhadap kasih sayang Allah mendatangkan azab di dunia dan akhiratOrang yang terus mengingkari kasih sayang Allah, tidak bersyukur, dan menolak petunjuk-Nya, pada akhirnya akan menghadapi akibat yang berat. Allah memberikan banyak contoh dalam Al-Qur’an tentang kaum yang kufur terhadap nikmat-Nya, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Mereka diberi banyak kenikmatan, tetapi malah sombong dan berpaling dari Allah, hingga akhirnya ditimpa azab. Allah berfirman,وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرَةً كَانَت اٰمِنَةً مُّطمَئنَّةً يَّاتِيهَا رِزقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَت بِاَنعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الجُـوعِ وَالخَـوفِ بِمَا كَانُوا يَصنَعُونَ‏“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) suatu negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” [4]Di akhirat, orang-orang yang kufur terhadap kasih sayang Allah akan menyesal, tetapi penyesalan itu sudah terlambat. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya mengenai tiga sifat pembawa celaka yang bisa mengantarkan ke jurang neraka,أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍDari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun, jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran, lagi sombong.” [5]Azab Allah tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Terkadang, Allah mencabut keberkahan dalam hidup seseorang—hatinya gelisah, keluarganya tidak harmonis, rezekinya terasa sulit, dan kebahagiaan menjauh darinya.Kasih sayang Allah tidak terbatas. Dia terus memberi kita kesempatan untuk berubah, untuk kembali, dan untuk merasakan indahnya iman. Jika kita pernah lalai, jika kita pernah mengabaikan nikmat-Nya, jangan biarkan itu berlarut. Allah selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya.PenutupTelah selesai serial “Besarnya Kasih Sayang Allah”. Semoga Allah menjadikan serial ini bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikannya ikhlas karena Allah serta menjadi amal jariyah bagi penulis. Serial “Besarnya Kasih Sayang Allah” ini mungkin telah berakhir, tetapi kasih sayang Allah tidak akan pernah berakhir. Semoga kita termasuk hamba yang selalu bersyukur, selalu mengingat-Nya, dan selalu merasakan ketenangan dalam naungan rahmat-Nya.Ya Allah, jangan biarkan hati kami lalai dari mengingat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi hamba yang kufur terhadap nikmat-Mu. Bimbing kami selalu agar tetap dalam iman dan Islam hingga akhir hayat. آمين.الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات[Selesai]Kembali ke bagian 9 Mulai dari bagian 1***Serial ini diselesaikan di Jember, 3 Ramadan 1446/ 2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Bukhari dan Muslim[2] QS. Ibrahim: 7[3] QS. Az-Zumar: 53[4] QS. An-Nahl: 112[5] HR. Bukhari dan Muslim

Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir

أحكام صلاة التراويح والوتر Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir قيام الليل قربة عظيمة في رمضان وغيره، وهو في رمضان آكد؛ لقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([1]). سمي قيام الليل في رمضان بصلاة التراويح؛ لأنّ السّلف رحمهم الله كانوا إذا صلّوها استراحوا بعد كلّ ركعتين، أو أربع من اجتهادهم في تطويل صلاة قيام الليل([2]). Salat malam adalah ibadah yang agung, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan, tetapi di bulan Ramadan lebih dianjurkan lagi berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (1) Salat malam di bulan Ramadan disebut dengan salat Tarawih, karena para Salaf dahulu —Semoga Allah Merahmati mereka— jika mengerjakan salat ini, mereka beristirahat dahulu setelah selesai mengerjakan dua atau empat rakaat, tergantung panjangnya salat malam yang mereka kerjakan ini sesuai dengan kemampuan mereka. ([2]) أولاً: الفرق بين صلاة التراويح والتهجد والوتر: صلاة التهجد والتراويح أسماء ومصطلحات داخلة في مسمى صلاة الليل. لكن الفرق بينهما: أن التراويح تطلق -عند العلماء- على القيام من أول الليل في رمضان خاصة. وصلاة التهجد: هي الصلاة التي تكون بعد نوم([3]). فائدة: فرق أهل العلم بين صلاة الليل والوتر من جهة الحكم ومن جهة الكيفية: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” والسنة قولاً وفعلاً قد فرقت بين صلاة الليل وبين الوتر، وكذلك أهل العلم فرقوا بينهما حكماً، وكيفية: أما تفريق السنة بينهما قولاً: ففي حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم كيف صلاة الليل؟ قال: (مثنى مثنى، فإذا خفت الصبح فأوتر بواحدة) رواه البخاري. وانظر “الفتح” (3/20). Pertama: Perbedaan antara Salat Tarawih, Tahajud, dan Witir Salat Tahajud dan Tarawih adalah nama dan istilah yang termasuk dalam cakupan salat malam. Hanya saja, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Tarawih —menurut para ulama— digunakan secara khusus untuk menyebut salat yang dilakukan di awal malam di bulan Ramadan. Adapun salat Tahajud adalah salat yang dilakukan setelah tidur. ([3]). Faedah dari dibedakannya antara salat malam dan salat Witir oleh para ulama dari segi hukum dan tata caranya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa berdasarkan Sunah dari perkataan dan perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, ada perbedaan antara salat malam dan salat Witir. Pun para ulama juga membedakan keduanya dari segi hukum dan tata caranya. Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tersebut dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang bagaimana cara mengerjakan salat malam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat Witir satu rakaat.” (HR Bukhari) Lihat kitab al-Fath (20/3). وأما تفريق السنة بينهما فعلاً: ففي حديث عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه، فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوتر. رواه البخاري. وانظر: “الفتح” (2/487)، ورواه مسلم (1/51) بلفظ: (كان يصلي صلاته بالليل وأنا معترضة بين يديه فإذا بقي الوتر أيقظها فأوترت).  Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang salat, sedangkan aku sedang tidur membujur di atas tempat tidurnya. Lalu, jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah ingin menunaikan witir, beliau membangunkanku lalu salat Witir.” (HR. Bukhari) Lihat kitab al-Fath (2/487) Hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim (1/51) dengan redaksi bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melaksanakan salat di malam hari, sementara Aisyah tidur membujur di hadapannya. Kemudian, jika tinggal salat Witir saja, beliau membangunkannya lalu dia melakukan witir. وروى (1/508) عنها قالت: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها. وروى (1/513) عنها حين قال لها سعد بن هشام بن عامر: أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: (ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده، ويدعوه، ثم ينهض ولا يسلم، ثم يقوم فيصلي التاسعة، ثم يقعد فيذكر الله، ويحمده، ويدعوه، ثم يسلم تسليماً يسمعنا). Imam Muslim juga meriwayatkan (1/508) darinya —Semoga Allah Meridainya— yang mengisahkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat tiga belas rakaat di malam hari termasuk melaksanakan witir lima rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang terakhir. Beliau juga meriwayatkan (1/513) darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Saad bin Hisyam bin Amir bertanya kepadanya, “Ceritakan padaku tentang salat Witirnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab, “Beliau salat sembilan rakaat, yang mana beliau tidak duduk hingga rakaat kedelapan, lalu berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, beliau bangun lagi tanpa salam dan salat lagi mengerjakan rakaat kesembilan. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam duduk berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah, lalu salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami” وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل حكماً: فإن العلماء اختلفوا في وجوب الوتر، فذهب أبو حنيفة إلى وجوبه، وهو رواية عن أحمد ذكرها في “الإنصاف” و”الفروع”، قال أحمد: من ترك الوتر عمداً فهو رجل سوء ولا ينبغي أن تقبل له شهادة. والمشهور من المذهب أن الوتر سنة، وهو مذهب مالك؛ والشافعي. وأما صلاة الليل فليس فيها هذا الخلاف، ففي “فتح الباري” (3/27): “ولم أر النقل في القول بإيجابه إلا عن بعض التابعين. قال ابن عبد البر: شذ بعض التابعين فأوجب قيام الليل ولو قدر حلب شاة، والذي عليه جماعة العلماء أنه مندوب إليه” انتهى. Adapun yang dijelaskan oleh para ulama tentang perbedaan hukum antara salat Witir dan salat malam, maka mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya salat Witir. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Itu juga salah satu riwayat dari Ahmad yang tersebut dalam kitab al-Inṣhāf dan al-Furūʿ. Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan tidak layak diterima kesaksiannya.” Adapun dalam internal mazhab kami, yang terkenal adalah pendapat bahwa salat Witir itu sunah. Inilah pendapat Malik dan Syafii.  Adapun hukum salat malam, maka tidak ada perbedaan pendapat seperti ini. Disebutkan dalam Fathul Bari (27/3), “Saya tidak menemukan adanya kutipan pendapat yang mewajibkannya kecuali hanya dari sebagian ulama Tabiin. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sebagian Tabiin berpendapat nyeleneh dengan mewajibkan salat malam meskipun hanya sesaat seperti durasi memerah susu domba. Adapun pendapat mayoritas ulama adalah sunah.” Selesai kutipan. وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل في الكيفية: فقد صرح فقهاؤنا الحنابلة بالتفريق بينهما فقالوا: صلاة الليل مثنى مثنى، وقالوا في الوتر: إن أوتر بخمس، أو سبع لم يجلس إلا في آخرها، وإن أوتر بتسع جلس عقب الثامنة فتشهد، ثم قام قبل أن يسلم فيصلي التاسعة، ثم يتشهد ويسلم، هذا ما قاله صاحب “زاد المستقنع” ” انتهى([4]). Adapun perbedaan yang ditetapkan para ulama tentang tata cara salat Witir dan salat malam, maka para ulama kami dari kalangan mazhab Hanbali telah menyatakan perbedaan di antara keduanya dengan mengatakan bahwa salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Adapun salat Witir, mereka mengatakan bahwa witir hendaknya dikerjakan lima atau tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat. Adapun jika witir sembilan rakaat, hendaknya dia duduk tasyahud di rakaat kedelapan, lalu sebelum salam berdiri lagi mengerjakan rakaat kesembilan lalu tasyahud baru salam. Beginilah yang disebutkan dalam kitab Zād al-Mustaqniʿ. Selesai kutipan ([4]). وكذلك من جهة الكيفية: فقالوا: أقل ما يحصل به القيام: ركعتان، وأكثره لا حد له؛ لحديث: (صَلاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([5]). وأقل ما يحصل به الوتر: ركعة واحدة؛ للحديث السابق. قد ورد ما يفيد أن أقل القيام ركعة، لكنه لا يصح. فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: “أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصلاة الليل، ورغَّب فيها حتى قال: عليكم بصلاة الليل ولو ركعة” ([6]). Termasuk perbedaan dari sisi tata caranya, mereka berkata bahwa salat malam minimal dua rakaat dan bisa lebih tanpa ada batasannya, berdasarkan sebuah hadis, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([5]) Adapun salat Witir minimal satu rakaat, berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Ada riwayat yang mengisyaratkan bahwa salat malam minimalnya satu rakaat, tetapi tidak sahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan salat malam dan terus menganjurkannya sampai-sampai beliau bersabda, “Kalian harus menunaikan salat malam meskipun hanya satu rakaat.” ([6]). وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فَذَكَرْتُ قيامَ الليلِ، فقال بعضهم: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: نصفَه، ثلثَه، ربعَه، فُواق حَلْبِ ناقةٍ، فُواق حلْبِ شاةٍ”([7]). (فُواق الناقة): “بضم الفاء وتفتح ما بين الحلبتين من الوقت، لأنها تحلب ثم تترك سويعة يرضعها الفصيل، لتدر” انتهى ([8]). واعلم أن الوتر غير قيام الليل، فلا يؤخذ من صحة الوتر بركعة، أن أقل القيام ركعة. قال في “كشاف القناع” (5/ 23): “(وَهَلْ هُوَ) أَيْ الْوِتْرُ (قِيَامُ اللَّيْلِ أَوْ غَيْرُهُ ؟ احْتِمَالَانِ؛ الْأَظْهَرُ: الثَّانِي)، أَيْ أَنَّ الْوِتْرَ غَيْرُ قِيَامِ اللَّيْلِ، لِحَدِيثٍ سَاقَهُ ابْنُ عَقِيلٍ: الْوِتْرُ وَالتَّهَجُّدُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ.قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: فَرَّقَ أَصْحَابُنَا هُنَا بَيْنَ الْوِتْرِ، وَقِيَامِ اللَّيْلِ” انتهى. وبهذا يتبين أن صلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالف صلاة الليل في بعض الفروقات، منها: الكيفية ([9]). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Ketika aku berkata tentang salat malam, sebagian dari mereka berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘(Selama) setengah malam, sepertiganya, seperempatnya, seperti waktu jeda ketika memerah susu unta, atau jeda ketika memerah susu domba.” ([7]) Jeda (Fuwāq) di sini, dengan mendamahkan huruf fa atau memfathahnya, artinya adalah jeda waktu antara dua pemerahan, yaitu diperah dahulu kemudian dibiarkan sesaat agar menyusui lagi sehingga susunya penuh lagi. Selesai kutipan. ([8]) Ketahuilah bahwa salat malam bukanlah salat Witir, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya dengan salat Witir yang sah dikerjakan dengan satu rakaat atau bahwa minimal rakaat salat malam adalah satu rakaat. Disebutkan dalam Kasyāf al-Qināʾ (23/5): “(Dan apakah) yaitu witir (adalah salat malam atau bukan?) Ada dua pendapat, tetapi yang lebih tepat adalah yang kedua, yaitu bahwa salat Witir bukanlah salat malam, berdasarkan hadis yang dipaparkan oleh Ibnu Aqil tentang salat Witir, Tahajud, dan dua rakaat Subuh. Syekh Taqiyudin berkata, ‘Para sahabat kami dalam masalah ini membedakan antara salat Witir dan salat malam.'” Selesai kutipan. Dengan demikian jelas bahwa salat Witir termasuk bagian dari salat malam, hanya saja ada perbedaan dengan salat malam dalam beberapa perkara, termasuk di antaranya adalah tata caranya ([9]). ثانيا: مشروعية صلاة التراويح جماعة في المسجد، وبطلان القول ببدعيتها: صلاة التراويح في المسجد مع الجماعة أفضل من صلاتها في البيت، وقد دلت على ذلك السنة، وفعل الصحابة رضي الله عنهم. 1/ فعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ ([10]). Kedua: Disyariatkannya Salat Tarawih Berjamaah di Masjid dan Batilnya Pendapat yang Membidahkannya Salat Tarawih di masjid secara berjamaah lebih baik daripada melakukannya di rumah. Dalilnya adalah Sunah dan amalan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka—. Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan salat pada suatu malam di masjid, lalu orang-orang salat mengikuti salat beliau. Kemudian, beliau melakukan salat lagi di malam berikutnya sehingga semakin banyak orang yang ikut. Kemudian, mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, “Aku melihat apa yang kalian lakukan, tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian kecuali karena aku khawatir ini akan diwajibkan kepada kalian.” Hal itu terjadi di bulan Ramadan ([10]). فهذا يدل على أن صلاة التراويح في جماعة مشروعة بسنة النبي صلى الله عليه وسلم، غير أنه تركها خشية أن تفرض على الأمة، فلما مات النبي صلى الله عليه وسلم زال هذا المحذور، لاستقرار الشريعة. Hadis ini menunjukkan bahwa salat Tarawih berjamaah disyariatkan berdasarkan Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Adapun ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah wafat, larangan ini hilang karena hukum syariat sudah final. 2/ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ –يعني في صلاة التراويح- حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([11]). 3/عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ([12]). Diriwayatkan dari Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam —maksudnya salat Tarawih— sampai dia selesai, maka dicatat baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([11]). Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qārī yang berkata, “Aku pergi bersama Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadan. Ketika itu orang-orang berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang salat sendiri dan ada yang salat dengan beberapa orang jemaah. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Saya berpikir bahwa lebih baik aku mengumpulkan mereka semua bersama satu imam.’ Dia lantas memutuskan hal itu dan mengumpulkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaab.” ([12])  قال النووي رحمه الله:” صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ… وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً, وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ. الثَّانِي: الانْفِرَادُ أَفْضَلُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ, وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ. قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ: قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو إِسْحَاقَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ جَمَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ الانْفِرَادِ لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَإِجْمَاعِ أَهْلِ الأَمْصَارِ عَلَى ذَلِكَ” انتهى ([13]). Imam an-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Salat Tarawih hukumnya sunah berdasarkan konsensus para ulama … yang boleh dikerjakan sendiri atau berjamaah. Akan tetapi, mana yang lebih utama? Ada dua pendapat terkenal. Yang benar, dengan kesepakatan para sahabat kami (mazhab Syafii), bahwa berjamaah itu lebih utama. Pendapat kedua mengatakan salat sendirian lebih utama. Para sahabat kami mengatakan bahwa perbedaan pendapat ini berlaku bagi orang yang hafal al-Quran, tidak khawatir bosan jika salat sendirian, serta tidak menggembosi salat berjamaah yang didirikan di masjid karena ketidakikutsertaannya. Jika dalam diri seseorang tidak ada dari salah satu perkara di atas, maka salat berjamaah lebih baik baginya tanpa ada perselisihan pendapat. Pengarang kitab asy-Syamil berkata bahwa Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Salat Tarawih berjamaah lebih utama daripada salat Tarawih sendirian, berdasarkan kesepakatan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dan masyarakat di berbagai negeri mengenai hal itu.'” Selesai kutipan ([13]) وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” وكان النبي صلى الله عليه وسلم أول من سن الجماعة في صلاة التراويح في المسجد، ثم تركها خوفا من أن تفرض على أمته…. ثم ذكر الحديثين السابقين، ثم قال: ولا ينبغي للرجل أن يتخلف عن صلاة التراويح لينال ثوابها وأجرها، ولا ينصرف حتى ينتهي الإمام منها ومن الوتر، ليحصل له أجر قيام الليل كله” انتهى باختصار ([14]). Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah orang pertama yang melakukan salat Tarawih secara berjamaah di masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. … Kemudian Syekh menyebutkan dua hadis yang dijelaskan sebelumnya, lalu mengatakan, “Seseorang tidak selayaknya melewatkan salat Tarawih agar mendapatkan ganjaran dan pahalanya, dan janganlah dia meninggalkannya sampai sang imam menyelesaikan salat Tarawihnya dan salat Witir, agar ia memperoleh pahala salat sepanjang malam.” Selesai kutipan dengan diringkas ([14]). وقال الألباني رحمه الله: ” وتشرع الجماعة في قيام رمضان، بل هي أفضل من الانفراد، لإقامة النبي صلى الله عليه وسلم لها بنفسه، وبيانه لفضلها بقوله. وإنما لم يقم بهم عليه الصلاة والسلام بقية الشهر خشية أن تفرض عليهم صلاة الليل في رمضان، فيعجزوا عنها كما جاء في حديث عائشة في “الصحيحين” وغيرهما. وقد زالت هذه الخشية بوفاته صلى الله عليه وسلم بعد أن أكمل الله الشريعة، وبذلك زال المعلول، وهو ترك الجماعة في قيام رمضان، وبقي الحكم السابق، وهو مشروعية الجماعة، ولذلك أحياها عمر رضي الله عنه كما في “صحيح البخاري” وغيره ” انتهى ([15]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam (Tarawih) di bulan Ramadan disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah, bahkan itu lebih baik daripada salat sendirian, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya demikian dan menjelaskan keutamaannya dalam sabda beliau. Namun beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berjamaah bersama mereka di sisa hari di bulan itu karena khawatir salat malam di bulan Ramadan akan diwajibkan bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu menunaikannya, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah dalam kitab Sahihain dan lain-lain. Kekhawatiran ini telah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menyempurnakan ini, yang dengan demikian alasan meninggalkan salat berjamaah di malam di Ramadan tidak berlaku lagi, sehingga hukum asalnya kembali lagi, yaitu disyariatkannya salat Tarawih secara berjamaah. Inilah mengapa Umar —Semoga Allah Meridainya— menghidupkannya kembali seperti yang tersebut dalam Sahih Bukhari dan kitab lainnya. Selesai kutipan [15]). وأما قول عمر رضي الله عنه –عن صلاة التراويح-: “نعمت البدعة هذه ” لما رأى الصحابة مجتمعين على صلاة التراويح، فمراده رضي الله عنه: البدعة اللغوية وليست الشرعية. يعني: أنها أمر جديد، لم تجر به عادة الناس وعملهم. وذلك أن جمع الناس في رمضان كل ليلة على إمام واحد باستمرار وانتظام: لم يكن من قبل، فاعتبر ظاهر الحال، وقصد المعنى اللغوي للبدعة، ولم يقصد المعنى الشرعي لها، الذي يعني: استحداث أمر في الدين، وليس منه، مع نسبته إلى الدين؛ فصلاة التراويح من الدين المشروع المندوب إليها، وهكذا صلاتها جماعة: من الأمر المرغب فيه المندوب إليه، وثبت أصله من فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقوله. Adapun pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— tentang salat Tarawih, “Inilah sebaik-baik bidah,” ketika melihat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— berkumpul untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah, maka yang dia —Semoga Allah Meridainya— maksud adalah bidah secara bahasa dan bukan bidah secara istilah syariat, artinya ini adalah suatu hal yang baru yang sebelumnya tidak diamalkan dan belum menjadi kebiasaan mereka. Hal ini karena berjamaahnya orang-orang di bulan Ramadan setiap malam dengan satu imam secara terus-menerus dan teratur memang sebelumnya tidak ada dari sisi realitas, sehingga maksudnya —Semoga Allah Meridainya— adalah bidah secara bahasa, bukan secara hukum syariat yang maknanya perkara baru dalam agama yang bukan bagian darinya tapi dianggap sebagai bagian dari agama. Salat Tarawih termasuk bagian dari agama yang disyariatkan dan dianjurkan. Demikian pula melakukannya secara berjamaah, dianjurkan dan disunahkan, yang mana amalan ini dasarnya adalah dari perbuatan dan perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  ” هذه تسمية لغوية، لا تسمية شرعية، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق. وأما البدعة الشرعية: فما لم يدل عليه دليل شرعي، فإذا كان نص رسول الله صلى الله عليه وسلم قد دل على استحباب فعل أو إيجابه بعد موته، أو دل عليه مطلقا، ولم يعمل به إلا بعد موته، ككتاب الصدقة، الذي أخرجه أبو بكر-رضي الله عنه- فإذا عمل ذلك العمل بعد موته، صح أن يسمى بدعة في اللغة؛ لأنه عمل مبتدأ. . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa itu adalah sebutan secara bahasa, bukan secara syariat, karena bidah secara bahasa mencakup segala sesuatu yang mulai dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bidah secara syariat adalah amalan yang tidak ada landasan dalilnya dalam syariat. Maka dari itu, jika ada nas dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang menunjukkan dianjurkannya atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat atau secara mutlak tapi beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri belum mengamalkannya sampai beliau wafat, seperti penulisan zakat yang diterapkan oleh Abu Bakar —Semoga Allah Meridainya—, maka perkara yang diamalkan setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat itu sah-sah saja jika disebut bidah secara bahasa, karena itu memang perbuatan yang baru dimulai.  كما أن نفس الدين الذي جاء به النبي صلى الله عليه وسلم يسمى بدعة، ويسمى محدثا في اللغة، كما قالت رسل قريش للنجاشي عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم المهاجرين إلى الحبشة: “إن هؤلاء خرجوا من دين آبائهم، ولم يدخلوا في دين الملك، وجاءوا بدين محدث لا يعرف” Demikian juga agama yang dibawa oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga disebut bidah dan sesuatu yang baru secara bahasa, sebagaimana yang dikatakan oleh para delegasi kaum Quraisy kepada Raja Najasyi tentang para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berhijrah ke negeri Habasyah, “Mereka ini adalah orang-orang yang meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula memeluk agama Raja, melainkan membawa agama baru yang tidak dikenal.” ثم ذلك العمل الذي يدل عليه الكتاب والسنة: ليس بدعة في الشريعة، وإن سمي بدعة في اللغة، فلفظ البدعة في اللغة، أعم من لفظ البدعة في الشريعة. وقد علم أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (كل بدعة ضلالة) لم يرد به كل عمل مبتدأ، فإن دين الإسلام، بل كل دين جاءت به الرسل، فهو عمل مبتدأ، وإنما أراد: ما ابتُدئ من الأعمال التي لم يشرعها هو صلى الله عليه وسلم. Kemudian, perbuatan yang ada dalilnya dari al-Quran dan Sunah bukanlah bidah secara syariat, walaupun bisa disebut bidah secara bahasa, karena makna bidah secara bahasa lebih umum daripada makna bidah secara syariat. Sudah maklum bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Setiap bidah adalah kesesatan,” tidak mencakup semua amalan yang baru, karena agama Islam, dan bahkan setiap agama yang dibawa oleh para rasul adalah bidah (sesuatu yang baru). Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu amalan yang baru dimulai yang belum dimulai oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  وإذا كان كذلك: فالنبي صلى الله عليه وسلم قد كانوا يصلون قيام رمضان على عهده جماعة وفرادى؛ وقد قال لهم في الليلة الثالثة، أو الرابعة لما اجتمعوا: (إنه لم يمنعني أن أخرج إليكم إلا كراهة أن تفرض عليكم، فصلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته، إلا المكتوبة). فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. Dengan demikian, para Sahabat sudah mengerjakan salat Tarawih di bulan Ramadan di masa rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, baik secara berjamaah dan sendiri-sendiri, dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri telah mengatakan kepada mereka pada malam ketiga atau keempat ketika mereka sedang berkumpul, “Sungguh, tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar (salat) bersama kalian kecuali aku tidak suka jika hal ini diwajibkan kepada kalian, maka salatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat bagi seseorang lelaki adalah di rumahnya, kecuali salat wajib.” فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. فلما كان في عهد عمر رضي الله عنه جمعهم على قارئ واحد، وأسرج المسجد، فصارت هذه الهيئة، وهي اجتماعهم في المسجد على إمام واحد، مع الإسراج: عملا لم يكونوا يعملونه من قبل؛ فسمي بدعة؛ لأنه في اللغة يسمى بذلك، ولم يكن بدعة شرعية؛ لأن السنة اقتضت أنه عمل صالح، لولا خوف الافتراض، وخوف الافتراض قد زال بموته صلى الله عليه وسلم، فانتفى المعارض” ([16]). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyampaikan alasan kenapa beliau tidak keluar adalah khawatir salat itu akan diwajibkan. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa sebenarnya faktor yang menuntut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar (mengerjakan Tarawih berjamaah) ada, jika tidak ada kekhawatiran akan diwajibkan kepada mereka. Adapun di masa pemerintahan Umar —Semoga Allah Meridainya—, dia mengumpulkan mereka bersama satu imam dan menyalakan penerangan di masjid, sehingga suasana seperti ini, yaitu berkumpulnya mereka di bawah satu imam di masjid dengan penerangan, adalah amalan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, sehingga disebut bidah, karena memang demikian secara bahasa. Namun bukan bidah secara syariat, karena Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah menetapkannya sebagai suatu amal saleh, yang kalau bukan karena kekhawatiran beliau akan diwajibkan tentu beliau akan melakukannya. Namun kekhawatiran ini sudah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan sebab-sebabnya sudah terhapus. ([16]) وقال ابن رجب رحمه الله: ” وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية، لا الشرعية، فمِنْ ذلك قولُ عمر – رضي الله عنه – لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال: نعمت البدعةُ هذه. وروي عنه أنَّه قال: إنْ كانت هذه بدعة، فنعمت البدعة “ Ibnu Rajab —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa adanya perkataan sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian bidah, maka maksud mereka adalah bidah secara bahasa, bukan secara syariat, termasuk pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk salat malam di bulan Ramadan bersama satu imam di masjid. Ketika dia keluar dan melihat mereka mengerjakan salat seperti itu, lantas dia berujar, “Ini adalah sebaik-baik bidah.” Diriwayatkan juga darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Jika memang ini bidah, maka ini adalah sebaik-baik bidah.” ومرادُه أنَّ هذا الفعلَ لم يكن على هذا الوجه قبل هذا الوقت، ولكن له أصولٌ منَ الشَّريعةِ يُرجع إليها، فمنها: أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كان يحُثُّ على قيام رمضان، ويُرَغِّبُ فيه، وكان النَّاس في زمنه يقومون في المسجد جماعاتٍ متفرِّقةً ووحداناً، وهو -صلى الله عليه وسلم- صلَّى بأصحابه في رمضانَ غيرَ ليلةٍ، ثم امتنع مِنْ ذلك معلِّلاً بأنَّه خشي أنْ يُكتب عليهم، فيعجزوا عن القيام به، وهذا قد أُمِنَ بعده – صلى الله عليه وسلم” ([17]). Artinya bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan seperti itu sebelumnya, tetapi sudah ada dasar rujukannya dalam syariat, di antaranya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah menganjurkan dan mendorong orang-orang salat Tarawih Ramadan, dan orang-orang pada masa itu biasa mengerjakannya di masjid secara berjamaah tapi terpisah-pisah atau sendiri-sendiri. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri salat mengimami para Sahabat di bulan Ramadan beberapa malam, lalu menahan diri tidak melakukannya sembari menjelaskan alasannya; bahwa beliau khawatir itu akan diwajibkan bagi mereka lalu mereka tidak mampu menegakkannya. Namun setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, kekhawatiran ini sudah hilang. ([17]) قال الشيخ الألباني رحمه الله: “قول عمر: “نعمت البدعة هذه” لم يقصد به البدعة بمعناها الشرعي، الذي هو إحداث شيء في الدين على غير مثال سابق، وإنما قصد البدعة بمعنى من معانيها اللغوية، وهو الأمر الحديث الجديد الذي لم يكن معروفا قبيل إيجاده، ومما لا شك فيه أن صلاة التراويح جماعة وراء إمام واحد: لم يكن معهودا ولا معمولا زمن خلافة أبي بكر وشطرا من خلافة عمر، فهي بهذا الاعتبار حادثة، ولكن بالنظر إلى أنها موافقة لما فعله صلى الله عليه وسلم فهي سنة وليست بدعة، وما وصفها بالحسن إلا لذلك” ([18]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baik bidah,” maksudnya bukan maknanya secara syariat, yaitu mengada-ada suatu perkara agama tanpa ada contoh sebelumnya. Bidah di sini maksudnya adalah maknanya secara bahasa, yaitu sesuatu yang muncul dan baru, yang tidak diketahui sebelum kemunculannya ini. Tidak ada keraguan bahwa salat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam belum menjadi kebiasaan atau amalan di zaman kekhalifahan Abu Bakar dan separuh masa kekhalifahan Umar, maka dari sisi inilah amalan ini dianggap baru. Akan tetapi, dari sisi bahwa ia sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ini adalah sunah dan bukan bidah. Maka ia tidak dideskripsikan sebagai sesuatu yang baik kecuali dari sisi ini. ([18]) ثالثاً: فضل صلاة التراويح: صلاة التراويح -كما سبق- داخلة في صلاة الليل، فتشملها أدلة الكتاب والسنة التي وردت بالترغيب في صلاة الليل على جهة العموم ([19]). وقد ورد بخصوص فضل قيام الليل في رمضان خاصة، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([20]) ([21]). وورد بخصوص ليلة القدر، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([22]). Ketiga: Fadilah Salat Tarawih Salat Tarawih —sebagaimana disebutkan sebelumnya— termasuk salat malam, sehingga fadilahnya secara umum tercakup dalam semua dalil dari al-Quran dan Sunah yang menganjurkan salat malam. ([19]) Secara khusus, ada riwayat tentang keutamaan salat malam di bulan Ramadan, yaitu sabda Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat (Tarawih) di bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” ([20]) ([21]) Ada riwayat khusus terkait Lailatul Qadr bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat (Tarawih) saat Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu. ([22]) ولهذا (كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِد فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مَا لا يَجْتَهِد فِي غَيْرهَا) ([23]). وقال النووي رحمه الله: “فَفِي هَذَا الْحَدِيث: أَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يُزَاد مِنْ الْعِبَادَات فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان, وَاسْتِحْبَاب إِحْيَاء لَيَالِيه بِالْعِبَادَاتِ” ([24]). Oleh sebab itulah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (Ramadan) dengan kesungguhan yang tidak seperti di hari-hari lain. ([23]) An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan dan sunah untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. رابعاً: وقت صلاة التراويح: يبتدئ وقت صلاة التراويح من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر. قال النووي رحمه الله: “يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ” انتهى([25]). ولكن إذا كان الرجل سيصلي في المسجد إماماً بالناس فالأولى أن يصليها بعد صلاة العشاء، ولا يؤخرها إلى نصف الليل أو آخره حتى لا يشق ذلك على المصلين، وربما ينام بعضهم فتفوته الصلاة. وعلى هذا جرى عمل المسلمين، أنهم يصلون التراويح بعد صلاة العشاء ولا يؤخرونها. وقال ابن قدامة رحمه الله: قِيلَ للإمام أَحْمَدَ: تُؤَخِّرُ الْقِيَامَ يَعْنِي فِي التَّرَاوِيحِ إلَى آخِرِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: لا, سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ” ([26]). Keempat: Waktu Salat Tarawih Waktu salat Tarawih dimulai setelah salat Isya hingga terbit fajar. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa waktu salat Tarawih dimulai setelah selesainya salat Isya. Selesai kutipan. ([25]) Jika seseorang ingin mengimami orang-orang salat di masjid, maka lebih baik ia melakukannya setelah salat Isya dan tidak menundanya hingga tengah malam atau akhir malam agar tidak memberatkan para jemaah, karena yang demikian itu bisa membuat sebagian mereka tertidur dan melewatkan salat tersebut. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin, di mana mereka melaksanakan salat Tarawih setelah salat Isya dan tidak menundanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah sebaiknya salat malam, yakni Tawarih, diundur hingga akhir malam?” Beliau menjawab, “Tidak, sunah (kebiasaan) umat Islam lebih aku sukai.” ([26]) أما من كان سيصليها في بيته فهو بالخيار إن شاء صلاها في أول الليل وإن شاء صلاها آخره. مسألة: يُشرع للمسلم أداء صلاة التراويح بعد صلاة العشاء من الليلة الأولى لرمضان، وهي الليلة التي يُرى فيها الهلال، يُكمل المسلمون عدة شعبان ثلاثين يوماً. ومثل هذا نهاية شهر رمضان، فإنه لا تُصلَّى التراويح إذا ثبت انتهاء الشهر برؤية هلال العيد أو بإتمام عدة رمضان ثلاثين يوماً. فيتبين أن صلاة التراويح لا تتعلق بصيام نهار رمضان، بل بدخول الشهر من الليل ابتداءً، وبآخر يوم من رمضان انتهاءً. Adapun bagi orang yang ingin mengerjakannya di rumah, maka ia bisa memilih sesuai kehendaknya antara salat di awal malam atau di akhir malam. Catatan: Seorang muslim disyariatkan untuk menunaikan salat Tarawih setelah salat Isya dari malam pertama bulan Ramadan, yaitu malam di mana hilal terlihat, atau dengan menyempurnakan bilangan hari Syaban menjadi tiga puluh hari. Demikian pula untuk akhir bulan Ramadan, tidak ada salat Tarawih lagi jika Ramadan sudah dipastikan selesai, dengan terlihatnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan hari Ramadan menjadi tiga puluh hari. Jadi, jelas bahwa salat Tarawih tidak ada hubungannya dengan puasa di siang hari di bulan Ramadan, melainkan dimulai dari awal malam bulan Ramadan dan berakhir pada malam terakhir bulan Ramadan. ولا ينبغي القول إن صلاة الترويح نافلة مطلقة فيجوز أن تؤدى في أي ليلة وجماعة؛ لأن صلاة التراويح مقصودة لشهر رمضان، ومصليها يقصد الأجر المترتب على قيامه، والجماعة فيها ليست كحكم الجماعة في غيرها، فيجوز في رمضان أن يصلى قيامه جماعة في كل ليلة مع الإعلان والتشجيع عليه، بخلاف القيام في غيره فإنه لا يسن إلا ما جاء من غير قصد أو بقصد التشجيع والتعليم، فيسن أحياناً دون الالتزام بفعله دائماً. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “التَّراويحَ في غير رمضان بِدْعةٌ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في غير رمضان لكان هذا من البِدع. Tidak seyogianya dikatakan bahwa salat Tarawih adalah salat sunah mutlak sehingga boleh dilakukan secara berjamaah kapan pun di malam hari, karena salat Tarawih hanya dikhususkan untuk bulan Ramadan saja. Orang yang mengerjakannya tentu menghendaki pahala salat malam di bulan tersebut. Melakukannya secara berjamaah tidak seperti hukum berjamaah pada salat-salat sunah yang lain. Maka dari itulah di bulan Ramadan dibolehkan mengerjakan salat tersebut secara berjamaah setiap malam dengan cara diumumkan terlebih dahulu dan diberi dorongan untuk melakukannya. Berbeda dengan berjamaah untuk salat-salat sunah yang lain, yang tidak dianjurkan kecuali insidental saja atau dengan maksud untuk memberi motivasi dan pengajaran, sehingga disunahkan berjamaah sesekali waktu tanpa melakukannya secara terus-menerus. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Tarawih di luar bulan Ramadan adalah bidah. Jika orang-orang sengaja berkumpul untuk melakukan salat malam di masjid-masjid secara berjamaah selain di bulan Ramadan, maka ini adalah bidah.” ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في بيته أحياناً؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم: “فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان، جماعة في بيته” لكن لم يتَّخذْ ذلك سُنَّة راتبةً، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد” ([27]). وعليه: فمن صلى صلاة التراويح قبل ثبوت دخول رمضان فهو كمن صلى الصلاة في غير وقتها، فلا يكتب له أجرها، هذا إن سلِم من الإثم إن تعمد ذلك([28]). Tidak mengapa jika seseorang terkadang salat malam berjamaah di luar Ramadan di rumahnya, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau pernah salat berjamaah di rumahnya bersama Ibnu Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah bersama Hudzaifah bin al-Yaman. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan sunah yang dirutinkan dan tidak dikerjakan di masjid. ([27]) Dengan demikian, barang siapa yang salat Tarawih sebelum ada kepastian masuknya awal Ramadan, maka ia seperti orang yang salat di luar waktunya, sehingga tidak dicatatkan baginya pahala yang dimaksud, pun dengan catatan jika dia selamat dari dosa karena sengaja melakukan demikian. ([28]) مسألة: من جمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم؛ للعذر، فإن وقت التراويح والوتر يبتدئ في حقه من بعد صلاة العشاء المجموعة لصلاة المغرب. جاء في شرح “منتهى الإرادات” (1/ 238): ” (ووقت وتر: ما بين صلاة العشاء، ولو مع) كون العشاء جمعت مع مغرب (جمع تقديم) في وقت المغرب، (وطلوع الفجر)؛ لحديث معاذ: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: زادني ربي صلاة، وهي الوتر، ووقتها: ما بين العشاء وطلوع الفجر” رواه أحمد” انتهى ([29]). Catatan: Barang siapa yang melakukan jamak salat Magrib dan Isya yang dikerjakan di awal waktu (waktu magrib) karena suatu uzur, maka waktu Tarawih dan Witir baginya dimulai setelah salat Isya yang telah digabung dengan salat Magrib tersebut.  Disebutkan dalam Syarah Muntahā al-Iradāt (1/238) bahwa waktu salat Witir adalah antara waktu salat Isya dan terbitnya fajar, bahkan meskipun salat Isyanya dijamak dengan Magrib (Jamak Taqdim). Hal ini berdasarkan perkataan Muadz —Semoga Allah Meridainya—, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Tuhanku menambahkan bagiku sebuah salat, yaitu salat Witir. Adapun waktunya adalah antara salat Isya hingga terbitnya fajar.'” (HR. Ahmad) Selesai kutipan. ([29]) مسألة: يصح أن يصلي الشخص التراويح قبل راتبة العشاء؛ لكنه خلاف الأولى. قال الشيخ منصور البهوتي رحمه الله: “وإن صلَّى التراويح بعد العشاء وقبل سنَّتها: صحَّ جزماً، ولكن الأفضل فعلها بعد السنَّة على المنصوص” انتهى ([30]). Catatan: Seseorang boleh melakukan salat Tarawih sebelum salat sunah rawatib bakda isya, tetapi itu menyelisihi cara yang lebih utama. Syekh Manṣhūr al-Bahūti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang salat Tarawih setelah isya dan sebelum mengerjakan sunah rawatibnya, maka itu bisa dipastikan sah, tetapi lebih baik jika dia melakukannya setelah salat sunah rawatibnya berdasarkan nas yang ada. Selesai kutipan ([30]). خامساً: عدد ركعات صلاة التراويح: ليس لصلاة التراويح عدد محدد لا تجوز الزيادة عليه؛ فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: (مثنى مثنى) ولم يحددها بعدد معين. قال السيوطي رحمه الله: “الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأْحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ” انتهى([31]). Kelima: Jumlah Rakaat dalam Salat Tarawih Salat Tarawih tidak mempunyai batasan maksimal jumlah rakaat yang membuatnya tidak boleh ditambah lagi. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah ditanya tentang salat malam, lalu beliau menjawab, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. As-Suyuti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa yang tersebut dalam hadis-hadis sahih dan hasan adalah perintah untuk melakukan salat malam di bulan Ramadan dan serta dorongan untuk melakukannya tanpa ada ketentuan jumlah rakaatnya. ([31]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “وثبت عن عمر رضي لله عنه أنه أمر من عين من الصحابة أن يصلي إحدى عشرة، وثبت عنهم أنهم صلوا بأمره ثلاثا وعشرين، وهذا يدل على التوسعة في ذلك، وأن الأمر عند الصحابة واسع، كما دل عليه قوله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى)” انتهى([32]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ia memerintahkan salah seorang Sahabat untuk salat dengan sebelas rakaat. Ada juga riwayat sahih dari mereka bahwa mereka salat dengan perintahnya sebanyak dua puluh tiga rakaat. Hal ini menunjukkan kelonggaran dalam masalah ini dan bahwa perkara tersebut menurut para Sahabat —Semoga Allah Meridainya— adalah perkara yang fleksibel, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat).” ([32]) ولنسمع إلى توجيه من الشيخ الفاضل ابن عثيمين رحمه الله حيث يقول: وهنا نقول: لا ينبغي لنا أن نغلو أو نفرط، فبعض الناس يغلو من حيث التزام السنة في العدد، فيقول: لا تجوز الزيادة على العدد الذي جاءت به السنَّة، وينكر أشدَّ النكير على من زاد على ذلك، ويقول: إنه آثم عاصٍ. Mari kita simak bimbingam dari Syekh yang mulia Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— yang pernah mengatakan, “Kami katakan bahwa tidak selayaknya kita berlebihan atau menyelepelekan dalam masalah ini. Ada sebagian orang yang terlalu kaku berpegang dengan jumlah yang tersebut dalam Sunah, dan mengatakan tidak bolehnya menambah jumlah yang telah disebutkan dalam Sunah tersebut sehingga mereka mengingkari dengan keras orang yang menambah rakaat lebih dari itu, bahkan berkata bahwa pelakunya dosa dan telah berbuat maksiat. وهذا لا شك أنه خطأ، وكيف يكون آثماً عاصياً وقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: مثنى مثنى، ولم يحدد بعدد، ومن المعلوم أن الذي سأله عن صلاة الليل لا يعلم العدد؛ لأن من لا يعلم الكيفية فجهله بالعدد من باب أولى، وهو ليس ممن خدم الرسول صلى الله عليه وسلم حتى نقول إنه يعلم ما يحدث داخل بيته، فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم بيَّن له كيفية الصلاة دون أن يحدد له بعدد: عُلم أن الأمر في هذا واسع، وأن للإنسان أن يصلِّيَ مائة ركعة ويوتر بواحدة. Ini tentu saja keliru, bagaimana mungkin seseorang dianggap berdosa dan bermaksiat padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda tentang salat malam dengan mengatakan, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. Sudah diketahui bahwa orang yang bertanya kepada beliau tentang salat malam ini tidak mengetahui jumlah rakaatnya, karena orang yang tidak mengetahui tata caranya, tentu lebih tidak tahu tentang jumlah rakaatnya. Dia juga bukan salah satu dari pelayan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga bisa kita katakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau. Jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan kepadanya tata cara salat tanpa membatasi jumlahnya, bisa diketahui bahwa jumlah rakaat dalam hal ini adalah masalah yang longgar dan bahwa seseorang boleh salat seratus rakaat dan melakukan witir dengan satu rakaat saja. وأما قوله صلى الله عليه وسلم: (صلوا كما رأيتموني أصلي) فهذا ليس على عمومه حتى عند هؤلاء، ولهذا لا يوجبون على الإنسان أن يوتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع، ولو أخذنا بالعموم لقلنا يجب أن توتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع سرداً، وإنما المراد: صلوا كما رأيتموني أصلي في الكيفية، أما في العدد فلا إلا ما ثبت النص بتحديده. Adapun sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,” maka hadis ini sifatnya tidak umum, bahkan menurut mereka juga. Inilah sebabnya mereka juga tidak mewajibkan seseorang untuk sesekali menunaikan salat Witir lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jika kita mengikuti keumuman hadis itu, tentu kita harus mengatakan wajibnya menunaikan salat Witir sesekali lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jadi, maksud hadis itu adalah: “Salatlah dengan cara sebagaimana kalian melihat caraku salat.” Adapun jumlah rakaatnya, maka tidak ada dalil yang membatasi salat Tarawih. وعلى كلٍّ ينبغي للإنسان أن لا يشدد على الناس في أمر واسع، حتى إنا رأينا من الإخوة الذين يشددون في هذا مَن يبدِّعون الأئمة الذين يزيدون على إحدى عشرة، ويخرجون من المسجد فيفوتهم الأجر الذي قال فيه الرسول صلى الله عليه وسلم (من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة) ([33])، وقد يجلسون إذا صلوا عشر ركعات فتنقطع الصفوف بجلوسهم، وربما يتحدثون أحياناً فيشوشون على المصلين. ونحن لا نشك بأنهم يريدون الخير، وأنهم مجتهدون، لكن ليس كل مجتهدٍ يكون مصيباً Biar bagaimanapun, hendaknya seseorang tidak kaku dalam perkara yang sifatnya fleksibel, sampai-sampai kita melihat sebagian saudara-saudara kita yang berlebihan dalam masalah ini dan membidahkan imam-imam ulama yang berpendapat bolehnya menambah lebih dari sebelas rakaat keluar meninggalkan masjid sehingga kehilangan pahala yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai, maka dicatat baginya salat semalam penuh.” ([33]) Terkadang mereka memilih duduk ketika sudah selesai sepuluh rakaat sehingga duduknya mereka itu memutus saf dan mungkin juga ngobrol hingga mengganggu jemaah lain. Kami tidak ragu bahwa maksud mereka baik dan itu adalah ijtihad mereka, hanya saja tidak setiap ijtihad pasti benar. والطرف الثاني: عكس هؤلاء، أنكروا على من اقتصر على إحدى عشرة ركعة إنكاراً عظيماً، وقالوا: خرجتَ عن الإجماع قال تعالى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]، فكل من قبلك لا يعرفون إلا ثلاثاً وعشرين ركعة، ثم يشدِّدون في النكير، وهذا أيضاً خطأ” ([34]). Kelompok kedua adalah kebalikan dari orang-orang ini, yang mana mereka sangat mengingkari dengan keras orang-orang yang membatasi diri hanya salat sebelas rakaat saja. Mereka berkata, “Anda menyimpang dari konsensus, padahal Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, maka akan Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami Masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa’: 115) Padahal semua orang sebelum Anda tidak mengenal salat ini kecuali dengan dua puluh tiga rakaat.” Lalu mereka mengingkarinya dengan sangat keras. Ini juga keliru.  أما الدليل الذي استدل القائلون بعدم جواز الزيادة في صلاة التراويح على ثمان ركعات فهو حديث أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة رضي الله عنها: ” كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ؟ فقالت: ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر قال يا عائشة: (إن عينيَّ تنامان ولا ينام قلبي) ([35]). Adapun dalil yang dijadikan landasan mereka yang tidak membolehkan menambah jumlah rakaat salat Tarawih lebih dari delapan rakaat adalah hadis Abu Salamah bin Abdurrahman yang pernah bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— “Bagaimana salatnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di bulan Ramadan?” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Beliau mengerjakannya empat rakaat, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Lalu beliau mengerjakan empat rakaat lagi, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat tiga rakaat. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan salat Witir?’ Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Wahai Aisyah, kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak.” ([35]) فقالوا: هذا الحديث يدل على المداومة لرسول الله في صلاته في الليل في رمضان وغيره. وقد ردَّ العلماء على الاستدلال بهذا الحديث بأن هذا من فعله صلى الله عليه وسلَّم، والفعل لا يدل على الوجوب. ومن الأدلة الواضحة على أن صلاة الليل ومنها صلاة التراويح غير مقيدة بعدد حديث ابن عمر أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال رسول الله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلَّى) ([36]) Mereka berkata bahwa hadis ini menunjukkan konsistensi (jumlah rakaat) Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam mengerjakan salat malamnya di dalam dan luar bulan Ramadan. Para ulama telah membantah istidlal dengan hadis ini bahwa ini termasuk perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sementara perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berarti wajib. Di antara dalil yang jelas bahwa salat malam, termasuk salat Tarawih, tidak dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu adalah hadis Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat malam, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([36]) ونظرة إلى أقوال العلماء في المذاهب المعتبرة تبين لك أن الأمر في هذا واسع، وأنه لا حرج في الزيادة على إحدى عشرة ركعة: قال السرخسي رحمه الله، وهو من أئمة المذهب الحنفي: “فإنها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا” ([37]). وقال ابن قدامة رحمه الله: “والمختار عند أبي عبد الله (يعني الإمام أحمد) رحمه الله، فيها عشرون ركعة، وبهذا قال الثوري، وأبو حنيفة، والشافعي، وقال مالك: ستة وثلاثون” ([38]). Jika kita mencermati perkataan para ulama dari mazhab-mazhab yang diakui, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa persoalan ini fleksibel dan bahwa tidak ada salahnya menambah lebih dari sebelas rakaat. As-Sarkhasi —Semoga Allah Merahmatinya—, yang merupakan salah satu imam ulama mazhab Hanafi, mengatakan, “Menurut kami, dua puluh rakaat, selain salat Witir.” ([37]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang terpilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat. Inilah pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Syafii. Malik berkata, “Tiga puluh enam rakaat.” ([38]) وقال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء، ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات وتجوز منفردا وجماعة” ([39]). فهذه مذاهب الأئمة الأربعة في عدد ركعات صلاة التراويح وكلهم قالوا بالزيادة على إحدى عشرة ركعة، ولعل من الأسباب التي جعلتهم يقولون بالزيادة على إحدى عشرة ركعة: 1/ أنهم رأوا أن حديث عائشة رضي الله عنها لا يقتضي التحديد بهذا العدد. 2/ وردت الزيادة عن كثير من السلف ([40]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih hukumnya sunah menurut konsensus para ulama. Dalam mazhab kami, jumlahnya dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam, yang boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah. ([39]) Inilah pendapat empat imam mazhab mengenai jumlah rakaat salat Tarawih. Mereka semua menyatakan pendapat yang menambah lebih dari sebelas rakaat. Mungkin di antara alasan yang membuat mereka berpendapat menambah lebih dari sebelas rakaat adalah sebagai berikut: Mereka memandang bahwa hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— tidak berarti membatasi jumlah rakaat. Ada banyak riwayat dari para Salaf bahwa mereka menambah lebih dari itu. ([40]) 3/ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة وكان يطيلها جداً حتى كان يستوعب بها عامة الليل، بل في إحدى الليالي التي صلى فيها النبي صلى الله عليه وسلم صلاة التراويح بأصحابه لم ينصرف من الصلاة إلا قبيل طلوع الفجر حتى خشي الصحابة أن يفوتهم السحور، وكان الصحابة رضي الله عنهم يحبون الصلاة خلف النبي صلى الله عليه وسلم ولا يستطيلونها فرأى العلماء أن الإمام إذا أطال الصلاة إلى هذا الحد شق ذلك على المأمومين وربما أدى ذلك إلى تنفيرهم فرأوا أن الإمام يخفف من القراءة ويزيد من عدد الركعات. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan salat sebelas rakaat tetapi sangat panjang sehingga durasinya hampir sepanjang malam. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salah satu malamnya ketika melakukan salat Tarawih bersama para Sahabat, beliau tidak menyelesaikan salatnya kecuali hampir menjelang subuh, hingga para Sahabat khawatir akan melewatkan waktu sahur. Namun para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— suka salat di belakang Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan tidak merasa keberatan. Para ulama memandang bahwa jika seorang imam memperpanjang salat sampai selama itu, maka akan memberatkan orang yang salat di belakangnya, dan ini mungkin membuat mereka pergi menjauh. Maka dari itulah para ulama memandang bahwa imam perlu mengurangi panjang bacaannya dan menambah jumlah rakaat. والحاصل: أن من صلى إحدى عشرة ركعة على الصفة الواردة عن النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحسن وأصاب السنة، ومن خفف القراءة وزاد عدد الركعات فقد أحسن، ولا إنكار على من فعل أحد الأمرين. Kesimpulannya, bahwa barang siapa salat sebelas rakaat mengikuti cara yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ia telah berbuat kebaikan dan sesuai dengan Sunah. Barang siapa yang memperpendek bacaannya dan menambah jumlah rakaatnya, maka ia telah berbuat kebaikan. Tidak ada pengingkaran terhadap siapa pun yang melakukan salah satu dari kedua hal tersebut. قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: “والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره” ([41]). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa salat Tarawih jika dikerjakan menurut mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad adalah dua puluh rakaat, atau jika menurut mazhab Maliki adalah tiga puluh enam, tiga belas, atau sebelas rakaat. Pendapat beliau ini yang bagus, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada dalil yang membatasi, sehingga banyak dan sedikitnya jumlah rakaat tergantung panjang dan pendeknya salat. ([41]) وقال علماء اللجنة للإفتاء:” لم يثبت في عدد ركعات صلاة التراويح حد محدد، والعلماء مختلفون فيه منهم من يرى أنه ثلاث وعشرون ، ومنهم من يرى أنه ست وثلاثون، ومنهم من يرى أكثر، ومنهم يرى أقل، والصحابة صلوها في عهد عمر ثلاثا وعشرين في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، والنبي كان لا يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة ، ولم يحدد للناس عددا معينا في التراويح وقيام الليل،  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah (Komite Tetap Urusan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan bahwa tidak ada riwayat sahih tentang batasan jumlah tertentu dalam rakaat salat Tarawih. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu, ada yang mengatakan jumlahnya adalah 23 atau 36. Ada yang mengatakan lebih banyak atau sedikit daripada itu. Para Sahabat mengerjakan salat ini pada masa pemerintahan Umar di Masjid Nabawi sebanyak 23 rakaat. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat di bulan Ramadan atau bulan lainnya, tanpa membatasi jumlah tertentu mengenai rakaat salat Tarawih dan salat malam. بل كان يحث على قيام الليل وعلى قيام رمضان بالذات فيقول صلى الله عليه وسلم: (من قام رمضان واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه)، ولم يحدد عدد الركعات، وهذا يختلف باختلاف صفة القيام، فمن كان يطيل الصلاة؛ فإنه يقلل عدد الركعات كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم، ومن كان يخفف الصلاة رفقا بالناس، فإنه يكثر عدد الركعات كما فعل الصحابة في عهد عمر، ولا بأس أن يزيد في عدد الركعات في العشر الأواخر عن عددها في العشرين الأول ويقسمها إلى قسمين: قسما يصليه في أول الليل ويخففه على أنه تراويح كما في العشرين الأول، وقسما يصليه في آخر الليل ويطيله على أنه تهجد، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في غيرها” ([42]). Justru beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menganjurkan salat malam dan salat Tarawih secara khusus dengan mengatakan, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” Beliau tidak membatasi jumlah rakaatnya. Jadi, perkara jumlah rakaat ini berbeda-beda tergantung bagaimana salat malamnya. Barang siapa yang memanjangkan salatnya, maka ia mengurangi jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Barang siapa yang meringankan (memendekkan) salatnya untuk meringankan manusia, maka ia perbanyak jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat di zaman Umar. Tidak mengapa jika jumlah rakaat pada sepuluh hari terakhir diperbanyak daripada jumlah rakaat di dua puluh hari pertama lalu membaginya menjadi dua sesi. Sesi pertama dilakukan di awal malam dan dipendekkan seperti salat Tarawih pada dua puluh hari pertama, sementara sesi kedua di akhir malam dan dipanjangkan sebagaimana salat Tahajud, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir dengan kesungguhan yang lebih daripada di hari-hari yang lainnya. ([42]) فتجوز صلاة التراويح بالقليل والكثير من الركعات، ويكون ذلك حسب ما يرى أهل كل مسجد أنه أنسب لهم. والأفضل هو ما ثبت عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه لم يكن يزيد في قيام الليل على إحدى عشرة ركعة، في رمضان وغيره ([43]). Jadi, dibolehkan melaksanakan salat Tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak atau sedikit, yang disesuaikan dengan pandangan jemaah masing-masing masjid mana yang paling sesuai bagi mereka. Yang afdal adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau tidak mengerjakan salat tersebut lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadan dan pada waktu-waktu lainnya. ([43]) سادساً: حكم صلاة التراويح: صلاة التراويح سنة بإجماع أهل العلم، قال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء” انتهى([44]). Keenam: Hukum Salat Tarawih Salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama.” Selesai kutipan. ([44]) سابعاً: تقسيم قيام الليل في العشر الأواخر إلى قسمين تراويح وتهجد: إذا تقرر بأن التراويح ليس لها عدد محدد من الركعات، وأن الليل كله محل للقيام، وأن الفصل بين القيام لا يفعل تعبدا لذاته، وإنما يفعل تيسيرا، واستكثارا من الخير، وابتغاء لإيقاع شيء من القيام في الثلث الأخير من الليل، فإنه لا يصح الاعتراض على جعل القيام على جزئين. Ketujuh: Hukum Membagi Salat Malam di Sepuluh Malam Terakhir Menjadi Dua Sesi, Sesi Salat Tarawih dan Sesi Tahajud Jika sudah jelas bahwa salat Tarawih tidak mempunyai batasan jumlah rakaat tertentu, bahwa seluruh malam adalah waktu untuk salat malam, dan bahwa jeda antar salat seperti ini bukanlah ibadah secara zatnya, melainkan diniatkan untuk meringankan manusia, menambah kebaikan, dan agar bisa mengerjakan salat malam di sepertiga malam terakhir, maka tidak tepat jika ada yang mengingkari bolehnya membagi salat menjadi dua sesi seperti ini. قال الشيخ عبد الله أبابطين رحمه الله: “إذا تبين أنه لا تحديد في عدد التراويح، وأن وقتها عند جميع العلماء من بعد سنة العشاء إلى طلوع الفجر، وأن إحياء العشر سنة مؤكدة، وأن النبي صلى الله وعليه وسلم صلاها ليالي جماعة، فكيف ينكر على من زاد في صلاة العشر الأواخر عما يفعلها أول الشهر، فيصلي في العشر أول الليل، كما يفعل في أول الشهر، أو قليل، أو كثير، من غير أن يوتر، وذلك لأجل الضعيف لمن يحب الاقتصار على ذلك، ثم يزيد بعد ذلك ما يسره الله في الجماعة، ويسمى الجميع قياماً وتراويحا” انتهى ([45]). Syekh Abdullah Abābṯhain —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika telah jelas bahwa tidak ada batasan jumlah rakaat dalam salat Tarawih, bahwa waktunya adalah setelah salat sunah bakda isya sampai subuh menurut semua ulama, bahwa menghidupkannya di sepuluh malam terakhir adalah sunah muakadah, dan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakannya di malam hari secara berjamaah, lalu bagaimana bisa seseorang mengingkari orang yang menambah salatnya pada sepuluh hari terakhir daripada yang dia lakukan di awal bulan? Yaitu dengan cara mengerjakannya di awal malam sebagaimana dia kerjakan di awal bulan, baik dengan jumlah rakaat yang sedikit atau banyak, yang dikerjakan tanpa salat Witir dan bukan karena mereka tidak mampu mengerjakannya. Setelah itu mereka menambah salat mereka secara berjamaah lagi semampu yang Allah Mudahkan bagi mereka. Semua salat itu disebut salat malam dan Tarawih. Selesai kutipan. ([45]) ثامناً: حمل المصحف في صلاة التراويح: إن كان الحامل للمصحف في صلاة التراويح، هو الإمام؛ لحاجته للقراءة من المصحف، فلا حرج في ذلك؛ فقد كان لعائشة رضي الله عنها غلام يؤمها من المصحف في رمضان ([46]). وقال النووي رحمه الله: “لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا ، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة, ولو قلَّب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل …… هذا مذهبنا ومذهب مالك وأبي يوسف ومحمد وأحمد ” انتهى ([47]). وأما اعتراض من اعترض على ذلك بأن حمل المصحف وتقليب أوراقه في الصلاة حركة كثيرة فهو اعتراض غير صحيح؛ لأنه قد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس وهو حامل أمامة بنت ابنته ([48])، فحمل المصحف في الصلاة ليس أعظم من حمل طفلة في الصلاة  Kedelapan: Memegang (Membaca) Mushaf saat salat Tarawih Jika yang memegang mushaf saat salat Tarawih adalah imam yang butuh membaca al-Quran, maka tidak mengapa. Dahulu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— memiliki seorang budak laki-laki yang mengimaminya dengan membaca mushaf al-Quran di bulan Ramadan ([46]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang membaca al-Quran dari mushaf, maka salatnya tidak batal, baik dia sudah hafal al-Quran atau belum. Bahkan dia wajib melakukannya jika dia tidak hafal al-Fatihah, meskipun terkadang membuatnya harus membolak-balik halaman ketika salat. Jadi, salatnya seperti itu tidak batal. … Inilah mazhab kami (Syafii), Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad. Selesai kutipan. ([47]) Adapun pengingkaran orang yang mengingkari bahwa membawa mushaf al-Quran dan membolak-balik halamannya saat salat itu termasuk banyak gerak, maka itu adalah pengingkaran yang tidak tepat, karena ada riwayat sahih bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengimami orang-orang salat sedangkan beliau sedang menggendong Umamah, cucu perempuannya dari anak perempuannya.. ([48]) Jadi, memegang mushaf al-Quran dalam salat bukanlah sesuatu yang lebih besar daripada membawa bayi dalam salat. وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “لا حرج في القراءة من المصحف في قيام رمضان، لما في ذلك من إسماع المأمومين جميع القرآن، ولأن الأدلة الشرعية من الكتاب والسنة قد دلت على شرعية قراءة القرآن في الصلاة، وهي تعم قراءته من المصحف وعن ظهر قلب، وقد ثبت عن عائشة رضي الله عنها أنها أمرت مولاها ذكوان أن يؤمها في قيام رمضان، وكان يقرأ من المصحف، ذكره البخاري رحمه الله في صحيحه معلقاً مجزوماً به” ([49]).  وأما المأموم، فالأولى والأفضل في حقه أن لا يحمل المصحف؛ لما فيه من الانشغال وتفويت بعض السنن، كوضع اليدين على الصدر([50]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tidaklah mengapa membaca dari mushaf al-Quran dalam salat malam di bulan Ramadan, karena itu termasuk usaha memperdengarkan seluruh al-Quran kepada kaum muslimin, karena dalil-dalil syariat dari al-Quran dan Sunah menunjukkan bolehnya membaca al-Quran saat salat, yang sifatnya umum mencakup membacanya dengan melihat mushaf atau dari hafalan. Ada riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia menyuruh seorang budak lelakinya, Dzakwan, untuk mengimaminya dalam salat malam di bulan Ramadan, padahal dia membaca dari mushaf. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan riwayat ini dalam Shahih-nya dengan Ṣhighah Jazm secara Muʿallaq ([49]). Adapun bagi seorang makmum, maka yang lebih baik dan afdal baginya adalah tidak memegang mushaf al-Quran, karena itu bisa membuatnya sibuk dengannya dan meninggalkan sebagian sunah, seperti meletakkan tangan di dada. ([50]) سئل الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: ما حكم حمل المأموم للمصحف في صلاة التراويح؟ فأجاب: ” لا أعلم لهذا أصلا ، والأظهر أن يخشع ويطمئن ولا يأخذ مصحفا ، بل يضع يمينه على شماله كما هي السنة ، يضع يده اليمنى على كفه اليسرى الرسغ والساعد ويضعهما على صدره ، هذا هو الأرجح والأفضل، وأخذ المصحف يشغله عن هذه السنن ، ثم قد يشغل قلبه وبصره في مراجعة الصفحات والآيات وعن سماع الإمام  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Apa hukumnya jika seorang makmum memegang mushaf dalam salat Tarawih?” Dia menjawab, “Saya tidak tahu dalilnya, tapi yang lebih tepat adalah dia harus khusyuk dan tumakninah tanpa memegang mushaf, melainkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri sebagaimana demikian sunahnya. Hendaknya dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kiri dan pergelangan tangan lalu meletakkan keduanya di dadanya. Ini yang lebih tepat dan afdal. Memegang mushaf menghalanginya dari sunah-sunah ini, dan terkadang membuat hati dan matanya tersibukkan dengan melihat halaman demi halaman dan ayat demi ayat serta tidak memerhatikan bacaan imam.  فالذي أرى أن ترك ذلك هو السنة ، وأن يستمع وينصت ولا يستعمل المصحف، فإن كان عنده علم فَتَح على إمامه ، وإلا فتح غيره من الناس ، ثم لو قدر أن الإمام غلط ولم يُفتح عليه ما ضر ذلك في غير الفاتحة إنما يضر في الفاتحة خاصة ؛ لأن الفاتحة ركن لا بد منها أما لو ترك بعض الآيات من غير الفاتحة ما ضره ذلك إذا لم يكن وراءه من ينبهه ، ولو كان واحد يحمل المصحف على الإمام عند الحاجة فلعل هذا لا بأس به، أما أن كل واحد يأخذ مصحفا فهذا خلاف السنة”([51]) انتهى. Menurut saya yang sunah adalah meninggalkan itu semua, mendengarkan serta diam menyimak tanpa memegang mushaf. Jika dia mempunyai ilmu, hendaknya dia membenarkan bacaan imam, jika tidak, maka ada orang lain yang membenarkannya. Pun seandainya imam keliru dan tidak ada yang membenarkannya, maka itu tidak masalah asalkan bukan pada surah al-Fatihah, karena yang bisa merusak salat adalah kesalahan dalam al-Fatihah secara khusus, karena merupakan rukun yang sifatnya wajib. Adapun jika ia melewatkan beberapa ayat selain dari surah al-Fatihah, maka tidak merusak salatnya jika memang tidak ada orang di belakangnya yang mengingatkannya. Adapun jika ada seseorang yang membawa mushaf untuk mengingatkan imam jika memang dibutuhkan, maka semoga tidak mengapa. Adapun jika setiap orang membawa mushaf, maka ini menyelisihi sunah.” Selesai kutipan. ([51]) سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ما حكم حمل المصحف من قبل المأمومين في صلاة التراويح في رمضان بحجة متابعة الإمام؟ فأجاب: “حمل المصحف لهذا الغرض فيه مخالفة للسنة وذلك من وجوه: الوجه الأول: أنه يفوت الإنسان وضع اليد اليمنى على اليد اليسرى في حال القيام . والثاني: أنه يؤدي إلى حركة كثيرة لا حاجة لها وهي فتح المصحف وإغلاقه ووضعه تحت الإبط . Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya membawa mushaf bagi para makmum saat salat Tarawih di bulan Ramadan dengan alasan untuk mengikuti bacaan imam?” Beliau menjawab bahwa membawa mushaf al-Quran untuk tujuan ini menyelisihi sunah, karena beberapa alasan: (1) Seseorang tidak bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri. (2) Menimbulkan banyak gerakan yang tidak diperlukan, karena membuka dan menutup mushaf al-Quran dan mengimpitnya di bawah ketiak.  والثالث: أنه يشغل المصلي في الحقيقة بحركاته هذه . والرابع: أنه يفوت المصلي النظر إلى موضع السجود وأكثر العلماء يرون أن النظر إلى موضع السجود هو السنة والأفضل . والخامس: أن فاعل ذلك ربما ينسى أنه في صلاة إذا لم يكن يستحضر قلبه أنه في صلاة، بخلاف ما إذا كان خاشعاً واضعاً يده اليمنى على اليسرى مطأطئاً رأسه نحو سجوده فإنه يكون أقرب إلى استحضار أنه يصلي وأنه خلف الإمام” انتهى ([52]). (3) Dia akan tersibukkan dengan gerakan-gerakan ini. (4) Orang yang salat tidak bisa melihat ke tempat sujud, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa melihat ke tempat sujud adalah sunah dan afdal. (5) Orang yang melakukan itu bisa jadi akan lupa bahwa ia sedang salat jika ia tidak benar-benar menghadirkan dalam hatinya bahwa ia sedang salat. Hal ini berbeda jika ia khusyuk dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sembari menundukkan kepalanya ke arah tempat sujudnya, yang mana dia akan lebih merasa bahwa dia sedang salat dan berada di belakang imam. Selesai kutipan. ([52]) تاسعاً: حكم صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح: صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح أو الوتر، صحيحة على الراجح من قولي العلماء، والمسألة معروفة عند الفقهاء بصلاة المفترض خلف المتنفّل ([53]). قال ابن قدامة رحمه الله: “وفي صلاة المفترض خلف المتنفل روايتان: إحداهما: لا تصح، واختارها أكثر أصحابنا، وهذا قول الزهري, ومالك, وأصحاب الرأي ; لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (إنما جعل الإمام ليؤتم به, فلا تختلفوا عليه) متفق عليه . Kesembilan: Hukum Salat Isya dengan Bermakmum di Belakang Orang yang Salat Tarawih Salat Isya dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih atau witir hukumnya sah menurut pendapat yang lebih tepat di antara dua pendapat ulama. Masalah ini dikenal oleh para fuqaha dengan istilah ‘Orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah’. ([53]) Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada dua pendapat tentang orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah. Pendapat pertama hukumnya tidak sah, dan inilah yang dipilih sebagian besar sahabat kami (mazhab Hambali). Inilah pendapat az-Zuhri, Malik, dan ulama Aṣẖāb ar-Raʾyi, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidaklah imam diangkat kecuali untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya.” (Muttafaqun ʿAlaihi) والثانية: يجوز. وهذا قول الشافعي, وابن المنذر, وهي أصح ; لما روى جابر بن عبد الله أن معاذا كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يرجع فيصلي بقومه تلك الصلاة. متفق عليه. وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه صلى بطائفة من أصحابه في الخوف ركعتين, ثم سلم, ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين, ثم سلم. رواه أبو داود, والثانية منهما تقع نافلة, وقد أَمَّ بها مفترضين . Pendapat kedua mengatakan boleh. Demikian pendapat Syafii dan Ibnul Mundzir. Inilah pendapat yang lebih tepat, berdasarkan riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwa Muadz dahulu pernah salat bersama Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kemudian pulang mengimami kaumnya dengan salat yang sama. (Muttafaqun ʿAlaihi) Diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau salat Khauf dua rakaat bersama sekelompok Sahabat beliau lalu salam, kemudian salat lagi dua rakaat bersama sekelompok Sahabat yang lain, lalu salam. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Adapun salat yang kedua adalah salat sunah bagi beliau, sedangkan beliau mengimami orang-orang yang salat fardu. فأما حديثهم فالمراد به: لا تختلفوا عليه في الأفعال؛ بدليل قوله: (فإذا ركع فاركعوا, وإذا رفع فارفعوا, وإذا سجد فاسجدوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون)” انتهى باختصار ([54]). وسئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: ما هو العمل عندما يأتي الفرد بعد صلاة العشاء وقد انتهت، وقام الإمام يصلي التراويح، فهل يأتم بالإمام وينوي العشاء؟ أم يقيم ويصلي منفردا أو مع جماعة إن وجدت؟ فأجابوا: “يجوز أن يصلي العشاء جماعة مع من يصلي التراويح، فإذا سلم الإمام من ركعتين قام من يصلي العشاء وراءه وصلى ركعتين، إتماما لصلاة العشاء” انتهى ([55]). Adapun hadis yang mereka jadikan dalil ketidakbolehannya, maka maksudnya adalah “Jangan kalian menyelisihi gerakan-gerakannya.” Dalilnya adalah sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “… maka jika dia rukuk, maka rukuklah kalian, jika dia bangkit dari rukuk, maka bangkitlah dari rukuk, dan jika dia sujud, maka sujudlah. Pun jika dia salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk.” Selesai kutipan dengan diringkas. ([54]) Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ pernah ditanya, “Apa yang seharusnya dilakukan seseorang ketika dia datang setelah salat Isya sudah selesai, lalu imam berdiri untuk salat Tarawih? Apakah ia harus bermakmum dengan imam itu dan berniat menunaikan salat Isya ataukah berdiri untuk salat sendirian atau berjamaah dengan yang lain jika ada?” Mereka menjawab, “Boleh salat Isya berjamaah dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih. Jika imam sudah salam setelah dua rakaat, maka setelah itu dia berdiri melanjutkan dua rakaatnya untuk menyempurnakan bilangan salat Isyanya.” Selesai kutipan ([55]) لكن من فاتته صلاة العشاء مع الإمام الراتب ودخل بعد الصلاة مباشرة، وقد بقي وقت عن صلاة التراويح، يسع صلاتهم للعشاء، فالأحسن لهم في مثل هذه الحال أن يصلوا جماعة لوحدهم؛ خروجاً من خلاف من منع من صلاة المفترض خلف المتنفل، من أهل العلم .  Hanya saja, jika orang yang melewatkan salat Isya dengan imam tetap lalu langsung datang setelah salat itu selesai, sementara masih ada jeda waktu sebelum salat Tarawih didirikan sehingga masih cukup baginya untuk salat Isya, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi mereka untuk mendirikan salat berjamaah sendiri, untuk keluar dari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang melarang orang yang salat fardu dengan bermakmum di belakang orang yang salat sunah. أما إذا دخل في أثناء صلاة التراويح، أو كان الإمام يشرع في التراويح بعد العشاء بوقت قريب، ويخشى من صلاة الجماعة الثانية أن يحصل من إحداهما تشويش على الأخرى؛ فالأحسن في هذه الحال أن يدخل مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء، ثم إذا سلم الإمام من الركعتين، قام وأتم لنفسه . Adapun jika seseorang datang di pertengahan salat Tarawih atau imam sudah memulai salat Tarawih sesaat setelah isya, sehingga dikhawatirkan bahwa salat berjamaah yang kedua ini akan menimbulkan gangguan terhadap para jemaah yang salat Tarawih, maka yang baik baginya adalah ikut salat Tarawih bersama imam dengan niat menunaikan salat Isya. Lalu ketika imam sudah mengerjakan dua rakaat kemudian salam, dia bangun untuk menyempurnakan salatnya sendiri. سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: نلاحظ في بعض المساجد أن الذين يأتون بعد انتهاء صلاة العشاء وبداية التراويح يقيمون صلاة ثانية وهم بهذا يشوشون على من يصلي التراويح ، فهل الأفضل في حقهم إقامة الصلاة جماعة ، أم الدخول مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء ، وهل يختلف الحكم فيما إذا كان الداخل فردا أم مجموعة ؟ Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Kami memerhatikan di beberapa masjid, ada orang-orang yang datang setelah selesainya salat Isya dan salat Tarawih sudah dimulai, mereka mendirikan salat berjamaah kedua yang dengan ini mengganggu orang-orang yang sedang salat Tarawih. Apakah yang lebih baik bagi mereka adalah mendirikan salat berjamaah sendiri atau mengikuti imam salat Tarawih dengan niat salat Isya? Lalu apakah hukumnya berbeda jika yang datang adalah satu orang atau beberapa orang? فأجاب: “إذا كان الداخل اثنين فأكثر، فالأفضل لهم إقامة الصلاة وحدهم أعني صلاة العشاء، ثم يدخلون مع الناس في التراويح، وإن دخلوا مع الإمام بنية العشاء، فإذا سلم الإمام قام كل واحد فكمل لنفسه فلا بأس؛ لأنه ثبت عن معاذ رضي الله عنه: (أنه كان يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء فريضته، ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة، فهي له نفل ولهم فرض)، أما إن كان الداخل واحدا فالأفضل له أن يدخل مع الإمام بنية العشاء حتى يحصل له فضل الجماعة، فإذا سلم الإمام من الركعتين قام فأكمل لنفسه صلاة العشاء، وفق الله الجميع للفقه في الدين” ([56]). Beliau menjawab bahwa jika yang datang adalah dua orang atau lebih, maka lebih baik adalah mereka mendirikan salat berjamaah sendiri, yakni salat Isya, lalu bergabung bersama orang-orang untuk salat Tarawih. Jika mereka bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, maka jika imam sudah mengucapkan salam, hendaknya masing-masing berdiri lagi untuk menyempurnakan salatnya masing-masing. Begini tidak mengapa, karena ada riwayat sahih dari Muadz —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia pernah salat fardu Isya bermakmum kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, kemudian dia kembali kepada kaumnya untuk mengimami mereka salat yang sama. Baginya itu salat sunah dan bagi mereka salat fardu. Namun jika yang masuk adalah satu orang saja, maka lebih baik dia bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, agar dia mendapatkan keutamaan salat berjamaah. Ketika imam sudah mengucapkan salam setelah dua rakaat, dia berdiri lagi untuk menyempurnakan salat Isyanya sendiri. Semoga Allah Memberi taufik untuk semua orang untuk bisa memahami agama. ([56]) فإن كان المأموم الذي يريد أن يصلي العشاء مسافرا، وقد دخل مع إمامه في صلاة التراويح، فإنه في هذه الحال، يقتصر على ركعتين؛ لأن القصر في حقه رخصة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا دخل الإنسان إلى المسجد والناس يصلون صلاة التراويح وهو لم يصلِ صلاة العشاء فإنه يدخل معهم بنية العشاء، ثم إن كان مسافراً وقد دخل مع الإمام في الركعة الأولى سلم مع الإمام, لأن المسافر يصلي ركعتين، وإن كان مقيماً فإنه إذا سلم الإمام فإنه يأتي بما بقي عليه من الركعات الأربع” ([57]). Jika makmum yang hendak salat Isya dalam keadaan safar dan terlanjur bergabung salat Tarawih bersama imam, maka dalam hal ini dia bisa mengqasar salatnya menjadi dua rakaat, karena qasar ini menjadi rukhsah baginya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada seseorang masuk ke dalam masjid dan orang-orang sedang salat Tarawih sementara dia belum salat Isya, maka hendaknya dia bergabung bersama mereka dengan niat salat Isya. Lalu jika dia sedang safar dan sudah masuk mengikuti imam pada rakaat pertama, hendaknya dia salam bersama imam, karena seorang musafir boleh salat dua rakaat. Adapun jika dia mukim, maka jika imam sudah salam, maka dia harus tetap menyempurnakannya empat rakaat. ([57]). عاشرا: ضابط ما يحصل به الانصراف من صلاة الليل: هو أن يصلي المأموم مع إمامه؛ حتى ينتهي الإمام من صلاته كلها؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([58])، فمن صلى مع الجماعة الأولى بعد العشاء عشرين ركعة، وأوتر مع إمامها فقد أكمل صلاة التراويح بالوتر مع الإمام، وحقّق شرط حصول أجر قيام ليلة بانصرافه مع الإمام، وليس عليه أن يصلي مع إمام آخر، في آخر الليل؛ لأن الصلاة الأولى تامة كاملة. ومن أراد أن يصلي الصلاتين طلبا لمزيد الأجر: فقد أحسن، غير أنه لا يصلي الوتر مرتين، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك. Kesepuluh: Standar Mendapatkan Salat Malam Bersama Imam hingga Selesai Standarnya adalah dengan seseorang bermakmum dengan imamnya sampai imam menyelesaikan seluruh salatnya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([58]) Barang siapa yang salat bersama jemaah pertama sebanyak dua puluh rakaat lalu salat Witir bersama imamnya, maka ia telah menyempurnakan salat Tarawih dan Witir bersama imam, dan telah memenuhi syarat memperoleh pahala salat semalam penuh karena dia telah menyelesaikan salatnya bersama imam. Dia tidak perlu salat lagi bersama imam lain di akhir malam, karena salat berjamaah pertama itu sudah sempurna. Barang siapa yang ingin salat dua kali karena ingin mendapat tambahan pahala, maka itu lebih baik, hanya saja ia tidak boleh salat Witir dua kali, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang hal itu. وقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله:إذا صلى الإنسان في رمضان مع من يصلي ثلاثا وعشرين ركعة واكتفى بإحدى عشرة ركعة ولم يتم مع الإمام، فهل فعله هذا موافق للسنة؟ فأجاب: “السنة الإتمام مع الإمام، ولو صلى ثلاثا وعشرين؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة، وفي اللفظ الآخر: (بقية ليلته). فالأفضل للمأموم أن يقوم مع الإمام حتى ينصرف، سواء صلى إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة أو ثلاثا وعشرين أو غير ذلك، هذا هو الأفضل أن يتابع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([59]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Jika seseorang salat bersama jemaah yang salat 23 rakaat di bulan Ramadan, lalu dia berhenti pada rakaat kesebelas dan tidak menyelesaikannya bersama imam, apakah tindakan ini sesuai dengan sunah? Beliau menjawab bahwa yang sunah adalah menyelesaikan salat bersama imam, meskipun imamnya salat 23 rakaat, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” Dalam riwayat lain disebutkan, ” … (pahala) salat di sisa malamnya itu.” Jadi, yang afdal bagi makmum adalah salat bersama imam sampai ia selesai, baik imamnya salat 11, 13, 23, atau jumlah rakaat yang lain. Selesai kutipan ([59]) وقال الشيخ ابن جبرين رحمه الله: ” قيام رمضان يحصل بصلاة جزء من كل ليلة، كنصفها أو ثلثها، سواء كان ذلك بصلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث وعشرين، ويحصل القيام بالصلاة خلف إمام الحي حتى ينصرف، ولو في أقل من ساعة . وكان الإمام أحمد يُصلي مع الإمام ولا ينصرف إلا معه، عملاً بالحديث، فمن أراد هذا الأجر فعليه أن يصلي مع الإمام حتى يفرغ من الوتر، سواء صلى قليلاً أو كثيراً ، وسواء طالت المدة أو قصرت” انتهى ([60]). Syekh Ibnu Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam di bulan Ramadan bisa dilakukan dengan salat di sebagian malam di seluruh malamnya, seperti di setengah atau sepertiga malam, baik dengan 11 atau 23 rakaat. Salat ini bisa dilakukan dengan bermakmum pada imam setempat sampai dia selesai, meskipun dalam waktu kurang dari satu jam. Imam Ahmad dahulu salat bersama imam dan tidak akan menyelesaikannya kecuali bersamanya dalam rangka mengamalkan hadis. Barang siapa menginginkan pahala ini, maka dia harus salat bersama imam sampai selesai dari salat Witir, baik salatnya itu dengan sedikit atau banyak rakaat, dan baik durasinya panjang atau pendek. Selesai kutipan ([60]). لكن: هل يحصل له الأجر الوارد في الحديث إذا صلى نصف التراويح في مسجد ونصفها في آخر لظروف العمل؟ سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا كان الرجل في رمضان يصلي أول الليل في مسجد وآخر الليل في مسجد هل يكون الأجر مثله؟ فأجاب: قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم:)من قام مع الإمام حتى ينصرف-يعني: في قيام رمضان- كتب له قيام ليلة). Namun, apakah dia akan mendapat pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut jika dia melaksanakan separuh salat Tarawih di satu masjid dan separuhnya lagi di masjid lain karena tuntutan kerja? Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Jika seseorang pada bulan Ramadan salat di awal malam di masjid dan di akhir malam di masjid lain, apakah pahalanya seperti itu pula?” Beliau menjawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai (salat malam di bulan Ramadan), maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.  فإذا صلى مع الإمام الأول، ثم صلى مع الثاني: لم يصدق عليه أنه صلى مع الإمام حتى ينصرف؛ لأنه جعل قيامه بين رجلين. فيقال له: إما أن تقوم مع هذا من أول الليل إلى آخره، وإما أن يفوتك الأجر” انتهى ([61]). وعليه: إذا كانت ظروف العمل لا يتمكن معها المصلي من صلاة التراويح كاملة في مسجد واحد، فيرجى له الأجر على نيته المقترنة بما يقدر عليه من عمل.  Maka dari itu, jika dia salat dengan imam pertama, kemudian salat lagi dengan imam kedua, maka tidak benar bahwa dia telah bersama imam sampai imamnya selesai, karena salatnya bermakmum pada dua orang. Jadi, dikatakan kepadanya, “Anda harus bermakmum kepada satu orang imam yang salat di awal waktu sampai dia selesai salat, atau jika tidak demikian, maka Anda kehilangan pahala tersebut.” Selesai kutipan ([61]) Dengan demikian, jika tuntutan kerjanya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa salat Tarawih secara sempurna hingga selesai di satu masjid, maka semoga dia diberi pahala atas niatnya karena sudah dibarengi dengan usaha semampu yang bisa dia kerjakan. فإن كان في المسجد الواحد إمامان لصلاة التراويح أو التهجد، فالانصراف يتحقق بالصلاة مع الإمامين معا: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “هل الإمامان في مسجد واحد يعتبر كل واحد منهم مستقلاً، أو أن كل واحد منهما نائب عن الثاني؟ الذي يظهر الاحتمال الثاني – أن كل واحد منهما نائب عن الثاني مكمل له، وعلى هذا فإن كان المسجد يصلي فيه إمامان فإن هذين الإمامين يعتبران بمنزلة إمام واحد، فيبقى الإنسان حتى ينصرف الإمام الثاني، لأننا نعلم أن الثانية مكملة لصلاة الأول” ([62]). Jika ada dua imam dalam satu masjid untuk salat Tarawih dan Tahajud, maka dikatakan bahwa dia selesai salat bersama imam adalah dengan mengikuti kedua imam tersebut. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Apakah dua imam dalam satu masjid dianggap masing-masing dan terpisah, atau masing-masing saling mewakili yang lain? Yang lebih tepat adalah kemungkinan yang kedua, bahwa masing-masing saling mewakili yang lain dan saling melengkapi. Oleh karena itu, jika masjid tersebut ada salat yang dipimpin oleh dua orang imam, maka dua imam tersebut dianggap satu imam, sehingga seseorang hendaknya tetap salat sampai imam kedua selesai, karena kita tahu bahwa imam kedua ini menyempurnakan salat imam yang pertama.” ([62]) الأحكام المتعلقة بصلاة الوتر Hukum-Hukum Seputar Salat Witir صلاة الوتر من أعظم القربات إلى الله تعالى، حتى رأى بعض أهل العلم –وهم الأحناف– بوجوبها، ولكن الصحيح بأنها سنة مؤكدة، ينبغي على المسلم المحافظة عليها وعدم تركها. Salat Witir merupakan salah satu amalan ibadah teragung untuk mendekatkan diri kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, bahkan sebagian ulama —yaitu ulama Hanafi— berpendapat bahwa hukumnya wajib. Namun yang benar bahwa hukumnya sunah muakadah, yang seyogianya dijaga dan tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. المسألة الأولى: حكم صلاة الوتر. صلاة الوتر سنة مؤكدة عند جمهور العلماء، ومن الفقهاء من أوجبها . ويدل على عدم وجوبها: ما رواه البخاري ومسلم عن طَلْحَةَ بْن عُبَيْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ: (الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا) ولفظ مسلم: (خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لا، إِلا أَنْ تَطَوَّعَ) ([63]).  Pembahasan Pertama: Hukum Salat Witir Salat Witir termasuk sunah muakadah menurut mayoritas ulama, tetapi ada sebagian fukaha yang mewajibkannya. Dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya tidak wajib adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Thalhah bin Ubaidullah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku salat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Salat lima waktu dalam sehari semalam.” Dia bertanya, “Apakah ada kewajiban (salat) lain bagiku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” ([63]) قال النووي رحمه الله: “فِيهِ: أَنَّ صَلاة الْوِتْر لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ” انتهى ([64]).  وقال الحافظ رحمه الله في “الفتح”: “فيه: أَنَّهُ لا يَجِب شَيْء مِنْ الصَّلَوَات فِي كُلّ يَوْم وَلَيْلَة غَيْر الْخَمْس, خِلافًا لِمَنْ أَوْجَبَ الْوِتْر أَوْ رَكْعَتَيْ الْفَجْر” انتهى ([65]).  ومع ذلك فهي آكد السنن ، فقد أمر بها النبي صلى الله عليه وسلم في غير ما حديث . روى مسلم عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([66]).  An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini menunjukkan bahwa salat Witir tidak wajib. Selesai kutipan. ([64]) Al-Hafiz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Fath bahwa dalam hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun salat yang wajib dilakukan setiap siang dan malam selain salat lima waktu. Pendapat ini berbeda dengan mereka yang mewajibkan salat Witir atau dua rakaat fajar. Selesai kutipan. ([65]) Ini termasuk salat sunah muakadah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya kepada kita dalam beberapa hadis. Muslim meriwayatkan dari Abu Said —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([66]) وروى أبو داود: عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، أَوْتِرُوا، فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ) ([67]).  ولهذا فينبغي المحافظة عليها حضرا وسفرا، كما كان يفعل صلى الله عليه وسلم، فقد روى البخاري ومسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: (كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاةَ اللَّيْلِ إِلا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ) ([68]).  Abu Dawud meriwayatkan dari Ali —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Wahai ahli al-Quran, lakukanlah salat Witir, karena Allah itu witir (baca:ganjil, yakni satu) dan Mencintai witir. ([67]) Oleh karena itu, salat ini selayaknya dijaga saat mukim maupun saat safar, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat saat safar di atas tunggangannya ke mana pun tunggangannya menghadapkan beliau dengan isyarat tubuh untuk salat malam, kecuali untuk salat wajib, dan beliau juga salat Witir di atas tunggangannya.” ([68])  قال ابن قدامة رحمه الله: “الوتر غير واجب وبهذا قال مالك والشافعي. وقال أبو حنيفة: هو واجب”. ثم قال: “قال أحمد: من ترك الوتر عمدا فهو رجل سوء، ولا ينبغي أن تقبل له شهادة، وأراد المبالغة في تأكيده لما قد ورد فيه من الأحاديث في الأمر به، والحث عليه ” انتهى بتصرف ([69]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Witir tidak wajib. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan Syafii. Abu Hanifah berkata, “hukumnya wajib.” Kemudian dia berkata bahwa Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan kesaksiannya selayaknya tidak diterima.” Maksudnya beliau ingin menguatkan statusnya yang sunah muakadah karena ada banyak hadis yang memerintahkan dan mendorong untuk mengerjakan salat ini. ([69]) وسئل علماء اللجنة الدائمة: هل صلاة الوتر واجبة وهل الذي يصليها يوماً ويتركها اليوم الآخر يؤاخذ ؟ فأجابوا: ” صلاة الوتر سنة مؤكدة، ينبغي أن يحافظ المؤمن عليها، ومن يصليها يوما ويتركها يوما لا يؤاخذ، لكن ينصح بالمحافظة على صلاة الوتر ثم يشرع له أن يصلي بدلها من النهار ما فاته شفعا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك، كما ثبت عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا شغله نوم أو مرض عن صلاة الليل صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة. خرجه مسلم في صحيحه، وكان صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل غالبا إحدى عشرة ركعة، يسلم من كل اثنتين ويوتر بواحدة، فإذا شغل عن ذلك بنوم أو مرض صلى من النهار اثنتي عشرة ركعة، كما ذكرت ذلك رضي الله عنها، وعلى هذا إذا كانت عادة المؤمن في الليل خمس ركعات فنام عنها أو شغل عنها بشيء شُرع له أن يصلي من النهار ست ركعات يسلم من كل اثنتين، وهكذا إذا كانت عادته ثلاثا صلى أربعا بتسليمتين، وإذا كانت عادته سبعا صلى ثمان يسلم من كل اثنتين” انتهى ([70]).  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah ditanya, “Apakah salat Witir itu wajib, dan apakah orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya akan mendapatkan hukuman?” Mereka menjawab bahwa salat Witir itu sunah muakadah. Hendaknya orang mukmin memeliharanya. Orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya tidak akan mendapatkan hukuman. Hanya saja, disarankan agar salat Witir dipelihara dan disyariatkan agar dia menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap jika dia melewatkannya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu juga melakukan demikian, sebagaimana disebutkan dalam riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat salat malam karena tertidur atau sakit, maka beliau salat dua belas rakaat di siang hari. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam seringnya salat sebelas rakaat di malam hari dengan satu salam setiap dua rakaat lalu salat Witir satu rakaat. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat melakukannya karena tertidur atau sakit, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat dua belas rakaat di siang hari. Ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Oleh sebab itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan di malam hari salat lima rakaat, tetapi tertidur atau tidak sempat melakukannya karena suatu kesibukan, disyariatkan baginya untuk salat enam rakaat di siang hari dengan satu salam setiap dua rakaat. Pun jika kebiasaannya adalah salat tiga rakaat, hendaknya dia salat empat rakaat dengan dua kali salam. Jika kebiasaannya adalah salat tujuh rakaat, hendaknya dia salat delapan rakaat dengan sekali salam setiap dua rakaat. Selesai kutipan ([70]). المسألة الثانية: وقت الوتر: يبدأ من بعد صلاة العشاء، ولو كانت مجموعة إلى المغرب تقديماً، إلى طلوع الفجر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ) ([71]). فإذا طلع الفجر خرج وقتها، بدليل قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([72]). وروى مسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ) ([73]). Pembahasan Kedua: Waktu Salat Witir Waktu salat Witir dimulai setelah salat Isya —meskipun salat Isyanya dijamak dengan salat magrib di awal waktu— hingga terbit fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah telah Menganugerahi kepada kalian satu salat, yaitu salat Witir, yang Allah Jadikan waktunya bagi kalian antara salat Isya sampai terbit fajar.” ([71]). Ketika fajar tiba, maka sudah habis waktunya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([72]). Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Segeralah salat Witir sebelum subuh.” ([73]). وروى مسلم: أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ) ([74]). وروى الترمذي: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ، فَأَوْتِرُوا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ) ([75]). وروى البخاري ومسلم: أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (صَلَاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([76]). قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “فدل على أن الوتر ينتهي وقته بطلوع الفجر، ولأنه صلاة تختم به صلاة الليل فلا تكون بعد انتهائه” ([77]). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([74]). At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Ketika fajar terbit, maka telah berlalu semua salat malam dan Witir.” ([75]). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([76]) Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hal ini menunjukkan bahwa waktu salat Witir berakhir saat terbitnya fajar dan bahwa salat ini menjadi penutup salat malam sehingga tidak ada lagi (salat malam) setelah (Witir) dikerjakan.” ([77]). وذهب بعض العلماء إلى أن وقته يمتد بعد طلوع الفجر حتى يصلي الصبح ، واستدلوا بما ورد عن بعض الصحابة أنهم صلوا الوتر بعد طلوع الفجر وقبل إقامة الصلاة . قال ابن رشد القرطبي رحمه الله:”وأما وقته -أي: الوتر-: فإن العلماء اتفقوا على أن وقته من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر لورود ذلك من طرق شتى عنه عليه الصلاة والسلام، ومن أثبت ما في ذلك ما خرجه مسلم عن أبي نضرة العوفي أن أبا سعيد أخبرهم أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم عن الوتر فقال ‏(‏الوتر قبل الصبح)‏، ‏واختلفوا في جواز صلاته بعد الفجر، فقوم منعوا ذلك، وقوم أجازوه ما لم يصل الصبح، وبالقول الأول قال أبو يوسف ومحمد بن الحسن صاحبا أبي حنيفة وسفيان الثوري، وبالثاني قال الشافعي ومالك وأحمد‏.‏ وسبب اختلافهم معارضة عمل الصحابة في ذلك بالآثار … Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat Witir ada sampai terbitnya fajar hingga seseorang melaksanakan salat Subuh. Mereka berdalil dengan riwayat sebagian Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa mereka salat Witir setelah terbitnya fajar dan sebelum ikamat salat Subuh. Ibnu Rusyd al-Qurtubi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa para ulama sepakat bahwa waktunya—yakni witir—adalah setelah salat Isya sampai terbitnya fajar, karena ada banyak riwayat dari berbagai jalur dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun riwayat yang paling sahih dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Naḏhrah al-ʿAufi bahwa Abu Said mengabarkan kepada mereka bahwa mereka pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat Witir, lantas beliau menjawab, “Salat Witir itu sebelum subuh.” Para ulama berselisih tentang kebolehan salat setelah terbit fajar. Ada yang melarangnya dan ada pula yang membolehkannya selama belum salat Subuh. Pendapat pertama menjadi pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan dua sahabat Abu Hanifah, serta Sufyan ats-Tsauri. Pendapat kedua adalah pendapat Syafii, Malik, dan Ahmad. Latar belakang silang pendapat ini adalah perbedaan antara praktik para Sahabat dengan berbagai riwayat tentang hal ini. والذي عندي في هذا: أن هذا من فعلهم ليس مخالفا للآثار الواردة في ذلك – أعني: في إجازتهم الوتر بعد الفجر – بل إجازتهم ذلك هو من باب القضاء لا من باب الأداء، وإنما يكون قولهم خلاف الآثار لو جعلوا صلاته بعد الفجر من باب الأداء فتأمل هذا … ” ([78]). وقال الشيخ ابن باز رحمه الله:”والأحاديث في هذا الباب كثيرة، وهي دالة على أن الوتر ينتهي بطلوع الفجر” ([79]). Menurut saya dalam masalah ini bahwa perbuatan mereka yakni bolehnya salat Witir setelah fajar, tidaklah bertentangan dengan riwayat-riwayat dalam masalah ini, karena mereka yang membolehkan ini adalah dalam rangka mengqada salat Witir, bukan mengerjakan pada waktunya. Pendapat mereka ini baru bertentangan dengan riwayat jika salat mereka setelah fajar dimaknai mengerjakan salat pada waktunya. Silakan renungkan hal ini. …” ([78]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis-hadis dalam masalah ini ada banyak, yang menunjukkan bahwa witir berakhir ketika terbit fajar ([79]). وأفضل وقت لصلاة الوتر: آخر الليل لمن طمع أن يقوم من آخره؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ) ([80]). قال النووي رحمه الله: “وهذا هو الصواب، ويُحمل باقي الأحاديث المطلقة على هذا التفضيل الصحيح الصريح، فمن ذلك حديث: (أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر). وهو محمول على من لا يثق بالاستيقاظ” ([81]). Faedah: Waktu Terbaik untuk Salat Witir Waktu terbaik untuk salat Witir adalah di akhir malam bagi orang yang ingin salat di akhir malam, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamnya, “Barang siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal malam. Adapun bagi yang yakin mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena salat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan itu yang afdal ([80]). An-Nawawi —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa inilah yang benar. Hadis-hadis lain yang sifatnya mutlak maknanya dibawa kepada rincian yang benar dan jelas ini. Di antaranya adalah hadis, “Kekasihku mewasiatkan kepadaku agar aku tidak tidur kecuali telah witir.” (HR. Bukhari) Hadis ini dibawa maknanya kepada orang yang tidak yakin bisa terbangun. ([81]) المسألة الثالثة: عدد ركعات الوتر: أقل الوتر ركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ)([82])، وقوله عليه الصلاة والسلام: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى) ([83]). ويجوز الوتر بثلاث وبخمس وبسبع وبتسع وبأحد عشر. Pembahasan Ketiga: Jumlah Rakaat Salat Witir Rakaat minimal salat Witir adalah satu rakaat, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([82]) Juga sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika khawatir masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menutup salatnya.” ([83]). Witir boleh dikerjakan dalam tiga, lima, tujuh, sembilan, atau sebelas rakaat. فإن أوتر بثلاث فله صفتان كلتاهما مشروعة ([84]): الأولى: أن يسرد الثلاث بتشهد واحد؛ لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر”، وفي لفظ: ” كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن” ([85]).  قال النووي رحمه الله: “رواه النسائي بإسناد حسن، والبيهقي بإسناد صحيح” ([86]). Jika seseorang salat Witir tiga rakaat, maka ada dua cara yang sama-sama disyariatkan. ([84]): Pertama, langsung tiga rakaat dengan satu tasyahud, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak salam pada dua rakaat witir.” Dalam riwayat lain, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir tiga rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat.” ([85]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa an-Nasai meriwayatkan dengan sanad yang hasan dan al-Baihaqi dengan sanad yang sahih ([86]). الثانية: أن يسلّم من ركعتين ثم يوتر بواحدة؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنه كان يفصل بين شفعه ووتره بتسليمة، وأخبر أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يفعل ذلك ([87]). وقال ابن حجر رحمه الله: إسناده قوي([88]). وأما إذا أوتر بخمس أو بسبع؛ فإنها تكون متصلة، ولا يتشهد إلا تشهداً واحداً في آخرها ويسلم، لحديث أم سلمة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يوتر بخمس وبسبع ولا يفصل بينهن بسلام ولا كلام” ([89]). Kedua, dengan salam setelah dua rakaat, lalu mengerjakan witir satu rakaat, berdasarkan riwayat Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau memisahkankan rakaat genapnya (dua rakaat) dan rakaat ganjilnya (satu rakaat) dengan salam. Dia meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan demikian ([87]). Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa sanadnya kuat ([88]). Adapun seseorang witir dengan lima atau tujuh rakaat, maka bisa bersambung tanpa tasyahud kecuali sekali di akhir rakaat lalu salam, berdasarkan hadis Ummu Salamah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir dengan lima atau tujuh rakaat tanpa memisahkan keduanya dengan salam atau ucapan tertentu ([89]). روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها ([90]) وإذا أوتر بتسع فإنها تكون متصلة ويجلس للتشهد في الثامنة، ثم يقوم ولا يسلم ويتشهد في التاسعة ويسلم؛ لما روته عائشة رضي الله عنها: “أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لا يَجْلِسُ فِيهَا إِلا فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا” ([91]). وإن أوتر بإحدى عشرة، فإنه يسلم من كل ركعتين، ويوتر منها بواحدة. Aisyah —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan dengan mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat malam tiga belas rakaat termasuk witir dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat akhir ([90]). Jika seseorang salat Witir sembilan rakaat, maka bersambung terus dan duduk tasyahud di rakaat kedelapan lalu berdiri lagi tanpa salam dulu, kemudian duduk tasyahud di rakaat kesembilan lalu salam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah salat sembilan rakaat tanpa duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk melakukan rakaat yang kesembilan, kemudian duduk melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, lalu salam dengan salam yang bisa kami dengar ([91]). Jika ia salat Witir sebanyak sebelas rakaat, maka ia salam setiap dua rakaat, lalu melakukan witir dengan satu rakaat. وأدنى الكمال في الوتر: أن يصلي ركعتين ويسلّم، ثم يأتي بواحدة ويسلم، ويجوز أن يجعلها بسلام واحد، لكن بتشهد واحد لا بتشهدين، كما سبق. فكل هذه الصفات في صلاة الوتر قد جاءت بها السنة، والأكمل أن لا يلتزم المسلم صفة واحدة، بل يأتي بهذه الصفة مرة وبغيرها أخرى. وقد ظن بعض الناس أن هذه الأحاديث التي ذكرت بعض كيفيات الوتر معارضة لما ثبت في الصحيحين من قول النبي صلى الله عليه وسلم (صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى) وليس الأمر كذلك؛ لأن هذا الحديث وارد في صلاة قيام الليل ، وهذه الأحاديث إنما هي في صلاة الوتر . Kesempurnaan minimal dalam mengerjakan salat Witir adalah salat dua rakaat lalu salam, kemudian mengerjakan satu rakaat lalu salam. Boleh juga mengerjakannya dengan satu salam, tetapi dengan satu tasyahud, bukan dua kali, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Semua cara salat Witir tersebut warid dalam Sunah. Cara yang paling sempurna adalah dengan seorang muslim tidak terpaku pada satu cara saja, melainkan sesekali dengan cara tertentu dan sesekali cara yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa hadis-hadis yang menyebutkan beberapa tata cara salat Witir ini saling kontradiktif dengan riwayat sahih dalam kitab Shahihain yang menyebutkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” padahal tidak demikian. Hadis ini adalah tentang salat malam, sementara hadis-hadis tersebut adalah tentang salat Witir. قال ابن القيم رحمه الله بعد أن ساق أحاديث في أنواع وتره صلى الله عليه وسلم: ” وكلها أحاديث صحاح صريحة لا معارض لها, فَرُدَّتْ هذه بقوله صلى الله عليه وسلم: (صلاة الليل مثنى مثنى) وهو حديث صحيح, ولكن الذي قاله هو الذي أوتر بالتسع والسبع والخمس, وسننه كلها حق يصدق بعضها بعضا, فالنبي صلى الله عليه وسلم أجاب السائل له عن صلاة الليل بأنها: (مَثْنَى مَثْنَى) ولم يسأله عن الوتر، وأما السبع والخمس والتسع والواحدة فهي صلاة الوتر، والوتر اسم للواحدة المنفصلة مما قبلها وللخمس والسبع والتسع المتصلة, كالمغرب اسم للثلاث المتصلة, فإن انفصلت الخمس والسبع بسلامين كالإحدى عشرة كان الوتر اسما للركعة المفصولة وحدها, كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى, فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ أَوْتَرَ بِوَاحِدَةٍ تُوتِرُ لَهُ مَا صَلَّى) فاتفق فعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وصدَّق بعضُه بعضاً” انتهى ([92]). وصلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالفها في الكيفية كما سبق بيانه. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya—, setelah mengutip hadis-hadis tentang berbagai jenis cara salat Witir, mengatakan bahwa semua hadis tersebut adalah hadis sahih dan jelas yang tidak saling kontradiktif. Pendapat ini dibantah dengan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” yang juga merupakan hadis sahih. Hanya saja, yang beliau katakan ini adalah tentang orang yang mengerjakan witir dengan sembilan, tujuh, dan lima rakaat. Sunah beliau semua benar dan saling membenarkan. Di sini Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang menjawab penanya yang bertanya kepada beliau tentang salat malam itu, yang caranya dua (rakaat) dua (rakaat), bukan bertanya tentang witir. Adapun rakaat yang jumlahnya sembilan, tujuh, lima, atau satu adalah untuk salat Witir. Witir adalah istilah untuk menyebut satu rakaat yang terpisah dari rakaat-rakaat yang sebelumnya dan untuk menyebut lima, tujuh, atau sembilan rakaat yang bersambung tersebut, sebagaimana Magrib adalah istilah untuk menyebut tiga rakaat yang bersambung. Adapun jika lima dan tujuh rakaat ini dipisahkan dengan salam, sebagaimana sebelas rakaat, maka witir adalah nama untuk untuk menyebut satu rakaat yang terpisah saja, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” Jadi, perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersesuaian dengan sabda beliau dan saling membenarkan. Selesai kutipan ([92]) Salat Witir merupakan bagian dari salat malam, namun berbeda tata caranya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. المسألة الرابعة: القراءة في الوتر: يقرأ في الركعة الأولى من الثلاث: سورة (سبح اسم ربك الأعلى) كاملة. وفي الثانية: الكافرون. وفي الثالثة: الإخلاص. فعن أبي بن كعب رضي الله عنه قال: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ” ([93]). واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Pembahasan Keempat: Bacaan dalam Salat Witir Bacaan pada rakaat pertama dari tiga rakaat salat Witir adalah surah sabbiẖisma rabbikal aʾlā (al-A’la) secara keseluruhan. Pada rakaat kedua membaca surah al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salat Witir membaca sabbiẖisma rabbikal aʾlā, qul yā ayyuhal kāfirūn, dan qul huwallāhu aẖad. ([93]).  واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Sebagian ulama menganjurkan untuk membaca Muʿawwidzatain (an-Nas dan al-Falaq) setelah surah al-Ikhlas pada rakaat ketiga. Ibnul Mundzir —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ketika seseorang menunaikan salat Witir tiga rakaat, maka hendaknya dia mengerjakan dua rakaat dengan rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā …,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn …,” kemudian salam. Kemudian, dia mengerjakan rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad …” dan Muʿawwidzatain. Selesai kutipan ([94]). واستدلوا بما رواه الترمذي: عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت: بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فقَالَتْ: (كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ) ([95]). وقد صحح هذا الحديث: الحاكم ووافقه الذهبي، وحسنه الحافظ ابن حجر في “نتائج الأفكار” وصححه الألباني في صحيح الترمذي . وضعفه الإمام أحمد ويحيى بن معين والعقيلي والشوكاني وغيرهم . Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah ditanya, “Dengan (bacaan) apa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir?” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab bahwa beliau di rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad” disertai Muʿawwidzatain. ([95]). Hadis ini dinilai sahih oleh al-Hakim dan disetujui oleh az-Zahabi, dinilai hasan oleh a-Hafiz Ibnu Hajar dalam Natāʾij al-Afkār, dan dinilai sahih juga oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, asy-Syaukani dan lain-lain menilainya lemah. قال ابن قدامة رحمه الله: “ويستحب أن يقرأ في ركعات الوتر الثلاث، في الأولى بـ (سبح)، وفي الثانية: (قل يا أيها الكافرون)، وفي الثالثة: (قل هو الله أحد) وبه قال الثوري وإسحاق وأصحاب الرأي، وقال الشافعي: يقرأ في الثالثة: (قل هو الله أحد) والمعوذتين، وهو قول مالك في الوتر ، وقال في الشفع: لم يبلغني فيه شيء معلوم، وقد روي عن أحمد أنه سئل: يقرأ بالمعوذتين في الوتر ؟ قال: ولِمَ لا يقرأ ؟… وحديث عائشة في هذا لا يثبت، فإنه يرويه يحيى بن أيوب وهو ضعيف ، وقد أنكر أحمد ويحيى بن معين زيادة المعوذتين” انتهى ([96]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tiga rakaat witir dianjurkan untuk membaca pada rakaat pertama “sabbiẖ,” pada rakaat kedua, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga, “qul huwallāhu aẖad.” Inilah pendapat ats-Tsauri, Ishaq, dan para Aṣhāb ar-Raʾyi. Syafii berkata bahwa pada rakaat ketiga membaca “qul huwallāhu aẖad” dan Muʿawwidzatain. Ini juga pendapat Malik tentang salat Witir. Adapun tentang salat dengan rakaat yang genap dia mengatakan, “Tidak ada penjelasan yang diketahui yang sampai kepadaku.” Diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia ditanya tentang membaca Muʿawwidzatain dalam salat Witir? Dia menjawab, “Kenapa tidak?” Sementara hadis Aisyah dalam masalah ini tidak sahih, karena diriwayatkan oleh Yahya bin Ayub. Dia lemah. Ahmad dan Yahya bin Ma’in mengingkari tambahan redaksi penambahan Muʿawwidzatain ini. Selesai kutipan ([96]). وقول الإمام أحمد رحمه الله: ولِمَ لا يقرأ ؟ يعني: مع ضعف الحديث، فلا حرج عليه إذا قرأ المعوذتين مع قل هو الله أحد في الركعة الثالثة، وإن كان الأصح أن يقتصر على (قل هو الله أحد) فقط . وبالرغم من ورود حديث ابن عباس وأبي بن كعب وعائشة رضي الله عنهما في قراءة الرسول صلى الله عليه وسلم هذه السور الثلاثة فقد اختلف العلماء في ذلك فذهب أبو حنيفة إلى أنه يقرأ في الوتر ما يشاء، وكذا الإمام مالك، في ركعتي الشفع، كما ذكره ابن قدامة عنه، وقد نقلناه آنفاً. Perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— “Kenapa tidak?” Maknanya meskipun hadisnya lemah sekalipun, tidak mengapa membaca Muʿawwidzatain dan qul huwallāhu aẖad pada rakaat ketiga, walaupun yang lebih tepat adalah cukup qul huwallāhu aẖad saja. Meskipun ada riwayat dalam hadis Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Aisyah —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang membaca ketiga surah ini. Pun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang bebas membaca apa yang dia inginkan dalam salat Witir di dua rakaat yang genap. Begitu pula Imam Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah darinya, sebagaimana yang telah kami kutip tadi. وهو قول بعض التابعين كإبراهيم النخعي رحمه الله، فقد روى عبد الرزاق في “المصنَّف” (3/34) عن إبراهيم النخعي قال: اقرأ فيهن ما شئت، ليس فيهن شيء موقوت”. أي: محدد . وجاء في ” المدونة ” (1 /212): وقال مالك: الوتر واحدة، والذي أقر به وأقرأ به فيها في خاصة نفسي: (قل هو الله أحد)، و (قل أعوذ برب الفلق)، و (قل أعوذ برب الناس) في الركعة الواحدة مع أمِّ القرآن: قال ابن القاسم: وكان لا يفتي به أحدا، ولكنه كان يأخذ به في خاصة نفسه”. انتهى. Ini juga menjadi pendapat sebagian Tabiin, seperti Ibrahim an-Nakha’i —Semoga Allah Merahmatinya—. Abdurrazzaq meriwayatkan dalam al-Muṣhannaf (3/34) dari Ibrahim an-Nakha’i yang mengatakan, “Bacalah sekehendakmu, karena tidak ada ketentuan khusus.” Disebutkan dalam al-Mudawwanah (1/212) bahwa Malik berkata, “Dalam witir satu rakaat, untukku sendiri, aku membaca Qul huwallāhu aẖad, Qul aʿūdzubil falaq, dan Qul aʿūdzubi rabbinnās dalam satu rakaat itu disertai Ummul Qur’an (al-Fatihah).” Ibnul Qasim berkata bahwa dia tidak pernah memfatwakan itu kepada seorang pun, melainkan untuk dia amalkan sendiri. Selesai kutipan. وظاهر هذا، أنه لم يثبت شيء عند الإمام مالك رحمه الله في القراءة في الوتر، وإلا كان أفتى به . ومن أوتر بواحدة، فإنه يقرأ ما شاء بعد الفاتحة، وليس هناك قراءة معينة وردت بها السنة، وإذا قرأ ب” قل هو الله أحد ” فلا حرج عليه ([97]). Dengan demikian, tampaknya menurut Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya— tidak ada riwayat yang sahih mengenai bacaan dalam witir (satu rakaat), kalau bukan begitu, tentu dia akan memfatwakannya. Maka dari itulah, barang siapa yang salat Witir dengan satu rakaat, maka ia boleh membaca apa saja yang diinginkannya setelah surah al-Fatihah, dan tidak ada bacaan khusus yang disebutkan dalam Sunah. Jika ia membaca Qul huwallāhu aẖad pun tidak masalah ([97]). المسألة الخامسة: دعاء القنوت: دعاء القنوت يكون في الركعة الأخيرة من صلاة الوتر بعد الركوع، وإن جعله قبل الركوع فلا بأس، إلا أنه بعد الركوع أفضل. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “أكثر الأحاديث والذي عليه أكثر أهل العلم أن القنوت بعد الركوع، وإن قنت قبل الركوع فلا حرج” انتهى ([98]). Pembahasan Kelima: Doa Kunut Doa kunut terletak pada rakaat terakhir salat Witir setelah rukuk. Tidak mengapa juga jika dilakukan sebelum rukuk, tetapi setelah rukuk lebih baik. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa kebanyakan hadis dan mayoritas ulama mengatakan bahwa kunut itu setelah rukuk. Jika seseorang kunut sebelum rukuk pun tidak mengapa. Selesai kutipan. ([98]) والأفضل عدم المداومة على القنوت، بل يقنت الشخص أحيانا ويترك أحيانا. قال الألباني رحمه الله: “وكان صلى الله عليه وسلم يقنت أحيانا… وإنما قلنا: “أحيانا” لأن الصحابة الذين رووا الوتر لم يذكورا القنوت فيه، فلو كان صلى الله عليه وسلم يفعله دائما لنقلوه جميعا عنه. نعم، رواه أبي بن كعب وحده، فدل على أنه كان يفعله أحيانا” انتهى([99]). Lebih baik adalah tidak melakukan kunut secara kontinu, melainkan sesekali melakukannya dan sesekali meninggalkannya. Al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu kadang-kadang membaca kunut. Kami mengatakan “kadang-kadang” karena para Sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis tentang Witir tidak menyebutkan tentang kunut dalam riwayatnya. Seandainya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu melakukannya, tentu mereka semua akan meriwayatkan hal itu dari beliau. Ya, yang meriwayatkan adalah Ubay bin Ka’ab saja, sehingga menunjukkan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hanya melakukannya kadang-kadang. Selesai kutipan. ([99]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: ” ثبت عن أبي ابن كعب رضي الله عنه حين كان يصلي بالصحابة رضي الله عنهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يترك القنوت بعض الليالي، ولعل ذلك ليعلم الناس أنه ليس بواجب” انتهى ([100]). أما الإطالة في الدعاء فقد قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “الصحيح ألا يكون غلو ولا تقصير، فالإطالة التي تشق على الناس منهي عنها ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن معاذ بن جبل أطال الصلاة في قومه غضب عليه غضباً شديداً لم يغضب في موعظة مثله قط، وقال لمعاذ بن جبل: (يا معاذ أفتان أنت) ([101])،  Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari ayahnya Ibnu Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengimami para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— di masjid Nabawi, beliau pernah meninggalkan kunut beberapa malam. Mungkin itu maksudnya agar orang mengetahui bahwa itu tidaklah wajib. Selesai kutipan ([100]). Adapun tentang memanjangkan doa dalam kunut, maka syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkomentar bahwa yang benar adalah tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurangi juga. Memperpanjang doa yang menyusahkan orang-orang tidaklah dibolehkan. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendengar bahwa Muadz bin Jabal memperpanjang salat ketika mengimami kaumnya, maka beliau sangat marah padahal beliau tidak pernah sama sekali marah seperti itu saat menasihati orang. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, jangan membuat masalah!” ([101]). فالذي ينبغي أن يقتصر على الكلمات الواردة أو يزيد قليلا ولا يشق. ولا شك في أن الإطالة شاقة على الناس وترهقهم، ولاسيما الضعفاء منهم، ومن الناس من يكون وراءه أعمال، ولا يحب أن ينصرف قبل الإمام ويشق عليه أن يبقى مع الإمام، فنصيحتي لإخواني الأئمة أن يكونوا بين بين، كذلك ينبغي أن يترك الدعاء أحياناً حتى لا يظن العامة أن الدعاء واجب” ([102]). Jadi, yang seyogianya dilakukan adalah mencukupkan diri dengan doa-doa yang warid atau ditambah sedikit tanpa memberatkan orang. Tidak diragukan bahwa kunut yang lama itu memberatkan dan membebani manusia, terutama bagi orang-orang yang sudah lemah. Di tengah jemaah ada sebagian mereka yang pekerja yang tidak ingin meninggalkan salat sebelum imam selesai tapi sangat berat baginya untuk terus mengikuti imam. Maka dari itu, nasihat saya kepada saudara-saudaraku para imam masjid adalah bertindak pertengahan, dan sebaiknya dia sesekali meninggalkan kunut agar masyarakat tidak menyangka bahwa doa itu wajib. ([102])  المسألة السادسة: حكم التطوع بعد الوتر يستحب أن تكون آخر صلاة من الليل، هي الوتر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا) ([103]) ، والأمر في الحديث على سبيل الاستحباب والأفضلية وليس على سبيل الوجوب والإلزام؛ لما ثبت في صحيح مسلم: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كان يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بعد الوتر وَهُوَ جَالِسٌ ([104]). قال الشيخ ابن باز رحمه الله: “والحكمة في ذلك -والله أعلم- أن يبين للناس جواز الصلاة بعد الوتر” انتهى ([105]). Pembahasan Keenam: Hukum Salat Sunah setelah Salat Witir Disunahkan agar salat malam yang terakhir adalah salat Witir, berdasarkan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Jadikanlah salat terakhir kalian di malam hari adalah salat Witir.” ([103]) Perintah dalam hadis tersebut hanya bersifat anjuran dan keutamaan saja, bukan kewajiban dan keharusan, karena ada riwayat sahih dalam Sahih Muslim dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah salat dua rakaat setelah witir sambil duduk. ([104]) Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Hikmahnya di balik perbuatan itu —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah untuk menjelaskan kepada manusia kebolehan salat setelah salat Witir.” Selesai kutipan ([105]). ومن أحب أن يوتر من آخر الليل، فإنه يقوم بعد سلام الإمام فيصلي ركعة ثم يسلم. فقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: بعض الناس إذا صلى مع الإمام الوتر وسلم الإمام قام وأتى بركعة ليكون وتره آخر الليل، فما حكم هذا العمل ؟ وهل يعتبر انصرف مع الإمام؟ فأجاب: “لا نعلم في هذا بأساً، نص عليه العلماء، ولا حرج فيه حتى يكون وتره في آخر الليل. ويصدق عليه أنه قام مع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([106]). Barang siapa yang ingin menunaikan witir di penghujung malam, hendaknya ia berdiri setelah imam salam (dari salat Witir, pent.) lalu salat lagi satu rakaat, kemudian salam. Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya bahwa ada sebagian orang yang jika sedang salat Witir bersama imam lalu imam sudah salam, dia berdiri lagi lalu salat satu rakaat karena ingin witir di penghujung malam. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah ia dianggap selesai bersama imam? Beliau menjawab, “Yang kami ketahui itu tidak masalah. Para ulama telah menjelaskan hal itu. Hal itu tidak masalah karena ingin witir di akhir malam. Ia tetap dianggap salat bersama imam sampai imam selesai.” Selesai kutipan ([106]) مسائل متفرقة في صلاة التراويح والوتر 1- دعاء الاستفتاح، يكون لكل ركعتين من صلاة التراويح؛ لأن كل تسليمة صلاة مستقلة عن التي قبلها([107]). 2- يستحب أن يقول بعد وتره: “سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح” ثلاثا، ويمد صوته بها في الثالثة؛ لحديث عبد الرحمن بن أبزى رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم من الوتر، يقول: “سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثِ صَوْتَهُ”، وزاد الدارقطني: (رب الملائكة والروح) ([108]). Berbagai Permasalahan seputar Salat Tarawih dan Witir Doa istiftah dibaca setiap dua rakaat dalam salat Tarawih, karena setiap salam di setiap salat itu terpisah dari salat sebelumnya ([107]). Setelah salat Witir, dianjurkan untuk membaca, “Subẖānal malikil quddūs rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci, Tuhannya para malaikat dan arwah),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga, berdasarkan hadis Abdurrahman bin Abzi —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah salam dari salat Witir mengucapkan, “Subẖānal malikil quddūs (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga. Ad-Daraqutni menambahkan lafaz, “… rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Tuhannya para malaikat dan arwah).” ([108]). 3- لا حرج في الصلاة خلف من يوتر بثلاث ركعات بتشهدين وتسليمة واحدة، كهيئة صلاة المغرب، ولو صلى الشخص خلف غيره ممن لا يوتر على تلك الهيئة، فهذا حسن وأولى([109]). 4- إذا كان الإمام يشرع في التراويح مباشرة بعد العشاء، بحيث لا يستطيع من خلفه أن يصلي سنة العشاء، فالمأموم في هذه الحال بالخيار: أ. إما أن يؤخِّر راتبة العشاء بعد صلاة التراويح على أن لا يتعدى الوقت نصف الليل؛ لأنه به ينتهي وقت العشاء وراتبتها. ب. أو يصلِّي راتبة العشاء بين ركعات التراويح أثناء استراحة المصلين أو أثناء إلقاء موعظة، ولا يدخل هذا في نهي بعض أهل العلم عن التنفل بين ركعات التراويح؛ لأن هذه الصلاة راتبة ليست نفلاً مطلقاً. ج. أو يصليهما أول ركعتين من التراويح بنية راتبة العشاء ([110]). Tidak mengapa seseorang salat di belakang imam yang melaksanakan salat Witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahud dan satu salam—seperti tata cara salat Magrib. Jika dia bisa salat di belakang imam lain yang tidak begitu cara salat Witirnya, maka itu lebih baik dan lebih utama ([109]). Jika imam memulai salat Tarawih langsung setelah salat Isya, sehingga makmum yang berada di belakangnya tidak sempat menunaikan salat sunah bakda isya, maka makmum punya beberapa pilihan: Dia bisa menunda salat sunah rawatib isya setelah salat Tarawih usai, asalkan waktunya tidak melebihi tengah malam; karena itulah waktu akhir salat Isya dan salat rawatibnya. Dia bisa mengerjakan salat sunah rawatib isya di sela-sela rakaat-rakaat Tarawih ketika para jemaah sedang beristirahat atau ketika sedang ada ceramah. Ini tidak termasuk dalam larangan sebagian ulama yang melarang salat sunah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih, karena salat ini merupakan salat rawatib, bukan salat sunah mutlak. Dia bisa mengerjakan dua rakaat pertama salat Tarawih dengan niat salat sunah rawatib isya ([110]). 5-صلاة المرأة للتراويح في بيتها، أفضل؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ) ([111])، لكن لو خشيت من أن تكسل عن الصلاة بمفردها، فالأفضل لها في هذه الحال أن تصلي في المسجد مع الجماعة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “صلاتها التراويح في البيت أفضل، لكن إذا كانت صلاتها في المسجد أنشط لها وأخشع لها، وتخشى إن صلت في البيت أن تضيع صلاتها، فقد يكون المسجد هنا أفضل ” انتهى([112]). Salat Tarawih wanita adalah di rumahnya. Ini yang afdal, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Janganlah kalian halangi wanita-wanita kalian dari masjid, meskipun rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” ([111]) Namun jika dia khawatir malas salat sendirian, maka yang lebih baik baginya adalah salat berjamaah di masjid. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih bagi wanita lebih utama di rumah, tetapi jika salatnya di masjid membuatnya lebih semangat dan khusyuk, serta khawatir menyia-nyiakan salat jika mengerjakannya di rumah, maka barangkali dalam hal ini masjid lebih afdal baginya. Selesai kutipan. ([112]) 6-البلاد التي يتأخر فيها وقت العشاء، هل لهم أن يصلوا التراويح قبل العشاء؟ قال الشيخ البراك حفظه الله: “لا يجوز لهم أداء صلاة التراويح قبل صلاة العشاء ودخول وقتها. ولكن نظرا لتأخر وقت دخول العشاء عندهم: يجوز لهم الجمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم، ثم يصلون التراويح بعد ذلك ” انتهى([113]). Di negara-negara yang waktu salat Isyanya terlambat, bolehkah orang-orang salat Tarawih sebelum isya? Syekh al-Barrak —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan salat Tarawih sebelum salat Isya dan sudah masuk waktunya. Namun karena waktu isya di daerah mereka terlambat, maka diperbolehkan bagi mereka untuk menggabungkan salat Magrib dan isya di awal waktu, kemudian salat Tarawih. Selesai kutipan ([113]). 7-تستحب صلاة التراويح والوتر للمسافر كما تستحب للمقيم؛ لمواظبته صلى الله عليه وسلم عليهما في السفر والحضر، قال ابن القيم رحمه الله: “ولم يكن صلى الله عليه وسلم يدع قيام الليل حضرا ولا سفرا ” انتهى([114]). 8- لا حرج في تتبع المساجد؛ طلبا للصوت الحسن([115]). 9- بعض الناس يظن أن الشفع هو سنة العشاء البعدية، وليس الأمر كذلك. قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: “سنة العشاء البعدية وهي ركعتان، خلاف الشفع والوتر” انتهى([116]). Salat Tarawih dan Witir dianjurkan bagi musafir sebagaimana dianjurkan bagi orang yang mukim, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga kontinu melakukannya saat safar maupun mukim. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan salat malam saat safar maupun mukim.” Selesai kutipan. ([114]) Tidak mengapa pilah-pilih masjid untuk mencari suara (imam) yang bagus. ([115]) Sebagian orang mengira bahwa salat Tarawih dengan rakaat genap adalah salat sunah bakda isya, padahal tidak demikian. Ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ mengatakan bahwa salat sunah rawatib bakda isya itu dua rakaat, berbeda dengan salat Tarawih dan witir. Selesai kutipan ([116]). 10-يجوز للمأموم أن لا يحدد عدد ركعات الوتر، ويجعل ذلك تابعا لصلاة الإمام. فلو نوى المأموم أن يصلي ركعتين من الوتر على أنه سيأتي بركعة مفردة بعدهما، ولكن الإمام صلى ثلاثا متصلة بتسليمة واحدة: فالمأموم في هذه الحال يغير نيته الأولى، وينوي وصل الوتر، ويتابع إمامه في هذه الحال. قال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله: “وإذا نوى الوتر فهو على نيته، سواء سرد الإمام الثلاث جميعاً، أو سلم بالركعتين ثم أتى بالثالثة؛ لأن الركعتين اللتين تسبق الواحدة: هي من الوتر، لكنه وتر مفصول، وإذا سرد الثلاث جميعاً بتشهد واحد فهو وتر موصول، وكلاهما جائز” انتهى([117]). Makmum boleh untuk tidak menentukan (niat) jumlah rakaat salat Witirnya dan mengikuti salatnya imam. Jika seorang makmum berniat salat Witir dua rakaat dengan melakukan satu rakaat terpisah setelahnya, namun imamnya salat tiga rakaat secara bersambung dengan satu salam, maka dalam hal ini makmum hendaknya merubah niat awalnya dan mengganti dengan niat menyambung rakaat witirnya guna mengikuti imamnya. Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada orang yang berniat menunaikan witir, maka hendaknya ia tetap berpegang dengan niat itu, baik imamnya salat tiga rakaat langsung atau salam setelah dua rakaat lalu mengerjakan rakaat ketiga, karena dua rakaat pertama sebelum satu rakaat itu juga bagian dari salat Witir, namun salat Witir yang terpisah. Jika imamnya salat tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud, maka itu salat Witir yang bersambung. Keduanya diperbolehkan. Selesai kutipan. ([117]) 11-الوتر بثلاث ركعات مفصولة، أفضل من الوتر بمثله من العدد متصلا؛ لأن الفصل فيه زيادة عمل وعبادة. قال النووي رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ الْإِتْيَانَ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ: الْأَفْضَلَ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَفْصُولَةً بِسَلَامَيْنِ لِكَثْرَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ وَلِكَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ.. “([118]). 12- إذا كان المصلي في الوتر وأذن الصبح، فإنه يتم وتره ولا يقطعه. سُئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله تعالى: ” عن رجل يصلي الوتر وأثناء صلاته أذن المؤذن لصلاة الفجر، فهل يتم صلاته؟ فأجاب فضيلته بقوله: نعم، إذا أذن وهو أثناء الوتر؛ فإنه يتم صلاته ولا حرج عليه” ([119]). Salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah lebih utama daripada salat Witir dengan jumlah rakaat yang sama tapi disambung semua, karena witir yang dipisah padanya ada tambahan amal dan ibadah. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang ingin mengerjakan dengan jumlah tiga rakaat, maka salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah dengan dua kali salam lebih utama karena hadis tentangnya lebih banyak dan lebih banyak pula ibadah di dalamnya …. ([118]). Jika seseorang sedang menunaikan salat Witir lalu azan subuh dikumandangkan, maka hendaknya ia menuntaskan salat Witirnya dan tidak menghentikannya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang sedang salat Witir, lalu ketika dia sedang salat, muazin mengumandangkan azan salat Subuh. Apakah ia harus menyelesaikan salatnya? Syekh yang mulia menjawab, “Ya, jika azan dikumandangkan saat dia sedang salat Witir, maka silakan menyempurnakan salatnya dan tidak masalah.” ([119]) 13-لا يجب في دعاء القنوت أن يكون باللفظ الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم، بل يجوز للمصلي أن يدعو بغيره أو يزيد عليه ([120]). 14- لا مانع من إلقاء الإمام بعض الدروس والكلمات بين ركعات التراويح، والأحسن أن لا يداوَم عليه، خشية أن يعتقد الناس أنه جزء من الصلاة، وخشية من اعتقادهم وجوبه حتى إنهم قد ينكرون على من لم يفعله. قال الشيخ عبد الله الجبرين رحمه الله: “… وحيث إنَّ الناس في هذه الأزمنة يخففون الصلاة، فيفعلونها في ساعة أو أقل: فإنه لا حاجة بهم إلى هذه الاستراحة، حيث لا يجدون تعباً ولا مشقة؛ لكن إن فصل بعض الأئمة بين ركعات التراويح بجلوس، أو وقفة يسيرة للاستجمام، أو الارتياح: فالأولى قطع هذا الجلوس بنصيحة أو تذكير، أو قراءة في كتاب مفيد، أو تفسير آية يمرّ بها القارئ، أو موعظة، أو ذكر حكم من الأحكام، حتى لا يخرجوا أو لا يملّوا، والله أعلم” ([121]). 13. Doa kunut tidak harus berupa doa yang warid dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, melainkan boleh saja berdoa dengan doa lain atau menambah doa yang warid. ([120]) 14. Tidak mengapa bagi imam untuk menyampaikan pelajaran atau ceramah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih. Namun lebih baik tidak dilakukan secara rutin, karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira itu bagian dari salat dan menyangka bahwa hal itu wajib, sampai-sampai mereka akan mengingkari orang yang tidak melakukan hal itu. Syekh Abdullah al-Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang-orang pada zaman ini telah mempersingkat salat mereka, yang dilakukan dalam durasi satu jam atau kurang. Jika begini, mereka sebenarnya tidak memerlukan istirahat ini karena tidak merasa lelah dan berat. Namun, jika sebagian imam memisahkan antara rakaat salat Tarawih dengan duduk atau jeda sejenak untuk relaksasi dan istirahat, maka lebih baik jika dia mengisi jeda duduk ini dengan nasihat, pengingat, membaca bacaan yang bermanfaat atau tafsir yang dibaca seorang pembaca, atau menyampaikan petuah atau pembahasan hukum Islam sehingga para jemaah tidak pergi atau bosan. Allah Yang lebih Mengetahui. ([121])  ([1])رواه البخاري (37)، ومسلم (759).  ([2])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (2730).  ([3])”الموسوعة الفقهية الكويتية” (34/118).  ([4])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (13/262-264).  ([5])رواه البخاري (990) ومسلم (749).  ([6])رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط”، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (365).  ([7])رواه أبو يعلى، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (364).  ([8])”فيض القدير” (6/173).  ([9])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52875)، (337318).  ([10])رواه البخاري (1129) ومسلم (761). Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor 2730. Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (34/118). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (13/262-264). Diriwayatkan oleh Bukhari (990) dan Muslim (749). Diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabīr dan al-Ausaṯh, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (365). Diriwayatkan oleh Abu Yaʿlā, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (364). Faiḏh al-Qadīr (6/173). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52875) dan (337318). Diriwayatkan oleh Bukhari (1129) dan Muslim (761).  ([11])رواه الترمذي (806)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([12])رواه البخاري (2010).  ([13])”المجموع” (3/526).  ([14])”مجالس شهر رمضان” (ص 22).  ([15])”قيام رمضان” (ص21).   ([16])”اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 95-97).  ([17])”جامع العلوم والحكم” (2/783(.  ([18])صلاة التراويح (ص 50)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (230276)، (45781)، (183220).  ([19])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50070) في ثواب قيام الليل.  ([20])رواه البخاري (37)، ومسلم (759). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (2010). Al-Majmūʿ (3/526). Majālis Syaẖru Ramaḏhān (hal. 22). Qiyām Ramaḏhān (hal. 21). Iqtiḏhāʾ aṣ-Ṣirāt al-Mustaqīm (2/95-97). Jāmiʿ al-ʿUlūm wa al-H̱ikam (2/783). Ṣalātu at-Tarāwīẖ (hal. 50), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (230276), (45781), dan (183220). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50070) tentang pahala salat malam. Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759).  ([21])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (48957).  ([22])رواه البخاري (1901)، ومسلم (759).  ([23])رواه مسلم (1175).  ([24])شرح النووي على مسلم (8/71).  ([25])”المجموع” (3/526)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (37768).  ([26])”المغني” (2/ 125).  ([27])”الشرح الممتع ” (4/60، 61).  ([28])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50547).  ([29])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (292307).  ([30])”كشاف القناع” (1/426). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (48957). Diriwayatkan oleh Bukhari (1901) dan Muslim (759). Diriwayatkan oleh Muslim (1175). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (8/71). Al-Majmūʿ (3/526), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37768). Al-Mughnī (2/125). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/60, 61). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50547). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (292307). Kasysyāf al-Qināʿ (1/426).  ([31])”المصابيح في صلاة التراويح” (ص/4)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9036).  ([32])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/322).  ([33])رواه الترمذي (806) وصححه الألباني في صحيح الترمذي (646).  ([34])”الشرح الممتع” (4 /73 –75).  ([35])رواه البخاري (1909) ومسلم (738).  ([36])رواه البخاري (946) ومسلم (749).  ([37])”المبسوط” (2/ 145).  ([38])”المغني” (1/457).  ([39])”المجموع” (4/31).  ([40])انظر: “المغني” (2/604)، و”المجموع” (4/32). Al-Maṣābīẖ fī Ṣalāti at-Tarāwīẖ (hal. 4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9036). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/322). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi (646). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/73-75). Diriwayatkan oleh Bukhari (1909) dan Muslim (738). Diriwayatkan oleh Bukhari (946) dan Muslim (749). Al-Mabsūṯh (2/145). Al-Mughnī (1/457). Al-Majmūʿ (31/4). Lihat: al-Mughnī (2/604) dan al-Majmūʿ (4/32).  ([41])”الاختيارات” ص (64).  ([42])”فتاوى اللجنة الدائمة-المجموعة الثانية” (6/82).  ([43])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، في جواب السؤال رقم: (38021).  ([44])”المجموع” (3/526).  ([45])”الدرر السنية” (4/364)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (109768)، (293059).   ([46])رواه البخاري معلقاً (1/245)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (69670).  ([47])”المجموع” (4/27) بتصرف.  ([48])رواه البخاري (494) ومسلم (543).  ([49])”فتاوى إسلامية” (1/341).  ([50])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52876)، (10067). Al-Ikhtiyārāt, hal. (64). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (6/82). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (38021). Al-Majmūʿ (3/526). Ad-Durar as-Saniyyah (4/364), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (109768) dan (293059). Diriwayatkan oleh Bukhari secara Muʿallaq (1/245), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (69670). Al-Majmūʿ (27/4) dengan penyesuaian. Diriwayatkan oleh Bukhari (494) dan Muslim (543). Fatāwā Islāmiyyah (1/341). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52876) dan (10067).  ([51])”مجموع فتاوى الشيخ ابن باز ” (11 /340 – 341).  ([52])فتاوى الشيخ محمد بن صالح العثيمين لمجلة الدعوة العدد 1771 ص 45.  ([53])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79136).  ([54])”المغني” (2/30).  ([55])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/402).  ([56])”مجموع فتاوى ابن باز” (30/30)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (189426).  ([57])”لقاء الباب المفتوح لابن عثيمين”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (93808).  ([58])رواه الترمذي (806) وصححه، وأبو داود (1375)، والنسائي (1605)، وابن ماجه (1327)، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (153247)، (93907).  ([59])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/325).  ([60])”فتاوى الشيخ ابن جبرين” (24 /9). Majmūʿ Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/340-341). Fatāwā Muhammad bin ʿUstaimīn dalam majalah ad-Daʿwah edisi 1771 H, hal. 45. Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (79136). Al-Mughnī (30/2). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (7/402). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (30/30), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (189426). Liqāʾ al-Bāb al-Maftūẖ Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (93808). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806) dan dia menilainya sahih, Abu Dawud (1375), an-Nasai (1605), dan Ibnu Majah (1327), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (153247) dan (93907). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/325). Fatāwā Syaikh Ibni Jibrīn (24/9).  ([61])”اللقاء المفتوح” (176/ 16)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (314180).  ([62])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/207)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (232790)، (93907).  ([63])رواه البخاري (1891) ومسلم (11)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (36793).  ([64])”شرح النووي على مسلم” (1/169).  ([65])”فتح الباري” (1/107).  ([66])رواه مسلم (754).  ([67])رواه أبو داود (1416)، وصححه الألباني في صحيح أبي داود .  ([68])رواه البخاري (1000) ومسلم (700).  ([69])”المغني” (1/827). ([70]) “فتاوى اللجنة الدائمة” (7/172). Al-Liqāʾ al-Maftūẖ (176/16), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (314180). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/207), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (232790) dan (93907). Diriwayatkan oleh Bukhari (1891) dan Muslim (11), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (36793). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (1/169). Fatẖu al-Bārī (1/107). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1416), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Diriwayatkan oleh Bukhari (1000) dan Muslim (700). Al-Mughnī (1/827). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/172).  ([71])رواه الترمذي (425) وصححه الألباني، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (32577)، ورقم: (65692).  ([72])رواه مسلم (754).  ([73])رواه مسلم (750).  ([74])رواه مسلم (752).  ([75])رواه الترمذي (469)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([76])رواه البخاري ومسلم (472) ومسلم (749).  ([77])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/115).  ([78])”بداية المجتهد” (1 /147، 148).  ([79])”فتاوى الشيخ ابن باز” (11/306).  ([80])رواه مسلم (755). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (425), dan dinilai sahih oleh al-Albani, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (32577) dan (65692). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Muslim (750). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (469), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (472) dan Muslim (749). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/115). Bidāyatu al-Mujtahid (1/147, 148). Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/306). Diriwayatkan oleh Muslim (755). ([81]) “شرح النووي على مسلم” (3/277). (29) رواه مسلم (752).  ([83])رواه البخاري (911) ومسلم (749).  ([84])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (46544).  ([85])رواه النسائي (3/234) والبيهقي (3/31).  ([86])”المجموع” (4/7).  ([87])رواه ابن حبان (2435).  ([88])”فتح الباري” (2/482).  ([89])رواه النسائي (1714)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([90])رواه مسلم (737). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (3/277). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Bukhari (911) dan Muslim (749). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (46544). Diriwayatkan oleh an-Nasai (3/234) dan al-Baihaqi (31/3). Al-Majmūʿ (4/7). Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2435). Fatẖu al-Bārī (2/482). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1714), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Diriwayatkan oleh Muslim (737).  ([91])رواه مسلم (746).  ([92])”إعلام الموقعين” (2/424، 425)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66652).  ([93])رواه النسائي (1729)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([94])”الأوسط” (5/187).  ([95])رواه الترمذي (463)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([96])”المغني” (2/599)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([97])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([98])”الشرح الممتع ” (4/65)، وينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم: (14093)، (14093).  ([99])”صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم” (ص160)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (289048).  ([100])”فتاوى إسلامية ” (2/159). Diriwayatkan oleh Muslim (746). Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (2/424, 425), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66652). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1729), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Al-Ausaṯh (5/187). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (463), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Al-Mughnī (2/599), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/65), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (14093) dan (14093). Ṣifatu aṣ-Ṣalāh an-Nabiy Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (hal. 160), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (289048). Fatāwā Islāmiyyah (2/159).  ([101])رواه البخاري (6106)، ومسلم (465).  ([102])”مجموع فتاوى ورسائل العثيمين” (14/136).  ([103])رواه البخاري (998) ومسلم (751).  ([104])رواه مسلم (738).  ([105])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم (37729).  ([106])”مجموع فتاوى ابن باز ” (11/312)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم (65702).  ([107])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66558).  ([108])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (221433)، (14093).  ([109])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (165761)، (66613).  ([110])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (222751). Diriwayatkan oleh Bukhari (6106) dan Muslim (465). Majmūʿ Fatāwā wa Rasāʾil Ibni ʿUtsaimīn (14/136). Diriwayatkan oleh Bukhari (998) dan Muslim (751). Diriwayatkan oleh Muslim (738). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37729). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/312), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (65702). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66558). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (221433) dan (14093). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (165761) dan (66613). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751).  ([111])رواه أبو داود (567)، وصححه الألباني في “إرواء الغليل”.  ([112])اللقاء الشهري لابن عثيمين، وينظر جواب السؤال رقم (222751).  ([113])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (220828)، ورقم: (292307).  ([114])”زاد المعاد” (1/311)، ينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79593)، (208).  ([115])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (106530)، (108614).  ([116])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/255)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (72246).  ([117])”جلسات رمضانية “، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([118])” المجموع شرح المهذب” (4/13)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([119])”مجموع فتاوى ورسائل الشيخ ابن عثيمين” (14/115)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (295615)، (65692).  ([120])”الموسوعة الفقهية” (34/63)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9061).  ([121])”الإجابات البهية في المسائل الرمضانية” (السؤال الثاني)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (250931)، ورقم: (38025). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (567), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Irwāʾ al-Ghalīl. Al-Liqāʾ asy-Syahrī Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (220828) dan (292307). Zād al-Maʿād (1/311), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor(79593), (208). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (106530) dan (108614). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/255), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (72246). Jalasāt Ramaḏhaniyyah, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Majmūʿ asy-Syarẖi al-Muhadzdzab (13/4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Fatāwā wa Rasāʾil Ibni Ibni ʿUtsaimīn (14/115), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (295615) dan (65692). Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (34/63), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9061). Al-Ijābāt al-Bahiyyah fi al-Masāʾil ar-Ramaḏaniyyah, Pertanyaan Kedua. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (250931) dan (38025). Sumber: www.islamqa.info/ar/researches/8/احكام-صلاة-التراويح-والوتر PDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 189 times, 1 visit(s) today Post Views: 351 QRIS donasi Yufid

Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir

أحكام صلاة التراويح والوتر Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir قيام الليل قربة عظيمة في رمضان وغيره، وهو في رمضان آكد؛ لقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([1]). سمي قيام الليل في رمضان بصلاة التراويح؛ لأنّ السّلف رحمهم الله كانوا إذا صلّوها استراحوا بعد كلّ ركعتين، أو أربع من اجتهادهم في تطويل صلاة قيام الليل([2]). Salat malam adalah ibadah yang agung, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan, tetapi di bulan Ramadan lebih dianjurkan lagi berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (1) Salat malam di bulan Ramadan disebut dengan salat Tarawih, karena para Salaf dahulu —Semoga Allah Merahmati mereka— jika mengerjakan salat ini, mereka beristirahat dahulu setelah selesai mengerjakan dua atau empat rakaat, tergantung panjangnya salat malam yang mereka kerjakan ini sesuai dengan kemampuan mereka. ([2]) أولاً: الفرق بين صلاة التراويح والتهجد والوتر: صلاة التهجد والتراويح أسماء ومصطلحات داخلة في مسمى صلاة الليل. لكن الفرق بينهما: أن التراويح تطلق -عند العلماء- على القيام من أول الليل في رمضان خاصة. وصلاة التهجد: هي الصلاة التي تكون بعد نوم([3]). فائدة: فرق أهل العلم بين صلاة الليل والوتر من جهة الحكم ومن جهة الكيفية: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” والسنة قولاً وفعلاً قد فرقت بين صلاة الليل وبين الوتر، وكذلك أهل العلم فرقوا بينهما حكماً، وكيفية: أما تفريق السنة بينهما قولاً: ففي حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم كيف صلاة الليل؟ قال: (مثنى مثنى، فإذا خفت الصبح فأوتر بواحدة) رواه البخاري. وانظر “الفتح” (3/20). Pertama: Perbedaan antara Salat Tarawih, Tahajud, dan Witir Salat Tahajud dan Tarawih adalah nama dan istilah yang termasuk dalam cakupan salat malam. Hanya saja, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Tarawih —menurut para ulama— digunakan secara khusus untuk menyebut salat yang dilakukan di awal malam di bulan Ramadan. Adapun salat Tahajud adalah salat yang dilakukan setelah tidur. ([3]). Faedah dari dibedakannya antara salat malam dan salat Witir oleh para ulama dari segi hukum dan tata caranya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa berdasarkan Sunah dari perkataan dan perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, ada perbedaan antara salat malam dan salat Witir. Pun para ulama juga membedakan keduanya dari segi hukum dan tata caranya. Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tersebut dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang bagaimana cara mengerjakan salat malam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat Witir satu rakaat.” (HR Bukhari) Lihat kitab al-Fath (20/3). وأما تفريق السنة بينهما فعلاً: ففي حديث عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه، فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوتر. رواه البخاري. وانظر: “الفتح” (2/487)، ورواه مسلم (1/51) بلفظ: (كان يصلي صلاته بالليل وأنا معترضة بين يديه فإذا بقي الوتر أيقظها فأوترت).  Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang salat, sedangkan aku sedang tidur membujur di atas tempat tidurnya. Lalu, jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah ingin menunaikan witir, beliau membangunkanku lalu salat Witir.” (HR. Bukhari) Lihat kitab al-Fath (2/487) Hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim (1/51) dengan redaksi bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melaksanakan salat di malam hari, sementara Aisyah tidur membujur di hadapannya. Kemudian, jika tinggal salat Witir saja, beliau membangunkannya lalu dia melakukan witir. وروى (1/508) عنها قالت: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها. وروى (1/513) عنها حين قال لها سعد بن هشام بن عامر: أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: (ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده، ويدعوه، ثم ينهض ولا يسلم، ثم يقوم فيصلي التاسعة، ثم يقعد فيذكر الله، ويحمده، ويدعوه، ثم يسلم تسليماً يسمعنا). Imam Muslim juga meriwayatkan (1/508) darinya —Semoga Allah Meridainya— yang mengisahkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat tiga belas rakaat di malam hari termasuk melaksanakan witir lima rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang terakhir. Beliau juga meriwayatkan (1/513) darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Saad bin Hisyam bin Amir bertanya kepadanya, “Ceritakan padaku tentang salat Witirnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab, “Beliau salat sembilan rakaat, yang mana beliau tidak duduk hingga rakaat kedelapan, lalu berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, beliau bangun lagi tanpa salam dan salat lagi mengerjakan rakaat kesembilan. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam duduk berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah, lalu salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami” وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل حكماً: فإن العلماء اختلفوا في وجوب الوتر، فذهب أبو حنيفة إلى وجوبه، وهو رواية عن أحمد ذكرها في “الإنصاف” و”الفروع”، قال أحمد: من ترك الوتر عمداً فهو رجل سوء ولا ينبغي أن تقبل له شهادة. والمشهور من المذهب أن الوتر سنة، وهو مذهب مالك؛ والشافعي. وأما صلاة الليل فليس فيها هذا الخلاف، ففي “فتح الباري” (3/27): “ولم أر النقل في القول بإيجابه إلا عن بعض التابعين. قال ابن عبد البر: شذ بعض التابعين فأوجب قيام الليل ولو قدر حلب شاة، والذي عليه جماعة العلماء أنه مندوب إليه” انتهى. Adapun yang dijelaskan oleh para ulama tentang perbedaan hukum antara salat Witir dan salat malam, maka mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya salat Witir. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Itu juga salah satu riwayat dari Ahmad yang tersebut dalam kitab al-Inṣhāf dan al-Furūʿ. Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan tidak layak diterima kesaksiannya.” Adapun dalam internal mazhab kami, yang terkenal adalah pendapat bahwa salat Witir itu sunah. Inilah pendapat Malik dan Syafii.  Adapun hukum salat malam, maka tidak ada perbedaan pendapat seperti ini. Disebutkan dalam Fathul Bari (27/3), “Saya tidak menemukan adanya kutipan pendapat yang mewajibkannya kecuali hanya dari sebagian ulama Tabiin. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sebagian Tabiin berpendapat nyeleneh dengan mewajibkan salat malam meskipun hanya sesaat seperti durasi memerah susu domba. Adapun pendapat mayoritas ulama adalah sunah.” Selesai kutipan. وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل في الكيفية: فقد صرح فقهاؤنا الحنابلة بالتفريق بينهما فقالوا: صلاة الليل مثنى مثنى، وقالوا في الوتر: إن أوتر بخمس، أو سبع لم يجلس إلا في آخرها، وإن أوتر بتسع جلس عقب الثامنة فتشهد، ثم قام قبل أن يسلم فيصلي التاسعة، ثم يتشهد ويسلم، هذا ما قاله صاحب “زاد المستقنع” ” انتهى([4]). Adapun perbedaan yang ditetapkan para ulama tentang tata cara salat Witir dan salat malam, maka para ulama kami dari kalangan mazhab Hanbali telah menyatakan perbedaan di antara keduanya dengan mengatakan bahwa salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Adapun salat Witir, mereka mengatakan bahwa witir hendaknya dikerjakan lima atau tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat. Adapun jika witir sembilan rakaat, hendaknya dia duduk tasyahud di rakaat kedelapan, lalu sebelum salam berdiri lagi mengerjakan rakaat kesembilan lalu tasyahud baru salam. Beginilah yang disebutkan dalam kitab Zād al-Mustaqniʿ. Selesai kutipan ([4]). وكذلك من جهة الكيفية: فقالوا: أقل ما يحصل به القيام: ركعتان، وأكثره لا حد له؛ لحديث: (صَلاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([5]). وأقل ما يحصل به الوتر: ركعة واحدة؛ للحديث السابق. قد ورد ما يفيد أن أقل القيام ركعة، لكنه لا يصح. فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: “أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصلاة الليل، ورغَّب فيها حتى قال: عليكم بصلاة الليل ولو ركعة” ([6]). Termasuk perbedaan dari sisi tata caranya, mereka berkata bahwa salat malam minimal dua rakaat dan bisa lebih tanpa ada batasannya, berdasarkan sebuah hadis, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([5]) Adapun salat Witir minimal satu rakaat, berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Ada riwayat yang mengisyaratkan bahwa salat malam minimalnya satu rakaat, tetapi tidak sahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan salat malam dan terus menganjurkannya sampai-sampai beliau bersabda, “Kalian harus menunaikan salat malam meskipun hanya satu rakaat.” ([6]). وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فَذَكَرْتُ قيامَ الليلِ، فقال بعضهم: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: نصفَه، ثلثَه، ربعَه، فُواق حَلْبِ ناقةٍ، فُواق حلْبِ شاةٍ”([7]). (فُواق الناقة): “بضم الفاء وتفتح ما بين الحلبتين من الوقت، لأنها تحلب ثم تترك سويعة يرضعها الفصيل، لتدر” انتهى ([8]). واعلم أن الوتر غير قيام الليل، فلا يؤخذ من صحة الوتر بركعة، أن أقل القيام ركعة. قال في “كشاف القناع” (5/ 23): “(وَهَلْ هُوَ) أَيْ الْوِتْرُ (قِيَامُ اللَّيْلِ أَوْ غَيْرُهُ ؟ احْتِمَالَانِ؛ الْأَظْهَرُ: الثَّانِي)، أَيْ أَنَّ الْوِتْرَ غَيْرُ قِيَامِ اللَّيْلِ، لِحَدِيثٍ سَاقَهُ ابْنُ عَقِيلٍ: الْوِتْرُ وَالتَّهَجُّدُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ.قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: فَرَّقَ أَصْحَابُنَا هُنَا بَيْنَ الْوِتْرِ، وَقِيَامِ اللَّيْلِ” انتهى. وبهذا يتبين أن صلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالف صلاة الليل في بعض الفروقات، منها: الكيفية ([9]). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Ketika aku berkata tentang salat malam, sebagian dari mereka berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘(Selama) setengah malam, sepertiganya, seperempatnya, seperti waktu jeda ketika memerah susu unta, atau jeda ketika memerah susu domba.” ([7]) Jeda (Fuwāq) di sini, dengan mendamahkan huruf fa atau memfathahnya, artinya adalah jeda waktu antara dua pemerahan, yaitu diperah dahulu kemudian dibiarkan sesaat agar menyusui lagi sehingga susunya penuh lagi. Selesai kutipan. ([8]) Ketahuilah bahwa salat malam bukanlah salat Witir, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya dengan salat Witir yang sah dikerjakan dengan satu rakaat atau bahwa minimal rakaat salat malam adalah satu rakaat. Disebutkan dalam Kasyāf al-Qināʾ (23/5): “(Dan apakah) yaitu witir (adalah salat malam atau bukan?) Ada dua pendapat, tetapi yang lebih tepat adalah yang kedua, yaitu bahwa salat Witir bukanlah salat malam, berdasarkan hadis yang dipaparkan oleh Ibnu Aqil tentang salat Witir, Tahajud, dan dua rakaat Subuh. Syekh Taqiyudin berkata, ‘Para sahabat kami dalam masalah ini membedakan antara salat Witir dan salat malam.'” Selesai kutipan. Dengan demikian jelas bahwa salat Witir termasuk bagian dari salat malam, hanya saja ada perbedaan dengan salat malam dalam beberapa perkara, termasuk di antaranya adalah tata caranya ([9]). ثانيا: مشروعية صلاة التراويح جماعة في المسجد، وبطلان القول ببدعيتها: صلاة التراويح في المسجد مع الجماعة أفضل من صلاتها في البيت، وقد دلت على ذلك السنة، وفعل الصحابة رضي الله عنهم. 1/ فعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ ([10]). Kedua: Disyariatkannya Salat Tarawih Berjamaah di Masjid dan Batilnya Pendapat yang Membidahkannya Salat Tarawih di masjid secara berjamaah lebih baik daripada melakukannya di rumah. Dalilnya adalah Sunah dan amalan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka—. Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan salat pada suatu malam di masjid, lalu orang-orang salat mengikuti salat beliau. Kemudian, beliau melakukan salat lagi di malam berikutnya sehingga semakin banyak orang yang ikut. Kemudian, mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, “Aku melihat apa yang kalian lakukan, tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian kecuali karena aku khawatir ini akan diwajibkan kepada kalian.” Hal itu terjadi di bulan Ramadan ([10]). فهذا يدل على أن صلاة التراويح في جماعة مشروعة بسنة النبي صلى الله عليه وسلم، غير أنه تركها خشية أن تفرض على الأمة، فلما مات النبي صلى الله عليه وسلم زال هذا المحذور، لاستقرار الشريعة. Hadis ini menunjukkan bahwa salat Tarawih berjamaah disyariatkan berdasarkan Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Adapun ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah wafat, larangan ini hilang karena hukum syariat sudah final. 2/ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ –يعني في صلاة التراويح- حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([11]). 3/عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ([12]). Diriwayatkan dari Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam —maksudnya salat Tarawih— sampai dia selesai, maka dicatat baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([11]). Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qārī yang berkata, “Aku pergi bersama Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadan. Ketika itu orang-orang berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang salat sendiri dan ada yang salat dengan beberapa orang jemaah. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Saya berpikir bahwa lebih baik aku mengumpulkan mereka semua bersama satu imam.’ Dia lantas memutuskan hal itu dan mengumpulkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaab.” ([12])  قال النووي رحمه الله:” صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ… وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً, وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ. الثَّانِي: الانْفِرَادُ أَفْضَلُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ, وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ. قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ: قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو إِسْحَاقَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ جَمَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ الانْفِرَادِ لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَإِجْمَاعِ أَهْلِ الأَمْصَارِ عَلَى ذَلِكَ” انتهى ([13]). Imam an-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Salat Tarawih hukumnya sunah berdasarkan konsensus para ulama … yang boleh dikerjakan sendiri atau berjamaah. Akan tetapi, mana yang lebih utama? Ada dua pendapat terkenal. Yang benar, dengan kesepakatan para sahabat kami (mazhab Syafii), bahwa berjamaah itu lebih utama. Pendapat kedua mengatakan salat sendirian lebih utama. Para sahabat kami mengatakan bahwa perbedaan pendapat ini berlaku bagi orang yang hafal al-Quran, tidak khawatir bosan jika salat sendirian, serta tidak menggembosi salat berjamaah yang didirikan di masjid karena ketidakikutsertaannya. Jika dalam diri seseorang tidak ada dari salah satu perkara di atas, maka salat berjamaah lebih baik baginya tanpa ada perselisihan pendapat. Pengarang kitab asy-Syamil berkata bahwa Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Salat Tarawih berjamaah lebih utama daripada salat Tarawih sendirian, berdasarkan kesepakatan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dan masyarakat di berbagai negeri mengenai hal itu.'” Selesai kutipan ([13]) وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” وكان النبي صلى الله عليه وسلم أول من سن الجماعة في صلاة التراويح في المسجد، ثم تركها خوفا من أن تفرض على أمته…. ثم ذكر الحديثين السابقين، ثم قال: ولا ينبغي للرجل أن يتخلف عن صلاة التراويح لينال ثوابها وأجرها، ولا ينصرف حتى ينتهي الإمام منها ومن الوتر، ليحصل له أجر قيام الليل كله” انتهى باختصار ([14]). Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah orang pertama yang melakukan salat Tarawih secara berjamaah di masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. … Kemudian Syekh menyebutkan dua hadis yang dijelaskan sebelumnya, lalu mengatakan, “Seseorang tidak selayaknya melewatkan salat Tarawih agar mendapatkan ganjaran dan pahalanya, dan janganlah dia meninggalkannya sampai sang imam menyelesaikan salat Tarawihnya dan salat Witir, agar ia memperoleh pahala salat sepanjang malam.” Selesai kutipan dengan diringkas ([14]). وقال الألباني رحمه الله: ” وتشرع الجماعة في قيام رمضان، بل هي أفضل من الانفراد، لإقامة النبي صلى الله عليه وسلم لها بنفسه، وبيانه لفضلها بقوله. وإنما لم يقم بهم عليه الصلاة والسلام بقية الشهر خشية أن تفرض عليهم صلاة الليل في رمضان، فيعجزوا عنها كما جاء في حديث عائشة في “الصحيحين” وغيرهما. وقد زالت هذه الخشية بوفاته صلى الله عليه وسلم بعد أن أكمل الله الشريعة، وبذلك زال المعلول، وهو ترك الجماعة في قيام رمضان، وبقي الحكم السابق، وهو مشروعية الجماعة، ولذلك أحياها عمر رضي الله عنه كما في “صحيح البخاري” وغيره ” انتهى ([15]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam (Tarawih) di bulan Ramadan disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah, bahkan itu lebih baik daripada salat sendirian, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya demikian dan menjelaskan keutamaannya dalam sabda beliau. Namun beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berjamaah bersama mereka di sisa hari di bulan itu karena khawatir salat malam di bulan Ramadan akan diwajibkan bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu menunaikannya, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah dalam kitab Sahihain dan lain-lain. Kekhawatiran ini telah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menyempurnakan ini, yang dengan demikian alasan meninggalkan salat berjamaah di malam di Ramadan tidak berlaku lagi, sehingga hukum asalnya kembali lagi, yaitu disyariatkannya salat Tarawih secara berjamaah. Inilah mengapa Umar —Semoga Allah Meridainya— menghidupkannya kembali seperti yang tersebut dalam Sahih Bukhari dan kitab lainnya. Selesai kutipan [15]). وأما قول عمر رضي الله عنه –عن صلاة التراويح-: “نعمت البدعة هذه ” لما رأى الصحابة مجتمعين على صلاة التراويح، فمراده رضي الله عنه: البدعة اللغوية وليست الشرعية. يعني: أنها أمر جديد، لم تجر به عادة الناس وعملهم. وذلك أن جمع الناس في رمضان كل ليلة على إمام واحد باستمرار وانتظام: لم يكن من قبل، فاعتبر ظاهر الحال، وقصد المعنى اللغوي للبدعة، ولم يقصد المعنى الشرعي لها، الذي يعني: استحداث أمر في الدين، وليس منه، مع نسبته إلى الدين؛ فصلاة التراويح من الدين المشروع المندوب إليها، وهكذا صلاتها جماعة: من الأمر المرغب فيه المندوب إليه، وثبت أصله من فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقوله. Adapun pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— tentang salat Tarawih, “Inilah sebaik-baik bidah,” ketika melihat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— berkumpul untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah, maka yang dia —Semoga Allah Meridainya— maksud adalah bidah secara bahasa dan bukan bidah secara istilah syariat, artinya ini adalah suatu hal yang baru yang sebelumnya tidak diamalkan dan belum menjadi kebiasaan mereka. Hal ini karena berjamaahnya orang-orang di bulan Ramadan setiap malam dengan satu imam secara terus-menerus dan teratur memang sebelumnya tidak ada dari sisi realitas, sehingga maksudnya —Semoga Allah Meridainya— adalah bidah secara bahasa, bukan secara hukum syariat yang maknanya perkara baru dalam agama yang bukan bagian darinya tapi dianggap sebagai bagian dari agama. Salat Tarawih termasuk bagian dari agama yang disyariatkan dan dianjurkan. Demikian pula melakukannya secara berjamaah, dianjurkan dan disunahkan, yang mana amalan ini dasarnya adalah dari perbuatan dan perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  ” هذه تسمية لغوية، لا تسمية شرعية، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق. وأما البدعة الشرعية: فما لم يدل عليه دليل شرعي، فإذا كان نص رسول الله صلى الله عليه وسلم قد دل على استحباب فعل أو إيجابه بعد موته، أو دل عليه مطلقا، ولم يعمل به إلا بعد موته، ككتاب الصدقة، الذي أخرجه أبو بكر-رضي الله عنه- فإذا عمل ذلك العمل بعد موته، صح أن يسمى بدعة في اللغة؛ لأنه عمل مبتدأ. . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa itu adalah sebutan secara bahasa, bukan secara syariat, karena bidah secara bahasa mencakup segala sesuatu yang mulai dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bidah secara syariat adalah amalan yang tidak ada landasan dalilnya dalam syariat. Maka dari itu, jika ada nas dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang menunjukkan dianjurkannya atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat atau secara mutlak tapi beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri belum mengamalkannya sampai beliau wafat, seperti penulisan zakat yang diterapkan oleh Abu Bakar —Semoga Allah Meridainya—, maka perkara yang diamalkan setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat itu sah-sah saja jika disebut bidah secara bahasa, karena itu memang perbuatan yang baru dimulai.  كما أن نفس الدين الذي جاء به النبي صلى الله عليه وسلم يسمى بدعة، ويسمى محدثا في اللغة، كما قالت رسل قريش للنجاشي عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم المهاجرين إلى الحبشة: “إن هؤلاء خرجوا من دين آبائهم، ولم يدخلوا في دين الملك، وجاءوا بدين محدث لا يعرف” Demikian juga agama yang dibawa oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga disebut bidah dan sesuatu yang baru secara bahasa, sebagaimana yang dikatakan oleh para delegasi kaum Quraisy kepada Raja Najasyi tentang para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berhijrah ke negeri Habasyah, “Mereka ini adalah orang-orang yang meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula memeluk agama Raja, melainkan membawa agama baru yang tidak dikenal.” ثم ذلك العمل الذي يدل عليه الكتاب والسنة: ليس بدعة في الشريعة، وإن سمي بدعة في اللغة، فلفظ البدعة في اللغة، أعم من لفظ البدعة في الشريعة. وقد علم أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (كل بدعة ضلالة) لم يرد به كل عمل مبتدأ، فإن دين الإسلام، بل كل دين جاءت به الرسل، فهو عمل مبتدأ، وإنما أراد: ما ابتُدئ من الأعمال التي لم يشرعها هو صلى الله عليه وسلم. Kemudian, perbuatan yang ada dalilnya dari al-Quran dan Sunah bukanlah bidah secara syariat, walaupun bisa disebut bidah secara bahasa, karena makna bidah secara bahasa lebih umum daripada makna bidah secara syariat. Sudah maklum bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Setiap bidah adalah kesesatan,” tidak mencakup semua amalan yang baru, karena agama Islam, dan bahkan setiap agama yang dibawa oleh para rasul adalah bidah (sesuatu yang baru). Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu amalan yang baru dimulai yang belum dimulai oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  وإذا كان كذلك: فالنبي صلى الله عليه وسلم قد كانوا يصلون قيام رمضان على عهده جماعة وفرادى؛ وقد قال لهم في الليلة الثالثة، أو الرابعة لما اجتمعوا: (إنه لم يمنعني أن أخرج إليكم إلا كراهة أن تفرض عليكم، فصلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته، إلا المكتوبة). فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. Dengan demikian, para Sahabat sudah mengerjakan salat Tarawih di bulan Ramadan di masa rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, baik secara berjamaah dan sendiri-sendiri, dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri telah mengatakan kepada mereka pada malam ketiga atau keempat ketika mereka sedang berkumpul, “Sungguh, tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar (salat) bersama kalian kecuali aku tidak suka jika hal ini diwajibkan kepada kalian, maka salatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat bagi seseorang lelaki adalah di rumahnya, kecuali salat wajib.” فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. فلما كان في عهد عمر رضي الله عنه جمعهم على قارئ واحد، وأسرج المسجد، فصارت هذه الهيئة، وهي اجتماعهم في المسجد على إمام واحد، مع الإسراج: عملا لم يكونوا يعملونه من قبل؛ فسمي بدعة؛ لأنه في اللغة يسمى بذلك، ولم يكن بدعة شرعية؛ لأن السنة اقتضت أنه عمل صالح، لولا خوف الافتراض، وخوف الافتراض قد زال بموته صلى الله عليه وسلم، فانتفى المعارض” ([16]). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyampaikan alasan kenapa beliau tidak keluar adalah khawatir salat itu akan diwajibkan. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa sebenarnya faktor yang menuntut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar (mengerjakan Tarawih berjamaah) ada, jika tidak ada kekhawatiran akan diwajibkan kepada mereka. Adapun di masa pemerintahan Umar —Semoga Allah Meridainya—, dia mengumpulkan mereka bersama satu imam dan menyalakan penerangan di masjid, sehingga suasana seperti ini, yaitu berkumpulnya mereka di bawah satu imam di masjid dengan penerangan, adalah amalan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, sehingga disebut bidah, karena memang demikian secara bahasa. Namun bukan bidah secara syariat, karena Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah menetapkannya sebagai suatu amal saleh, yang kalau bukan karena kekhawatiran beliau akan diwajibkan tentu beliau akan melakukannya. Namun kekhawatiran ini sudah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan sebab-sebabnya sudah terhapus. ([16]) وقال ابن رجب رحمه الله: ” وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية، لا الشرعية، فمِنْ ذلك قولُ عمر – رضي الله عنه – لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال: نعمت البدعةُ هذه. وروي عنه أنَّه قال: إنْ كانت هذه بدعة، فنعمت البدعة “ Ibnu Rajab —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa adanya perkataan sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian bidah, maka maksud mereka adalah bidah secara bahasa, bukan secara syariat, termasuk pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk salat malam di bulan Ramadan bersama satu imam di masjid. Ketika dia keluar dan melihat mereka mengerjakan salat seperti itu, lantas dia berujar, “Ini adalah sebaik-baik bidah.” Diriwayatkan juga darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Jika memang ini bidah, maka ini adalah sebaik-baik bidah.” ومرادُه أنَّ هذا الفعلَ لم يكن على هذا الوجه قبل هذا الوقت، ولكن له أصولٌ منَ الشَّريعةِ يُرجع إليها، فمنها: أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كان يحُثُّ على قيام رمضان، ويُرَغِّبُ فيه، وكان النَّاس في زمنه يقومون في المسجد جماعاتٍ متفرِّقةً ووحداناً، وهو -صلى الله عليه وسلم- صلَّى بأصحابه في رمضانَ غيرَ ليلةٍ، ثم امتنع مِنْ ذلك معلِّلاً بأنَّه خشي أنْ يُكتب عليهم، فيعجزوا عن القيام به، وهذا قد أُمِنَ بعده – صلى الله عليه وسلم” ([17]). Artinya bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan seperti itu sebelumnya, tetapi sudah ada dasar rujukannya dalam syariat, di antaranya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah menganjurkan dan mendorong orang-orang salat Tarawih Ramadan, dan orang-orang pada masa itu biasa mengerjakannya di masjid secara berjamaah tapi terpisah-pisah atau sendiri-sendiri. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri salat mengimami para Sahabat di bulan Ramadan beberapa malam, lalu menahan diri tidak melakukannya sembari menjelaskan alasannya; bahwa beliau khawatir itu akan diwajibkan bagi mereka lalu mereka tidak mampu menegakkannya. Namun setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, kekhawatiran ini sudah hilang. ([17]) قال الشيخ الألباني رحمه الله: “قول عمر: “نعمت البدعة هذه” لم يقصد به البدعة بمعناها الشرعي، الذي هو إحداث شيء في الدين على غير مثال سابق، وإنما قصد البدعة بمعنى من معانيها اللغوية، وهو الأمر الحديث الجديد الذي لم يكن معروفا قبيل إيجاده، ومما لا شك فيه أن صلاة التراويح جماعة وراء إمام واحد: لم يكن معهودا ولا معمولا زمن خلافة أبي بكر وشطرا من خلافة عمر، فهي بهذا الاعتبار حادثة، ولكن بالنظر إلى أنها موافقة لما فعله صلى الله عليه وسلم فهي سنة وليست بدعة، وما وصفها بالحسن إلا لذلك” ([18]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baik bidah,” maksudnya bukan maknanya secara syariat, yaitu mengada-ada suatu perkara agama tanpa ada contoh sebelumnya. Bidah di sini maksudnya adalah maknanya secara bahasa, yaitu sesuatu yang muncul dan baru, yang tidak diketahui sebelum kemunculannya ini. Tidak ada keraguan bahwa salat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam belum menjadi kebiasaan atau amalan di zaman kekhalifahan Abu Bakar dan separuh masa kekhalifahan Umar, maka dari sisi inilah amalan ini dianggap baru. Akan tetapi, dari sisi bahwa ia sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ini adalah sunah dan bukan bidah. Maka ia tidak dideskripsikan sebagai sesuatu yang baik kecuali dari sisi ini. ([18]) ثالثاً: فضل صلاة التراويح: صلاة التراويح -كما سبق- داخلة في صلاة الليل، فتشملها أدلة الكتاب والسنة التي وردت بالترغيب في صلاة الليل على جهة العموم ([19]). وقد ورد بخصوص فضل قيام الليل في رمضان خاصة، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([20]) ([21]). وورد بخصوص ليلة القدر، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([22]). Ketiga: Fadilah Salat Tarawih Salat Tarawih —sebagaimana disebutkan sebelumnya— termasuk salat malam, sehingga fadilahnya secara umum tercakup dalam semua dalil dari al-Quran dan Sunah yang menganjurkan salat malam. ([19]) Secara khusus, ada riwayat tentang keutamaan salat malam di bulan Ramadan, yaitu sabda Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat (Tarawih) di bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” ([20]) ([21]) Ada riwayat khusus terkait Lailatul Qadr bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat (Tarawih) saat Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu. ([22]) ولهذا (كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِد فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مَا لا يَجْتَهِد فِي غَيْرهَا) ([23]). وقال النووي رحمه الله: “فَفِي هَذَا الْحَدِيث: أَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يُزَاد مِنْ الْعِبَادَات فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان, وَاسْتِحْبَاب إِحْيَاء لَيَالِيه بِالْعِبَادَاتِ” ([24]). Oleh sebab itulah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (Ramadan) dengan kesungguhan yang tidak seperti di hari-hari lain. ([23]) An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan dan sunah untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. رابعاً: وقت صلاة التراويح: يبتدئ وقت صلاة التراويح من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر. قال النووي رحمه الله: “يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ” انتهى([25]). ولكن إذا كان الرجل سيصلي في المسجد إماماً بالناس فالأولى أن يصليها بعد صلاة العشاء، ولا يؤخرها إلى نصف الليل أو آخره حتى لا يشق ذلك على المصلين، وربما ينام بعضهم فتفوته الصلاة. وعلى هذا جرى عمل المسلمين، أنهم يصلون التراويح بعد صلاة العشاء ولا يؤخرونها. وقال ابن قدامة رحمه الله: قِيلَ للإمام أَحْمَدَ: تُؤَخِّرُ الْقِيَامَ يَعْنِي فِي التَّرَاوِيحِ إلَى آخِرِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: لا, سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ” ([26]). Keempat: Waktu Salat Tarawih Waktu salat Tarawih dimulai setelah salat Isya hingga terbit fajar. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa waktu salat Tarawih dimulai setelah selesainya salat Isya. Selesai kutipan. ([25]) Jika seseorang ingin mengimami orang-orang salat di masjid, maka lebih baik ia melakukannya setelah salat Isya dan tidak menundanya hingga tengah malam atau akhir malam agar tidak memberatkan para jemaah, karena yang demikian itu bisa membuat sebagian mereka tertidur dan melewatkan salat tersebut. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin, di mana mereka melaksanakan salat Tarawih setelah salat Isya dan tidak menundanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah sebaiknya salat malam, yakni Tawarih, diundur hingga akhir malam?” Beliau menjawab, “Tidak, sunah (kebiasaan) umat Islam lebih aku sukai.” ([26]) أما من كان سيصليها في بيته فهو بالخيار إن شاء صلاها في أول الليل وإن شاء صلاها آخره. مسألة: يُشرع للمسلم أداء صلاة التراويح بعد صلاة العشاء من الليلة الأولى لرمضان، وهي الليلة التي يُرى فيها الهلال، يُكمل المسلمون عدة شعبان ثلاثين يوماً. ومثل هذا نهاية شهر رمضان، فإنه لا تُصلَّى التراويح إذا ثبت انتهاء الشهر برؤية هلال العيد أو بإتمام عدة رمضان ثلاثين يوماً. فيتبين أن صلاة التراويح لا تتعلق بصيام نهار رمضان، بل بدخول الشهر من الليل ابتداءً، وبآخر يوم من رمضان انتهاءً. Adapun bagi orang yang ingin mengerjakannya di rumah, maka ia bisa memilih sesuai kehendaknya antara salat di awal malam atau di akhir malam. Catatan: Seorang muslim disyariatkan untuk menunaikan salat Tarawih setelah salat Isya dari malam pertama bulan Ramadan, yaitu malam di mana hilal terlihat, atau dengan menyempurnakan bilangan hari Syaban menjadi tiga puluh hari. Demikian pula untuk akhir bulan Ramadan, tidak ada salat Tarawih lagi jika Ramadan sudah dipastikan selesai, dengan terlihatnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan hari Ramadan menjadi tiga puluh hari. Jadi, jelas bahwa salat Tarawih tidak ada hubungannya dengan puasa di siang hari di bulan Ramadan, melainkan dimulai dari awal malam bulan Ramadan dan berakhir pada malam terakhir bulan Ramadan. ولا ينبغي القول إن صلاة الترويح نافلة مطلقة فيجوز أن تؤدى في أي ليلة وجماعة؛ لأن صلاة التراويح مقصودة لشهر رمضان، ومصليها يقصد الأجر المترتب على قيامه، والجماعة فيها ليست كحكم الجماعة في غيرها، فيجوز في رمضان أن يصلى قيامه جماعة في كل ليلة مع الإعلان والتشجيع عليه، بخلاف القيام في غيره فإنه لا يسن إلا ما جاء من غير قصد أو بقصد التشجيع والتعليم، فيسن أحياناً دون الالتزام بفعله دائماً. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “التَّراويحَ في غير رمضان بِدْعةٌ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في غير رمضان لكان هذا من البِدع. Tidak seyogianya dikatakan bahwa salat Tarawih adalah salat sunah mutlak sehingga boleh dilakukan secara berjamaah kapan pun di malam hari, karena salat Tarawih hanya dikhususkan untuk bulan Ramadan saja. Orang yang mengerjakannya tentu menghendaki pahala salat malam di bulan tersebut. Melakukannya secara berjamaah tidak seperti hukum berjamaah pada salat-salat sunah yang lain. Maka dari itulah di bulan Ramadan dibolehkan mengerjakan salat tersebut secara berjamaah setiap malam dengan cara diumumkan terlebih dahulu dan diberi dorongan untuk melakukannya. Berbeda dengan berjamaah untuk salat-salat sunah yang lain, yang tidak dianjurkan kecuali insidental saja atau dengan maksud untuk memberi motivasi dan pengajaran, sehingga disunahkan berjamaah sesekali waktu tanpa melakukannya secara terus-menerus. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Tarawih di luar bulan Ramadan adalah bidah. Jika orang-orang sengaja berkumpul untuk melakukan salat malam di masjid-masjid secara berjamaah selain di bulan Ramadan, maka ini adalah bidah.” ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في بيته أحياناً؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم: “فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان، جماعة في بيته” لكن لم يتَّخذْ ذلك سُنَّة راتبةً، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد” ([27]). وعليه: فمن صلى صلاة التراويح قبل ثبوت دخول رمضان فهو كمن صلى الصلاة في غير وقتها، فلا يكتب له أجرها، هذا إن سلِم من الإثم إن تعمد ذلك([28]). Tidak mengapa jika seseorang terkadang salat malam berjamaah di luar Ramadan di rumahnya, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau pernah salat berjamaah di rumahnya bersama Ibnu Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah bersama Hudzaifah bin al-Yaman. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan sunah yang dirutinkan dan tidak dikerjakan di masjid. ([27]) Dengan demikian, barang siapa yang salat Tarawih sebelum ada kepastian masuknya awal Ramadan, maka ia seperti orang yang salat di luar waktunya, sehingga tidak dicatatkan baginya pahala yang dimaksud, pun dengan catatan jika dia selamat dari dosa karena sengaja melakukan demikian. ([28]) مسألة: من جمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم؛ للعذر، فإن وقت التراويح والوتر يبتدئ في حقه من بعد صلاة العشاء المجموعة لصلاة المغرب. جاء في شرح “منتهى الإرادات” (1/ 238): ” (ووقت وتر: ما بين صلاة العشاء، ولو مع) كون العشاء جمعت مع مغرب (جمع تقديم) في وقت المغرب، (وطلوع الفجر)؛ لحديث معاذ: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: زادني ربي صلاة، وهي الوتر، ووقتها: ما بين العشاء وطلوع الفجر” رواه أحمد” انتهى ([29]). Catatan: Barang siapa yang melakukan jamak salat Magrib dan Isya yang dikerjakan di awal waktu (waktu magrib) karena suatu uzur, maka waktu Tarawih dan Witir baginya dimulai setelah salat Isya yang telah digabung dengan salat Magrib tersebut.  Disebutkan dalam Syarah Muntahā al-Iradāt (1/238) bahwa waktu salat Witir adalah antara waktu salat Isya dan terbitnya fajar, bahkan meskipun salat Isyanya dijamak dengan Magrib (Jamak Taqdim). Hal ini berdasarkan perkataan Muadz —Semoga Allah Meridainya—, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Tuhanku menambahkan bagiku sebuah salat, yaitu salat Witir. Adapun waktunya adalah antara salat Isya hingga terbitnya fajar.'” (HR. Ahmad) Selesai kutipan. ([29]) مسألة: يصح أن يصلي الشخص التراويح قبل راتبة العشاء؛ لكنه خلاف الأولى. قال الشيخ منصور البهوتي رحمه الله: “وإن صلَّى التراويح بعد العشاء وقبل سنَّتها: صحَّ جزماً، ولكن الأفضل فعلها بعد السنَّة على المنصوص” انتهى ([30]). Catatan: Seseorang boleh melakukan salat Tarawih sebelum salat sunah rawatib bakda isya, tetapi itu menyelisihi cara yang lebih utama. Syekh Manṣhūr al-Bahūti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang salat Tarawih setelah isya dan sebelum mengerjakan sunah rawatibnya, maka itu bisa dipastikan sah, tetapi lebih baik jika dia melakukannya setelah salat sunah rawatibnya berdasarkan nas yang ada. Selesai kutipan ([30]). خامساً: عدد ركعات صلاة التراويح: ليس لصلاة التراويح عدد محدد لا تجوز الزيادة عليه؛ فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: (مثنى مثنى) ولم يحددها بعدد معين. قال السيوطي رحمه الله: “الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأْحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ” انتهى([31]). Kelima: Jumlah Rakaat dalam Salat Tarawih Salat Tarawih tidak mempunyai batasan maksimal jumlah rakaat yang membuatnya tidak boleh ditambah lagi. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah ditanya tentang salat malam, lalu beliau menjawab, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. As-Suyuti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa yang tersebut dalam hadis-hadis sahih dan hasan adalah perintah untuk melakukan salat malam di bulan Ramadan dan serta dorongan untuk melakukannya tanpa ada ketentuan jumlah rakaatnya. ([31]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “وثبت عن عمر رضي لله عنه أنه أمر من عين من الصحابة أن يصلي إحدى عشرة، وثبت عنهم أنهم صلوا بأمره ثلاثا وعشرين، وهذا يدل على التوسعة في ذلك، وأن الأمر عند الصحابة واسع، كما دل عليه قوله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى)” انتهى([32]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ia memerintahkan salah seorang Sahabat untuk salat dengan sebelas rakaat. Ada juga riwayat sahih dari mereka bahwa mereka salat dengan perintahnya sebanyak dua puluh tiga rakaat. Hal ini menunjukkan kelonggaran dalam masalah ini dan bahwa perkara tersebut menurut para Sahabat —Semoga Allah Meridainya— adalah perkara yang fleksibel, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat).” ([32]) ولنسمع إلى توجيه من الشيخ الفاضل ابن عثيمين رحمه الله حيث يقول: وهنا نقول: لا ينبغي لنا أن نغلو أو نفرط، فبعض الناس يغلو من حيث التزام السنة في العدد، فيقول: لا تجوز الزيادة على العدد الذي جاءت به السنَّة، وينكر أشدَّ النكير على من زاد على ذلك، ويقول: إنه آثم عاصٍ. Mari kita simak bimbingam dari Syekh yang mulia Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— yang pernah mengatakan, “Kami katakan bahwa tidak selayaknya kita berlebihan atau menyelepelekan dalam masalah ini. Ada sebagian orang yang terlalu kaku berpegang dengan jumlah yang tersebut dalam Sunah, dan mengatakan tidak bolehnya menambah jumlah yang telah disebutkan dalam Sunah tersebut sehingga mereka mengingkari dengan keras orang yang menambah rakaat lebih dari itu, bahkan berkata bahwa pelakunya dosa dan telah berbuat maksiat. وهذا لا شك أنه خطأ، وكيف يكون آثماً عاصياً وقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: مثنى مثنى، ولم يحدد بعدد، ومن المعلوم أن الذي سأله عن صلاة الليل لا يعلم العدد؛ لأن من لا يعلم الكيفية فجهله بالعدد من باب أولى، وهو ليس ممن خدم الرسول صلى الله عليه وسلم حتى نقول إنه يعلم ما يحدث داخل بيته، فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم بيَّن له كيفية الصلاة دون أن يحدد له بعدد: عُلم أن الأمر في هذا واسع، وأن للإنسان أن يصلِّيَ مائة ركعة ويوتر بواحدة. Ini tentu saja keliru, bagaimana mungkin seseorang dianggap berdosa dan bermaksiat padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda tentang salat malam dengan mengatakan, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. Sudah diketahui bahwa orang yang bertanya kepada beliau tentang salat malam ini tidak mengetahui jumlah rakaatnya, karena orang yang tidak mengetahui tata caranya, tentu lebih tidak tahu tentang jumlah rakaatnya. Dia juga bukan salah satu dari pelayan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga bisa kita katakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau. Jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan kepadanya tata cara salat tanpa membatasi jumlahnya, bisa diketahui bahwa jumlah rakaat dalam hal ini adalah masalah yang longgar dan bahwa seseorang boleh salat seratus rakaat dan melakukan witir dengan satu rakaat saja. وأما قوله صلى الله عليه وسلم: (صلوا كما رأيتموني أصلي) فهذا ليس على عمومه حتى عند هؤلاء، ولهذا لا يوجبون على الإنسان أن يوتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع، ولو أخذنا بالعموم لقلنا يجب أن توتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع سرداً، وإنما المراد: صلوا كما رأيتموني أصلي في الكيفية، أما في العدد فلا إلا ما ثبت النص بتحديده. Adapun sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,” maka hadis ini sifatnya tidak umum, bahkan menurut mereka juga. Inilah sebabnya mereka juga tidak mewajibkan seseorang untuk sesekali menunaikan salat Witir lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jika kita mengikuti keumuman hadis itu, tentu kita harus mengatakan wajibnya menunaikan salat Witir sesekali lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jadi, maksud hadis itu adalah: “Salatlah dengan cara sebagaimana kalian melihat caraku salat.” Adapun jumlah rakaatnya, maka tidak ada dalil yang membatasi salat Tarawih. وعلى كلٍّ ينبغي للإنسان أن لا يشدد على الناس في أمر واسع، حتى إنا رأينا من الإخوة الذين يشددون في هذا مَن يبدِّعون الأئمة الذين يزيدون على إحدى عشرة، ويخرجون من المسجد فيفوتهم الأجر الذي قال فيه الرسول صلى الله عليه وسلم (من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة) ([33])، وقد يجلسون إذا صلوا عشر ركعات فتنقطع الصفوف بجلوسهم، وربما يتحدثون أحياناً فيشوشون على المصلين. ونحن لا نشك بأنهم يريدون الخير، وأنهم مجتهدون، لكن ليس كل مجتهدٍ يكون مصيباً Biar bagaimanapun, hendaknya seseorang tidak kaku dalam perkara yang sifatnya fleksibel, sampai-sampai kita melihat sebagian saudara-saudara kita yang berlebihan dalam masalah ini dan membidahkan imam-imam ulama yang berpendapat bolehnya menambah lebih dari sebelas rakaat keluar meninggalkan masjid sehingga kehilangan pahala yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai, maka dicatat baginya salat semalam penuh.” ([33]) Terkadang mereka memilih duduk ketika sudah selesai sepuluh rakaat sehingga duduknya mereka itu memutus saf dan mungkin juga ngobrol hingga mengganggu jemaah lain. Kami tidak ragu bahwa maksud mereka baik dan itu adalah ijtihad mereka, hanya saja tidak setiap ijtihad pasti benar. والطرف الثاني: عكس هؤلاء، أنكروا على من اقتصر على إحدى عشرة ركعة إنكاراً عظيماً، وقالوا: خرجتَ عن الإجماع قال تعالى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]، فكل من قبلك لا يعرفون إلا ثلاثاً وعشرين ركعة، ثم يشدِّدون في النكير، وهذا أيضاً خطأ” ([34]). Kelompok kedua adalah kebalikan dari orang-orang ini, yang mana mereka sangat mengingkari dengan keras orang-orang yang membatasi diri hanya salat sebelas rakaat saja. Mereka berkata, “Anda menyimpang dari konsensus, padahal Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, maka akan Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami Masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa’: 115) Padahal semua orang sebelum Anda tidak mengenal salat ini kecuali dengan dua puluh tiga rakaat.” Lalu mereka mengingkarinya dengan sangat keras. Ini juga keliru.  أما الدليل الذي استدل القائلون بعدم جواز الزيادة في صلاة التراويح على ثمان ركعات فهو حديث أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة رضي الله عنها: ” كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ؟ فقالت: ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر قال يا عائشة: (إن عينيَّ تنامان ولا ينام قلبي) ([35]). Adapun dalil yang dijadikan landasan mereka yang tidak membolehkan menambah jumlah rakaat salat Tarawih lebih dari delapan rakaat adalah hadis Abu Salamah bin Abdurrahman yang pernah bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— “Bagaimana salatnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di bulan Ramadan?” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Beliau mengerjakannya empat rakaat, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Lalu beliau mengerjakan empat rakaat lagi, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat tiga rakaat. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan salat Witir?’ Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Wahai Aisyah, kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak.” ([35]) فقالوا: هذا الحديث يدل على المداومة لرسول الله في صلاته في الليل في رمضان وغيره. وقد ردَّ العلماء على الاستدلال بهذا الحديث بأن هذا من فعله صلى الله عليه وسلَّم، والفعل لا يدل على الوجوب. ومن الأدلة الواضحة على أن صلاة الليل ومنها صلاة التراويح غير مقيدة بعدد حديث ابن عمر أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال رسول الله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلَّى) ([36]) Mereka berkata bahwa hadis ini menunjukkan konsistensi (jumlah rakaat) Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam mengerjakan salat malamnya di dalam dan luar bulan Ramadan. Para ulama telah membantah istidlal dengan hadis ini bahwa ini termasuk perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sementara perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berarti wajib. Di antara dalil yang jelas bahwa salat malam, termasuk salat Tarawih, tidak dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu adalah hadis Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat malam, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([36]) ونظرة إلى أقوال العلماء في المذاهب المعتبرة تبين لك أن الأمر في هذا واسع، وأنه لا حرج في الزيادة على إحدى عشرة ركعة: قال السرخسي رحمه الله، وهو من أئمة المذهب الحنفي: “فإنها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا” ([37]). وقال ابن قدامة رحمه الله: “والمختار عند أبي عبد الله (يعني الإمام أحمد) رحمه الله، فيها عشرون ركعة، وبهذا قال الثوري، وأبو حنيفة، والشافعي، وقال مالك: ستة وثلاثون” ([38]). Jika kita mencermati perkataan para ulama dari mazhab-mazhab yang diakui, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa persoalan ini fleksibel dan bahwa tidak ada salahnya menambah lebih dari sebelas rakaat. As-Sarkhasi —Semoga Allah Merahmatinya—, yang merupakan salah satu imam ulama mazhab Hanafi, mengatakan, “Menurut kami, dua puluh rakaat, selain salat Witir.” ([37]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang terpilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat. Inilah pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Syafii. Malik berkata, “Tiga puluh enam rakaat.” ([38]) وقال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء، ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات وتجوز منفردا وجماعة” ([39]). فهذه مذاهب الأئمة الأربعة في عدد ركعات صلاة التراويح وكلهم قالوا بالزيادة على إحدى عشرة ركعة، ولعل من الأسباب التي جعلتهم يقولون بالزيادة على إحدى عشرة ركعة: 1/ أنهم رأوا أن حديث عائشة رضي الله عنها لا يقتضي التحديد بهذا العدد. 2/ وردت الزيادة عن كثير من السلف ([40]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih hukumnya sunah menurut konsensus para ulama. Dalam mazhab kami, jumlahnya dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam, yang boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah. ([39]) Inilah pendapat empat imam mazhab mengenai jumlah rakaat salat Tarawih. Mereka semua menyatakan pendapat yang menambah lebih dari sebelas rakaat. Mungkin di antara alasan yang membuat mereka berpendapat menambah lebih dari sebelas rakaat adalah sebagai berikut: Mereka memandang bahwa hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— tidak berarti membatasi jumlah rakaat. Ada banyak riwayat dari para Salaf bahwa mereka menambah lebih dari itu. ([40]) 3/ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة وكان يطيلها جداً حتى كان يستوعب بها عامة الليل، بل في إحدى الليالي التي صلى فيها النبي صلى الله عليه وسلم صلاة التراويح بأصحابه لم ينصرف من الصلاة إلا قبيل طلوع الفجر حتى خشي الصحابة أن يفوتهم السحور، وكان الصحابة رضي الله عنهم يحبون الصلاة خلف النبي صلى الله عليه وسلم ولا يستطيلونها فرأى العلماء أن الإمام إذا أطال الصلاة إلى هذا الحد شق ذلك على المأمومين وربما أدى ذلك إلى تنفيرهم فرأوا أن الإمام يخفف من القراءة ويزيد من عدد الركعات. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan salat sebelas rakaat tetapi sangat panjang sehingga durasinya hampir sepanjang malam. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salah satu malamnya ketika melakukan salat Tarawih bersama para Sahabat, beliau tidak menyelesaikan salatnya kecuali hampir menjelang subuh, hingga para Sahabat khawatir akan melewatkan waktu sahur. Namun para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— suka salat di belakang Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan tidak merasa keberatan. Para ulama memandang bahwa jika seorang imam memperpanjang salat sampai selama itu, maka akan memberatkan orang yang salat di belakangnya, dan ini mungkin membuat mereka pergi menjauh. Maka dari itulah para ulama memandang bahwa imam perlu mengurangi panjang bacaannya dan menambah jumlah rakaat. والحاصل: أن من صلى إحدى عشرة ركعة على الصفة الواردة عن النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحسن وأصاب السنة، ومن خفف القراءة وزاد عدد الركعات فقد أحسن، ولا إنكار على من فعل أحد الأمرين. Kesimpulannya, bahwa barang siapa salat sebelas rakaat mengikuti cara yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ia telah berbuat kebaikan dan sesuai dengan Sunah. Barang siapa yang memperpendek bacaannya dan menambah jumlah rakaatnya, maka ia telah berbuat kebaikan. Tidak ada pengingkaran terhadap siapa pun yang melakukan salah satu dari kedua hal tersebut. قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: “والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره” ([41]). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa salat Tarawih jika dikerjakan menurut mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad adalah dua puluh rakaat, atau jika menurut mazhab Maliki adalah tiga puluh enam, tiga belas, atau sebelas rakaat. Pendapat beliau ini yang bagus, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada dalil yang membatasi, sehingga banyak dan sedikitnya jumlah rakaat tergantung panjang dan pendeknya salat. ([41]) وقال علماء اللجنة للإفتاء:” لم يثبت في عدد ركعات صلاة التراويح حد محدد، والعلماء مختلفون فيه منهم من يرى أنه ثلاث وعشرون ، ومنهم من يرى أنه ست وثلاثون، ومنهم من يرى أكثر، ومنهم يرى أقل، والصحابة صلوها في عهد عمر ثلاثا وعشرين في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، والنبي كان لا يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة ، ولم يحدد للناس عددا معينا في التراويح وقيام الليل،  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah (Komite Tetap Urusan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan bahwa tidak ada riwayat sahih tentang batasan jumlah tertentu dalam rakaat salat Tarawih. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu, ada yang mengatakan jumlahnya adalah 23 atau 36. Ada yang mengatakan lebih banyak atau sedikit daripada itu. Para Sahabat mengerjakan salat ini pada masa pemerintahan Umar di Masjid Nabawi sebanyak 23 rakaat. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat di bulan Ramadan atau bulan lainnya, tanpa membatasi jumlah tertentu mengenai rakaat salat Tarawih dan salat malam. بل كان يحث على قيام الليل وعلى قيام رمضان بالذات فيقول صلى الله عليه وسلم: (من قام رمضان واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه)، ولم يحدد عدد الركعات، وهذا يختلف باختلاف صفة القيام، فمن كان يطيل الصلاة؛ فإنه يقلل عدد الركعات كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم، ومن كان يخفف الصلاة رفقا بالناس، فإنه يكثر عدد الركعات كما فعل الصحابة في عهد عمر، ولا بأس أن يزيد في عدد الركعات في العشر الأواخر عن عددها في العشرين الأول ويقسمها إلى قسمين: قسما يصليه في أول الليل ويخففه على أنه تراويح كما في العشرين الأول، وقسما يصليه في آخر الليل ويطيله على أنه تهجد، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في غيرها” ([42]). Justru beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menganjurkan salat malam dan salat Tarawih secara khusus dengan mengatakan, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” Beliau tidak membatasi jumlah rakaatnya. Jadi, perkara jumlah rakaat ini berbeda-beda tergantung bagaimana salat malamnya. Barang siapa yang memanjangkan salatnya, maka ia mengurangi jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Barang siapa yang meringankan (memendekkan) salatnya untuk meringankan manusia, maka ia perbanyak jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat di zaman Umar. Tidak mengapa jika jumlah rakaat pada sepuluh hari terakhir diperbanyak daripada jumlah rakaat di dua puluh hari pertama lalu membaginya menjadi dua sesi. Sesi pertama dilakukan di awal malam dan dipendekkan seperti salat Tarawih pada dua puluh hari pertama, sementara sesi kedua di akhir malam dan dipanjangkan sebagaimana salat Tahajud, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir dengan kesungguhan yang lebih daripada di hari-hari yang lainnya. ([42]) فتجوز صلاة التراويح بالقليل والكثير من الركعات، ويكون ذلك حسب ما يرى أهل كل مسجد أنه أنسب لهم. والأفضل هو ما ثبت عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه لم يكن يزيد في قيام الليل على إحدى عشرة ركعة، في رمضان وغيره ([43]). Jadi, dibolehkan melaksanakan salat Tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak atau sedikit, yang disesuaikan dengan pandangan jemaah masing-masing masjid mana yang paling sesuai bagi mereka. Yang afdal adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau tidak mengerjakan salat tersebut lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadan dan pada waktu-waktu lainnya. ([43]) سادساً: حكم صلاة التراويح: صلاة التراويح سنة بإجماع أهل العلم، قال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء” انتهى([44]). Keenam: Hukum Salat Tarawih Salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama.” Selesai kutipan. ([44]) سابعاً: تقسيم قيام الليل في العشر الأواخر إلى قسمين تراويح وتهجد: إذا تقرر بأن التراويح ليس لها عدد محدد من الركعات، وأن الليل كله محل للقيام، وأن الفصل بين القيام لا يفعل تعبدا لذاته، وإنما يفعل تيسيرا، واستكثارا من الخير، وابتغاء لإيقاع شيء من القيام في الثلث الأخير من الليل، فإنه لا يصح الاعتراض على جعل القيام على جزئين. Ketujuh: Hukum Membagi Salat Malam di Sepuluh Malam Terakhir Menjadi Dua Sesi, Sesi Salat Tarawih dan Sesi Tahajud Jika sudah jelas bahwa salat Tarawih tidak mempunyai batasan jumlah rakaat tertentu, bahwa seluruh malam adalah waktu untuk salat malam, dan bahwa jeda antar salat seperti ini bukanlah ibadah secara zatnya, melainkan diniatkan untuk meringankan manusia, menambah kebaikan, dan agar bisa mengerjakan salat malam di sepertiga malam terakhir, maka tidak tepat jika ada yang mengingkari bolehnya membagi salat menjadi dua sesi seperti ini. قال الشيخ عبد الله أبابطين رحمه الله: “إذا تبين أنه لا تحديد في عدد التراويح، وأن وقتها عند جميع العلماء من بعد سنة العشاء إلى طلوع الفجر، وأن إحياء العشر سنة مؤكدة، وأن النبي صلى الله وعليه وسلم صلاها ليالي جماعة، فكيف ينكر على من زاد في صلاة العشر الأواخر عما يفعلها أول الشهر، فيصلي في العشر أول الليل، كما يفعل في أول الشهر، أو قليل، أو كثير، من غير أن يوتر، وذلك لأجل الضعيف لمن يحب الاقتصار على ذلك، ثم يزيد بعد ذلك ما يسره الله في الجماعة، ويسمى الجميع قياماً وتراويحا” انتهى ([45]). Syekh Abdullah Abābṯhain —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika telah jelas bahwa tidak ada batasan jumlah rakaat dalam salat Tarawih, bahwa waktunya adalah setelah salat sunah bakda isya sampai subuh menurut semua ulama, bahwa menghidupkannya di sepuluh malam terakhir adalah sunah muakadah, dan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakannya di malam hari secara berjamaah, lalu bagaimana bisa seseorang mengingkari orang yang menambah salatnya pada sepuluh hari terakhir daripada yang dia lakukan di awal bulan? Yaitu dengan cara mengerjakannya di awal malam sebagaimana dia kerjakan di awal bulan, baik dengan jumlah rakaat yang sedikit atau banyak, yang dikerjakan tanpa salat Witir dan bukan karena mereka tidak mampu mengerjakannya. Setelah itu mereka menambah salat mereka secara berjamaah lagi semampu yang Allah Mudahkan bagi mereka. Semua salat itu disebut salat malam dan Tarawih. Selesai kutipan. ([45]) ثامناً: حمل المصحف في صلاة التراويح: إن كان الحامل للمصحف في صلاة التراويح، هو الإمام؛ لحاجته للقراءة من المصحف، فلا حرج في ذلك؛ فقد كان لعائشة رضي الله عنها غلام يؤمها من المصحف في رمضان ([46]). وقال النووي رحمه الله: “لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا ، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة, ولو قلَّب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل …… هذا مذهبنا ومذهب مالك وأبي يوسف ومحمد وأحمد ” انتهى ([47]). وأما اعتراض من اعترض على ذلك بأن حمل المصحف وتقليب أوراقه في الصلاة حركة كثيرة فهو اعتراض غير صحيح؛ لأنه قد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس وهو حامل أمامة بنت ابنته ([48])، فحمل المصحف في الصلاة ليس أعظم من حمل طفلة في الصلاة  Kedelapan: Memegang (Membaca) Mushaf saat salat Tarawih Jika yang memegang mushaf saat salat Tarawih adalah imam yang butuh membaca al-Quran, maka tidak mengapa. Dahulu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— memiliki seorang budak laki-laki yang mengimaminya dengan membaca mushaf al-Quran di bulan Ramadan ([46]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang membaca al-Quran dari mushaf, maka salatnya tidak batal, baik dia sudah hafal al-Quran atau belum. Bahkan dia wajib melakukannya jika dia tidak hafal al-Fatihah, meskipun terkadang membuatnya harus membolak-balik halaman ketika salat. Jadi, salatnya seperti itu tidak batal. … Inilah mazhab kami (Syafii), Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad. Selesai kutipan. ([47]) Adapun pengingkaran orang yang mengingkari bahwa membawa mushaf al-Quran dan membolak-balik halamannya saat salat itu termasuk banyak gerak, maka itu adalah pengingkaran yang tidak tepat, karena ada riwayat sahih bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengimami orang-orang salat sedangkan beliau sedang menggendong Umamah, cucu perempuannya dari anak perempuannya.. ([48]) Jadi, memegang mushaf al-Quran dalam salat bukanlah sesuatu yang lebih besar daripada membawa bayi dalam salat. وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “لا حرج في القراءة من المصحف في قيام رمضان، لما في ذلك من إسماع المأمومين جميع القرآن، ولأن الأدلة الشرعية من الكتاب والسنة قد دلت على شرعية قراءة القرآن في الصلاة، وهي تعم قراءته من المصحف وعن ظهر قلب، وقد ثبت عن عائشة رضي الله عنها أنها أمرت مولاها ذكوان أن يؤمها في قيام رمضان، وكان يقرأ من المصحف، ذكره البخاري رحمه الله في صحيحه معلقاً مجزوماً به” ([49]).  وأما المأموم، فالأولى والأفضل في حقه أن لا يحمل المصحف؛ لما فيه من الانشغال وتفويت بعض السنن، كوضع اليدين على الصدر([50]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tidaklah mengapa membaca dari mushaf al-Quran dalam salat malam di bulan Ramadan, karena itu termasuk usaha memperdengarkan seluruh al-Quran kepada kaum muslimin, karena dalil-dalil syariat dari al-Quran dan Sunah menunjukkan bolehnya membaca al-Quran saat salat, yang sifatnya umum mencakup membacanya dengan melihat mushaf atau dari hafalan. Ada riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia menyuruh seorang budak lelakinya, Dzakwan, untuk mengimaminya dalam salat malam di bulan Ramadan, padahal dia membaca dari mushaf. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan riwayat ini dalam Shahih-nya dengan Ṣhighah Jazm secara Muʿallaq ([49]). Adapun bagi seorang makmum, maka yang lebih baik dan afdal baginya adalah tidak memegang mushaf al-Quran, karena itu bisa membuatnya sibuk dengannya dan meninggalkan sebagian sunah, seperti meletakkan tangan di dada. ([50]) سئل الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: ما حكم حمل المأموم للمصحف في صلاة التراويح؟ فأجاب: ” لا أعلم لهذا أصلا ، والأظهر أن يخشع ويطمئن ولا يأخذ مصحفا ، بل يضع يمينه على شماله كما هي السنة ، يضع يده اليمنى على كفه اليسرى الرسغ والساعد ويضعهما على صدره ، هذا هو الأرجح والأفضل، وأخذ المصحف يشغله عن هذه السنن ، ثم قد يشغل قلبه وبصره في مراجعة الصفحات والآيات وعن سماع الإمام  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Apa hukumnya jika seorang makmum memegang mushaf dalam salat Tarawih?” Dia menjawab, “Saya tidak tahu dalilnya, tapi yang lebih tepat adalah dia harus khusyuk dan tumakninah tanpa memegang mushaf, melainkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri sebagaimana demikian sunahnya. Hendaknya dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kiri dan pergelangan tangan lalu meletakkan keduanya di dadanya. Ini yang lebih tepat dan afdal. Memegang mushaf menghalanginya dari sunah-sunah ini, dan terkadang membuat hati dan matanya tersibukkan dengan melihat halaman demi halaman dan ayat demi ayat serta tidak memerhatikan bacaan imam.  فالذي أرى أن ترك ذلك هو السنة ، وأن يستمع وينصت ولا يستعمل المصحف، فإن كان عنده علم فَتَح على إمامه ، وإلا فتح غيره من الناس ، ثم لو قدر أن الإمام غلط ولم يُفتح عليه ما ضر ذلك في غير الفاتحة إنما يضر في الفاتحة خاصة ؛ لأن الفاتحة ركن لا بد منها أما لو ترك بعض الآيات من غير الفاتحة ما ضره ذلك إذا لم يكن وراءه من ينبهه ، ولو كان واحد يحمل المصحف على الإمام عند الحاجة فلعل هذا لا بأس به، أما أن كل واحد يأخذ مصحفا فهذا خلاف السنة”([51]) انتهى. Menurut saya yang sunah adalah meninggalkan itu semua, mendengarkan serta diam menyimak tanpa memegang mushaf. Jika dia mempunyai ilmu, hendaknya dia membenarkan bacaan imam, jika tidak, maka ada orang lain yang membenarkannya. Pun seandainya imam keliru dan tidak ada yang membenarkannya, maka itu tidak masalah asalkan bukan pada surah al-Fatihah, karena yang bisa merusak salat adalah kesalahan dalam al-Fatihah secara khusus, karena merupakan rukun yang sifatnya wajib. Adapun jika ia melewatkan beberapa ayat selain dari surah al-Fatihah, maka tidak merusak salatnya jika memang tidak ada orang di belakangnya yang mengingatkannya. Adapun jika ada seseorang yang membawa mushaf untuk mengingatkan imam jika memang dibutuhkan, maka semoga tidak mengapa. Adapun jika setiap orang membawa mushaf, maka ini menyelisihi sunah.” Selesai kutipan. ([51]) سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ما حكم حمل المصحف من قبل المأمومين في صلاة التراويح في رمضان بحجة متابعة الإمام؟ فأجاب: “حمل المصحف لهذا الغرض فيه مخالفة للسنة وذلك من وجوه: الوجه الأول: أنه يفوت الإنسان وضع اليد اليمنى على اليد اليسرى في حال القيام . والثاني: أنه يؤدي إلى حركة كثيرة لا حاجة لها وهي فتح المصحف وإغلاقه ووضعه تحت الإبط . Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya membawa mushaf bagi para makmum saat salat Tarawih di bulan Ramadan dengan alasan untuk mengikuti bacaan imam?” Beliau menjawab bahwa membawa mushaf al-Quran untuk tujuan ini menyelisihi sunah, karena beberapa alasan: (1) Seseorang tidak bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri. (2) Menimbulkan banyak gerakan yang tidak diperlukan, karena membuka dan menutup mushaf al-Quran dan mengimpitnya di bawah ketiak.  والثالث: أنه يشغل المصلي في الحقيقة بحركاته هذه . والرابع: أنه يفوت المصلي النظر إلى موضع السجود وأكثر العلماء يرون أن النظر إلى موضع السجود هو السنة والأفضل . والخامس: أن فاعل ذلك ربما ينسى أنه في صلاة إذا لم يكن يستحضر قلبه أنه في صلاة، بخلاف ما إذا كان خاشعاً واضعاً يده اليمنى على اليسرى مطأطئاً رأسه نحو سجوده فإنه يكون أقرب إلى استحضار أنه يصلي وأنه خلف الإمام” انتهى ([52]). (3) Dia akan tersibukkan dengan gerakan-gerakan ini. (4) Orang yang salat tidak bisa melihat ke tempat sujud, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa melihat ke tempat sujud adalah sunah dan afdal. (5) Orang yang melakukan itu bisa jadi akan lupa bahwa ia sedang salat jika ia tidak benar-benar menghadirkan dalam hatinya bahwa ia sedang salat. Hal ini berbeda jika ia khusyuk dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sembari menundukkan kepalanya ke arah tempat sujudnya, yang mana dia akan lebih merasa bahwa dia sedang salat dan berada di belakang imam. Selesai kutipan. ([52]) تاسعاً: حكم صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح: صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح أو الوتر، صحيحة على الراجح من قولي العلماء، والمسألة معروفة عند الفقهاء بصلاة المفترض خلف المتنفّل ([53]). قال ابن قدامة رحمه الله: “وفي صلاة المفترض خلف المتنفل روايتان: إحداهما: لا تصح، واختارها أكثر أصحابنا، وهذا قول الزهري, ومالك, وأصحاب الرأي ; لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (إنما جعل الإمام ليؤتم به, فلا تختلفوا عليه) متفق عليه . Kesembilan: Hukum Salat Isya dengan Bermakmum di Belakang Orang yang Salat Tarawih Salat Isya dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih atau witir hukumnya sah menurut pendapat yang lebih tepat di antara dua pendapat ulama. Masalah ini dikenal oleh para fuqaha dengan istilah ‘Orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah’. ([53]) Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada dua pendapat tentang orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah. Pendapat pertama hukumnya tidak sah, dan inilah yang dipilih sebagian besar sahabat kami (mazhab Hambali). Inilah pendapat az-Zuhri, Malik, dan ulama Aṣẖāb ar-Raʾyi, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidaklah imam diangkat kecuali untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya.” (Muttafaqun ʿAlaihi) والثانية: يجوز. وهذا قول الشافعي, وابن المنذر, وهي أصح ; لما روى جابر بن عبد الله أن معاذا كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يرجع فيصلي بقومه تلك الصلاة. متفق عليه. وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه صلى بطائفة من أصحابه في الخوف ركعتين, ثم سلم, ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين, ثم سلم. رواه أبو داود, والثانية منهما تقع نافلة, وقد أَمَّ بها مفترضين . Pendapat kedua mengatakan boleh. Demikian pendapat Syafii dan Ibnul Mundzir. Inilah pendapat yang lebih tepat, berdasarkan riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwa Muadz dahulu pernah salat bersama Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kemudian pulang mengimami kaumnya dengan salat yang sama. (Muttafaqun ʿAlaihi) Diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau salat Khauf dua rakaat bersama sekelompok Sahabat beliau lalu salam, kemudian salat lagi dua rakaat bersama sekelompok Sahabat yang lain, lalu salam. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Adapun salat yang kedua adalah salat sunah bagi beliau, sedangkan beliau mengimami orang-orang yang salat fardu. فأما حديثهم فالمراد به: لا تختلفوا عليه في الأفعال؛ بدليل قوله: (فإذا ركع فاركعوا, وإذا رفع فارفعوا, وإذا سجد فاسجدوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون)” انتهى باختصار ([54]). وسئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: ما هو العمل عندما يأتي الفرد بعد صلاة العشاء وقد انتهت، وقام الإمام يصلي التراويح، فهل يأتم بالإمام وينوي العشاء؟ أم يقيم ويصلي منفردا أو مع جماعة إن وجدت؟ فأجابوا: “يجوز أن يصلي العشاء جماعة مع من يصلي التراويح، فإذا سلم الإمام من ركعتين قام من يصلي العشاء وراءه وصلى ركعتين، إتماما لصلاة العشاء” انتهى ([55]). Adapun hadis yang mereka jadikan dalil ketidakbolehannya, maka maksudnya adalah “Jangan kalian menyelisihi gerakan-gerakannya.” Dalilnya adalah sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “… maka jika dia rukuk, maka rukuklah kalian, jika dia bangkit dari rukuk, maka bangkitlah dari rukuk, dan jika dia sujud, maka sujudlah. Pun jika dia salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk.” Selesai kutipan dengan diringkas. ([54]) Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ pernah ditanya, “Apa yang seharusnya dilakukan seseorang ketika dia datang setelah salat Isya sudah selesai, lalu imam berdiri untuk salat Tarawih? Apakah ia harus bermakmum dengan imam itu dan berniat menunaikan salat Isya ataukah berdiri untuk salat sendirian atau berjamaah dengan yang lain jika ada?” Mereka menjawab, “Boleh salat Isya berjamaah dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih. Jika imam sudah salam setelah dua rakaat, maka setelah itu dia berdiri melanjutkan dua rakaatnya untuk menyempurnakan bilangan salat Isyanya.” Selesai kutipan ([55]) لكن من فاتته صلاة العشاء مع الإمام الراتب ودخل بعد الصلاة مباشرة، وقد بقي وقت عن صلاة التراويح، يسع صلاتهم للعشاء، فالأحسن لهم في مثل هذه الحال أن يصلوا جماعة لوحدهم؛ خروجاً من خلاف من منع من صلاة المفترض خلف المتنفل، من أهل العلم .  Hanya saja, jika orang yang melewatkan salat Isya dengan imam tetap lalu langsung datang setelah salat itu selesai, sementara masih ada jeda waktu sebelum salat Tarawih didirikan sehingga masih cukup baginya untuk salat Isya, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi mereka untuk mendirikan salat berjamaah sendiri, untuk keluar dari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang melarang orang yang salat fardu dengan bermakmum di belakang orang yang salat sunah. أما إذا دخل في أثناء صلاة التراويح، أو كان الإمام يشرع في التراويح بعد العشاء بوقت قريب، ويخشى من صلاة الجماعة الثانية أن يحصل من إحداهما تشويش على الأخرى؛ فالأحسن في هذه الحال أن يدخل مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء، ثم إذا سلم الإمام من الركعتين، قام وأتم لنفسه . Adapun jika seseorang datang di pertengahan salat Tarawih atau imam sudah memulai salat Tarawih sesaat setelah isya, sehingga dikhawatirkan bahwa salat berjamaah yang kedua ini akan menimbulkan gangguan terhadap para jemaah yang salat Tarawih, maka yang baik baginya adalah ikut salat Tarawih bersama imam dengan niat menunaikan salat Isya. Lalu ketika imam sudah mengerjakan dua rakaat kemudian salam, dia bangun untuk menyempurnakan salatnya sendiri. سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: نلاحظ في بعض المساجد أن الذين يأتون بعد انتهاء صلاة العشاء وبداية التراويح يقيمون صلاة ثانية وهم بهذا يشوشون على من يصلي التراويح ، فهل الأفضل في حقهم إقامة الصلاة جماعة ، أم الدخول مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء ، وهل يختلف الحكم فيما إذا كان الداخل فردا أم مجموعة ؟ Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Kami memerhatikan di beberapa masjid, ada orang-orang yang datang setelah selesainya salat Isya dan salat Tarawih sudah dimulai, mereka mendirikan salat berjamaah kedua yang dengan ini mengganggu orang-orang yang sedang salat Tarawih. Apakah yang lebih baik bagi mereka adalah mendirikan salat berjamaah sendiri atau mengikuti imam salat Tarawih dengan niat salat Isya? Lalu apakah hukumnya berbeda jika yang datang adalah satu orang atau beberapa orang? فأجاب: “إذا كان الداخل اثنين فأكثر، فالأفضل لهم إقامة الصلاة وحدهم أعني صلاة العشاء، ثم يدخلون مع الناس في التراويح، وإن دخلوا مع الإمام بنية العشاء، فإذا سلم الإمام قام كل واحد فكمل لنفسه فلا بأس؛ لأنه ثبت عن معاذ رضي الله عنه: (أنه كان يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء فريضته، ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة، فهي له نفل ولهم فرض)، أما إن كان الداخل واحدا فالأفضل له أن يدخل مع الإمام بنية العشاء حتى يحصل له فضل الجماعة، فإذا سلم الإمام من الركعتين قام فأكمل لنفسه صلاة العشاء، وفق الله الجميع للفقه في الدين” ([56]). Beliau menjawab bahwa jika yang datang adalah dua orang atau lebih, maka lebih baik adalah mereka mendirikan salat berjamaah sendiri, yakni salat Isya, lalu bergabung bersama orang-orang untuk salat Tarawih. Jika mereka bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, maka jika imam sudah mengucapkan salam, hendaknya masing-masing berdiri lagi untuk menyempurnakan salatnya masing-masing. Begini tidak mengapa, karena ada riwayat sahih dari Muadz —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia pernah salat fardu Isya bermakmum kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, kemudian dia kembali kepada kaumnya untuk mengimami mereka salat yang sama. Baginya itu salat sunah dan bagi mereka salat fardu. Namun jika yang masuk adalah satu orang saja, maka lebih baik dia bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, agar dia mendapatkan keutamaan salat berjamaah. Ketika imam sudah mengucapkan salam setelah dua rakaat, dia berdiri lagi untuk menyempurnakan salat Isyanya sendiri. Semoga Allah Memberi taufik untuk semua orang untuk bisa memahami agama. ([56]) فإن كان المأموم الذي يريد أن يصلي العشاء مسافرا، وقد دخل مع إمامه في صلاة التراويح، فإنه في هذه الحال، يقتصر على ركعتين؛ لأن القصر في حقه رخصة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا دخل الإنسان إلى المسجد والناس يصلون صلاة التراويح وهو لم يصلِ صلاة العشاء فإنه يدخل معهم بنية العشاء، ثم إن كان مسافراً وقد دخل مع الإمام في الركعة الأولى سلم مع الإمام, لأن المسافر يصلي ركعتين، وإن كان مقيماً فإنه إذا سلم الإمام فإنه يأتي بما بقي عليه من الركعات الأربع” ([57]). Jika makmum yang hendak salat Isya dalam keadaan safar dan terlanjur bergabung salat Tarawih bersama imam, maka dalam hal ini dia bisa mengqasar salatnya menjadi dua rakaat, karena qasar ini menjadi rukhsah baginya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada seseorang masuk ke dalam masjid dan orang-orang sedang salat Tarawih sementara dia belum salat Isya, maka hendaknya dia bergabung bersama mereka dengan niat salat Isya. Lalu jika dia sedang safar dan sudah masuk mengikuti imam pada rakaat pertama, hendaknya dia salam bersama imam, karena seorang musafir boleh salat dua rakaat. Adapun jika dia mukim, maka jika imam sudah salam, maka dia harus tetap menyempurnakannya empat rakaat. ([57]). عاشرا: ضابط ما يحصل به الانصراف من صلاة الليل: هو أن يصلي المأموم مع إمامه؛ حتى ينتهي الإمام من صلاته كلها؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([58])، فمن صلى مع الجماعة الأولى بعد العشاء عشرين ركعة، وأوتر مع إمامها فقد أكمل صلاة التراويح بالوتر مع الإمام، وحقّق شرط حصول أجر قيام ليلة بانصرافه مع الإمام، وليس عليه أن يصلي مع إمام آخر، في آخر الليل؛ لأن الصلاة الأولى تامة كاملة. ومن أراد أن يصلي الصلاتين طلبا لمزيد الأجر: فقد أحسن، غير أنه لا يصلي الوتر مرتين، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك. Kesepuluh: Standar Mendapatkan Salat Malam Bersama Imam hingga Selesai Standarnya adalah dengan seseorang bermakmum dengan imamnya sampai imam menyelesaikan seluruh salatnya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([58]) Barang siapa yang salat bersama jemaah pertama sebanyak dua puluh rakaat lalu salat Witir bersama imamnya, maka ia telah menyempurnakan salat Tarawih dan Witir bersama imam, dan telah memenuhi syarat memperoleh pahala salat semalam penuh karena dia telah menyelesaikan salatnya bersama imam. Dia tidak perlu salat lagi bersama imam lain di akhir malam, karena salat berjamaah pertama itu sudah sempurna. Barang siapa yang ingin salat dua kali karena ingin mendapat tambahan pahala, maka itu lebih baik, hanya saja ia tidak boleh salat Witir dua kali, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang hal itu. وقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله:إذا صلى الإنسان في رمضان مع من يصلي ثلاثا وعشرين ركعة واكتفى بإحدى عشرة ركعة ولم يتم مع الإمام، فهل فعله هذا موافق للسنة؟ فأجاب: “السنة الإتمام مع الإمام، ولو صلى ثلاثا وعشرين؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة، وفي اللفظ الآخر: (بقية ليلته). فالأفضل للمأموم أن يقوم مع الإمام حتى ينصرف، سواء صلى إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة أو ثلاثا وعشرين أو غير ذلك، هذا هو الأفضل أن يتابع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([59]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Jika seseorang salat bersama jemaah yang salat 23 rakaat di bulan Ramadan, lalu dia berhenti pada rakaat kesebelas dan tidak menyelesaikannya bersama imam, apakah tindakan ini sesuai dengan sunah? Beliau menjawab bahwa yang sunah adalah menyelesaikan salat bersama imam, meskipun imamnya salat 23 rakaat, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” Dalam riwayat lain disebutkan, ” … (pahala) salat di sisa malamnya itu.” Jadi, yang afdal bagi makmum adalah salat bersama imam sampai ia selesai, baik imamnya salat 11, 13, 23, atau jumlah rakaat yang lain. Selesai kutipan ([59]) وقال الشيخ ابن جبرين رحمه الله: ” قيام رمضان يحصل بصلاة جزء من كل ليلة، كنصفها أو ثلثها، سواء كان ذلك بصلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث وعشرين، ويحصل القيام بالصلاة خلف إمام الحي حتى ينصرف، ولو في أقل من ساعة . وكان الإمام أحمد يُصلي مع الإمام ولا ينصرف إلا معه، عملاً بالحديث، فمن أراد هذا الأجر فعليه أن يصلي مع الإمام حتى يفرغ من الوتر، سواء صلى قليلاً أو كثيراً ، وسواء طالت المدة أو قصرت” انتهى ([60]). Syekh Ibnu Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam di bulan Ramadan bisa dilakukan dengan salat di sebagian malam di seluruh malamnya, seperti di setengah atau sepertiga malam, baik dengan 11 atau 23 rakaat. Salat ini bisa dilakukan dengan bermakmum pada imam setempat sampai dia selesai, meskipun dalam waktu kurang dari satu jam. Imam Ahmad dahulu salat bersama imam dan tidak akan menyelesaikannya kecuali bersamanya dalam rangka mengamalkan hadis. Barang siapa menginginkan pahala ini, maka dia harus salat bersama imam sampai selesai dari salat Witir, baik salatnya itu dengan sedikit atau banyak rakaat, dan baik durasinya panjang atau pendek. Selesai kutipan ([60]). لكن: هل يحصل له الأجر الوارد في الحديث إذا صلى نصف التراويح في مسجد ونصفها في آخر لظروف العمل؟ سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا كان الرجل في رمضان يصلي أول الليل في مسجد وآخر الليل في مسجد هل يكون الأجر مثله؟ فأجاب: قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم:)من قام مع الإمام حتى ينصرف-يعني: في قيام رمضان- كتب له قيام ليلة). Namun, apakah dia akan mendapat pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut jika dia melaksanakan separuh salat Tarawih di satu masjid dan separuhnya lagi di masjid lain karena tuntutan kerja? Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Jika seseorang pada bulan Ramadan salat di awal malam di masjid dan di akhir malam di masjid lain, apakah pahalanya seperti itu pula?” Beliau menjawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai (salat malam di bulan Ramadan), maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.  فإذا صلى مع الإمام الأول، ثم صلى مع الثاني: لم يصدق عليه أنه صلى مع الإمام حتى ينصرف؛ لأنه جعل قيامه بين رجلين. فيقال له: إما أن تقوم مع هذا من أول الليل إلى آخره، وإما أن يفوتك الأجر” انتهى ([61]). وعليه: إذا كانت ظروف العمل لا يتمكن معها المصلي من صلاة التراويح كاملة في مسجد واحد، فيرجى له الأجر على نيته المقترنة بما يقدر عليه من عمل.  Maka dari itu, jika dia salat dengan imam pertama, kemudian salat lagi dengan imam kedua, maka tidak benar bahwa dia telah bersama imam sampai imamnya selesai, karena salatnya bermakmum pada dua orang. Jadi, dikatakan kepadanya, “Anda harus bermakmum kepada satu orang imam yang salat di awal waktu sampai dia selesai salat, atau jika tidak demikian, maka Anda kehilangan pahala tersebut.” Selesai kutipan ([61]) Dengan demikian, jika tuntutan kerjanya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa salat Tarawih secara sempurna hingga selesai di satu masjid, maka semoga dia diberi pahala atas niatnya karena sudah dibarengi dengan usaha semampu yang bisa dia kerjakan. فإن كان في المسجد الواحد إمامان لصلاة التراويح أو التهجد، فالانصراف يتحقق بالصلاة مع الإمامين معا: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “هل الإمامان في مسجد واحد يعتبر كل واحد منهم مستقلاً، أو أن كل واحد منهما نائب عن الثاني؟ الذي يظهر الاحتمال الثاني – أن كل واحد منهما نائب عن الثاني مكمل له، وعلى هذا فإن كان المسجد يصلي فيه إمامان فإن هذين الإمامين يعتبران بمنزلة إمام واحد، فيبقى الإنسان حتى ينصرف الإمام الثاني، لأننا نعلم أن الثانية مكملة لصلاة الأول” ([62]). Jika ada dua imam dalam satu masjid untuk salat Tarawih dan Tahajud, maka dikatakan bahwa dia selesai salat bersama imam adalah dengan mengikuti kedua imam tersebut. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Apakah dua imam dalam satu masjid dianggap masing-masing dan terpisah, atau masing-masing saling mewakili yang lain? Yang lebih tepat adalah kemungkinan yang kedua, bahwa masing-masing saling mewakili yang lain dan saling melengkapi. Oleh karena itu, jika masjid tersebut ada salat yang dipimpin oleh dua orang imam, maka dua imam tersebut dianggap satu imam, sehingga seseorang hendaknya tetap salat sampai imam kedua selesai, karena kita tahu bahwa imam kedua ini menyempurnakan salat imam yang pertama.” ([62]) الأحكام المتعلقة بصلاة الوتر Hukum-Hukum Seputar Salat Witir صلاة الوتر من أعظم القربات إلى الله تعالى، حتى رأى بعض أهل العلم –وهم الأحناف– بوجوبها، ولكن الصحيح بأنها سنة مؤكدة، ينبغي على المسلم المحافظة عليها وعدم تركها. Salat Witir merupakan salah satu amalan ibadah teragung untuk mendekatkan diri kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, bahkan sebagian ulama —yaitu ulama Hanafi— berpendapat bahwa hukumnya wajib. Namun yang benar bahwa hukumnya sunah muakadah, yang seyogianya dijaga dan tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. المسألة الأولى: حكم صلاة الوتر. صلاة الوتر سنة مؤكدة عند جمهور العلماء، ومن الفقهاء من أوجبها . ويدل على عدم وجوبها: ما رواه البخاري ومسلم عن طَلْحَةَ بْن عُبَيْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ: (الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا) ولفظ مسلم: (خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لا، إِلا أَنْ تَطَوَّعَ) ([63]).  Pembahasan Pertama: Hukum Salat Witir Salat Witir termasuk sunah muakadah menurut mayoritas ulama, tetapi ada sebagian fukaha yang mewajibkannya. Dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya tidak wajib adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Thalhah bin Ubaidullah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku salat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Salat lima waktu dalam sehari semalam.” Dia bertanya, “Apakah ada kewajiban (salat) lain bagiku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” ([63]) قال النووي رحمه الله: “فِيهِ: أَنَّ صَلاة الْوِتْر لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ” انتهى ([64]).  وقال الحافظ رحمه الله في “الفتح”: “فيه: أَنَّهُ لا يَجِب شَيْء مِنْ الصَّلَوَات فِي كُلّ يَوْم وَلَيْلَة غَيْر الْخَمْس, خِلافًا لِمَنْ أَوْجَبَ الْوِتْر أَوْ رَكْعَتَيْ الْفَجْر” انتهى ([65]).  ومع ذلك فهي آكد السنن ، فقد أمر بها النبي صلى الله عليه وسلم في غير ما حديث . روى مسلم عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([66]).  An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini menunjukkan bahwa salat Witir tidak wajib. Selesai kutipan. ([64]) Al-Hafiz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Fath bahwa dalam hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun salat yang wajib dilakukan setiap siang dan malam selain salat lima waktu. Pendapat ini berbeda dengan mereka yang mewajibkan salat Witir atau dua rakaat fajar. Selesai kutipan. ([65]) Ini termasuk salat sunah muakadah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya kepada kita dalam beberapa hadis. Muslim meriwayatkan dari Abu Said —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([66]) وروى أبو داود: عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، أَوْتِرُوا، فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ) ([67]).  ولهذا فينبغي المحافظة عليها حضرا وسفرا، كما كان يفعل صلى الله عليه وسلم، فقد روى البخاري ومسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: (كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاةَ اللَّيْلِ إِلا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ) ([68]).  Abu Dawud meriwayatkan dari Ali —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Wahai ahli al-Quran, lakukanlah salat Witir, karena Allah itu witir (baca:ganjil, yakni satu) dan Mencintai witir. ([67]) Oleh karena itu, salat ini selayaknya dijaga saat mukim maupun saat safar, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat saat safar di atas tunggangannya ke mana pun tunggangannya menghadapkan beliau dengan isyarat tubuh untuk salat malam, kecuali untuk salat wajib, dan beliau juga salat Witir di atas tunggangannya.” ([68])  قال ابن قدامة رحمه الله: “الوتر غير واجب وبهذا قال مالك والشافعي. وقال أبو حنيفة: هو واجب”. ثم قال: “قال أحمد: من ترك الوتر عمدا فهو رجل سوء، ولا ينبغي أن تقبل له شهادة، وأراد المبالغة في تأكيده لما قد ورد فيه من الأحاديث في الأمر به، والحث عليه ” انتهى بتصرف ([69]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Witir tidak wajib. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan Syafii. Abu Hanifah berkata, “hukumnya wajib.” Kemudian dia berkata bahwa Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan kesaksiannya selayaknya tidak diterima.” Maksudnya beliau ingin menguatkan statusnya yang sunah muakadah karena ada banyak hadis yang memerintahkan dan mendorong untuk mengerjakan salat ini. ([69]) وسئل علماء اللجنة الدائمة: هل صلاة الوتر واجبة وهل الذي يصليها يوماً ويتركها اليوم الآخر يؤاخذ ؟ فأجابوا: ” صلاة الوتر سنة مؤكدة، ينبغي أن يحافظ المؤمن عليها، ومن يصليها يوما ويتركها يوما لا يؤاخذ، لكن ينصح بالمحافظة على صلاة الوتر ثم يشرع له أن يصلي بدلها من النهار ما فاته شفعا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك، كما ثبت عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا شغله نوم أو مرض عن صلاة الليل صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة. خرجه مسلم في صحيحه، وكان صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل غالبا إحدى عشرة ركعة، يسلم من كل اثنتين ويوتر بواحدة، فإذا شغل عن ذلك بنوم أو مرض صلى من النهار اثنتي عشرة ركعة، كما ذكرت ذلك رضي الله عنها، وعلى هذا إذا كانت عادة المؤمن في الليل خمس ركعات فنام عنها أو شغل عنها بشيء شُرع له أن يصلي من النهار ست ركعات يسلم من كل اثنتين، وهكذا إذا كانت عادته ثلاثا صلى أربعا بتسليمتين، وإذا كانت عادته سبعا صلى ثمان يسلم من كل اثنتين” انتهى ([70]).  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah ditanya, “Apakah salat Witir itu wajib, dan apakah orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya akan mendapatkan hukuman?” Mereka menjawab bahwa salat Witir itu sunah muakadah. Hendaknya orang mukmin memeliharanya. Orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya tidak akan mendapatkan hukuman. Hanya saja, disarankan agar salat Witir dipelihara dan disyariatkan agar dia menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap jika dia melewatkannya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu juga melakukan demikian, sebagaimana disebutkan dalam riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat salat malam karena tertidur atau sakit, maka beliau salat dua belas rakaat di siang hari. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam seringnya salat sebelas rakaat di malam hari dengan satu salam setiap dua rakaat lalu salat Witir satu rakaat. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat melakukannya karena tertidur atau sakit, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat dua belas rakaat di siang hari. Ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Oleh sebab itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan di malam hari salat lima rakaat, tetapi tertidur atau tidak sempat melakukannya karena suatu kesibukan, disyariatkan baginya untuk salat enam rakaat di siang hari dengan satu salam setiap dua rakaat. Pun jika kebiasaannya adalah salat tiga rakaat, hendaknya dia salat empat rakaat dengan dua kali salam. Jika kebiasaannya adalah salat tujuh rakaat, hendaknya dia salat delapan rakaat dengan sekali salam setiap dua rakaat. Selesai kutipan ([70]). المسألة الثانية: وقت الوتر: يبدأ من بعد صلاة العشاء، ولو كانت مجموعة إلى المغرب تقديماً، إلى طلوع الفجر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ) ([71]). فإذا طلع الفجر خرج وقتها، بدليل قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([72]). وروى مسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ) ([73]). Pembahasan Kedua: Waktu Salat Witir Waktu salat Witir dimulai setelah salat Isya —meskipun salat Isyanya dijamak dengan salat magrib di awal waktu— hingga terbit fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah telah Menganugerahi kepada kalian satu salat, yaitu salat Witir, yang Allah Jadikan waktunya bagi kalian antara salat Isya sampai terbit fajar.” ([71]). Ketika fajar tiba, maka sudah habis waktunya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([72]). Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Segeralah salat Witir sebelum subuh.” ([73]). وروى مسلم: أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ) ([74]). وروى الترمذي: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ، فَأَوْتِرُوا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ) ([75]). وروى البخاري ومسلم: أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (صَلَاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([76]). قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “فدل على أن الوتر ينتهي وقته بطلوع الفجر، ولأنه صلاة تختم به صلاة الليل فلا تكون بعد انتهائه” ([77]). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([74]). At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Ketika fajar terbit, maka telah berlalu semua salat malam dan Witir.” ([75]). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([76]) Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hal ini menunjukkan bahwa waktu salat Witir berakhir saat terbitnya fajar dan bahwa salat ini menjadi penutup salat malam sehingga tidak ada lagi (salat malam) setelah (Witir) dikerjakan.” ([77]). وذهب بعض العلماء إلى أن وقته يمتد بعد طلوع الفجر حتى يصلي الصبح ، واستدلوا بما ورد عن بعض الصحابة أنهم صلوا الوتر بعد طلوع الفجر وقبل إقامة الصلاة . قال ابن رشد القرطبي رحمه الله:”وأما وقته -أي: الوتر-: فإن العلماء اتفقوا على أن وقته من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر لورود ذلك من طرق شتى عنه عليه الصلاة والسلام، ومن أثبت ما في ذلك ما خرجه مسلم عن أبي نضرة العوفي أن أبا سعيد أخبرهم أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم عن الوتر فقال ‏(‏الوتر قبل الصبح)‏، ‏واختلفوا في جواز صلاته بعد الفجر، فقوم منعوا ذلك، وقوم أجازوه ما لم يصل الصبح، وبالقول الأول قال أبو يوسف ومحمد بن الحسن صاحبا أبي حنيفة وسفيان الثوري، وبالثاني قال الشافعي ومالك وأحمد‏.‏ وسبب اختلافهم معارضة عمل الصحابة في ذلك بالآثار … Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat Witir ada sampai terbitnya fajar hingga seseorang melaksanakan salat Subuh. Mereka berdalil dengan riwayat sebagian Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa mereka salat Witir setelah terbitnya fajar dan sebelum ikamat salat Subuh. Ibnu Rusyd al-Qurtubi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa para ulama sepakat bahwa waktunya—yakni witir—adalah setelah salat Isya sampai terbitnya fajar, karena ada banyak riwayat dari berbagai jalur dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun riwayat yang paling sahih dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Naḏhrah al-ʿAufi bahwa Abu Said mengabarkan kepada mereka bahwa mereka pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat Witir, lantas beliau menjawab, “Salat Witir itu sebelum subuh.” Para ulama berselisih tentang kebolehan salat setelah terbit fajar. Ada yang melarangnya dan ada pula yang membolehkannya selama belum salat Subuh. Pendapat pertama menjadi pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan dua sahabat Abu Hanifah, serta Sufyan ats-Tsauri. Pendapat kedua adalah pendapat Syafii, Malik, dan Ahmad. Latar belakang silang pendapat ini adalah perbedaan antara praktik para Sahabat dengan berbagai riwayat tentang hal ini. والذي عندي في هذا: أن هذا من فعلهم ليس مخالفا للآثار الواردة في ذلك – أعني: في إجازتهم الوتر بعد الفجر – بل إجازتهم ذلك هو من باب القضاء لا من باب الأداء، وإنما يكون قولهم خلاف الآثار لو جعلوا صلاته بعد الفجر من باب الأداء فتأمل هذا … ” ([78]). وقال الشيخ ابن باز رحمه الله:”والأحاديث في هذا الباب كثيرة، وهي دالة على أن الوتر ينتهي بطلوع الفجر” ([79]). Menurut saya dalam masalah ini bahwa perbuatan mereka yakni bolehnya salat Witir setelah fajar, tidaklah bertentangan dengan riwayat-riwayat dalam masalah ini, karena mereka yang membolehkan ini adalah dalam rangka mengqada salat Witir, bukan mengerjakan pada waktunya. Pendapat mereka ini baru bertentangan dengan riwayat jika salat mereka setelah fajar dimaknai mengerjakan salat pada waktunya. Silakan renungkan hal ini. …” ([78]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis-hadis dalam masalah ini ada banyak, yang menunjukkan bahwa witir berakhir ketika terbit fajar ([79]). وأفضل وقت لصلاة الوتر: آخر الليل لمن طمع أن يقوم من آخره؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ) ([80]). قال النووي رحمه الله: “وهذا هو الصواب، ويُحمل باقي الأحاديث المطلقة على هذا التفضيل الصحيح الصريح، فمن ذلك حديث: (أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر). وهو محمول على من لا يثق بالاستيقاظ” ([81]). Faedah: Waktu Terbaik untuk Salat Witir Waktu terbaik untuk salat Witir adalah di akhir malam bagi orang yang ingin salat di akhir malam, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamnya, “Barang siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal malam. Adapun bagi yang yakin mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena salat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan itu yang afdal ([80]). An-Nawawi —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa inilah yang benar. Hadis-hadis lain yang sifatnya mutlak maknanya dibawa kepada rincian yang benar dan jelas ini. Di antaranya adalah hadis, “Kekasihku mewasiatkan kepadaku agar aku tidak tidur kecuali telah witir.” (HR. Bukhari) Hadis ini dibawa maknanya kepada orang yang tidak yakin bisa terbangun. ([81]) المسألة الثالثة: عدد ركعات الوتر: أقل الوتر ركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ)([82])، وقوله عليه الصلاة والسلام: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى) ([83]). ويجوز الوتر بثلاث وبخمس وبسبع وبتسع وبأحد عشر. Pembahasan Ketiga: Jumlah Rakaat Salat Witir Rakaat minimal salat Witir adalah satu rakaat, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([82]) Juga sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika khawatir masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menutup salatnya.” ([83]). Witir boleh dikerjakan dalam tiga, lima, tujuh, sembilan, atau sebelas rakaat. فإن أوتر بثلاث فله صفتان كلتاهما مشروعة ([84]): الأولى: أن يسرد الثلاث بتشهد واحد؛ لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر”، وفي لفظ: ” كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن” ([85]).  قال النووي رحمه الله: “رواه النسائي بإسناد حسن، والبيهقي بإسناد صحيح” ([86]). Jika seseorang salat Witir tiga rakaat, maka ada dua cara yang sama-sama disyariatkan. ([84]): Pertama, langsung tiga rakaat dengan satu tasyahud, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak salam pada dua rakaat witir.” Dalam riwayat lain, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir tiga rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat.” ([85]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa an-Nasai meriwayatkan dengan sanad yang hasan dan al-Baihaqi dengan sanad yang sahih ([86]). الثانية: أن يسلّم من ركعتين ثم يوتر بواحدة؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنه كان يفصل بين شفعه ووتره بتسليمة، وأخبر أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يفعل ذلك ([87]). وقال ابن حجر رحمه الله: إسناده قوي([88]). وأما إذا أوتر بخمس أو بسبع؛ فإنها تكون متصلة، ولا يتشهد إلا تشهداً واحداً في آخرها ويسلم، لحديث أم سلمة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يوتر بخمس وبسبع ولا يفصل بينهن بسلام ولا كلام” ([89]). Kedua, dengan salam setelah dua rakaat, lalu mengerjakan witir satu rakaat, berdasarkan riwayat Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau memisahkankan rakaat genapnya (dua rakaat) dan rakaat ganjilnya (satu rakaat) dengan salam. Dia meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan demikian ([87]). Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa sanadnya kuat ([88]). Adapun seseorang witir dengan lima atau tujuh rakaat, maka bisa bersambung tanpa tasyahud kecuali sekali di akhir rakaat lalu salam, berdasarkan hadis Ummu Salamah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir dengan lima atau tujuh rakaat tanpa memisahkan keduanya dengan salam atau ucapan tertentu ([89]). روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها ([90]) وإذا أوتر بتسع فإنها تكون متصلة ويجلس للتشهد في الثامنة، ثم يقوم ولا يسلم ويتشهد في التاسعة ويسلم؛ لما روته عائشة رضي الله عنها: “أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لا يَجْلِسُ فِيهَا إِلا فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا” ([91]). وإن أوتر بإحدى عشرة، فإنه يسلم من كل ركعتين، ويوتر منها بواحدة. Aisyah —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan dengan mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat malam tiga belas rakaat termasuk witir dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat akhir ([90]). Jika seseorang salat Witir sembilan rakaat, maka bersambung terus dan duduk tasyahud di rakaat kedelapan lalu berdiri lagi tanpa salam dulu, kemudian duduk tasyahud di rakaat kesembilan lalu salam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah salat sembilan rakaat tanpa duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk melakukan rakaat yang kesembilan, kemudian duduk melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, lalu salam dengan salam yang bisa kami dengar ([91]). Jika ia salat Witir sebanyak sebelas rakaat, maka ia salam setiap dua rakaat, lalu melakukan witir dengan satu rakaat. وأدنى الكمال في الوتر: أن يصلي ركعتين ويسلّم، ثم يأتي بواحدة ويسلم، ويجوز أن يجعلها بسلام واحد، لكن بتشهد واحد لا بتشهدين، كما سبق. فكل هذه الصفات في صلاة الوتر قد جاءت بها السنة، والأكمل أن لا يلتزم المسلم صفة واحدة، بل يأتي بهذه الصفة مرة وبغيرها أخرى. وقد ظن بعض الناس أن هذه الأحاديث التي ذكرت بعض كيفيات الوتر معارضة لما ثبت في الصحيحين من قول النبي صلى الله عليه وسلم (صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى) وليس الأمر كذلك؛ لأن هذا الحديث وارد في صلاة قيام الليل ، وهذه الأحاديث إنما هي في صلاة الوتر . Kesempurnaan minimal dalam mengerjakan salat Witir adalah salat dua rakaat lalu salam, kemudian mengerjakan satu rakaat lalu salam. Boleh juga mengerjakannya dengan satu salam, tetapi dengan satu tasyahud, bukan dua kali, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Semua cara salat Witir tersebut warid dalam Sunah. Cara yang paling sempurna adalah dengan seorang muslim tidak terpaku pada satu cara saja, melainkan sesekali dengan cara tertentu dan sesekali cara yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa hadis-hadis yang menyebutkan beberapa tata cara salat Witir ini saling kontradiktif dengan riwayat sahih dalam kitab Shahihain yang menyebutkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” padahal tidak demikian. Hadis ini adalah tentang salat malam, sementara hadis-hadis tersebut adalah tentang salat Witir. قال ابن القيم رحمه الله بعد أن ساق أحاديث في أنواع وتره صلى الله عليه وسلم: ” وكلها أحاديث صحاح صريحة لا معارض لها, فَرُدَّتْ هذه بقوله صلى الله عليه وسلم: (صلاة الليل مثنى مثنى) وهو حديث صحيح, ولكن الذي قاله هو الذي أوتر بالتسع والسبع والخمس, وسننه كلها حق يصدق بعضها بعضا, فالنبي صلى الله عليه وسلم أجاب السائل له عن صلاة الليل بأنها: (مَثْنَى مَثْنَى) ولم يسأله عن الوتر، وأما السبع والخمس والتسع والواحدة فهي صلاة الوتر، والوتر اسم للواحدة المنفصلة مما قبلها وللخمس والسبع والتسع المتصلة, كالمغرب اسم للثلاث المتصلة, فإن انفصلت الخمس والسبع بسلامين كالإحدى عشرة كان الوتر اسما للركعة المفصولة وحدها, كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى, فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ أَوْتَرَ بِوَاحِدَةٍ تُوتِرُ لَهُ مَا صَلَّى) فاتفق فعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وصدَّق بعضُه بعضاً” انتهى ([92]). وصلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالفها في الكيفية كما سبق بيانه. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya—, setelah mengutip hadis-hadis tentang berbagai jenis cara salat Witir, mengatakan bahwa semua hadis tersebut adalah hadis sahih dan jelas yang tidak saling kontradiktif. Pendapat ini dibantah dengan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” yang juga merupakan hadis sahih. Hanya saja, yang beliau katakan ini adalah tentang orang yang mengerjakan witir dengan sembilan, tujuh, dan lima rakaat. Sunah beliau semua benar dan saling membenarkan. Di sini Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang menjawab penanya yang bertanya kepada beliau tentang salat malam itu, yang caranya dua (rakaat) dua (rakaat), bukan bertanya tentang witir. Adapun rakaat yang jumlahnya sembilan, tujuh, lima, atau satu adalah untuk salat Witir. Witir adalah istilah untuk menyebut satu rakaat yang terpisah dari rakaat-rakaat yang sebelumnya dan untuk menyebut lima, tujuh, atau sembilan rakaat yang bersambung tersebut, sebagaimana Magrib adalah istilah untuk menyebut tiga rakaat yang bersambung. Adapun jika lima dan tujuh rakaat ini dipisahkan dengan salam, sebagaimana sebelas rakaat, maka witir adalah nama untuk untuk menyebut satu rakaat yang terpisah saja, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” Jadi, perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersesuaian dengan sabda beliau dan saling membenarkan. Selesai kutipan ([92]) Salat Witir merupakan bagian dari salat malam, namun berbeda tata caranya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. المسألة الرابعة: القراءة في الوتر: يقرأ في الركعة الأولى من الثلاث: سورة (سبح اسم ربك الأعلى) كاملة. وفي الثانية: الكافرون. وفي الثالثة: الإخلاص. فعن أبي بن كعب رضي الله عنه قال: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ” ([93]). واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Pembahasan Keempat: Bacaan dalam Salat Witir Bacaan pada rakaat pertama dari tiga rakaat salat Witir adalah surah sabbiẖisma rabbikal aʾlā (al-A’la) secara keseluruhan. Pada rakaat kedua membaca surah al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salat Witir membaca sabbiẖisma rabbikal aʾlā, qul yā ayyuhal kāfirūn, dan qul huwallāhu aẖad. ([93]).  واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Sebagian ulama menganjurkan untuk membaca Muʿawwidzatain (an-Nas dan al-Falaq) setelah surah al-Ikhlas pada rakaat ketiga. Ibnul Mundzir —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ketika seseorang menunaikan salat Witir tiga rakaat, maka hendaknya dia mengerjakan dua rakaat dengan rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā …,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn …,” kemudian salam. Kemudian, dia mengerjakan rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad …” dan Muʿawwidzatain. Selesai kutipan ([94]). واستدلوا بما رواه الترمذي: عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت: بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فقَالَتْ: (كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ) ([95]). وقد صحح هذا الحديث: الحاكم ووافقه الذهبي، وحسنه الحافظ ابن حجر في “نتائج الأفكار” وصححه الألباني في صحيح الترمذي . وضعفه الإمام أحمد ويحيى بن معين والعقيلي والشوكاني وغيرهم . Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah ditanya, “Dengan (bacaan) apa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir?” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab bahwa beliau di rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad” disertai Muʿawwidzatain. ([95]). Hadis ini dinilai sahih oleh al-Hakim dan disetujui oleh az-Zahabi, dinilai hasan oleh a-Hafiz Ibnu Hajar dalam Natāʾij al-Afkār, dan dinilai sahih juga oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, asy-Syaukani dan lain-lain menilainya lemah. قال ابن قدامة رحمه الله: “ويستحب أن يقرأ في ركعات الوتر الثلاث، في الأولى بـ (سبح)، وفي الثانية: (قل يا أيها الكافرون)، وفي الثالثة: (قل هو الله أحد) وبه قال الثوري وإسحاق وأصحاب الرأي، وقال الشافعي: يقرأ في الثالثة: (قل هو الله أحد) والمعوذتين، وهو قول مالك في الوتر ، وقال في الشفع: لم يبلغني فيه شيء معلوم، وقد روي عن أحمد أنه سئل: يقرأ بالمعوذتين في الوتر ؟ قال: ولِمَ لا يقرأ ؟… وحديث عائشة في هذا لا يثبت، فإنه يرويه يحيى بن أيوب وهو ضعيف ، وقد أنكر أحمد ويحيى بن معين زيادة المعوذتين” انتهى ([96]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tiga rakaat witir dianjurkan untuk membaca pada rakaat pertama “sabbiẖ,” pada rakaat kedua, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga, “qul huwallāhu aẖad.” Inilah pendapat ats-Tsauri, Ishaq, dan para Aṣhāb ar-Raʾyi. Syafii berkata bahwa pada rakaat ketiga membaca “qul huwallāhu aẖad” dan Muʿawwidzatain. Ini juga pendapat Malik tentang salat Witir. Adapun tentang salat dengan rakaat yang genap dia mengatakan, “Tidak ada penjelasan yang diketahui yang sampai kepadaku.” Diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia ditanya tentang membaca Muʿawwidzatain dalam salat Witir? Dia menjawab, “Kenapa tidak?” Sementara hadis Aisyah dalam masalah ini tidak sahih, karena diriwayatkan oleh Yahya bin Ayub. Dia lemah. Ahmad dan Yahya bin Ma’in mengingkari tambahan redaksi penambahan Muʿawwidzatain ini. Selesai kutipan ([96]). وقول الإمام أحمد رحمه الله: ولِمَ لا يقرأ ؟ يعني: مع ضعف الحديث، فلا حرج عليه إذا قرأ المعوذتين مع قل هو الله أحد في الركعة الثالثة، وإن كان الأصح أن يقتصر على (قل هو الله أحد) فقط . وبالرغم من ورود حديث ابن عباس وأبي بن كعب وعائشة رضي الله عنهما في قراءة الرسول صلى الله عليه وسلم هذه السور الثلاثة فقد اختلف العلماء في ذلك فذهب أبو حنيفة إلى أنه يقرأ في الوتر ما يشاء، وكذا الإمام مالك، في ركعتي الشفع، كما ذكره ابن قدامة عنه، وقد نقلناه آنفاً. Perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— “Kenapa tidak?” Maknanya meskipun hadisnya lemah sekalipun, tidak mengapa membaca Muʿawwidzatain dan qul huwallāhu aẖad pada rakaat ketiga, walaupun yang lebih tepat adalah cukup qul huwallāhu aẖad saja. Meskipun ada riwayat dalam hadis Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Aisyah —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang membaca ketiga surah ini. Pun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang bebas membaca apa yang dia inginkan dalam salat Witir di dua rakaat yang genap. Begitu pula Imam Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah darinya, sebagaimana yang telah kami kutip tadi. وهو قول بعض التابعين كإبراهيم النخعي رحمه الله، فقد روى عبد الرزاق في “المصنَّف” (3/34) عن إبراهيم النخعي قال: اقرأ فيهن ما شئت، ليس فيهن شيء موقوت”. أي: محدد . وجاء في ” المدونة ” (1 /212): وقال مالك: الوتر واحدة، والذي أقر به وأقرأ به فيها في خاصة نفسي: (قل هو الله أحد)، و (قل أعوذ برب الفلق)، و (قل أعوذ برب الناس) في الركعة الواحدة مع أمِّ القرآن: قال ابن القاسم: وكان لا يفتي به أحدا، ولكنه كان يأخذ به في خاصة نفسه”. انتهى. Ini juga menjadi pendapat sebagian Tabiin, seperti Ibrahim an-Nakha’i —Semoga Allah Merahmatinya—. Abdurrazzaq meriwayatkan dalam al-Muṣhannaf (3/34) dari Ibrahim an-Nakha’i yang mengatakan, “Bacalah sekehendakmu, karena tidak ada ketentuan khusus.” Disebutkan dalam al-Mudawwanah (1/212) bahwa Malik berkata, “Dalam witir satu rakaat, untukku sendiri, aku membaca Qul huwallāhu aẖad, Qul aʿūdzubil falaq, dan Qul aʿūdzubi rabbinnās dalam satu rakaat itu disertai Ummul Qur’an (al-Fatihah).” Ibnul Qasim berkata bahwa dia tidak pernah memfatwakan itu kepada seorang pun, melainkan untuk dia amalkan sendiri. Selesai kutipan. وظاهر هذا، أنه لم يثبت شيء عند الإمام مالك رحمه الله في القراءة في الوتر، وإلا كان أفتى به . ومن أوتر بواحدة، فإنه يقرأ ما شاء بعد الفاتحة، وليس هناك قراءة معينة وردت بها السنة، وإذا قرأ ب” قل هو الله أحد ” فلا حرج عليه ([97]). Dengan demikian, tampaknya menurut Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya— tidak ada riwayat yang sahih mengenai bacaan dalam witir (satu rakaat), kalau bukan begitu, tentu dia akan memfatwakannya. Maka dari itulah, barang siapa yang salat Witir dengan satu rakaat, maka ia boleh membaca apa saja yang diinginkannya setelah surah al-Fatihah, dan tidak ada bacaan khusus yang disebutkan dalam Sunah. Jika ia membaca Qul huwallāhu aẖad pun tidak masalah ([97]). المسألة الخامسة: دعاء القنوت: دعاء القنوت يكون في الركعة الأخيرة من صلاة الوتر بعد الركوع، وإن جعله قبل الركوع فلا بأس، إلا أنه بعد الركوع أفضل. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “أكثر الأحاديث والذي عليه أكثر أهل العلم أن القنوت بعد الركوع، وإن قنت قبل الركوع فلا حرج” انتهى ([98]). Pembahasan Kelima: Doa Kunut Doa kunut terletak pada rakaat terakhir salat Witir setelah rukuk. Tidak mengapa juga jika dilakukan sebelum rukuk, tetapi setelah rukuk lebih baik. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa kebanyakan hadis dan mayoritas ulama mengatakan bahwa kunut itu setelah rukuk. Jika seseorang kunut sebelum rukuk pun tidak mengapa. Selesai kutipan. ([98]) والأفضل عدم المداومة على القنوت، بل يقنت الشخص أحيانا ويترك أحيانا. قال الألباني رحمه الله: “وكان صلى الله عليه وسلم يقنت أحيانا… وإنما قلنا: “أحيانا” لأن الصحابة الذين رووا الوتر لم يذكورا القنوت فيه، فلو كان صلى الله عليه وسلم يفعله دائما لنقلوه جميعا عنه. نعم، رواه أبي بن كعب وحده، فدل على أنه كان يفعله أحيانا” انتهى([99]). Lebih baik adalah tidak melakukan kunut secara kontinu, melainkan sesekali melakukannya dan sesekali meninggalkannya. Al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu kadang-kadang membaca kunut. Kami mengatakan “kadang-kadang” karena para Sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis tentang Witir tidak menyebutkan tentang kunut dalam riwayatnya. Seandainya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu melakukannya, tentu mereka semua akan meriwayatkan hal itu dari beliau. Ya, yang meriwayatkan adalah Ubay bin Ka’ab saja, sehingga menunjukkan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hanya melakukannya kadang-kadang. Selesai kutipan. ([99]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: ” ثبت عن أبي ابن كعب رضي الله عنه حين كان يصلي بالصحابة رضي الله عنهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يترك القنوت بعض الليالي، ولعل ذلك ليعلم الناس أنه ليس بواجب” انتهى ([100]). أما الإطالة في الدعاء فقد قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “الصحيح ألا يكون غلو ولا تقصير، فالإطالة التي تشق على الناس منهي عنها ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن معاذ بن جبل أطال الصلاة في قومه غضب عليه غضباً شديداً لم يغضب في موعظة مثله قط، وقال لمعاذ بن جبل: (يا معاذ أفتان أنت) ([101])،  Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari ayahnya Ibnu Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengimami para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— di masjid Nabawi, beliau pernah meninggalkan kunut beberapa malam. Mungkin itu maksudnya agar orang mengetahui bahwa itu tidaklah wajib. Selesai kutipan ([100]). Adapun tentang memanjangkan doa dalam kunut, maka syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkomentar bahwa yang benar adalah tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurangi juga. Memperpanjang doa yang menyusahkan orang-orang tidaklah dibolehkan. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendengar bahwa Muadz bin Jabal memperpanjang salat ketika mengimami kaumnya, maka beliau sangat marah padahal beliau tidak pernah sama sekali marah seperti itu saat menasihati orang. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, jangan membuat masalah!” ([101]). فالذي ينبغي أن يقتصر على الكلمات الواردة أو يزيد قليلا ولا يشق. ولا شك في أن الإطالة شاقة على الناس وترهقهم، ولاسيما الضعفاء منهم، ومن الناس من يكون وراءه أعمال، ولا يحب أن ينصرف قبل الإمام ويشق عليه أن يبقى مع الإمام، فنصيحتي لإخواني الأئمة أن يكونوا بين بين، كذلك ينبغي أن يترك الدعاء أحياناً حتى لا يظن العامة أن الدعاء واجب” ([102]). Jadi, yang seyogianya dilakukan adalah mencukupkan diri dengan doa-doa yang warid atau ditambah sedikit tanpa memberatkan orang. Tidak diragukan bahwa kunut yang lama itu memberatkan dan membebani manusia, terutama bagi orang-orang yang sudah lemah. Di tengah jemaah ada sebagian mereka yang pekerja yang tidak ingin meninggalkan salat sebelum imam selesai tapi sangat berat baginya untuk terus mengikuti imam. Maka dari itu, nasihat saya kepada saudara-saudaraku para imam masjid adalah bertindak pertengahan, dan sebaiknya dia sesekali meninggalkan kunut agar masyarakat tidak menyangka bahwa doa itu wajib. ([102])  المسألة السادسة: حكم التطوع بعد الوتر يستحب أن تكون آخر صلاة من الليل، هي الوتر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا) ([103]) ، والأمر في الحديث على سبيل الاستحباب والأفضلية وليس على سبيل الوجوب والإلزام؛ لما ثبت في صحيح مسلم: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كان يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بعد الوتر وَهُوَ جَالِسٌ ([104]). قال الشيخ ابن باز رحمه الله: “والحكمة في ذلك -والله أعلم- أن يبين للناس جواز الصلاة بعد الوتر” انتهى ([105]). Pembahasan Keenam: Hukum Salat Sunah setelah Salat Witir Disunahkan agar salat malam yang terakhir adalah salat Witir, berdasarkan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Jadikanlah salat terakhir kalian di malam hari adalah salat Witir.” ([103]) Perintah dalam hadis tersebut hanya bersifat anjuran dan keutamaan saja, bukan kewajiban dan keharusan, karena ada riwayat sahih dalam Sahih Muslim dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah salat dua rakaat setelah witir sambil duduk. ([104]) Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Hikmahnya di balik perbuatan itu —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah untuk menjelaskan kepada manusia kebolehan salat setelah salat Witir.” Selesai kutipan ([105]). ومن أحب أن يوتر من آخر الليل، فإنه يقوم بعد سلام الإمام فيصلي ركعة ثم يسلم. فقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: بعض الناس إذا صلى مع الإمام الوتر وسلم الإمام قام وأتى بركعة ليكون وتره آخر الليل، فما حكم هذا العمل ؟ وهل يعتبر انصرف مع الإمام؟ فأجاب: “لا نعلم في هذا بأساً، نص عليه العلماء، ولا حرج فيه حتى يكون وتره في آخر الليل. ويصدق عليه أنه قام مع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([106]). Barang siapa yang ingin menunaikan witir di penghujung malam, hendaknya ia berdiri setelah imam salam (dari salat Witir, pent.) lalu salat lagi satu rakaat, kemudian salam. Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya bahwa ada sebagian orang yang jika sedang salat Witir bersama imam lalu imam sudah salam, dia berdiri lagi lalu salat satu rakaat karena ingin witir di penghujung malam. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah ia dianggap selesai bersama imam? Beliau menjawab, “Yang kami ketahui itu tidak masalah. Para ulama telah menjelaskan hal itu. Hal itu tidak masalah karena ingin witir di akhir malam. Ia tetap dianggap salat bersama imam sampai imam selesai.” Selesai kutipan ([106]) مسائل متفرقة في صلاة التراويح والوتر 1- دعاء الاستفتاح، يكون لكل ركعتين من صلاة التراويح؛ لأن كل تسليمة صلاة مستقلة عن التي قبلها([107]). 2- يستحب أن يقول بعد وتره: “سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح” ثلاثا، ويمد صوته بها في الثالثة؛ لحديث عبد الرحمن بن أبزى رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم من الوتر، يقول: “سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثِ صَوْتَهُ”، وزاد الدارقطني: (رب الملائكة والروح) ([108]). Berbagai Permasalahan seputar Salat Tarawih dan Witir Doa istiftah dibaca setiap dua rakaat dalam salat Tarawih, karena setiap salam di setiap salat itu terpisah dari salat sebelumnya ([107]). Setelah salat Witir, dianjurkan untuk membaca, “Subẖānal malikil quddūs rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci, Tuhannya para malaikat dan arwah),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga, berdasarkan hadis Abdurrahman bin Abzi —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah salam dari salat Witir mengucapkan, “Subẖānal malikil quddūs (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga. Ad-Daraqutni menambahkan lafaz, “… rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Tuhannya para malaikat dan arwah).” ([108]). 3- لا حرج في الصلاة خلف من يوتر بثلاث ركعات بتشهدين وتسليمة واحدة، كهيئة صلاة المغرب، ولو صلى الشخص خلف غيره ممن لا يوتر على تلك الهيئة، فهذا حسن وأولى([109]). 4- إذا كان الإمام يشرع في التراويح مباشرة بعد العشاء، بحيث لا يستطيع من خلفه أن يصلي سنة العشاء، فالمأموم في هذه الحال بالخيار: أ. إما أن يؤخِّر راتبة العشاء بعد صلاة التراويح على أن لا يتعدى الوقت نصف الليل؛ لأنه به ينتهي وقت العشاء وراتبتها. ب. أو يصلِّي راتبة العشاء بين ركعات التراويح أثناء استراحة المصلين أو أثناء إلقاء موعظة، ولا يدخل هذا في نهي بعض أهل العلم عن التنفل بين ركعات التراويح؛ لأن هذه الصلاة راتبة ليست نفلاً مطلقاً. ج. أو يصليهما أول ركعتين من التراويح بنية راتبة العشاء ([110]). Tidak mengapa seseorang salat di belakang imam yang melaksanakan salat Witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahud dan satu salam—seperti tata cara salat Magrib. Jika dia bisa salat di belakang imam lain yang tidak begitu cara salat Witirnya, maka itu lebih baik dan lebih utama ([109]). Jika imam memulai salat Tarawih langsung setelah salat Isya, sehingga makmum yang berada di belakangnya tidak sempat menunaikan salat sunah bakda isya, maka makmum punya beberapa pilihan: Dia bisa menunda salat sunah rawatib isya setelah salat Tarawih usai, asalkan waktunya tidak melebihi tengah malam; karena itulah waktu akhir salat Isya dan salat rawatibnya. Dia bisa mengerjakan salat sunah rawatib isya di sela-sela rakaat-rakaat Tarawih ketika para jemaah sedang beristirahat atau ketika sedang ada ceramah. Ini tidak termasuk dalam larangan sebagian ulama yang melarang salat sunah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih, karena salat ini merupakan salat rawatib, bukan salat sunah mutlak. Dia bisa mengerjakan dua rakaat pertama salat Tarawih dengan niat salat sunah rawatib isya ([110]). 5-صلاة المرأة للتراويح في بيتها، أفضل؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ) ([111])، لكن لو خشيت من أن تكسل عن الصلاة بمفردها، فالأفضل لها في هذه الحال أن تصلي في المسجد مع الجماعة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “صلاتها التراويح في البيت أفضل، لكن إذا كانت صلاتها في المسجد أنشط لها وأخشع لها، وتخشى إن صلت في البيت أن تضيع صلاتها، فقد يكون المسجد هنا أفضل ” انتهى([112]). Salat Tarawih wanita adalah di rumahnya. Ini yang afdal, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Janganlah kalian halangi wanita-wanita kalian dari masjid, meskipun rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” ([111]) Namun jika dia khawatir malas salat sendirian, maka yang lebih baik baginya adalah salat berjamaah di masjid. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih bagi wanita lebih utama di rumah, tetapi jika salatnya di masjid membuatnya lebih semangat dan khusyuk, serta khawatir menyia-nyiakan salat jika mengerjakannya di rumah, maka barangkali dalam hal ini masjid lebih afdal baginya. Selesai kutipan. ([112]) 6-البلاد التي يتأخر فيها وقت العشاء، هل لهم أن يصلوا التراويح قبل العشاء؟ قال الشيخ البراك حفظه الله: “لا يجوز لهم أداء صلاة التراويح قبل صلاة العشاء ودخول وقتها. ولكن نظرا لتأخر وقت دخول العشاء عندهم: يجوز لهم الجمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم، ثم يصلون التراويح بعد ذلك ” انتهى([113]). Di negara-negara yang waktu salat Isyanya terlambat, bolehkah orang-orang salat Tarawih sebelum isya? Syekh al-Barrak —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan salat Tarawih sebelum salat Isya dan sudah masuk waktunya. Namun karena waktu isya di daerah mereka terlambat, maka diperbolehkan bagi mereka untuk menggabungkan salat Magrib dan isya di awal waktu, kemudian salat Tarawih. Selesai kutipan ([113]). 7-تستحب صلاة التراويح والوتر للمسافر كما تستحب للمقيم؛ لمواظبته صلى الله عليه وسلم عليهما في السفر والحضر، قال ابن القيم رحمه الله: “ولم يكن صلى الله عليه وسلم يدع قيام الليل حضرا ولا سفرا ” انتهى([114]). 8- لا حرج في تتبع المساجد؛ طلبا للصوت الحسن([115]). 9- بعض الناس يظن أن الشفع هو سنة العشاء البعدية، وليس الأمر كذلك. قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: “سنة العشاء البعدية وهي ركعتان، خلاف الشفع والوتر” انتهى([116]). Salat Tarawih dan Witir dianjurkan bagi musafir sebagaimana dianjurkan bagi orang yang mukim, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga kontinu melakukannya saat safar maupun mukim. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan salat malam saat safar maupun mukim.” Selesai kutipan. ([114]) Tidak mengapa pilah-pilih masjid untuk mencari suara (imam) yang bagus. ([115]) Sebagian orang mengira bahwa salat Tarawih dengan rakaat genap adalah salat sunah bakda isya, padahal tidak demikian. Ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ mengatakan bahwa salat sunah rawatib bakda isya itu dua rakaat, berbeda dengan salat Tarawih dan witir. Selesai kutipan ([116]). 10-يجوز للمأموم أن لا يحدد عدد ركعات الوتر، ويجعل ذلك تابعا لصلاة الإمام. فلو نوى المأموم أن يصلي ركعتين من الوتر على أنه سيأتي بركعة مفردة بعدهما، ولكن الإمام صلى ثلاثا متصلة بتسليمة واحدة: فالمأموم في هذه الحال يغير نيته الأولى، وينوي وصل الوتر، ويتابع إمامه في هذه الحال. قال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله: “وإذا نوى الوتر فهو على نيته، سواء سرد الإمام الثلاث جميعاً، أو سلم بالركعتين ثم أتى بالثالثة؛ لأن الركعتين اللتين تسبق الواحدة: هي من الوتر، لكنه وتر مفصول، وإذا سرد الثلاث جميعاً بتشهد واحد فهو وتر موصول، وكلاهما جائز” انتهى([117]). Makmum boleh untuk tidak menentukan (niat) jumlah rakaat salat Witirnya dan mengikuti salatnya imam. Jika seorang makmum berniat salat Witir dua rakaat dengan melakukan satu rakaat terpisah setelahnya, namun imamnya salat tiga rakaat secara bersambung dengan satu salam, maka dalam hal ini makmum hendaknya merubah niat awalnya dan mengganti dengan niat menyambung rakaat witirnya guna mengikuti imamnya. Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada orang yang berniat menunaikan witir, maka hendaknya ia tetap berpegang dengan niat itu, baik imamnya salat tiga rakaat langsung atau salam setelah dua rakaat lalu mengerjakan rakaat ketiga, karena dua rakaat pertama sebelum satu rakaat itu juga bagian dari salat Witir, namun salat Witir yang terpisah. Jika imamnya salat tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud, maka itu salat Witir yang bersambung. Keduanya diperbolehkan. Selesai kutipan. ([117]) 11-الوتر بثلاث ركعات مفصولة، أفضل من الوتر بمثله من العدد متصلا؛ لأن الفصل فيه زيادة عمل وعبادة. قال النووي رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ الْإِتْيَانَ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ: الْأَفْضَلَ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَفْصُولَةً بِسَلَامَيْنِ لِكَثْرَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ وَلِكَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ.. “([118]). 12- إذا كان المصلي في الوتر وأذن الصبح، فإنه يتم وتره ولا يقطعه. سُئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله تعالى: ” عن رجل يصلي الوتر وأثناء صلاته أذن المؤذن لصلاة الفجر، فهل يتم صلاته؟ فأجاب فضيلته بقوله: نعم، إذا أذن وهو أثناء الوتر؛ فإنه يتم صلاته ولا حرج عليه” ([119]). Salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah lebih utama daripada salat Witir dengan jumlah rakaat yang sama tapi disambung semua, karena witir yang dipisah padanya ada tambahan amal dan ibadah. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang ingin mengerjakan dengan jumlah tiga rakaat, maka salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah dengan dua kali salam lebih utama karena hadis tentangnya lebih banyak dan lebih banyak pula ibadah di dalamnya …. ([118]). Jika seseorang sedang menunaikan salat Witir lalu azan subuh dikumandangkan, maka hendaknya ia menuntaskan salat Witirnya dan tidak menghentikannya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang sedang salat Witir, lalu ketika dia sedang salat, muazin mengumandangkan azan salat Subuh. Apakah ia harus menyelesaikan salatnya? Syekh yang mulia menjawab, “Ya, jika azan dikumandangkan saat dia sedang salat Witir, maka silakan menyempurnakan salatnya dan tidak masalah.” ([119]) 13-لا يجب في دعاء القنوت أن يكون باللفظ الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم، بل يجوز للمصلي أن يدعو بغيره أو يزيد عليه ([120]). 14- لا مانع من إلقاء الإمام بعض الدروس والكلمات بين ركعات التراويح، والأحسن أن لا يداوَم عليه، خشية أن يعتقد الناس أنه جزء من الصلاة، وخشية من اعتقادهم وجوبه حتى إنهم قد ينكرون على من لم يفعله. قال الشيخ عبد الله الجبرين رحمه الله: “… وحيث إنَّ الناس في هذه الأزمنة يخففون الصلاة، فيفعلونها في ساعة أو أقل: فإنه لا حاجة بهم إلى هذه الاستراحة، حيث لا يجدون تعباً ولا مشقة؛ لكن إن فصل بعض الأئمة بين ركعات التراويح بجلوس، أو وقفة يسيرة للاستجمام، أو الارتياح: فالأولى قطع هذا الجلوس بنصيحة أو تذكير، أو قراءة في كتاب مفيد، أو تفسير آية يمرّ بها القارئ، أو موعظة، أو ذكر حكم من الأحكام، حتى لا يخرجوا أو لا يملّوا، والله أعلم” ([121]). 13. Doa kunut tidak harus berupa doa yang warid dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, melainkan boleh saja berdoa dengan doa lain atau menambah doa yang warid. ([120]) 14. Tidak mengapa bagi imam untuk menyampaikan pelajaran atau ceramah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih. Namun lebih baik tidak dilakukan secara rutin, karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira itu bagian dari salat dan menyangka bahwa hal itu wajib, sampai-sampai mereka akan mengingkari orang yang tidak melakukan hal itu. Syekh Abdullah al-Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang-orang pada zaman ini telah mempersingkat salat mereka, yang dilakukan dalam durasi satu jam atau kurang. Jika begini, mereka sebenarnya tidak memerlukan istirahat ini karena tidak merasa lelah dan berat. Namun, jika sebagian imam memisahkan antara rakaat salat Tarawih dengan duduk atau jeda sejenak untuk relaksasi dan istirahat, maka lebih baik jika dia mengisi jeda duduk ini dengan nasihat, pengingat, membaca bacaan yang bermanfaat atau tafsir yang dibaca seorang pembaca, atau menyampaikan petuah atau pembahasan hukum Islam sehingga para jemaah tidak pergi atau bosan. Allah Yang lebih Mengetahui. ([121])  ([1])رواه البخاري (37)، ومسلم (759).  ([2])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (2730).  ([3])”الموسوعة الفقهية الكويتية” (34/118).  ([4])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (13/262-264).  ([5])رواه البخاري (990) ومسلم (749).  ([6])رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط”، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (365).  ([7])رواه أبو يعلى، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (364).  ([8])”فيض القدير” (6/173).  ([9])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52875)، (337318).  ([10])رواه البخاري (1129) ومسلم (761). Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor 2730. Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (34/118). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (13/262-264). Diriwayatkan oleh Bukhari (990) dan Muslim (749). Diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabīr dan al-Ausaṯh, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (365). Diriwayatkan oleh Abu Yaʿlā, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (364). Faiḏh al-Qadīr (6/173). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52875) dan (337318). Diriwayatkan oleh Bukhari (1129) dan Muslim (761).  ([11])رواه الترمذي (806)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([12])رواه البخاري (2010).  ([13])”المجموع” (3/526).  ([14])”مجالس شهر رمضان” (ص 22).  ([15])”قيام رمضان” (ص21).   ([16])”اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 95-97).  ([17])”جامع العلوم والحكم” (2/783(.  ([18])صلاة التراويح (ص 50)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (230276)، (45781)، (183220).  ([19])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50070) في ثواب قيام الليل.  ([20])رواه البخاري (37)، ومسلم (759). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (2010). Al-Majmūʿ (3/526). Majālis Syaẖru Ramaḏhān (hal. 22). Qiyām Ramaḏhān (hal. 21). Iqtiḏhāʾ aṣ-Ṣirāt al-Mustaqīm (2/95-97). Jāmiʿ al-ʿUlūm wa al-H̱ikam (2/783). Ṣalātu at-Tarāwīẖ (hal. 50), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (230276), (45781), dan (183220). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50070) tentang pahala salat malam. Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759).  ([21])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (48957).  ([22])رواه البخاري (1901)، ومسلم (759).  ([23])رواه مسلم (1175).  ([24])شرح النووي على مسلم (8/71).  ([25])”المجموع” (3/526)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (37768).  ([26])”المغني” (2/ 125).  ([27])”الشرح الممتع ” (4/60، 61).  ([28])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50547).  ([29])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (292307).  ([30])”كشاف القناع” (1/426). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (48957). Diriwayatkan oleh Bukhari (1901) dan Muslim (759). Diriwayatkan oleh Muslim (1175). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (8/71). Al-Majmūʿ (3/526), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37768). Al-Mughnī (2/125). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/60, 61). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50547). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (292307). Kasysyāf al-Qināʿ (1/426).  ([31])”المصابيح في صلاة التراويح” (ص/4)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9036).  ([32])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/322).  ([33])رواه الترمذي (806) وصححه الألباني في صحيح الترمذي (646).  ([34])”الشرح الممتع” (4 /73 –75).  ([35])رواه البخاري (1909) ومسلم (738).  ([36])رواه البخاري (946) ومسلم (749).  ([37])”المبسوط” (2/ 145).  ([38])”المغني” (1/457).  ([39])”المجموع” (4/31).  ([40])انظر: “المغني” (2/604)، و”المجموع” (4/32). Al-Maṣābīẖ fī Ṣalāti at-Tarāwīẖ (hal. 4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9036). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/322). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi (646). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/73-75). Diriwayatkan oleh Bukhari (1909) dan Muslim (738). Diriwayatkan oleh Bukhari (946) dan Muslim (749). Al-Mabsūṯh (2/145). Al-Mughnī (1/457). Al-Majmūʿ (31/4). Lihat: al-Mughnī (2/604) dan al-Majmūʿ (4/32).  ([41])”الاختيارات” ص (64).  ([42])”فتاوى اللجنة الدائمة-المجموعة الثانية” (6/82).  ([43])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، في جواب السؤال رقم: (38021).  ([44])”المجموع” (3/526).  ([45])”الدرر السنية” (4/364)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (109768)، (293059).   ([46])رواه البخاري معلقاً (1/245)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (69670).  ([47])”المجموع” (4/27) بتصرف.  ([48])رواه البخاري (494) ومسلم (543).  ([49])”فتاوى إسلامية” (1/341).  ([50])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52876)، (10067). Al-Ikhtiyārāt, hal. (64). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (6/82). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (38021). Al-Majmūʿ (3/526). Ad-Durar as-Saniyyah (4/364), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (109768) dan (293059). Diriwayatkan oleh Bukhari secara Muʿallaq (1/245), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (69670). Al-Majmūʿ (27/4) dengan penyesuaian. Diriwayatkan oleh Bukhari (494) dan Muslim (543). Fatāwā Islāmiyyah (1/341). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52876) dan (10067).  ([51])”مجموع فتاوى الشيخ ابن باز ” (11 /340 – 341).  ([52])فتاوى الشيخ محمد بن صالح العثيمين لمجلة الدعوة العدد 1771 ص 45.  ([53])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79136).  ([54])”المغني” (2/30).  ([55])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/402).  ([56])”مجموع فتاوى ابن باز” (30/30)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (189426).  ([57])”لقاء الباب المفتوح لابن عثيمين”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (93808).  ([58])رواه الترمذي (806) وصححه، وأبو داود (1375)، والنسائي (1605)، وابن ماجه (1327)، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (153247)، (93907).  ([59])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/325).  ([60])”فتاوى الشيخ ابن جبرين” (24 /9). Majmūʿ Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/340-341). Fatāwā Muhammad bin ʿUstaimīn dalam majalah ad-Daʿwah edisi 1771 H, hal. 45. Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (79136). Al-Mughnī (30/2). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (7/402). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (30/30), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (189426). Liqāʾ al-Bāb al-Maftūẖ Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (93808). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806) dan dia menilainya sahih, Abu Dawud (1375), an-Nasai (1605), dan Ibnu Majah (1327), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (153247) dan (93907). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/325). Fatāwā Syaikh Ibni Jibrīn (24/9).  ([61])”اللقاء المفتوح” (176/ 16)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (314180).  ([62])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/207)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (232790)، (93907).  ([63])رواه البخاري (1891) ومسلم (11)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (36793).  ([64])”شرح النووي على مسلم” (1/169).  ([65])”فتح الباري” (1/107).  ([66])رواه مسلم (754).  ([67])رواه أبو داود (1416)، وصححه الألباني في صحيح أبي داود .  ([68])رواه البخاري (1000) ومسلم (700).  ([69])”المغني” (1/827). ([70]) “فتاوى اللجنة الدائمة” (7/172). Al-Liqāʾ al-Maftūẖ (176/16), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (314180). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/207), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (232790) dan (93907). Diriwayatkan oleh Bukhari (1891) dan Muslim (11), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (36793). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (1/169). Fatẖu al-Bārī (1/107). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1416), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Diriwayatkan oleh Bukhari (1000) dan Muslim (700). Al-Mughnī (1/827). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/172).  ([71])رواه الترمذي (425) وصححه الألباني، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (32577)، ورقم: (65692).  ([72])رواه مسلم (754).  ([73])رواه مسلم (750).  ([74])رواه مسلم (752).  ([75])رواه الترمذي (469)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([76])رواه البخاري ومسلم (472) ومسلم (749).  ([77])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/115).  ([78])”بداية المجتهد” (1 /147، 148).  ([79])”فتاوى الشيخ ابن باز” (11/306).  ([80])رواه مسلم (755). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (425), dan dinilai sahih oleh al-Albani, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (32577) dan (65692). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Muslim (750). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (469), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (472) dan Muslim (749). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/115). Bidāyatu al-Mujtahid (1/147, 148). Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/306). Diriwayatkan oleh Muslim (755). ([81]) “شرح النووي على مسلم” (3/277). (29) رواه مسلم (752).  ([83])رواه البخاري (911) ومسلم (749).  ([84])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (46544).  ([85])رواه النسائي (3/234) والبيهقي (3/31).  ([86])”المجموع” (4/7).  ([87])رواه ابن حبان (2435).  ([88])”فتح الباري” (2/482).  ([89])رواه النسائي (1714)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([90])رواه مسلم (737). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (3/277). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Bukhari (911) dan Muslim (749). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (46544). Diriwayatkan oleh an-Nasai (3/234) dan al-Baihaqi (31/3). Al-Majmūʿ (4/7). Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2435). Fatẖu al-Bārī (2/482). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1714), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Diriwayatkan oleh Muslim (737).  ([91])رواه مسلم (746).  ([92])”إعلام الموقعين” (2/424، 425)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66652).  ([93])رواه النسائي (1729)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([94])”الأوسط” (5/187).  ([95])رواه الترمذي (463)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([96])”المغني” (2/599)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([97])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([98])”الشرح الممتع ” (4/65)، وينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم: (14093)، (14093).  ([99])”صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم” (ص160)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (289048).  ([100])”فتاوى إسلامية ” (2/159). Diriwayatkan oleh Muslim (746). Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (2/424, 425), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66652). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1729), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Al-Ausaṯh (5/187). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (463), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Al-Mughnī (2/599), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/65), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (14093) dan (14093). Ṣifatu aṣ-Ṣalāh an-Nabiy Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (hal. 160), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (289048). Fatāwā Islāmiyyah (2/159).  ([101])رواه البخاري (6106)، ومسلم (465).  ([102])”مجموع فتاوى ورسائل العثيمين” (14/136).  ([103])رواه البخاري (998) ومسلم (751).  ([104])رواه مسلم (738).  ([105])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم (37729).  ([106])”مجموع فتاوى ابن باز ” (11/312)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم (65702).  ([107])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66558).  ([108])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (221433)، (14093).  ([109])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (165761)، (66613).  ([110])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (222751). Diriwayatkan oleh Bukhari (6106) dan Muslim (465). Majmūʿ Fatāwā wa Rasāʾil Ibni ʿUtsaimīn (14/136). Diriwayatkan oleh Bukhari (998) dan Muslim (751). Diriwayatkan oleh Muslim (738). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37729). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/312), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (65702). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66558). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (221433) dan (14093). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (165761) dan (66613). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751).  ([111])رواه أبو داود (567)، وصححه الألباني في “إرواء الغليل”.  ([112])اللقاء الشهري لابن عثيمين، وينظر جواب السؤال رقم (222751).  ([113])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (220828)، ورقم: (292307).  ([114])”زاد المعاد” (1/311)، ينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79593)، (208).  ([115])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (106530)، (108614).  ([116])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/255)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (72246).  ([117])”جلسات رمضانية “، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([118])” المجموع شرح المهذب” (4/13)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([119])”مجموع فتاوى ورسائل الشيخ ابن عثيمين” (14/115)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (295615)، (65692).  ([120])”الموسوعة الفقهية” (34/63)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9061).  ([121])”الإجابات البهية في المسائل الرمضانية” (السؤال الثاني)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (250931)، ورقم: (38025). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (567), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Irwāʾ al-Ghalīl. Al-Liqāʾ asy-Syahrī Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (220828) dan (292307). Zād al-Maʿād (1/311), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor(79593), (208). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (106530) dan (108614). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/255), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (72246). Jalasāt Ramaḏhaniyyah, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Majmūʿ asy-Syarẖi al-Muhadzdzab (13/4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Fatāwā wa Rasāʾil Ibni Ibni ʿUtsaimīn (14/115), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (295615) dan (65692). Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (34/63), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9061). Al-Ijābāt al-Bahiyyah fi al-Masāʾil ar-Ramaḏaniyyah, Pertanyaan Kedua. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (250931) dan (38025). Sumber: www.islamqa.info/ar/researches/8/احكام-صلاة-التراويح-والوتر PDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 189 times, 1 visit(s) today Post Views: 351 QRIS donasi Yufid
أحكام صلاة التراويح والوتر Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir قيام الليل قربة عظيمة في رمضان وغيره، وهو في رمضان آكد؛ لقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([1]). سمي قيام الليل في رمضان بصلاة التراويح؛ لأنّ السّلف رحمهم الله كانوا إذا صلّوها استراحوا بعد كلّ ركعتين، أو أربع من اجتهادهم في تطويل صلاة قيام الليل([2]). Salat malam adalah ibadah yang agung, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan, tetapi di bulan Ramadan lebih dianjurkan lagi berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (1) Salat malam di bulan Ramadan disebut dengan salat Tarawih, karena para Salaf dahulu —Semoga Allah Merahmati mereka— jika mengerjakan salat ini, mereka beristirahat dahulu setelah selesai mengerjakan dua atau empat rakaat, tergantung panjangnya salat malam yang mereka kerjakan ini sesuai dengan kemampuan mereka. ([2]) أولاً: الفرق بين صلاة التراويح والتهجد والوتر: صلاة التهجد والتراويح أسماء ومصطلحات داخلة في مسمى صلاة الليل. لكن الفرق بينهما: أن التراويح تطلق -عند العلماء- على القيام من أول الليل في رمضان خاصة. وصلاة التهجد: هي الصلاة التي تكون بعد نوم([3]). فائدة: فرق أهل العلم بين صلاة الليل والوتر من جهة الحكم ومن جهة الكيفية: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” والسنة قولاً وفعلاً قد فرقت بين صلاة الليل وبين الوتر، وكذلك أهل العلم فرقوا بينهما حكماً، وكيفية: أما تفريق السنة بينهما قولاً: ففي حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم كيف صلاة الليل؟ قال: (مثنى مثنى، فإذا خفت الصبح فأوتر بواحدة) رواه البخاري. وانظر “الفتح” (3/20). Pertama: Perbedaan antara Salat Tarawih, Tahajud, dan Witir Salat Tahajud dan Tarawih adalah nama dan istilah yang termasuk dalam cakupan salat malam. Hanya saja, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Tarawih —menurut para ulama— digunakan secara khusus untuk menyebut salat yang dilakukan di awal malam di bulan Ramadan. Adapun salat Tahajud adalah salat yang dilakukan setelah tidur. ([3]). Faedah dari dibedakannya antara salat malam dan salat Witir oleh para ulama dari segi hukum dan tata caranya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa berdasarkan Sunah dari perkataan dan perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, ada perbedaan antara salat malam dan salat Witir. Pun para ulama juga membedakan keduanya dari segi hukum dan tata caranya. Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tersebut dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang bagaimana cara mengerjakan salat malam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat Witir satu rakaat.” (HR Bukhari) Lihat kitab al-Fath (20/3). وأما تفريق السنة بينهما فعلاً: ففي حديث عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه، فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوتر. رواه البخاري. وانظر: “الفتح” (2/487)، ورواه مسلم (1/51) بلفظ: (كان يصلي صلاته بالليل وأنا معترضة بين يديه فإذا بقي الوتر أيقظها فأوترت).  Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang salat, sedangkan aku sedang tidur membujur di atas tempat tidurnya. Lalu, jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah ingin menunaikan witir, beliau membangunkanku lalu salat Witir.” (HR. Bukhari) Lihat kitab al-Fath (2/487) Hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim (1/51) dengan redaksi bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melaksanakan salat di malam hari, sementara Aisyah tidur membujur di hadapannya. Kemudian, jika tinggal salat Witir saja, beliau membangunkannya lalu dia melakukan witir. وروى (1/508) عنها قالت: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها. وروى (1/513) عنها حين قال لها سعد بن هشام بن عامر: أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: (ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده، ويدعوه، ثم ينهض ولا يسلم، ثم يقوم فيصلي التاسعة، ثم يقعد فيذكر الله، ويحمده، ويدعوه، ثم يسلم تسليماً يسمعنا). Imam Muslim juga meriwayatkan (1/508) darinya —Semoga Allah Meridainya— yang mengisahkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat tiga belas rakaat di malam hari termasuk melaksanakan witir lima rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang terakhir. Beliau juga meriwayatkan (1/513) darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Saad bin Hisyam bin Amir bertanya kepadanya, “Ceritakan padaku tentang salat Witirnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab, “Beliau salat sembilan rakaat, yang mana beliau tidak duduk hingga rakaat kedelapan, lalu berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, beliau bangun lagi tanpa salam dan salat lagi mengerjakan rakaat kesembilan. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam duduk berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah, lalu salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami” وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل حكماً: فإن العلماء اختلفوا في وجوب الوتر، فذهب أبو حنيفة إلى وجوبه، وهو رواية عن أحمد ذكرها في “الإنصاف” و”الفروع”، قال أحمد: من ترك الوتر عمداً فهو رجل سوء ولا ينبغي أن تقبل له شهادة. والمشهور من المذهب أن الوتر سنة، وهو مذهب مالك؛ والشافعي. وأما صلاة الليل فليس فيها هذا الخلاف، ففي “فتح الباري” (3/27): “ولم أر النقل في القول بإيجابه إلا عن بعض التابعين. قال ابن عبد البر: شذ بعض التابعين فأوجب قيام الليل ولو قدر حلب شاة، والذي عليه جماعة العلماء أنه مندوب إليه” انتهى. Adapun yang dijelaskan oleh para ulama tentang perbedaan hukum antara salat Witir dan salat malam, maka mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya salat Witir. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Itu juga salah satu riwayat dari Ahmad yang tersebut dalam kitab al-Inṣhāf dan al-Furūʿ. Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan tidak layak diterima kesaksiannya.” Adapun dalam internal mazhab kami, yang terkenal adalah pendapat bahwa salat Witir itu sunah. Inilah pendapat Malik dan Syafii.  Adapun hukum salat malam, maka tidak ada perbedaan pendapat seperti ini. Disebutkan dalam Fathul Bari (27/3), “Saya tidak menemukan adanya kutipan pendapat yang mewajibkannya kecuali hanya dari sebagian ulama Tabiin. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sebagian Tabiin berpendapat nyeleneh dengan mewajibkan salat malam meskipun hanya sesaat seperti durasi memerah susu domba. Adapun pendapat mayoritas ulama adalah sunah.” Selesai kutipan. وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل في الكيفية: فقد صرح فقهاؤنا الحنابلة بالتفريق بينهما فقالوا: صلاة الليل مثنى مثنى، وقالوا في الوتر: إن أوتر بخمس، أو سبع لم يجلس إلا في آخرها، وإن أوتر بتسع جلس عقب الثامنة فتشهد، ثم قام قبل أن يسلم فيصلي التاسعة، ثم يتشهد ويسلم، هذا ما قاله صاحب “زاد المستقنع” ” انتهى([4]). Adapun perbedaan yang ditetapkan para ulama tentang tata cara salat Witir dan salat malam, maka para ulama kami dari kalangan mazhab Hanbali telah menyatakan perbedaan di antara keduanya dengan mengatakan bahwa salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Adapun salat Witir, mereka mengatakan bahwa witir hendaknya dikerjakan lima atau tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat. Adapun jika witir sembilan rakaat, hendaknya dia duduk tasyahud di rakaat kedelapan, lalu sebelum salam berdiri lagi mengerjakan rakaat kesembilan lalu tasyahud baru salam. Beginilah yang disebutkan dalam kitab Zād al-Mustaqniʿ. Selesai kutipan ([4]). وكذلك من جهة الكيفية: فقالوا: أقل ما يحصل به القيام: ركعتان، وأكثره لا حد له؛ لحديث: (صَلاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([5]). وأقل ما يحصل به الوتر: ركعة واحدة؛ للحديث السابق. قد ورد ما يفيد أن أقل القيام ركعة، لكنه لا يصح. فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: “أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصلاة الليل، ورغَّب فيها حتى قال: عليكم بصلاة الليل ولو ركعة” ([6]). Termasuk perbedaan dari sisi tata caranya, mereka berkata bahwa salat malam minimal dua rakaat dan bisa lebih tanpa ada batasannya, berdasarkan sebuah hadis, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([5]) Adapun salat Witir minimal satu rakaat, berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Ada riwayat yang mengisyaratkan bahwa salat malam minimalnya satu rakaat, tetapi tidak sahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan salat malam dan terus menganjurkannya sampai-sampai beliau bersabda, “Kalian harus menunaikan salat malam meskipun hanya satu rakaat.” ([6]). وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فَذَكَرْتُ قيامَ الليلِ، فقال بعضهم: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: نصفَه، ثلثَه، ربعَه، فُواق حَلْبِ ناقةٍ، فُواق حلْبِ شاةٍ”([7]). (فُواق الناقة): “بضم الفاء وتفتح ما بين الحلبتين من الوقت، لأنها تحلب ثم تترك سويعة يرضعها الفصيل، لتدر” انتهى ([8]). واعلم أن الوتر غير قيام الليل، فلا يؤخذ من صحة الوتر بركعة، أن أقل القيام ركعة. قال في “كشاف القناع” (5/ 23): “(وَهَلْ هُوَ) أَيْ الْوِتْرُ (قِيَامُ اللَّيْلِ أَوْ غَيْرُهُ ؟ احْتِمَالَانِ؛ الْأَظْهَرُ: الثَّانِي)، أَيْ أَنَّ الْوِتْرَ غَيْرُ قِيَامِ اللَّيْلِ، لِحَدِيثٍ سَاقَهُ ابْنُ عَقِيلٍ: الْوِتْرُ وَالتَّهَجُّدُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ.قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: فَرَّقَ أَصْحَابُنَا هُنَا بَيْنَ الْوِتْرِ، وَقِيَامِ اللَّيْلِ” انتهى. وبهذا يتبين أن صلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالف صلاة الليل في بعض الفروقات، منها: الكيفية ([9]). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Ketika aku berkata tentang salat malam, sebagian dari mereka berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘(Selama) setengah malam, sepertiganya, seperempatnya, seperti waktu jeda ketika memerah susu unta, atau jeda ketika memerah susu domba.” ([7]) Jeda (Fuwāq) di sini, dengan mendamahkan huruf fa atau memfathahnya, artinya adalah jeda waktu antara dua pemerahan, yaitu diperah dahulu kemudian dibiarkan sesaat agar menyusui lagi sehingga susunya penuh lagi. Selesai kutipan. ([8]) Ketahuilah bahwa salat malam bukanlah salat Witir, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya dengan salat Witir yang sah dikerjakan dengan satu rakaat atau bahwa minimal rakaat salat malam adalah satu rakaat. Disebutkan dalam Kasyāf al-Qināʾ (23/5): “(Dan apakah) yaitu witir (adalah salat malam atau bukan?) Ada dua pendapat, tetapi yang lebih tepat adalah yang kedua, yaitu bahwa salat Witir bukanlah salat malam, berdasarkan hadis yang dipaparkan oleh Ibnu Aqil tentang salat Witir, Tahajud, dan dua rakaat Subuh. Syekh Taqiyudin berkata, ‘Para sahabat kami dalam masalah ini membedakan antara salat Witir dan salat malam.'” Selesai kutipan. Dengan demikian jelas bahwa salat Witir termasuk bagian dari salat malam, hanya saja ada perbedaan dengan salat malam dalam beberapa perkara, termasuk di antaranya adalah tata caranya ([9]). ثانيا: مشروعية صلاة التراويح جماعة في المسجد، وبطلان القول ببدعيتها: صلاة التراويح في المسجد مع الجماعة أفضل من صلاتها في البيت، وقد دلت على ذلك السنة، وفعل الصحابة رضي الله عنهم. 1/ فعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ ([10]). Kedua: Disyariatkannya Salat Tarawih Berjamaah di Masjid dan Batilnya Pendapat yang Membidahkannya Salat Tarawih di masjid secara berjamaah lebih baik daripada melakukannya di rumah. Dalilnya adalah Sunah dan amalan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka—. Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan salat pada suatu malam di masjid, lalu orang-orang salat mengikuti salat beliau. Kemudian, beliau melakukan salat lagi di malam berikutnya sehingga semakin banyak orang yang ikut. Kemudian, mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, “Aku melihat apa yang kalian lakukan, tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian kecuali karena aku khawatir ini akan diwajibkan kepada kalian.” Hal itu terjadi di bulan Ramadan ([10]). فهذا يدل على أن صلاة التراويح في جماعة مشروعة بسنة النبي صلى الله عليه وسلم، غير أنه تركها خشية أن تفرض على الأمة، فلما مات النبي صلى الله عليه وسلم زال هذا المحذور، لاستقرار الشريعة. Hadis ini menunjukkan bahwa salat Tarawih berjamaah disyariatkan berdasarkan Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Adapun ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah wafat, larangan ini hilang karena hukum syariat sudah final. 2/ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ –يعني في صلاة التراويح- حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([11]). 3/عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ([12]). Diriwayatkan dari Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam —maksudnya salat Tarawih— sampai dia selesai, maka dicatat baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([11]). Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qārī yang berkata, “Aku pergi bersama Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadan. Ketika itu orang-orang berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang salat sendiri dan ada yang salat dengan beberapa orang jemaah. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Saya berpikir bahwa lebih baik aku mengumpulkan mereka semua bersama satu imam.’ Dia lantas memutuskan hal itu dan mengumpulkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaab.” ([12])  قال النووي رحمه الله:” صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ… وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً, وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ. الثَّانِي: الانْفِرَادُ أَفْضَلُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ, وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ. قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ: قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو إِسْحَاقَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ جَمَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ الانْفِرَادِ لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَإِجْمَاعِ أَهْلِ الأَمْصَارِ عَلَى ذَلِكَ” انتهى ([13]). Imam an-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Salat Tarawih hukumnya sunah berdasarkan konsensus para ulama … yang boleh dikerjakan sendiri atau berjamaah. Akan tetapi, mana yang lebih utama? Ada dua pendapat terkenal. Yang benar, dengan kesepakatan para sahabat kami (mazhab Syafii), bahwa berjamaah itu lebih utama. Pendapat kedua mengatakan salat sendirian lebih utama. Para sahabat kami mengatakan bahwa perbedaan pendapat ini berlaku bagi orang yang hafal al-Quran, tidak khawatir bosan jika salat sendirian, serta tidak menggembosi salat berjamaah yang didirikan di masjid karena ketidakikutsertaannya. Jika dalam diri seseorang tidak ada dari salah satu perkara di atas, maka salat berjamaah lebih baik baginya tanpa ada perselisihan pendapat. Pengarang kitab asy-Syamil berkata bahwa Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Salat Tarawih berjamaah lebih utama daripada salat Tarawih sendirian, berdasarkan kesepakatan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dan masyarakat di berbagai negeri mengenai hal itu.'” Selesai kutipan ([13]) وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” وكان النبي صلى الله عليه وسلم أول من سن الجماعة في صلاة التراويح في المسجد، ثم تركها خوفا من أن تفرض على أمته…. ثم ذكر الحديثين السابقين، ثم قال: ولا ينبغي للرجل أن يتخلف عن صلاة التراويح لينال ثوابها وأجرها، ولا ينصرف حتى ينتهي الإمام منها ومن الوتر، ليحصل له أجر قيام الليل كله” انتهى باختصار ([14]). Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah orang pertama yang melakukan salat Tarawih secara berjamaah di masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. … Kemudian Syekh menyebutkan dua hadis yang dijelaskan sebelumnya, lalu mengatakan, “Seseorang tidak selayaknya melewatkan salat Tarawih agar mendapatkan ganjaran dan pahalanya, dan janganlah dia meninggalkannya sampai sang imam menyelesaikan salat Tarawihnya dan salat Witir, agar ia memperoleh pahala salat sepanjang malam.” Selesai kutipan dengan diringkas ([14]). وقال الألباني رحمه الله: ” وتشرع الجماعة في قيام رمضان، بل هي أفضل من الانفراد، لإقامة النبي صلى الله عليه وسلم لها بنفسه، وبيانه لفضلها بقوله. وإنما لم يقم بهم عليه الصلاة والسلام بقية الشهر خشية أن تفرض عليهم صلاة الليل في رمضان، فيعجزوا عنها كما جاء في حديث عائشة في “الصحيحين” وغيرهما. وقد زالت هذه الخشية بوفاته صلى الله عليه وسلم بعد أن أكمل الله الشريعة، وبذلك زال المعلول، وهو ترك الجماعة في قيام رمضان، وبقي الحكم السابق، وهو مشروعية الجماعة، ولذلك أحياها عمر رضي الله عنه كما في “صحيح البخاري” وغيره ” انتهى ([15]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam (Tarawih) di bulan Ramadan disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah, bahkan itu lebih baik daripada salat sendirian, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya demikian dan menjelaskan keutamaannya dalam sabda beliau. Namun beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berjamaah bersama mereka di sisa hari di bulan itu karena khawatir salat malam di bulan Ramadan akan diwajibkan bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu menunaikannya, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah dalam kitab Sahihain dan lain-lain. Kekhawatiran ini telah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menyempurnakan ini, yang dengan demikian alasan meninggalkan salat berjamaah di malam di Ramadan tidak berlaku lagi, sehingga hukum asalnya kembali lagi, yaitu disyariatkannya salat Tarawih secara berjamaah. Inilah mengapa Umar —Semoga Allah Meridainya— menghidupkannya kembali seperti yang tersebut dalam Sahih Bukhari dan kitab lainnya. Selesai kutipan [15]). وأما قول عمر رضي الله عنه –عن صلاة التراويح-: “نعمت البدعة هذه ” لما رأى الصحابة مجتمعين على صلاة التراويح، فمراده رضي الله عنه: البدعة اللغوية وليست الشرعية. يعني: أنها أمر جديد، لم تجر به عادة الناس وعملهم. وذلك أن جمع الناس في رمضان كل ليلة على إمام واحد باستمرار وانتظام: لم يكن من قبل، فاعتبر ظاهر الحال، وقصد المعنى اللغوي للبدعة، ولم يقصد المعنى الشرعي لها، الذي يعني: استحداث أمر في الدين، وليس منه، مع نسبته إلى الدين؛ فصلاة التراويح من الدين المشروع المندوب إليها، وهكذا صلاتها جماعة: من الأمر المرغب فيه المندوب إليه، وثبت أصله من فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقوله. Adapun pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— tentang salat Tarawih, “Inilah sebaik-baik bidah,” ketika melihat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— berkumpul untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah, maka yang dia —Semoga Allah Meridainya— maksud adalah bidah secara bahasa dan bukan bidah secara istilah syariat, artinya ini adalah suatu hal yang baru yang sebelumnya tidak diamalkan dan belum menjadi kebiasaan mereka. Hal ini karena berjamaahnya orang-orang di bulan Ramadan setiap malam dengan satu imam secara terus-menerus dan teratur memang sebelumnya tidak ada dari sisi realitas, sehingga maksudnya —Semoga Allah Meridainya— adalah bidah secara bahasa, bukan secara hukum syariat yang maknanya perkara baru dalam agama yang bukan bagian darinya tapi dianggap sebagai bagian dari agama. Salat Tarawih termasuk bagian dari agama yang disyariatkan dan dianjurkan. Demikian pula melakukannya secara berjamaah, dianjurkan dan disunahkan, yang mana amalan ini dasarnya adalah dari perbuatan dan perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  ” هذه تسمية لغوية، لا تسمية شرعية، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق. وأما البدعة الشرعية: فما لم يدل عليه دليل شرعي، فإذا كان نص رسول الله صلى الله عليه وسلم قد دل على استحباب فعل أو إيجابه بعد موته، أو دل عليه مطلقا، ولم يعمل به إلا بعد موته، ككتاب الصدقة، الذي أخرجه أبو بكر-رضي الله عنه- فإذا عمل ذلك العمل بعد موته، صح أن يسمى بدعة في اللغة؛ لأنه عمل مبتدأ. . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa itu adalah sebutan secara bahasa, bukan secara syariat, karena bidah secara bahasa mencakup segala sesuatu yang mulai dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bidah secara syariat adalah amalan yang tidak ada landasan dalilnya dalam syariat. Maka dari itu, jika ada nas dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang menunjukkan dianjurkannya atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat atau secara mutlak tapi beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri belum mengamalkannya sampai beliau wafat, seperti penulisan zakat yang diterapkan oleh Abu Bakar —Semoga Allah Meridainya—, maka perkara yang diamalkan setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat itu sah-sah saja jika disebut bidah secara bahasa, karena itu memang perbuatan yang baru dimulai.  كما أن نفس الدين الذي جاء به النبي صلى الله عليه وسلم يسمى بدعة، ويسمى محدثا في اللغة، كما قالت رسل قريش للنجاشي عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم المهاجرين إلى الحبشة: “إن هؤلاء خرجوا من دين آبائهم، ولم يدخلوا في دين الملك، وجاءوا بدين محدث لا يعرف” Demikian juga agama yang dibawa oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga disebut bidah dan sesuatu yang baru secara bahasa, sebagaimana yang dikatakan oleh para delegasi kaum Quraisy kepada Raja Najasyi tentang para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berhijrah ke negeri Habasyah, “Mereka ini adalah orang-orang yang meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula memeluk agama Raja, melainkan membawa agama baru yang tidak dikenal.” ثم ذلك العمل الذي يدل عليه الكتاب والسنة: ليس بدعة في الشريعة، وإن سمي بدعة في اللغة، فلفظ البدعة في اللغة، أعم من لفظ البدعة في الشريعة. وقد علم أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (كل بدعة ضلالة) لم يرد به كل عمل مبتدأ، فإن دين الإسلام، بل كل دين جاءت به الرسل، فهو عمل مبتدأ، وإنما أراد: ما ابتُدئ من الأعمال التي لم يشرعها هو صلى الله عليه وسلم. Kemudian, perbuatan yang ada dalilnya dari al-Quran dan Sunah bukanlah bidah secara syariat, walaupun bisa disebut bidah secara bahasa, karena makna bidah secara bahasa lebih umum daripada makna bidah secara syariat. Sudah maklum bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Setiap bidah adalah kesesatan,” tidak mencakup semua amalan yang baru, karena agama Islam, dan bahkan setiap agama yang dibawa oleh para rasul adalah bidah (sesuatu yang baru). Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu amalan yang baru dimulai yang belum dimulai oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  وإذا كان كذلك: فالنبي صلى الله عليه وسلم قد كانوا يصلون قيام رمضان على عهده جماعة وفرادى؛ وقد قال لهم في الليلة الثالثة، أو الرابعة لما اجتمعوا: (إنه لم يمنعني أن أخرج إليكم إلا كراهة أن تفرض عليكم، فصلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته، إلا المكتوبة). فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. Dengan demikian, para Sahabat sudah mengerjakan salat Tarawih di bulan Ramadan di masa rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, baik secara berjamaah dan sendiri-sendiri, dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri telah mengatakan kepada mereka pada malam ketiga atau keempat ketika mereka sedang berkumpul, “Sungguh, tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar (salat) bersama kalian kecuali aku tidak suka jika hal ini diwajibkan kepada kalian, maka salatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat bagi seseorang lelaki adalah di rumahnya, kecuali salat wajib.” فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. فلما كان في عهد عمر رضي الله عنه جمعهم على قارئ واحد، وأسرج المسجد، فصارت هذه الهيئة، وهي اجتماعهم في المسجد على إمام واحد، مع الإسراج: عملا لم يكونوا يعملونه من قبل؛ فسمي بدعة؛ لأنه في اللغة يسمى بذلك، ولم يكن بدعة شرعية؛ لأن السنة اقتضت أنه عمل صالح، لولا خوف الافتراض، وخوف الافتراض قد زال بموته صلى الله عليه وسلم، فانتفى المعارض” ([16]). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyampaikan alasan kenapa beliau tidak keluar adalah khawatir salat itu akan diwajibkan. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa sebenarnya faktor yang menuntut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar (mengerjakan Tarawih berjamaah) ada, jika tidak ada kekhawatiran akan diwajibkan kepada mereka. Adapun di masa pemerintahan Umar —Semoga Allah Meridainya—, dia mengumpulkan mereka bersama satu imam dan menyalakan penerangan di masjid, sehingga suasana seperti ini, yaitu berkumpulnya mereka di bawah satu imam di masjid dengan penerangan, adalah amalan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, sehingga disebut bidah, karena memang demikian secara bahasa. Namun bukan bidah secara syariat, karena Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah menetapkannya sebagai suatu amal saleh, yang kalau bukan karena kekhawatiran beliau akan diwajibkan tentu beliau akan melakukannya. Namun kekhawatiran ini sudah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan sebab-sebabnya sudah terhapus. ([16]) وقال ابن رجب رحمه الله: ” وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية، لا الشرعية، فمِنْ ذلك قولُ عمر – رضي الله عنه – لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال: نعمت البدعةُ هذه. وروي عنه أنَّه قال: إنْ كانت هذه بدعة، فنعمت البدعة “ Ibnu Rajab —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa adanya perkataan sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian bidah, maka maksud mereka adalah bidah secara bahasa, bukan secara syariat, termasuk pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk salat malam di bulan Ramadan bersama satu imam di masjid. Ketika dia keluar dan melihat mereka mengerjakan salat seperti itu, lantas dia berujar, “Ini adalah sebaik-baik bidah.” Diriwayatkan juga darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Jika memang ini bidah, maka ini adalah sebaik-baik bidah.” ومرادُه أنَّ هذا الفعلَ لم يكن على هذا الوجه قبل هذا الوقت، ولكن له أصولٌ منَ الشَّريعةِ يُرجع إليها، فمنها: أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كان يحُثُّ على قيام رمضان، ويُرَغِّبُ فيه، وكان النَّاس في زمنه يقومون في المسجد جماعاتٍ متفرِّقةً ووحداناً، وهو -صلى الله عليه وسلم- صلَّى بأصحابه في رمضانَ غيرَ ليلةٍ، ثم امتنع مِنْ ذلك معلِّلاً بأنَّه خشي أنْ يُكتب عليهم، فيعجزوا عن القيام به، وهذا قد أُمِنَ بعده – صلى الله عليه وسلم” ([17]). Artinya bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan seperti itu sebelumnya, tetapi sudah ada dasar rujukannya dalam syariat, di antaranya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah menganjurkan dan mendorong orang-orang salat Tarawih Ramadan, dan orang-orang pada masa itu biasa mengerjakannya di masjid secara berjamaah tapi terpisah-pisah atau sendiri-sendiri. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri salat mengimami para Sahabat di bulan Ramadan beberapa malam, lalu menahan diri tidak melakukannya sembari menjelaskan alasannya; bahwa beliau khawatir itu akan diwajibkan bagi mereka lalu mereka tidak mampu menegakkannya. Namun setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, kekhawatiran ini sudah hilang. ([17]) قال الشيخ الألباني رحمه الله: “قول عمر: “نعمت البدعة هذه” لم يقصد به البدعة بمعناها الشرعي، الذي هو إحداث شيء في الدين على غير مثال سابق، وإنما قصد البدعة بمعنى من معانيها اللغوية، وهو الأمر الحديث الجديد الذي لم يكن معروفا قبيل إيجاده، ومما لا شك فيه أن صلاة التراويح جماعة وراء إمام واحد: لم يكن معهودا ولا معمولا زمن خلافة أبي بكر وشطرا من خلافة عمر، فهي بهذا الاعتبار حادثة، ولكن بالنظر إلى أنها موافقة لما فعله صلى الله عليه وسلم فهي سنة وليست بدعة، وما وصفها بالحسن إلا لذلك” ([18]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baik bidah,” maksudnya bukan maknanya secara syariat, yaitu mengada-ada suatu perkara agama tanpa ada contoh sebelumnya. Bidah di sini maksudnya adalah maknanya secara bahasa, yaitu sesuatu yang muncul dan baru, yang tidak diketahui sebelum kemunculannya ini. Tidak ada keraguan bahwa salat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam belum menjadi kebiasaan atau amalan di zaman kekhalifahan Abu Bakar dan separuh masa kekhalifahan Umar, maka dari sisi inilah amalan ini dianggap baru. Akan tetapi, dari sisi bahwa ia sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ini adalah sunah dan bukan bidah. Maka ia tidak dideskripsikan sebagai sesuatu yang baik kecuali dari sisi ini. ([18]) ثالثاً: فضل صلاة التراويح: صلاة التراويح -كما سبق- داخلة في صلاة الليل، فتشملها أدلة الكتاب والسنة التي وردت بالترغيب في صلاة الليل على جهة العموم ([19]). وقد ورد بخصوص فضل قيام الليل في رمضان خاصة، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([20]) ([21]). وورد بخصوص ليلة القدر، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([22]). Ketiga: Fadilah Salat Tarawih Salat Tarawih —sebagaimana disebutkan sebelumnya— termasuk salat malam, sehingga fadilahnya secara umum tercakup dalam semua dalil dari al-Quran dan Sunah yang menganjurkan salat malam. ([19]) Secara khusus, ada riwayat tentang keutamaan salat malam di bulan Ramadan, yaitu sabda Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat (Tarawih) di bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” ([20]) ([21]) Ada riwayat khusus terkait Lailatul Qadr bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat (Tarawih) saat Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu. ([22]) ولهذا (كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِد فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مَا لا يَجْتَهِد فِي غَيْرهَا) ([23]). وقال النووي رحمه الله: “فَفِي هَذَا الْحَدِيث: أَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يُزَاد مِنْ الْعِبَادَات فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان, وَاسْتِحْبَاب إِحْيَاء لَيَالِيه بِالْعِبَادَاتِ” ([24]). Oleh sebab itulah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (Ramadan) dengan kesungguhan yang tidak seperti di hari-hari lain. ([23]) An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan dan sunah untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. رابعاً: وقت صلاة التراويح: يبتدئ وقت صلاة التراويح من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر. قال النووي رحمه الله: “يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ” انتهى([25]). ولكن إذا كان الرجل سيصلي في المسجد إماماً بالناس فالأولى أن يصليها بعد صلاة العشاء، ولا يؤخرها إلى نصف الليل أو آخره حتى لا يشق ذلك على المصلين، وربما ينام بعضهم فتفوته الصلاة. وعلى هذا جرى عمل المسلمين، أنهم يصلون التراويح بعد صلاة العشاء ولا يؤخرونها. وقال ابن قدامة رحمه الله: قِيلَ للإمام أَحْمَدَ: تُؤَخِّرُ الْقِيَامَ يَعْنِي فِي التَّرَاوِيحِ إلَى آخِرِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: لا, سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ” ([26]). Keempat: Waktu Salat Tarawih Waktu salat Tarawih dimulai setelah salat Isya hingga terbit fajar. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa waktu salat Tarawih dimulai setelah selesainya salat Isya. Selesai kutipan. ([25]) Jika seseorang ingin mengimami orang-orang salat di masjid, maka lebih baik ia melakukannya setelah salat Isya dan tidak menundanya hingga tengah malam atau akhir malam agar tidak memberatkan para jemaah, karena yang demikian itu bisa membuat sebagian mereka tertidur dan melewatkan salat tersebut. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin, di mana mereka melaksanakan salat Tarawih setelah salat Isya dan tidak menundanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah sebaiknya salat malam, yakni Tawarih, diundur hingga akhir malam?” Beliau menjawab, “Tidak, sunah (kebiasaan) umat Islam lebih aku sukai.” ([26]) أما من كان سيصليها في بيته فهو بالخيار إن شاء صلاها في أول الليل وإن شاء صلاها آخره. مسألة: يُشرع للمسلم أداء صلاة التراويح بعد صلاة العشاء من الليلة الأولى لرمضان، وهي الليلة التي يُرى فيها الهلال، يُكمل المسلمون عدة شعبان ثلاثين يوماً. ومثل هذا نهاية شهر رمضان، فإنه لا تُصلَّى التراويح إذا ثبت انتهاء الشهر برؤية هلال العيد أو بإتمام عدة رمضان ثلاثين يوماً. فيتبين أن صلاة التراويح لا تتعلق بصيام نهار رمضان، بل بدخول الشهر من الليل ابتداءً، وبآخر يوم من رمضان انتهاءً. Adapun bagi orang yang ingin mengerjakannya di rumah, maka ia bisa memilih sesuai kehendaknya antara salat di awal malam atau di akhir malam. Catatan: Seorang muslim disyariatkan untuk menunaikan salat Tarawih setelah salat Isya dari malam pertama bulan Ramadan, yaitu malam di mana hilal terlihat, atau dengan menyempurnakan bilangan hari Syaban menjadi tiga puluh hari. Demikian pula untuk akhir bulan Ramadan, tidak ada salat Tarawih lagi jika Ramadan sudah dipastikan selesai, dengan terlihatnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan hari Ramadan menjadi tiga puluh hari. Jadi, jelas bahwa salat Tarawih tidak ada hubungannya dengan puasa di siang hari di bulan Ramadan, melainkan dimulai dari awal malam bulan Ramadan dan berakhir pada malam terakhir bulan Ramadan. ولا ينبغي القول إن صلاة الترويح نافلة مطلقة فيجوز أن تؤدى في أي ليلة وجماعة؛ لأن صلاة التراويح مقصودة لشهر رمضان، ومصليها يقصد الأجر المترتب على قيامه، والجماعة فيها ليست كحكم الجماعة في غيرها، فيجوز في رمضان أن يصلى قيامه جماعة في كل ليلة مع الإعلان والتشجيع عليه، بخلاف القيام في غيره فإنه لا يسن إلا ما جاء من غير قصد أو بقصد التشجيع والتعليم، فيسن أحياناً دون الالتزام بفعله دائماً. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “التَّراويحَ في غير رمضان بِدْعةٌ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في غير رمضان لكان هذا من البِدع. Tidak seyogianya dikatakan bahwa salat Tarawih adalah salat sunah mutlak sehingga boleh dilakukan secara berjamaah kapan pun di malam hari, karena salat Tarawih hanya dikhususkan untuk bulan Ramadan saja. Orang yang mengerjakannya tentu menghendaki pahala salat malam di bulan tersebut. Melakukannya secara berjamaah tidak seperti hukum berjamaah pada salat-salat sunah yang lain. Maka dari itulah di bulan Ramadan dibolehkan mengerjakan salat tersebut secara berjamaah setiap malam dengan cara diumumkan terlebih dahulu dan diberi dorongan untuk melakukannya. Berbeda dengan berjamaah untuk salat-salat sunah yang lain, yang tidak dianjurkan kecuali insidental saja atau dengan maksud untuk memberi motivasi dan pengajaran, sehingga disunahkan berjamaah sesekali waktu tanpa melakukannya secara terus-menerus. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Tarawih di luar bulan Ramadan adalah bidah. Jika orang-orang sengaja berkumpul untuk melakukan salat malam di masjid-masjid secara berjamaah selain di bulan Ramadan, maka ini adalah bidah.” ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في بيته أحياناً؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم: “فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان، جماعة في بيته” لكن لم يتَّخذْ ذلك سُنَّة راتبةً، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد” ([27]). وعليه: فمن صلى صلاة التراويح قبل ثبوت دخول رمضان فهو كمن صلى الصلاة في غير وقتها، فلا يكتب له أجرها، هذا إن سلِم من الإثم إن تعمد ذلك([28]). Tidak mengapa jika seseorang terkadang salat malam berjamaah di luar Ramadan di rumahnya, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau pernah salat berjamaah di rumahnya bersama Ibnu Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah bersama Hudzaifah bin al-Yaman. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan sunah yang dirutinkan dan tidak dikerjakan di masjid. ([27]) Dengan demikian, barang siapa yang salat Tarawih sebelum ada kepastian masuknya awal Ramadan, maka ia seperti orang yang salat di luar waktunya, sehingga tidak dicatatkan baginya pahala yang dimaksud, pun dengan catatan jika dia selamat dari dosa karena sengaja melakukan demikian. ([28]) مسألة: من جمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم؛ للعذر، فإن وقت التراويح والوتر يبتدئ في حقه من بعد صلاة العشاء المجموعة لصلاة المغرب. جاء في شرح “منتهى الإرادات” (1/ 238): ” (ووقت وتر: ما بين صلاة العشاء، ولو مع) كون العشاء جمعت مع مغرب (جمع تقديم) في وقت المغرب، (وطلوع الفجر)؛ لحديث معاذ: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: زادني ربي صلاة، وهي الوتر، ووقتها: ما بين العشاء وطلوع الفجر” رواه أحمد” انتهى ([29]). Catatan: Barang siapa yang melakukan jamak salat Magrib dan Isya yang dikerjakan di awal waktu (waktu magrib) karena suatu uzur, maka waktu Tarawih dan Witir baginya dimulai setelah salat Isya yang telah digabung dengan salat Magrib tersebut.  Disebutkan dalam Syarah Muntahā al-Iradāt (1/238) bahwa waktu salat Witir adalah antara waktu salat Isya dan terbitnya fajar, bahkan meskipun salat Isyanya dijamak dengan Magrib (Jamak Taqdim). Hal ini berdasarkan perkataan Muadz —Semoga Allah Meridainya—, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Tuhanku menambahkan bagiku sebuah salat, yaitu salat Witir. Adapun waktunya adalah antara salat Isya hingga terbitnya fajar.'” (HR. Ahmad) Selesai kutipan. ([29]) مسألة: يصح أن يصلي الشخص التراويح قبل راتبة العشاء؛ لكنه خلاف الأولى. قال الشيخ منصور البهوتي رحمه الله: “وإن صلَّى التراويح بعد العشاء وقبل سنَّتها: صحَّ جزماً، ولكن الأفضل فعلها بعد السنَّة على المنصوص” انتهى ([30]). Catatan: Seseorang boleh melakukan salat Tarawih sebelum salat sunah rawatib bakda isya, tetapi itu menyelisihi cara yang lebih utama. Syekh Manṣhūr al-Bahūti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang salat Tarawih setelah isya dan sebelum mengerjakan sunah rawatibnya, maka itu bisa dipastikan sah, tetapi lebih baik jika dia melakukannya setelah salat sunah rawatibnya berdasarkan nas yang ada. Selesai kutipan ([30]). خامساً: عدد ركعات صلاة التراويح: ليس لصلاة التراويح عدد محدد لا تجوز الزيادة عليه؛ فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: (مثنى مثنى) ولم يحددها بعدد معين. قال السيوطي رحمه الله: “الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأْحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ” انتهى([31]). Kelima: Jumlah Rakaat dalam Salat Tarawih Salat Tarawih tidak mempunyai batasan maksimal jumlah rakaat yang membuatnya tidak boleh ditambah lagi. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah ditanya tentang salat malam, lalu beliau menjawab, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. As-Suyuti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa yang tersebut dalam hadis-hadis sahih dan hasan adalah perintah untuk melakukan salat malam di bulan Ramadan dan serta dorongan untuk melakukannya tanpa ada ketentuan jumlah rakaatnya. ([31]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “وثبت عن عمر رضي لله عنه أنه أمر من عين من الصحابة أن يصلي إحدى عشرة، وثبت عنهم أنهم صلوا بأمره ثلاثا وعشرين، وهذا يدل على التوسعة في ذلك، وأن الأمر عند الصحابة واسع، كما دل عليه قوله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى)” انتهى([32]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ia memerintahkan salah seorang Sahabat untuk salat dengan sebelas rakaat. Ada juga riwayat sahih dari mereka bahwa mereka salat dengan perintahnya sebanyak dua puluh tiga rakaat. Hal ini menunjukkan kelonggaran dalam masalah ini dan bahwa perkara tersebut menurut para Sahabat —Semoga Allah Meridainya— adalah perkara yang fleksibel, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat).” ([32]) ولنسمع إلى توجيه من الشيخ الفاضل ابن عثيمين رحمه الله حيث يقول: وهنا نقول: لا ينبغي لنا أن نغلو أو نفرط، فبعض الناس يغلو من حيث التزام السنة في العدد، فيقول: لا تجوز الزيادة على العدد الذي جاءت به السنَّة، وينكر أشدَّ النكير على من زاد على ذلك، ويقول: إنه آثم عاصٍ. Mari kita simak bimbingam dari Syekh yang mulia Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— yang pernah mengatakan, “Kami katakan bahwa tidak selayaknya kita berlebihan atau menyelepelekan dalam masalah ini. Ada sebagian orang yang terlalu kaku berpegang dengan jumlah yang tersebut dalam Sunah, dan mengatakan tidak bolehnya menambah jumlah yang telah disebutkan dalam Sunah tersebut sehingga mereka mengingkari dengan keras orang yang menambah rakaat lebih dari itu, bahkan berkata bahwa pelakunya dosa dan telah berbuat maksiat. وهذا لا شك أنه خطأ، وكيف يكون آثماً عاصياً وقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: مثنى مثنى، ولم يحدد بعدد، ومن المعلوم أن الذي سأله عن صلاة الليل لا يعلم العدد؛ لأن من لا يعلم الكيفية فجهله بالعدد من باب أولى، وهو ليس ممن خدم الرسول صلى الله عليه وسلم حتى نقول إنه يعلم ما يحدث داخل بيته، فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم بيَّن له كيفية الصلاة دون أن يحدد له بعدد: عُلم أن الأمر في هذا واسع، وأن للإنسان أن يصلِّيَ مائة ركعة ويوتر بواحدة. Ini tentu saja keliru, bagaimana mungkin seseorang dianggap berdosa dan bermaksiat padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda tentang salat malam dengan mengatakan, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. Sudah diketahui bahwa orang yang bertanya kepada beliau tentang salat malam ini tidak mengetahui jumlah rakaatnya, karena orang yang tidak mengetahui tata caranya, tentu lebih tidak tahu tentang jumlah rakaatnya. Dia juga bukan salah satu dari pelayan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga bisa kita katakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau. Jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan kepadanya tata cara salat tanpa membatasi jumlahnya, bisa diketahui bahwa jumlah rakaat dalam hal ini adalah masalah yang longgar dan bahwa seseorang boleh salat seratus rakaat dan melakukan witir dengan satu rakaat saja. وأما قوله صلى الله عليه وسلم: (صلوا كما رأيتموني أصلي) فهذا ليس على عمومه حتى عند هؤلاء، ولهذا لا يوجبون على الإنسان أن يوتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع، ولو أخذنا بالعموم لقلنا يجب أن توتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع سرداً، وإنما المراد: صلوا كما رأيتموني أصلي في الكيفية، أما في العدد فلا إلا ما ثبت النص بتحديده. Adapun sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,” maka hadis ini sifatnya tidak umum, bahkan menurut mereka juga. Inilah sebabnya mereka juga tidak mewajibkan seseorang untuk sesekali menunaikan salat Witir lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jika kita mengikuti keumuman hadis itu, tentu kita harus mengatakan wajibnya menunaikan salat Witir sesekali lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jadi, maksud hadis itu adalah: “Salatlah dengan cara sebagaimana kalian melihat caraku salat.” Adapun jumlah rakaatnya, maka tidak ada dalil yang membatasi salat Tarawih. وعلى كلٍّ ينبغي للإنسان أن لا يشدد على الناس في أمر واسع، حتى إنا رأينا من الإخوة الذين يشددون في هذا مَن يبدِّعون الأئمة الذين يزيدون على إحدى عشرة، ويخرجون من المسجد فيفوتهم الأجر الذي قال فيه الرسول صلى الله عليه وسلم (من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة) ([33])، وقد يجلسون إذا صلوا عشر ركعات فتنقطع الصفوف بجلوسهم، وربما يتحدثون أحياناً فيشوشون على المصلين. ونحن لا نشك بأنهم يريدون الخير، وأنهم مجتهدون، لكن ليس كل مجتهدٍ يكون مصيباً Biar bagaimanapun, hendaknya seseorang tidak kaku dalam perkara yang sifatnya fleksibel, sampai-sampai kita melihat sebagian saudara-saudara kita yang berlebihan dalam masalah ini dan membidahkan imam-imam ulama yang berpendapat bolehnya menambah lebih dari sebelas rakaat keluar meninggalkan masjid sehingga kehilangan pahala yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai, maka dicatat baginya salat semalam penuh.” ([33]) Terkadang mereka memilih duduk ketika sudah selesai sepuluh rakaat sehingga duduknya mereka itu memutus saf dan mungkin juga ngobrol hingga mengganggu jemaah lain. Kami tidak ragu bahwa maksud mereka baik dan itu adalah ijtihad mereka, hanya saja tidak setiap ijtihad pasti benar. والطرف الثاني: عكس هؤلاء، أنكروا على من اقتصر على إحدى عشرة ركعة إنكاراً عظيماً، وقالوا: خرجتَ عن الإجماع قال تعالى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]، فكل من قبلك لا يعرفون إلا ثلاثاً وعشرين ركعة، ثم يشدِّدون في النكير، وهذا أيضاً خطأ” ([34]). Kelompok kedua adalah kebalikan dari orang-orang ini, yang mana mereka sangat mengingkari dengan keras orang-orang yang membatasi diri hanya salat sebelas rakaat saja. Mereka berkata, “Anda menyimpang dari konsensus, padahal Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, maka akan Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami Masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa’: 115) Padahal semua orang sebelum Anda tidak mengenal salat ini kecuali dengan dua puluh tiga rakaat.” Lalu mereka mengingkarinya dengan sangat keras. Ini juga keliru.  أما الدليل الذي استدل القائلون بعدم جواز الزيادة في صلاة التراويح على ثمان ركعات فهو حديث أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة رضي الله عنها: ” كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ؟ فقالت: ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر قال يا عائشة: (إن عينيَّ تنامان ولا ينام قلبي) ([35]). Adapun dalil yang dijadikan landasan mereka yang tidak membolehkan menambah jumlah rakaat salat Tarawih lebih dari delapan rakaat adalah hadis Abu Salamah bin Abdurrahman yang pernah bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— “Bagaimana salatnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di bulan Ramadan?” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Beliau mengerjakannya empat rakaat, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Lalu beliau mengerjakan empat rakaat lagi, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat tiga rakaat. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan salat Witir?’ Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Wahai Aisyah, kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak.” ([35]) فقالوا: هذا الحديث يدل على المداومة لرسول الله في صلاته في الليل في رمضان وغيره. وقد ردَّ العلماء على الاستدلال بهذا الحديث بأن هذا من فعله صلى الله عليه وسلَّم، والفعل لا يدل على الوجوب. ومن الأدلة الواضحة على أن صلاة الليل ومنها صلاة التراويح غير مقيدة بعدد حديث ابن عمر أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال رسول الله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلَّى) ([36]) Mereka berkata bahwa hadis ini menunjukkan konsistensi (jumlah rakaat) Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam mengerjakan salat malamnya di dalam dan luar bulan Ramadan. Para ulama telah membantah istidlal dengan hadis ini bahwa ini termasuk perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sementara perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berarti wajib. Di antara dalil yang jelas bahwa salat malam, termasuk salat Tarawih, tidak dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu adalah hadis Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat malam, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([36]) ونظرة إلى أقوال العلماء في المذاهب المعتبرة تبين لك أن الأمر في هذا واسع، وأنه لا حرج في الزيادة على إحدى عشرة ركعة: قال السرخسي رحمه الله، وهو من أئمة المذهب الحنفي: “فإنها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا” ([37]). وقال ابن قدامة رحمه الله: “والمختار عند أبي عبد الله (يعني الإمام أحمد) رحمه الله، فيها عشرون ركعة، وبهذا قال الثوري، وأبو حنيفة، والشافعي، وقال مالك: ستة وثلاثون” ([38]). Jika kita mencermati perkataan para ulama dari mazhab-mazhab yang diakui, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa persoalan ini fleksibel dan bahwa tidak ada salahnya menambah lebih dari sebelas rakaat. As-Sarkhasi —Semoga Allah Merahmatinya—, yang merupakan salah satu imam ulama mazhab Hanafi, mengatakan, “Menurut kami, dua puluh rakaat, selain salat Witir.” ([37]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang terpilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat. Inilah pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Syafii. Malik berkata, “Tiga puluh enam rakaat.” ([38]) وقال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء، ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات وتجوز منفردا وجماعة” ([39]). فهذه مذاهب الأئمة الأربعة في عدد ركعات صلاة التراويح وكلهم قالوا بالزيادة على إحدى عشرة ركعة، ولعل من الأسباب التي جعلتهم يقولون بالزيادة على إحدى عشرة ركعة: 1/ أنهم رأوا أن حديث عائشة رضي الله عنها لا يقتضي التحديد بهذا العدد. 2/ وردت الزيادة عن كثير من السلف ([40]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih hukumnya sunah menurut konsensus para ulama. Dalam mazhab kami, jumlahnya dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam, yang boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah. ([39]) Inilah pendapat empat imam mazhab mengenai jumlah rakaat salat Tarawih. Mereka semua menyatakan pendapat yang menambah lebih dari sebelas rakaat. Mungkin di antara alasan yang membuat mereka berpendapat menambah lebih dari sebelas rakaat adalah sebagai berikut: Mereka memandang bahwa hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— tidak berarti membatasi jumlah rakaat. Ada banyak riwayat dari para Salaf bahwa mereka menambah lebih dari itu. ([40]) 3/ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة وكان يطيلها جداً حتى كان يستوعب بها عامة الليل، بل في إحدى الليالي التي صلى فيها النبي صلى الله عليه وسلم صلاة التراويح بأصحابه لم ينصرف من الصلاة إلا قبيل طلوع الفجر حتى خشي الصحابة أن يفوتهم السحور، وكان الصحابة رضي الله عنهم يحبون الصلاة خلف النبي صلى الله عليه وسلم ولا يستطيلونها فرأى العلماء أن الإمام إذا أطال الصلاة إلى هذا الحد شق ذلك على المأمومين وربما أدى ذلك إلى تنفيرهم فرأوا أن الإمام يخفف من القراءة ويزيد من عدد الركعات. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan salat sebelas rakaat tetapi sangat panjang sehingga durasinya hampir sepanjang malam. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salah satu malamnya ketika melakukan salat Tarawih bersama para Sahabat, beliau tidak menyelesaikan salatnya kecuali hampir menjelang subuh, hingga para Sahabat khawatir akan melewatkan waktu sahur. Namun para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— suka salat di belakang Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan tidak merasa keberatan. Para ulama memandang bahwa jika seorang imam memperpanjang salat sampai selama itu, maka akan memberatkan orang yang salat di belakangnya, dan ini mungkin membuat mereka pergi menjauh. Maka dari itulah para ulama memandang bahwa imam perlu mengurangi panjang bacaannya dan menambah jumlah rakaat. والحاصل: أن من صلى إحدى عشرة ركعة على الصفة الواردة عن النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحسن وأصاب السنة، ومن خفف القراءة وزاد عدد الركعات فقد أحسن، ولا إنكار على من فعل أحد الأمرين. Kesimpulannya, bahwa barang siapa salat sebelas rakaat mengikuti cara yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ia telah berbuat kebaikan dan sesuai dengan Sunah. Barang siapa yang memperpendek bacaannya dan menambah jumlah rakaatnya, maka ia telah berbuat kebaikan. Tidak ada pengingkaran terhadap siapa pun yang melakukan salah satu dari kedua hal tersebut. قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: “والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره” ([41]). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa salat Tarawih jika dikerjakan menurut mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad adalah dua puluh rakaat, atau jika menurut mazhab Maliki adalah tiga puluh enam, tiga belas, atau sebelas rakaat. Pendapat beliau ini yang bagus, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada dalil yang membatasi, sehingga banyak dan sedikitnya jumlah rakaat tergantung panjang dan pendeknya salat. ([41]) وقال علماء اللجنة للإفتاء:” لم يثبت في عدد ركعات صلاة التراويح حد محدد، والعلماء مختلفون فيه منهم من يرى أنه ثلاث وعشرون ، ومنهم من يرى أنه ست وثلاثون، ومنهم من يرى أكثر، ومنهم يرى أقل، والصحابة صلوها في عهد عمر ثلاثا وعشرين في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، والنبي كان لا يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة ، ولم يحدد للناس عددا معينا في التراويح وقيام الليل،  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah (Komite Tetap Urusan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan bahwa tidak ada riwayat sahih tentang batasan jumlah tertentu dalam rakaat salat Tarawih. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu, ada yang mengatakan jumlahnya adalah 23 atau 36. Ada yang mengatakan lebih banyak atau sedikit daripada itu. Para Sahabat mengerjakan salat ini pada masa pemerintahan Umar di Masjid Nabawi sebanyak 23 rakaat. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat di bulan Ramadan atau bulan lainnya, tanpa membatasi jumlah tertentu mengenai rakaat salat Tarawih dan salat malam. بل كان يحث على قيام الليل وعلى قيام رمضان بالذات فيقول صلى الله عليه وسلم: (من قام رمضان واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه)، ولم يحدد عدد الركعات، وهذا يختلف باختلاف صفة القيام، فمن كان يطيل الصلاة؛ فإنه يقلل عدد الركعات كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم، ومن كان يخفف الصلاة رفقا بالناس، فإنه يكثر عدد الركعات كما فعل الصحابة في عهد عمر، ولا بأس أن يزيد في عدد الركعات في العشر الأواخر عن عددها في العشرين الأول ويقسمها إلى قسمين: قسما يصليه في أول الليل ويخففه على أنه تراويح كما في العشرين الأول، وقسما يصليه في آخر الليل ويطيله على أنه تهجد، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في غيرها” ([42]). Justru beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menganjurkan salat malam dan salat Tarawih secara khusus dengan mengatakan, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” Beliau tidak membatasi jumlah rakaatnya. Jadi, perkara jumlah rakaat ini berbeda-beda tergantung bagaimana salat malamnya. Barang siapa yang memanjangkan salatnya, maka ia mengurangi jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Barang siapa yang meringankan (memendekkan) salatnya untuk meringankan manusia, maka ia perbanyak jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat di zaman Umar. Tidak mengapa jika jumlah rakaat pada sepuluh hari terakhir diperbanyak daripada jumlah rakaat di dua puluh hari pertama lalu membaginya menjadi dua sesi. Sesi pertama dilakukan di awal malam dan dipendekkan seperti salat Tarawih pada dua puluh hari pertama, sementara sesi kedua di akhir malam dan dipanjangkan sebagaimana salat Tahajud, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir dengan kesungguhan yang lebih daripada di hari-hari yang lainnya. ([42]) فتجوز صلاة التراويح بالقليل والكثير من الركعات، ويكون ذلك حسب ما يرى أهل كل مسجد أنه أنسب لهم. والأفضل هو ما ثبت عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه لم يكن يزيد في قيام الليل على إحدى عشرة ركعة، في رمضان وغيره ([43]). Jadi, dibolehkan melaksanakan salat Tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak atau sedikit, yang disesuaikan dengan pandangan jemaah masing-masing masjid mana yang paling sesuai bagi mereka. Yang afdal adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau tidak mengerjakan salat tersebut lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadan dan pada waktu-waktu lainnya. ([43]) سادساً: حكم صلاة التراويح: صلاة التراويح سنة بإجماع أهل العلم، قال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء” انتهى([44]). Keenam: Hukum Salat Tarawih Salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama.” Selesai kutipan. ([44]) سابعاً: تقسيم قيام الليل في العشر الأواخر إلى قسمين تراويح وتهجد: إذا تقرر بأن التراويح ليس لها عدد محدد من الركعات، وأن الليل كله محل للقيام، وأن الفصل بين القيام لا يفعل تعبدا لذاته، وإنما يفعل تيسيرا، واستكثارا من الخير، وابتغاء لإيقاع شيء من القيام في الثلث الأخير من الليل، فإنه لا يصح الاعتراض على جعل القيام على جزئين. Ketujuh: Hukum Membagi Salat Malam di Sepuluh Malam Terakhir Menjadi Dua Sesi, Sesi Salat Tarawih dan Sesi Tahajud Jika sudah jelas bahwa salat Tarawih tidak mempunyai batasan jumlah rakaat tertentu, bahwa seluruh malam adalah waktu untuk salat malam, dan bahwa jeda antar salat seperti ini bukanlah ibadah secara zatnya, melainkan diniatkan untuk meringankan manusia, menambah kebaikan, dan agar bisa mengerjakan salat malam di sepertiga malam terakhir, maka tidak tepat jika ada yang mengingkari bolehnya membagi salat menjadi dua sesi seperti ini. قال الشيخ عبد الله أبابطين رحمه الله: “إذا تبين أنه لا تحديد في عدد التراويح، وأن وقتها عند جميع العلماء من بعد سنة العشاء إلى طلوع الفجر، وأن إحياء العشر سنة مؤكدة، وأن النبي صلى الله وعليه وسلم صلاها ليالي جماعة، فكيف ينكر على من زاد في صلاة العشر الأواخر عما يفعلها أول الشهر، فيصلي في العشر أول الليل، كما يفعل في أول الشهر، أو قليل، أو كثير، من غير أن يوتر، وذلك لأجل الضعيف لمن يحب الاقتصار على ذلك، ثم يزيد بعد ذلك ما يسره الله في الجماعة، ويسمى الجميع قياماً وتراويحا” انتهى ([45]). Syekh Abdullah Abābṯhain —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika telah jelas bahwa tidak ada batasan jumlah rakaat dalam salat Tarawih, bahwa waktunya adalah setelah salat sunah bakda isya sampai subuh menurut semua ulama, bahwa menghidupkannya di sepuluh malam terakhir adalah sunah muakadah, dan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakannya di malam hari secara berjamaah, lalu bagaimana bisa seseorang mengingkari orang yang menambah salatnya pada sepuluh hari terakhir daripada yang dia lakukan di awal bulan? Yaitu dengan cara mengerjakannya di awal malam sebagaimana dia kerjakan di awal bulan, baik dengan jumlah rakaat yang sedikit atau banyak, yang dikerjakan tanpa salat Witir dan bukan karena mereka tidak mampu mengerjakannya. Setelah itu mereka menambah salat mereka secara berjamaah lagi semampu yang Allah Mudahkan bagi mereka. Semua salat itu disebut salat malam dan Tarawih. Selesai kutipan. ([45]) ثامناً: حمل المصحف في صلاة التراويح: إن كان الحامل للمصحف في صلاة التراويح، هو الإمام؛ لحاجته للقراءة من المصحف، فلا حرج في ذلك؛ فقد كان لعائشة رضي الله عنها غلام يؤمها من المصحف في رمضان ([46]). وقال النووي رحمه الله: “لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا ، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة, ولو قلَّب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل …… هذا مذهبنا ومذهب مالك وأبي يوسف ومحمد وأحمد ” انتهى ([47]). وأما اعتراض من اعترض على ذلك بأن حمل المصحف وتقليب أوراقه في الصلاة حركة كثيرة فهو اعتراض غير صحيح؛ لأنه قد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس وهو حامل أمامة بنت ابنته ([48])، فحمل المصحف في الصلاة ليس أعظم من حمل طفلة في الصلاة  Kedelapan: Memegang (Membaca) Mushaf saat salat Tarawih Jika yang memegang mushaf saat salat Tarawih adalah imam yang butuh membaca al-Quran, maka tidak mengapa. Dahulu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— memiliki seorang budak laki-laki yang mengimaminya dengan membaca mushaf al-Quran di bulan Ramadan ([46]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang membaca al-Quran dari mushaf, maka salatnya tidak batal, baik dia sudah hafal al-Quran atau belum. Bahkan dia wajib melakukannya jika dia tidak hafal al-Fatihah, meskipun terkadang membuatnya harus membolak-balik halaman ketika salat. Jadi, salatnya seperti itu tidak batal. … Inilah mazhab kami (Syafii), Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad. Selesai kutipan. ([47]) Adapun pengingkaran orang yang mengingkari bahwa membawa mushaf al-Quran dan membolak-balik halamannya saat salat itu termasuk banyak gerak, maka itu adalah pengingkaran yang tidak tepat, karena ada riwayat sahih bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengimami orang-orang salat sedangkan beliau sedang menggendong Umamah, cucu perempuannya dari anak perempuannya.. ([48]) Jadi, memegang mushaf al-Quran dalam salat bukanlah sesuatu yang lebih besar daripada membawa bayi dalam salat. وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “لا حرج في القراءة من المصحف في قيام رمضان، لما في ذلك من إسماع المأمومين جميع القرآن، ولأن الأدلة الشرعية من الكتاب والسنة قد دلت على شرعية قراءة القرآن في الصلاة، وهي تعم قراءته من المصحف وعن ظهر قلب، وقد ثبت عن عائشة رضي الله عنها أنها أمرت مولاها ذكوان أن يؤمها في قيام رمضان، وكان يقرأ من المصحف، ذكره البخاري رحمه الله في صحيحه معلقاً مجزوماً به” ([49]).  وأما المأموم، فالأولى والأفضل في حقه أن لا يحمل المصحف؛ لما فيه من الانشغال وتفويت بعض السنن، كوضع اليدين على الصدر([50]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tidaklah mengapa membaca dari mushaf al-Quran dalam salat malam di bulan Ramadan, karena itu termasuk usaha memperdengarkan seluruh al-Quran kepada kaum muslimin, karena dalil-dalil syariat dari al-Quran dan Sunah menunjukkan bolehnya membaca al-Quran saat salat, yang sifatnya umum mencakup membacanya dengan melihat mushaf atau dari hafalan. Ada riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia menyuruh seorang budak lelakinya, Dzakwan, untuk mengimaminya dalam salat malam di bulan Ramadan, padahal dia membaca dari mushaf. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan riwayat ini dalam Shahih-nya dengan Ṣhighah Jazm secara Muʿallaq ([49]). Adapun bagi seorang makmum, maka yang lebih baik dan afdal baginya adalah tidak memegang mushaf al-Quran, karena itu bisa membuatnya sibuk dengannya dan meninggalkan sebagian sunah, seperti meletakkan tangan di dada. ([50]) سئل الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: ما حكم حمل المأموم للمصحف في صلاة التراويح؟ فأجاب: ” لا أعلم لهذا أصلا ، والأظهر أن يخشع ويطمئن ولا يأخذ مصحفا ، بل يضع يمينه على شماله كما هي السنة ، يضع يده اليمنى على كفه اليسرى الرسغ والساعد ويضعهما على صدره ، هذا هو الأرجح والأفضل، وأخذ المصحف يشغله عن هذه السنن ، ثم قد يشغل قلبه وبصره في مراجعة الصفحات والآيات وعن سماع الإمام  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Apa hukumnya jika seorang makmum memegang mushaf dalam salat Tarawih?” Dia menjawab, “Saya tidak tahu dalilnya, tapi yang lebih tepat adalah dia harus khusyuk dan tumakninah tanpa memegang mushaf, melainkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri sebagaimana demikian sunahnya. Hendaknya dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kiri dan pergelangan tangan lalu meletakkan keduanya di dadanya. Ini yang lebih tepat dan afdal. Memegang mushaf menghalanginya dari sunah-sunah ini, dan terkadang membuat hati dan matanya tersibukkan dengan melihat halaman demi halaman dan ayat demi ayat serta tidak memerhatikan bacaan imam.  فالذي أرى أن ترك ذلك هو السنة ، وأن يستمع وينصت ولا يستعمل المصحف، فإن كان عنده علم فَتَح على إمامه ، وإلا فتح غيره من الناس ، ثم لو قدر أن الإمام غلط ولم يُفتح عليه ما ضر ذلك في غير الفاتحة إنما يضر في الفاتحة خاصة ؛ لأن الفاتحة ركن لا بد منها أما لو ترك بعض الآيات من غير الفاتحة ما ضره ذلك إذا لم يكن وراءه من ينبهه ، ولو كان واحد يحمل المصحف على الإمام عند الحاجة فلعل هذا لا بأس به، أما أن كل واحد يأخذ مصحفا فهذا خلاف السنة”([51]) انتهى. Menurut saya yang sunah adalah meninggalkan itu semua, mendengarkan serta diam menyimak tanpa memegang mushaf. Jika dia mempunyai ilmu, hendaknya dia membenarkan bacaan imam, jika tidak, maka ada orang lain yang membenarkannya. Pun seandainya imam keliru dan tidak ada yang membenarkannya, maka itu tidak masalah asalkan bukan pada surah al-Fatihah, karena yang bisa merusak salat adalah kesalahan dalam al-Fatihah secara khusus, karena merupakan rukun yang sifatnya wajib. Adapun jika ia melewatkan beberapa ayat selain dari surah al-Fatihah, maka tidak merusak salatnya jika memang tidak ada orang di belakangnya yang mengingatkannya. Adapun jika ada seseorang yang membawa mushaf untuk mengingatkan imam jika memang dibutuhkan, maka semoga tidak mengapa. Adapun jika setiap orang membawa mushaf, maka ini menyelisihi sunah.” Selesai kutipan. ([51]) سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ما حكم حمل المصحف من قبل المأمومين في صلاة التراويح في رمضان بحجة متابعة الإمام؟ فأجاب: “حمل المصحف لهذا الغرض فيه مخالفة للسنة وذلك من وجوه: الوجه الأول: أنه يفوت الإنسان وضع اليد اليمنى على اليد اليسرى في حال القيام . والثاني: أنه يؤدي إلى حركة كثيرة لا حاجة لها وهي فتح المصحف وإغلاقه ووضعه تحت الإبط . Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya membawa mushaf bagi para makmum saat salat Tarawih di bulan Ramadan dengan alasan untuk mengikuti bacaan imam?” Beliau menjawab bahwa membawa mushaf al-Quran untuk tujuan ini menyelisihi sunah, karena beberapa alasan: (1) Seseorang tidak bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri. (2) Menimbulkan banyak gerakan yang tidak diperlukan, karena membuka dan menutup mushaf al-Quran dan mengimpitnya di bawah ketiak.  والثالث: أنه يشغل المصلي في الحقيقة بحركاته هذه . والرابع: أنه يفوت المصلي النظر إلى موضع السجود وأكثر العلماء يرون أن النظر إلى موضع السجود هو السنة والأفضل . والخامس: أن فاعل ذلك ربما ينسى أنه في صلاة إذا لم يكن يستحضر قلبه أنه في صلاة، بخلاف ما إذا كان خاشعاً واضعاً يده اليمنى على اليسرى مطأطئاً رأسه نحو سجوده فإنه يكون أقرب إلى استحضار أنه يصلي وأنه خلف الإمام” انتهى ([52]). (3) Dia akan tersibukkan dengan gerakan-gerakan ini. (4) Orang yang salat tidak bisa melihat ke tempat sujud, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa melihat ke tempat sujud adalah sunah dan afdal. (5) Orang yang melakukan itu bisa jadi akan lupa bahwa ia sedang salat jika ia tidak benar-benar menghadirkan dalam hatinya bahwa ia sedang salat. Hal ini berbeda jika ia khusyuk dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sembari menundukkan kepalanya ke arah tempat sujudnya, yang mana dia akan lebih merasa bahwa dia sedang salat dan berada di belakang imam. Selesai kutipan. ([52]) تاسعاً: حكم صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح: صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح أو الوتر، صحيحة على الراجح من قولي العلماء، والمسألة معروفة عند الفقهاء بصلاة المفترض خلف المتنفّل ([53]). قال ابن قدامة رحمه الله: “وفي صلاة المفترض خلف المتنفل روايتان: إحداهما: لا تصح، واختارها أكثر أصحابنا، وهذا قول الزهري, ومالك, وأصحاب الرأي ; لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (إنما جعل الإمام ليؤتم به, فلا تختلفوا عليه) متفق عليه . Kesembilan: Hukum Salat Isya dengan Bermakmum di Belakang Orang yang Salat Tarawih Salat Isya dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih atau witir hukumnya sah menurut pendapat yang lebih tepat di antara dua pendapat ulama. Masalah ini dikenal oleh para fuqaha dengan istilah ‘Orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah’. ([53]) Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada dua pendapat tentang orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah. Pendapat pertama hukumnya tidak sah, dan inilah yang dipilih sebagian besar sahabat kami (mazhab Hambali). Inilah pendapat az-Zuhri, Malik, dan ulama Aṣẖāb ar-Raʾyi, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidaklah imam diangkat kecuali untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya.” (Muttafaqun ʿAlaihi) والثانية: يجوز. وهذا قول الشافعي, وابن المنذر, وهي أصح ; لما روى جابر بن عبد الله أن معاذا كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يرجع فيصلي بقومه تلك الصلاة. متفق عليه. وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه صلى بطائفة من أصحابه في الخوف ركعتين, ثم سلم, ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين, ثم سلم. رواه أبو داود, والثانية منهما تقع نافلة, وقد أَمَّ بها مفترضين . Pendapat kedua mengatakan boleh. Demikian pendapat Syafii dan Ibnul Mundzir. Inilah pendapat yang lebih tepat, berdasarkan riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwa Muadz dahulu pernah salat bersama Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kemudian pulang mengimami kaumnya dengan salat yang sama. (Muttafaqun ʿAlaihi) Diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau salat Khauf dua rakaat bersama sekelompok Sahabat beliau lalu salam, kemudian salat lagi dua rakaat bersama sekelompok Sahabat yang lain, lalu salam. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Adapun salat yang kedua adalah salat sunah bagi beliau, sedangkan beliau mengimami orang-orang yang salat fardu. فأما حديثهم فالمراد به: لا تختلفوا عليه في الأفعال؛ بدليل قوله: (فإذا ركع فاركعوا, وإذا رفع فارفعوا, وإذا سجد فاسجدوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون)” انتهى باختصار ([54]). وسئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: ما هو العمل عندما يأتي الفرد بعد صلاة العشاء وقد انتهت، وقام الإمام يصلي التراويح، فهل يأتم بالإمام وينوي العشاء؟ أم يقيم ويصلي منفردا أو مع جماعة إن وجدت؟ فأجابوا: “يجوز أن يصلي العشاء جماعة مع من يصلي التراويح، فإذا سلم الإمام من ركعتين قام من يصلي العشاء وراءه وصلى ركعتين، إتماما لصلاة العشاء” انتهى ([55]). Adapun hadis yang mereka jadikan dalil ketidakbolehannya, maka maksudnya adalah “Jangan kalian menyelisihi gerakan-gerakannya.” Dalilnya adalah sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “… maka jika dia rukuk, maka rukuklah kalian, jika dia bangkit dari rukuk, maka bangkitlah dari rukuk, dan jika dia sujud, maka sujudlah. Pun jika dia salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk.” Selesai kutipan dengan diringkas. ([54]) Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ pernah ditanya, “Apa yang seharusnya dilakukan seseorang ketika dia datang setelah salat Isya sudah selesai, lalu imam berdiri untuk salat Tarawih? Apakah ia harus bermakmum dengan imam itu dan berniat menunaikan salat Isya ataukah berdiri untuk salat sendirian atau berjamaah dengan yang lain jika ada?” Mereka menjawab, “Boleh salat Isya berjamaah dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih. Jika imam sudah salam setelah dua rakaat, maka setelah itu dia berdiri melanjutkan dua rakaatnya untuk menyempurnakan bilangan salat Isyanya.” Selesai kutipan ([55]) لكن من فاتته صلاة العشاء مع الإمام الراتب ودخل بعد الصلاة مباشرة، وقد بقي وقت عن صلاة التراويح، يسع صلاتهم للعشاء، فالأحسن لهم في مثل هذه الحال أن يصلوا جماعة لوحدهم؛ خروجاً من خلاف من منع من صلاة المفترض خلف المتنفل، من أهل العلم .  Hanya saja, jika orang yang melewatkan salat Isya dengan imam tetap lalu langsung datang setelah salat itu selesai, sementara masih ada jeda waktu sebelum salat Tarawih didirikan sehingga masih cukup baginya untuk salat Isya, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi mereka untuk mendirikan salat berjamaah sendiri, untuk keluar dari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang melarang orang yang salat fardu dengan bermakmum di belakang orang yang salat sunah. أما إذا دخل في أثناء صلاة التراويح، أو كان الإمام يشرع في التراويح بعد العشاء بوقت قريب، ويخشى من صلاة الجماعة الثانية أن يحصل من إحداهما تشويش على الأخرى؛ فالأحسن في هذه الحال أن يدخل مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء، ثم إذا سلم الإمام من الركعتين، قام وأتم لنفسه . Adapun jika seseorang datang di pertengahan salat Tarawih atau imam sudah memulai salat Tarawih sesaat setelah isya, sehingga dikhawatirkan bahwa salat berjamaah yang kedua ini akan menimbulkan gangguan terhadap para jemaah yang salat Tarawih, maka yang baik baginya adalah ikut salat Tarawih bersama imam dengan niat menunaikan salat Isya. Lalu ketika imam sudah mengerjakan dua rakaat kemudian salam, dia bangun untuk menyempurnakan salatnya sendiri. سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: نلاحظ في بعض المساجد أن الذين يأتون بعد انتهاء صلاة العشاء وبداية التراويح يقيمون صلاة ثانية وهم بهذا يشوشون على من يصلي التراويح ، فهل الأفضل في حقهم إقامة الصلاة جماعة ، أم الدخول مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء ، وهل يختلف الحكم فيما إذا كان الداخل فردا أم مجموعة ؟ Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Kami memerhatikan di beberapa masjid, ada orang-orang yang datang setelah selesainya salat Isya dan salat Tarawih sudah dimulai, mereka mendirikan salat berjamaah kedua yang dengan ini mengganggu orang-orang yang sedang salat Tarawih. Apakah yang lebih baik bagi mereka adalah mendirikan salat berjamaah sendiri atau mengikuti imam salat Tarawih dengan niat salat Isya? Lalu apakah hukumnya berbeda jika yang datang adalah satu orang atau beberapa orang? فأجاب: “إذا كان الداخل اثنين فأكثر، فالأفضل لهم إقامة الصلاة وحدهم أعني صلاة العشاء، ثم يدخلون مع الناس في التراويح، وإن دخلوا مع الإمام بنية العشاء، فإذا سلم الإمام قام كل واحد فكمل لنفسه فلا بأس؛ لأنه ثبت عن معاذ رضي الله عنه: (أنه كان يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء فريضته، ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة، فهي له نفل ولهم فرض)، أما إن كان الداخل واحدا فالأفضل له أن يدخل مع الإمام بنية العشاء حتى يحصل له فضل الجماعة، فإذا سلم الإمام من الركعتين قام فأكمل لنفسه صلاة العشاء، وفق الله الجميع للفقه في الدين” ([56]). Beliau menjawab bahwa jika yang datang adalah dua orang atau lebih, maka lebih baik adalah mereka mendirikan salat berjamaah sendiri, yakni salat Isya, lalu bergabung bersama orang-orang untuk salat Tarawih. Jika mereka bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, maka jika imam sudah mengucapkan salam, hendaknya masing-masing berdiri lagi untuk menyempurnakan salatnya masing-masing. Begini tidak mengapa, karena ada riwayat sahih dari Muadz —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia pernah salat fardu Isya bermakmum kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, kemudian dia kembali kepada kaumnya untuk mengimami mereka salat yang sama. Baginya itu salat sunah dan bagi mereka salat fardu. Namun jika yang masuk adalah satu orang saja, maka lebih baik dia bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, agar dia mendapatkan keutamaan salat berjamaah. Ketika imam sudah mengucapkan salam setelah dua rakaat, dia berdiri lagi untuk menyempurnakan salat Isyanya sendiri. Semoga Allah Memberi taufik untuk semua orang untuk bisa memahami agama. ([56]) فإن كان المأموم الذي يريد أن يصلي العشاء مسافرا، وقد دخل مع إمامه في صلاة التراويح، فإنه في هذه الحال، يقتصر على ركعتين؛ لأن القصر في حقه رخصة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا دخل الإنسان إلى المسجد والناس يصلون صلاة التراويح وهو لم يصلِ صلاة العشاء فإنه يدخل معهم بنية العشاء، ثم إن كان مسافراً وقد دخل مع الإمام في الركعة الأولى سلم مع الإمام, لأن المسافر يصلي ركعتين، وإن كان مقيماً فإنه إذا سلم الإمام فإنه يأتي بما بقي عليه من الركعات الأربع” ([57]). Jika makmum yang hendak salat Isya dalam keadaan safar dan terlanjur bergabung salat Tarawih bersama imam, maka dalam hal ini dia bisa mengqasar salatnya menjadi dua rakaat, karena qasar ini menjadi rukhsah baginya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada seseorang masuk ke dalam masjid dan orang-orang sedang salat Tarawih sementara dia belum salat Isya, maka hendaknya dia bergabung bersama mereka dengan niat salat Isya. Lalu jika dia sedang safar dan sudah masuk mengikuti imam pada rakaat pertama, hendaknya dia salam bersama imam, karena seorang musafir boleh salat dua rakaat. Adapun jika dia mukim, maka jika imam sudah salam, maka dia harus tetap menyempurnakannya empat rakaat. ([57]). عاشرا: ضابط ما يحصل به الانصراف من صلاة الليل: هو أن يصلي المأموم مع إمامه؛ حتى ينتهي الإمام من صلاته كلها؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([58])، فمن صلى مع الجماعة الأولى بعد العشاء عشرين ركعة، وأوتر مع إمامها فقد أكمل صلاة التراويح بالوتر مع الإمام، وحقّق شرط حصول أجر قيام ليلة بانصرافه مع الإمام، وليس عليه أن يصلي مع إمام آخر، في آخر الليل؛ لأن الصلاة الأولى تامة كاملة. ومن أراد أن يصلي الصلاتين طلبا لمزيد الأجر: فقد أحسن، غير أنه لا يصلي الوتر مرتين، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك. Kesepuluh: Standar Mendapatkan Salat Malam Bersama Imam hingga Selesai Standarnya adalah dengan seseorang bermakmum dengan imamnya sampai imam menyelesaikan seluruh salatnya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([58]) Barang siapa yang salat bersama jemaah pertama sebanyak dua puluh rakaat lalu salat Witir bersama imamnya, maka ia telah menyempurnakan salat Tarawih dan Witir bersama imam, dan telah memenuhi syarat memperoleh pahala salat semalam penuh karena dia telah menyelesaikan salatnya bersama imam. Dia tidak perlu salat lagi bersama imam lain di akhir malam, karena salat berjamaah pertama itu sudah sempurna. Barang siapa yang ingin salat dua kali karena ingin mendapat tambahan pahala, maka itu lebih baik, hanya saja ia tidak boleh salat Witir dua kali, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang hal itu. وقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله:إذا صلى الإنسان في رمضان مع من يصلي ثلاثا وعشرين ركعة واكتفى بإحدى عشرة ركعة ولم يتم مع الإمام، فهل فعله هذا موافق للسنة؟ فأجاب: “السنة الإتمام مع الإمام، ولو صلى ثلاثا وعشرين؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة، وفي اللفظ الآخر: (بقية ليلته). فالأفضل للمأموم أن يقوم مع الإمام حتى ينصرف، سواء صلى إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة أو ثلاثا وعشرين أو غير ذلك، هذا هو الأفضل أن يتابع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([59]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Jika seseorang salat bersama jemaah yang salat 23 rakaat di bulan Ramadan, lalu dia berhenti pada rakaat kesebelas dan tidak menyelesaikannya bersama imam, apakah tindakan ini sesuai dengan sunah? Beliau menjawab bahwa yang sunah adalah menyelesaikan salat bersama imam, meskipun imamnya salat 23 rakaat, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” Dalam riwayat lain disebutkan, ” … (pahala) salat di sisa malamnya itu.” Jadi, yang afdal bagi makmum adalah salat bersama imam sampai ia selesai, baik imamnya salat 11, 13, 23, atau jumlah rakaat yang lain. Selesai kutipan ([59]) وقال الشيخ ابن جبرين رحمه الله: ” قيام رمضان يحصل بصلاة جزء من كل ليلة، كنصفها أو ثلثها، سواء كان ذلك بصلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث وعشرين، ويحصل القيام بالصلاة خلف إمام الحي حتى ينصرف، ولو في أقل من ساعة . وكان الإمام أحمد يُصلي مع الإمام ولا ينصرف إلا معه، عملاً بالحديث، فمن أراد هذا الأجر فعليه أن يصلي مع الإمام حتى يفرغ من الوتر، سواء صلى قليلاً أو كثيراً ، وسواء طالت المدة أو قصرت” انتهى ([60]). Syekh Ibnu Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam di bulan Ramadan bisa dilakukan dengan salat di sebagian malam di seluruh malamnya, seperti di setengah atau sepertiga malam, baik dengan 11 atau 23 rakaat. Salat ini bisa dilakukan dengan bermakmum pada imam setempat sampai dia selesai, meskipun dalam waktu kurang dari satu jam. Imam Ahmad dahulu salat bersama imam dan tidak akan menyelesaikannya kecuali bersamanya dalam rangka mengamalkan hadis. Barang siapa menginginkan pahala ini, maka dia harus salat bersama imam sampai selesai dari salat Witir, baik salatnya itu dengan sedikit atau banyak rakaat, dan baik durasinya panjang atau pendek. Selesai kutipan ([60]). لكن: هل يحصل له الأجر الوارد في الحديث إذا صلى نصف التراويح في مسجد ونصفها في آخر لظروف العمل؟ سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا كان الرجل في رمضان يصلي أول الليل في مسجد وآخر الليل في مسجد هل يكون الأجر مثله؟ فأجاب: قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم:)من قام مع الإمام حتى ينصرف-يعني: في قيام رمضان- كتب له قيام ليلة). Namun, apakah dia akan mendapat pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut jika dia melaksanakan separuh salat Tarawih di satu masjid dan separuhnya lagi di masjid lain karena tuntutan kerja? Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Jika seseorang pada bulan Ramadan salat di awal malam di masjid dan di akhir malam di masjid lain, apakah pahalanya seperti itu pula?” Beliau menjawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai (salat malam di bulan Ramadan), maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.  فإذا صلى مع الإمام الأول، ثم صلى مع الثاني: لم يصدق عليه أنه صلى مع الإمام حتى ينصرف؛ لأنه جعل قيامه بين رجلين. فيقال له: إما أن تقوم مع هذا من أول الليل إلى آخره، وإما أن يفوتك الأجر” انتهى ([61]). وعليه: إذا كانت ظروف العمل لا يتمكن معها المصلي من صلاة التراويح كاملة في مسجد واحد، فيرجى له الأجر على نيته المقترنة بما يقدر عليه من عمل.  Maka dari itu, jika dia salat dengan imam pertama, kemudian salat lagi dengan imam kedua, maka tidak benar bahwa dia telah bersama imam sampai imamnya selesai, karena salatnya bermakmum pada dua orang. Jadi, dikatakan kepadanya, “Anda harus bermakmum kepada satu orang imam yang salat di awal waktu sampai dia selesai salat, atau jika tidak demikian, maka Anda kehilangan pahala tersebut.” Selesai kutipan ([61]) Dengan demikian, jika tuntutan kerjanya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa salat Tarawih secara sempurna hingga selesai di satu masjid, maka semoga dia diberi pahala atas niatnya karena sudah dibarengi dengan usaha semampu yang bisa dia kerjakan. فإن كان في المسجد الواحد إمامان لصلاة التراويح أو التهجد، فالانصراف يتحقق بالصلاة مع الإمامين معا: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “هل الإمامان في مسجد واحد يعتبر كل واحد منهم مستقلاً، أو أن كل واحد منهما نائب عن الثاني؟ الذي يظهر الاحتمال الثاني – أن كل واحد منهما نائب عن الثاني مكمل له، وعلى هذا فإن كان المسجد يصلي فيه إمامان فإن هذين الإمامين يعتبران بمنزلة إمام واحد، فيبقى الإنسان حتى ينصرف الإمام الثاني، لأننا نعلم أن الثانية مكملة لصلاة الأول” ([62]). Jika ada dua imam dalam satu masjid untuk salat Tarawih dan Tahajud, maka dikatakan bahwa dia selesai salat bersama imam adalah dengan mengikuti kedua imam tersebut. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Apakah dua imam dalam satu masjid dianggap masing-masing dan terpisah, atau masing-masing saling mewakili yang lain? Yang lebih tepat adalah kemungkinan yang kedua, bahwa masing-masing saling mewakili yang lain dan saling melengkapi. Oleh karena itu, jika masjid tersebut ada salat yang dipimpin oleh dua orang imam, maka dua imam tersebut dianggap satu imam, sehingga seseorang hendaknya tetap salat sampai imam kedua selesai, karena kita tahu bahwa imam kedua ini menyempurnakan salat imam yang pertama.” ([62]) الأحكام المتعلقة بصلاة الوتر Hukum-Hukum Seputar Salat Witir صلاة الوتر من أعظم القربات إلى الله تعالى، حتى رأى بعض أهل العلم –وهم الأحناف– بوجوبها، ولكن الصحيح بأنها سنة مؤكدة، ينبغي على المسلم المحافظة عليها وعدم تركها. Salat Witir merupakan salah satu amalan ibadah teragung untuk mendekatkan diri kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, bahkan sebagian ulama —yaitu ulama Hanafi— berpendapat bahwa hukumnya wajib. Namun yang benar bahwa hukumnya sunah muakadah, yang seyogianya dijaga dan tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. المسألة الأولى: حكم صلاة الوتر. صلاة الوتر سنة مؤكدة عند جمهور العلماء، ومن الفقهاء من أوجبها . ويدل على عدم وجوبها: ما رواه البخاري ومسلم عن طَلْحَةَ بْن عُبَيْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ: (الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا) ولفظ مسلم: (خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لا، إِلا أَنْ تَطَوَّعَ) ([63]).  Pembahasan Pertama: Hukum Salat Witir Salat Witir termasuk sunah muakadah menurut mayoritas ulama, tetapi ada sebagian fukaha yang mewajibkannya. Dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya tidak wajib adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Thalhah bin Ubaidullah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku salat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Salat lima waktu dalam sehari semalam.” Dia bertanya, “Apakah ada kewajiban (salat) lain bagiku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” ([63]) قال النووي رحمه الله: “فِيهِ: أَنَّ صَلاة الْوِتْر لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ” انتهى ([64]).  وقال الحافظ رحمه الله في “الفتح”: “فيه: أَنَّهُ لا يَجِب شَيْء مِنْ الصَّلَوَات فِي كُلّ يَوْم وَلَيْلَة غَيْر الْخَمْس, خِلافًا لِمَنْ أَوْجَبَ الْوِتْر أَوْ رَكْعَتَيْ الْفَجْر” انتهى ([65]).  ومع ذلك فهي آكد السنن ، فقد أمر بها النبي صلى الله عليه وسلم في غير ما حديث . روى مسلم عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([66]).  An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini menunjukkan bahwa salat Witir tidak wajib. Selesai kutipan. ([64]) Al-Hafiz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Fath bahwa dalam hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun salat yang wajib dilakukan setiap siang dan malam selain salat lima waktu. Pendapat ini berbeda dengan mereka yang mewajibkan salat Witir atau dua rakaat fajar. Selesai kutipan. ([65]) Ini termasuk salat sunah muakadah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya kepada kita dalam beberapa hadis. Muslim meriwayatkan dari Abu Said —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([66]) وروى أبو داود: عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، أَوْتِرُوا، فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ) ([67]).  ولهذا فينبغي المحافظة عليها حضرا وسفرا، كما كان يفعل صلى الله عليه وسلم، فقد روى البخاري ومسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: (كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاةَ اللَّيْلِ إِلا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ) ([68]).  Abu Dawud meriwayatkan dari Ali —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Wahai ahli al-Quran, lakukanlah salat Witir, karena Allah itu witir (baca:ganjil, yakni satu) dan Mencintai witir. ([67]) Oleh karena itu, salat ini selayaknya dijaga saat mukim maupun saat safar, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat saat safar di atas tunggangannya ke mana pun tunggangannya menghadapkan beliau dengan isyarat tubuh untuk salat malam, kecuali untuk salat wajib, dan beliau juga salat Witir di atas tunggangannya.” ([68])  قال ابن قدامة رحمه الله: “الوتر غير واجب وبهذا قال مالك والشافعي. وقال أبو حنيفة: هو واجب”. ثم قال: “قال أحمد: من ترك الوتر عمدا فهو رجل سوء، ولا ينبغي أن تقبل له شهادة، وأراد المبالغة في تأكيده لما قد ورد فيه من الأحاديث في الأمر به، والحث عليه ” انتهى بتصرف ([69]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Witir tidak wajib. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan Syafii. Abu Hanifah berkata, “hukumnya wajib.” Kemudian dia berkata bahwa Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan kesaksiannya selayaknya tidak diterima.” Maksudnya beliau ingin menguatkan statusnya yang sunah muakadah karena ada banyak hadis yang memerintahkan dan mendorong untuk mengerjakan salat ini. ([69]) وسئل علماء اللجنة الدائمة: هل صلاة الوتر واجبة وهل الذي يصليها يوماً ويتركها اليوم الآخر يؤاخذ ؟ فأجابوا: ” صلاة الوتر سنة مؤكدة، ينبغي أن يحافظ المؤمن عليها، ومن يصليها يوما ويتركها يوما لا يؤاخذ، لكن ينصح بالمحافظة على صلاة الوتر ثم يشرع له أن يصلي بدلها من النهار ما فاته شفعا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك، كما ثبت عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا شغله نوم أو مرض عن صلاة الليل صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة. خرجه مسلم في صحيحه، وكان صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل غالبا إحدى عشرة ركعة، يسلم من كل اثنتين ويوتر بواحدة، فإذا شغل عن ذلك بنوم أو مرض صلى من النهار اثنتي عشرة ركعة، كما ذكرت ذلك رضي الله عنها، وعلى هذا إذا كانت عادة المؤمن في الليل خمس ركعات فنام عنها أو شغل عنها بشيء شُرع له أن يصلي من النهار ست ركعات يسلم من كل اثنتين، وهكذا إذا كانت عادته ثلاثا صلى أربعا بتسليمتين، وإذا كانت عادته سبعا صلى ثمان يسلم من كل اثنتين” انتهى ([70]).  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah ditanya, “Apakah salat Witir itu wajib, dan apakah orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya akan mendapatkan hukuman?” Mereka menjawab bahwa salat Witir itu sunah muakadah. Hendaknya orang mukmin memeliharanya. Orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya tidak akan mendapatkan hukuman. Hanya saja, disarankan agar salat Witir dipelihara dan disyariatkan agar dia menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap jika dia melewatkannya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu juga melakukan demikian, sebagaimana disebutkan dalam riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat salat malam karena tertidur atau sakit, maka beliau salat dua belas rakaat di siang hari. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam seringnya salat sebelas rakaat di malam hari dengan satu salam setiap dua rakaat lalu salat Witir satu rakaat. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat melakukannya karena tertidur atau sakit, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat dua belas rakaat di siang hari. Ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Oleh sebab itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan di malam hari salat lima rakaat, tetapi tertidur atau tidak sempat melakukannya karena suatu kesibukan, disyariatkan baginya untuk salat enam rakaat di siang hari dengan satu salam setiap dua rakaat. Pun jika kebiasaannya adalah salat tiga rakaat, hendaknya dia salat empat rakaat dengan dua kali salam. Jika kebiasaannya adalah salat tujuh rakaat, hendaknya dia salat delapan rakaat dengan sekali salam setiap dua rakaat. Selesai kutipan ([70]). المسألة الثانية: وقت الوتر: يبدأ من بعد صلاة العشاء، ولو كانت مجموعة إلى المغرب تقديماً، إلى طلوع الفجر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ) ([71]). فإذا طلع الفجر خرج وقتها، بدليل قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([72]). وروى مسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ) ([73]). Pembahasan Kedua: Waktu Salat Witir Waktu salat Witir dimulai setelah salat Isya —meskipun salat Isyanya dijamak dengan salat magrib di awal waktu— hingga terbit fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah telah Menganugerahi kepada kalian satu salat, yaitu salat Witir, yang Allah Jadikan waktunya bagi kalian antara salat Isya sampai terbit fajar.” ([71]). Ketika fajar tiba, maka sudah habis waktunya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([72]). Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Segeralah salat Witir sebelum subuh.” ([73]). وروى مسلم: أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ) ([74]). وروى الترمذي: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ، فَأَوْتِرُوا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ) ([75]). وروى البخاري ومسلم: أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (صَلَاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([76]). قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “فدل على أن الوتر ينتهي وقته بطلوع الفجر، ولأنه صلاة تختم به صلاة الليل فلا تكون بعد انتهائه” ([77]). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([74]). At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Ketika fajar terbit, maka telah berlalu semua salat malam dan Witir.” ([75]). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([76]) Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hal ini menunjukkan bahwa waktu salat Witir berakhir saat terbitnya fajar dan bahwa salat ini menjadi penutup salat malam sehingga tidak ada lagi (salat malam) setelah (Witir) dikerjakan.” ([77]). وذهب بعض العلماء إلى أن وقته يمتد بعد طلوع الفجر حتى يصلي الصبح ، واستدلوا بما ورد عن بعض الصحابة أنهم صلوا الوتر بعد طلوع الفجر وقبل إقامة الصلاة . قال ابن رشد القرطبي رحمه الله:”وأما وقته -أي: الوتر-: فإن العلماء اتفقوا على أن وقته من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر لورود ذلك من طرق شتى عنه عليه الصلاة والسلام، ومن أثبت ما في ذلك ما خرجه مسلم عن أبي نضرة العوفي أن أبا سعيد أخبرهم أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم عن الوتر فقال ‏(‏الوتر قبل الصبح)‏، ‏واختلفوا في جواز صلاته بعد الفجر، فقوم منعوا ذلك، وقوم أجازوه ما لم يصل الصبح، وبالقول الأول قال أبو يوسف ومحمد بن الحسن صاحبا أبي حنيفة وسفيان الثوري، وبالثاني قال الشافعي ومالك وأحمد‏.‏ وسبب اختلافهم معارضة عمل الصحابة في ذلك بالآثار … Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat Witir ada sampai terbitnya fajar hingga seseorang melaksanakan salat Subuh. Mereka berdalil dengan riwayat sebagian Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa mereka salat Witir setelah terbitnya fajar dan sebelum ikamat salat Subuh. Ibnu Rusyd al-Qurtubi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa para ulama sepakat bahwa waktunya—yakni witir—adalah setelah salat Isya sampai terbitnya fajar, karena ada banyak riwayat dari berbagai jalur dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun riwayat yang paling sahih dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Naḏhrah al-ʿAufi bahwa Abu Said mengabarkan kepada mereka bahwa mereka pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat Witir, lantas beliau menjawab, “Salat Witir itu sebelum subuh.” Para ulama berselisih tentang kebolehan salat setelah terbit fajar. Ada yang melarangnya dan ada pula yang membolehkannya selama belum salat Subuh. Pendapat pertama menjadi pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan dua sahabat Abu Hanifah, serta Sufyan ats-Tsauri. Pendapat kedua adalah pendapat Syafii, Malik, dan Ahmad. Latar belakang silang pendapat ini adalah perbedaan antara praktik para Sahabat dengan berbagai riwayat tentang hal ini. والذي عندي في هذا: أن هذا من فعلهم ليس مخالفا للآثار الواردة في ذلك – أعني: في إجازتهم الوتر بعد الفجر – بل إجازتهم ذلك هو من باب القضاء لا من باب الأداء، وإنما يكون قولهم خلاف الآثار لو جعلوا صلاته بعد الفجر من باب الأداء فتأمل هذا … ” ([78]). وقال الشيخ ابن باز رحمه الله:”والأحاديث في هذا الباب كثيرة، وهي دالة على أن الوتر ينتهي بطلوع الفجر” ([79]). Menurut saya dalam masalah ini bahwa perbuatan mereka yakni bolehnya salat Witir setelah fajar, tidaklah bertentangan dengan riwayat-riwayat dalam masalah ini, karena mereka yang membolehkan ini adalah dalam rangka mengqada salat Witir, bukan mengerjakan pada waktunya. Pendapat mereka ini baru bertentangan dengan riwayat jika salat mereka setelah fajar dimaknai mengerjakan salat pada waktunya. Silakan renungkan hal ini. …” ([78]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis-hadis dalam masalah ini ada banyak, yang menunjukkan bahwa witir berakhir ketika terbit fajar ([79]). وأفضل وقت لصلاة الوتر: آخر الليل لمن طمع أن يقوم من آخره؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ) ([80]). قال النووي رحمه الله: “وهذا هو الصواب، ويُحمل باقي الأحاديث المطلقة على هذا التفضيل الصحيح الصريح، فمن ذلك حديث: (أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر). وهو محمول على من لا يثق بالاستيقاظ” ([81]). Faedah: Waktu Terbaik untuk Salat Witir Waktu terbaik untuk salat Witir adalah di akhir malam bagi orang yang ingin salat di akhir malam, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamnya, “Barang siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal malam. Adapun bagi yang yakin mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena salat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan itu yang afdal ([80]). An-Nawawi —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa inilah yang benar. Hadis-hadis lain yang sifatnya mutlak maknanya dibawa kepada rincian yang benar dan jelas ini. Di antaranya adalah hadis, “Kekasihku mewasiatkan kepadaku agar aku tidak tidur kecuali telah witir.” (HR. Bukhari) Hadis ini dibawa maknanya kepada orang yang tidak yakin bisa terbangun. ([81]) المسألة الثالثة: عدد ركعات الوتر: أقل الوتر ركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ)([82])، وقوله عليه الصلاة والسلام: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى) ([83]). ويجوز الوتر بثلاث وبخمس وبسبع وبتسع وبأحد عشر. Pembahasan Ketiga: Jumlah Rakaat Salat Witir Rakaat minimal salat Witir adalah satu rakaat, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([82]) Juga sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika khawatir masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menutup salatnya.” ([83]). Witir boleh dikerjakan dalam tiga, lima, tujuh, sembilan, atau sebelas rakaat. فإن أوتر بثلاث فله صفتان كلتاهما مشروعة ([84]): الأولى: أن يسرد الثلاث بتشهد واحد؛ لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر”، وفي لفظ: ” كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن” ([85]).  قال النووي رحمه الله: “رواه النسائي بإسناد حسن، والبيهقي بإسناد صحيح” ([86]). Jika seseorang salat Witir tiga rakaat, maka ada dua cara yang sama-sama disyariatkan. ([84]): Pertama, langsung tiga rakaat dengan satu tasyahud, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak salam pada dua rakaat witir.” Dalam riwayat lain, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir tiga rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat.” ([85]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa an-Nasai meriwayatkan dengan sanad yang hasan dan al-Baihaqi dengan sanad yang sahih ([86]). الثانية: أن يسلّم من ركعتين ثم يوتر بواحدة؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنه كان يفصل بين شفعه ووتره بتسليمة، وأخبر أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يفعل ذلك ([87]). وقال ابن حجر رحمه الله: إسناده قوي([88]). وأما إذا أوتر بخمس أو بسبع؛ فإنها تكون متصلة، ولا يتشهد إلا تشهداً واحداً في آخرها ويسلم، لحديث أم سلمة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يوتر بخمس وبسبع ولا يفصل بينهن بسلام ولا كلام” ([89]). Kedua, dengan salam setelah dua rakaat, lalu mengerjakan witir satu rakaat, berdasarkan riwayat Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau memisahkankan rakaat genapnya (dua rakaat) dan rakaat ganjilnya (satu rakaat) dengan salam. Dia meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan demikian ([87]). Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa sanadnya kuat ([88]). Adapun seseorang witir dengan lima atau tujuh rakaat, maka bisa bersambung tanpa tasyahud kecuali sekali di akhir rakaat lalu salam, berdasarkan hadis Ummu Salamah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir dengan lima atau tujuh rakaat tanpa memisahkan keduanya dengan salam atau ucapan tertentu ([89]). روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها ([90]) وإذا أوتر بتسع فإنها تكون متصلة ويجلس للتشهد في الثامنة، ثم يقوم ولا يسلم ويتشهد في التاسعة ويسلم؛ لما روته عائشة رضي الله عنها: “أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لا يَجْلِسُ فِيهَا إِلا فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا” ([91]). وإن أوتر بإحدى عشرة، فإنه يسلم من كل ركعتين، ويوتر منها بواحدة. Aisyah —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan dengan mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat malam tiga belas rakaat termasuk witir dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat akhir ([90]). Jika seseorang salat Witir sembilan rakaat, maka bersambung terus dan duduk tasyahud di rakaat kedelapan lalu berdiri lagi tanpa salam dulu, kemudian duduk tasyahud di rakaat kesembilan lalu salam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah salat sembilan rakaat tanpa duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk melakukan rakaat yang kesembilan, kemudian duduk melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, lalu salam dengan salam yang bisa kami dengar ([91]). Jika ia salat Witir sebanyak sebelas rakaat, maka ia salam setiap dua rakaat, lalu melakukan witir dengan satu rakaat. وأدنى الكمال في الوتر: أن يصلي ركعتين ويسلّم، ثم يأتي بواحدة ويسلم، ويجوز أن يجعلها بسلام واحد، لكن بتشهد واحد لا بتشهدين، كما سبق. فكل هذه الصفات في صلاة الوتر قد جاءت بها السنة، والأكمل أن لا يلتزم المسلم صفة واحدة، بل يأتي بهذه الصفة مرة وبغيرها أخرى. وقد ظن بعض الناس أن هذه الأحاديث التي ذكرت بعض كيفيات الوتر معارضة لما ثبت في الصحيحين من قول النبي صلى الله عليه وسلم (صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى) وليس الأمر كذلك؛ لأن هذا الحديث وارد في صلاة قيام الليل ، وهذه الأحاديث إنما هي في صلاة الوتر . Kesempurnaan minimal dalam mengerjakan salat Witir adalah salat dua rakaat lalu salam, kemudian mengerjakan satu rakaat lalu salam. Boleh juga mengerjakannya dengan satu salam, tetapi dengan satu tasyahud, bukan dua kali, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Semua cara salat Witir tersebut warid dalam Sunah. Cara yang paling sempurna adalah dengan seorang muslim tidak terpaku pada satu cara saja, melainkan sesekali dengan cara tertentu dan sesekali cara yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa hadis-hadis yang menyebutkan beberapa tata cara salat Witir ini saling kontradiktif dengan riwayat sahih dalam kitab Shahihain yang menyebutkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” padahal tidak demikian. Hadis ini adalah tentang salat malam, sementara hadis-hadis tersebut adalah tentang salat Witir. قال ابن القيم رحمه الله بعد أن ساق أحاديث في أنواع وتره صلى الله عليه وسلم: ” وكلها أحاديث صحاح صريحة لا معارض لها, فَرُدَّتْ هذه بقوله صلى الله عليه وسلم: (صلاة الليل مثنى مثنى) وهو حديث صحيح, ولكن الذي قاله هو الذي أوتر بالتسع والسبع والخمس, وسننه كلها حق يصدق بعضها بعضا, فالنبي صلى الله عليه وسلم أجاب السائل له عن صلاة الليل بأنها: (مَثْنَى مَثْنَى) ولم يسأله عن الوتر، وأما السبع والخمس والتسع والواحدة فهي صلاة الوتر، والوتر اسم للواحدة المنفصلة مما قبلها وللخمس والسبع والتسع المتصلة, كالمغرب اسم للثلاث المتصلة, فإن انفصلت الخمس والسبع بسلامين كالإحدى عشرة كان الوتر اسما للركعة المفصولة وحدها, كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى, فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ أَوْتَرَ بِوَاحِدَةٍ تُوتِرُ لَهُ مَا صَلَّى) فاتفق فعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وصدَّق بعضُه بعضاً” انتهى ([92]). وصلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالفها في الكيفية كما سبق بيانه. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya—, setelah mengutip hadis-hadis tentang berbagai jenis cara salat Witir, mengatakan bahwa semua hadis tersebut adalah hadis sahih dan jelas yang tidak saling kontradiktif. Pendapat ini dibantah dengan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” yang juga merupakan hadis sahih. Hanya saja, yang beliau katakan ini adalah tentang orang yang mengerjakan witir dengan sembilan, tujuh, dan lima rakaat. Sunah beliau semua benar dan saling membenarkan. Di sini Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang menjawab penanya yang bertanya kepada beliau tentang salat malam itu, yang caranya dua (rakaat) dua (rakaat), bukan bertanya tentang witir. Adapun rakaat yang jumlahnya sembilan, tujuh, lima, atau satu adalah untuk salat Witir. Witir adalah istilah untuk menyebut satu rakaat yang terpisah dari rakaat-rakaat yang sebelumnya dan untuk menyebut lima, tujuh, atau sembilan rakaat yang bersambung tersebut, sebagaimana Magrib adalah istilah untuk menyebut tiga rakaat yang bersambung. Adapun jika lima dan tujuh rakaat ini dipisahkan dengan salam, sebagaimana sebelas rakaat, maka witir adalah nama untuk untuk menyebut satu rakaat yang terpisah saja, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” Jadi, perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersesuaian dengan sabda beliau dan saling membenarkan. Selesai kutipan ([92]) Salat Witir merupakan bagian dari salat malam, namun berbeda tata caranya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. المسألة الرابعة: القراءة في الوتر: يقرأ في الركعة الأولى من الثلاث: سورة (سبح اسم ربك الأعلى) كاملة. وفي الثانية: الكافرون. وفي الثالثة: الإخلاص. فعن أبي بن كعب رضي الله عنه قال: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ” ([93]). واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Pembahasan Keempat: Bacaan dalam Salat Witir Bacaan pada rakaat pertama dari tiga rakaat salat Witir adalah surah sabbiẖisma rabbikal aʾlā (al-A’la) secara keseluruhan. Pada rakaat kedua membaca surah al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salat Witir membaca sabbiẖisma rabbikal aʾlā, qul yā ayyuhal kāfirūn, dan qul huwallāhu aẖad. ([93]).  واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Sebagian ulama menganjurkan untuk membaca Muʿawwidzatain (an-Nas dan al-Falaq) setelah surah al-Ikhlas pada rakaat ketiga. Ibnul Mundzir —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ketika seseorang menunaikan salat Witir tiga rakaat, maka hendaknya dia mengerjakan dua rakaat dengan rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā …,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn …,” kemudian salam. Kemudian, dia mengerjakan rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad …” dan Muʿawwidzatain. Selesai kutipan ([94]). واستدلوا بما رواه الترمذي: عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت: بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فقَالَتْ: (كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ) ([95]). وقد صحح هذا الحديث: الحاكم ووافقه الذهبي، وحسنه الحافظ ابن حجر في “نتائج الأفكار” وصححه الألباني في صحيح الترمذي . وضعفه الإمام أحمد ويحيى بن معين والعقيلي والشوكاني وغيرهم . Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah ditanya, “Dengan (bacaan) apa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir?” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab bahwa beliau di rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad” disertai Muʿawwidzatain. ([95]). Hadis ini dinilai sahih oleh al-Hakim dan disetujui oleh az-Zahabi, dinilai hasan oleh a-Hafiz Ibnu Hajar dalam Natāʾij al-Afkār, dan dinilai sahih juga oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, asy-Syaukani dan lain-lain menilainya lemah. قال ابن قدامة رحمه الله: “ويستحب أن يقرأ في ركعات الوتر الثلاث، في الأولى بـ (سبح)، وفي الثانية: (قل يا أيها الكافرون)، وفي الثالثة: (قل هو الله أحد) وبه قال الثوري وإسحاق وأصحاب الرأي، وقال الشافعي: يقرأ في الثالثة: (قل هو الله أحد) والمعوذتين، وهو قول مالك في الوتر ، وقال في الشفع: لم يبلغني فيه شيء معلوم، وقد روي عن أحمد أنه سئل: يقرأ بالمعوذتين في الوتر ؟ قال: ولِمَ لا يقرأ ؟… وحديث عائشة في هذا لا يثبت، فإنه يرويه يحيى بن أيوب وهو ضعيف ، وقد أنكر أحمد ويحيى بن معين زيادة المعوذتين” انتهى ([96]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tiga rakaat witir dianjurkan untuk membaca pada rakaat pertama “sabbiẖ,” pada rakaat kedua, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga, “qul huwallāhu aẖad.” Inilah pendapat ats-Tsauri, Ishaq, dan para Aṣhāb ar-Raʾyi. Syafii berkata bahwa pada rakaat ketiga membaca “qul huwallāhu aẖad” dan Muʿawwidzatain. Ini juga pendapat Malik tentang salat Witir. Adapun tentang salat dengan rakaat yang genap dia mengatakan, “Tidak ada penjelasan yang diketahui yang sampai kepadaku.” Diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia ditanya tentang membaca Muʿawwidzatain dalam salat Witir? Dia menjawab, “Kenapa tidak?” Sementara hadis Aisyah dalam masalah ini tidak sahih, karena diriwayatkan oleh Yahya bin Ayub. Dia lemah. Ahmad dan Yahya bin Ma’in mengingkari tambahan redaksi penambahan Muʿawwidzatain ini. Selesai kutipan ([96]). وقول الإمام أحمد رحمه الله: ولِمَ لا يقرأ ؟ يعني: مع ضعف الحديث، فلا حرج عليه إذا قرأ المعوذتين مع قل هو الله أحد في الركعة الثالثة، وإن كان الأصح أن يقتصر على (قل هو الله أحد) فقط . وبالرغم من ورود حديث ابن عباس وأبي بن كعب وعائشة رضي الله عنهما في قراءة الرسول صلى الله عليه وسلم هذه السور الثلاثة فقد اختلف العلماء في ذلك فذهب أبو حنيفة إلى أنه يقرأ في الوتر ما يشاء، وكذا الإمام مالك، في ركعتي الشفع، كما ذكره ابن قدامة عنه، وقد نقلناه آنفاً. Perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— “Kenapa tidak?” Maknanya meskipun hadisnya lemah sekalipun, tidak mengapa membaca Muʿawwidzatain dan qul huwallāhu aẖad pada rakaat ketiga, walaupun yang lebih tepat adalah cukup qul huwallāhu aẖad saja. Meskipun ada riwayat dalam hadis Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Aisyah —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang membaca ketiga surah ini. Pun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang bebas membaca apa yang dia inginkan dalam salat Witir di dua rakaat yang genap. Begitu pula Imam Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah darinya, sebagaimana yang telah kami kutip tadi. وهو قول بعض التابعين كإبراهيم النخعي رحمه الله، فقد روى عبد الرزاق في “المصنَّف” (3/34) عن إبراهيم النخعي قال: اقرأ فيهن ما شئت، ليس فيهن شيء موقوت”. أي: محدد . وجاء في ” المدونة ” (1 /212): وقال مالك: الوتر واحدة، والذي أقر به وأقرأ به فيها في خاصة نفسي: (قل هو الله أحد)، و (قل أعوذ برب الفلق)، و (قل أعوذ برب الناس) في الركعة الواحدة مع أمِّ القرآن: قال ابن القاسم: وكان لا يفتي به أحدا، ولكنه كان يأخذ به في خاصة نفسه”. انتهى. Ini juga menjadi pendapat sebagian Tabiin, seperti Ibrahim an-Nakha’i —Semoga Allah Merahmatinya—. Abdurrazzaq meriwayatkan dalam al-Muṣhannaf (3/34) dari Ibrahim an-Nakha’i yang mengatakan, “Bacalah sekehendakmu, karena tidak ada ketentuan khusus.” Disebutkan dalam al-Mudawwanah (1/212) bahwa Malik berkata, “Dalam witir satu rakaat, untukku sendiri, aku membaca Qul huwallāhu aẖad, Qul aʿūdzubil falaq, dan Qul aʿūdzubi rabbinnās dalam satu rakaat itu disertai Ummul Qur’an (al-Fatihah).” Ibnul Qasim berkata bahwa dia tidak pernah memfatwakan itu kepada seorang pun, melainkan untuk dia amalkan sendiri. Selesai kutipan. وظاهر هذا، أنه لم يثبت شيء عند الإمام مالك رحمه الله في القراءة في الوتر، وإلا كان أفتى به . ومن أوتر بواحدة، فإنه يقرأ ما شاء بعد الفاتحة، وليس هناك قراءة معينة وردت بها السنة، وإذا قرأ ب” قل هو الله أحد ” فلا حرج عليه ([97]). Dengan demikian, tampaknya menurut Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya— tidak ada riwayat yang sahih mengenai bacaan dalam witir (satu rakaat), kalau bukan begitu, tentu dia akan memfatwakannya. Maka dari itulah, barang siapa yang salat Witir dengan satu rakaat, maka ia boleh membaca apa saja yang diinginkannya setelah surah al-Fatihah, dan tidak ada bacaan khusus yang disebutkan dalam Sunah. Jika ia membaca Qul huwallāhu aẖad pun tidak masalah ([97]). المسألة الخامسة: دعاء القنوت: دعاء القنوت يكون في الركعة الأخيرة من صلاة الوتر بعد الركوع، وإن جعله قبل الركوع فلا بأس، إلا أنه بعد الركوع أفضل. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “أكثر الأحاديث والذي عليه أكثر أهل العلم أن القنوت بعد الركوع، وإن قنت قبل الركوع فلا حرج” انتهى ([98]). Pembahasan Kelima: Doa Kunut Doa kunut terletak pada rakaat terakhir salat Witir setelah rukuk. Tidak mengapa juga jika dilakukan sebelum rukuk, tetapi setelah rukuk lebih baik. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa kebanyakan hadis dan mayoritas ulama mengatakan bahwa kunut itu setelah rukuk. Jika seseorang kunut sebelum rukuk pun tidak mengapa. Selesai kutipan. ([98]) والأفضل عدم المداومة على القنوت، بل يقنت الشخص أحيانا ويترك أحيانا. قال الألباني رحمه الله: “وكان صلى الله عليه وسلم يقنت أحيانا… وإنما قلنا: “أحيانا” لأن الصحابة الذين رووا الوتر لم يذكورا القنوت فيه، فلو كان صلى الله عليه وسلم يفعله دائما لنقلوه جميعا عنه. نعم، رواه أبي بن كعب وحده، فدل على أنه كان يفعله أحيانا” انتهى([99]). Lebih baik adalah tidak melakukan kunut secara kontinu, melainkan sesekali melakukannya dan sesekali meninggalkannya. Al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu kadang-kadang membaca kunut. Kami mengatakan “kadang-kadang” karena para Sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis tentang Witir tidak menyebutkan tentang kunut dalam riwayatnya. Seandainya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu melakukannya, tentu mereka semua akan meriwayatkan hal itu dari beliau. Ya, yang meriwayatkan adalah Ubay bin Ka’ab saja, sehingga menunjukkan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hanya melakukannya kadang-kadang. Selesai kutipan. ([99]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: ” ثبت عن أبي ابن كعب رضي الله عنه حين كان يصلي بالصحابة رضي الله عنهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يترك القنوت بعض الليالي، ولعل ذلك ليعلم الناس أنه ليس بواجب” انتهى ([100]). أما الإطالة في الدعاء فقد قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “الصحيح ألا يكون غلو ولا تقصير، فالإطالة التي تشق على الناس منهي عنها ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن معاذ بن جبل أطال الصلاة في قومه غضب عليه غضباً شديداً لم يغضب في موعظة مثله قط، وقال لمعاذ بن جبل: (يا معاذ أفتان أنت) ([101])،  Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari ayahnya Ibnu Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengimami para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— di masjid Nabawi, beliau pernah meninggalkan kunut beberapa malam. Mungkin itu maksudnya agar orang mengetahui bahwa itu tidaklah wajib. Selesai kutipan ([100]). Adapun tentang memanjangkan doa dalam kunut, maka syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkomentar bahwa yang benar adalah tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurangi juga. Memperpanjang doa yang menyusahkan orang-orang tidaklah dibolehkan. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendengar bahwa Muadz bin Jabal memperpanjang salat ketika mengimami kaumnya, maka beliau sangat marah padahal beliau tidak pernah sama sekali marah seperti itu saat menasihati orang. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, jangan membuat masalah!” ([101]). فالذي ينبغي أن يقتصر على الكلمات الواردة أو يزيد قليلا ولا يشق. ولا شك في أن الإطالة شاقة على الناس وترهقهم، ولاسيما الضعفاء منهم، ومن الناس من يكون وراءه أعمال، ولا يحب أن ينصرف قبل الإمام ويشق عليه أن يبقى مع الإمام، فنصيحتي لإخواني الأئمة أن يكونوا بين بين، كذلك ينبغي أن يترك الدعاء أحياناً حتى لا يظن العامة أن الدعاء واجب” ([102]). Jadi, yang seyogianya dilakukan adalah mencukupkan diri dengan doa-doa yang warid atau ditambah sedikit tanpa memberatkan orang. Tidak diragukan bahwa kunut yang lama itu memberatkan dan membebani manusia, terutama bagi orang-orang yang sudah lemah. Di tengah jemaah ada sebagian mereka yang pekerja yang tidak ingin meninggalkan salat sebelum imam selesai tapi sangat berat baginya untuk terus mengikuti imam. Maka dari itu, nasihat saya kepada saudara-saudaraku para imam masjid adalah bertindak pertengahan, dan sebaiknya dia sesekali meninggalkan kunut agar masyarakat tidak menyangka bahwa doa itu wajib. ([102])  المسألة السادسة: حكم التطوع بعد الوتر يستحب أن تكون آخر صلاة من الليل، هي الوتر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا) ([103]) ، والأمر في الحديث على سبيل الاستحباب والأفضلية وليس على سبيل الوجوب والإلزام؛ لما ثبت في صحيح مسلم: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كان يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بعد الوتر وَهُوَ جَالِسٌ ([104]). قال الشيخ ابن باز رحمه الله: “والحكمة في ذلك -والله أعلم- أن يبين للناس جواز الصلاة بعد الوتر” انتهى ([105]). Pembahasan Keenam: Hukum Salat Sunah setelah Salat Witir Disunahkan agar salat malam yang terakhir adalah salat Witir, berdasarkan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Jadikanlah salat terakhir kalian di malam hari adalah salat Witir.” ([103]) Perintah dalam hadis tersebut hanya bersifat anjuran dan keutamaan saja, bukan kewajiban dan keharusan, karena ada riwayat sahih dalam Sahih Muslim dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah salat dua rakaat setelah witir sambil duduk. ([104]) Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Hikmahnya di balik perbuatan itu —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah untuk menjelaskan kepada manusia kebolehan salat setelah salat Witir.” Selesai kutipan ([105]). ومن أحب أن يوتر من آخر الليل، فإنه يقوم بعد سلام الإمام فيصلي ركعة ثم يسلم. فقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: بعض الناس إذا صلى مع الإمام الوتر وسلم الإمام قام وأتى بركعة ليكون وتره آخر الليل، فما حكم هذا العمل ؟ وهل يعتبر انصرف مع الإمام؟ فأجاب: “لا نعلم في هذا بأساً، نص عليه العلماء، ولا حرج فيه حتى يكون وتره في آخر الليل. ويصدق عليه أنه قام مع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([106]). Barang siapa yang ingin menunaikan witir di penghujung malam, hendaknya ia berdiri setelah imam salam (dari salat Witir, pent.) lalu salat lagi satu rakaat, kemudian salam. Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya bahwa ada sebagian orang yang jika sedang salat Witir bersama imam lalu imam sudah salam, dia berdiri lagi lalu salat satu rakaat karena ingin witir di penghujung malam. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah ia dianggap selesai bersama imam? Beliau menjawab, “Yang kami ketahui itu tidak masalah. Para ulama telah menjelaskan hal itu. Hal itu tidak masalah karena ingin witir di akhir malam. Ia tetap dianggap salat bersama imam sampai imam selesai.” Selesai kutipan ([106]) مسائل متفرقة في صلاة التراويح والوتر 1- دعاء الاستفتاح، يكون لكل ركعتين من صلاة التراويح؛ لأن كل تسليمة صلاة مستقلة عن التي قبلها([107]). 2- يستحب أن يقول بعد وتره: “سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح” ثلاثا، ويمد صوته بها في الثالثة؛ لحديث عبد الرحمن بن أبزى رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم من الوتر، يقول: “سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثِ صَوْتَهُ”، وزاد الدارقطني: (رب الملائكة والروح) ([108]). Berbagai Permasalahan seputar Salat Tarawih dan Witir Doa istiftah dibaca setiap dua rakaat dalam salat Tarawih, karena setiap salam di setiap salat itu terpisah dari salat sebelumnya ([107]). Setelah salat Witir, dianjurkan untuk membaca, “Subẖānal malikil quddūs rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci, Tuhannya para malaikat dan arwah),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga, berdasarkan hadis Abdurrahman bin Abzi —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah salam dari salat Witir mengucapkan, “Subẖānal malikil quddūs (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga. Ad-Daraqutni menambahkan lafaz, “… rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Tuhannya para malaikat dan arwah).” ([108]). 3- لا حرج في الصلاة خلف من يوتر بثلاث ركعات بتشهدين وتسليمة واحدة، كهيئة صلاة المغرب، ولو صلى الشخص خلف غيره ممن لا يوتر على تلك الهيئة، فهذا حسن وأولى([109]). 4- إذا كان الإمام يشرع في التراويح مباشرة بعد العشاء، بحيث لا يستطيع من خلفه أن يصلي سنة العشاء، فالمأموم في هذه الحال بالخيار: أ. إما أن يؤخِّر راتبة العشاء بعد صلاة التراويح على أن لا يتعدى الوقت نصف الليل؛ لأنه به ينتهي وقت العشاء وراتبتها. ب. أو يصلِّي راتبة العشاء بين ركعات التراويح أثناء استراحة المصلين أو أثناء إلقاء موعظة، ولا يدخل هذا في نهي بعض أهل العلم عن التنفل بين ركعات التراويح؛ لأن هذه الصلاة راتبة ليست نفلاً مطلقاً. ج. أو يصليهما أول ركعتين من التراويح بنية راتبة العشاء ([110]). Tidak mengapa seseorang salat di belakang imam yang melaksanakan salat Witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahud dan satu salam—seperti tata cara salat Magrib. Jika dia bisa salat di belakang imam lain yang tidak begitu cara salat Witirnya, maka itu lebih baik dan lebih utama ([109]). Jika imam memulai salat Tarawih langsung setelah salat Isya, sehingga makmum yang berada di belakangnya tidak sempat menunaikan salat sunah bakda isya, maka makmum punya beberapa pilihan: Dia bisa menunda salat sunah rawatib isya setelah salat Tarawih usai, asalkan waktunya tidak melebihi tengah malam; karena itulah waktu akhir salat Isya dan salat rawatibnya. Dia bisa mengerjakan salat sunah rawatib isya di sela-sela rakaat-rakaat Tarawih ketika para jemaah sedang beristirahat atau ketika sedang ada ceramah. Ini tidak termasuk dalam larangan sebagian ulama yang melarang salat sunah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih, karena salat ini merupakan salat rawatib, bukan salat sunah mutlak. Dia bisa mengerjakan dua rakaat pertama salat Tarawih dengan niat salat sunah rawatib isya ([110]). 5-صلاة المرأة للتراويح في بيتها، أفضل؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ) ([111])، لكن لو خشيت من أن تكسل عن الصلاة بمفردها، فالأفضل لها في هذه الحال أن تصلي في المسجد مع الجماعة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “صلاتها التراويح في البيت أفضل، لكن إذا كانت صلاتها في المسجد أنشط لها وأخشع لها، وتخشى إن صلت في البيت أن تضيع صلاتها، فقد يكون المسجد هنا أفضل ” انتهى([112]). Salat Tarawih wanita adalah di rumahnya. Ini yang afdal, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Janganlah kalian halangi wanita-wanita kalian dari masjid, meskipun rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” ([111]) Namun jika dia khawatir malas salat sendirian, maka yang lebih baik baginya adalah salat berjamaah di masjid. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih bagi wanita lebih utama di rumah, tetapi jika salatnya di masjid membuatnya lebih semangat dan khusyuk, serta khawatir menyia-nyiakan salat jika mengerjakannya di rumah, maka barangkali dalam hal ini masjid lebih afdal baginya. Selesai kutipan. ([112]) 6-البلاد التي يتأخر فيها وقت العشاء، هل لهم أن يصلوا التراويح قبل العشاء؟ قال الشيخ البراك حفظه الله: “لا يجوز لهم أداء صلاة التراويح قبل صلاة العشاء ودخول وقتها. ولكن نظرا لتأخر وقت دخول العشاء عندهم: يجوز لهم الجمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم، ثم يصلون التراويح بعد ذلك ” انتهى([113]). Di negara-negara yang waktu salat Isyanya terlambat, bolehkah orang-orang salat Tarawih sebelum isya? Syekh al-Barrak —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan salat Tarawih sebelum salat Isya dan sudah masuk waktunya. Namun karena waktu isya di daerah mereka terlambat, maka diperbolehkan bagi mereka untuk menggabungkan salat Magrib dan isya di awal waktu, kemudian salat Tarawih. Selesai kutipan ([113]). 7-تستحب صلاة التراويح والوتر للمسافر كما تستحب للمقيم؛ لمواظبته صلى الله عليه وسلم عليهما في السفر والحضر، قال ابن القيم رحمه الله: “ولم يكن صلى الله عليه وسلم يدع قيام الليل حضرا ولا سفرا ” انتهى([114]). 8- لا حرج في تتبع المساجد؛ طلبا للصوت الحسن([115]). 9- بعض الناس يظن أن الشفع هو سنة العشاء البعدية، وليس الأمر كذلك. قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: “سنة العشاء البعدية وهي ركعتان، خلاف الشفع والوتر” انتهى([116]). Salat Tarawih dan Witir dianjurkan bagi musafir sebagaimana dianjurkan bagi orang yang mukim, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga kontinu melakukannya saat safar maupun mukim. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan salat malam saat safar maupun mukim.” Selesai kutipan. ([114]) Tidak mengapa pilah-pilih masjid untuk mencari suara (imam) yang bagus. ([115]) Sebagian orang mengira bahwa salat Tarawih dengan rakaat genap adalah salat sunah bakda isya, padahal tidak demikian. Ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ mengatakan bahwa salat sunah rawatib bakda isya itu dua rakaat, berbeda dengan salat Tarawih dan witir. Selesai kutipan ([116]). 10-يجوز للمأموم أن لا يحدد عدد ركعات الوتر، ويجعل ذلك تابعا لصلاة الإمام. فلو نوى المأموم أن يصلي ركعتين من الوتر على أنه سيأتي بركعة مفردة بعدهما، ولكن الإمام صلى ثلاثا متصلة بتسليمة واحدة: فالمأموم في هذه الحال يغير نيته الأولى، وينوي وصل الوتر، ويتابع إمامه في هذه الحال. قال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله: “وإذا نوى الوتر فهو على نيته، سواء سرد الإمام الثلاث جميعاً، أو سلم بالركعتين ثم أتى بالثالثة؛ لأن الركعتين اللتين تسبق الواحدة: هي من الوتر، لكنه وتر مفصول، وإذا سرد الثلاث جميعاً بتشهد واحد فهو وتر موصول، وكلاهما جائز” انتهى([117]). Makmum boleh untuk tidak menentukan (niat) jumlah rakaat salat Witirnya dan mengikuti salatnya imam. Jika seorang makmum berniat salat Witir dua rakaat dengan melakukan satu rakaat terpisah setelahnya, namun imamnya salat tiga rakaat secara bersambung dengan satu salam, maka dalam hal ini makmum hendaknya merubah niat awalnya dan mengganti dengan niat menyambung rakaat witirnya guna mengikuti imamnya. Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada orang yang berniat menunaikan witir, maka hendaknya ia tetap berpegang dengan niat itu, baik imamnya salat tiga rakaat langsung atau salam setelah dua rakaat lalu mengerjakan rakaat ketiga, karena dua rakaat pertama sebelum satu rakaat itu juga bagian dari salat Witir, namun salat Witir yang terpisah. Jika imamnya salat tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud, maka itu salat Witir yang bersambung. Keduanya diperbolehkan. Selesai kutipan. ([117]) 11-الوتر بثلاث ركعات مفصولة، أفضل من الوتر بمثله من العدد متصلا؛ لأن الفصل فيه زيادة عمل وعبادة. قال النووي رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ الْإِتْيَانَ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ: الْأَفْضَلَ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَفْصُولَةً بِسَلَامَيْنِ لِكَثْرَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ وَلِكَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ.. “([118]). 12- إذا كان المصلي في الوتر وأذن الصبح، فإنه يتم وتره ولا يقطعه. سُئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله تعالى: ” عن رجل يصلي الوتر وأثناء صلاته أذن المؤذن لصلاة الفجر، فهل يتم صلاته؟ فأجاب فضيلته بقوله: نعم، إذا أذن وهو أثناء الوتر؛ فإنه يتم صلاته ولا حرج عليه” ([119]). Salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah lebih utama daripada salat Witir dengan jumlah rakaat yang sama tapi disambung semua, karena witir yang dipisah padanya ada tambahan amal dan ibadah. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang ingin mengerjakan dengan jumlah tiga rakaat, maka salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah dengan dua kali salam lebih utama karena hadis tentangnya lebih banyak dan lebih banyak pula ibadah di dalamnya …. ([118]). Jika seseorang sedang menunaikan salat Witir lalu azan subuh dikumandangkan, maka hendaknya ia menuntaskan salat Witirnya dan tidak menghentikannya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang sedang salat Witir, lalu ketika dia sedang salat, muazin mengumandangkan azan salat Subuh. Apakah ia harus menyelesaikan salatnya? Syekh yang mulia menjawab, “Ya, jika azan dikumandangkan saat dia sedang salat Witir, maka silakan menyempurnakan salatnya dan tidak masalah.” ([119]) 13-لا يجب في دعاء القنوت أن يكون باللفظ الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم، بل يجوز للمصلي أن يدعو بغيره أو يزيد عليه ([120]). 14- لا مانع من إلقاء الإمام بعض الدروس والكلمات بين ركعات التراويح، والأحسن أن لا يداوَم عليه، خشية أن يعتقد الناس أنه جزء من الصلاة، وخشية من اعتقادهم وجوبه حتى إنهم قد ينكرون على من لم يفعله. قال الشيخ عبد الله الجبرين رحمه الله: “… وحيث إنَّ الناس في هذه الأزمنة يخففون الصلاة، فيفعلونها في ساعة أو أقل: فإنه لا حاجة بهم إلى هذه الاستراحة، حيث لا يجدون تعباً ولا مشقة؛ لكن إن فصل بعض الأئمة بين ركعات التراويح بجلوس، أو وقفة يسيرة للاستجمام، أو الارتياح: فالأولى قطع هذا الجلوس بنصيحة أو تذكير، أو قراءة في كتاب مفيد، أو تفسير آية يمرّ بها القارئ، أو موعظة، أو ذكر حكم من الأحكام، حتى لا يخرجوا أو لا يملّوا، والله أعلم” ([121]). 13. Doa kunut tidak harus berupa doa yang warid dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, melainkan boleh saja berdoa dengan doa lain atau menambah doa yang warid. ([120]) 14. Tidak mengapa bagi imam untuk menyampaikan pelajaran atau ceramah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih. Namun lebih baik tidak dilakukan secara rutin, karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira itu bagian dari salat dan menyangka bahwa hal itu wajib, sampai-sampai mereka akan mengingkari orang yang tidak melakukan hal itu. Syekh Abdullah al-Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang-orang pada zaman ini telah mempersingkat salat mereka, yang dilakukan dalam durasi satu jam atau kurang. Jika begini, mereka sebenarnya tidak memerlukan istirahat ini karena tidak merasa lelah dan berat. Namun, jika sebagian imam memisahkan antara rakaat salat Tarawih dengan duduk atau jeda sejenak untuk relaksasi dan istirahat, maka lebih baik jika dia mengisi jeda duduk ini dengan nasihat, pengingat, membaca bacaan yang bermanfaat atau tafsir yang dibaca seorang pembaca, atau menyampaikan petuah atau pembahasan hukum Islam sehingga para jemaah tidak pergi atau bosan. Allah Yang lebih Mengetahui. ([121])  ([1])رواه البخاري (37)، ومسلم (759).  ([2])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (2730).  ([3])”الموسوعة الفقهية الكويتية” (34/118).  ([4])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (13/262-264).  ([5])رواه البخاري (990) ومسلم (749).  ([6])رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط”، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (365).  ([7])رواه أبو يعلى، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (364).  ([8])”فيض القدير” (6/173).  ([9])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52875)، (337318).  ([10])رواه البخاري (1129) ومسلم (761). Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor 2730. Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (34/118). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (13/262-264). Diriwayatkan oleh Bukhari (990) dan Muslim (749). Diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabīr dan al-Ausaṯh, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (365). Diriwayatkan oleh Abu Yaʿlā, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (364). Faiḏh al-Qadīr (6/173). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52875) dan (337318). Diriwayatkan oleh Bukhari (1129) dan Muslim (761).  ([11])رواه الترمذي (806)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([12])رواه البخاري (2010).  ([13])”المجموع” (3/526).  ([14])”مجالس شهر رمضان” (ص 22).  ([15])”قيام رمضان” (ص21).   ([16])”اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 95-97).  ([17])”جامع العلوم والحكم” (2/783(.  ([18])صلاة التراويح (ص 50)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (230276)، (45781)، (183220).  ([19])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50070) في ثواب قيام الليل.  ([20])رواه البخاري (37)، ومسلم (759). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (2010). Al-Majmūʿ (3/526). Majālis Syaẖru Ramaḏhān (hal. 22). Qiyām Ramaḏhān (hal. 21). Iqtiḏhāʾ aṣ-Ṣirāt al-Mustaqīm (2/95-97). Jāmiʿ al-ʿUlūm wa al-H̱ikam (2/783). Ṣalātu at-Tarāwīẖ (hal. 50), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (230276), (45781), dan (183220). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50070) tentang pahala salat malam. Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759).  ([21])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (48957).  ([22])رواه البخاري (1901)، ومسلم (759).  ([23])رواه مسلم (1175).  ([24])شرح النووي على مسلم (8/71).  ([25])”المجموع” (3/526)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (37768).  ([26])”المغني” (2/ 125).  ([27])”الشرح الممتع ” (4/60، 61).  ([28])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50547).  ([29])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (292307).  ([30])”كشاف القناع” (1/426). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (48957). Diriwayatkan oleh Bukhari (1901) dan Muslim (759). Diriwayatkan oleh Muslim (1175). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (8/71). Al-Majmūʿ (3/526), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37768). Al-Mughnī (2/125). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/60, 61). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50547). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (292307). Kasysyāf al-Qināʿ (1/426).  ([31])”المصابيح في صلاة التراويح” (ص/4)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9036).  ([32])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/322).  ([33])رواه الترمذي (806) وصححه الألباني في صحيح الترمذي (646).  ([34])”الشرح الممتع” (4 /73 –75).  ([35])رواه البخاري (1909) ومسلم (738).  ([36])رواه البخاري (946) ومسلم (749).  ([37])”المبسوط” (2/ 145).  ([38])”المغني” (1/457).  ([39])”المجموع” (4/31).  ([40])انظر: “المغني” (2/604)، و”المجموع” (4/32). Al-Maṣābīẖ fī Ṣalāti at-Tarāwīẖ (hal. 4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9036). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/322). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi (646). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/73-75). Diriwayatkan oleh Bukhari (1909) dan Muslim (738). Diriwayatkan oleh Bukhari (946) dan Muslim (749). Al-Mabsūṯh (2/145). Al-Mughnī (1/457). Al-Majmūʿ (31/4). Lihat: al-Mughnī (2/604) dan al-Majmūʿ (4/32).  ([41])”الاختيارات” ص (64).  ([42])”فتاوى اللجنة الدائمة-المجموعة الثانية” (6/82).  ([43])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، في جواب السؤال رقم: (38021).  ([44])”المجموع” (3/526).  ([45])”الدرر السنية” (4/364)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (109768)، (293059).   ([46])رواه البخاري معلقاً (1/245)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (69670).  ([47])”المجموع” (4/27) بتصرف.  ([48])رواه البخاري (494) ومسلم (543).  ([49])”فتاوى إسلامية” (1/341).  ([50])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52876)، (10067). Al-Ikhtiyārāt, hal. (64). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (6/82). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (38021). Al-Majmūʿ (3/526). Ad-Durar as-Saniyyah (4/364), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (109768) dan (293059). Diriwayatkan oleh Bukhari secara Muʿallaq (1/245), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (69670). Al-Majmūʿ (27/4) dengan penyesuaian. Diriwayatkan oleh Bukhari (494) dan Muslim (543). Fatāwā Islāmiyyah (1/341). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52876) dan (10067).  ([51])”مجموع فتاوى الشيخ ابن باز ” (11 /340 – 341).  ([52])فتاوى الشيخ محمد بن صالح العثيمين لمجلة الدعوة العدد 1771 ص 45.  ([53])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79136).  ([54])”المغني” (2/30).  ([55])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/402).  ([56])”مجموع فتاوى ابن باز” (30/30)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (189426).  ([57])”لقاء الباب المفتوح لابن عثيمين”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (93808).  ([58])رواه الترمذي (806) وصححه، وأبو داود (1375)، والنسائي (1605)، وابن ماجه (1327)، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (153247)، (93907).  ([59])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/325).  ([60])”فتاوى الشيخ ابن جبرين” (24 /9). Majmūʿ Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/340-341). Fatāwā Muhammad bin ʿUstaimīn dalam majalah ad-Daʿwah edisi 1771 H, hal. 45. Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (79136). Al-Mughnī (30/2). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (7/402). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (30/30), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (189426). Liqāʾ al-Bāb al-Maftūẖ Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (93808). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806) dan dia menilainya sahih, Abu Dawud (1375), an-Nasai (1605), dan Ibnu Majah (1327), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (153247) dan (93907). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/325). Fatāwā Syaikh Ibni Jibrīn (24/9).  ([61])”اللقاء المفتوح” (176/ 16)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (314180).  ([62])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/207)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (232790)، (93907).  ([63])رواه البخاري (1891) ومسلم (11)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (36793).  ([64])”شرح النووي على مسلم” (1/169).  ([65])”فتح الباري” (1/107).  ([66])رواه مسلم (754).  ([67])رواه أبو داود (1416)، وصححه الألباني في صحيح أبي داود .  ([68])رواه البخاري (1000) ومسلم (700).  ([69])”المغني” (1/827). ([70]) “فتاوى اللجنة الدائمة” (7/172). Al-Liqāʾ al-Maftūẖ (176/16), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (314180). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/207), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (232790) dan (93907). Diriwayatkan oleh Bukhari (1891) dan Muslim (11), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (36793). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (1/169). Fatẖu al-Bārī (1/107). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1416), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Diriwayatkan oleh Bukhari (1000) dan Muslim (700). Al-Mughnī (1/827). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/172).  ([71])رواه الترمذي (425) وصححه الألباني، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (32577)، ورقم: (65692).  ([72])رواه مسلم (754).  ([73])رواه مسلم (750).  ([74])رواه مسلم (752).  ([75])رواه الترمذي (469)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([76])رواه البخاري ومسلم (472) ومسلم (749).  ([77])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/115).  ([78])”بداية المجتهد” (1 /147، 148).  ([79])”فتاوى الشيخ ابن باز” (11/306).  ([80])رواه مسلم (755). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (425), dan dinilai sahih oleh al-Albani, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (32577) dan (65692). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Muslim (750). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (469), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (472) dan Muslim (749). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/115). Bidāyatu al-Mujtahid (1/147, 148). Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/306). Diriwayatkan oleh Muslim (755). ([81]) “شرح النووي على مسلم” (3/277). (29) رواه مسلم (752).  ([83])رواه البخاري (911) ومسلم (749).  ([84])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (46544).  ([85])رواه النسائي (3/234) والبيهقي (3/31).  ([86])”المجموع” (4/7).  ([87])رواه ابن حبان (2435).  ([88])”فتح الباري” (2/482).  ([89])رواه النسائي (1714)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([90])رواه مسلم (737). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (3/277). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Bukhari (911) dan Muslim (749). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (46544). Diriwayatkan oleh an-Nasai (3/234) dan al-Baihaqi (31/3). Al-Majmūʿ (4/7). Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2435). Fatẖu al-Bārī (2/482). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1714), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Diriwayatkan oleh Muslim (737).  ([91])رواه مسلم (746).  ([92])”إعلام الموقعين” (2/424، 425)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66652).  ([93])رواه النسائي (1729)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([94])”الأوسط” (5/187).  ([95])رواه الترمذي (463)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([96])”المغني” (2/599)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([97])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([98])”الشرح الممتع ” (4/65)، وينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم: (14093)، (14093).  ([99])”صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم” (ص160)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (289048).  ([100])”فتاوى إسلامية ” (2/159). Diriwayatkan oleh Muslim (746). Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (2/424, 425), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66652). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1729), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Al-Ausaṯh (5/187). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (463), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Al-Mughnī (2/599), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/65), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (14093) dan (14093). Ṣifatu aṣ-Ṣalāh an-Nabiy Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (hal. 160), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (289048). Fatāwā Islāmiyyah (2/159).  ([101])رواه البخاري (6106)، ومسلم (465).  ([102])”مجموع فتاوى ورسائل العثيمين” (14/136).  ([103])رواه البخاري (998) ومسلم (751).  ([104])رواه مسلم (738).  ([105])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم (37729).  ([106])”مجموع فتاوى ابن باز ” (11/312)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم (65702).  ([107])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66558).  ([108])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (221433)، (14093).  ([109])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (165761)، (66613).  ([110])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (222751). Diriwayatkan oleh Bukhari (6106) dan Muslim (465). Majmūʿ Fatāwā wa Rasāʾil Ibni ʿUtsaimīn (14/136). Diriwayatkan oleh Bukhari (998) dan Muslim (751). Diriwayatkan oleh Muslim (738). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37729). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/312), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (65702). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66558). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (221433) dan (14093). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (165761) dan (66613). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751).  ([111])رواه أبو داود (567)، وصححه الألباني في “إرواء الغليل”.  ([112])اللقاء الشهري لابن عثيمين، وينظر جواب السؤال رقم (222751).  ([113])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (220828)، ورقم: (292307).  ([114])”زاد المعاد” (1/311)، ينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79593)، (208).  ([115])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (106530)، (108614).  ([116])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/255)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (72246).  ([117])”جلسات رمضانية “، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([118])” المجموع شرح المهذب” (4/13)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([119])”مجموع فتاوى ورسائل الشيخ ابن عثيمين” (14/115)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (295615)، (65692).  ([120])”الموسوعة الفقهية” (34/63)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9061).  ([121])”الإجابات البهية في المسائل الرمضانية” (السؤال الثاني)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (250931)، ورقم: (38025). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (567), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Irwāʾ al-Ghalīl. Al-Liqāʾ asy-Syahrī Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (220828) dan (292307). Zād al-Maʿād (1/311), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor(79593), (208). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (106530) dan (108614). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/255), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (72246). Jalasāt Ramaḏhaniyyah, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Majmūʿ asy-Syarẖi al-Muhadzdzab (13/4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Fatāwā wa Rasāʾil Ibni Ibni ʿUtsaimīn (14/115), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (295615) dan (65692). Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (34/63), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9061). Al-Ijābāt al-Bahiyyah fi al-Masāʾil ar-Ramaḏaniyyah, Pertanyaan Kedua. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (250931) dan (38025). Sumber: www.islamqa.info/ar/researches/8/احكام-صلاة-التراويح-والوتر PDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 189 times, 1 visit(s) today Post Views: 351 QRIS donasi Yufid


أحكام صلاة التراويح والوتر Hukum Seputar Salat Tarawih dan Witir قيام الليل قربة عظيمة في رمضان وغيره، وهو في رمضان آكد؛ لقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([1]). سمي قيام الليل في رمضان بصلاة التراويح؛ لأنّ السّلف رحمهم الله كانوا إذا صلّوها استراحوا بعد كلّ ركعتين، أو أربع من اجتهادهم في تطويل صلاة قيام الليل([2]). Salat malam adalah ibadah yang agung, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadan, tetapi di bulan Ramadan lebih dianjurkan lagi berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (1) Salat malam di bulan Ramadan disebut dengan salat Tarawih, karena para Salaf dahulu —Semoga Allah Merahmati mereka— jika mengerjakan salat ini, mereka beristirahat dahulu setelah selesai mengerjakan dua atau empat rakaat, tergantung panjangnya salat malam yang mereka kerjakan ini sesuai dengan kemampuan mereka. ([2]) أولاً: الفرق بين صلاة التراويح والتهجد والوتر: صلاة التهجد والتراويح أسماء ومصطلحات داخلة في مسمى صلاة الليل. لكن الفرق بينهما: أن التراويح تطلق -عند العلماء- على القيام من أول الليل في رمضان خاصة. وصلاة التهجد: هي الصلاة التي تكون بعد نوم([3]). فائدة: فرق أهل العلم بين صلاة الليل والوتر من جهة الحكم ومن جهة الكيفية: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” والسنة قولاً وفعلاً قد فرقت بين صلاة الليل وبين الوتر، وكذلك أهل العلم فرقوا بينهما حكماً، وكيفية: أما تفريق السنة بينهما قولاً: ففي حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم كيف صلاة الليل؟ قال: (مثنى مثنى، فإذا خفت الصبح فأوتر بواحدة) رواه البخاري. وانظر “الفتح” (3/20). Pertama: Perbedaan antara Salat Tarawih, Tahajud, dan Witir Salat Tahajud dan Tarawih adalah nama dan istilah yang termasuk dalam cakupan salat malam. Hanya saja, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Tarawih —menurut para ulama— digunakan secara khusus untuk menyebut salat yang dilakukan di awal malam di bulan Ramadan. Adapun salat Tahajud adalah salat yang dilakukan setelah tidur. ([3]). Faedah dari dibedakannya antara salat malam dan salat Witir oleh para ulama dari segi hukum dan tata caranya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa berdasarkan Sunah dari perkataan dan perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, ada perbedaan antara salat malam dan salat Witir. Pun para ulama juga membedakan keduanya dari segi hukum dan tata caranya. Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tersebut dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang bagaimana cara mengerjakan salat malam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat Witir satu rakaat.” (HR Bukhari) Lihat kitab al-Fath (20/3). وأما تفريق السنة بينهما فعلاً: ففي حديث عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه، فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوتر. رواه البخاري. وانظر: “الفتح” (2/487)، ورواه مسلم (1/51) بلفظ: (كان يصلي صلاته بالليل وأنا معترضة بين يديه فإذا بقي الوتر أيقظها فأوترت).  Adapun perbedaan berdasarkan Sunah dari perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang salat, sedangkan aku sedang tidur membujur di atas tempat tidurnya. Lalu, jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah ingin menunaikan witir, beliau membangunkanku lalu salat Witir.” (HR. Bukhari) Lihat kitab al-Fath (2/487) Hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim (1/51) dengan redaksi bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melaksanakan salat di malam hari, sementara Aisyah tidur membujur di hadapannya. Kemudian, jika tinggal salat Witir saja, beliau membangunkannya lalu dia melakukan witir. وروى (1/508) عنها قالت: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها. وروى (1/513) عنها حين قال لها سعد بن هشام بن عامر: أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: (ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده، ويدعوه، ثم ينهض ولا يسلم، ثم يقوم فيصلي التاسعة، ثم يقعد فيذكر الله، ويحمده، ويدعوه، ثم يسلم تسليماً يسمعنا). Imam Muslim juga meriwayatkan (1/508) darinya —Semoga Allah Meridainya— yang mengisahkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat tiga belas rakaat di malam hari termasuk melaksanakan witir lima rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang terakhir. Beliau juga meriwayatkan (1/513) darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Saad bin Hisyam bin Amir bertanya kepadanya, “Ceritakan padaku tentang salat Witirnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab, “Beliau salat sembilan rakaat, yang mana beliau tidak duduk hingga rakaat kedelapan, lalu berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, beliau bangun lagi tanpa salam dan salat lagi mengerjakan rakaat kesembilan. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam duduk berzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah, lalu salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami” وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل حكماً: فإن العلماء اختلفوا في وجوب الوتر، فذهب أبو حنيفة إلى وجوبه، وهو رواية عن أحمد ذكرها في “الإنصاف” و”الفروع”، قال أحمد: من ترك الوتر عمداً فهو رجل سوء ولا ينبغي أن تقبل له شهادة. والمشهور من المذهب أن الوتر سنة، وهو مذهب مالك؛ والشافعي. وأما صلاة الليل فليس فيها هذا الخلاف، ففي “فتح الباري” (3/27): “ولم أر النقل في القول بإيجابه إلا عن بعض التابعين. قال ابن عبد البر: شذ بعض التابعين فأوجب قيام الليل ولو قدر حلب شاة، والذي عليه جماعة العلماء أنه مندوب إليه” انتهى. Adapun yang dijelaskan oleh para ulama tentang perbedaan hukum antara salat Witir dan salat malam, maka mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya salat Witir. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Itu juga salah satu riwayat dari Ahmad yang tersebut dalam kitab al-Inṣhāf dan al-Furūʿ. Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan tidak layak diterima kesaksiannya.” Adapun dalam internal mazhab kami, yang terkenal adalah pendapat bahwa salat Witir itu sunah. Inilah pendapat Malik dan Syafii.  Adapun hukum salat malam, maka tidak ada perbedaan pendapat seperti ini. Disebutkan dalam Fathul Bari (27/3), “Saya tidak menemukan adanya kutipan pendapat yang mewajibkannya kecuali hanya dari sebagian ulama Tabiin. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sebagian Tabiin berpendapat nyeleneh dengan mewajibkan salat malam meskipun hanya sesaat seperti durasi memerah susu domba. Adapun pendapat mayoritas ulama adalah sunah.” Selesai kutipan. وأما تفريق العلماء بين الوتر وصلاة الليل في الكيفية: فقد صرح فقهاؤنا الحنابلة بالتفريق بينهما فقالوا: صلاة الليل مثنى مثنى، وقالوا في الوتر: إن أوتر بخمس، أو سبع لم يجلس إلا في آخرها، وإن أوتر بتسع جلس عقب الثامنة فتشهد، ثم قام قبل أن يسلم فيصلي التاسعة، ثم يتشهد ويسلم، هذا ما قاله صاحب “زاد المستقنع” ” انتهى([4]). Adapun perbedaan yang ditetapkan para ulama tentang tata cara salat Witir dan salat malam, maka para ulama kami dari kalangan mazhab Hanbali telah menyatakan perbedaan di antara keduanya dengan mengatakan bahwa salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Adapun salat Witir, mereka mengatakan bahwa witir hendaknya dikerjakan lima atau tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat. Adapun jika witir sembilan rakaat, hendaknya dia duduk tasyahud di rakaat kedelapan, lalu sebelum salam berdiri lagi mengerjakan rakaat kesembilan lalu tasyahud baru salam. Beginilah yang disebutkan dalam kitab Zād al-Mustaqniʿ. Selesai kutipan ([4]). وكذلك من جهة الكيفية: فقالوا: أقل ما يحصل به القيام: ركعتان، وأكثره لا حد له؛ لحديث: (صَلاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([5]). وأقل ما يحصل به الوتر: ركعة واحدة؛ للحديث السابق. قد ورد ما يفيد أن أقل القيام ركعة، لكنه لا يصح. فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: “أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصلاة الليل، ورغَّب فيها حتى قال: عليكم بصلاة الليل ولو ركعة” ([6]). Termasuk perbedaan dari sisi tata caranya, mereka berkata bahwa salat malam minimal dua rakaat dan bisa lebih tanpa ada batasannya, berdasarkan sebuah hadis, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika dikhawatirkan masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([5]) Adapun salat Witir minimal satu rakaat, berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Ada riwayat yang mengisyaratkan bahwa salat malam minimalnya satu rakaat, tetapi tidak sahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan salat malam dan terus menganjurkannya sampai-sampai beliau bersabda, “Kalian harus menunaikan salat malam meskipun hanya satu rakaat.” ([6]). وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فَذَكَرْتُ قيامَ الليلِ، فقال بعضهم: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: نصفَه، ثلثَه، ربعَه، فُواق حَلْبِ ناقةٍ، فُواق حلْبِ شاةٍ”([7]). (فُواق الناقة): “بضم الفاء وتفتح ما بين الحلبتين من الوقت، لأنها تحلب ثم تترك سويعة يرضعها الفصيل، لتدر” انتهى ([8]). واعلم أن الوتر غير قيام الليل، فلا يؤخذ من صحة الوتر بركعة، أن أقل القيام ركعة. قال في “كشاف القناع” (5/ 23): “(وَهَلْ هُوَ) أَيْ الْوِتْرُ (قِيَامُ اللَّيْلِ أَوْ غَيْرُهُ ؟ احْتِمَالَانِ؛ الْأَظْهَرُ: الثَّانِي)، أَيْ أَنَّ الْوِتْرَ غَيْرُ قِيَامِ اللَّيْلِ، لِحَدِيثٍ سَاقَهُ ابْنُ عَقِيلٍ: الْوِتْرُ وَالتَّهَجُّدُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ.قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: فَرَّقَ أَصْحَابُنَا هُنَا بَيْنَ الْوِتْرِ، وَقِيَامِ اللَّيْلِ” انتهى. وبهذا يتبين أن صلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالف صلاة الليل في بعض الفروقات، منها: الكيفية ([9]). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Ketika aku berkata tentang salat malam, sebagian dari mereka berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘(Selama) setengah malam, sepertiganya, seperempatnya, seperti waktu jeda ketika memerah susu unta, atau jeda ketika memerah susu domba.” ([7]) Jeda (Fuwāq) di sini, dengan mendamahkan huruf fa atau memfathahnya, artinya adalah jeda waktu antara dua pemerahan, yaitu diperah dahulu kemudian dibiarkan sesaat agar menyusui lagi sehingga susunya penuh lagi. Selesai kutipan. ([8]) Ketahuilah bahwa salat malam bukanlah salat Witir, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya dengan salat Witir yang sah dikerjakan dengan satu rakaat atau bahwa minimal rakaat salat malam adalah satu rakaat. Disebutkan dalam Kasyāf al-Qināʾ (23/5): “(Dan apakah) yaitu witir (adalah salat malam atau bukan?) Ada dua pendapat, tetapi yang lebih tepat adalah yang kedua, yaitu bahwa salat Witir bukanlah salat malam, berdasarkan hadis yang dipaparkan oleh Ibnu Aqil tentang salat Witir, Tahajud, dan dua rakaat Subuh. Syekh Taqiyudin berkata, ‘Para sahabat kami dalam masalah ini membedakan antara salat Witir dan salat malam.'” Selesai kutipan. Dengan demikian jelas bahwa salat Witir termasuk bagian dari salat malam, hanya saja ada perbedaan dengan salat malam dalam beberapa perkara, termasuk di antaranya adalah tata caranya ([9]). ثانيا: مشروعية صلاة التراويح جماعة في المسجد، وبطلان القول ببدعيتها: صلاة التراويح في المسجد مع الجماعة أفضل من صلاتها في البيت، وقد دلت على ذلك السنة، وفعل الصحابة رضي الله عنهم. 1/ فعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ ([10]). Kedua: Disyariatkannya Salat Tarawih Berjamaah di Masjid dan Batilnya Pendapat yang Membidahkannya Salat Tarawih di masjid secara berjamaah lebih baik daripada melakukannya di rumah. Dalilnya adalah Sunah dan amalan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka—. Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan salat pada suatu malam di masjid, lalu orang-orang salat mengikuti salat beliau. Kemudian, beliau melakukan salat lagi di malam berikutnya sehingga semakin banyak orang yang ikut. Kemudian, mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, “Aku melihat apa yang kalian lakukan, tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian kecuali karena aku khawatir ini akan diwajibkan kepada kalian.” Hal itu terjadi di bulan Ramadan ([10]). فهذا يدل على أن صلاة التراويح في جماعة مشروعة بسنة النبي صلى الله عليه وسلم، غير أنه تركها خشية أن تفرض على الأمة، فلما مات النبي صلى الله عليه وسلم زال هذا المحذور، لاستقرار الشريعة. Hadis ini menunjukkan bahwa salat Tarawih berjamaah disyariatkan berdasarkan Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Adapun ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah wafat, larangan ini hilang karena hukum syariat sudah final. 2/ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ –يعني في صلاة التراويح- حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([11]). 3/عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ([12]). Diriwayatkan dari Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam —maksudnya salat Tarawih— sampai dia selesai, maka dicatat baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([11]). Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qārī yang berkata, “Aku pergi bersama Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadan. Ketika itu orang-orang berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang salat sendiri dan ada yang salat dengan beberapa orang jemaah. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Saya berpikir bahwa lebih baik aku mengumpulkan mereka semua bersama satu imam.’ Dia lantas memutuskan hal itu dan mengumpulkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaab.” ([12])  قال النووي رحمه الله:” صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ… وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً, وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ. الثَّانِي: الانْفِرَادُ أَفْضَلُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ, وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ. قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ: قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو إِسْحَاقَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ جَمَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ الانْفِرَادِ لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَإِجْمَاعِ أَهْلِ الأَمْصَارِ عَلَى ذَلِكَ” انتهى ([13]). Imam an-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Salat Tarawih hukumnya sunah berdasarkan konsensus para ulama … yang boleh dikerjakan sendiri atau berjamaah. Akan tetapi, mana yang lebih utama? Ada dua pendapat terkenal. Yang benar, dengan kesepakatan para sahabat kami (mazhab Syafii), bahwa berjamaah itu lebih utama. Pendapat kedua mengatakan salat sendirian lebih utama. Para sahabat kami mengatakan bahwa perbedaan pendapat ini berlaku bagi orang yang hafal al-Quran, tidak khawatir bosan jika salat sendirian, serta tidak menggembosi salat berjamaah yang didirikan di masjid karena ketidakikutsertaannya. Jika dalam diri seseorang tidak ada dari salah satu perkara di atas, maka salat berjamaah lebih baik baginya tanpa ada perselisihan pendapat. Pengarang kitab asy-Syamil berkata bahwa Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Salat Tarawih berjamaah lebih utama daripada salat Tarawih sendirian, berdasarkan kesepakatan para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dan masyarakat di berbagai negeri mengenai hal itu.'” Selesai kutipan ([13]) وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ” وكان النبي صلى الله عليه وسلم أول من سن الجماعة في صلاة التراويح في المسجد، ثم تركها خوفا من أن تفرض على أمته…. ثم ذكر الحديثين السابقين، ثم قال: ولا ينبغي للرجل أن يتخلف عن صلاة التراويح لينال ثوابها وأجرها، ولا ينصرف حتى ينتهي الإمام منها ومن الوتر، ليحصل له أجر قيام الليل كله” انتهى باختصار ([14]). Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah orang pertama yang melakukan salat Tarawih secara berjamaah di masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. … Kemudian Syekh menyebutkan dua hadis yang dijelaskan sebelumnya, lalu mengatakan, “Seseorang tidak selayaknya melewatkan salat Tarawih agar mendapatkan ganjaran dan pahalanya, dan janganlah dia meninggalkannya sampai sang imam menyelesaikan salat Tarawihnya dan salat Witir, agar ia memperoleh pahala salat sepanjang malam.” Selesai kutipan dengan diringkas ([14]). وقال الألباني رحمه الله: ” وتشرع الجماعة في قيام رمضان، بل هي أفضل من الانفراد، لإقامة النبي صلى الله عليه وسلم لها بنفسه، وبيانه لفضلها بقوله. وإنما لم يقم بهم عليه الصلاة والسلام بقية الشهر خشية أن تفرض عليهم صلاة الليل في رمضان، فيعجزوا عنها كما جاء في حديث عائشة في “الصحيحين” وغيرهما. وقد زالت هذه الخشية بوفاته صلى الله عليه وسلم بعد أن أكمل الله الشريعة، وبذلك زال المعلول، وهو ترك الجماعة في قيام رمضان، وبقي الحكم السابق، وهو مشروعية الجماعة، ولذلك أحياها عمر رضي الله عنه كما في “صحيح البخاري” وغيره ” انتهى ([15]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam (Tarawih) di bulan Ramadan disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah, bahkan itu lebih baik daripada salat sendirian, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya demikian dan menjelaskan keutamaannya dalam sabda beliau. Namun beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berjamaah bersama mereka di sisa hari di bulan itu karena khawatir salat malam di bulan Ramadan akan diwajibkan bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu menunaikannya, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadis Aisyah dalam kitab Sahihain dan lain-lain. Kekhawatiran ini telah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menyempurnakan ini, yang dengan demikian alasan meninggalkan salat berjamaah di malam di Ramadan tidak berlaku lagi, sehingga hukum asalnya kembali lagi, yaitu disyariatkannya salat Tarawih secara berjamaah. Inilah mengapa Umar —Semoga Allah Meridainya— menghidupkannya kembali seperti yang tersebut dalam Sahih Bukhari dan kitab lainnya. Selesai kutipan [15]). وأما قول عمر رضي الله عنه –عن صلاة التراويح-: “نعمت البدعة هذه ” لما رأى الصحابة مجتمعين على صلاة التراويح، فمراده رضي الله عنه: البدعة اللغوية وليست الشرعية. يعني: أنها أمر جديد، لم تجر به عادة الناس وعملهم. وذلك أن جمع الناس في رمضان كل ليلة على إمام واحد باستمرار وانتظام: لم يكن من قبل، فاعتبر ظاهر الحال، وقصد المعنى اللغوي للبدعة، ولم يقصد المعنى الشرعي لها، الذي يعني: استحداث أمر في الدين، وليس منه، مع نسبته إلى الدين؛ فصلاة التراويح من الدين المشروع المندوب إليها، وهكذا صلاتها جماعة: من الأمر المرغب فيه المندوب إليه، وثبت أصله من فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقوله. Adapun pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— tentang salat Tarawih, “Inilah sebaik-baik bidah,” ketika melihat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— berkumpul untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah, maka yang dia —Semoga Allah Meridainya— maksud adalah bidah secara bahasa dan bukan bidah secara istilah syariat, artinya ini adalah suatu hal yang baru yang sebelumnya tidak diamalkan dan belum menjadi kebiasaan mereka. Hal ini karena berjamaahnya orang-orang di bulan Ramadan setiap malam dengan satu imam secara terus-menerus dan teratur memang sebelumnya tidak ada dari sisi realitas, sehingga maksudnya —Semoga Allah Meridainya— adalah bidah secara bahasa, bukan secara hukum syariat yang maknanya perkara baru dalam agama yang bukan bagian darinya tapi dianggap sebagai bagian dari agama. Salat Tarawih termasuk bagian dari agama yang disyariatkan dan dianjurkan. Demikian pula melakukannya secara berjamaah, dianjurkan dan disunahkan, yang mana amalan ini dasarnya adalah dari perbuatan dan perkataan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  ” هذه تسمية لغوية، لا تسمية شرعية، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق. وأما البدعة الشرعية: فما لم يدل عليه دليل شرعي، فإذا كان نص رسول الله صلى الله عليه وسلم قد دل على استحباب فعل أو إيجابه بعد موته، أو دل عليه مطلقا، ولم يعمل به إلا بعد موته، ككتاب الصدقة، الذي أخرجه أبو بكر-رضي الله عنه- فإذا عمل ذلك العمل بعد موته، صح أن يسمى بدعة في اللغة؛ لأنه عمل مبتدأ. . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa itu adalah sebutan secara bahasa, bukan secara syariat, karena bidah secara bahasa mencakup segala sesuatu yang mulai dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bidah secara syariat adalah amalan yang tidak ada landasan dalilnya dalam syariat. Maka dari itu, jika ada nas dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang menunjukkan dianjurkannya atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat atau secara mutlak tapi beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri belum mengamalkannya sampai beliau wafat, seperti penulisan zakat yang diterapkan oleh Abu Bakar —Semoga Allah Meridainya—, maka perkara yang diamalkan setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat itu sah-sah saja jika disebut bidah secara bahasa, karena itu memang perbuatan yang baru dimulai.  كما أن نفس الدين الذي جاء به النبي صلى الله عليه وسلم يسمى بدعة، ويسمى محدثا في اللغة، كما قالت رسل قريش للنجاشي عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم المهاجرين إلى الحبشة: “إن هؤلاء خرجوا من دين آبائهم، ولم يدخلوا في دين الملك، وجاءوا بدين محدث لا يعرف” Demikian juga agama yang dibawa oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga disebut bidah dan sesuatu yang baru secara bahasa, sebagaimana yang dikatakan oleh para delegasi kaum Quraisy kepada Raja Najasyi tentang para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berhijrah ke negeri Habasyah, “Mereka ini adalah orang-orang yang meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula memeluk agama Raja, melainkan membawa agama baru yang tidak dikenal.” ثم ذلك العمل الذي يدل عليه الكتاب والسنة: ليس بدعة في الشريعة، وإن سمي بدعة في اللغة، فلفظ البدعة في اللغة، أعم من لفظ البدعة في الشريعة. وقد علم أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (كل بدعة ضلالة) لم يرد به كل عمل مبتدأ، فإن دين الإسلام، بل كل دين جاءت به الرسل، فهو عمل مبتدأ، وإنما أراد: ما ابتُدئ من الأعمال التي لم يشرعها هو صلى الله عليه وسلم. Kemudian, perbuatan yang ada dalilnya dari al-Quran dan Sunah bukanlah bidah secara syariat, walaupun bisa disebut bidah secara bahasa, karena makna bidah secara bahasa lebih umum daripada makna bidah secara syariat. Sudah maklum bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Setiap bidah adalah kesesatan,” tidak mencakup semua amalan yang baru, karena agama Islam, dan bahkan setiap agama yang dibawa oleh para rasul adalah bidah (sesuatu yang baru). Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu amalan yang baru dimulai yang belum dimulai oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.  وإذا كان كذلك: فالنبي صلى الله عليه وسلم قد كانوا يصلون قيام رمضان على عهده جماعة وفرادى؛ وقد قال لهم في الليلة الثالثة، أو الرابعة لما اجتمعوا: (إنه لم يمنعني أن أخرج إليكم إلا كراهة أن تفرض عليكم، فصلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته، إلا المكتوبة). فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. Dengan demikian, para Sahabat sudah mengerjakan salat Tarawih di bulan Ramadan di masa rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, baik secara berjamaah dan sendiri-sendiri, dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri telah mengatakan kepada mereka pada malam ketiga atau keempat ketika mereka sedang berkumpul, “Sungguh, tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar (salat) bersama kalian kecuali aku tidak suka jika hal ini diwajibkan kepada kalian, maka salatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat bagi seseorang lelaki adalah di rumahnya, kecuali salat wajib.” فعلّل صلى الله عليه وسلم عدم الخروج بخشية الافتراض، فعلم بذلك أن المقتضي للخروج قائم، وأنه لولا خوف الافتراض لخرج إليهم. فلما كان في عهد عمر رضي الله عنه جمعهم على قارئ واحد، وأسرج المسجد، فصارت هذه الهيئة، وهي اجتماعهم في المسجد على إمام واحد، مع الإسراج: عملا لم يكونوا يعملونه من قبل؛ فسمي بدعة؛ لأنه في اللغة يسمى بذلك، ولم يكن بدعة شرعية؛ لأن السنة اقتضت أنه عمل صالح، لولا خوف الافتراض، وخوف الافتراض قد زال بموته صلى الله عليه وسلم، فانتفى المعارض” ([16]). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyampaikan alasan kenapa beliau tidak keluar adalah khawatir salat itu akan diwajibkan. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa sebenarnya faktor yang menuntut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar (mengerjakan Tarawih berjamaah) ada, jika tidak ada kekhawatiran akan diwajibkan kepada mereka. Adapun di masa pemerintahan Umar —Semoga Allah Meridainya—, dia mengumpulkan mereka bersama satu imam dan menyalakan penerangan di masjid, sehingga suasana seperti ini, yaitu berkumpulnya mereka di bawah satu imam di masjid dengan penerangan, adalah amalan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, sehingga disebut bidah, karena memang demikian secara bahasa. Namun bukan bidah secara syariat, karena Sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah menetapkannya sebagai suatu amal saleh, yang kalau bukan karena kekhawatiran beliau akan diwajibkan tentu beliau akan melakukannya. Namun kekhawatiran ini sudah hilang dengan wafatnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan sebab-sebabnya sudah terhapus. ([16]) وقال ابن رجب رحمه الله: ” وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية، لا الشرعية، فمِنْ ذلك قولُ عمر – رضي الله عنه – لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال: نعمت البدعةُ هذه. وروي عنه أنَّه قال: إنْ كانت هذه بدعة، فنعمت البدعة “ Ibnu Rajab —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa adanya perkataan sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian bidah, maka maksud mereka adalah bidah secara bahasa, bukan secara syariat, termasuk pernyataan Umar —Semoga Allah Meridainya— ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk salat malam di bulan Ramadan bersama satu imam di masjid. Ketika dia keluar dan melihat mereka mengerjakan salat seperti itu, lantas dia berujar, “Ini adalah sebaik-baik bidah.” Diriwayatkan juga darinya —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Jika memang ini bidah, maka ini adalah sebaik-baik bidah.” ومرادُه أنَّ هذا الفعلَ لم يكن على هذا الوجه قبل هذا الوقت، ولكن له أصولٌ منَ الشَّريعةِ يُرجع إليها، فمنها: أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كان يحُثُّ على قيام رمضان، ويُرَغِّبُ فيه، وكان النَّاس في زمنه يقومون في المسجد جماعاتٍ متفرِّقةً ووحداناً، وهو -صلى الله عليه وسلم- صلَّى بأصحابه في رمضانَ غيرَ ليلةٍ، ثم امتنع مِنْ ذلك معلِّلاً بأنَّه خشي أنْ يُكتب عليهم، فيعجزوا عن القيام به، وهذا قد أُمِنَ بعده – صلى الله عليه وسلم” ([17]). Artinya bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan seperti itu sebelumnya, tetapi sudah ada dasar rujukannya dalam syariat, di antaranya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah menganjurkan dan mendorong orang-orang salat Tarawih Ramadan, dan orang-orang pada masa itu biasa mengerjakannya di masjid secara berjamaah tapi terpisah-pisah atau sendiri-sendiri. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri salat mengimami para Sahabat di bulan Ramadan beberapa malam, lalu menahan diri tidak melakukannya sembari menjelaskan alasannya; bahwa beliau khawatir itu akan diwajibkan bagi mereka lalu mereka tidak mampu menegakkannya. Namun setelah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, kekhawatiran ini sudah hilang. ([17]) قال الشيخ الألباني رحمه الله: “قول عمر: “نعمت البدعة هذه” لم يقصد به البدعة بمعناها الشرعي، الذي هو إحداث شيء في الدين على غير مثال سابق، وإنما قصد البدعة بمعنى من معانيها اللغوية، وهو الأمر الحديث الجديد الذي لم يكن معروفا قبيل إيجاده، ومما لا شك فيه أن صلاة التراويح جماعة وراء إمام واحد: لم يكن معهودا ولا معمولا زمن خلافة أبي بكر وشطرا من خلافة عمر، فهي بهذا الاعتبار حادثة، ولكن بالنظر إلى أنها موافقة لما فعله صلى الله عليه وسلم فهي سنة وليست بدعة، وما وصفها بالحسن إلا لذلك” ([18]). Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baik bidah,” maksudnya bukan maknanya secara syariat, yaitu mengada-ada suatu perkara agama tanpa ada contoh sebelumnya. Bidah di sini maksudnya adalah maknanya secara bahasa, yaitu sesuatu yang muncul dan baru, yang tidak diketahui sebelum kemunculannya ini. Tidak ada keraguan bahwa salat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam belum menjadi kebiasaan atau amalan di zaman kekhalifahan Abu Bakar dan separuh masa kekhalifahan Umar, maka dari sisi inilah amalan ini dianggap baru. Akan tetapi, dari sisi bahwa ia sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ini adalah sunah dan bukan bidah. Maka ia tidak dideskripsikan sebagai sesuatu yang baik kecuali dari sisi ini. ([18]) ثالثاً: فضل صلاة التراويح: صلاة التراويح -كما سبق- داخلة في صلاة الليل، فتشملها أدلة الكتاب والسنة التي وردت بالترغيب في صلاة الليل على جهة العموم ([19]). وقد ورد بخصوص فضل قيام الليل في رمضان خاصة، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([20]) ([21]). وورد بخصوص ليلة القدر، قوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) ([22]). Ketiga: Fadilah Salat Tarawih Salat Tarawih —sebagaimana disebutkan sebelumnya— termasuk salat malam, sehingga fadilahnya secara umum tercakup dalam semua dalil dari al-Quran dan Sunah yang menganjurkan salat malam. ([19]) Secara khusus, ada riwayat tentang keutamaan salat malam di bulan Ramadan, yaitu sabda Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat (Tarawih) di bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” ([20]) ([21]) Ada riwayat khusus terkait Lailatul Qadr bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat (Tarawih) saat Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu. ([22]) ولهذا (كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِد فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مَا لا يَجْتَهِد فِي غَيْرهَا) ([23]). وقال النووي رحمه الله: “فَفِي هَذَا الْحَدِيث: أَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يُزَاد مِنْ الْعِبَادَات فِي الْعَشْر الأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان, وَاسْتِحْبَاب إِحْيَاء لَيَالِيه بِالْعِبَادَاتِ” ([24]). Oleh sebab itulah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (Ramadan) dengan kesungguhan yang tidak seperti di hari-hari lain. ([23]) An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan dan sunah untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. رابعاً: وقت صلاة التراويح: يبتدئ وقت صلاة التراويح من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر. قال النووي رحمه الله: “يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ” انتهى([25]). ولكن إذا كان الرجل سيصلي في المسجد إماماً بالناس فالأولى أن يصليها بعد صلاة العشاء، ولا يؤخرها إلى نصف الليل أو آخره حتى لا يشق ذلك على المصلين، وربما ينام بعضهم فتفوته الصلاة. وعلى هذا جرى عمل المسلمين، أنهم يصلون التراويح بعد صلاة العشاء ولا يؤخرونها. وقال ابن قدامة رحمه الله: قِيلَ للإمام أَحْمَدَ: تُؤَخِّرُ الْقِيَامَ يَعْنِي فِي التَّرَاوِيحِ إلَى آخِرِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: لا, سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ” ([26]). Keempat: Waktu Salat Tarawih Waktu salat Tarawih dimulai setelah salat Isya hingga terbit fajar. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa waktu salat Tarawih dimulai setelah selesainya salat Isya. Selesai kutipan. ([25]) Jika seseorang ingin mengimami orang-orang salat di masjid, maka lebih baik ia melakukannya setelah salat Isya dan tidak menundanya hingga tengah malam atau akhir malam agar tidak memberatkan para jemaah, karena yang demikian itu bisa membuat sebagian mereka tertidur dan melewatkan salat tersebut. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin, di mana mereka melaksanakan salat Tarawih setelah salat Isya dan tidak menundanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah sebaiknya salat malam, yakni Tawarih, diundur hingga akhir malam?” Beliau menjawab, “Tidak, sunah (kebiasaan) umat Islam lebih aku sukai.” ([26]) أما من كان سيصليها في بيته فهو بالخيار إن شاء صلاها في أول الليل وإن شاء صلاها آخره. مسألة: يُشرع للمسلم أداء صلاة التراويح بعد صلاة العشاء من الليلة الأولى لرمضان، وهي الليلة التي يُرى فيها الهلال، يُكمل المسلمون عدة شعبان ثلاثين يوماً. ومثل هذا نهاية شهر رمضان، فإنه لا تُصلَّى التراويح إذا ثبت انتهاء الشهر برؤية هلال العيد أو بإتمام عدة رمضان ثلاثين يوماً. فيتبين أن صلاة التراويح لا تتعلق بصيام نهار رمضان، بل بدخول الشهر من الليل ابتداءً، وبآخر يوم من رمضان انتهاءً. Adapun bagi orang yang ingin mengerjakannya di rumah, maka ia bisa memilih sesuai kehendaknya antara salat di awal malam atau di akhir malam. Catatan: Seorang muslim disyariatkan untuk menunaikan salat Tarawih setelah salat Isya dari malam pertama bulan Ramadan, yaitu malam di mana hilal terlihat, atau dengan menyempurnakan bilangan hari Syaban menjadi tiga puluh hari. Demikian pula untuk akhir bulan Ramadan, tidak ada salat Tarawih lagi jika Ramadan sudah dipastikan selesai, dengan terlihatnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan hari Ramadan menjadi tiga puluh hari. Jadi, jelas bahwa salat Tarawih tidak ada hubungannya dengan puasa di siang hari di bulan Ramadan, melainkan dimulai dari awal malam bulan Ramadan dan berakhir pada malam terakhir bulan Ramadan. ولا ينبغي القول إن صلاة الترويح نافلة مطلقة فيجوز أن تؤدى في أي ليلة وجماعة؛ لأن صلاة التراويح مقصودة لشهر رمضان، ومصليها يقصد الأجر المترتب على قيامه، والجماعة فيها ليست كحكم الجماعة في غيرها، فيجوز في رمضان أن يصلى قيامه جماعة في كل ليلة مع الإعلان والتشجيع عليه، بخلاف القيام في غيره فإنه لا يسن إلا ما جاء من غير قصد أو بقصد التشجيع والتعليم، فيسن أحياناً دون الالتزام بفعله دائماً. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “التَّراويحَ في غير رمضان بِدْعةٌ، فلو أراد النَّاس أنْ يجتمعوا على قيام الليل في المساجد جماعة في غير رمضان لكان هذا من البِدع. Tidak seyogianya dikatakan bahwa salat Tarawih adalah salat sunah mutlak sehingga boleh dilakukan secara berjamaah kapan pun di malam hari, karena salat Tarawih hanya dikhususkan untuk bulan Ramadan saja. Orang yang mengerjakannya tentu menghendaki pahala salat malam di bulan tersebut. Melakukannya secara berjamaah tidak seperti hukum berjamaah pada salat-salat sunah yang lain. Maka dari itulah di bulan Ramadan dibolehkan mengerjakan salat tersebut secara berjamaah setiap malam dengan cara diumumkan terlebih dahulu dan diberi dorongan untuk melakukannya. Berbeda dengan berjamaah untuk salat-salat sunah yang lain, yang tidak dianjurkan kecuali insidental saja atau dengan maksud untuk memberi motivasi dan pengajaran, sehingga disunahkan berjamaah sesekali waktu tanpa melakukannya secara terus-menerus. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Tarawih di luar bulan Ramadan adalah bidah. Jika orang-orang sengaja berkumpul untuk melakukan salat malam di masjid-masjid secara berjamaah selain di bulan Ramadan, maka ini adalah bidah.” ولا بأس أن يُصلِّي الإنسانُ جماعة في غير رمضان في بيته أحياناً؛ لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم: “فقد صَلَّى مرَّةً بابن عبَّاس، ومرَّةً بابن مسعود ومرَّةً بحذيفة بن اليمان، جماعة في بيته” لكن لم يتَّخذْ ذلك سُنَّة راتبةً، ولم يكن أيضاً يفعله في المسجد” ([27]). وعليه: فمن صلى صلاة التراويح قبل ثبوت دخول رمضان فهو كمن صلى الصلاة في غير وقتها، فلا يكتب له أجرها، هذا إن سلِم من الإثم إن تعمد ذلك([28]). Tidak mengapa jika seseorang terkadang salat malam berjamaah di luar Ramadan di rumahnya, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau pernah salat berjamaah di rumahnya bersama Ibnu Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah bersama Hudzaifah bin al-Yaman. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan sunah yang dirutinkan dan tidak dikerjakan di masjid. ([27]) Dengan demikian, barang siapa yang salat Tarawih sebelum ada kepastian masuknya awal Ramadan, maka ia seperti orang yang salat di luar waktunya, sehingga tidak dicatatkan baginya pahala yang dimaksud, pun dengan catatan jika dia selamat dari dosa karena sengaja melakukan demikian. ([28]) مسألة: من جمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم؛ للعذر، فإن وقت التراويح والوتر يبتدئ في حقه من بعد صلاة العشاء المجموعة لصلاة المغرب. جاء في شرح “منتهى الإرادات” (1/ 238): ” (ووقت وتر: ما بين صلاة العشاء، ولو مع) كون العشاء جمعت مع مغرب (جمع تقديم) في وقت المغرب، (وطلوع الفجر)؛ لحديث معاذ: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: زادني ربي صلاة، وهي الوتر، ووقتها: ما بين العشاء وطلوع الفجر” رواه أحمد” انتهى ([29]). Catatan: Barang siapa yang melakukan jamak salat Magrib dan Isya yang dikerjakan di awal waktu (waktu magrib) karena suatu uzur, maka waktu Tarawih dan Witir baginya dimulai setelah salat Isya yang telah digabung dengan salat Magrib tersebut.  Disebutkan dalam Syarah Muntahā al-Iradāt (1/238) bahwa waktu salat Witir adalah antara waktu salat Isya dan terbitnya fajar, bahkan meskipun salat Isyanya dijamak dengan Magrib (Jamak Taqdim). Hal ini berdasarkan perkataan Muadz —Semoga Allah Meridainya—, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Tuhanku menambahkan bagiku sebuah salat, yaitu salat Witir. Adapun waktunya adalah antara salat Isya hingga terbitnya fajar.'” (HR. Ahmad) Selesai kutipan. ([29]) مسألة: يصح أن يصلي الشخص التراويح قبل راتبة العشاء؛ لكنه خلاف الأولى. قال الشيخ منصور البهوتي رحمه الله: “وإن صلَّى التراويح بعد العشاء وقبل سنَّتها: صحَّ جزماً، ولكن الأفضل فعلها بعد السنَّة على المنصوص” انتهى ([30]). Catatan: Seseorang boleh melakukan salat Tarawih sebelum salat sunah rawatib bakda isya, tetapi itu menyelisihi cara yang lebih utama. Syekh Manṣhūr al-Bahūti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang salat Tarawih setelah isya dan sebelum mengerjakan sunah rawatibnya, maka itu bisa dipastikan sah, tetapi lebih baik jika dia melakukannya setelah salat sunah rawatibnya berdasarkan nas yang ada. Selesai kutipan ([30]). خامساً: عدد ركعات صلاة التراويح: ليس لصلاة التراويح عدد محدد لا تجوز الزيادة عليه؛ فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: (مثنى مثنى) ولم يحددها بعدد معين. قال السيوطي رحمه الله: “الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأْحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ” انتهى([31]). Kelima: Jumlah Rakaat dalam Salat Tarawih Salat Tarawih tidak mempunyai batasan maksimal jumlah rakaat yang membuatnya tidak boleh ditambah lagi. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah ditanya tentang salat malam, lalu beliau menjawab, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. As-Suyuti —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa yang tersebut dalam hadis-hadis sahih dan hasan adalah perintah untuk melakukan salat malam di bulan Ramadan dan serta dorongan untuk melakukannya tanpa ada ketentuan jumlah rakaatnya. ([31]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “وثبت عن عمر رضي لله عنه أنه أمر من عين من الصحابة أن يصلي إحدى عشرة، وثبت عنهم أنهم صلوا بأمره ثلاثا وعشرين، وهذا يدل على التوسعة في ذلك، وأن الأمر عند الصحابة واسع، كما دل عليه قوله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى)” انتهى([32]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa ia memerintahkan salah seorang Sahabat untuk salat dengan sebelas rakaat. Ada juga riwayat sahih dari mereka bahwa mereka salat dengan perintahnya sebanyak dua puluh tiga rakaat. Hal ini menunjukkan kelonggaran dalam masalah ini dan bahwa perkara tersebut menurut para Sahabat —Semoga Allah Meridainya— adalah perkara yang fleksibel, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat).” ([32]) ولنسمع إلى توجيه من الشيخ الفاضل ابن عثيمين رحمه الله حيث يقول: وهنا نقول: لا ينبغي لنا أن نغلو أو نفرط، فبعض الناس يغلو من حيث التزام السنة في العدد، فيقول: لا تجوز الزيادة على العدد الذي جاءت به السنَّة، وينكر أشدَّ النكير على من زاد على ذلك، ويقول: إنه آثم عاصٍ. Mari kita simak bimbingam dari Syekh yang mulia Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— yang pernah mengatakan, “Kami katakan bahwa tidak selayaknya kita berlebihan atau menyelepelekan dalam masalah ini. Ada sebagian orang yang terlalu kaku berpegang dengan jumlah yang tersebut dalam Sunah, dan mengatakan tidak bolehnya menambah jumlah yang telah disebutkan dalam Sunah tersebut sehingga mereka mengingkari dengan keras orang yang menambah rakaat lebih dari itu, bahkan berkata bahwa pelakunya dosa dan telah berbuat maksiat. وهذا لا شك أنه خطأ، وكيف يكون آثماً عاصياً وقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال: مثنى مثنى، ولم يحدد بعدد، ومن المعلوم أن الذي سأله عن صلاة الليل لا يعلم العدد؛ لأن من لا يعلم الكيفية فجهله بالعدد من باب أولى، وهو ليس ممن خدم الرسول صلى الله عليه وسلم حتى نقول إنه يعلم ما يحدث داخل بيته، فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم بيَّن له كيفية الصلاة دون أن يحدد له بعدد: عُلم أن الأمر في هذا واسع، وأن للإنسان أن يصلِّيَ مائة ركعة ويوتر بواحدة. Ini tentu saja keliru, bagaimana mungkin seseorang dianggap berdosa dan bermaksiat padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda tentang salat malam dengan mengatakan, “Dua (rakaat) dua (rakaat),” tanpa membatasinya dengan jumlah tertentu. Sudah diketahui bahwa orang yang bertanya kepada beliau tentang salat malam ini tidak mengetahui jumlah rakaatnya, karena orang yang tidak mengetahui tata caranya, tentu lebih tidak tahu tentang jumlah rakaatnya. Dia juga bukan salah satu dari pelayan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga bisa kita katakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau. Jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan kepadanya tata cara salat tanpa membatasi jumlahnya, bisa diketahui bahwa jumlah rakaat dalam hal ini adalah masalah yang longgar dan bahwa seseorang boleh salat seratus rakaat dan melakukan witir dengan satu rakaat saja. وأما قوله صلى الله عليه وسلم: (صلوا كما رأيتموني أصلي) فهذا ليس على عمومه حتى عند هؤلاء، ولهذا لا يوجبون على الإنسان أن يوتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع، ولو أخذنا بالعموم لقلنا يجب أن توتر مرة بخمس، ومرة بسبع، ومرة بتسع سرداً، وإنما المراد: صلوا كما رأيتموني أصلي في الكيفية، أما في العدد فلا إلا ما ثبت النص بتحديده. Adapun sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,” maka hadis ini sifatnya tidak umum, bahkan menurut mereka juga. Inilah sebabnya mereka juga tidak mewajibkan seseorang untuk sesekali menunaikan salat Witir lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jika kita mengikuti keumuman hadis itu, tentu kita harus mengatakan wajibnya menunaikan salat Witir sesekali lima rakaat, sesekali tujuh rakaat, dan sesekali sembilan rakaat. Jadi, maksud hadis itu adalah: “Salatlah dengan cara sebagaimana kalian melihat caraku salat.” Adapun jumlah rakaatnya, maka tidak ada dalil yang membatasi salat Tarawih. وعلى كلٍّ ينبغي للإنسان أن لا يشدد على الناس في أمر واسع، حتى إنا رأينا من الإخوة الذين يشددون في هذا مَن يبدِّعون الأئمة الذين يزيدون على إحدى عشرة، ويخرجون من المسجد فيفوتهم الأجر الذي قال فيه الرسول صلى الله عليه وسلم (من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة) ([33])، وقد يجلسون إذا صلوا عشر ركعات فتنقطع الصفوف بجلوسهم، وربما يتحدثون أحياناً فيشوشون على المصلين. ونحن لا نشك بأنهم يريدون الخير، وأنهم مجتهدون، لكن ليس كل مجتهدٍ يكون مصيباً Biar bagaimanapun, hendaknya seseorang tidak kaku dalam perkara yang sifatnya fleksibel, sampai-sampai kita melihat sebagian saudara-saudara kita yang berlebihan dalam masalah ini dan membidahkan imam-imam ulama yang berpendapat bolehnya menambah lebih dari sebelas rakaat keluar meninggalkan masjid sehingga kehilangan pahala yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai, maka dicatat baginya salat semalam penuh.” ([33]) Terkadang mereka memilih duduk ketika sudah selesai sepuluh rakaat sehingga duduknya mereka itu memutus saf dan mungkin juga ngobrol hingga mengganggu jemaah lain. Kami tidak ragu bahwa maksud mereka baik dan itu adalah ijtihad mereka, hanya saja tidak setiap ijtihad pasti benar. والطرف الثاني: عكس هؤلاء، أنكروا على من اقتصر على إحدى عشرة ركعة إنكاراً عظيماً، وقالوا: خرجتَ عن الإجماع قال تعالى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]، فكل من قبلك لا يعرفون إلا ثلاثاً وعشرين ركعة، ثم يشدِّدون في النكير، وهذا أيضاً خطأ” ([34]). Kelompok kedua adalah kebalikan dari orang-orang ini, yang mana mereka sangat mengingkari dengan keras orang-orang yang membatasi diri hanya salat sebelas rakaat saja. Mereka berkata, “Anda menyimpang dari konsensus, padahal Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, maka akan Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami Masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa’: 115) Padahal semua orang sebelum Anda tidak mengenal salat ini kecuali dengan dua puluh tiga rakaat.” Lalu mereka mengingkarinya dengan sangat keras. Ini juga keliru.  أما الدليل الذي استدل القائلون بعدم جواز الزيادة في صلاة التراويح على ثمان ركعات فهو حديث أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة رضي الله عنها: ” كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ؟ فقالت: ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر قال يا عائشة: (إن عينيَّ تنامان ولا ينام قلبي) ([35]). Adapun dalil yang dijadikan landasan mereka yang tidak membolehkan menambah jumlah rakaat salat Tarawih lebih dari delapan rakaat adalah hadis Abu Salamah bin Abdurrahman yang pernah bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— “Bagaimana salatnya Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di bulan Ramadan?” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Beliau mengerjakannya empat rakaat, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Lalu beliau mengerjakan empat rakaat lagi, tetapi jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya salat tersebut. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat tiga rakaat. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan salat Witir?’ Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Wahai Aisyah, kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak.” ([35]) فقالوا: هذا الحديث يدل على المداومة لرسول الله في صلاته في الليل في رمضان وغيره. وقد ردَّ العلماء على الاستدلال بهذا الحديث بأن هذا من فعله صلى الله عليه وسلَّم، والفعل لا يدل على الوجوب. ومن الأدلة الواضحة على أن صلاة الليل ومنها صلاة التراويح غير مقيدة بعدد حديث ابن عمر أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال رسول الله عليه الصلاة والسلام: (صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلَّى) ([36]) Mereka berkata bahwa hadis ini menunjukkan konsistensi (jumlah rakaat) Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam mengerjakan salat malamnya di dalam dan luar bulan Ramadan. Para ulama telah membantah istidlal dengan hadis ini bahwa ini termasuk perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sementara perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berarti wajib. Di antara dalil yang jelas bahwa salat malam, termasuk salat Tarawih, tidak dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu adalah hadis Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat malam, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjawab, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([36]) ونظرة إلى أقوال العلماء في المذاهب المعتبرة تبين لك أن الأمر في هذا واسع، وأنه لا حرج في الزيادة على إحدى عشرة ركعة: قال السرخسي رحمه الله، وهو من أئمة المذهب الحنفي: “فإنها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا” ([37]). وقال ابن قدامة رحمه الله: “والمختار عند أبي عبد الله (يعني الإمام أحمد) رحمه الله، فيها عشرون ركعة، وبهذا قال الثوري، وأبو حنيفة، والشافعي، وقال مالك: ستة وثلاثون” ([38]). Jika kita mencermati perkataan para ulama dari mazhab-mazhab yang diakui, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa persoalan ini fleksibel dan bahwa tidak ada salahnya menambah lebih dari sebelas rakaat. As-Sarkhasi —Semoga Allah Merahmatinya—, yang merupakan salah satu imam ulama mazhab Hanafi, mengatakan, “Menurut kami, dua puluh rakaat, selain salat Witir.” ([37]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang terpilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat. Inilah pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Syafii. Malik berkata, “Tiga puluh enam rakaat.” ([38]) وقال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء، ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات وتجوز منفردا وجماعة” ([39]). فهذه مذاهب الأئمة الأربعة في عدد ركعات صلاة التراويح وكلهم قالوا بالزيادة على إحدى عشرة ركعة، ولعل من الأسباب التي جعلتهم يقولون بالزيادة على إحدى عشرة ركعة: 1/ أنهم رأوا أن حديث عائشة رضي الله عنها لا يقتضي التحديد بهذا العدد. 2/ وردت الزيادة عن كثير من السلف ([40]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih hukumnya sunah menurut konsensus para ulama. Dalam mazhab kami, jumlahnya dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam, yang boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah. ([39]) Inilah pendapat empat imam mazhab mengenai jumlah rakaat salat Tarawih. Mereka semua menyatakan pendapat yang menambah lebih dari sebelas rakaat. Mungkin di antara alasan yang membuat mereka berpendapat menambah lebih dari sebelas rakaat adalah sebagai berikut: Mereka memandang bahwa hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— tidak berarti membatasi jumlah rakaat. Ada banyak riwayat dari para Salaf bahwa mereka menambah lebih dari itu. ([40]) 3/ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة وكان يطيلها جداً حتى كان يستوعب بها عامة الليل، بل في إحدى الليالي التي صلى فيها النبي صلى الله عليه وسلم صلاة التراويح بأصحابه لم ينصرف من الصلاة إلا قبيل طلوع الفجر حتى خشي الصحابة أن يفوتهم السحور، وكان الصحابة رضي الله عنهم يحبون الصلاة خلف النبي صلى الله عليه وسلم ولا يستطيلونها فرأى العلماء أن الإمام إذا أطال الصلاة إلى هذا الحد شق ذلك على المأمومين وربما أدى ذلك إلى تنفيرهم فرأوا أن الإمام يخفف من القراءة ويزيد من عدد الركعات. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan salat sebelas rakaat tetapi sangat panjang sehingga durasinya hampir sepanjang malam. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salah satu malamnya ketika melakukan salat Tarawih bersama para Sahabat, beliau tidak menyelesaikan salatnya kecuali hampir menjelang subuh, hingga para Sahabat khawatir akan melewatkan waktu sahur. Namun para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— suka salat di belakang Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan tidak merasa keberatan. Para ulama memandang bahwa jika seorang imam memperpanjang salat sampai selama itu, maka akan memberatkan orang yang salat di belakangnya, dan ini mungkin membuat mereka pergi menjauh. Maka dari itulah para ulama memandang bahwa imam perlu mengurangi panjang bacaannya dan menambah jumlah rakaat. والحاصل: أن من صلى إحدى عشرة ركعة على الصفة الواردة عن النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحسن وأصاب السنة، ومن خفف القراءة وزاد عدد الركعات فقد أحسن، ولا إنكار على من فعل أحد الأمرين. Kesimpulannya, bahwa barang siapa salat sebelas rakaat mengikuti cara yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka ia telah berbuat kebaikan dan sesuai dengan Sunah. Barang siapa yang memperpendek bacaannya dan menambah jumlah rakaatnya, maka ia telah berbuat kebaikan. Tidak ada pengingkaran terhadap siapa pun yang melakukan salah satu dari kedua hal tersebut. قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: “والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره” ([41]). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa salat Tarawih jika dikerjakan menurut mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad adalah dua puluh rakaat, atau jika menurut mazhab Maliki adalah tiga puluh enam, tiga belas, atau sebelas rakaat. Pendapat beliau ini yang bagus, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada dalil yang membatasi, sehingga banyak dan sedikitnya jumlah rakaat tergantung panjang dan pendeknya salat. ([41]) وقال علماء اللجنة للإفتاء:” لم يثبت في عدد ركعات صلاة التراويح حد محدد، والعلماء مختلفون فيه منهم من يرى أنه ثلاث وعشرون ، ومنهم من يرى أنه ست وثلاثون، ومنهم من يرى أكثر، ومنهم يرى أقل، والصحابة صلوها في عهد عمر ثلاثا وعشرين في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، والنبي كان لا يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة ، ولم يحدد للناس عددا معينا في التراويح وقيام الليل،  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah (Komite Tetap Urusan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan bahwa tidak ada riwayat sahih tentang batasan jumlah tertentu dalam rakaat salat Tarawih. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu, ada yang mengatakan jumlahnya adalah 23 atau 36. Ada yang mengatakan lebih banyak atau sedikit daripada itu. Para Sahabat mengerjakan salat ini pada masa pemerintahan Umar di Masjid Nabawi sebanyak 23 rakaat. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri mengerjakannya tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat di bulan Ramadan atau bulan lainnya, tanpa membatasi jumlah tertentu mengenai rakaat salat Tarawih dan salat malam. بل كان يحث على قيام الليل وعلى قيام رمضان بالذات فيقول صلى الله عليه وسلم: (من قام رمضان واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه)، ولم يحدد عدد الركعات، وهذا يختلف باختلاف صفة القيام، فمن كان يطيل الصلاة؛ فإنه يقلل عدد الركعات كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم، ومن كان يخفف الصلاة رفقا بالناس، فإنه يكثر عدد الركعات كما فعل الصحابة في عهد عمر، ولا بأس أن يزيد في عدد الركعات في العشر الأواخر عن عددها في العشرين الأول ويقسمها إلى قسمين: قسما يصليه في أول الليل ويخففه على أنه تراويح كما في العشرين الأول، وقسما يصليه في آخر الليل ويطيله على أنه تهجد، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في غيرها” ([42]). Justru beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menganjurkan salat malam dan salat Tarawih secara khusus dengan mengatakan, “Barang siapa yang salat malam di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” Beliau tidak membatasi jumlah rakaatnya. Jadi, perkara jumlah rakaat ini berbeda-beda tergantung bagaimana salat malamnya. Barang siapa yang memanjangkan salatnya, maka ia mengurangi jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Barang siapa yang meringankan (memendekkan) salatnya untuk meringankan manusia, maka ia perbanyak jumlah rakaatnya sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat di zaman Umar. Tidak mengapa jika jumlah rakaat pada sepuluh hari terakhir diperbanyak daripada jumlah rakaat di dua puluh hari pertama lalu membaginya menjadi dua sesi. Sesi pertama dilakukan di awal malam dan dipendekkan seperti salat Tarawih pada dua puluh hari pertama, sementara sesi kedua di akhir malam dan dipanjangkan sebagaimana salat Tahajud, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir dengan kesungguhan yang lebih daripada di hari-hari yang lainnya. ([42]) فتجوز صلاة التراويح بالقليل والكثير من الركعات، ويكون ذلك حسب ما يرى أهل كل مسجد أنه أنسب لهم. والأفضل هو ما ثبت عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه لم يكن يزيد في قيام الليل على إحدى عشرة ركعة، في رمضان وغيره ([43]). Jadi, dibolehkan melaksanakan salat Tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak atau sedikit, yang disesuaikan dengan pandangan jemaah masing-masing masjid mana yang paling sesuai bagi mereka. Yang afdal adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau tidak mengerjakan salat tersebut lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadan dan pada waktu-waktu lainnya. ([43]) سادساً: حكم صلاة التراويح: صلاة التراويح سنة بإجماع أهل العلم، قال النووي رحمه الله: “صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء” انتهى([44]). Keenam: Hukum Salat Tarawih Salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “salat Tarawih hukumnya sunah dengan kesepakatan para ulama.” Selesai kutipan. ([44]) سابعاً: تقسيم قيام الليل في العشر الأواخر إلى قسمين تراويح وتهجد: إذا تقرر بأن التراويح ليس لها عدد محدد من الركعات، وأن الليل كله محل للقيام، وأن الفصل بين القيام لا يفعل تعبدا لذاته، وإنما يفعل تيسيرا، واستكثارا من الخير، وابتغاء لإيقاع شيء من القيام في الثلث الأخير من الليل، فإنه لا يصح الاعتراض على جعل القيام على جزئين. Ketujuh: Hukum Membagi Salat Malam di Sepuluh Malam Terakhir Menjadi Dua Sesi, Sesi Salat Tarawih dan Sesi Tahajud Jika sudah jelas bahwa salat Tarawih tidak mempunyai batasan jumlah rakaat tertentu, bahwa seluruh malam adalah waktu untuk salat malam, dan bahwa jeda antar salat seperti ini bukanlah ibadah secara zatnya, melainkan diniatkan untuk meringankan manusia, menambah kebaikan, dan agar bisa mengerjakan salat malam di sepertiga malam terakhir, maka tidak tepat jika ada yang mengingkari bolehnya membagi salat menjadi dua sesi seperti ini. قال الشيخ عبد الله أبابطين رحمه الله: “إذا تبين أنه لا تحديد في عدد التراويح، وأن وقتها عند جميع العلماء من بعد سنة العشاء إلى طلوع الفجر، وأن إحياء العشر سنة مؤكدة، وأن النبي صلى الله وعليه وسلم صلاها ليالي جماعة، فكيف ينكر على من زاد في صلاة العشر الأواخر عما يفعلها أول الشهر، فيصلي في العشر أول الليل، كما يفعل في أول الشهر، أو قليل، أو كثير، من غير أن يوتر، وذلك لأجل الضعيف لمن يحب الاقتصار على ذلك، ثم يزيد بعد ذلك ما يسره الله في الجماعة، ويسمى الجميع قياماً وتراويحا” انتهى ([45]). Syekh Abdullah Abābṯhain —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika telah jelas bahwa tidak ada batasan jumlah rakaat dalam salat Tarawih, bahwa waktunya adalah setelah salat sunah bakda isya sampai subuh menurut semua ulama, bahwa menghidupkannya di sepuluh malam terakhir adalah sunah muakadah, dan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakannya di malam hari secara berjamaah, lalu bagaimana bisa seseorang mengingkari orang yang menambah salatnya pada sepuluh hari terakhir daripada yang dia lakukan di awal bulan? Yaitu dengan cara mengerjakannya di awal malam sebagaimana dia kerjakan di awal bulan, baik dengan jumlah rakaat yang sedikit atau banyak, yang dikerjakan tanpa salat Witir dan bukan karena mereka tidak mampu mengerjakannya. Setelah itu mereka menambah salat mereka secara berjamaah lagi semampu yang Allah Mudahkan bagi mereka. Semua salat itu disebut salat malam dan Tarawih. Selesai kutipan. ([45]) ثامناً: حمل المصحف في صلاة التراويح: إن كان الحامل للمصحف في صلاة التراويح، هو الإمام؛ لحاجته للقراءة من المصحف، فلا حرج في ذلك؛ فقد كان لعائشة رضي الله عنها غلام يؤمها من المصحف في رمضان ([46]). وقال النووي رحمه الله: “لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا ، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة, ولو قلَّب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل …… هذا مذهبنا ومذهب مالك وأبي يوسف ومحمد وأحمد ” انتهى ([47]). وأما اعتراض من اعترض على ذلك بأن حمل المصحف وتقليب أوراقه في الصلاة حركة كثيرة فهو اعتراض غير صحيح؛ لأنه قد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس وهو حامل أمامة بنت ابنته ([48])، فحمل المصحف في الصلاة ليس أعظم من حمل طفلة في الصلاة  Kedelapan: Memegang (Membaca) Mushaf saat salat Tarawih Jika yang memegang mushaf saat salat Tarawih adalah imam yang butuh membaca al-Quran, maka tidak mengapa. Dahulu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— memiliki seorang budak laki-laki yang mengimaminya dengan membaca mushaf al-Quran di bulan Ramadan ([46]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang membaca al-Quran dari mushaf, maka salatnya tidak batal, baik dia sudah hafal al-Quran atau belum. Bahkan dia wajib melakukannya jika dia tidak hafal al-Fatihah, meskipun terkadang membuatnya harus membolak-balik halaman ketika salat. Jadi, salatnya seperti itu tidak batal. … Inilah mazhab kami (Syafii), Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad. Selesai kutipan. ([47]) Adapun pengingkaran orang yang mengingkari bahwa membawa mushaf al-Quran dan membolak-balik halamannya saat salat itu termasuk banyak gerak, maka itu adalah pengingkaran yang tidak tepat, karena ada riwayat sahih bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengimami orang-orang salat sedangkan beliau sedang menggendong Umamah, cucu perempuannya dari anak perempuannya.. ([48]) Jadi, memegang mushaf al-Quran dalam salat bukanlah sesuatu yang lebih besar daripada membawa bayi dalam salat. وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: “لا حرج في القراءة من المصحف في قيام رمضان، لما في ذلك من إسماع المأمومين جميع القرآن، ولأن الأدلة الشرعية من الكتاب والسنة قد دلت على شرعية قراءة القرآن في الصلاة، وهي تعم قراءته من المصحف وعن ظهر قلب، وقد ثبت عن عائشة رضي الله عنها أنها أمرت مولاها ذكوان أن يؤمها في قيام رمضان، وكان يقرأ من المصحف، ذكره البخاري رحمه الله في صحيحه معلقاً مجزوماً به” ([49]).  وأما المأموم، فالأولى والأفضل في حقه أن لا يحمل المصحف؛ لما فيه من الانشغال وتفويت بعض السنن، كوضع اليدين على الصدر([50]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tidaklah mengapa membaca dari mushaf al-Quran dalam salat malam di bulan Ramadan, karena itu termasuk usaha memperdengarkan seluruh al-Quran kepada kaum muslimin, karena dalil-dalil syariat dari al-Quran dan Sunah menunjukkan bolehnya membaca al-Quran saat salat, yang sifatnya umum mencakup membacanya dengan melihat mushaf atau dari hafalan. Ada riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia menyuruh seorang budak lelakinya, Dzakwan, untuk mengimaminya dalam salat malam di bulan Ramadan, padahal dia membaca dari mushaf. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan riwayat ini dalam Shahih-nya dengan Ṣhighah Jazm secara Muʿallaq ([49]). Adapun bagi seorang makmum, maka yang lebih baik dan afdal baginya adalah tidak memegang mushaf al-Quran, karena itu bisa membuatnya sibuk dengannya dan meninggalkan sebagian sunah, seperti meletakkan tangan di dada. ([50]) سئل الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: ما حكم حمل المأموم للمصحف في صلاة التراويح؟ فأجاب: ” لا أعلم لهذا أصلا ، والأظهر أن يخشع ويطمئن ولا يأخذ مصحفا ، بل يضع يمينه على شماله كما هي السنة ، يضع يده اليمنى على كفه اليسرى الرسغ والساعد ويضعهما على صدره ، هذا هو الأرجح والأفضل، وأخذ المصحف يشغله عن هذه السنن ، ثم قد يشغل قلبه وبصره في مراجعة الصفحات والآيات وعن سماع الإمام  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Apa hukumnya jika seorang makmum memegang mushaf dalam salat Tarawih?” Dia menjawab, “Saya tidak tahu dalilnya, tapi yang lebih tepat adalah dia harus khusyuk dan tumakninah tanpa memegang mushaf, melainkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri sebagaimana demikian sunahnya. Hendaknya dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kiri dan pergelangan tangan lalu meletakkan keduanya di dadanya. Ini yang lebih tepat dan afdal. Memegang mushaf menghalanginya dari sunah-sunah ini, dan terkadang membuat hati dan matanya tersibukkan dengan melihat halaman demi halaman dan ayat demi ayat serta tidak memerhatikan bacaan imam.  فالذي أرى أن ترك ذلك هو السنة ، وأن يستمع وينصت ولا يستعمل المصحف، فإن كان عنده علم فَتَح على إمامه ، وإلا فتح غيره من الناس ، ثم لو قدر أن الإمام غلط ولم يُفتح عليه ما ضر ذلك في غير الفاتحة إنما يضر في الفاتحة خاصة ؛ لأن الفاتحة ركن لا بد منها أما لو ترك بعض الآيات من غير الفاتحة ما ضره ذلك إذا لم يكن وراءه من ينبهه ، ولو كان واحد يحمل المصحف على الإمام عند الحاجة فلعل هذا لا بأس به، أما أن كل واحد يأخذ مصحفا فهذا خلاف السنة”([51]) انتهى. Menurut saya yang sunah adalah meninggalkan itu semua, mendengarkan serta diam menyimak tanpa memegang mushaf. Jika dia mempunyai ilmu, hendaknya dia membenarkan bacaan imam, jika tidak, maka ada orang lain yang membenarkannya. Pun seandainya imam keliru dan tidak ada yang membenarkannya, maka itu tidak masalah asalkan bukan pada surah al-Fatihah, karena yang bisa merusak salat adalah kesalahan dalam al-Fatihah secara khusus, karena merupakan rukun yang sifatnya wajib. Adapun jika ia melewatkan beberapa ayat selain dari surah al-Fatihah, maka tidak merusak salatnya jika memang tidak ada orang di belakangnya yang mengingatkannya. Adapun jika ada seseorang yang membawa mushaf untuk mengingatkan imam jika memang dibutuhkan, maka semoga tidak mengapa. Adapun jika setiap orang membawa mushaf, maka ini menyelisihi sunah.” Selesai kutipan. ([51]) سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ما حكم حمل المصحف من قبل المأمومين في صلاة التراويح في رمضان بحجة متابعة الإمام؟ فأجاب: “حمل المصحف لهذا الغرض فيه مخالفة للسنة وذلك من وجوه: الوجه الأول: أنه يفوت الإنسان وضع اليد اليمنى على اليد اليسرى في حال القيام . والثاني: أنه يؤدي إلى حركة كثيرة لا حاجة لها وهي فتح المصحف وإغلاقه ووضعه تحت الإبط . Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya membawa mushaf bagi para makmum saat salat Tarawih di bulan Ramadan dengan alasan untuk mengikuti bacaan imam?” Beliau menjawab bahwa membawa mushaf al-Quran untuk tujuan ini menyelisihi sunah, karena beberapa alasan: (1) Seseorang tidak bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri. (2) Menimbulkan banyak gerakan yang tidak diperlukan, karena membuka dan menutup mushaf al-Quran dan mengimpitnya di bawah ketiak.  والثالث: أنه يشغل المصلي في الحقيقة بحركاته هذه . والرابع: أنه يفوت المصلي النظر إلى موضع السجود وأكثر العلماء يرون أن النظر إلى موضع السجود هو السنة والأفضل . والخامس: أن فاعل ذلك ربما ينسى أنه في صلاة إذا لم يكن يستحضر قلبه أنه في صلاة، بخلاف ما إذا كان خاشعاً واضعاً يده اليمنى على اليسرى مطأطئاً رأسه نحو سجوده فإنه يكون أقرب إلى استحضار أنه يصلي وأنه خلف الإمام” انتهى ([52]). (3) Dia akan tersibukkan dengan gerakan-gerakan ini. (4) Orang yang salat tidak bisa melihat ke tempat sujud, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa melihat ke tempat sujud adalah sunah dan afdal. (5) Orang yang melakukan itu bisa jadi akan lupa bahwa ia sedang salat jika ia tidak benar-benar menghadirkan dalam hatinya bahwa ia sedang salat. Hal ini berbeda jika ia khusyuk dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sembari menundukkan kepalanya ke arah tempat sujudnya, yang mana dia akan lebih merasa bahwa dia sedang salat dan berada di belakang imam. Selesai kutipan. ([52]) تاسعاً: حكم صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح: صلاة العشاء خلف من يصلي التراويح أو الوتر، صحيحة على الراجح من قولي العلماء، والمسألة معروفة عند الفقهاء بصلاة المفترض خلف المتنفّل ([53]). قال ابن قدامة رحمه الله: “وفي صلاة المفترض خلف المتنفل روايتان: إحداهما: لا تصح، واختارها أكثر أصحابنا، وهذا قول الزهري, ومالك, وأصحاب الرأي ; لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (إنما جعل الإمام ليؤتم به, فلا تختلفوا عليه) متفق عليه . Kesembilan: Hukum Salat Isya dengan Bermakmum di Belakang Orang yang Salat Tarawih Salat Isya dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih atau witir hukumnya sah menurut pendapat yang lebih tepat di antara dua pendapat ulama. Masalah ini dikenal oleh para fuqaha dengan istilah ‘Orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah’. ([53]) Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada dua pendapat tentang orang yang salat wajib di belakang orang yang salat sunah. Pendapat pertama hukumnya tidak sah, dan inilah yang dipilih sebagian besar sahabat kami (mazhab Hambali). Inilah pendapat az-Zuhri, Malik, dan ulama Aṣẖāb ar-Raʾyi, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidaklah imam diangkat kecuali untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya.” (Muttafaqun ʿAlaihi) والثانية: يجوز. وهذا قول الشافعي, وابن المنذر, وهي أصح ; لما روى جابر بن عبد الله أن معاذا كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يرجع فيصلي بقومه تلك الصلاة. متفق عليه. وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه صلى بطائفة من أصحابه في الخوف ركعتين, ثم سلم, ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين, ثم سلم. رواه أبو داود, والثانية منهما تقع نافلة, وقد أَمَّ بها مفترضين . Pendapat kedua mengatakan boleh. Demikian pendapat Syafii dan Ibnul Mundzir. Inilah pendapat yang lebih tepat, berdasarkan riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwa Muadz dahulu pernah salat bersama Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kemudian pulang mengimami kaumnya dengan salat yang sama. (Muttafaqun ʿAlaihi) Diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau salat Khauf dua rakaat bersama sekelompok Sahabat beliau lalu salam, kemudian salat lagi dua rakaat bersama sekelompok Sahabat yang lain, lalu salam. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Adapun salat yang kedua adalah salat sunah bagi beliau, sedangkan beliau mengimami orang-orang yang salat fardu. فأما حديثهم فالمراد به: لا تختلفوا عليه في الأفعال؛ بدليل قوله: (فإذا ركع فاركعوا, وإذا رفع فارفعوا, وإذا سجد فاسجدوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون)” انتهى باختصار ([54]). وسئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: ما هو العمل عندما يأتي الفرد بعد صلاة العشاء وقد انتهت، وقام الإمام يصلي التراويح، فهل يأتم بالإمام وينوي العشاء؟ أم يقيم ويصلي منفردا أو مع جماعة إن وجدت؟ فأجابوا: “يجوز أن يصلي العشاء جماعة مع من يصلي التراويح، فإذا سلم الإمام من ركعتين قام من يصلي العشاء وراءه وصلى ركعتين، إتماما لصلاة العشاء” انتهى ([55]). Adapun hadis yang mereka jadikan dalil ketidakbolehannya, maka maksudnya adalah “Jangan kalian menyelisihi gerakan-gerakannya.” Dalilnya adalah sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “… maka jika dia rukuk, maka rukuklah kalian, jika dia bangkit dari rukuk, maka bangkitlah dari rukuk, dan jika dia sujud, maka sujudlah. Pun jika dia salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk.” Selesai kutipan dengan diringkas. ([54]) Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ pernah ditanya, “Apa yang seharusnya dilakukan seseorang ketika dia datang setelah salat Isya sudah selesai, lalu imam berdiri untuk salat Tarawih? Apakah ia harus bermakmum dengan imam itu dan berniat menunaikan salat Isya ataukah berdiri untuk salat sendirian atau berjamaah dengan yang lain jika ada?” Mereka menjawab, “Boleh salat Isya berjamaah dengan bermakmum kepada orang yang salat Tarawih. Jika imam sudah salam setelah dua rakaat, maka setelah itu dia berdiri melanjutkan dua rakaatnya untuk menyempurnakan bilangan salat Isyanya.” Selesai kutipan ([55]) لكن من فاتته صلاة العشاء مع الإمام الراتب ودخل بعد الصلاة مباشرة، وقد بقي وقت عن صلاة التراويح، يسع صلاتهم للعشاء، فالأحسن لهم في مثل هذه الحال أن يصلوا جماعة لوحدهم؛ خروجاً من خلاف من منع من صلاة المفترض خلف المتنفل، من أهل العلم .  Hanya saja, jika orang yang melewatkan salat Isya dengan imam tetap lalu langsung datang setelah salat itu selesai, sementara masih ada jeda waktu sebelum salat Tarawih didirikan sehingga masih cukup baginya untuk salat Isya, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi mereka untuk mendirikan salat berjamaah sendiri, untuk keluar dari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang melarang orang yang salat fardu dengan bermakmum di belakang orang yang salat sunah. أما إذا دخل في أثناء صلاة التراويح، أو كان الإمام يشرع في التراويح بعد العشاء بوقت قريب، ويخشى من صلاة الجماعة الثانية أن يحصل من إحداهما تشويش على الأخرى؛ فالأحسن في هذه الحال أن يدخل مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء، ثم إذا سلم الإمام من الركعتين، قام وأتم لنفسه . Adapun jika seseorang datang di pertengahan salat Tarawih atau imam sudah memulai salat Tarawih sesaat setelah isya, sehingga dikhawatirkan bahwa salat berjamaah yang kedua ini akan menimbulkan gangguan terhadap para jemaah yang salat Tarawih, maka yang baik baginya adalah ikut salat Tarawih bersama imam dengan niat menunaikan salat Isya. Lalu ketika imam sudah mengerjakan dua rakaat kemudian salam, dia bangun untuk menyempurnakan salatnya sendiri. سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: نلاحظ في بعض المساجد أن الذين يأتون بعد انتهاء صلاة العشاء وبداية التراويح يقيمون صلاة ثانية وهم بهذا يشوشون على من يصلي التراويح ، فهل الأفضل في حقهم إقامة الصلاة جماعة ، أم الدخول مع الإمام في صلاة التراويح بنية العشاء ، وهل يختلف الحكم فيما إذا كان الداخل فردا أم مجموعة ؟ Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Kami memerhatikan di beberapa masjid, ada orang-orang yang datang setelah selesainya salat Isya dan salat Tarawih sudah dimulai, mereka mendirikan salat berjamaah kedua yang dengan ini mengganggu orang-orang yang sedang salat Tarawih. Apakah yang lebih baik bagi mereka adalah mendirikan salat berjamaah sendiri atau mengikuti imam salat Tarawih dengan niat salat Isya? Lalu apakah hukumnya berbeda jika yang datang adalah satu orang atau beberapa orang? فأجاب: “إذا كان الداخل اثنين فأكثر، فالأفضل لهم إقامة الصلاة وحدهم أعني صلاة العشاء، ثم يدخلون مع الناس في التراويح، وإن دخلوا مع الإمام بنية العشاء، فإذا سلم الإمام قام كل واحد فكمل لنفسه فلا بأس؛ لأنه ثبت عن معاذ رضي الله عنه: (أنه كان يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء فريضته، ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة، فهي له نفل ولهم فرض)، أما إن كان الداخل واحدا فالأفضل له أن يدخل مع الإمام بنية العشاء حتى يحصل له فضل الجماعة، فإذا سلم الإمام من الركعتين قام فأكمل لنفسه صلاة العشاء، وفق الله الجميع للفقه في الدين” ([56]). Beliau menjawab bahwa jika yang datang adalah dua orang atau lebih, maka lebih baik adalah mereka mendirikan salat berjamaah sendiri, yakni salat Isya, lalu bergabung bersama orang-orang untuk salat Tarawih. Jika mereka bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, maka jika imam sudah mengucapkan salam, hendaknya masing-masing berdiri lagi untuk menyempurnakan salatnya masing-masing. Begini tidak mengapa, karena ada riwayat sahih dari Muadz —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia pernah salat fardu Isya bermakmum kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, kemudian dia kembali kepada kaumnya untuk mengimami mereka salat yang sama. Baginya itu salat sunah dan bagi mereka salat fardu. Namun jika yang masuk adalah satu orang saja, maka lebih baik dia bergabung bersama imam dengan niat salat Isya, agar dia mendapatkan keutamaan salat berjamaah. Ketika imam sudah mengucapkan salam setelah dua rakaat, dia berdiri lagi untuk menyempurnakan salat Isyanya sendiri. Semoga Allah Memberi taufik untuk semua orang untuk bisa memahami agama. ([56]) فإن كان المأموم الذي يريد أن يصلي العشاء مسافرا، وقد دخل مع إمامه في صلاة التراويح، فإنه في هذه الحال، يقتصر على ركعتين؛ لأن القصر في حقه رخصة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا دخل الإنسان إلى المسجد والناس يصلون صلاة التراويح وهو لم يصلِ صلاة العشاء فإنه يدخل معهم بنية العشاء، ثم إن كان مسافراً وقد دخل مع الإمام في الركعة الأولى سلم مع الإمام, لأن المسافر يصلي ركعتين، وإن كان مقيماً فإنه إذا سلم الإمام فإنه يأتي بما بقي عليه من الركعات الأربع” ([57]). Jika makmum yang hendak salat Isya dalam keadaan safar dan terlanjur bergabung salat Tarawih bersama imam, maka dalam hal ini dia bisa mengqasar salatnya menjadi dua rakaat, karena qasar ini menjadi rukhsah baginya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada seseorang masuk ke dalam masjid dan orang-orang sedang salat Tarawih sementara dia belum salat Isya, maka hendaknya dia bergabung bersama mereka dengan niat salat Isya. Lalu jika dia sedang safar dan sudah masuk mengikuti imam pada rakaat pertama, hendaknya dia salam bersama imam, karena seorang musafir boleh salat dua rakaat. Adapun jika dia mukim, maka jika imam sudah salam, maka dia harus tetap menyempurnakannya empat rakaat. ([57]). عاشرا: ضابط ما يحصل به الانصراف من صلاة الليل: هو أن يصلي المأموم مع إمامه؛ حتى ينتهي الإمام من صلاته كلها؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ) ([58])، فمن صلى مع الجماعة الأولى بعد العشاء عشرين ركعة، وأوتر مع إمامها فقد أكمل صلاة التراويح بالوتر مع الإمام، وحقّق شرط حصول أجر قيام ليلة بانصرافه مع الإمام، وليس عليه أن يصلي مع إمام آخر، في آخر الليل؛ لأن الصلاة الأولى تامة كاملة. ومن أراد أن يصلي الصلاتين طلبا لمزيد الأجر: فقد أحسن، غير أنه لا يصلي الوتر مرتين، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك. Kesepuluh: Standar Mendapatkan Salat Malam Bersama Imam hingga Selesai Standarnya adalah dengan seseorang bermakmum dengan imamnya sampai imam menyelesaikan seluruh salatnya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” ([58]) Barang siapa yang salat bersama jemaah pertama sebanyak dua puluh rakaat lalu salat Witir bersama imamnya, maka ia telah menyempurnakan salat Tarawih dan Witir bersama imam, dan telah memenuhi syarat memperoleh pahala salat semalam penuh karena dia telah menyelesaikan salatnya bersama imam. Dia tidak perlu salat lagi bersama imam lain di akhir malam, karena salat berjamaah pertama itu sudah sempurna. Barang siapa yang ingin salat dua kali karena ingin mendapat tambahan pahala, maka itu lebih baik, hanya saja ia tidak boleh salat Witir dua kali, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang hal itu. وقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله:إذا صلى الإنسان في رمضان مع من يصلي ثلاثا وعشرين ركعة واكتفى بإحدى عشرة ركعة ولم يتم مع الإمام، فهل فعله هذا موافق للسنة؟ فأجاب: “السنة الإتمام مع الإمام، ولو صلى ثلاثا وعشرين؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة، وفي اللفظ الآخر: (بقية ليلته). فالأفضل للمأموم أن يقوم مع الإمام حتى ينصرف، سواء صلى إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة أو ثلاثا وعشرين أو غير ذلك، هذا هو الأفضل أن يتابع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([59]). Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Jika seseorang salat bersama jemaah yang salat 23 rakaat di bulan Ramadan, lalu dia berhenti pada rakaat kesebelas dan tidak menyelesaikannya bersama imam, apakah tindakan ini sesuai dengan sunah? Beliau menjawab bahwa yang sunah adalah menyelesaikan salat bersama imam, meskipun imamnya salat 23 rakaat, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat berdiri bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.” Dalam riwayat lain disebutkan, ” … (pahala) salat di sisa malamnya itu.” Jadi, yang afdal bagi makmum adalah salat bersama imam sampai ia selesai, baik imamnya salat 11, 13, 23, atau jumlah rakaat yang lain. Selesai kutipan ([59]) وقال الشيخ ابن جبرين رحمه الله: ” قيام رمضان يحصل بصلاة جزء من كل ليلة، كنصفها أو ثلثها، سواء كان ذلك بصلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث وعشرين، ويحصل القيام بالصلاة خلف إمام الحي حتى ينصرف، ولو في أقل من ساعة . وكان الإمام أحمد يُصلي مع الإمام ولا ينصرف إلا معه، عملاً بالحديث، فمن أراد هذا الأجر فعليه أن يصلي مع الإمام حتى يفرغ من الوتر، سواء صلى قليلاً أو كثيراً ، وسواء طالت المدة أو قصرت” انتهى ([60]). Syekh Ibnu Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat malam di bulan Ramadan bisa dilakukan dengan salat di sebagian malam di seluruh malamnya, seperti di setengah atau sepertiga malam, baik dengan 11 atau 23 rakaat. Salat ini bisa dilakukan dengan bermakmum pada imam setempat sampai dia selesai, meskipun dalam waktu kurang dari satu jam. Imam Ahmad dahulu salat bersama imam dan tidak akan menyelesaikannya kecuali bersamanya dalam rangka mengamalkan hadis. Barang siapa menginginkan pahala ini, maka dia harus salat bersama imam sampai selesai dari salat Witir, baik salatnya itu dengan sedikit atau banyak rakaat, dan baik durasinya panjang atau pendek. Selesai kutipan ([60]). لكن: هل يحصل له الأجر الوارد في الحديث إذا صلى نصف التراويح في مسجد ونصفها في آخر لظروف العمل؟ سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “إذا كان الرجل في رمضان يصلي أول الليل في مسجد وآخر الليل في مسجد هل يكون الأجر مثله؟ فأجاب: قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم:)من قام مع الإمام حتى ينصرف-يعني: في قيام رمضان- كتب له قيام ليلة). Namun, apakah dia akan mendapat pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut jika dia melaksanakan separuh salat Tarawih di satu masjid dan separuhnya lagi di masjid lain karena tuntutan kerja? Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— ditanya, “Jika seseorang pada bulan Ramadan salat di awal malam di masjid dan di akhir malam di masjid lain, apakah pahalanya seperti itu pula?” Beliau menjawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang salat bersama imam sampai selesai (salat malam di bulan Ramadan), maka dituliskan baginya (pahala) salat semalam penuh.  فإذا صلى مع الإمام الأول، ثم صلى مع الثاني: لم يصدق عليه أنه صلى مع الإمام حتى ينصرف؛ لأنه جعل قيامه بين رجلين. فيقال له: إما أن تقوم مع هذا من أول الليل إلى آخره، وإما أن يفوتك الأجر” انتهى ([61]). وعليه: إذا كانت ظروف العمل لا يتمكن معها المصلي من صلاة التراويح كاملة في مسجد واحد، فيرجى له الأجر على نيته المقترنة بما يقدر عليه من عمل.  Maka dari itu, jika dia salat dengan imam pertama, kemudian salat lagi dengan imam kedua, maka tidak benar bahwa dia telah bersama imam sampai imamnya selesai, karena salatnya bermakmum pada dua orang. Jadi, dikatakan kepadanya, “Anda harus bermakmum kepada satu orang imam yang salat di awal waktu sampai dia selesai salat, atau jika tidak demikian, maka Anda kehilangan pahala tersebut.” Selesai kutipan ([61]) Dengan demikian, jika tuntutan kerjanya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa salat Tarawih secara sempurna hingga selesai di satu masjid, maka semoga dia diberi pahala atas niatnya karena sudah dibarengi dengan usaha semampu yang bisa dia kerjakan. فإن كان في المسجد الواحد إمامان لصلاة التراويح أو التهجد، فالانصراف يتحقق بالصلاة مع الإمامين معا: قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “هل الإمامان في مسجد واحد يعتبر كل واحد منهم مستقلاً، أو أن كل واحد منهما نائب عن الثاني؟ الذي يظهر الاحتمال الثاني – أن كل واحد منهما نائب عن الثاني مكمل له، وعلى هذا فإن كان المسجد يصلي فيه إمامان فإن هذين الإمامين يعتبران بمنزلة إمام واحد، فيبقى الإنسان حتى ينصرف الإمام الثاني، لأننا نعلم أن الثانية مكملة لصلاة الأول” ([62]). Jika ada dua imam dalam satu masjid untuk salat Tarawih dan Tahajud, maka dikatakan bahwa dia selesai salat bersama imam adalah dengan mengikuti kedua imam tersebut. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Apakah dua imam dalam satu masjid dianggap masing-masing dan terpisah, atau masing-masing saling mewakili yang lain? Yang lebih tepat adalah kemungkinan yang kedua, bahwa masing-masing saling mewakili yang lain dan saling melengkapi. Oleh karena itu, jika masjid tersebut ada salat yang dipimpin oleh dua orang imam, maka dua imam tersebut dianggap satu imam, sehingga seseorang hendaknya tetap salat sampai imam kedua selesai, karena kita tahu bahwa imam kedua ini menyempurnakan salat imam yang pertama.” ([62]) الأحكام المتعلقة بصلاة الوتر Hukum-Hukum Seputar Salat Witir صلاة الوتر من أعظم القربات إلى الله تعالى، حتى رأى بعض أهل العلم –وهم الأحناف– بوجوبها، ولكن الصحيح بأنها سنة مؤكدة، ينبغي على المسلم المحافظة عليها وعدم تركها. Salat Witir merupakan salah satu amalan ibadah teragung untuk mendekatkan diri kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, bahkan sebagian ulama —yaitu ulama Hanafi— berpendapat bahwa hukumnya wajib. Namun yang benar bahwa hukumnya sunah muakadah, yang seyogianya dijaga dan tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. المسألة الأولى: حكم صلاة الوتر. صلاة الوتر سنة مؤكدة عند جمهور العلماء، ومن الفقهاء من أوجبها . ويدل على عدم وجوبها: ما رواه البخاري ومسلم عن طَلْحَةَ بْن عُبَيْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ: (الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا) ولفظ مسلم: (خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لا، إِلا أَنْ تَطَوَّعَ) ([63]).  Pembahasan Pertama: Hukum Salat Witir Salat Witir termasuk sunah muakadah menurut mayoritas ulama, tetapi ada sebagian fukaha yang mewajibkannya. Dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya tidak wajib adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Thalhah bin Ubaidullah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku salat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Salat lima waktu dalam sehari semalam.” Dia bertanya, “Apakah ada kewajiban (salat) lain bagiku?” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, kecuali jika engkau mau mengerjakan secara sukarela.” ([63]) قال النووي رحمه الله: “فِيهِ: أَنَّ صَلاة الْوِتْر لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ” انتهى ([64]).  وقال الحافظ رحمه الله في “الفتح”: “فيه: أَنَّهُ لا يَجِب شَيْء مِنْ الصَّلَوَات فِي كُلّ يَوْم وَلَيْلَة غَيْر الْخَمْس, خِلافًا لِمَنْ أَوْجَبَ الْوِتْر أَوْ رَكْعَتَيْ الْفَجْر” انتهى ([65]).  ومع ذلك فهي آكد السنن ، فقد أمر بها النبي صلى الله عليه وسلم في غير ما حديث . روى مسلم عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([66]).  An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini menunjukkan bahwa salat Witir tidak wajib. Selesai kutipan. ([64]) Al-Hafiz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Fath bahwa dalam hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun salat yang wajib dilakukan setiap siang dan malam selain salat lima waktu. Pendapat ini berbeda dengan mereka yang mewajibkan salat Witir atau dua rakaat fajar. Selesai kutipan. ([65]) Ini termasuk salat sunah muakadah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya kepada kita dalam beberapa hadis. Muslim meriwayatkan dari Abu Said —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([66]) وروى أبو داود: عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، أَوْتِرُوا، فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ) ([67]).  ولهذا فينبغي المحافظة عليها حضرا وسفرا، كما كان يفعل صلى الله عليه وسلم، فقد روى البخاري ومسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: (كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاةَ اللَّيْلِ إِلا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ) ([68]).  Abu Dawud meriwayatkan dari Ali —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Wahai ahli al-Quran, lakukanlah salat Witir, karena Allah itu witir (baca:ganjil, yakni satu) dan Mencintai witir. ([67]) Oleh karena itu, salat ini selayaknya dijaga saat mukim maupun saat safar, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa salat saat safar di atas tunggangannya ke mana pun tunggangannya menghadapkan beliau dengan isyarat tubuh untuk salat malam, kecuali untuk salat wajib, dan beliau juga salat Witir di atas tunggangannya.” ([68])  قال ابن قدامة رحمه الله: “الوتر غير واجب وبهذا قال مالك والشافعي. وقال أبو حنيفة: هو واجب”. ثم قال: “قال أحمد: من ترك الوتر عمدا فهو رجل سوء، ولا ينبغي أن تقبل له شهادة، وأراد المبالغة في تأكيده لما قد ورد فيه من الأحاديث في الأمر به، والحث عليه ” انتهى بتصرف ([69]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Witir tidak wajib. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan Syafii. Abu Hanifah berkata, “hukumnya wajib.” Kemudian dia berkata bahwa Ahmad berkata, “Barang siapa dengan sengaja meninggalkan salat Witir, maka ia adalah orang yang buruk dan kesaksiannya selayaknya tidak diterima.” Maksudnya beliau ingin menguatkan statusnya yang sunah muakadah karena ada banyak hadis yang memerintahkan dan mendorong untuk mengerjakan salat ini. ([69]) وسئل علماء اللجنة الدائمة: هل صلاة الوتر واجبة وهل الذي يصليها يوماً ويتركها اليوم الآخر يؤاخذ ؟ فأجابوا: ” صلاة الوتر سنة مؤكدة، ينبغي أن يحافظ المؤمن عليها، ومن يصليها يوما ويتركها يوما لا يؤاخذ، لكن ينصح بالمحافظة على صلاة الوتر ثم يشرع له أن يصلي بدلها من النهار ما فاته شفعا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك، كما ثبت عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا شغله نوم أو مرض عن صلاة الليل صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة. خرجه مسلم في صحيحه، وكان صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل غالبا إحدى عشرة ركعة، يسلم من كل اثنتين ويوتر بواحدة، فإذا شغل عن ذلك بنوم أو مرض صلى من النهار اثنتي عشرة ركعة، كما ذكرت ذلك رضي الله عنها، وعلى هذا إذا كانت عادة المؤمن في الليل خمس ركعات فنام عنها أو شغل عنها بشيء شُرع له أن يصلي من النهار ست ركعات يسلم من كل اثنتين، وهكذا إذا كانت عادته ثلاثا صلى أربعا بتسليمتين، وإذا كانت عادته سبعا صلى ثمان يسلم من كل اثنتين” انتهى ([70]).  Para ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah ditanya, “Apakah salat Witir itu wajib, dan apakah orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya akan mendapatkan hukuman?” Mereka menjawab bahwa salat Witir itu sunah muakadah. Hendaknya orang mukmin memeliharanya. Orang yang sehari melakukannya dan di hari lain meninggalkannya tidak akan mendapatkan hukuman. Hanya saja, disarankan agar salat Witir dipelihara dan disyariatkan agar dia menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap jika dia melewatkannya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu juga melakukan demikian, sebagaimana disebutkan dalam riwayat sahih dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa jika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat salat malam karena tertidur atau sakit, maka beliau salat dua belas rakaat di siang hari. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam seringnya salat sebelas rakaat di malam hari dengan satu salam setiap dua rakaat lalu salat Witir satu rakaat. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sempat melakukannya karena tertidur atau sakit, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat dua belas rakaat di siang hari. Ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Oleh sebab itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan di malam hari salat lima rakaat, tetapi tertidur atau tidak sempat melakukannya karena suatu kesibukan, disyariatkan baginya untuk salat enam rakaat di siang hari dengan satu salam setiap dua rakaat. Pun jika kebiasaannya adalah salat tiga rakaat, hendaknya dia salat empat rakaat dengan dua kali salam. Jika kebiasaannya adalah salat tujuh rakaat, hendaknya dia salat delapan rakaat dengan sekali salam setiap dua rakaat. Selesai kutipan ([70]). المسألة الثانية: وقت الوتر: يبدأ من بعد صلاة العشاء، ولو كانت مجموعة إلى المغرب تقديماً، إلى طلوع الفجر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ) ([71]). فإذا طلع الفجر خرج وقتها، بدليل قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا) ([72]). وروى مسلم: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ) ([73]). Pembahasan Kedua: Waktu Salat Witir Waktu salat Witir dimulai setelah salat Isya —meskipun salat Isyanya dijamak dengan salat magrib di awal waktu— hingga terbit fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah telah Menganugerahi kepada kalian satu salat, yaitu salat Witir, yang Allah Jadikan waktunya bagi kalian antara salat Isya sampai terbit fajar.” ([71]). Ketika fajar tiba, maka sudah habis waktunya, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Lakukan Witir sebelum waktu subuh tiba.” ([72]). Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Segeralah salat Witir sebelum subuh.” ([73]). وروى مسلم: أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ) ([74]). وروى الترمذي: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ، فَأَوْتِرُوا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ) ([75]). وروى البخاري ومسلم: أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (صَلَاة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى) ([76]). قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “فدل على أن الوتر ينتهي وقته بطلوع الفجر، ولأنه صلاة تختم به صلاة الليل فلا تكون بعد انتهائه” ([77]). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([74]). At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Ketika fajar terbit, maka telah berlalu semua salat malam dan Witir.” ([75]). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” ([76]) Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hal ini menunjukkan bahwa waktu salat Witir berakhir saat terbitnya fajar dan bahwa salat ini menjadi penutup salat malam sehingga tidak ada lagi (salat malam) setelah (Witir) dikerjakan.” ([77]). وذهب بعض العلماء إلى أن وقته يمتد بعد طلوع الفجر حتى يصلي الصبح ، واستدلوا بما ورد عن بعض الصحابة أنهم صلوا الوتر بعد طلوع الفجر وقبل إقامة الصلاة . قال ابن رشد القرطبي رحمه الله:”وأما وقته -أي: الوتر-: فإن العلماء اتفقوا على أن وقته من بعد صلاة العشاء إلى طلوع الفجر لورود ذلك من طرق شتى عنه عليه الصلاة والسلام، ومن أثبت ما في ذلك ما خرجه مسلم عن أبي نضرة العوفي أن أبا سعيد أخبرهم أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم عن الوتر فقال ‏(‏الوتر قبل الصبح)‏، ‏واختلفوا في جواز صلاته بعد الفجر، فقوم منعوا ذلك، وقوم أجازوه ما لم يصل الصبح، وبالقول الأول قال أبو يوسف ومحمد بن الحسن صاحبا أبي حنيفة وسفيان الثوري، وبالثاني قال الشافعي ومالك وأحمد‏.‏ وسبب اختلافهم معارضة عمل الصحابة في ذلك بالآثار … Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat Witir ada sampai terbitnya fajar hingga seseorang melaksanakan salat Subuh. Mereka berdalil dengan riwayat sebagian Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa mereka salat Witir setelah terbitnya fajar dan sebelum ikamat salat Subuh. Ibnu Rusyd al-Qurtubi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa para ulama sepakat bahwa waktunya—yakni witir—adalah setelah salat Isya sampai terbitnya fajar, karena ada banyak riwayat dari berbagai jalur dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun riwayat yang paling sahih dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Naḏhrah al-ʿAufi bahwa Abu Said mengabarkan kepada mereka bahwa mereka pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salat Witir, lantas beliau menjawab, “Salat Witir itu sebelum subuh.” Para ulama berselisih tentang kebolehan salat setelah terbit fajar. Ada yang melarangnya dan ada pula yang membolehkannya selama belum salat Subuh. Pendapat pertama menjadi pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan dua sahabat Abu Hanifah, serta Sufyan ats-Tsauri. Pendapat kedua adalah pendapat Syafii, Malik, dan Ahmad. Latar belakang silang pendapat ini adalah perbedaan antara praktik para Sahabat dengan berbagai riwayat tentang hal ini. والذي عندي في هذا: أن هذا من فعلهم ليس مخالفا للآثار الواردة في ذلك – أعني: في إجازتهم الوتر بعد الفجر – بل إجازتهم ذلك هو من باب القضاء لا من باب الأداء، وإنما يكون قولهم خلاف الآثار لو جعلوا صلاته بعد الفجر من باب الأداء فتأمل هذا … ” ([78]). وقال الشيخ ابن باز رحمه الله:”والأحاديث في هذا الباب كثيرة، وهي دالة على أن الوتر ينتهي بطلوع الفجر” ([79]). Menurut saya dalam masalah ini bahwa perbuatan mereka yakni bolehnya salat Witir setelah fajar, tidaklah bertentangan dengan riwayat-riwayat dalam masalah ini, karena mereka yang membolehkan ini adalah dalam rangka mengqada salat Witir, bukan mengerjakan pada waktunya. Pendapat mereka ini baru bertentangan dengan riwayat jika salat mereka setelah fajar dimaknai mengerjakan salat pada waktunya. Silakan renungkan hal ini. …” ([78]). Syekh Ibnu Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis-hadis dalam masalah ini ada banyak, yang menunjukkan bahwa witir berakhir ketika terbit fajar ([79]). وأفضل وقت لصلاة الوتر: آخر الليل لمن طمع أن يقوم من آخره؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ) ([80]). قال النووي رحمه الله: “وهذا هو الصواب، ويُحمل باقي الأحاديث المطلقة على هذا التفضيل الصحيح الصريح، فمن ذلك حديث: (أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر). وهو محمول على من لا يثق بالاستيقاظ” ([81]). Faedah: Waktu Terbaik untuk Salat Witir Waktu terbaik untuk salat Witir adalah di akhir malam bagi orang yang ingin salat di akhir malam, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamnya, “Barang siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal malam. Adapun bagi yang yakin mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena salat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan itu yang afdal ([80]). An-Nawawi —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa inilah yang benar. Hadis-hadis lain yang sifatnya mutlak maknanya dibawa kepada rincian yang benar dan jelas ini. Di antaranya adalah hadis, “Kekasihku mewasiatkan kepadaku agar aku tidak tidur kecuali telah witir.” (HR. Bukhari) Hadis ini dibawa maknanya kepada orang yang tidak yakin bisa terbangun. ([81]) المسألة الثالثة: عدد ركعات الوتر: أقل الوتر ركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ)([82])، وقوله عليه الصلاة والسلام: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى) ([83]). ويجوز الوتر بثلاث وبخمس وبسبع وبتسع وبأحد عشر. Pembahasan Ketiga: Jumlah Rakaat Salat Witir Rakaat minimal salat Witir adalah satu rakaat, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat Witir adalah satu rakaat di penghujung malam.” ([82]) Juga sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), lalu jika khawatir masuk waktu subuh, maka hendaknya salat satu rakaat untuk menutup salatnya.” ([83]). Witir boleh dikerjakan dalam tiga, lima, tujuh, sembilan, atau sebelas rakaat. فإن أوتر بثلاث فله صفتان كلتاهما مشروعة ([84]): الأولى: أن يسرد الثلاث بتشهد واحد؛ لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر”، وفي لفظ: ” كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن” ([85]).  قال النووي رحمه الله: “رواه النسائي بإسناد حسن، والبيهقي بإسناد صحيح” ([86]). Jika seseorang salat Witir tiga rakaat, maka ada dua cara yang sama-sama disyariatkan. ([84]): Pertama, langsung tiga rakaat dengan satu tasyahud, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak salam pada dua rakaat witir.” Dalam riwayat lain, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir tiga rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali di akhir rakaat.” ([85]). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa an-Nasai meriwayatkan dengan sanad yang hasan dan al-Baihaqi dengan sanad yang sahih ([86]). الثانية: أن يسلّم من ركعتين ثم يوتر بواحدة؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنه كان يفصل بين شفعه ووتره بتسليمة، وأخبر أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يفعل ذلك ([87]). وقال ابن حجر رحمه الله: إسناده قوي([88]). وأما إذا أوتر بخمس أو بسبع؛ فإنها تكون متصلة، ولا يتشهد إلا تشهداً واحداً في آخرها ويسلم، لحديث أم سلمة رضي الله عنها قالت: “كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يوتر بخمس وبسبع ولا يفصل بينهن بسلام ولا كلام” ([89]). Kedua, dengan salam setelah dua rakaat, lalu mengerjakan witir satu rakaat, berdasarkan riwayat Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau memisahkankan rakaat genapnya (dua rakaat) dan rakaat ganjilnya (satu rakaat) dengan salam. Dia meriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melakukan demikian ([87]). Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa sanadnya kuat ([88]). Adapun seseorang witir dengan lima atau tujuh rakaat, maka bisa bersambung tanpa tasyahud kecuali sekali di akhir rakaat lalu salam, berdasarkan hadis Ummu Salamah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir dengan lima atau tujuh rakaat tanpa memisahkan keduanya dengan salam atau ucapan tertentu ([89]). روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها ([90]) وإذا أوتر بتسع فإنها تكون متصلة ويجلس للتشهد في الثامنة، ثم يقوم ولا يسلم ويتشهد في التاسعة ويسلم؛ لما روته عائشة رضي الله عنها: “أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لا يَجْلِسُ فِيهَا إِلا فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا” ([91]). وإن أوتر بإحدى عشرة، فإنه يسلم من كل ركعتين، ويوتر منها بواحدة. Aisyah —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan dengan mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat malam tiga belas rakaat termasuk witir dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat akhir ([90]). Jika seseorang salat Witir sembilan rakaat, maka bersambung terus dan duduk tasyahud di rakaat kedelapan lalu berdiri lagi tanpa salam dulu, kemudian duduk tasyahud di rakaat kesembilan lalu salam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah salat sembilan rakaat tanpa duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk melakukan rakaat yang kesembilan, kemudian duduk melantunkan zikir, pujian dan doa kepada-Nya, lalu salam dengan salam yang bisa kami dengar ([91]). Jika ia salat Witir sebanyak sebelas rakaat, maka ia salam setiap dua rakaat, lalu melakukan witir dengan satu rakaat. وأدنى الكمال في الوتر: أن يصلي ركعتين ويسلّم، ثم يأتي بواحدة ويسلم، ويجوز أن يجعلها بسلام واحد، لكن بتشهد واحد لا بتشهدين، كما سبق. فكل هذه الصفات في صلاة الوتر قد جاءت بها السنة، والأكمل أن لا يلتزم المسلم صفة واحدة، بل يأتي بهذه الصفة مرة وبغيرها أخرى. وقد ظن بعض الناس أن هذه الأحاديث التي ذكرت بعض كيفيات الوتر معارضة لما ثبت في الصحيحين من قول النبي صلى الله عليه وسلم (صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى) وليس الأمر كذلك؛ لأن هذا الحديث وارد في صلاة قيام الليل ، وهذه الأحاديث إنما هي في صلاة الوتر . Kesempurnaan minimal dalam mengerjakan salat Witir adalah salat dua rakaat lalu salam, kemudian mengerjakan satu rakaat lalu salam. Boleh juga mengerjakannya dengan satu salam, tetapi dengan satu tasyahud, bukan dua kali, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Semua cara salat Witir tersebut warid dalam Sunah. Cara yang paling sempurna adalah dengan seorang muslim tidak terpaku pada satu cara saja, melainkan sesekali dengan cara tertentu dan sesekali cara yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa hadis-hadis yang menyebutkan beberapa tata cara salat Witir ini saling kontradiktif dengan riwayat sahih dalam kitab Shahihain yang menyebutkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” padahal tidak demikian. Hadis ini adalah tentang salat malam, sementara hadis-hadis tersebut adalah tentang salat Witir. قال ابن القيم رحمه الله بعد أن ساق أحاديث في أنواع وتره صلى الله عليه وسلم: ” وكلها أحاديث صحاح صريحة لا معارض لها, فَرُدَّتْ هذه بقوله صلى الله عليه وسلم: (صلاة الليل مثنى مثنى) وهو حديث صحيح, ولكن الذي قاله هو الذي أوتر بالتسع والسبع والخمس, وسننه كلها حق يصدق بعضها بعضا, فالنبي صلى الله عليه وسلم أجاب السائل له عن صلاة الليل بأنها: (مَثْنَى مَثْنَى) ولم يسأله عن الوتر، وأما السبع والخمس والتسع والواحدة فهي صلاة الوتر، والوتر اسم للواحدة المنفصلة مما قبلها وللخمس والسبع والتسع المتصلة, كالمغرب اسم للثلاث المتصلة, فإن انفصلت الخمس والسبع بسلامين كالإحدى عشرة كان الوتر اسما للركعة المفصولة وحدها, كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى, فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ أَوْتَرَ بِوَاحِدَةٍ تُوتِرُ لَهُ مَا صَلَّى) فاتفق فعله صلى الله عليه وسلم وقوله، وصدَّق بعضُه بعضاً” انتهى ([92]). وصلاة الوتر من صلاة الليل، ولكنها تخالفها في الكيفية كما سبق بيانه. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya—, setelah mengutip hadis-hadis tentang berbagai jenis cara salat Witir, mengatakan bahwa semua hadis tersebut adalah hadis sahih dan jelas yang tidak saling kontradiktif. Pendapat ini dibantah dengan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat),” yang juga merupakan hadis sahih. Hanya saja, yang beliau katakan ini adalah tentang orang yang mengerjakan witir dengan sembilan, tujuh, dan lima rakaat. Sunah beliau semua benar dan saling membenarkan. Di sini Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang menjawab penanya yang bertanya kepada beliau tentang salat malam itu, yang caranya dua (rakaat) dua (rakaat), bukan bertanya tentang witir. Adapun rakaat yang jumlahnya sembilan, tujuh, lima, atau satu adalah untuk salat Witir. Witir adalah istilah untuk menyebut satu rakaat yang terpisah dari rakaat-rakaat yang sebelumnya dan untuk menyebut lima, tujuh, atau sembilan rakaat yang bersambung tersebut, sebagaimana Magrib adalah istilah untuk menyebut tiga rakaat yang bersambung. Adapun jika lima dan tujuh rakaat ini dipisahkan dengan salam, sebagaimana sebelas rakaat, maka witir adalah nama untuk untuk menyebut satu rakaat yang terpisah saja, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Salat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaknya dia salat satu rakaat, yang menjadi salat Witir untuk salat yang telah dikerjakannya.” Jadi, perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersesuaian dengan sabda beliau dan saling membenarkan. Selesai kutipan ([92]) Salat Witir merupakan bagian dari salat malam, namun berbeda tata caranya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. المسألة الرابعة: القراءة في الوتر: يقرأ في الركعة الأولى من الثلاث: سورة (سبح اسم ربك الأعلى) كاملة. وفي الثانية: الكافرون. وفي الثالثة: الإخلاص. فعن أبي بن كعب رضي الله عنه قال: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ” ([93]). واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Pembahasan Keempat: Bacaan dalam Salat Witir Bacaan pada rakaat pertama dari tiga rakaat salat Witir adalah surah sabbiẖisma rabbikal aʾlā (al-A’la) secara keseluruhan. Pada rakaat kedua membaca surah al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— meriwayatkan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam salat Witir membaca sabbiẖisma rabbikal aʾlā, qul yā ayyuhal kāfirūn, dan qul huwallāhu aẖad. ([93]).  واستحب بعض الأئمة أن يقرأ المعوذتين بعد سورة الإخلاص في الركعة الثالثة. قال ابن المنذر رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قَرَأَ فِي الْأُولَى مِنْهَا بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ، وَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ، وَيَقْرَأُ فِيهَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ” انتهى ([94]). Sebagian ulama menganjurkan untuk membaca Muʿawwidzatain (an-Nas dan al-Falaq) setelah surah al-Ikhlas pada rakaat ketiga. Ibnul Mundzir —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ketika seseorang menunaikan salat Witir tiga rakaat, maka hendaknya dia mengerjakan dua rakaat dengan rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā …,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn …,” kemudian salam. Kemudian, dia mengerjakan rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad …” dan Muʿawwidzatain. Selesai kutipan ([94]). واستدلوا بما رواه الترمذي: عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت: بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فقَالَتْ: (كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ) ([95]). وقد صحح هذا الحديث: الحاكم ووافقه الذهبي، وحسنه الحافظ ابن حجر في “نتائج الأفكار” وصححه الألباني في صحيح الترمذي . وضعفه الإمام أحمد ويحيى بن معين والعقيلي والشوكاني وغيرهم . Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah ditanya, “Dengan (bacaan) apa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Witir?” Dia —Semoga Allah Meridainya— menjawab bahwa beliau di rakaat pertama membaca, “sabbiẖisma rabbikal aʾlā,” rakaat kedua membaca, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga dengan membaca, “qul huwallāhu aẖad” disertai Muʿawwidzatain. ([95]). Hadis ini dinilai sahih oleh al-Hakim dan disetujui oleh az-Zahabi, dinilai hasan oleh a-Hafiz Ibnu Hajar dalam Natāʾij al-Afkār, dan dinilai sahih juga oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, asy-Syaukani dan lain-lain menilainya lemah. قال ابن قدامة رحمه الله: “ويستحب أن يقرأ في ركعات الوتر الثلاث، في الأولى بـ (سبح)، وفي الثانية: (قل يا أيها الكافرون)، وفي الثالثة: (قل هو الله أحد) وبه قال الثوري وإسحاق وأصحاب الرأي، وقال الشافعي: يقرأ في الثالثة: (قل هو الله أحد) والمعوذتين، وهو قول مالك في الوتر ، وقال في الشفع: لم يبلغني فيه شيء معلوم، وقد روي عن أحمد أنه سئل: يقرأ بالمعوذتين في الوتر ؟ قال: ولِمَ لا يقرأ ؟… وحديث عائشة في هذا لا يثبت، فإنه يرويه يحيى بن أيوب وهو ضعيف ، وقد أنكر أحمد ويحيى بن معين زيادة المعوذتين” انتهى ([96]). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa tiga rakaat witir dianjurkan untuk membaca pada rakaat pertama “sabbiẖ,” pada rakaat kedua, “qul yā ayyuhal kāfirūn,” dan pada rakaat ketiga, “qul huwallāhu aẖad.” Inilah pendapat ats-Tsauri, Ishaq, dan para Aṣhāb ar-Raʾyi. Syafii berkata bahwa pada rakaat ketiga membaca “qul huwallāhu aẖad” dan Muʿawwidzatain. Ini juga pendapat Malik tentang salat Witir. Adapun tentang salat dengan rakaat yang genap dia mengatakan, “Tidak ada penjelasan yang diketahui yang sampai kepadaku.” Diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia ditanya tentang membaca Muʿawwidzatain dalam salat Witir? Dia menjawab, “Kenapa tidak?” Sementara hadis Aisyah dalam masalah ini tidak sahih, karena diriwayatkan oleh Yahya bin Ayub. Dia lemah. Ahmad dan Yahya bin Ma’in mengingkari tambahan redaksi penambahan Muʿawwidzatain ini. Selesai kutipan ([96]). وقول الإمام أحمد رحمه الله: ولِمَ لا يقرأ ؟ يعني: مع ضعف الحديث، فلا حرج عليه إذا قرأ المعوذتين مع قل هو الله أحد في الركعة الثالثة، وإن كان الأصح أن يقتصر على (قل هو الله أحد) فقط . وبالرغم من ورود حديث ابن عباس وأبي بن كعب وعائشة رضي الله عنهما في قراءة الرسول صلى الله عليه وسلم هذه السور الثلاثة فقد اختلف العلماء في ذلك فذهب أبو حنيفة إلى أنه يقرأ في الوتر ما يشاء، وكذا الإمام مالك، في ركعتي الشفع، كما ذكره ابن قدامة عنه، وقد نقلناه آنفاً. Perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— “Kenapa tidak?” Maknanya meskipun hadisnya lemah sekalipun, tidak mengapa membaca Muʿawwidzatain dan qul huwallāhu aẖad pada rakaat ketiga, walaupun yang lebih tepat adalah cukup qul huwallāhu aẖad saja. Meskipun ada riwayat dalam hadis Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Aisyah —Semoga Allah Meridai mereka— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang membaca ketiga surah ini. Pun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang bebas membaca apa yang dia inginkan dalam salat Witir di dua rakaat yang genap. Begitu pula Imam Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah darinya, sebagaimana yang telah kami kutip tadi. وهو قول بعض التابعين كإبراهيم النخعي رحمه الله، فقد روى عبد الرزاق في “المصنَّف” (3/34) عن إبراهيم النخعي قال: اقرأ فيهن ما شئت، ليس فيهن شيء موقوت”. أي: محدد . وجاء في ” المدونة ” (1 /212): وقال مالك: الوتر واحدة، والذي أقر به وأقرأ به فيها في خاصة نفسي: (قل هو الله أحد)، و (قل أعوذ برب الفلق)، و (قل أعوذ برب الناس) في الركعة الواحدة مع أمِّ القرآن: قال ابن القاسم: وكان لا يفتي به أحدا، ولكنه كان يأخذ به في خاصة نفسه”. انتهى. Ini juga menjadi pendapat sebagian Tabiin, seperti Ibrahim an-Nakha’i —Semoga Allah Merahmatinya—. Abdurrazzaq meriwayatkan dalam al-Muṣhannaf (3/34) dari Ibrahim an-Nakha’i yang mengatakan, “Bacalah sekehendakmu, karena tidak ada ketentuan khusus.” Disebutkan dalam al-Mudawwanah (1/212) bahwa Malik berkata, “Dalam witir satu rakaat, untukku sendiri, aku membaca Qul huwallāhu aẖad, Qul aʿūdzubil falaq, dan Qul aʿūdzubi rabbinnās dalam satu rakaat itu disertai Ummul Qur’an (al-Fatihah).” Ibnul Qasim berkata bahwa dia tidak pernah memfatwakan itu kepada seorang pun, melainkan untuk dia amalkan sendiri. Selesai kutipan. وظاهر هذا، أنه لم يثبت شيء عند الإمام مالك رحمه الله في القراءة في الوتر، وإلا كان أفتى به . ومن أوتر بواحدة، فإنه يقرأ ما شاء بعد الفاتحة، وليس هناك قراءة معينة وردت بها السنة، وإذا قرأ ب” قل هو الله أحد ” فلا حرج عليه ([97]). Dengan demikian, tampaknya menurut Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya— tidak ada riwayat yang sahih mengenai bacaan dalam witir (satu rakaat), kalau bukan begitu, tentu dia akan memfatwakannya. Maka dari itulah, barang siapa yang salat Witir dengan satu rakaat, maka ia boleh membaca apa saja yang diinginkannya setelah surah al-Fatihah, dan tidak ada bacaan khusus yang disebutkan dalam Sunah. Jika ia membaca Qul huwallāhu aẖad pun tidak masalah ([97]). المسألة الخامسة: دعاء القنوت: دعاء القنوت يكون في الركعة الأخيرة من صلاة الوتر بعد الركوع، وإن جعله قبل الركوع فلا بأس، إلا أنه بعد الركوع أفضل. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “أكثر الأحاديث والذي عليه أكثر أهل العلم أن القنوت بعد الركوع، وإن قنت قبل الركوع فلا حرج” انتهى ([98]). Pembahasan Kelima: Doa Kunut Doa kunut terletak pada rakaat terakhir salat Witir setelah rukuk. Tidak mengapa juga jika dilakukan sebelum rukuk, tetapi setelah rukuk lebih baik. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa kebanyakan hadis dan mayoritas ulama mengatakan bahwa kunut itu setelah rukuk. Jika seseorang kunut sebelum rukuk pun tidak mengapa. Selesai kutipan. ([98]) والأفضل عدم المداومة على القنوت، بل يقنت الشخص أحيانا ويترك أحيانا. قال الألباني رحمه الله: “وكان صلى الله عليه وسلم يقنت أحيانا… وإنما قلنا: “أحيانا” لأن الصحابة الذين رووا الوتر لم يذكورا القنوت فيه، فلو كان صلى الله عليه وسلم يفعله دائما لنقلوه جميعا عنه. نعم، رواه أبي بن كعب وحده، فدل على أنه كان يفعله أحيانا” انتهى([99]). Lebih baik adalah tidak melakukan kunut secara kontinu, melainkan sesekali melakukannya dan sesekali meninggalkannya. Al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu kadang-kadang membaca kunut. Kami mengatakan “kadang-kadang” karena para Sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis tentang Witir tidak menyebutkan tentang kunut dalam riwayatnya. Seandainya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu melakukannya, tentu mereka semua akan meriwayatkan hal itu dari beliau. Ya, yang meriwayatkan adalah Ubay bin Ka’ab saja, sehingga menunjukkan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hanya melakukannya kadang-kadang. Selesai kutipan. ([99]) وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: ” ثبت عن أبي ابن كعب رضي الله عنه حين كان يصلي بالصحابة رضي الله عنهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يترك القنوت بعض الليالي، ولعل ذلك ليعلم الناس أنه ليس بواجب” انتهى ([100]). أما الإطالة في الدعاء فقد قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “الصحيح ألا يكون غلو ولا تقصير، فالإطالة التي تشق على الناس منهي عنها ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن معاذ بن جبل أطال الصلاة في قومه غضب عليه غضباً شديداً لم يغضب في موعظة مثله قط، وقال لمعاذ بن جبل: (يا معاذ أفتان أنت) ([101])،  Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada riwayat sahih dari ayahnya Ibnu Ka’ab —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengimami para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— di masjid Nabawi, beliau pernah meninggalkan kunut beberapa malam. Mungkin itu maksudnya agar orang mengetahui bahwa itu tidaklah wajib. Selesai kutipan ([100]). Adapun tentang memanjangkan doa dalam kunut, maka syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkomentar bahwa yang benar adalah tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurangi juga. Memperpanjang doa yang menyusahkan orang-orang tidaklah dibolehkan. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendengar bahwa Muadz bin Jabal memperpanjang salat ketika mengimami kaumnya, maka beliau sangat marah padahal beliau tidak pernah sama sekali marah seperti itu saat menasihati orang. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, jangan membuat masalah!” ([101]). فالذي ينبغي أن يقتصر على الكلمات الواردة أو يزيد قليلا ولا يشق. ولا شك في أن الإطالة شاقة على الناس وترهقهم، ولاسيما الضعفاء منهم، ومن الناس من يكون وراءه أعمال، ولا يحب أن ينصرف قبل الإمام ويشق عليه أن يبقى مع الإمام، فنصيحتي لإخواني الأئمة أن يكونوا بين بين، كذلك ينبغي أن يترك الدعاء أحياناً حتى لا يظن العامة أن الدعاء واجب” ([102]). Jadi, yang seyogianya dilakukan adalah mencukupkan diri dengan doa-doa yang warid atau ditambah sedikit tanpa memberatkan orang. Tidak diragukan bahwa kunut yang lama itu memberatkan dan membebani manusia, terutama bagi orang-orang yang sudah lemah. Di tengah jemaah ada sebagian mereka yang pekerja yang tidak ingin meninggalkan salat sebelum imam selesai tapi sangat berat baginya untuk terus mengikuti imam. Maka dari itu, nasihat saya kepada saudara-saudaraku para imam masjid adalah bertindak pertengahan, dan sebaiknya dia sesekali meninggalkan kunut agar masyarakat tidak menyangka bahwa doa itu wajib. ([102])  المسألة السادسة: حكم التطوع بعد الوتر يستحب أن تكون آخر صلاة من الليل، هي الوتر؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا) ([103]) ، والأمر في الحديث على سبيل الاستحباب والأفضلية وليس على سبيل الوجوب والإلزام؛ لما ثبت في صحيح مسلم: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كان يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بعد الوتر وَهُوَ جَالِسٌ ([104]). قال الشيخ ابن باز رحمه الله: “والحكمة في ذلك -والله أعلم- أن يبين للناس جواز الصلاة بعد الوتر” انتهى ([105]). Pembahasan Keenam: Hukum Salat Sunah setelah Salat Witir Disunahkan agar salat malam yang terakhir adalah salat Witir, berdasarkan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Jadikanlah salat terakhir kalian di malam hari adalah salat Witir.” ([103]) Perintah dalam hadis tersebut hanya bersifat anjuran dan keutamaan saja, bukan kewajiban dan keharusan, karena ada riwayat sahih dalam Sahih Muslim dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah salat dua rakaat setelah witir sambil duduk. ([104]) Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Hikmahnya di balik perbuatan itu —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah untuk menjelaskan kepada manusia kebolehan salat setelah salat Witir.” Selesai kutipan ([105]). ومن أحب أن يوتر من آخر الليل، فإنه يقوم بعد سلام الإمام فيصلي ركعة ثم يسلم. فقد سئل الشيخ ابن باز رحمه الله: بعض الناس إذا صلى مع الإمام الوتر وسلم الإمام قام وأتى بركعة ليكون وتره آخر الليل، فما حكم هذا العمل ؟ وهل يعتبر انصرف مع الإمام؟ فأجاب: “لا نعلم في هذا بأساً، نص عليه العلماء، ولا حرج فيه حتى يكون وتره في آخر الليل. ويصدق عليه أنه قام مع الإمام حتى ينصرف” انتهى ([106]). Barang siapa yang ingin menunaikan witir di penghujung malam, hendaknya ia berdiri setelah imam salam (dari salat Witir, pent.) lalu salat lagi satu rakaat, kemudian salam. Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya bahwa ada sebagian orang yang jika sedang salat Witir bersama imam lalu imam sudah salam, dia berdiri lagi lalu salat satu rakaat karena ingin witir di penghujung malam. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah ia dianggap selesai bersama imam? Beliau menjawab, “Yang kami ketahui itu tidak masalah. Para ulama telah menjelaskan hal itu. Hal itu tidak masalah karena ingin witir di akhir malam. Ia tetap dianggap salat bersama imam sampai imam selesai.” Selesai kutipan ([106]) مسائل متفرقة في صلاة التراويح والوتر 1- دعاء الاستفتاح، يكون لكل ركعتين من صلاة التراويح؛ لأن كل تسليمة صلاة مستقلة عن التي قبلها([107]). 2- يستحب أن يقول بعد وتره: “سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح” ثلاثا، ويمد صوته بها في الثالثة؛ لحديث عبد الرحمن بن أبزى رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم من الوتر، يقول: “سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثِ صَوْتَهُ”، وزاد الدارقطني: (رب الملائكة والروح) ([108]). Berbagai Permasalahan seputar Salat Tarawih dan Witir Doa istiftah dibaca setiap dua rakaat dalam salat Tarawih, karena setiap salam di setiap salat itu terpisah dari salat sebelumnya ([107]). Setelah salat Witir, dianjurkan untuk membaca, “Subẖānal malikil quddūs rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci, Tuhannya para malaikat dan arwah),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga, berdasarkan hadis Abdurrahman bin Abzi —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah salam dari salat Witir mengucapkan, “Subẖānal malikil quddūs (artinya: Maha Suci Sang Maha Raja lagi Maha Suci),” sebanyak tiga kali dan dengan meninggikan suara pada bacaan ketiga. Ad-Daraqutni menambahkan lafaz, “… rabbil malāʾikati war rūẖ (artinya: Tuhannya para malaikat dan arwah).” ([108]). 3- لا حرج في الصلاة خلف من يوتر بثلاث ركعات بتشهدين وتسليمة واحدة، كهيئة صلاة المغرب، ولو صلى الشخص خلف غيره ممن لا يوتر على تلك الهيئة، فهذا حسن وأولى([109]). 4- إذا كان الإمام يشرع في التراويح مباشرة بعد العشاء، بحيث لا يستطيع من خلفه أن يصلي سنة العشاء، فالمأموم في هذه الحال بالخيار: أ. إما أن يؤخِّر راتبة العشاء بعد صلاة التراويح على أن لا يتعدى الوقت نصف الليل؛ لأنه به ينتهي وقت العشاء وراتبتها. ب. أو يصلِّي راتبة العشاء بين ركعات التراويح أثناء استراحة المصلين أو أثناء إلقاء موعظة، ولا يدخل هذا في نهي بعض أهل العلم عن التنفل بين ركعات التراويح؛ لأن هذه الصلاة راتبة ليست نفلاً مطلقاً. ج. أو يصليهما أول ركعتين من التراويح بنية راتبة العشاء ([110]). Tidak mengapa seseorang salat di belakang imam yang melaksanakan salat Witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahud dan satu salam—seperti tata cara salat Magrib. Jika dia bisa salat di belakang imam lain yang tidak begitu cara salat Witirnya, maka itu lebih baik dan lebih utama ([109]). Jika imam memulai salat Tarawih langsung setelah salat Isya, sehingga makmum yang berada di belakangnya tidak sempat menunaikan salat sunah bakda isya, maka makmum punya beberapa pilihan: Dia bisa menunda salat sunah rawatib isya setelah salat Tarawih usai, asalkan waktunya tidak melebihi tengah malam; karena itulah waktu akhir salat Isya dan salat rawatibnya. Dia bisa mengerjakan salat sunah rawatib isya di sela-sela rakaat-rakaat Tarawih ketika para jemaah sedang beristirahat atau ketika sedang ada ceramah. Ini tidak termasuk dalam larangan sebagian ulama yang melarang salat sunah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih, karena salat ini merupakan salat rawatib, bukan salat sunah mutlak. Dia bisa mengerjakan dua rakaat pertama salat Tarawih dengan niat salat sunah rawatib isya ([110]). 5-صلاة المرأة للتراويح في بيتها، أفضل؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ) ([111])، لكن لو خشيت من أن تكسل عن الصلاة بمفردها، فالأفضل لها في هذه الحال أن تصلي في المسجد مع الجماعة. قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “صلاتها التراويح في البيت أفضل، لكن إذا كانت صلاتها في المسجد أنشط لها وأخشع لها، وتخشى إن صلت في البيت أن تضيع صلاتها، فقد يكون المسجد هنا أفضل ” انتهى([112]). Salat Tarawih wanita adalah di rumahnya. Ini yang afdal, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Janganlah kalian halangi wanita-wanita kalian dari masjid, meskipun rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” ([111]) Namun jika dia khawatir malas salat sendirian, maka yang lebih baik baginya adalah salat berjamaah di masjid. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Tarawih bagi wanita lebih utama di rumah, tetapi jika salatnya di masjid membuatnya lebih semangat dan khusyuk, serta khawatir menyia-nyiakan salat jika mengerjakannya di rumah, maka barangkali dalam hal ini masjid lebih afdal baginya. Selesai kutipan. ([112]) 6-البلاد التي يتأخر فيها وقت العشاء، هل لهم أن يصلوا التراويح قبل العشاء؟ قال الشيخ البراك حفظه الله: “لا يجوز لهم أداء صلاة التراويح قبل صلاة العشاء ودخول وقتها. ولكن نظرا لتأخر وقت دخول العشاء عندهم: يجوز لهم الجمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم، ثم يصلون التراويح بعد ذلك ” انتهى([113]). Di negara-negara yang waktu salat Isyanya terlambat, bolehkah orang-orang salat Tarawih sebelum isya? Syekh al-Barrak —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan salat Tarawih sebelum salat Isya dan sudah masuk waktunya. Namun karena waktu isya di daerah mereka terlambat, maka diperbolehkan bagi mereka untuk menggabungkan salat Magrib dan isya di awal waktu, kemudian salat Tarawih. Selesai kutipan ([113]). 7-تستحب صلاة التراويح والوتر للمسافر كما تستحب للمقيم؛ لمواظبته صلى الله عليه وسلم عليهما في السفر والحضر، قال ابن القيم رحمه الله: “ولم يكن صلى الله عليه وسلم يدع قيام الليل حضرا ولا سفرا ” انتهى([114]). 8- لا حرج في تتبع المساجد؛ طلبا للصوت الحسن([115]). 9- بعض الناس يظن أن الشفع هو سنة العشاء البعدية، وليس الأمر كذلك. قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء: “سنة العشاء البعدية وهي ركعتان، خلاف الشفع والوتر” انتهى([116]). Salat Tarawih dan Witir dianjurkan bagi musafir sebagaimana dianjurkan bagi orang yang mukim, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga kontinu melakukannya saat safar maupun mukim. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan salat malam saat safar maupun mukim.” Selesai kutipan. ([114]) Tidak mengapa pilah-pilih masjid untuk mencari suara (imam) yang bagus. ([115]) Sebagian orang mengira bahwa salat Tarawih dengan rakaat genap adalah salat sunah bakda isya, padahal tidak demikian. Ulama al-Lajnah ad-Dāʾimah lil Iftāʾ mengatakan bahwa salat sunah rawatib bakda isya itu dua rakaat, berbeda dengan salat Tarawih dan witir. Selesai kutipan ([116]). 10-يجوز للمأموم أن لا يحدد عدد ركعات الوتر، ويجعل ذلك تابعا لصلاة الإمام. فلو نوى المأموم أن يصلي ركعتين من الوتر على أنه سيأتي بركعة مفردة بعدهما، ولكن الإمام صلى ثلاثا متصلة بتسليمة واحدة: فالمأموم في هذه الحال يغير نيته الأولى، وينوي وصل الوتر، ويتابع إمامه في هذه الحال. قال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله: “وإذا نوى الوتر فهو على نيته، سواء سرد الإمام الثلاث جميعاً، أو سلم بالركعتين ثم أتى بالثالثة؛ لأن الركعتين اللتين تسبق الواحدة: هي من الوتر، لكنه وتر مفصول، وإذا سرد الثلاث جميعاً بتشهد واحد فهو وتر موصول، وكلاهما جائز” انتهى([117]). Makmum boleh untuk tidak menentukan (niat) jumlah rakaat salat Witirnya dan mengikuti salatnya imam. Jika seorang makmum berniat salat Witir dua rakaat dengan melakukan satu rakaat terpisah setelahnya, namun imamnya salat tiga rakaat secara bersambung dengan satu salam, maka dalam hal ini makmum hendaknya merubah niat awalnya dan mengganti dengan niat menyambung rakaat witirnya guna mengikuti imamnya. Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada orang yang berniat menunaikan witir, maka hendaknya ia tetap berpegang dengan niat itu, baik imamnya salat tiga rakaat langsung atau salam setelah dua rakaat lalu mengerjakan rakaat ketiga, karena dua rakaat pertama sebelum satu rakaat itu juga bagian dari salat Witir, namun salat Witir yang terpisah. Jika imamnya salat tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud, maka itu salat Witir yang bersambung. Keduanya diperbolehkan. Selesai kutipan. ([117]) 11-الوتر بثلاث ركعات مفصولة، أفضل من الوتر بمثله من العدد متصلا؛ لأن الفصل فيه زيادة عمل وعبادة. قال النووي رحمه الله: “وَإِذَا أَرَادَ الْإِتْيَانَ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ: الْأَفْضَلَ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَفْصُولَةً بِسَلَامَيْنِ لِكَثْرَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ وَلِكَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ.. “([118]). 12- إذا كان المصلي في الوتر وأذن الصبح، فإنه يتم وتره ولا يقطعه. سُئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله تعالى: ” عن رجل يصلي الوتر وأثناء صلاته أذن المؤذن لصلاة الفجر، فهل يتم صلاته؟ فأجاب فضيلته بقوله: نعم، إذا أذن وهو أثناء الوتر؛ فإنه يتم صلاته ولا حرج عليه” ([119]). Salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah lebih utama daripada salat Witir dengan jumlah rakaat yang sama tapi disambung semua, karena witir yang dipisah padanya ada tambahan amal dan ibadah. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika seseorang ingin mengerjakan dengan jumlah tiga rakaat, maka salat Witir dengan tiga rakaat yang terpisah dengan dua kali salam lebih utama karena hadis tentangnya lebih banyak dan lebih banyak pula ibadah di dalamnya …. ([118]). Jika seseorang sedang menunaikan salat Witir lalu azan subuh dikumandangkan, maka hendaknya ia menuntaskan salat Witirnya dan tidak menghentikannya. Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang sedang salat Witir, lalu ketika dia sedang salat, muazin mengumandangkan azan salat Subuh. Apakah ia harus menyelesaikan salatnya? Syekh yang mulia menjawab, “Ya, jika azan dikumandangkan saat dia sedang salat Witir, maka silakan menyempurnakan salatnya dan tidak masalah.” ([119]) 13-لا يجب في دعاء القنوت أن يكون باللفظ الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم، بل يجوز للمصلي أن يدعو بغيره أو يزيد عليه ([120]). 14- لا مانع من إلقاء الإمام بعض الدروس والكلمات بين ركعات التراويح، والأحسن أن لا يداوَم عليه، خشية أن يعتقد الناس أنه جزء من الصلاة، وخشية من اعتقادهم وجوبه حتى إنهم قد ينكرون على من لم يفعله. قال الشيخ عبد الله الجبرين رحمه الله: “… وحيث إنَّ الناس في هذه الأزمنة يخففون الصلاة، فيفعلونها في ساعة أو أقل: فإنه لا حاجة بهم إلى هذه الاستراحة، حيث لا يجدون تعباً ولا مشقة؛ لكن إن فصل بعض الأئمة بين ركعات التراويح بجلوس، أو وقفة يسيرة للاستجمام، أو الارتياح: فالأولى قطع هذا الجلوس بنصيحة أو تذكير، أو قراءة في كتاب مفيد، أو تفسير آية يمرّ بها القارئ، أو موعظة، أو ذكر حكم من الأحكام، حتى لا يخرجوا أو لا يملّوا، والله أعلم” ([121]). 13. Doa kunut tidak harus berupa doa yang warid dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, melainkan boleh saja berdoa dengan doa lain atau menambah doa yang warid. ([120]) 14. Tidak mengapa bagi imam untuk menyampaikan pelajaran atau ceramah di antara rakaat-rakaat salat Tarawih. Namun lebih baik tidak dilakukan secara rutin, karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira itu bagian dari salat dan menyangka bahwa hal itu wajib, sampai-sampai mereka akan mengingkari orang yang tidak melakukan hal itu. Syekh Abdullah al-Jibrin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang-orang pada zaman ini telah mempersingkat salat mereka, yang dilakukan dalam durasi satu jam atau kurang. Jika begini, mereka sebenarnya tidak memerlukan istirahat ini karena tidak merasa lelah dan berat. Namun, jika sebagian imam memisahkan antara rakaat salat Tarawih dengan duduk atau jeda sejenak untuk relaksasi dan istirahat, maka lebih baik jika dia mengisi jeda duduk ini dengan nasihat, pengingat, membaca bacaan yang bermanfaat atau tafsir yang dibaca seorang pembaca, atau menyampaikan petuah atau pembahasan hukum Islam sehingga para jemaah tidak pergi atau bosan. Allah Yang lebih Mengetahui. ([121])  ([1])رواه البخاري (37)، ومسلم (759).  ([2])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (2730).  ([3])”الموسوعة الفقهية الكويتية” (34/118).  ([4])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (13/262-264).  ([5])رواه البخاري (990) ومسلم (749).  ([6])رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط”، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (365).  ([7])رواه أبو يعلى، وضعفه الألباني في “ضعيف الترغيب والترهيب” (364).  ([8])”فيض القدير” (6/173).  ([9])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52875)، (337318).  ([10])رواه البخاري (1129) ومسلم (761). Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor 2730. Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (34/118). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (13/262-264). Diriwayatkan oleh Bukhari (990) dan Muslim (749). Diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabīr dan al-Ausaṯh, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (365). Diriwayatkan oleh Abu Yaʿlā, dan dinilai lemah oleh al-Albani dalam Ḏhaʿīf at-Targhīb wa Tarhīb (364). Faiḏh al-Qadīr (6/173). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52875) dan (337318). Diriwayatkan oleh Bukhari (1129) dan Muslim (761).  ([11])رواه الترمذي (806)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([12])رواه البخاري (2010).  ([13])”المجموع” (3/526).  ([14])”مجالس شهر رمضان” (ص 22).  ([15])”قيام رمضان” (ص21).   ([16])”اقتضاء الصراط المستقيم” (2/ 95-97).  ([17])”جامع العلوم والحكم” (2/783(.  ([18])صلاة التراويح (ص 50)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (230276)، (45781)، (183220).  ([19])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50070) في ثواب قيام الليل.  ([20])رواه البخاري (37)، ومسلم (759). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (2010). Al-Majmūʿ (3/526). Majālis Syaẖru Ramaḏhān (hal. 22). Qiyām Ramaḏhān (hal. 21). Iqtiḏhāʾ aṣ-Ṣirāt al-Mustaqīm (2/95-97). Jāmiʿ al-ʿUlūm wa al-H̱ikam (2/783). Ṣalātu at-Tarāwīẖ (hal. 50), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (230276), (45781), dan (183220). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50070) tentang pahala salat malam. Diriwayatkan oleh Bukhari (37) dan Muslim (759).  ([21])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (48957).  ([22])رواه البخاري (1901)، ومسلم (759).  ([23])رواه مسلم (1175).  ([24])شرح النووي على مسلم (8/71).  ([25])”المجموع” (3/526)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (37768).  ([26])”المغني” (2/ 125).  ([27])”الشرح الممتع ” (4/60، 61).  ([28])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (50547).  ([29])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (292307).  ([30])”كشاف القناع” (1/426). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (48957). Diriwayatkan oleh Bukhari (1901) dan Muslim (759). Diriwayatkan oleh Muslim (1175). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (8/71). Al-Majmūʿ (3/526), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37768). Al-Mughnī (2/125). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/60, 61). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (50547). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (292307). Kasysyāf al-Qināʿ (1/426).  ([31])”المصابيح في صلاة التراويح” (ص/4)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9036).  ([32])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/322).  ([33])رواه الترمذي (806) وصححه الألباني في صحيح الترمذي (646).  ([34])”الشرح الممتع” (4 /73 –75).  ([35])رواه البخاري (1909) ومسلم (738).  ([36])رواه البخاري (946) ومسلم (749).  ([37])”المبسوط” (2/ 145).  ([38])”المغني” (1/457).  ([39])”المجموع” (4/31).  ([40])انظر: “المغني” (2/604)، و”المجموع” (4/32). Al-Maṣābīẖ fī Ṣalāti at-Tarāwīẖ (hal. 4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9036). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/322). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi (646). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/73-75). Diriwayatkan oleh Bukhari (1909) dan Muslim (738). Diriwayatkan oleh Bukhari (946) dan Muslim (749). Al-Mabsūṯh (2/145). Al-Mughnī (1/457). Al-Majmūʿ (31/4). Lihat: al-Mughnī (2/604) dan al-Majmūʿ (4/32).  ([41])”الاختيارات” ص (64).  ([42])”فتاوى اللجنة الدائمة-المجموعة الثانية” (6/82).  ([43])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، في جواب السؤال رقم: (38021).  ([44])”المجموع” (3/526).  ([45])”الدرر السنية” (4/364)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (109768)، (293059).   ([46])رواه البخاري معلقاً (1/245)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (69670).  ([47])”المجموع” (4/27) بتصرف.  ([48])رواه البخاري (494) ومسلم (543).  ([49])”فتاوى إسلامية” (1/341).  ([50])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (52876)، (10067). Al-Ikhtiyārāt, hal. (64). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (6/82). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (38021). Al-Majmūʿ (3/526). Ad-Durar as-Saniyyah (4/364), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (109768) dan (293059). Diriwayatkan oleh Bukhari secara Muʿallaq (1/245), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (69670). Al-Majmūʿ (27/4) dengan penyesuaian. Diriwayatkan oleh Bukhari (494) dan Muslim (543). Fatāwā Islāmiyyah (1/341). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (52876) dan (10067).  ([51])”مجموع فتاوى الشيخ ابن باز ” (11 /340 – 341).  ([52])فتاوى الشيخ محمد بن صالح العثيمين لمجلة الدعوة العدد 1771 ص 45.  ([53])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79136).  ([54])”المغني” (2/30).  ([55])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/402).  ([56])”مجموع فتاوى ابن باز” (30/30)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (189426).  ([57])”لقاء الباب المفتوح لابن عثيمين”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (93808).  ([58])رواه الترمذي (806) وصححه، وأبو داود (1375)، والنسائي (1605)، وابن ماجه (1327)، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي”، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (153247)، (93907).  ([59])”مجموع فتاوى ابن باز” (11/325).  ([60])”فتاوى الشيخ ابن جبرين” (24 /9). Majmūʿ Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/340-341). Fatāwā Muhammad bin ʿUstaimīn dalam majalah ad-Daʿwah edisi 1771 H, hal. 45. Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (79136). Al-Mughnī (30/2). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah Jilid II (7/402). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (30/30), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (189426). Liqāʾ al-Bāb al-Maftūẖ Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (93808). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (806) dan dia menilainya sahih, Abu Dawud (1375), an-Nasai (1605), dan Ibnu Majah (1327), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (153247) dan (93907). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/325). Fatāwā Syaikh Ibni Jibrīn (24/9).  ([61])”اللقاء المفتوح” (176/ 16)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (314180).  ([62])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/207)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (232790)، (93907).  ([63])رواه البخاري (1891) ومسلم (11)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (36793).  ([64])”شرح النووي على مسلم” (1/169).  ([65])”فتح الباري” (1/107).  ([66])رواه مسلم (754).  ([67])رواه أبو داود (1416)، وصححه الألباني في صحيح أبي داود .  ([68])رواه البخاري (1000) ومسلم (700).  ([69])”المغني” (1/827). ([70]) “فتاوى اللجنة الدائمة” (7/172). Al-Liqāʾ al-Maftūẖ (176/16), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (314180). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/207), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (232790) dan (93907). Diriwayatkan oleh Bukhari (1891) dan Muslim (11), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (36793). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (1/169). Fatẖu al-Bārī (1/107). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1416), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Diriwayatkan oleh Bukhari (1000) dan Muslim (700). Al-Mughnī (1/827). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/172).  ([71])رواه الترمذي (425) وصححه الألباني، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (32577)، ورقم: (65692).  ([72])رواه مسلم (754).  ([73])رواه مسلم (750).  ([74])رواه مسلم (752).  ([75])رواه الترمذي (469)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([76])رواه البخاري ومسلم (472) ومسلم (749).  ([77])”مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/115).  ([78])”بداية المجتهد” (1 /147، 148).  ([79])”فتاوى الشيخ ابن باز” (11/306).  ([80])رواه مسلم (755). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (425), dan dinilai sahih oleh al-Albani, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (32577) dan (65692). Diriwayatkan oleh Muslim (754). Diriwayatkan oleh Muslim (750). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (469), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Bukhari (472) dan Muslim (749). Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUtsaimīn (14/115). Bidāyatu al-Mujtahid (1/147, 148). Fatāwā Syaikh Ibni Bāz (11/306). Diriwayatkan oleh Muslim (755). ([81]) “شرح النووي على مسلم” (3/277). (29) رواه مسلم (752).  ([83])رواه البخاري (911) ومسلم (749).  ([84])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (46544).  ([85])رواه النسائي (3/234) والبيهقي (3/31).  ([86])”المجموع” (4/7).  ([87])رواه ابن حبان (2435).  ([88])”فتح الباري” (2/482).  ([89])رواه النسائي (1714)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([90])رواه مسلم (737). Syarah Sahih Muslim karya an-Nawawi (3/277). Diriwayatkan oleh Muslim (752). Diriwayatkan oleh Bukhari (911) dan Muslim (749). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (46544). Diriwayatkan oleh an-Nasai (3/234) dan al-Baihaqi (31/3). Al-Majmūʿ (4/7). Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2435). Fatẖu al-Bārī (2/482). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1714), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Diriwayatkan oleh Muslim (737).  ([91])رواه مسلم (746).  ([92])”إعلام الموقعين” (2/424، 425)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66652).  ([93])رواه النسائي (1729)، وصححه الألباني في “صحيح النسائي”.  ([94])”الأوسط” (5/187).  ([95])رواه الترمذي (463)، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.  ([96])”المغني” (2/599)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([97])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (112638).  ([98])”الشرح الممتع ” (4/65)، وينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم: (14093)، (14093).  ([99])”صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم” (ص160)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (289048).  ([100])”فتاوى إسلامية ” (2/159). Diriwayatkan oleh Muslim (746). Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (2/424, 425), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66652). Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1729), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih an-Nasa’i. Al-Ausaṯh (5/187). Diriwayatkan oleh Tirmidzi (463), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. Al-Mughnī (2/599), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (112638). Asy-Syarẖu al-Mumtiʿ (4/65), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (14093) dan (14093). Ṣifatu aṣ-Ṣalāh an-Nabiy Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (hal. 160), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (289048). Fatāwā Islāmiyyah (2/159).  ([101])رواه البخاري (6106)، ومسلم (465).  ([102])”مجموع فتاوى ورسائل العثيمين” (14/136).  ([103])رواه البخاري (998) ومسلم (751).  ([104])رواه مسلم (738).  ([105])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم (37729).  ([106])”مجموع فتاوى ابن باز ” (11/312)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب رقم (65702).  ([107])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (66558).  ([108])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (221433)، (14093).  ([109])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (165761)، (66613).  ([110])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (222751). Diriwayatkan oleh Bukhari (6106) dan Muslim (465). Majmūʿ Fatāwā wa Rasāʾil Ibni ʿUtsaimīn (14/136). Diriwayatkan oleh Bukhari (998) dan Muslim (751). Diriwayatkan oleh Muslim (738). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (37729). Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (11/312), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (65702). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (66558). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (221433) dan (14093). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (165761) dan (66613). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751).  ([111])رواه أبو داود (567)، وصححه الألباني في “إرواء الغليل”.  ([112])اللقاء الشهري لابن عثيمين، وينظر جواب السؤال رقم (222751).  ([113])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (220828)، ورقم: (292307).  ([114])”زاد المعاد” (1/311)، ينظر موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (79593)، (208).  ([115])ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (106530)، (108614).  ([116])”فتاوى اللجنة الدائمة” (7/255)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (72246).  ([117])”جلسات رمضانية “، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([118])” المجموع شرح المهذب” (4/13)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (274276).  ([119])”مجموع فتاوى ورسائل الشيخ ابن عثيمين” (14/115)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (295615)، (65692).  ([120])”الموسوعة الفقهية” (34/63)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (9061).  ([121])”الإجابات البهية في المسائل الرمضانية” (السؤال الثاني)، ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (250931)، ورقم: (38025). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (567), dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Irwāʾ al-Ghalīl. Al-Liqāʾ asy-Syahrī Ibni ʿUtsaimīn, dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (222751). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (220828) dan (292307). Zād al-Maʿād (1/311), dan lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor(79593), (208). Lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (106530) dan (108614). Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (7/255), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (72246). Jalasāt Ramaḏhaniyyah, lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Majmūʿ asy-Syarẖi al-Muhadzdzab (13/4), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (274276). Fatāwā wa Rasāʾil Ibni Ibni ʿUtsaimīn (14/115), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (295615) dan (65692). Al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (34/63), lihat laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (9061). Al-Ijābāt al-Bahiyyah fi al-Masāʾil ar-Ramaḏaniyyah, Pertanyaan Kedua. Lihat juga laman Tanya Jawab Islam pada jawaban atas pertanyaan nomor (250931) dan (38025). Sumber: www.islamqa.info/ar/researches/8/احكام-صلاة-التراويح-والوتر PDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 189 times, 1 visit(s) today Post Views: 351 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Menyongsong Masa Kejayaan Islam dan Kaum Muslimin

Daftar Isi ToggleIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahKeutamaan tauhidMenjemput hidayahIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahSebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Allah berfirman,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)Kemuliaan dan kebahagiaan ada bersama Islam. Allah berfirman,وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)Allah berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ“Siapa saja yang melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)Dari sini, kita memahami bahwa jalan menuju kejayaan adalah dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman,وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, serta saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)Termasuk bentuk keimanan dan amal saleh adalah dengan menimba ilmu agama; sebab ia menjadi kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Miftah Daris Sa’adah, bahwa barangsiapa yang menimba ilmu agama dalam rangka menghidupkan ajaran-ajaran Islam, maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajatnya para nabi.Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa umat manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu agama dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.Allah berfirman,فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)Ayat ini -sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas– menunjukkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan di dunia dan kebinasaan di akhirat, maka seorang muslim harus membaca dan mempelajari kandungan Al-Qur’an serta mengamalkannya dalam kehidupan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)Kitab Al-Qur’an ini berisi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari berlapis kegelapan menuju cahaya; dari gelapnya kufur menuju cahaya iman; dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid; dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan; dan dari gelapnya bid’ah menuju cahaya sunah.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia ini ada pada keberadaan dan terjaganya ilmu. Dengan lenyapnya ilmu, maka lenyap pula dunia dan agama. Maka tegaknya urusan agama dan dunia hanya terwujud dengan adanya ilmu.” Kemudian, beliau menukil ucapan Imam az-Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunah (ajaran nabi) adalah jalan keselamatan, sementara ilmu ini diangkat secara cepat, maka tersebarnya ilmu merupakan sebab keteguhan urusan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu merupakan sebab lenyapnya itu semua.” (Lihat Al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 219)Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Sampai apabila Allah tidak meninggalkan seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673, ini lafal Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih (paham) dalam hal agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037 dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam hadis ini terkandung keutamaan ilmu dan mendalami agama serta dorongan untuk mempelajarinya, sebabnya adalah karena ilmu menjadi pemandu menuju ketakwaan kepada Allah Ta’ala. (Lihat Syarh Sahih Muslim, 4: 362)Hadis Mu’awiyah ini juga mengandung keutamaan yang besar bagi para ulama ahli agama dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu yang lainnya. Demikian kandungan penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Fathul Bari, 1: 200)Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab Al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab Al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: berakidah yang benar dan bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber (rujukan) iman dan ilmu adalah wahyu (yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah). (Lihat mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)Berpegang teguh dengan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan salah satu kaidah dan prinsip penting dalam beragama. Hal ini telah diungkapkan pula oleh Imam Abu Bakr bin Abi Dawud rahimahullah (wafat 316 H) dalam Manzhumah Haa-iyah-nya, beliau berkata,تمسّكْ بحبلِ اللهِ واتبعِ الهُدى … ولا تكُ بدعيًّا لعلّك تُفلحُ“Berpegang-teguhlah dengan tali Allah dan ikutilah petunjuk. Dan janganlah kamu menjadi pelaku kebid’ahan, mudah-mudahan kamu beruntung.”Yang dimaksud ‘tali Allah’ adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tali Allah adalah wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hal. 47; oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Imam Bukhari rahimahullah (wafat 256 H) dalam kitab Shahih-nya membuat pembahasan khusus dengan judul ‘Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah’; yaitu berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’ adalah mematuhi perintah dan larangan yang ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Memegang teguh Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah,وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ“Dan berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 103)Al-Kitab dan As-Sunnah disebut sebagai ‘tali’ karena ia menjadi sebab untuk sampai ke surga, sebab untuk meraih pahala, dan selamat dari azab. Sebagaimana halnya tali menjadi sebab (perantara) untuk tercapainya apa yang dimaksud. (Lihat Minhatul Malik, 13: 364)Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai makna ‘tali Allah’ -sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ath-Thabarani- bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan, “Tali Allah maksudnya adalah Al-Qur’an.” (Lihat ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 3: 709)Allah berfirman,طه مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى“Thaha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu -wahai Muhammad- Al-Qur’an supaya kamu celaka.” (QS. Thaha: 1-2).Sesungguhnya wahyu, Al-Qur’an dan seluruh ajaran syariat Islam ditetapkan oleh Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, dimana Allah jadikan hal itu sebagai jalan yang mengantarkan menuju kebahagiaan, keberuntungan, dan kejayaan. Allah menjadikan agama ini penuh dengan kemudahan. Allah pun menjadikan ajaran Islam ini sebagai pasokan gizi bagi hati dan ruh serta memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu, fitrah yang lurus dan akal sehat akan menerimanya dengan penuh kelapangan dan ketundukan. Hal itu disebabkan ia memahami bahwasanya wahyu dan agama ini membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat. (Lihat Tafsir As-Si’di, hal. 502)Dari sinilah kita menyadari betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah utus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar nikmat bahkan pokok dari segala nikmat. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya lafal-lafal Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya. Beliau juga membersihkan mereka dari berbagai noda syirik, maksiat, perkara-perkara rendah serta semua sifat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia. Penyucian (tazkiyah) itu mengandung dua hal; pembersihan dari berbagai keburukan (tashfiyah) dan pengembangan diri dengan berbagai sifat yang terpuji dan mulia (tarbiyah). Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber ilmu dalam hal pokok-pokok maupun cabang-cabang perkara agama. Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah, akan terwujud hidayah dan kebaikan bagi umat manusia. (Lihat Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 32-33; oleh Syekh As-Si’di rahimahullah)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya Al-Kitab dan Al-Hikmah; yang dimaksud ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2: 158)Para ulama menjelaskan bahwa perkara yang ma’ruf mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah beribadah kepada Allah semata, memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dan sebagainya. Kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. (Lihat penjelasan Syekh Abdussalam As-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan,إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ“Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak)Dengan mengikuti Islam dan mengamalkan Al-Qur’an, umat akan meraih kejayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)Karena Allah meridai Islam sebagai agama, maka seorang muslim pun rida Islam sebagai agamanya, dia tidak mau mencari selain Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat IslamKeutamaan tauhidIslam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain-Nya. Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)Semua rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Tauhid inilah pondasi agama dan poros ketakwaan. Oleh sebab itu, kalimat tauhid juga disebut sebagai kalimat takwa. Sebab di dalam kalimat tauhid ini tersimpan perintah yang paling agung -yaitu beribadah kepada Allah semata- dan larangan yang terbesar -yaitu larangan dari berbuat syirik kepada-Nya-. Apabila para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.Inilah keutamaan tauhid bagi para penganutnya. Tauhid adalah sebab utama kebahagiaan dan sumber keamanan. Sebagaimana firman Allah,الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang akan diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (QS. Al-An’am: 82); maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi,لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari; lihat Minhatul Malik al-Jalil, 12: 389)Menjemput hidayahHidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah ‘menuju jalan’ adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah ‘di atas jalan’ adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam. (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 1: 36)Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistikamahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu). (Lihat Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 20).Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. Al-Qoshosh: 56)Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ“Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52) (Lihat At-Tas-hil li Ta’wil At-Tanzil, 1: 109)Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12)Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu, seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (diabaikan) itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Al-Fawa’id, hal. 94; cet. Dar Al-‘Aqidah)Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah, terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surah al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat salat; baik salat wajib maupun salat sunah.” (Lihat Qathfu Al-Jana Ad-Dani, hal. 114)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam salat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya, setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya, dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Di samping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 1: 25-26)Allah Ta’ala berfirman,وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan). Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini, maka Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu, maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir, 4: 518)Semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca.Baca juga: Mungkinkah Umat Islam Bersatu di atas Akidah yang Berbeda?***Selesai disusun di Markas YPIA; Jumat, 25 Zulkaidah 1445Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Menyongsong Masa Kejayaan Islam dan Kaum Muslimin

Daftar Isi ToggleIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahKeutamaan tauhidMenjemput hidayahIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahSebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Allah berfirman,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)Kemuliaan dan kebahagiaan ada bersama Islam. Allah berfirman,وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)Allah berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ“Siapa saja yang melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)Dari sini, kita memahami bahwa jalan menuju kejayaan adalah dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman,وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, serta saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)Termasuk bentuk keimanan dan amal saleh adalah dengan menimba ilmu agama; sebab ia menjadi kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Miftah Daris Sa’adah, bahwa barangsiapa yang menimba ilmu agama dalam rangka menghidupkan ajaran-ajaran Islam, maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajatnya para nabi.Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa umat manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu agama dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.Allah berfirman,فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)Ayat ini -sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas– menunjukkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan di dunia dan kebinasaan di akhirat, maka seorang muslim harus membaca dan mempelajari kandungan Al-Qur’an serta mengamalkannya dalam kehidupan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)Kitab Al-Qur’an ini berisi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari berlapis kegelapan menuju cahaya; dari gelapnya kufur menuju cahaya iman; dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid; dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan; dan dari gelapnya bid’ah menuju cahaya sunah.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia ini ada pada keberadaan dan terjaganya ilmu. Dengan lenyapnya ilmu, maka lenyap pula dunia dan agama. Maka tegaknya urusan agama dan dunia hanya terwujud dengan adanya ilmu.” Kemudian, beliau menukil ucapan Imam az-Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunah (ajaran nabi) adalah jalan keselamatan, sementara ilmu ini diangkat secara cepat, maka tersebarnya ilmu merupakan sebab keteguhan urusan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu merupakan sebab lenyapnya itu semua.” (Lihat Al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 219)Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Sampai apabila Allah tidak meninggalkan seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673, ini lafal Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih (paham) dalam hal agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037 dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam hadis ini terkandung keutamaan ilmu dan mendalami agama serta dorongan untuk mempelajarinya, sebabnya adalah karena ilmu menjadi pemandu menuju ketakwaan kepada Allah Ta’ala. (Lihat Syarh Sahih Muslim, 4: 362)Hadis Mu’awiyah ini juga mengandung keutamaan yang besar bagi para ulama ahli agama dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu yang lainnya. Demikian kandungan penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Fathul Bari, 1: 200)Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab Al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab Al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: berakidah yang benar dan bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber (rujukan) iman dan ilmu adalah wahyu (yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah). (Lihat mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)Berpegang teguh dengan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan salah satu kaidah dan prinsip penting dalam beragama. Hal ini telah diungkapkan pula oleh Imam Abu Bakr bin Abi Dawud rahimahullah (wafat 316 H) dalam Manzhumah Haa-iyah-nya, beliau berkata,تمسّكْ بحبلِ اللهِ واتبعِ الهُدى … ولا تكُ بدعيًّا لعلّك تُفلحُ“Berpegang-teguhlah dengan tali Allah dan ikutilah petunjuk. Dan janganlah kamu menjadi pelaku kebid’ahan, mudah-mudahan kamu beruntung.”Yang dimaksud ‘tali Allah’ adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tali Allah adalah wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hal. 47; oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Imam Bukhari rahimahullah (wafat 256 H) dalam kitab Shahih-nya membuat pembahasan khusus dengan judul ‘Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah’; yaitu berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’ adalah mematuhi perintah dan larangan yang ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Memegang teguh Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah,وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ“Dan berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 103)Al-Kitab dan As-Sunnah disebut sebagai ‘tali’ karena ia menjadi sebab untuk sampai ke surga, sebab untuk meraih pahala, dan selamat dari azab. Sebagaimana halnya tali menjadi sebab (perantara) untuk tercapainya apa yang dimaksud. (Lihat Minhatul Malik, 13: 364)Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai makna ‘tali Allah’ -sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ath-Thabarani- bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan, “Tali Allah maksudnya adalah Al-Qur’an.” (Lihat ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 3: 709)Allah berfirman,طه مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى“Thaha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu -wahai Muhammad- Al-Qur’an supaya kamu celaka.” (QS. Thaha: 1-2).Sesungguhnya wahyu, Al-Qur’an dan seluruh ajaran syariat Islam ditetapkan oleh Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, dimana Allah jadikan hal itu sebagai jalan yang mengantarkan menuju kebahagiaan, keberuntungan, dan kejayaan. Allah menjadikan agama ini penuh dengan kemudahan. Allah pun menjadikan ajaran Islam ini sebagai pasokan gizi bagi hati dan ruh serta memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu, fitrah yang lurus dan akal sehat akan menerimanya dengan penuh kelapangan dan ketundukan. Hal itu disebabkan ia memahami bahwasanya wahyu dan agama ini membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat. (Lihat Tafsir As-Si’di, hal. 502)Dari sinilah kita menyadari betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah utus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar nikmat bahkan pokok dari segala nikmat. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya lafal-lafal Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya. Beliau juga membersihkan mereka dari berbagai noda syirik, maksiat, perkara-perkara rendah serta semua sifat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia. Penyucian (tazkiyah) itu mengandung dua hal; pembersihan dari berbagai keburukan (tashfiyah) dan pengembangan diri dengan berbagai sifat yang terpuji dan mulia (tarbiyah). Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber ilmu dalam hal pokok-pokok maupun cabang-cabang perkara agama. Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah, akan terwujud hidayah dan kebaikan bagi umat manusia. (Lihat Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 32-33; oleh Syekh As-Si’di rahimahullah)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya Al-Kitab dan Al-Hikmah; yang dimaksud ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2: 158)Para ulama menjelaskan bahwa perkara yang ma’ruf mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah beribadah kepada Allah semata, memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dan sebagainya. Kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. (Lihat penjelasan Syekh Abdussalam As-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan,إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ“Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak)Dengan mengikuti Islam dan mengamalkan Al-Qur’an, umat akan meraih kejayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)Karena Allah meridai Islam sebagai agama, maka seorang muslim pun rida Islam sebagai agamanya, dia tidak mau mencari selain Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat IslamKeutamaan tauhidIslam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain-Nya. Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)Semua rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Tauhid inilah pondasi agama dan poros ketakwaan. Oleh sebab itu, kalimat tauhid juga disebut sebagai kalimat takwa. Sebab di dalam kalimat tauhid ini tersimpan perintah yang paling agung -yaitu beribadah kepada Allah semata- dan larangan yang terbesar -yaitu larangan dari berbuat syirik kepada-Nya-. Apabila para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.Inilah keutamaan tauhid bagi para penganutnya. Tauhid adalah sebab utama kebahagiaan dan sumber keamanan. Sebagaimana firman Allah,الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang akan diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (QS. Al-An’am: 82); maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi,لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari; lihat Minhatul Malik al-Jalil, 12: 389)Menjemput hidayahHidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah ‘menuju jalan’ adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah ‘di atas jalan’ adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam. (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 1: 36)Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistikamahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu). (Lihat Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 20).Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. Al-Qoshosh: 56)Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ“Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52) (Lihat At-Tas-hil li Ta’wil At-Tanzil, 1: 109)Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12)Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu, seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (diabaikan) itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Al-Fawa’id, hal. 94; cet. Dar Al-‘Aqidah)Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah, terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surah al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat salat; baik salat wajib maupun salat sunah.” (Lihat Qathfu Al-Jana Ad-Dani, hal. 114)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam salat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya, setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya, dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Di samping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 1: 25-26)Allah Ta’ala berfirman,وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan). Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini, maka Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu, maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir, 4: 518)Semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca.Baca juga: Mungkinkah Umat Islam Bersatu di atas Akidah yang Berbeda?***Selesai disusun di Markas YPIA; Jumat, 25 Zulkaidah 1445Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahKeutamaan tauhidMenjemput hidayahIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahSebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Allah berfirman,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)Kemuliaan dan kebahagiaan ada bersama Islam. Allah berfirman,وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)Allah berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ“Siapa saja yang melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)Dari sini, kita memahami bahwa jalan menuju kejayaan adalah dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman,وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, serta saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)Termasuk bentuk keimanan dan amal saleh adalah dengan menimba ilmu agama; sebab ia menjadi kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Miftah Daris Sa’adah, bahwa barangsiapa yang menimba ilmu agama dalam rangka menghidupkan ajaran-ajaran Islam, maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajatnya para nabi.Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa umat manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu agama dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.Allah berfirman,فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)Ayat ini -sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas– menunjukkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan di dunia dan kebinasaan di akhirat, maka seorang muslim harus membaca dan mempelajari kandungan Al-Qur’an serta mengamalkannya dalam kehidupan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)Kitab Al-Qur’an ini berisi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari berlapis kegelapan menuju cahaya; dari gelapnya kufur menuju cahaya iman; dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid; dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan; dan dari gelapnya bid’ah menuju cahaya sunah.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia ini ada pada keberadaan dan terjaganya ilmu. Dengan lenyapnya ilmu, maka lenyap pula dunia dan agama. Maka tegaknya urusan agama dan dunia hanya terwujud dengan adanya ilmu.” Kemudian, beliau menukil ucapan Imam az-Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunah (ajaran nabi) adalah jalan keselamatan, sementara ilmu ini diangkat secara cepat, maka tersebarnya ilmu merupakan sebab keteguhan urusan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu merupakan sebab lenyapnya itu semua.” (Lihat Al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 219)Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Sampai apabila Allah tidak meninggalkan seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673, ini lafal Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih (paham) dalam hal agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037 dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam hadis ini terkandung keutamaan ilmu dan mendalami agama serta dorongan untuk mempelajarinya, sebabnya adalah karena ilmu menjadi pemandu menuju ketakwaan kepada Allah Ta’ala. (Lihat Syarh Sahih Muslim, 4: 362)Hadis Mu’awiyah ini juga mengandung keutamaan yang besar bagi para ulama ahli agama dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu yang lainnya. Demikian kandungan penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Fathul Bari, 1: 200)Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab Al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab Al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: berakidah yang benar dan bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber (rujukan) iman dan ilmu adalah wahyu (yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah). (Lihat mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)Berpegang teguh dengan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan salah satu kaidah dan prinsip penting dalam beragama. Hal ini telah diungkapkan pula oleh Imam Abu Bakr bin Abi Dawud rahimahullah (wafat 316 H) dalam Manzhumah Haa-iyah-nya, beliau berkata,تمسّكْ بحبلِ اللهِ واتبعِ الهُدى … ولا تكُ بدعيًّا لعلّك تُفلحُ“Berpegang-teguhlah dengan tali Allah dan ikutilah petunjuk. Dan janganlah kamu menjadi pelaku kebid’ahan, mudah-mudahan kamu beruntung.”Yang dimaksud ‘tali Allah’ adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tali Allah adalah wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hal. 47; oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Imam Bukhari rahimahullah (wafat 256 H) dalam kitab Shahih-nya membuat pembahasan khusus dengan judul ‘Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah’; yaitu berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’ adalah mematuhi perintah dan larangan yang ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Memegang teguh Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah,وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ“Dan berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 103)Al-Kitab dan As-Sunnah disebut sebagai ‘tali’ karena ia menjadi sebab untuk sampai ke surga, sebab untuk meraih pahala, dan selamat dari azab. Sebagaimana halnya tali menjadi sebab (perantara) untuk tercapainya apa yang dimaksud. (Lihat Minhatul Malik, 13: 364)Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai makna ‘tali Allah’ -sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ath-Thabarani- bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan, “Tali Allah maksudnya adalah Al-Qur’an.” (Lihat ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 3: 709)Allah berfirman,طه مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى“Thaha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu -wahai Muhammad- Al-Qur’an supaya kamu celaka.” (QS. Thaha: 1-2).Sesungguhnya wahyu, Al-Qur’an dan seluruh ajaran syariat Islam ditetapkan oleh Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, dimana Allah jadikan hal itu sebagai jalan yang mengantarkan menuju kebahagiaan, keberuntungan, dan kejayaan. Allah menjadikan agama ini penuh dengan kemudahan. Allah pun menjadikan ajaran Islam ini sebagai pasokan gizi bagi hati dan ruh serta memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu, fitrah yang lurus dan akal sehat akan menerimanya dengan penuh kelapangan dan ketundukan. Hal itu disebabkan ia memahami bahwasanya wahyu dan agama ini membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat. (Lihat Tafsir As-Si’di, hal. 502)Dari sinilah kita menyadari betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah utus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar nikmat bahkan pokok dari segala nikmat. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya lafal-lafal Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya. Beliau juga membersihkan mereka dari berbagai noda syirik, maksiat, perkara-perkara rendah serta semua sifat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia. Penyucian (tazkiyah) itu mengandung dua hal; pembersihan dari berbagai keburukan (tashfiyah) dan pengembangan diri dengan berbagai sifat yang terpuji dan mulia (tarbiyah). Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber ilmu dalam hal pokok-pokok maupun cabang-cabang perkara agama. Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah, akan terwujud hidayah dan kebaikan bagi umat manusia. (Lihat Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 32-33; oleh Syekh As-Si’di rahimahullah)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya Al-Kitab dan Al-Hikmah; yang dimaksud ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2: 158)Para ulama menjelaskan bahwa perkara yang ma’ruf mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah beribadah kepada Allah semata, memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dan sebagainya. Kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. (Lihat penjelasan Syekh Abdussalam As-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan,إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ“Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak)Dengan mengikuti Islam dan mengamalkan Al-Qur’an, umat akan meraih kejayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)Karena Allah meridai Islam sebagai agama, maka seorang muslim pun rida Islam sebagai agamanya, dia tidak mau mencari selain Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat IslamKeutamaan tauhidIslam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain-Nya. Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)Semua rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Tauhid inilah pondasi agama dan poros ketakwaan. Oleh sebab itu, kalimat tauhid juga disebut sebagai kalimat takwa. Sebab di dalam kalimat tauhid ini tersimpan perintah yang paling agung -yaitu beribadah kepada Allah semata- dan larangan yang terbesar -yaitu larangan dari berbuat syirik kepada-Nya-. Apabila para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.Inilah keutamaan tauhid bagi para penganutnya. Tauhid adalah sebab utama kebahagiaan dan sumber keamanan. Sebagaimana firman Allah,الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang akan diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (QS. Al-An’am: 82); maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi,لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari; lihat Minhatul Malik al-Jalil, 12: 389)Menjemput hidayahHidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah ‘menuju jalan’ adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah ‘di atas jalan’ adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam. (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 1: 36)Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistikamahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu). (Lihat Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 20).Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. Al-Qoshosh: 56)Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ“Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52) (Lihat At-Tas-hil li Ta’wil At-Tanzil, 1: 109)Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12)Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu, seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (diabaikan) itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Al-Fawa’id, hal. 94; cet. Dar Al-‘Aqidah)Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah, terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surah al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat salat; baik salat wajib maupun salat sunah.” (Lihat Qathfu Al-Jana Ad-Dani, hal. 114)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam salat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya, setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya, dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Di samping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 1: 25-26)Allah Ta’ala berfirman,وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan). Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini, maka Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu, maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir, 4: 518)Semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca.Baca juga: Mungkinkah Umat Islam Bersatu di atas Akidah yang Berbeda?***Selesai disusun di Markas YPIA; Jumat, 25 Zulkaidah 1445Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahKeutamaan tauhidMenjemput hidayahIlmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadahSebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Allah berfirman,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)Kemuliaan dan kebahagiaan ada bersama Islam. Allah berfirman,وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)Allah berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ“Siapa saja yang melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)Dari sini, kita memahami bahwa jalan menuju kejayaan adalah dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman,وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, serta saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)Termasuk bentuk keimanan dan amal saleh adalah dengan menimba ilmu agama; sebab ia menjadi kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Miftah Daris Sa’adah, bahwa barangsiapa yang menimba ilmu agama dalam rangka menghidupkan ajaran-ajaran Islam, maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajatnya para nabi.Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa umat manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu agama dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.Allah berfirman,فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)Ayat ini -sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas– menunjukkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan di dunia dan kebinasaan di akhirat, maka seorang muslim harus membaca dan mempelajari kandungan Al-Qur’an serta mengamalkannya dalam kehidupan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)Kitab Al-Qur’an ini berisi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari berlapis kegelapan menuju cahaya; dari gelapnya kufur menuju cahaya iman; dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid; dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan; dan dari gelapnya bid’ah menuju cahaya sunah.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia ini ada pada keberadaan dan terjaganya ilmu. Dengan lenyapnya ilmu, maka lenyap pula dunia dan agama. Maka tegaknya urusan agama dan dunia hanya terwujud dengan adanya ilmu.” Kemudian, beliau menukil ucapan Imam az-Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunah (ajaran nabi) adalah jalan keselamatan, sementara ilmu ini diangkat secara cepat, maka tersebarnya ilmu merupakan sebab keteguhan urusan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu merupakan sebab lenyapnya itu semua.” (Lihat Al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 219)Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Sampai apabila Allah tidak meninggalkan seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673, ini lafal Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih (paham) dalam hal agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037 dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam hadis ini terkandung keutamaan ilmu dan mendalami agama serta dorongan untuk mempelajarinya, sebabnya adalah karena ilmu menjadi pemandu menuju ketakwaan kepada Allah Ta’ala. (Lihat Syarh Sahih Muslim, 4: 362)Hadis Mu’awiyah ini juga mengandung keutamaan yang besar bagi para ulama ahli agama dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu yang lainnya. Demikian kandungan penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Fathul Bari, 1: 200)Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab Al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab Al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: berakidah yang benar dan bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber (rujukan) iman dan ilmu adalah wahyu (yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah). (Lihat mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)Berpegang teguh dengan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan salah satu kaidah dan prinsip penting dalam beragama. Hal ini telah diungkapkan pula oleh Imam Abu Bakr bin Abi Dawud rahimahullah (wafat 316 H) dalam Manzhumah Haa-iyah-nya, beliau berkata,تمسّكْ بحبلِ اللهِ واتبعِ الهُدى … ولا تكُ بدعيًّا لعلّك تُفلحُ“Berpegang-teguhlah dengan tali Allah dan ikutilah petunjuk. Dan janganlah kamu menjadi pelaku kebid’ahan, mudah-mudahan kamu beruntung.”Yang dimaksud ‘tali Allah’ adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tali Allah adalah wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hal. 47; oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Imam Bukhari rahimahullah (wafat 256 H) dalam kitab Shahih-nya membuat pembahasan khusus dengan judul ‘Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah’; yaitu berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’ adalah mematuhi perintah dan larangan yang ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Memegang teguh Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah,وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ“Dan berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 103)Al-Kitab dan As-Sunnah disebut sebagai ‘tali’ karena ia menjadi sebab untuk sampai ke surga, sebab untuk meraih pahala, dan selamat dari azab. Sebagaimana halnya tali menjadi sebab (perantara) untuk tercapainya apa yang dimaksud. (Lihat Minhatul Malik, 13: 364)Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai makna ‘tali Allah’ -sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ath-Thabarani- bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan, “Tali Allah maksudnya adalah Al-Qur’an.” (Lihat ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 3: 709)Allah berfirman,طه مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى“Thaha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu -wahai Muhammad- Al-Qur’an supaya kamu celaka.” (QS. Thaha: 1-2).Sesungguhnya wahyu, Al-Qur’an dan seluruh ajaran syariat Islam ditetapkan oleh Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, dimana Allah jadikan hal itu sebagai jalan yang mengantarkan menuju kebahagiaan, keberuntungan, dan kejayaan. Allah menjadikan agama ini penuh dengan kemudahan. Allah pun menjadikan ajaran Islam ini sebagai pasokan gizi bagi hati dan ruh serta memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu, fitrah yang lurus dan akal sehat akan menerimanya dengan penuh kelapangan dan ketundukan. Hal itu disebabkan ia memahami bahwasanya wahyu dan agama ini membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat. (Lihat Tafsir As-Si’di, hal. 502)Dari sinilah kita menyadari betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah utus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar nikmat bahkan pokok dari segala nikmat. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya lafal-lafal Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya. Beliau juga membersihkan mereka dari berbagai noda syirik, maksiat, perkara-perkara rendah serta semua sifat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia. Penyucian (tazkiyah) itu mengandung dua hal; pembersihan dari berbagai keburukan (tashfiyah) dan pengembangan diri dengan berbagai sifat yang terpuji dan mulia (tarbiyah). Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber ilmu dalam hal pokok-pokok maupun cabang-cabang perkara agama. Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah, akan terwujud hidayah dan kebaikan bagi umat manusia. (Lihat Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 32-33; oleh Syekh As-Si’di rahimahullah)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya Al-Kitab dan Al-Hikmah; yang dimaksud ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2: 158)Para ulama menjelaskan bahwa perkara yang ma’ruf mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah beribadah kepada Allah semata, memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dan sebagainya. Kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. (Lihat penjelasan Syekh Abdussalam As-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan,إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ“Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak)Dengan mengikuti Islam dan mengamalkan Al-Qur’an, umat akan meraih kejayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)Karena Allah meridai Islam sebagai agama, maka seorang muslim pun rida Islam sebagai agamanya, dia tidak mau mencari selain Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat IslamKeutamaan tauhidIslam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain-Nya. Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)Semua rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Tauhid inilah pondasi agama dan poros ketakwaan. Oleh sebab itu, kalimat tauhid juga disebut sebagai kalimat takwa. Sebab di dalam kalimat tauhid ini tersimpan perintah yang paling agung -yaitu beribadah kepada Allah semata- dan larangan yang terbesar -yaitu larangan dari berbuat syirik kepada-Nya-. Apabila para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.Inilah keutamaan tauhid bagi para penganutnya. Tauhid adalah sebab utama kebahagiaan dan sumber keamanan. Sebagaimana firman Allah,الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang akan diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (QS. Al-An’am: 82); maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi,لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari; lihat Minhatul Malik al-Jalil, 12: 389)Menjemput hidayahHidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah ‘menuju jalan’ adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah ‘di atas jalan’ adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam. (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 1: 36)Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistikamahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu). (Lihat Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 20).Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. Al-Qoshosh: 56)Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ“Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52) (Lihat At-Tas-hil li Ta’wil At-Tanzil, 1: 109)Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12)Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu, seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (diabaikan) itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Al-Fawa’id, hal. 94; cet. Dar Al-‘Aqidah)Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah, terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surah al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat salat; baik salat wajib maupun salat sunah.” (Lihat Qathfu Al-Jana Ad-Dani, hal. 114)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam salat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya, setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya, dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Di samping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 1: 25-26)Allah Ta’ala berfirman,وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan). Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini, maka Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu, maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir, 4: 518)Semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca.Baca juga: Mungkinkah Umat Islam Bersatu di atas Akidah yang Berbeda?***Selesai disusun di Markas YPIA; Jumat, 25 Zulkaidah 1445Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 20): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُIbnu Hisyam menjelaskan bahwa kata أُولُو, beserta bentuk-bentuk turunannya seperti عِشْرُونَ dan “saudara-saudaranya” (yakni bentuk-bentuk lain yang sejenis), tergolong sebagai mulḥaq bil jamaʿ al-muḏakkar as-salim (kata-kata yang diserupakan dengan bentuk jamak mudzakkar salim). Hal ini disebabkan karena kata أُولُو tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), padahal secara kaidah, bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim seharusnya merupakan bentuk jamak dari suatu bentuk mufrad.Meskipun demikian, kata أُولُو tetap mengalami iʿrāb (perubahan bentuk akhir kata berdasarkan fungsi gramatikal dalam kalimat) sebagaimana bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim. Contohnya dapat dilihat dalam kalimat berikut,جَاءَ أُولُو الْعِلْمِ“Telah datang orang-orang yang berilmu.”Dalam kalimat tersebut, kata أُولُو berfungsi sebagai faʿil marfuʿ, ditandai dengan huruf waw sebagai tanda rafa’. Adapun kata الْعِلْم berkedudukan sebagai mudaf ilaih.Ibnu Hisyam juga menyebutkan bahwa kata أُولُو dalam konteks tertentu dapat berfungsi sebagai mubtadaʾ, sementara khabar-nya adalah bentuk jama’ yang penjelasannya akan disampaikan lebih lanjut, insyaʾ Allah.Contoh penggunaan kata أُولُو dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya:Surah Al-Baqarah ayat 269:وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”Dalam ayat ini, kata أُولُو berstatus marfuʿ karena berfungsi sebagai faʿil, dan tanda rafa’-nya adalah waw, sebagaimana layaknya jamaʿ al-mudzakkar as-salim.Surah Al-Baqarah ayat 197:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب“Bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.”Pada ayat ini, kata أُولِي dalam potongan ayat di atas berkedudukan sebagai munada, sehingga statusnya adalah manshub, dengan tanda nashab-nya berupa huruf yaa.Surah Az-Zumar ayat 21:إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”Di sini, kata أُولِي dalam ayat di atas didahului oleh huruf jarr, sehingga kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur, dengan tanda jarr-nya berupa huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam juga menyebutkan frasa,وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُMaksud dari وَأَخَوَاتُه (saudara-saudaranya) adalah bilangan-bilangan dari 30 hingga 90. Bilangan-bilangan tersebut tergolong dalam kategori mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim karena tidak memiliki bentuk mufrad. Oleh karena itu, meskipun bukan jamak dari bentuk tunggal tertentu, kata-kata tersebut di-iʿrab seperti jamaʿ al-mudzakkar as-salim, baik dalam bentuk marfu’, manshub, maupun majrur. Contohnya adalah:Contoh penggunaan bilangan عِشْرُونَ dan bentuk turunannya dapat dilihat dalam beberapa kalimat berikut:عِندِي عِشْرُونَ كِتَابًا“Aku memiliki dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرُونَ berfungsi sebagai mubtadaʾ muʾakhkhar dan berstatus marfuʿ dengan tanda rafa’ berupa huruf waw. Hal ini karena kata tersebut termasuk dalam mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim, yakni bentuk yang di-iʿrab seperti jama’ mudzakkar salim meskipun bukan bentuk jama’ dari kata mufrad tertentu.اشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku membeli dua puluh buku.”Dalam kalimat ini, kata عِشْرِينَ berfungsi sebagai mafʿul bih, sehingga berstatus manshub, dan tanda nashab huruf yaa.اسْتَفَدتُ مِنْ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku mendapatkan faidah dari dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرِينَ berstatus majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa.Bilangan عِشْرُون termasuk dalam kelompok bilangan dari 30 hingga 90 yang disebut oleh Ibnu Hisyam sebagai وَأَخَوَاتُه (dan saudara-saudaranya), yang juga tergolong mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Karena tidak memiliki bentuk mufrad, bilangan-bilangan ini di-iʿrab sebagaimana jamaʿ al-mudzakkar as-salim, yakni dengan waw pada kedudukan marfu’, dan yaa pada kedudukan manshub dan majrur.Contoh penggunaan bilangan ثَلَاثُونَ dan bentuk turunannya dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat berikut:Surah Al-Anfal ayat 65:إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”Dalam ayat ini, kata عِشْرُونَ berkedudukan marfu dengan tanda rafa’ huruf waw, dan berfungsi sebagai mubtada.Surah Al-Ahqaf ayat 15:وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ“Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”Pada ayat ini, kata ثَلَاثُونَ berkedudukan marfu’ sebagai khabar dari وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ, dan tanda rafa’-nya huruf waw, karena tergolong mulhaq bi-jama’ al-muḏakkar as-salim.Surah Al-Ma’arij ayat 4:فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”Dalam ayat ini, kata خَمْسِينَ berkedudukan manshub sebagai khabar kana, dengan tanda nashab-nya huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan contoh lain dalam bentuk kata,عَالَمُونَBentuk mufrad dari kata عَالَمُونَ adalah عَالَمٌ. Kata ini bukan termasuk ism ʿalam (kata benda nama diri) dan juga bukan ṣifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Sehingga tidak bisa dikatakan masuk kategori jama’ mudzakkar salim. Kata ʿalam dalam konteks ini adalah ism jins (kata benda jenis) yang menunjukkan makna umum. Makna dari العالَمونَ adalah كُلُّ مَنْ سِوَى اللَّهِ تَعَالَى (segala sesuatu selain Allah Ta’ala), sehingga bentuk jama’-nya termasuk dalam mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim karena mengikuti pola i’rab-nya.Contoh konkret penggunaannya terdapat dalam:Surah Al-Ankabut ayat 6:وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Barang siapa berjihad, sesungguhnya dia berjihad untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”Dalam ayat ini, kata الْعَالَمِينَ berkedudukan sebagai ism majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan bentuk lain dari mulḥaq bi-jamʿ al-muḏakkar as-sālim, yaitu: أَهْلُونَBentuk mufrad dari kata أَهْلُونَ adalah أَهْلٌ. Kata ini tidak tergolong dalam ism ʿalam (nama diri) maupun sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Ia merupakan ism jamid (kata benda tetap yang tidak berasal dari kata kerja), dan karena itu, ia termasuk dalam kategori mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim, sehingga di-iʿrab sebagaimana bentuk jama’.Contoh penggunaan dalam kalimat:أَهْلُونَا نَحْرُصُ عَلَى تَرْبِيَتِهِم“Keluarga kami sangat memperhatikan pendidikan mereka.”Pada kalimat di atas, kata أَهْلُونَا berkedudukan sebagai mubtada’ marfu’, dengan tanda rafa’ berupa huruf waw, karena termasuk mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Adapun dhamir na berfungsi sebagai mudhaf ilaih.Contoh lain terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an:Surah Al-Fath ayat 11:شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا  ۚ“Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami.”Dalam ayat ini, kata أَهْلُونَا di-’aṭof-kan kepada أَمْوَالُنَا yang merupakan fa’il marfu, sehingga أَهْلُونَا juga berstatus marfu’ dengan tanda waw.Surah Al-Maidah ayat 89:مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم“… maka (kafaratnya) memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…”Dalam ayat ini, kata أَهْلِيكُمْ berstatus sebagai maf’ul bih manshub, karena menjadi objek dari kata kerja تُطْعِمُونَ, dan tanda nashab-nya adalah huruf yaa (karena bentuk jamaʿ mudzakkar dengan yaa dan nun dihilangkan dalam idhafah).Surah Al-Fatḥ ayat 12:إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ أَبَدًا …“..kepada keluarga mereka selama-lamanya..”Kata أَهْلِيهِمْ dalam ayat ini berkedudukan majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.[Bersambung]Kembali ke bagian 19***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 20): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُIbnu Hisyam menjelaskan bahwa kata أُولُو, beserta bentuk-bentuk turunannya seperti عِشْرُونَ dan “saudara-saudaranya” (yakni bentuk-bentuk lain yang sejenis), tergolong sebagai mulḥaq bil jamaʿ al-muḏakkar as-salim (kata-kata yang diserupakan dengan bentuk jamak mudzakkar salim). Hal ini disebabkan karena kata أُولُو tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), padahal secara kaidah, bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim seharusnya merupakan bentuk jamak dari suatu bentuk mufrad.Meskipun demikian, kata أُولُو tetap mengalami iʿrāb (perubahan bentuk akhir kata berdasarkan fungsi gramatikal dalam kalimat) sebagaimana bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim. Contohnya dapat dilihat dalam kalimat berikut,جَاءَ أُولُو الْعِلْمِ“Telah datang orang-orang yang berilmu.”Dalam kalimat tersebut, kata أُولُو berfungsi sebagai faʿil marfuʿ, ditandai dengan huruf waw sebagai tanda rafa’. Adapun kata الْعِلْم berkedudukan sebagai mudaf ilaih.Ibnu Hisyam juga menyebutkan bahwa kata أُولُو dalam konteks tertentu dapat berfungsi sebagai mubtadaʾ, sementara khabar-nya adalah bentuk jama’ yang penjelasannya akan disampaikan lebih lanjut, insyaʾ Allah.Contoh penggunaan kata أُولُو dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya:Surah Al-Baqarah ayat 269:وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”Dalam ayat ini, kata أُولُو berstatus marfuʿ karena berfungsi sebagai faʿil, dan tanda rafa’-nya adalah waw, sebagaimana layaknya jamaʿ al-mudzakkar as-salim.Surah Al-Baqarah ayat 197:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب“Bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.”Pada ayat ini, kata أُولِي dalam potongan ayat di atas berkedudukan sebagai munada, sehingga statusnya adalah manshub, dengan tanda nashab-nya berupa huruf yaa.Surah Az-Zumar ayat 21:إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”Di sini, kata أُولِي dalam ayat di atas didahului oleh huruf jarr, sehingga kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur, dengan tanda jarr-nya berupa huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam juga menyebutkan frasa,وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُMaksud dari وَأَخَوَاتُه (saudara-saudaranya) adalah bilangan-bilangan dari 30 hingga 90. Bilangan-bilangan tersebut tergolong dalam kategori mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim karena tidak memiliki bentuk mufrad. Oleh karena itu, meskipun bukan jamak dari bentuk tunggal tertentu, kata-kata tersebut di-iʿrab seperti jamaʿ al-mudzakkar as-salim, baik dalam bentuk marfu’, manshub, maupun majrur. Contohnya adalah:Contoh penggunaan bilangan عِشْرُونَ dan bentuk turunannya dapat dilihat dalam beberapa kalimat berikut:عِندِي عِشْرُونَ كِتَابًا“Aku memiliki dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرُونَ berfungsi sebagai mubtadaʾ muʾakhkhar dan berstatus marfuʿ dengan tanda rafa’ berupa huruf waw. Hal ini karena kata tersebut termasuk dalam mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim, yakni bentuk yang di-iʿrab seperti jama’ mudzakkar salim meskipun bukan bentuk jama’ dari kata mufrad tertentu.اشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku membeli dua puluh buku.”Dalam kalimat ini, kata عِشْرِينَ berfungsi sebagai mafʿul bih, sehingga berstatus manshub, dan tanda nashab huruf yaa.اسْتَفَدتُ مِنْ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku mendapatkan faidah dari dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرِينَ berstatus majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa.Bilangan عِشْرُون termasuk dalam kelompok bilangan dari 30 hingga 90 yang disebut oleh Ibnu Hisyam sebagai وَأَخَوَاتُه (dan saudara-saudaranya), yang juga tergolong mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Karena tidak memiliki bentuk mufrad, bilangan-bilangan ini di-iʿrab sebagaimana jamaʿ al-mudzakkar as-salim, yakni dengan waw pada kedudukan marfu’, dan yaa pada kedudukan manshub dan majrur.Contoh penggunaan bilangan ثَلَاثُونَ dan bentuk turunannya dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat berikut:Surah Al-Anfal ayat 65:إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”Dalam ayat ini, kata عِشْرُونَ berkedudukan marfu dengan tanda rafa’ huruf waw, dan berfungsi sebagai mubtada.Surah Al-Ahqaf ayat 15:وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ“Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”Pada ayat ini, kata ثَلَاثُونَ berkedudukan marfu’ sebagai khabar dari وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ, dan tanda rafa’-nya huruf waw, karena tergolong mulhaq bi-jama’ al-muḏakkar as-salim.Surah Al-Ma’arij ayat 4:فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”Dalam ayat ini, kata خَمْسِينَ berkedudukan manshub sebagai khabar kana, dengan tanda nashab-nya huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan contoh lain dalam bentuk kata,عَالَمُونَBentuk mufrad dari kata عَالَمُونَ adalah عَالَمٌ. Kata ini bukan termasuk ism ʿalam (kata benda nama diri) dan juga bukan ṣifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Sehingga tidak bisa dikatakan masuk kategori jama’ mudzakkar salim. Kata ʿalam dalam konteks ini adalah ism jins (kata benda jenis) yang menunjukkan makna umum. Makna dari العالَمونَ adalah كُلُّ مَنْ سِوَى اللَّهِ تَعَالَى (segala sesuatu selain Allah Ta’ala), sehingga bentuk jama’-nya termasuk dalam mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim karena mengikuti pola i’rab-nya.Contoh konkret penggunaannya terdapat dalam:Surah Al-Ankabut ayat 6:وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Barang siapa berjihad, sesungguhnya dia berjihad untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”Dalam ayat ini, kata الْعَالَمِينَ berkedudukan sebagai ism majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan bentuk lain dari mulḥaq bi-jamʿ al-muḏakkar as-sālim, yaitu: أَهْلُونَBentuk mufrad dari kata أَهْلُونَ adalah أَهْلٌ. Kata ini tidak tergolong dalam ism ʿalam (nama diri) maupun sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Ia merupakan ism jamid (kata benda tetap yang tidak berasal dari kata kerja), dan karena itu, ia termasuk dalam kategori mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim, sehingga di-iʿrab sebagaimana bentuk jama’.Contoh penggunaan dalam kalimat:أَهْلُونَا نَحْرُصُ عَلَى تَرْبِيَتِهِم“Keluarga kami sangat memperhatikan pendidikan mereka.”Pada kalimat di atas, kata أَهْلُونَا berkedudukan sebagai mubtada’ marfu’, dengan tanda rafa’ berupa huruf waw, karena termasuk mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Adapun dhamir na berfungsi sebagai mudhaf ilaih.Contoh lain terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an:Surah Al-Fath ayat 11:شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا  ۚ“Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami.”Dalam ayat ini, kata أَهْلُونَا di-’aṭof-kan kepada أَمْوَالُنَا yang merupakan fa’il marfu, sehingga أَهْلُونَا juga berstatus marfu’ dengan tanda waw.Surah Al-Maidah ayat 89:مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم“… maka (kafaratnya) memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…”Dalam ayat ini, kata أَهْلِيكُمْ berstatus sebagai maf’ul bih manshub, karena menjadi objek dari kata kerja تُطْعِمُونَ, dan tanda nashab-nya adalah huruf yaa (karena bentuk jamaʿ mudzakkar dengan yaa dan nun dihilangkan dalam idhafah).Surah Al-Fatḥ ayat 12:إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ أَبَدًا …“..kepada keluarga mereka selama-lamanya..”Kata أَهْلِيهِمْ dalam ayat ini berkedudukan majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.[Bersambung]Kembali ke bagian 19***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُIbnu Hisyam menjelaskan bahwa kata أُولُو, beserta bentuk-bentuk turunannya seperti عِشْرُونَ dan “saudara-saudaranya” (yakni bentuk-bentuk lain yang sejenis), tergolong sebagai mulḥaq bil jamaʿ al-muḏakkar as-salim (kata-kata yang diserupakan dengan bentuk jamak mudzakkar salim). Hal ini disebabkan karena kata أُولُو tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), padahal secara kaidah, bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim seharusnya merupakan bentuk jamak dari suatu bentuk mufrad.Meskipun demikian, kata أُولُو tetap mengalami iʿrāb (perubahan bentuk akhir kata berdasarkan fungsi gramatikal dalam kalimat) sebagaimana bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim. Contohnya dapat dilihat dalam kalimat berikut,جَاءَ أُولُو الْعِلْمِ“Telah datang orang-orang yang berilmu.”Dalam kalimat tersebut, kata أُولُو berfungsi sebagai faʿil marfuʿ, ditandai dengan huruf waw sebagai tanda rafa’. Adapun kata الْعِلْم berkedudukan sebagai mudaf ilaih.Ibnu Hisyam juga menyebutkan bahwa kata أُولُو dalam konteks tertentu dapat berfungsi sebagai mubtadaʾ, sementara khabar-nya adalah bentuk jama’ yang penjelasannya akan disampaikan lebih lanjut, insyaʾ Allah.Contoh penggunaan kata أُولُو dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya:Surah Al-Baqarah ayat 269:وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”Dalam ayat ini, kata أُولُو berstatus marfuʿ karena berfungsi sebagai faʿil, dan tanda rafa’-nya adalah waw, sebagaimana layaknya jamaʿ al-mudzakkar as-salim.Surah Al-Baqarah ayat 197:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب“Bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.”Pada ayat ini, kata أُولِي dalam potongan ayat di atas berkedudukan sebagai munada, sehingga statusnya adalah manshub, dengan tanda nashab-nya berupa huruf yaa.Surah Az-Zumar ayat 21:إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”Di sini, kata أُولِي dalam ayat di atas didahului oleh huruf jarr, sehingga kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur, dengan tanda jarr-nya berupa huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam juga menyebutkan frasa,وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُMaksud dari وَأَخَوَاتُه (saudara-saudaranya) adalah bilangan-bilangan dari 30 hingga 90. Bilangan-bilangan tersebut tergolong dalam kategori mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim karena tidak memiliki bentuk mufrad. Oleh karena itu, meskipun bukan jamak dari bentuk tunggal tertentu, kata-kata tersebut di-iʿrab seperti jamaʿ al-mudzakkar as-salim, baik dalam bentuk marfu’, manshub, maupun majrur. Contohnya adalah:Contoh penggunaan bilangan عِشْرُونَ dan bentuk turunannya dapat dilihat dalam beberapa kalimat berikut:عِندِي عِشْرُونَ كِتَابًا“Aku memiliki dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرُونَ berfungsi sebagai mubtadaʾ muʾakhkhar dan berstatus marfuʿ dengan tanda rafa’ berupa huruf waw. Hal ini karena kata tersebut termasuk dalam mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim, yakni bentuk yang di-iʿrab seperti jama’ mudzakkar salim meskipun bukan bentuk jama’ dari kata mufrad tertentu.اشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku membeli dua puluh buku.”Dalam kalimat ini, kata عِشْرِينَ berfungsi sebagai mafʿul bih, sehingga berstatus manshub, dan tanda nashab huruf yaa.اسْتَفَدتُ مِنْ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku mendapatkan faidah dari dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرِينَ berstatus majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa.Bilangan عِشْرُون termasuk dalam kelompok bilangan dari 30 hingga 90 yang disebut oleh Ibnu Hisyam sebagai وَأَخَوَاتُه (dan saudara-saudaranya), yang juga tergolong mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Karena tidak memiliki bentuk mufrad, bilangan-bilangan ini di-iʿrab sebagaimana jamaʿ al-mudzakkar as-salim, yakni dengan waw pada kedudukan marfu’, dan yaa pada kedudukan manshub dan majrur.Contoh penggunaan bilangan ثَلَاثُونَ dan bentuk turunannya dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat berikut:Surah Al-Anfal ayat 65:إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”Dalam ayat ini, kata عِشْرُونَ berkedudukan marfu dengan tanda rafa’ huruf waw, dan berfungsi sebagai mubtada.Surah Al-Ahqaf ayat 15:وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ“Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”Pada ayat ini, kata ثَلَاثُونَ berkedudukan marfu’ sebagai khabar dari وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ, dan tanda rafa’-nya huruf waw, karena tergolong mulhaq bi-jama’ al-muḏakkar as-salim.Surah Al-Ma’arij ayat 4:فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”Dalam ayat ini, kata خَمْسِينَ berkedudukan manshub sebagai khabar kana, dengan tanda nashab-nya huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan contoh lain dalam bentuk kata,عَالَمُونَBentuk mufrad dari kata عَالَمُونَ adalah عَالَمٌ. Kata ini bukan termasuk ism ʿalam (kata benda nama diri) dan juga bukan ṣifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Sehingga tidak bisa dikatakan masuk kategori jama’ mudzakkar salim. Kata ʿalam dalam konteks ini adalah ism jins (kata benda jenis) yang menunjukkan makna umum. Makna dari العالَمونَ adalah كُلُّ مَنْ سِوَى اللَّهِ تَعَالَى (segala sesuatu selain Allah Ta’ala), sehingga bentuk jama’-nya termasuk dalam mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim karena mengikuti pola i’rab-nya.Contoh konkret penggunaannya terdapat dalam:Surah Al-Ankabut ayat 6:وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Barang siapa berjihad, sesungguhnya dia berjihad untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”Dalam ayat ini, kata الْعَالَمِينَ berkedudukan sebagai ism majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan bentuk lain dari mulḥaq bi-jamʿ al-muḏakkar as-sālim, yaitu: أَهْلُونَBentuk mufrad dari kata أَهْلُونَ adalah أَهْلٌ. Kata ini tidak tergolong dalam ism ʿalam (nama diri) maupun sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Ia merupakan ism jamid (kata benda tetap yang tidak berasal dari kata kerja), dan karena itu, ia termasuk dalam kategori mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim, sehingga di-iʿrab sebagaimana bentuk jama’.Contoh penggunaan dalam kalimat:أَهْلُونَا نَحْرُصُ عَلَى تَرْبِيَتِهِم“Keluarga kami sangat memperhatikan pendidikan mereka.”Pada kalimat di atas, kata أَهْلُونَا berkedudukan sebagai mubtada’ marfu’, dengan tanda rafa’ berupa huruf waw, karena termasuk mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Adapun dhamir na berfungsi sebagai mudhaf ilaih.Contoh lain terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an:Surah Al-Fath ayat 11:شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا  ۚ“Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami.”Dalam ayat ini, kata أَهْلُونَا di-’aṭof-kan kepada أَمْوَالُنَا yang merupakan fa’il marfu, sehingga أَهْلُونَا juga berstatus marfu’ dengan tanda waw.Surah Al-Maidah ayat 89:مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم“… maka (kafaratnya) memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…”Dalam ayat ini, kata أَهْلِيكُمْ berstatus sebagai maf’ul bih manshub, karena menjadi objek dari kata kerja تُطْعِمُونَ, dan tanda nashab-nya adalah huruf yaa (karena bentuk jamaʿ mudzakkar dengan yaa dan nun dihilangkan dalam idhafah).Surah Al-Fatḥ ayat 12:إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ أَبَدًا …“..kepada keluarga mereka selama-lamanya..”Kata أَهْلِيهِمْ dalam ayat ini berkedudukan majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.[Bersambung]Kembali ke bagian 19***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُIbnu Hisyam menjelaskan bahwa kata أُولُو, beserta bentuk-bentuk turunannya seperti عِشْرُونَ dan “saudara-saudaranya” (yakni bentuk-bentuk lain yang sejenis), tergolong sebagai mulḥaq bil jamaʿ al-muḏakkar as-salim (kata-kata yang diserupakan dengan bentuk jamak mudzakkar salim). Hal ini disebabkan karena kata أُولُو tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), padahal secara kaidah, bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim seharusnya merupakan bentuk jamak dari suatu bentuk mufrad.Meskipun demikian, kata أُولُو tetap mengalami iʿrāb (perubahan bentuk akhir kata berdasarkan fungsi gramatikal dalam kalimat) sebagaimana bentuk jamaʿ al-mudzakkar as-salim. Contohnya dapat dilihat dalam kalimat berikut,جَاءَ أُولُو الْعِلْمِ“Telah datang orang-orang yang berilmu.”Dalam kalimat tersebut, kata أُولُو berfungsi sebagai faʿil marfuʿ, ditandai dengan huruf waw sebagai tanda rafa’. Adapun kata الْعِلْم berkedudukan sebagai mudaf ilaih.Ibnu Hisyam juga menyebutkan bahwa kata أُولُو dalam konteks tertentu dapat berfungsi sebagai mubtadaʾ, sementara khabar-nya adalah bentuk jama’ yang penjelasannya akan disampaikan lebih lanjut, insyaʾ Allah.Contoh penggunaan kata أُولُو dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya:Surah Al-Baqarah ayat 269:وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”Dalam ayat ini, kata أُولُو berstatus marfuʿ karena berfungsi sebagai faʿil, dan tanda rafa’-nya adalah waw, sebagaimana layaknya jamaʿ al-mudzakkar as-salim.Surah Al-Baqarah ayat 197:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب“Bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.”Pada ayat ini, kata أُولِي dalam potongan ayat di atas berkedudukan sebagai munada, sehingga statusnya adalah manshub, dengan tanda nashab-nya berupa huruf yaa.Surah Az-Zumar ayat 21:إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”Di sini, kata أُولِي dalam ayat di atas didahului oleh huruf jarr, sehingga kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur, dengan tanda jarr-nya berupa huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam juga menyebutkan frasa,وَعِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُMaksud dari وَأَخَوَاتُه (saudara-saudaranya) adalah bilangan-bilangan dari 30 hingga 90. Bilangan-bilangan tersebut tergolong dalam kategori mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim karena tidak memiliki bentuk mufrad. Oleh karena itu, meskipun bukan jamak dari bentuk tunggal tertentu, kata-kata tersebut di-iʿrab seperti jamaʿ al-mudzakkar as-salim, baik dalam bentuk marfu’, manshub, maupun majrur. Contohnya adalah:Contoh penggunaan bilangan عِشْرُونَ dan bentuk turunannya dapat dilihat dalam beberapa kalimat berikut:عِندِي عِشْرُونَ كِتَابًا“Aku memiliki dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرُونَ berfungsi sebagai mubtadaʾ muʾakhkhar dan berstatus marfuʿ dengan tanda rafa’ berupa huruf waw. Hal ini karena kata tersebut termasuk dalam mulhaq bil jamʿi al-mudzakkar as-salim, yakni bentuk yang di-iʿrab seperti jama’ mudzakkar salim meskipun bukan bentuk jama’ dari kata mufrad tertentu.اشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku membeli dua puluh buku.”Dalam kalimat ini, kata عِشْرِينَ berfungsi sebagai mafʿul bih, sehingga berstatus manshub, dan tanda nashab huruf yaa.اسْتَفَدتُ مِنْ عِشْرِينَ كِتَابًا“Aku mendapatkan faidah dari dua puluh buku.”Pada kalimat ini, kata عِشْرِينَ berstatus majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa.Bilangan عِشْرُون termasuk dalam kelompok bilangan dari 30 hingga 90 yang disebut oleh Ibnu Hisyam sebagai وَأَخَوَاتُه (dan saudara-saudaranya), yang juga tergolong mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Karena tidak memiliki bentuk mufrad, bilangan-bilangan ini di-iʿrab sebagaimana jamaʿ al-mudzakkar as-salim, yakni dengan waw pada kedudukan marfu’, dan yaa pada kedudukan manshub dan majrur.Contoh penggunaan bilangan ثَلَاثُونَ dan bentuk turunannya dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam beberapa ayat berikut:Surah Al-Anfal ayat 65:إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”Dalam ayat ini, kata عِشْرُونَ berkedudukan marfu dengan tanda rafa’ huruf waw, dan berfungsi sebagai mubtada.Surah Al-Ahqaf ayat 15:وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ“Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”Pada ayat ini, kata ثَلَاثُونَ berkedudukan marfu’ sebagai khabar dari وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ, dan tanda rafa’-nya huruf waw, karena tergolong mulhaq bi-jama’ al-muḏakkar as-salim.Surah Al-Ma’arij ayat 4:فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”Dalam ayat ini, kata خَمْسِينَ berkedudukan manshub sebagai khabar kana, dengan tanda nashab-nya huruf yaa.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan contoh lain dalam bentuk kata,عَالَمُونَBentuk mufrad dari kata عَالَمُونَ adalah عَالَمٌ. Kata ini bukan termasuk ism ʿalam (kata benda nama diri) dan juga bukan ṣifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Sehingga tidak bisa dikatakan masuk kategori jama’ mudzakkar salim. Kata ʿalam dalam konteks ini adalah ism jins (kata benda jenis) yang menunjukkan makna umum. Makna dari العالَمونَ adalah كُلُّ مَنْ سِوَى اللَّهِ تَعَالَى (segala sesuatu selain Allah Ta’ala), sehingga bentuk jama’-nya termasuk dalam mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim karena mengikuti pola i’rab-nya.Contoh konkret penggunaannya terdapat dalam:Surah Al-Ankabut ayat 6:وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Barang siapa berjihad, sesungguhnya dia berjihad untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”Dalam ayat ini, kata الْعَالَمِينَ berkedudukan sebagai ism majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.Selanjutnya, Ibnu Hisyam menyebutkan bentuk lain dari mulḥaq bi-jamʿ al-muḏakkar as-sālim, yaitu: أَهْلُونَBentuk mufrad dari kata أَهْلُونَ adalah أَهْلٌ. Kata ini tidak tergolong dalam ism ʿalam (nama diri) maupun sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad. Ia merupakan ism jamid (kata benda tetap yang tidak berasal dari kata kerja), dan karena itu, ia termasuk dalam kategori mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim, sehingga di-iʿrab sebagaimana bentuk jama’.Contoh penggunaan dalam kalimat:أَهْلُونَا نَحْرُصُ عَلَى تَرْبِيَتِهِم“Keluarga kami sangat memperhatikan pendidikan mereka.”Pada kalimat di atas, kata أَهْلُونَا berkedudukan sebagai mubtada’ marfu’, dengan tanda rafa’ berupa huruf waw, karena termasuk mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim. Adapun dhamir na berfungsi sebagai mudhaf ilaih.Contoh lain terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an:Surah Al-Fath ayat 11:شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا  ۚ“Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami.”Dalam ayat ini, kata أَهْلُونَا di-’aṭof-kan kepada أَمْوَالُنَا yang merupakan fa’il marfu, sehingga أَهْلُونَا juga berstatus marfu’ dengan tanda waw.Surah Al-Maidah ayat 89:مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم“… maka (kafaratnya) memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…”Dalam ayat ini, kata أَهْلِيكُمْ berstatus sebagai maf’ul bih manshub, karena menjadi objek dari kata kerja تُطْعِمُونَ, dan tanda nashab-nya adalah huruf yaa (karena bentuk jamaʿ mudzakkar dengan yaa dan nun dihilangkan dalam idhafah).Surah Al-Fatḥ ayat 12:إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ أَبَدًا …“..kepada keluarga mereka selama-lamanya..”Kata أَهْلِيهِمْ dalam ayat ini berkedudukan majrur karena didahului oleh huruf jarr, dan tanda jarr-nya adalah huruf yaa, sesuai dengan kaidah mulhaq bi-jam’i al-mudzakkar as-salim.[Bersambung]Kembali ke bagian 19***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleHukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaPerbedaan pendapat dalam permasalahan iniPendapat yang lebih tepatKalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Bidah-bidah seputar khotbah JumatKhatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahKhatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarMengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Membaca syair dalam khotbahAdab saat mendengarkan khotbah JumatMendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarDiam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungTidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluTidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahApakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Setelah memahami waktu, syarat, dan rukun khotbah Jumat pada pembahasan sebelumnya, masih ada sejumlah permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Sebagian berkaitan dengan penggunaan bahasa non-Arab dalam khotbah, sebagian lain terkait keabsahan salat Jumat bagi yang terlambat, serta berbagai adab dan penyimpangan yang perlu diperhatikan.Dalam bagian kedua ini, kita akan membahas beberapa pertanyaan penting seputar khotbah Jumat, seperti apakah boleh khotbah dengan bahasa Indonesia? Bagaimana jika jemaah tertinggal khotbah? Apakah khatib harus menjadi imam? Termasuk pula pembahasan tentang bidah yang marak terjadi serta adab saat mendengarkan khotbah Jumat.Hukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaSalah satu permasalahan yang sering ditanyakan di berbagai daerah, terutama di luar negeri Arab, adalah tentang bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat. Apakah khotbah harus disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Ataukah boleh menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Indonesia? Pertanyaan ini penting dijawab karena menyangkut sah atau tidaknya khotbah dan efektivitas penyampaian pesan kepada jemaah.Syekh Ibnu Bāz rahimahullah pernah mendapatkan surat yang berisi permasalahan tentang hukum khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab, dimana permasalahan ini menimbulkan perselisihan di masyarakat penanya. Kemudian, beliau menjawab:Perbedaan pendapat dalam permasalahan ini“Para ulama berselisih pendapat dalam hal kebolehan menerjemahkan khotbah mimbar pada hari Jumat dan dua hari raya ke dalam bahasa non-Arab. Sebagian ulama melarangnya, karena ingin menjaga eksistensi bahasa Arab dan mengikuti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan khotbah dengan bahasa Arab, baik di negeri Arab maupun non-Arab, serta untuk mendorong kaum muslimin agar mempelajari dan memperhatikan bahasa Arab.Namun, sebagian ulama lain membolehkan khotbah dengan bahasa non-Arab jika para pendengar atau mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Alasannya, tujuan disyariatkannya khotbah adalah untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, menjauhkan dari maksiat, serta membimbing kepada akhlak mulia dan memperingatkan dari yang sebaliknya. Maka, memperhatikan makna dan tujuan lebih utama dibanding sekadar mempertahankan lafaz dan bentuk luar, khususnya jika para pendengar tidak perhatian dan tidak terpengaruh dengan khotbah bahasa Arab karena tidak memahami isinya.”Pendapat yang lebih tepatSetelah menyebutkan silang pendapat para ulama dalam permasalah ini, beliau melanjutkan dengan menyebutkan pendapat yang paling tepat dan layak diikuti,فالمقصود حينئذ لم يحصل والمطلوب بالبقاء على اللغة العربية لم يتحقق، وبذلك يظهر للمتأمل أن القول بجواز ترجمة الخطب باللغات السائدة بين المخاطبين الذين يعقلون بها الكلام ويفهمون بها المراد أولى وأحق بالاتباع، ولا سيما إذا كان عدم الترجمة يفضي إلى النزاع والخصام، فلا شك أن الترجمة والحالة هذه متعينة لحصول المصلحة بها وزوال المفسدة، وإذا كان في المخاطبين من يعرف اللغة العربية فالمشروع للخطيب أن يجمع بين اللغتين فيخطب باللغة العربية ويترجمها باللغة الأخرى التي يفهمها الآخرون، وبذلك يجمع بين المصلحتين وتنتفي المضرة كلها وينقطع النزاع بين المخاطبين“Dengan demikian, tujuan khotbah tidak tercapai dan upaya menjaga bahasa Arab pun tidak berhasil. Maka, pendapat yang membolehkan khotbah dengan bahasa yang umum dipahami para hadirin adalah lebih tepat dan lebih layak diikuti, terlebih jika tidak diterjemahkannya khotbah malah menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Dalam kondisi seperti ini, menerjemahkan khotbah adalah suatu keharusan demi kemaslahatan dan untuk menolak kemudaratan.Dan jika di antara para hadirin ada yang memahami bahasa Arab, maka disyariatkan (disunahkan -pent) bagi khatib untuk menggabungkan dua bahasa: menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke bahasa yang dipahami hadirin. Dengan cara ini, dua maslahat dapat diraih sekaligus, kerusakan dapat dihindari, dan perselisihan dapat dihentikan.”Kemudian, beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil atas hal tersebut. [1]Ringkasnya, terkait dengan hukum permasalahan ini:1) Jika tujuan khotbah tidak tercapai dan bahasa Arab tidak dipahami, maka boleh menggunakan bahasa lokal.2) Jika tanpa terjemahan justru menimbulkan perselisihan, maka menerjemahkan khotbah menjadi keharusan.3) Jika ada yang memahami bahasa Arab, disunahkan menggabungkan bahasa Arab dan bahasa lokal untuk meraih dua maslahat sekaligus. Wallaahu a’lam. [2]Kalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Salat Jumat tetap sah jika seseorang mendapati imam dalam rukuk dan sujud pada rakaat kedua, meskipun ia telah tertinggal khotbah dan rakaat pertama. Jika ia masuk ke dalam salat dan tidak mendapatkan rukuk rakaat kedua, maka ia tidak dianggap mendapatkan salat Jumat, dan harus menyempurnakannya sebagai salat Zuhur. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di antara dalilnya adalah hadis,إذا جئتم ونحن سجود فاسجدوا ولا تَعُدُّوهَا شيئًا، ومن أدرك الركعة فقد أدرك الصلاة“Jika kalian datang sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, tetapi jangan dihitung (rakaat tersebut sebagai satu rakaat). Dan barang siapa yang mendapatkan rakaat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Abu Dawud, Kitab ash-Shalāh, Bab Orang yang Mendapati Imam Sedang Sujud, no. 893, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani). [3]Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Sunahnya adalah, orang yang menyampaikan khotbah juga yang menjadi imam salat Jumat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memimpin keduanya, begitu pula para khalifah setelah beliau. [4]Namun demikian, itu bukanlah keharusan. Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan,لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة المسألة مسألة خلافية بين أهل العلم، والصواب: أنه لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة؛ لأن الخطبة منفصلة ليس لها اتصال بالصلاة، فالصلاة منفصلة والخطبة منفصلة، فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة“Tidak disyaratkan bahwa khatib harus menjadi imam salat Jumat. Masalah ini adalah perkara khilaf di antara para ulama. Dan pendapat yang benar: tidak disyaratkan bahwa khatib harus juga menjadi imam dalam salat, karena khotbah dan salat adalah dua ibadah yang terpisah. Oleh karena itu, yang lebih utama dan sesuai sunah adalah bila khatib sekaligus menjadi imam, namun tidak wajib.” [5]Bidah-bidah seputar khotbah JumatSyekh asy-Syuraym rahimahullah dalam kitabnya asy-Syāmil menyebutkan beberapa hal yang dinilai oleh para ulama sebagai bidah dalam pelaksanaan khotbah Jumat. Di antaranya:Khatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarAn-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa perbuatan ini bāṭil (tidak ada asalnya dalam syariat) dan termasuk bidah yang buruk. [6] Komite Fatwa Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan hal ini sebagai bidah. [7]Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah, baik saat membaca selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada bagian lain khotbah, dinyatakan sebagai bid‘ah munkarah (bidah yang tercela) oleh para ulama seperti penulis al-Hāwī, An-Nawawi, Ibnu Rajab, dan Ibnu ‘Ābidīn rahimahumullah. Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga berkata,الالتفات في الخطبة لا يُشرع“Menoleh dalam khotbah tidak disyariatkan.”Khatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarHal ini dianggap sebagai bidah oleh para ulama karena disangka sebagai bagian dari sunah hanya karena dilakukan terus-menerus oleh sebagian khatib. Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah menukil dari Abu Syamah,ومن البدع المشعرة بأنها من السنن بعمومها وشهرتها واستدامة مبتدعيها لفعله : ما يفعله عوام الخطباء وشبه العوام من أمور نذكرها ؛ منها : تباطؤ الخطيب في الطلوع“Di antara bidah yang disangka sunah karena sudah umum dan terus-menerus dilakukan oleh pelakunya adalah: keterlambatan khatib saat naik mimbar…” [8]Mengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibrahim bahwa,رفع اليدين والقنوت في الجمعة بدعة“Mengangkat tangan dan berdoa (qunūt) dalam khotbah Jumat adalah bidah.”Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syaukani dan Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah, yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam kondisi seperti ini adalah bidah.Membaca syair dalam khotbahAl-‘Izz bin ‘Abd as-Salām rahimahullah menyatakan bahwa menyisipkan syair dalam khotbah termasuk bidah. Pernyataan ini juga disetujui oleh Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah. [9]Adab saat mendengarkan khotbah JumatDi antara adab penting ketika mendengarkan khotbah Jumat adalah sebagai berikut:Mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarSeorang jemaah tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus benar-benar mendengarkan dengan kesungguhan hati dan perhatian penuh. Ini termasuk bentuk penghormatan terhadap khotbah dan bagian dari ibadah.Diam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungFirman Allah Ta‘ala,وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘rāf: 204)Disebutkan oleh Al-Qurthubiy rahimahullah, “Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan khotbah Jumat, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Aṭā’, ‘Amr bin Dīnār, dan Zayd bin Aslam.” [10]Tidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من مسَّ الحصى فقد لغا“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan sia-sia (laghw).” (HR. Muslim no. 857)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadis ini menunjukkan larangan menyentuh kerikil atau hal-hal lain yang termasuk bentuk bermain-main saat khotbah. Ini menunjukkan bahwa hati dan anggota tubuh harus fokus penuh kepada khotbah. ‘Laghw’ di sini maksudnya adalah perbuatan batil yang tercela dan tertolak.” [11]Tidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahTermasuk dalam bagian dari kewajiban mendengarkan khotbah, yaitu tidak diperbolehkan menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah. Dalam al-Fiqh al-Muyassar, Syekh Abdullah Muhammad Ath-Thayyar menyebutkan,هذا الفعل لا يجوز؛ لأن فيه إشغالًا للحاضرين عن سماع وتدبر الخطبة؛ وذلك لأن الإنصاف واجب على الجميع، فالواجب منع مثل ذلك مهما كانت المبررات لجمع المال“Meminta sumbangan saat khotbah tidak diperbolehkan, karena mengganggu jemaah dalam mendengarkan dan merenungi khotbah. Padahal, mendengarkan khotbah adalah kewajiban bagi seluruh jemaah. Maka wajib mencegah tindakan seperti itu, meskipun tujuan penggalangan dana tersebut dianggap penting.” [12]Apakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Disunahkan bagi makmum mengaminkan doa khatib dengan suara pelan dan tidak disyariatkan mengangkat tangan.Syekh Ibn Bāz pernah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi para jemaah ketika mengaminkan doa imam dalam khotbah Jumat? Dan apa hukumnya mengucapkan “āmīn” dengan suara keras?”Beliau rahimahullaah menjawab, “Tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam khotbah Jumat, baik bagi imam maupun makmum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu pula para khalifah setelah beliau.Namun, jika khotbah Jumat berisi permohonan istisqa (minta hujan), maka disyariatkan bagi imam dan jemaah untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beristisqa dalam khotbah Jumat, beliau mengangkat tangannya, dan para sahabat pun ikut mengangkat tangan mereka. Allah berfirman,لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzāb: 21)Adapun mengaminkan doa imam oleh jemaah tanpa suara keras, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Wallāhul muwaffiq.’ [13]Syekh Manshur Al-Buhuti rahimahullah mengatakan:وله الصَّلاةُ على النبي صلى الله عليه وسلم إذا سَمِعها ‌مِن ‌الخطيبِ، ‌وتُسنُّ سِرًّا؛ كدعاءٍ وتأمينٍ عليه“Boleh baginya (jemaah) untuk berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengarnya dari khatib, dan disunahkan melakukannya secara pelan (sirr), sebagaimana doa dan mengaminkan doa.” [14]Demikian beberapa hukum dan adab penting seputar khotbah Jumat yang sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Dari penggunaan bahasa khotbah, sah tidaknya salat bagi yang terlambat, hingga adab dan larangan saat khotbah disampaikan —semuanya menunjukkan betapa syariat Islam sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah salat Jumat. Semoga Allah Ta‘ala memberi kita taufik untuk senantiasa menghadirinya dengan adab yang benar dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAsy-Syuraim, Saud Ibrahim Muhammad. Asy-Syamil fi Fiqh al-Khatib wa al-Khutbah. Cetakan Ketiga. Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1429. 464 hlm. (Seri Penerbitan Maktabah Dar al-Minhaj, No. 78).Tim Ulama Kuwait. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah). Catatan kaki:[1] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibnu Bāz, 12: 371.[2] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 1: 429 dan 9: 64; serta Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 8: 254, fatwa no. 1495[3] Disarikan dari al-Fiqh al-Muyassar, 1: 425.[4] asy-Syamil, hal. 366-369.[5] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 12: 381. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/16562/[6] Lihat al-Majmū‘, 4: 359.[7] Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 8: 256.[8] Lihat al-Bā‘its ‘alā Inkār al-Bida‘ wa al-Ḥawādits, hal. 263 dan Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bida‘ wa al-‘Awā’id, hal. 48.[9] Syekh asy-Syuraym membahas tema ini dalam kitabnya asy-Syāmil pada bab “Sebagian Hal yang Dikatakan Makruh atau Termasuk Bid‘ah dalam Khotbah-Khotbah”, dan beliau menyebutkan sekitar 40 masalah dari halaman 426–435.[10] Tafsir al-Qurṭubī, 7: 353.[11] Syarḥ an-Nawawī ‘alā Muslim, 6: 147.[12] al-Fiqh al-Muyassar, 5: 84.[13] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 30: 249.[14] Ar-Raudh al-Murbi‘ bi Syarḥ Zād al-Mustaqni‘, 1: 414; cet. Rukā’iz.

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleHukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaPerbedaan pendapat dalam permasalahan iniPendapat yang lebih tepatKalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Bidah-bidah seputar khotbah JumatKhatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahKhatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarMengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Membaca syair dalam khotbahAdab saat mendengarkan khotbah JumatMendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarDiam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungTidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluTidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahApakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Setelah memahami waktu, syarat, dan rukun khotbah Jumat pada pembahasan sebelumnya, masih ada sejumlah permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Sebagian berkaitan dengan penggunaan bahasa non-Arab dalam khotbah, sebagian lain terkait keabsahan salat Jumat bagi yang terlambat, serta berbagai adab dan penyimpangan yang perlu diperhatikan.Dalam bagian kedua ini, kita akan membahas beberapa pertanyaan penting seputar khotbah Jumat, seperti apakah boleh khotbah dengan bahasa Indonesia? Bagaimana jika jemaah tertinggal khotbah? Apakah khatib harus menjadi imam? Termasuk pula pembahasan tentang bidah yang marak terjadi serta adab saat mendengarkan khotbah Jumat.Hukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaSalah satu permasalahan yang sering ditanyakan di berbagai daerah, terutama di luar negeri Arab, adalah tentang bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat. Apakah khotbah harus disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Ataukah boleh menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Indonesia? Pertanyaan ini penting dijawab karena menyangkut sah atau tidaknya khotbah dan efektivitas penyampaian pesan kepada jemaah.Syekh Ibnu Bāz rahimahullah pernah mendapatkan surat yang berisi permasalahan tentang hukum khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab, dimana permasalahan ini menimbulkan perselisihan di masyarakat penanya. Kemudian, beliau menjawab:Perbedaan pendapat dalam permasalahan ini“Para ulama berselisih pendapat dalam hal kebolehan menerjemahkan khotbah mimbar pada hari Jumat dan dua hari raya ke dalam bahasa non-Arab. Sebagian ulama melarangnya, karena ingin menjaga eksistensi bahasa Arab dan mengikuti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan khotbah dengan bahasa Arab, baik di negeri Arab maupun non-Arab, serta untuk mendorong kaum muslimin agar mempelajari dan memperhatikan bahasa Arab.Namun, sebagian ulama lain membolehkan khotbah dengan bahasa non-Arab jika para pendengar atau mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Alasannya, tujuan disyariatkannya khotbah adalah untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, menjauhkan dari maksiat, serta membimbing kepada akhlak mulia dan memperingatkan dari yang sebaliknya. Maka, memperhatikan makna dan tujuan lebih utama dibanding sekadar mempertahankan lafaz dan bentuk luar, khususnya jika para pendengar tidak perhatian dan tidak terpengaruh dengan khotbah bahasa Arab karena tidak memahami isinya.”Pendapat yang lebih tepatSetelah menyebutkan silang pendapat para ulama dalam permasalah ini, beliau melanjutkan dengan menyebutkan pendapat yang paling tepat dan layak diikuti,فالمقصود حينئذ لم يحصل والمطلوب بالبقاء على اللغة العربية لم يتحقق، وبذلك يظهر للمتأمل أن القول بجواز ترجمة الخطب باللغات السائدة بين المخاطبين الذين يعقلون بها الكلام ويفهمون بها المراد أولى وأحق بالاتباع، ولا سيما إذا كان عدم الترجمة يفضي إلى النزاع والخصام، فلا شك أن الترجمة والحالة هذه متعينة لحصول المصلحة بها وزوال المفسدة، وإذا كان في المخاطبين من يعرف اللغة العربية فالمشروع للخطيب أن يجمع بين اللغتين فيخطب باللغة العربية ويترجمها باللغة الأخرى التي يفهمها الآخرون، وبذلك يجمع بين المصلحتين وتنتفي المضرة كلها وينقطع النزاع بين المخاطبين“Dengan demikian, tujuan khotbah tidak tercapai dan upaya menjaga bahasa Arab pun tidak berhasil. Maka, pendapat yang membolehkan khotbah dengan bahasa yang umum dipahami para hadirin adalah lebih tepat dan lebih layak diikuti, terlebih jika tidak diterjemahkannya khotbah malah menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Dalam kondisi seperti ini, menerjemahkan khotbah adalah suatu keharusan demi kemaslahatan dan untuk menolak kemudaratan.Dan jika di antara para hadirin ada yang memahami bahasa Arab, maka disyariatkan (disunahkan -pent) bagi khatib untuk menggabungkan dua bahasa: menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke bahasa yang dipahami hadirin. Dengan cara ini, dua maslahat dapat diraih sekaligus, kerusakan dapat dihindari, dan perselisihan dapat dihentikan.”Kemudian, beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil atas hal tersebut. [1]Ringkasnya, terkait dengan hukum permasalahan ini:1) Jika tujuan khotbah tidak tercapai dan bahasa Arab tidak dipahami, maka boleh menggunakan bahasa lokal.2) Jika tanpa terjemahan justru menimbulkan perselisihan, maka menerjemahkan khotbah menjadi keharusan.3) Jika ada yang memahami bahasa Arab, disunahkan menggabungkan bahasa Arab dan bahasa lokal untuk meraih dua maslahat sekaligus. Wallaahu a’lam. [2]Kalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Salat Jumat tetap sah jika seseorang mendapati imam dalam rukuk dan sujud pada rakaat kedua, meskipun ia telah tertinggal khotbah dan rakaat pertama. Jika ia masuk ke dalam salat dan tidak mendapatkan rukuk rakaat kedua, maka ia tidak dianggap mendapatkan salat Jumat, dan harus menyempurnakannya sebagai salat Zuhur. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di antara dalilnya adalah hadis,إذا جئتم ونحن سجود فاسجدوا ولا تَعُدُّوهَا شيئًا، ومن أدرك الركعة فقد أدرك الصلاة“Jika kalian datang sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, tetapi jangan dihitung (rakaat tersebut sebagai satu rakaat). Dan barang siapa yang mendapatkan rakaat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Abu Dawud, Kitab ash-Shalāh, Bab Orang yang Mendapati Imam Sedang Sujud, no. 893, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani). [3]Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Sunahnya adalah, orang yang menyampaikan khotbah juga yang menjadi imam salat Jumat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memimpin keduanya, begitu pula para khalifah setelah beliau. [4]Namun demikian, itu bukanlah keharusan. Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan,لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة المسألة مسألة خلافية بين أهل العلم، والصواب: أنه لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة؛ لأن الخطبة منفصلة ليس لها اتصال بالصلاة، فالصلاة منفصلة والخطبة منفصلة، فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة“Tidak disyaratkan bahwa khatib harus menjadi imam salat Jumat. Masalah ini adalah perkara khilaf di antara para ulama. Dan pendapat yang benar: tidak disyaratkan bahwa khatib harus juga menjadi imam dalam salat, karena khotbah dan salat adalah dua ibadah yang terpisah. Oleh karena itu, yang lebih utama dan sesuai sunah adalah bila khatib sekaligus menjadi imam, namun tidak wajib.” [5]Bidah-bidah seputar khotbah JumatSyekh asy-Syuraym rahimahullah dalam kitabnya asy-Syāmil menyebutkan beberapa hal yang dinilai oleh para ulama sebagai bidah dalam pelaksanaan khotbah Jumat. Di antaranya:Khatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarAn-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa perbuatan ini bāṭil (tidak ada asalnya dalam syariat) dan termasuk bidah yang buruk. [6] Komite Fatwa Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan hal ini sebagai bidah. [7]Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah, baik saat membaca selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada bagian lain khotbah, dinyatakan sebagai bid‘ah munkarah (bidah yang tercela) oleh para ulama seperti penulis al-Hāwī, An-Nawawi, Ibnu Rajab, dan Ibnu ‘Ābidīn rahimahumullah. Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga berkata,الالتفات في الخطبة لا يُشرع“Menoleh dalam khotbah tidak disyariatkan.”Khatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarHal ini dianggap sebagai bidah oleh para ulama karena disangka sebagai bagian dari sunah hanya karena dilakukan terus-menerus oleh sebagian khatib. Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah menukil dari Abu Syamah,ومن البدع المشعرة بأنها من السنن بعمومها وشهرتها واستدامة مبتدعيها لفعله : ما يفعله عوام الخطباء وشبه العوام من أمور نذكرها ؛ منها : تباطؤ الخطيب في الطلوع“Di antara bidah yang disangka sunah karena sudah umum dan terus-menerus dilakukan oleh pelakunya adalah: keterlambatan khatib saat naik mimbar…” [8]Mengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibrahim bahwa,رفع اليدين والقنوت في الجمعة بدعة“Mengangkat tangan dan berdoa (qunūt) dalam khotbah Jumat adalah bidah.”Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syaukani dan Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah, yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam kondisi seperti ini adalah bidah.Membaca syair dalam khotbahAl-‘Izz bin ‘Abd as-Salām rahimahullah menyatakan bahwa menyisipkan syair dalam khotbah termasuk bidah. Pernyataan ini juga disetujui oleh Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah. [9]Adab saat mendengarkan khotbah JumatDi antara adab penting ketika mendengarkan khotbah Jumat adalah sebagai berikut:Mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarSeorang jemaah tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus benar-benar mendengarkan dengan kesungguhan hati dan perhatian penuh. Ini termasuk bentuk penghormatan terhadap khotbah dan bagian dari ibadah.Diam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungFirman Allah Ta‘ala,وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘rāf: 204)Disebutkan oleh Al-Qurthubiy rahimahullah, “Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan khotbah Jumat, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Aṭā’, ‘Amr bin Dīnār, dan Zayd bin Aslam.” [10]Tidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من مسَّ الحصى فقد لغا“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan sia-sia (laghw).” (HR. Muslim no. 857)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadis ini menunjukkan larangan menyentuh kerikil atau hal-hal lain yang termasuk bentuk bermain-main saat khotbah. Ini menunjukkan bahwa hati dan anggota tubuh harus fokus penuh kepada khotbah. ‘Laghw’ di sini maksudnya adalah perbuatan batil yang tercela dan tertolak.” [11]Tidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahTermasuk dalam bagian dari kewajiban mendengarkan khotbah, yaitu tidak diperbolehkan menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah. Dalam al-Fiqh al-Muyassar, Syekh Abdullah Muhammad Ath-Thayyar menyebutkan,هذا الفعل لا يجوز؛ لأن فيه إشغالًا للحاضرين عن سماع وتدبر الخطبة؛ وذلك لأن الإنصاف واجب على الجميع، فالواجب منع مثل ذلك مهما كانت المبررات لجمع المال“Meminta sumbangan saat khotbah tidak diperbolehkan, karena mengganggu jemaah dalam mendengarkan dan merenungi khotbah. Padahal, mendengarkan khotbah adalah kewajiban bagi seluruh jemaah. Maka wajib mencegah tindakan seperti itu, meskipun tujuan penggalangan dana tersebut dianggap penting.” [12]Apakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Disunahkan bagi makmum mengaminkan doa khatib dengan suara pelan dan tidak disyariatkan mengangkat tangan.Syekh Ibn Bāz pernah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi para jemaah ketika mengaminkan doa imam dalam khotbah Jumat? Dan apa hukumnya mengucapkan “āmīn” dengan suara keras?”Beliau rahimahullaah menjawab, “Tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam khotbah Jumat, baik bagi imam maupun makmum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu pula para khalifah setelah beliau.Namun, jika khotbah Jumat berisi permohonan istisqa (minta hujan), maka disyariatkan bagi imam dan jemaah untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beristisqa dalam khotbah Jumat, beliau mengangkat tangannya, dan para sahabat pun ikut mengangkat tangan mereka. Allah berfirman,لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzāb: 21)Adapun mengaminkan doa imam oleh jemaah tanpa suara keras, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Wallāhul muwaffiq.’ [13]Syekh Manshur Al-Buhuti rahimahullah mengatakan:وله الصَّلاةُ على النبي صلى الله عليه وسلم إذا سَمِعها ‌مِن ‌الخطيبِ، ‌وتُسنُّ سِرًّا؛ كدعاءٍ وتأمينٍ عليه“Boleh baginya (jemaah) untuk berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengarnya dari khatib, dan disunahkan melakukannya secara pelan (sirr), sebagaimana doa dan mengaminkan doa.” [14]Demikian beberapa hukum dan adab penting seputar khotbah Jumat yang sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Dari penggunaan bahasa khotbah, sah tidaknya salat bagi yang terlambat, hingga adab dan larangan saat khotbah disampaikan —semuanya menunjukkan betapa syariat Islam sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah salat Jumat. Semoga Allah Ta‘ala memberi kita taufik untuk senantiasa menghadirinya dengan adab yang benar dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAsy-Syuraim, Saud Ibrahim Muhammad. Asy-Syamil fi Fiqh al-Khatib wa al-Khutbah. Cetakan Ketiga. Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1429. 464 hlm. (Seri Penerbitan Maktabah Dar al-Minhaj, No. 78).Tim Ulama Kuwait. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah). Catatan kaki:[1] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibnu Bāz, 12: 371.[2] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 1: 429 dan 9: 64; serta Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 8: 254, fatwa no. 1495[3] Disarikan dari al-Fiqh al-Muyassar, 1: 425.[4] asy-Syamil, hal. 366-369.[5] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 12: 381. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/16562/[6] Lihat al-Majmū‘, 4: 359.[7] Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 8: 256.[8] Lihat al-Bā‘its ‘alā Inkār al-Bida‘ wa al-Ḥawādits, hal. 263 dan Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bida‘ wa al-‘Awā’id, hal. 48.[9] Syekh asy-Syuraym membahas tema ini dalam kitabnya asy-Syāmil pada bab “Sebagian Hal yang Dikatakan Makruh atau Termasuk Bid‘ah dalam Khotbah-Khotbah”, dan beliau menyebutkan sekitar 40 masalah dari halaman 426–435.[10] Tafsir al-Qurṭubī, 7: 353.[11] Syarḥ an-Nawawī ‘alā Muslim, 6: 147.[12] al-Fiqh al-Muyassar, 5: 84.[13] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 30: 249.[14] Ar-Raudh al-Murbi‘ bi Syarḥ Zād al-Mustaqni‘, 1: 414; cet. Rukā’iz.
Daftar Isi ToggleHukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaPerbedaan pendapat dalam permasalahan iniPendapat yang lebih tepatKalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Bidah-bidah seputar khotbah JumatKhatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahKhatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarMengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Membaca syair dalam khotbahAdab saat mendengarkan khotbah JumatMendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarDiam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungTidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluTidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahApakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Setelah memahami waktu, syarat, dan rukun khotbah Jumat pada pembahasan sebelumnya, masih ada sejumlah permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Sebagian berkaitan dengan penggunaan bahasa non-Arab dalam khotbah, sebagian lain terkait keabsahan salat Jumat bagi yang terlambat, serta berbagai adab dan penyimpangan yang perlu diperhatikan.Dalam bagian kedua ini, kita akan membahas beberapa pertanyaan penting seputar khotbah Jumat, seperti apakah boleh khotbah dengan bahasa Indonesia? Bagaimana jika jemaah tertinggal khotbah? Apakah khatib harus menjadi imam? Termasuk pula pembahasan tentang bidah yang marak terjadi serta adab saat mendengarkan khotbah Jumat.Hukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaSalah satu permasalahan yang sering ditanyakan di berbagai daerah, terutama di luar negeri Arab, adalah tentang bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat. Apakah khotbah harus disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Ataukah boleh menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Indonesia? Pertanyaan ini penting dijawab karena menyangkut sah atau tidaknya khotbah dan efektivitas penyampaian pesan kepada jemaah.Syekh Ibnu Bāz rahimahullah pernah mendapatkan surat yang berisi permasalahan tentang hukum khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab, dimana permasalahan ini menimbulkan perselisihan di masyarakat penanya. Kemudian, beliau menjawab:Perbedaan pendapat dalam permasalahan ini“Para ulama berselisih pendapat dalam hal kebolehan menerjemahkan khotbah mimbar pada hari Jumat dan dua hari raya ke dalam bahasa non-Arab. Sebagian ulama melarangnya, karena ingin menjaga eksistensi bahasa Arab dan mengikuti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan khotbah dengan bahasa Arab, baik di negeri Arab maupun non-Arab, serta untuk mendorong kaum muslimin agar mempelajari dan memperhatikan bahasa Arab.Namun, sebagian ulama lain membolehkan khotbah dengan bahasa non-Arab jika para pendengar atau mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Alasannya, tujuan disyariatkannya khotbah adalah untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, menjauhkan dari maksiat, serta membimbing kepada akhlak mulia dan memperingatkan dari yang sebaliknya. Maka, memperhatikan makna dan tujuan lebih utama dibanding sekadar mempertahankan lafaz dan bentuk luar, khususnya jika para pendengar tidak perhatian dan tidak terpengaruh dengan khotbah bahasa Arab karena tidak memahami isinya.”Pendapat yang lebih tepatSetelah menyebutkan silang pendapat para ulama dalam permasalah ini, beliau melanjutkan dengan menyebutkan pendapat yang paling tepat dan layak diikuti,فالمقصود حينئذ لم يحصل والمطلوب بالبقاء على اللغة العربية لم يتحقق، وبذلك يظهر للمتأمل أن القول بجواز ترجمة الخطب باللغات السائدة بين المخاطبين الذين يعقلون بها الكلام ويفهمون بها المراد أولى وأحق بالاتباع، ولا سيما إذا كان عدم الترجمة يفضي إلى النزاع والخصام، فلا شك أن الترجمة والحالة هذه متعينة لحصول المصلحة بها وزوال المفسدة، وإذا كان في المخاطبين من يعرف اللغة العربية فالمشروع للخطيب أن يجمع بين اللغتين فيخطب باللغة العربية ويترجمها باللغة الأخرى التي يفهمها الآخرون، وبذلك يجمع بين المصلحتين وتنتفي المضرة كلها وينقطع النزاع بين المخاطبين“Dengan demikian, tujuan khotbah tidak tercapai dan upaya menjaga bahasa Arab pun tidak berhasil. Maka, pendapat yang membolehkan khotbah dengan bahasa yang umum dipahami para hadirin adalah lebih tepat dan lebih layak diikuti, terlebih jika tidak diterjemahkannya khotbah malah menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Dalam kondisi seperti ini, menerjemahkan khotbah adalah suatu keharusan demi kemaslahatan dan untuk menolak kemudaratan.Dan jika di antara para hadirin ada yang memahami bahasa Arab, maka disyariatkan (disunahkan -pent) bagi khatib untuk menggabungkan dua bahasa: menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke bahasa yang dipahami hadirin. Dengan cara ini, dua maslahat dapat diraih sekaligus, kerusakan dapat dihindari, dan perselisihan dapat dihentikan.”Kemudian, beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil atas hal tersebut. [1]Ringkasnya, terkait dengan hukum permasalahan ini:1) Jika tujuan khotbah tidak tercapai dan bahasa Arab tidak dipahami, maka boleh menggunakan bahasa lokal.2) Jika tanpa terjemahan justru menimbulkan perselisihan, maka menerjemahkan khotbah menjadi keharusan.3) Jika ada yang memahami bahasa Arab, disunahkan menggabungkan bahasa Arab dan bahasa lokal untuk meraih dua maslahat sekaligus. Wallaahu a’lam. [2]Kalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Salat Jumat tetap sah jika seseorang mendapati imam dalam rukuk dan sujud pada rakaat kedua, meskipun ia telah tertinggal khotbah dan rakaat pertama. Jika ia masuk ke dalam salat dan tidak mendapatkan rukuk rakaat kedua, maka ia tidak dianggap mendapatkan salat Jumat, dan harus menyempurnakannya sebagai salat Zuhur. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di antara dalilnya adalah hadis,إذا جئتم ونحن سجود فاسجدوا ولا تَعُدُّوهَا شيئًا، ومن أدرك الركعة فقد أدرك الصلاة“Jika kalian datang sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, tetapi jangan dihitung (rakaat tersebut sebagai satu rakaat). Dan barang siapa yang mendapatkan rakaat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Abu Dawud, Kitab ash-Shalāh, Bab Orang yang Mendapati Imam Sedang Sujud, no. 893, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani). [3]Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Sunahnya adalah, orang yang menyampaikan khotbah juga yang menjadi imam salat Jumat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memimpin keduanya, begitu pula para khalifah setelah beliau. [4]Namun demikian, itu bukanlah keharusan. Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan,لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة المسألة مسألة خلافية بين أهل العلم، والصواب: أنه لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة؛ لأن الخطبة منفصلة ليس لها اتصال بالصلاة، فالصلاة منفصلة والخطبة منفصلة، فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة“Tidak disyaratkan bahwa khatib harus menjadi imam salat Jumat. Masalah ini adalah perkara khilaf di antara para ulama. Dan pendapat yang benar: tidak disyaratkan bahwa khatib harus juga menjadi imam dalam salat, karena khotbah dan salat adalah dua ibadah yang terpisah. Oleh karena itu, yang lebih utama dan sesuai sunah adalah bila khatib sekaligus menjadi imam, namun tidak wajib.” [5]Bidah-bidah seputar khotbah JumatSyekh asy-Syuraym rahimahullah dalam kitabnya asy-Syāmil menyebutkan beberapa hal yang dinilai oleh para ulama sebagai bidah dalam pelaksanaan khotbah Jumat. Di antaranya:Khatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarAn-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa perbuatan ini bāṭil (tidak ada asalnya dalam syariat) dan termasuk bidah yang buruk. [6] Komite Fatwa Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan hal ini sebagai bidah. [7]Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah, baik saat membaca selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada bagian lain khotbah, dinyatakan sebagai bid‘ah munkarah (bidah yang tercela) oleh para ulama seperti penulis al-Hāwī, An-Nawawi, Ibnu Rajab, dan Ibnu ‘Ābidīn rahimahumullah. Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga berkata,الالتفات في الخطبة لا يُشرع“Menoleh dalam khotbah tidak disyariatkan.”Khatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarHal ini dianggap sebagai bidah oleh para ulama karena disangka sebagai bagian dari sunah hanya karena dilakukan terus-menerus oleh sebagian khatib. Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah menukil dari Abu Syamah,ومن البدع المشعرة بأنها من السنن بعمومها وشهرتها واستدامة مبتدعيها لفعله : ما يفعله عوام الخطباء وشبه العوام من أمور نذكرها ؛ منها : تباطؤ الخطيب في الطلوع“Di antara bidah yang disangka sunah karena sudah umum dan terus-menerus dilakukan oleh pelakunya adalah: keterlambatan khatib saat naik mimbar…” [8]Mengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibrahim bahwa,رفع اليدين والقنوت في الجمعة بدعة“Mengangkat tangan dan berdoa (qunūt) dalam khotbah Jumat adalah bidah.”Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syaukani dan Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah, yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam kondisi seperti ini adalah bidah.Membaca syair dalam khotbahAl-‘Izz bin ‘Abd as-Salām rahimahullah menyatakan bahwa menyisipkan syair dalam khotbah termasuk bidah. Pernyataan ini juga disetujui oleh Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah. [9]Adab saat mendengarkan khotbah JumatDi antara adab penting ketika mendengarkan khotbah Jumat adalah sebagai berikut:Mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarSeorang jemaah tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus benar-benar mendengarkan dengan kesungguhan hati dan perhatian penuh. Ini termasuk bentuk penghormatan terhadap khotbah dan bagian dari ibadah.Diam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungFirman Allah Ta‘ala,وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘rāf: 204)Disebutkan oleh Al-Qurthubiy rahimahullah, “Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan khotbah Jumat, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Aṭā’, ‘Amr bin Dīnār, dan Zayd bin Aslam.” [10]Tidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من مسَّ الحصى فقد لغا“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan sia-sia (laghw).” (HR. Muslim no. 857)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadis ini menunjukkan larangan menyentuh kerikil atau hal-hal lain yang termasuk bentuk bermain-main saat khotbah. Ini menunjukkan bahwa hati dan anggota tubuh harus fokus penuh kepada khotbah. ‘Laghw’ di sini maksudnya adalah perbuatan batil yang tercela dan tertolak.” [11]Tidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahTermasuk dalam bagian dari kewajiban mendengarkan khotbah, yaitu tidak diperbolehkan menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah. Dalam al-Fiqh al-Muyassar, Syekh Abdullah Muhammad Ath-Thayyar menyebutkan,هذا الفعل لا يجوز؛ لأن فيه إشغالًا للحاضرين عن سماع وتدبر الخطبة؛ وذلك لأن الإنصاف واجب على الجميع، فالواجب منع مثل ذلك مهما كانت المبررات لجمع المال“Meminta sumbangan saat khotbah tidak diperbolehkan, karena mengganggu jemaah dalam mendengarkan dan merenungi khotbah. Padahal, mendengarkan khotbah adalah kewajiban bagi seluruh jemaah. Maka wajib mencegah tindakan seperti itu, meskipun tujuan penggalangan dana tersebut dianggap penting.” [12]Apakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Disunahkan bagi makmum mengaminkan doa khatib dengan suara pelan dan tidak disyariatkan mengangkat tangan.Syekh Ibn Bāz pernah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi para jemaah ketika mengaminkan doa imam dalam khotbah Jumat? Dan apa hukumnya mengucapkan “āmīn” dengan suara keras?”Beliau rahimahullaah menjawab, “Tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam khotbah Jumat, baik bagi imam maupun makmum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu pula para khalifah setelah beliau.Namun, jika khotbah Jumat berisi permohonan istisqa (minta hujan), maka disyariatkan bagi imam dan jemaah untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beristisqa dalam khotbah Jumat, beliau mengangkat tangannya, dan para sahabat pun ikut mengangkat tangan mereka. Allah berfirman,لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzāb: 21)Adapun mengaminkan doa imam oleh jemaah tanpa suara keras, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Wallāhul muwaffiq.’ [13]Syekh Manshur Al-Buhuti rahimahullah mengatakan:وله الصَّلاةُ على النبي صلى الله عليه وسلم إذا سَمِعها ‌مِن ‌الخطيبِ، ‌وتُسنُّ سِرًّا؛ كدعاءٍ وتأمينٍ عليه“Boleh baginya (jemaah) untuk berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengarnya dari khatib, dan disunahkan melakukannya secara pelan (sirr), sebagaimana doa dan mengaminkan doa.” [14]Demikian beberapa hukum dan adab penting seputar khotbah Jumat yang sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Dari penggunaan bahasa khotbah, sah tidaknya salat bagi yang terlambat, hingga adab dan larangan saat khotbah disampaikan —semuanya menunjukkan betapa syariat Islam sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah salat Jumat. Semoga Allah Ta‘ala memberi kita taufik untuk senantiasa menghadirinya dengan adab yang benar dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAsy-Syuraim, Saud Ibrahim Muhammad. Asy-Syamil fi Fiqh al-Khatib wa al-Khutbah. Cetakan Ketiga. Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1429. 464 hlm. (Seri Penerbitan Maktabah Dar al-Minhaj, No. 78).Tim Ulama Kuwait. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah). Catatan kaki:[1] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibnu Bāz, 12: 371.[2] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 1: 429 dan 9: 64; serta Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 8: 254, fatwa no. 1495[3] Disarikan dari al-Fiqh al-Muyassar, 1: 425.[4] asy-Syamil, hal. 366-369.[5] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 12: 381. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/16562/[6] Lihat al-Majmū‘, 4: 359.[7] Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 8: 256.[8] Lihat al-Bā‘its ‘alā Inkār al-Bida‘ wa al-Ḥawādits, hal. 263 dan Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bida‘ wa al-‘Awā’id, hal. 48.[9] Syekh asy-Syuraym membahas tema ini dalam kitabnya asy-Syāmil pada bab “Sebagian Hal yang Dikatakan Makruh atau Termasuk Bid‘ah dalam Khotbah-Khotbah”, dan beliau menyebutkan sekitar 40 masalah dari halaman 426–435.[10] Tafsir al-Qurṭubī, 7: 353.[11] Syarḥ an-Nawawī ‘alā Muslim, 6: 147.[12] al-Fiqh al-Muyassar, 5: 84.[13] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 30: 249.[14] Ar-Raudh al-Murbi‘ bi Syarḥ Zād al-Mustaqni‘, 1: 414; cet. Rukā’iz.


Daftar Isi ToggleHukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaPerbedaan pendapat dalam permasalahan iniPendapat yang lebih tepatKalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Bidah-bidah seputar khotbah JumatKhatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahKhatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarMengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Membaca syair dalam khotbahAdab saat mendengarkan khotbah JumatMendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarDiam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungTidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluTidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahApakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Setelah memahami waktu, syarat, dan rukun khotbah Jumat pada pembahasan sebelumnya, masih ada sejumlah permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Sebagian berkaitan dengan penggunaan bahasa non-Arab dalam khotbah, sebagian lain terkait keabsahan salat Jumat bagi yang terlambat, serta berbagai adab dan penyimpangan yang perlu diperhatikan.Dalam bagian kedua ini, kita akan membahas beberapa pertanyaan penting seputar khotbah Jumat, seperti apakah boleh khotbah dengan bahasa Indonesia? Bagaimana jika jemaah tertinggal khotbah? Apakah khatib harus menjadi imam? Termasuk pula pembahasan tentang bidah yang marak terjadi serta adab saat mendengarkan khotbah Jumat.Hukum khotbah Jumat dengan Bahasa IndonesiaSalah satu permasalahan yang sering ditanyakan di berbagai daerah, terutama di luar negeri Arab, adalah tentang bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat. Apakah khotbah harus disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Ataukah boleh menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Indonesia? Pertanyaan ini penting dijawab karena menyangkut sah atau tidaknya khotbah dan efektivitas penyampaian pesan kepada jemaah.Syekh Ibnu Bāz rahimahullah pernah mendapatkan surat yang berisi permasalahan tentang hukum khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab, dimana permasalahan ini menimbulkan perselisihan di masyarakat penanya. Kemudian, beliau menjawab:Perbedaan pendapat dalam permasalahan ini“Para ulama berselisih pendapat dalam hal kebolehan menerjemahkan khotbah mimbar pada hari Jumat dan dua hari raya ke dalam bahasa non-Arab. Sebagian ulama melarangnya, karena ingin menjaga eksistensi bahasa Arab dan mengikuti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan khotbah dengan bahasa Arab, baik di negeri Arab maupun non-Arab, serta untuk mendorong kaum muslimin agar mempelajari dan memperhatikan bahasa Arab.Namun, sebagian ulama lain membolehkan khotbah dengan bahasa non-Arab jika para pendengar atau mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Alasannya, tujuan disyariatkannya khotbah adalah untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, menjauhkan dari maksiat, serta membimbing kepada akhlak mulia dan memperingatkan dari yang sebaliknya. Maka, memperhatikan makna dan tujuan lebih utama dibanding sekadar mempertahankan lafaz dan bentuk luar, khususnya jika para pendengar tidak perhatian dan tidak terpengaruh dengan khotbah bahasa Arab karena tidak memahami isinya.”Pendapat yang lebih tepatSetelah menyebutkan silang pendapat para ulama dalam permasalah ini, beliau melanjutkan dengan menyebutkan pendapat yang paling tepat dan layak diikuti,فالمقصود حينئذ لم يحصل والمطلوب بالبقاء على اللغة العربية لم يتحقق، وبذلك يظهر للمتأمل أن القول بجواز ترجمة الخطب باللغات السائدة بين المخاطبين الذين يعقلون بها الكلام ويفهمون بها المراد أولى وأحق بالاتباع، ولا سيما إذا كان عدم الترجمة يفضي إلى النزاع والخصام، فلا شك أن الترجمة والحالة هذه متعينة لحصول المصلحة بها وزوال المفسدة، وإذا كان في المخاطبين من يعرف اللغة العربية فالمشروع للخطيب أن يجمع بين اللغتين فيخطب باللغة العربية ويترجمها باللغة الأخرى التي يفهمها الآخرون، وبذلك يجمع بين المصلحتين وتنتفي المضرة كلها وينقطع النزاع بين المخاطبين“Dengan demikian, tujuan khotbah tidak tercapai dan upaya menjaga bahasa Arab pun tidak berhasil. Maka, pendapat yang membolehkan khotbah dengan bahasa yang umum dipahami para hadirin adalah lebih tepat dan lebih layak diikuti, terlebih jika tidak diterjemahkannya khotbah malah menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Dalam kondisi seperti ini, menerjemahkan khotbah adalah suatu keharusan demi kemaslahatan dan untuk menolak kemudaratan.Dan jika di antara para hadirin ada yang memahami bahasa Arab, maka disyariatkan (disunahkan -pent) bagi khatib untuk menggabungkan dua bahasa: menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke bahasa yang dipahami hadirin. Dengan cara ini, dua maslahat dapat diraih sekaligus, kerusakan dapat dihindari, dan perselisihan dapat dihentikan.”Kemudian, beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil atas hal tersebut. [1]Ringkasnya, terkait dengan hukum permasalahan ini:1) Jika tujuan khotbah tidak tercapai dan bahasa Arab tidak dipahami, maka boleh menggunakan bahasa lokal.2) Jika tanpa terjemahan justru menimbulkan perselisihan, maka menerjemahkan khotbah menjadi keharusan.3) Jika ada yang memahami bahasa Arab, disunahkan menggabungkan bahasa Arab dan bahasa lokal untuk meraih dua maslahat sekaligus. Wallaahu a’lam. [2]Kalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?Salat Jumat tetap sah jika seseorang mendapati imam dalam rukuk dan sujud pada rakaat kedua, meskipun ia telah tertinggal khotbah dan rakaat pertama. Jika ia masuk ke dalam salat dan tidak mendapatkan rukuk rakaat kedua, maka ia tidak dianggap mendapatkan salat Jumat, dan harus menyempurnakannya sebagai salat Zuhur. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di antara dalilnya adalah hadis,إذا جئتم ونحن سجود فاسجدوا ولا تَعُدُّوهَا شيئًا، ومن أدرك الركعة فقد أدرك الصلاة“Jika kalian datang sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, tetapi jangan dihitung (rakaat tersebut sebagai satu rakaat). Dan barang siapa yang mendapatkan rakaat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Abu Dawud, Kitab ash-Shalāh, Bab Orang yang Mendapati Imam Sedang Sujud, no. 893, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani). [3]Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?Sunahnya adalah, orang yang menyampaikan khotbah juga yang menjadi imam salat Jumat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memimpin keduanya, begitu pula para khalifah setelah beliau. [4]Namun demikian, itu bukanlah keharusan. Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan,لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة المسألة مسألة خلافية بين أهل العلم، والصواب: أنه لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة؛ لأن الخطبة منفصلة ليس لها اتصال بالصلاة، فالصلاة منفصلة والخطبة منفصلة، فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة“Tidak disyaratkan bahwa khatib harus menjadi imam salat Jumat. Masalah ini adalah perkara khilaf di antara para ulama. Dan pendapat yang benar: tidak disyaratkan bahwa khatib harus juga menjadi imam dalam salat, karena khotbah dan salat adalah dua ibadah yang terpisah. Oleh karena itu, yang lebih utama dan sesuai sunah adalah bila khatib sekaligus menjadi imam, namun tidak wajib.” [5]Bidah-bidah seputar khotbah JumatSyekh asy-Syuraym rahimahullah dalam kitabnya asy-Syāmil menyebutkan beberapa hal yang dinilai oleh para ulama sebagai bidah dalam pelaksanaan khotbah Jumat. Di antaranya:Khatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbarAn-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa perbuatan ini bāṭil (tidak ada asalnya dalam syariat) dan termasuk bidah yang buruk. [6] Komite Fatwa Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan hal ini sebagai bidah. [7]Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbahMenoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah, baik saat membaca selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada bagian lain khotbah, dinyatakan sebagai bid‘ah munkarah (bidah yang tercela) oleh para ulama seperti penulis al-Hāwī, An-Nawawi, Ibnu Rajab, dan Ibnu ‘Ābidīn rahimahumullah. Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga berkata,الالتفات في الخطبة لا يُشرع“Menoleh dalam khotbah tidak disyariatkan.”Khatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbarHal ini dianggap sebagai bidah oleh para ulama karena disangka sebagai bagian dari sunah hanya karena dilakukan terus-menerus oleh sebagian khatib. Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah menukil dari Abu Syamah,ومن البدع المشعرة بأنها من السنن بعمومها وشهرتها واستدامة مبتدعيها لفعله : ما يفعله عوام الخطباء وشبه العوام من أمور نذكرها ؛ منها : تباطؤ الخطيب في الطلوع“Di antara bidah yang disangka sunah karena sudah umum dan terus-menerus dilakukan oleh pelakunya adalah: keterlambatan khatib saat naik mimbar…” [8]Mengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibrahim bahwa,رفع اليدين والقنوت في الجمعة بدعة“Mengangkat tangan dan berdoa (qunūt) dalam khotbah Jumat adalah bidah.”Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syaukani dan Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah, yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam kondisi seperti ini adalah bidah.Membaca syair dalam khotbahAl-‘Izz bin ‘Abd as-Salām rahimahullah menyatakan bahwa menyisipkan syair dalam khotbah termasuk bidah. Pernyataan ini juga disetujui oleh Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah. [9]Adab saat mendengarkan khotbah JumatDi antara adab penting ketika mendengarkan khotbah Jumat adalah sebagai berikut:Mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengarSeorang jemaah tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus benar-benar mendengarkan dengan kesungguhan hati dan perhatian penuh. Ini termasuk bentuk penghormatan terhadap khotbah dan bagian dari ibadah.Diam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsungFirman Allah Ta‘ala,وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘rāf: 204)Disebutkan oleh Al-Qurthubiy rahimahullah, “Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan khotbah Jumat, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Aṭā’, ‘Amr bin Dīnār, dan Zayd bin Aslam.” [10]Tidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perluRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من مسَّ الحصى فقد لغا“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan sia-sia (laghw).” (HR. Muslim no. 857)An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadis ini menunjukkan larangan menyentuh kerikil atau hal-hal lain yang termasuk bentuk bermain-main saat khotbah. Ini menunjukkan bahwa hati dan anggota tubuh harus fokus penuh kepada khotbah. ‘Laghw’ di sini maksudnya adalah perbuatan batil yang tercela dan tertolak.” [11]Tidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbahTermasuk dalam bagian dari kewajiban mendengarkan khotbah, yaitu tidak diperbolehkan menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah. Dalam al-Fiqh al-Muyassar, Syekh Abdullah Muhammad Ath-Thayyar menyebutkan,هذا الفعل لا يجوز؛ لأن فيه إشغالًا للحاضرين عن سماع وتدبر الخطبة؛ وذلك لأن الإنصاف واجب على الجميع، فالواجب منع مثل ذلك مهما كانت المبررات لجمع المال“Meminta sumbangan saat khotbah tidak diperbolehkan, karena mengganggu jemaah dalam mendengarkan dan merenungi khotbah. Padahal, mendengarkan khotbah adalah kewajiban bagi seluruh jemaah. Maka wajib mencegah tindakan seperti itu, meskipun tujuan penggalangan dana tersebut dianggap penting.” [12]Apakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?Disunahkan bagi makmum mengaminkan doa khatib dengan suara pelan dan tidak disyariatkan mengangkat tangan.Syekh Ibn Bāz pernah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi para jemaah ketika mengaminkan doa imam dalam khotbah Jumat? Dan apa hukumnya mengucapkan “āmīn” dengan suara keras?”Beliau rahimahullaah menjawab, “Tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam khotbah Jumat, baik bagi imam maupun makmum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu pula para khalifah setelah beliau.Namun, jika khotbah Jumat berisi permohonan istisqa (minta hujan), maka disyariatkan bagi imam dan jemaah untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beristisqa dalam khotbah Jumat, beliau mengangkat tangannya, dan para sahabat pun ikut mengangkat tangan mereka. Allah berfirman,لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzāb: 21)Adapun mengaminkan doa imam oleh jemaah tanpa suara keras, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Wallāhul muwaffiq.’ [13]Syekh Manshur Al-Buhuti rahimahullah mengatakan:وله الصَّلاةُ على النبي صلى الله عليه وسلم إذا سَمِعها ‌مِن ‌الخطيبِ، ‌وتُسنُّ سِرًّا؛ كدعاءٍ وتأمينٍ عليه“Boleh baginya (jemaah) untuk berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengarnya dari khatib, dan disunahkan melakukannya secara pelan (sirr), sebagaimana doa dan mengaminkan doa.” [14]Demikian beberapa hukum dan adab penting seputar khotbah Jumat yang sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Dari penggunaan bahasa khotbah, sah tidaknya salat bagi yang terlambat, hingga adab dan larangan saat khotbah disampaikan —semuanya menunjukkan betapa syariat Islam sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah salat Jumat. Semoga Allah Ta‘ala memberi kita taufik untuk senantiasa menghadirinya dengan adab yang benar dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAsy-Syuraim, Saud Ibrahim Muhammad. Asy-Syamil fi Fiqh al-Khatib wa al-Khutbah. Cetakan Ketiga. Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1429. 464 hlm. (Seri Penerbitan Maktabah Dar al-Minhaj, No. 78).Tim Ulama Kuwait. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah). Catatan kaki:[1] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibnu Bāz, 12: 371.[2] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 1: 429 dan 9: 64; serta Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 8: 254, fatwa no. 1495[3] Disarikan dari al-Fiqh al-Muyassar, 1: 425.[4] asy-Syamil, hal. 366-369.[5] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 12: 381. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/16562/[6] Lihat al-Majmū‘, 4: 359.[7] Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 8: 256.[8] Lihat al-Bā‘its ‘alā Inkār al-Bida‘ wa al-Ḥawādits, hal. 263 dan Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bida‘ wa al-‘Awā’id, hal. 48.[9] Syekh asy-Syuraym membahas tema ini dalam kitabnya asy-Syāmil pada bab “Sebagian Hal yang Dikatakan Makruh atau Termasuk Bid‘ah dalam Khotbah-Khotbah”, dan beliau menyebutkan sekitar 40 masalah dari halaman 426–435.[10] Tafsir al-Qurṭubī, 7: 353.[11] Syarḥ an-Nawawī ‘alā Muslim, 6: 147.[12] al-Fiqh al-Muyassar, 5: 84.[13] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 30: 249.[14] Ar-Raudh al-Murbi‘ bi Syarḥ Zād al-Mustaqni‘, 1: 414; cet. Rukā’iz.

Cara Dakwah Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an: Dekat, Peduli, dan Penyayang

Setiap ayat tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pelajaran tentang cinta dan kepedulian sejati. Dalam satu ayat saja, Allah mengabadikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dekat, peduli, dan penuh kasih kepada umatnya. Bukan hanya mengajak kepada kebenaran, tapi turut menanggung derita mereka. Inilah wajah dakwah yang seharusnya: penuh empati, bukan sekadar instruksi.  Daftar Isi tutup 1. Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia Rasakan 1.1. Tiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah 2. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak 3. Penutup  Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia RasakanAllah Ta’ala berfirman,{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)Ayat ini menjadi dalil kuat atas pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, utusan Allah. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat besar kepada umat ini dengan mengutus seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlaknya. Mereka pun bisa duduk bersama beliau, mendengar langsung perkataannya, karena beliau bukanlah sosok asing bagi mereka.Firman Allah {عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} menunjukkan bahwa Nabi sangat merasakan beratnya beban yang menimpa umatnya. Kata “العَنَت” berarti kesulitan dan kesusahan. Maka, segala bentuk kesulitan yang dialami umat ini menjadi beban berat bagi beliau. Hal ini karena beliau diutus membawa agama yang lurus dan mudah, yaitu hanifiyyah samhah.Dalam satu peristiwa, ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat,{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Āli ‘Imrān: 97)Salah seorang sahabat, Al-Aqra’ bin Habis, bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Namun beliau diam. Diamnya ini adalah bentuk kasih sayang terhadap umat, sebab beliau bersabda: “Seandainya aku katakan ‘iya’, niscaya akan menjadi wajib setiap tahun.” Dan ini akan membawa kesulitan besar bagi umat. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.Baca juga: Kenapa Haji Hanya Wajib Sekali Seumur Hidup?Kembali pada firman Allah,{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ}yakni Rasulullah sangat ingin menyelamatkan umat ini dari kesesatan dan neraka.{بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}Artinya, kasih sayang dan kelembutan beliau dikhususkan untuk kaum beriman. Meski demikian, usaha beliau dalam menyampaikan hidayah meliputi seluruh manusia. Siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang dikehendaki untuk tetap dalam kesesatan, maka ia akan tetap sesat.Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan keislaman pamannya, Abu Thalib. Namun karena kehendak Allah lain, Abu Thalib tetap mati dalam kekafiran. Firman Allah:{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qassas: 56)Baca juga: Kisah Meninggalnya Abu ThalibTiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwahFirman Allah:{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…”Sifat 1: Dekat dan Akrab– Ini sesuai. Frasa “من أنفسكم” menunjukkan bahwa Nabi berasal dari golongan mereka sendiri—bukan asing. Ini menegaskan kedekatan personal, sosial, dan emosional antara Nabi dan umatnya.{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}“Berat terasa olehnya penderitaanmu…”Sifat 2: Peduli dan Peka– Sangat sesuai. “ʿAzīz ʿalayhi mā ʿanittum” bermakna: beliau merasa berat dan susah jika umatnya mengalami kesulitan. Ini adalah puncak empati dan kepedulian.{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“(Ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”Sifat 3: Sayang Tanpa Syarat– Bagian ini justru paling tegas menekankan kasih sayang Nabi ﷺ, khususnya kepada orang beriman. Kata “حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ” menunjukkan keinginan kuat beliau untuk keselamatan umat, dan “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ” adalah sifat sayang yang sangat dalam dan konsisten. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak1. Dekat dan Akrab{جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}Penerapan pada orang tua:Orang tua sebaiknya bukan hanya “mengatur dari atas”, tapi hadir dalam kehidupan anak, menjadi figur yang akrab, bisa diajak bicara, dan dipercaya.Anak merasa: “Ayah dan Bunda itu bagian dari aku, bukan sekadar penjaga aturan.”2. Peduli dan Peka{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}Penerapan pada orang tua:Anak butuh orang tua yang bisa merasakan kesulitannya, bukan hanya menyuruh atau menuntut. Orang tua yang peka tahu kapan anak sedang lelah, kecewa, atau stres—dan tidak asal marah saat anak “bermasalah”.Anak merasa: “Orang tuaku paham perasaanku.”3. Sayang Tanpa Syarat{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}Penerapan pada orang tua:Cinta orang tua jangan bersyarat nilai bagus atau perilaku sempurna. Seperti Nabi ﷺ, kasih sayang tetap mengalir meski umatnya belum ideal. Orang tua pun harus mencintai anaknya meski sedang gagal, salah, atau sedang jatuh.Anak merasa: “Aku dicintai bukan karena aku sempurna.” PenutupSungguh, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang pribadi Rasulullah ﷺ, tapi juga teladan abadi bagi siapa pun yang ingin berdakwah, mendidik, atau memimpin. Jika beliau saja begitu peduli dan penyayang, bagaimana mungkin kita meneladani beliau dengan cara yang kasar dan memaksa? Maka, mari kita mulai dari diri sendiri—belajar berdakwah seperti Nabi: dengan kedekatan, empati, dan kasih sayang. Semoga Allah menolong kita untuk meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan, agar kita benar-benar layak disebut sebagai umatnya. Referensi:Al-Fawzān, ʿA. ibn Ṣ. (n.d.). Ḥuṣūl al-maʾmūl bi-sharḥ Thalāthat al-Uṣūl (Cet. sesuai dengan edisi cetak). Maktabat al-Rusyd. ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak nabi dalam berdakwah berdakwah seperti nabi cara dakwah cara dakwah nabi muhammad cinta rasulullah kepada umatnya dakwah dengan empati dakwah nabi penuh cinta hikmah dakwah nabi kasih sayang nabi dalam alquran nabi muhammad rasul dari kaumnya nabi yang penyayang pendidikan anak qs at-taubah ayat 128 sifat nabi dalam alquran sifat nabi kepada umatnya tafsir at-taubah 128 teladan nabi untuk pendidik tsalatsatul ushul

Cara Dakwah Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an: Dekat, Peduli, dan Penyayang

Setiap ayat tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pelajaran tentang cinta dan kepedulian sejati. Dalam satu ayat saja, Allah mengabadikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dekat, peduli, dan penuh kasih kepada umatnya. Bukan hanya mengajak kepada kebenaran, tapi turut menanggung derita mereka. Inilah wajah dakwah yang seharusnya: penuh empati, bukan sekadar instruksi.  Daftar Isi tutup 1. Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia Rasakan 1.1. Tiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah 2. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak 3. Penutup  Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia RasakanAllah Ta’ala berfirman,{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)Ayat ini menjadi dalil kuat atas pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, utusan Allah. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat besar kepada umat ini dengan mengutus seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlaknya. Mereka pun bisa duduk bersama beliau, mendengar langsung perkataannya, karena beliau bukanlah sosok asing bagi mereka.Firman Allah {عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} menunjukkan bahwa Nabi sangat merasakan beratnya beban yang menimpa umatnya. Kata “العَنَت” berarti kesulitan dan kesusahan. Maka, segala bentuk kesulitan yang dialami umat ini menjadi beban berat bagi beliau. Hal ini karena beliau diutus membawa agama yang lurus dan mudah, yaitu hanifiyyah samhah.Dalam satu peristiwa, ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat,{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Āli ‘Imrān: 97)Salah seorang sahabat, Al-Aqra’ bin Habis, bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Namun beliau diam. Diamnya ini adalah bentuk kasih sayang terhadap umat, sebab beliau bersabda: “Seandainya aku katakan ‘iya’, niscaya akan menjadi wajib setiap tahun.” Dan ini akan membawa kesulitan besar bagi umat. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.Baca juga: Kenapa Haji Hanya Wajib Sekali Seumur Hidup?Kembali pada firman Allah,{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ}yakni Rasulullah sangat ingin menyelamatkan umat ini dari kesesatan dan neraka.{بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}Artinya, kasih sayang dan kelembutan beliau dikhususkan untuk kaum beriman. Meski demikian, usaha beliau dalam menyampaikan hidayah meliputi seluruh manusia. Siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang dikehendaki untuk tetap dalam kesesatan, maka ia akan tetap sesat.Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan keislaman pamannya, Abu Thalib. Namun karena kehendak Allah lain, Abu Thalib tetap mati dalam kekafiran. Firman Allah:{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qassas: 56)Baca juga: Kisah Meninggalnya Abu ThalibTiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwahFirman Allah:{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…”Sifat 1: Dekat dan Akrab– Ini sesuai. Frasa “من أنفسكم” menunjukkan bahwa Nabi berasal dari golongan mereka sendiri—bukan asing. Ini menegaskan kedekatan personal, sosial, dan emosional antara Nabi dan umatnya.{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}“Berat terasa olehnya penderitaanmu…”Sifat 2: Peduli dan Peka– Sangat sesuai. “ʿAzīz ʿalayhi mā ʿanittum” bermakna: beliau merasa berat dan susah jika umatnya mengalami kesulitan. Ini adalah puncak empati dan kepedulian.{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“(Ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”Sifat 3: Sayang Tanpa Syarat– Bagian ini justru paling tegas menekankan kasih sayang Nabi ﷺ, khususnya kepada orang beriman. Kata “حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ” menunjukkan keinginan kuat beliau untuk keselamatan umat, dan “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ” adalah sifat sayang yang sangat dalam dan konsisten. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak1. Dekat dan Akrab{جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}Penerapan pada orang tua:Orang tua sebaiknya bukan hanya “mengatur dari atas”, tapi hadir dalam kehidupan anak, menjadi figur yang akrab, bisa diajak bicara, dan dipercaya.Anak merasa: “Ayah dan Bunda itu bagian dari aku, bukan sekadar penjaga aturan.”2. Peduli dan Peka{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}Penerapan pada orang tua:Anak butuh orang tua yang bisa merasakan kesulitannya, bukan hanya menyuruh atau menuntut. Orang tua yang peka tahu kapan anak sedang lelah, kecewa, atau stres—dan tidak asal marah saat anak “bermasalah”.Anak merasa: “Orang tuaku paham perasaanku.”3. Sayang Tanpa Syarat{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}Penerapan pada orang tua:Cinta orang tua jangan bersyarat nilai bagus atau perilaku sempurna. Seperti Nabi ﷺ, kasih sayang tetap mengalir meski umatnya belum ideal. Orang tua pun harus mencintai anaknya meski sedang gagal, salah, atau sedang jatuh.Anak merasa: “Aku dicintai bukan karena aku sempurna.” PenutupSungguh, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang pribadi Rasulullah ﷺ, tapi juga teladan abadi bagi siapa pun yang ingin berdakwah, mendidik, atau memimpin. Jika beliau saja begitu peduli dan penyayang, bagaimana mungkin kita meneladani beliau dengan cara yang kasar dan memaksa? Maka, mari kita mulai dari diri sendiri—belajar berdakwah seperti Nabi: dengan kedekatan, empati, dan kasih sayang. Semoga Allah menolong kita untuk meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan, agar kita benar-benar layak disebut sebagai umatnya. Referensi:Al-Fawzān, ʿA. ibn Ṣ. (n.d.). Ḥuṣūl al-maʾmūl bi-sharḥ Thalāthat al-Uṣūl (Cet. sesuai dengan edisi cetak). Maktabat al-Rusyd. ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak nabi dalam berdakwah berdakwah seperti nabi cara dakwah cara dakwah nabi muhammad cinta rasulullah kepada umatnya dakwah dengan empati dakwah nabi penuh cinta hikmah dakwah nabi kasih sayang nabi dalam alquran nabi muhammad rasul dari kaumnya nabi yang penyayang pendidikan anak qs at-taubah ayat 128 sifat nabi dalam alquran sifat nabi kepada umatnya tafsir at-taubah 128 teladan nabi untuk pendidik tsalatsatul ushul
Setiap ayat tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pelajaran tentang cinta dan kepedulian sejati. Dalam satu ayat saja, Allah mengabadikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dekat, peduli, dan penuh kasih kepada umatnya. Bukan hanya mengajak kepada kebenaran, tapi turut menanggung derita mereka. Inilah wajah dakwah yang seharusnya: penuh empati, bukan sekadar instruksi.  Daftar Isi tutup 1. Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia Rasakan 1.1. Tiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah 2. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak 3. Penutup  Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia RasakanAllah Ta’ala berfirman,{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)Ayat ini menjadi dalil kuat atas pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, utusan Allah. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat besar kepada umat ini dengan mengutus seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlaknya. Mereka pun bisa duduk bersama beliau, mendengar langsung perkataannya, karena beliau bukanlah sosok asing bagi mereka.Firman Allah {عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} menunjukkan bahwa Nabi sangat merasakan beratnya beban yang menimpa umatnya. Kata “العَنَت” berarti kesulitan dan kesusahan. Maka, segala bentuk kesulitan yang dialami umat ini menjadi beban berat bagi beliau. Hal ini karena beliau diutus membawa agama yang lurus dan mudah, yaitu hanifiyyah samhah.Dalam satu peristiwa, ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat,{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Āli ‘Imrān: 97)Salah seorang sahabat, Al-Aqra’ bin Habis, bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Namun beliau diam. Diamnya ini adalah bentuk kasih sayang terhadap umat, sebab beliau bersabda: “Seandainya aku katakan ‘iya’, niscaya akan menjadi wajib setiap tahun.” Dan ini akan membawa kesulitan besar bagi umat. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.Baca juga: Kenapa Haji Hanya Wajib Sekali Seumur Hidup?Kembali pada firman Allah,{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ}yakni Rasulullah sangat ingin menyelamatkan umat ini dari kesesatan dan neraka.{بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}Artinya, kasih sayang dan kelembutan beliau dikhususkan untuk kaum beriman. Meski demikian, usaha beliau dalam menyampaikan hidayah meliputi seluruh manusia. Siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang dikehendaki untuk tetap dalam kesesatan, maka ia akan tetap sesat.Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan keislaman pamannya, Abu Thalib. Namun karena kehendak Allah lain, Abu Thalib tetap mati dalam kekafiran. Firman Allah:{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qassas: 56)Baca juga: Kisah Meninggalnya Abu ThalibTiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwahFirman Allah:{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…”Sifat 1: Dekat dan Akrab– Ini sesuai. Frasa “من أنفسكم” menunjukkan bahwa Nabi berasal dari golongan mereka sendiri—bukan asing. Ini menegaskan kedekatan personal, sosial, dan emosional antara Nabi dan umatnya.{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}“Berat terasa olehnya penderitaanmu…”Sifat 2: Peduli dan Peka– Sangat sesuai. “ʿAzīz ʿalayhi mā ʿanittum” bermakna: beliau merasa berat dan susah jika umatnya mengalami kesulitan. Ini adalah puncak empati dan kepedulian.{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“(Ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”Sifat 3: Sayang Tanpa Syarat– Bagian ini justru paling tegas menekankan kasih sayang Nabi ﷺ, khususnya kepada orang beriman. Kata “حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ” menunjukkan keinginan kuat beliau untuk keselamatan umat, dan “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ” adalah sifat sayang yang sangat dalam dan konsisten. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak1. Dekat dan Akrab{جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}Penerapan pada orang tua:Orang tua sebaiknya bukan hanya “mengatur dari atas”, tapi hadir dalam kehidupan anak, menjadi figur yang akrab, bisa diajak bicara, dan dipercaya.Anak merasa: “Ayah dan Bunda itu bagian dari aku, bukan sekadar penjaga aturan.”2. Peduli dan Peka{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}Penerapan pada orang tua:Anak butuh orang tua yang bisa merasakan kesulitannya, bukan hanya menyuruh atau menuntut. Orang tua yang peka tahu kapan anak sedang lelah, kecewa, atau stres—dan tidak asal marah saat anak “bermasalah”.Anak merasa: “Orang tuaku paham perasaanku.”3. Sayang Tanpa Syarat{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}Penerapan pada orang tua:Cinta orang tua jangan bersyarat nilai bagus atau perilaku sempurna. Seperti Nabi ﷺ, kasih sayang tetap mengalir meski umatnya belum ideal. Orang tua pun harus mencintai anaknya meski sedang gagal, salah, atau sedang jatuh.Anak merasa: “Aku dicintai bukan karena aku sempurna.” PenutupSungguh, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang pribadi Rasulullah ﷺ, tapi juga teladan abadi bagi siapa pun yang ingin berdakwah, mendidik, atau memimpin. Jika beliau saja begitu peduli dan penyayang, bagaimana mungkin kita meneladani beliau dengan cara yang kasar dan memaksa? Maka, mari kita mulai dari diri sendiri—belajar berdakwah seperti Nabi: dengan kedekatan, empati, dan kasih sayang. Semoga Allah menolong kita untuk meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan, agar kita benar-benar layak disebut sebagai umatnya. Referensi:Al-Fawzān, ʿA. ibn Ṣ. (n.d.). Ḥuṣūl al-maʾmūl bi-sharḥ Thalāthat al-Uṣūl (Cet. sesuai dengan edisi cetak). Maktabat al-Rusyd. ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak nabi dalam berdakwah berdakwah seperti nabi cara dakwah cara dakwah nabi muhammad cinta rasulullah kepada umatnya dakwah dengan empati dakwah nabi penuh cinta hikmah dakwah nabi kasih sayang nabi dalam alquran nabi muhammad rasul dari kaumnya nabi yang penyayang pendidikan anak qs at-taubah ayat 128 sifat nabi dalam alquran sifat nabi kepada umatnya tafsir at-taubah 128 teladan nabi untuk pendidik tsalatsatul ushul


Setiap ayat tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pelajaran tentang cinta dan kepedulian sejati. Dalam satu ayat saja, Allah mengabadikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dekat, peduli, dan penuh kasih kepada umatnya. Bukan hanya mengajak kepada kebenaran, tapi turut menanggung derita mereka. Inilah wajah dakwah yang seharusnya: penuh empati, bukan sekadar instruksi.  Daftar Isi tutup 1. Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia Rasakan 1.1. Tiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah 2. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak 3. Penutup  Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia RasakanAllah Ta’ala berfirman,{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)Ayat ini menjadi dalil kuat atas pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, utusan Allah. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat besar kepada umat ini dengan mengutus seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlaknya. Mereka pun bisa duduk bersama beliau, mendengar langsung perkataannya, karena beliau bukanlah sosok asing bagi mereka.Firman Allah {عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} menunjukkan bahwa Nabi sangat merasakan beratnya beban yang menimpa umatnya. Kata “العَنَت” berarti kesulitan dan kesusahan. Maka, segala bentuk kesulitan yang dialami umat ini menjadi beban berat bagi beliau. Hal ini karena beliau diutus membawa agama yang lurus dan mudah, yaitu hanifiyyah samhah.Dalam satu peristiwa, ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat,{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Āli ‘Imrān: 97)Salah seorang sahabat, Al-Aqra’ bin Habis, bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Namun beliau diam. Diamnya ini adalah bentuk kasih sayang terhadap umat, sebab beliau bersabda: “Seandainya aku katakan ‘iya’, niscaya akan menjadi wajib setiap tahun.” Dan ini akan membawa kesulitan besar bagi umat. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.Baca juga: Kenapa Haji Hanya Wajib Sekali Seumur Hidup?Kembali pada firman Allah,{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ}yakni Rasulullah sangat ingin menyelamatkan umat ini dari kesesatan dan neraka.{بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}Artinya, kasih sayang dan kelembutan beliau dikhususkan untuk kaum beriman. Meski demikian, usaha beliau dalam menyampaikan hidayah meliputi seluruh manusia. Siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang dikehendaki untuk tetap dalam kesesatan, maka ia akan tetap sesat.Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan keislaman pamannya, Abu Thalib. Namun karena kehendak Allah lain, Abu Thalib tetap mati dalam kekafiran. Firman Allah:{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qassas: 56)Baca juga: Kisah Meninggalnya Abu ThalibTiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwahFirman Allah:{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…”Sifat 1: Dekat dan Akrab– Ini sesuai. Frasa “من أنفسكم” menunjukkan bahwa Nabi berasal dari golongan mereka sendiri—bukan asing. Ini menegaskan kedekatan personal, sosial, dan emosional antara Nabi dan umatnya.{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}“Berat terasa olehnya penderitaanmu…”Sifat 2: Peduli dan Peka– Sangat sesuai. “ʿAzīz ʿalayhi mā ʿanittum” bermakna: beliau merasa berat dan susah jika umatnya mengalami kesulitan. Ini adalah puncak empati dan kepedulian.{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}“(Ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”Sifat 3: Sayang Tanpa Syarat– Bagian ini justru paling tegas menekankan kasih sayang Nabi ﷺ, khususnya kepada orang beriman. Kata “حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ” menunjukkan keinginan kuat beliau untuk keselamatan umat, dan “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ” adalah sifat sayang yang sangat dalam dan konsisten. Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak1. Dekat dan Akrab{جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}Penerapan pada orang tua:Orang tua sebaiknya bukan hanya “mengatur dari atas”, tapi hadir dalam kehidupan anak, menjadi figur yang akrab, bisa diajak bicara, dan dipercaya.Anak merasa: “Ayah dan Bunda itu bagian dari aku, bukan sekadar penjaga aturan.”2. Peduli dan Peka{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}Penerapan pada orang tua:Anak butuh orang tua yang bisa merasakan kesulitannya, bukan hanya menyuruh atau menuntut. Orang tua yang peka tahu kapan anak sedang lelah, kecewa, atau stres—dan tidak asal marah saat anak “bermasalah”.Anak merasa: “Orang tuaku paham perasaanku.”3. Sayang Tanpa Syarat{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}Penerapan pada orang tua:Cinta orang tua jangan bersyarat nilai bagus atau perilaku sempurna. Seperti Nabi ﷺ, kasih sayang tetap mengalir meski umatnya belum ideal. Orang tua pun harus mencintai anaknya meski sedang gagal, salah, atau sedang jatuh.Anak merasa: “Aku dicintai bukan karena aku sempurna.” PenutupSungguh, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang pribadi Rasulullah ﷺ, tapi juga teladan abadi bagi siapa pun yang ingin berdakwah, mendidik, atau memimpin. Jika beliau saja begitu peduli dan penyayang, bagaimana mungkin kita meneladani beliau dengan cara yang kasar dan memaksa? Maka, mari kita mulai dari diri sendiri—belajar berdakwah seperti Nabi: dengan kedekatan, empati, dan kasih sayang. Semoga Allah menolong kita untuk meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan, agar kita benar-benar layak disebut sebagai umatnya. Referensi:Al-Fawzān, ʿA. ibn Ṣ. (n.d.). Ḥuṣūl al-maʾmūl bi-sharḥ Thalāthat al-Uṣūl (Cet. sesuai dengan edisi cetak). Maktabat al-Rusyd. ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak nabi dalam berdakwah berdakwah seperti nabi cara dakwah cara dakwah nabi muhammad cinta rasulullah kepada umatnya dakwah dengan empati dakwah nabi penuh cinta hikmah dakwah nabi kasih sayang nabi dalam alquran nabi muhammad rasul dari kaumnya nabi yang penyayang pendidikan anak qs at-taubah ayat 128 sifat nabi dalam alquran sifat nabi kepada umatnya tafsir at-taubah 128 teladan nabi untuk pendidik tsalatsatul ushul

Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda Taubat

Setiap orang pasti pernah jatuh dalam dosa. Tapi yang membedakan bukan siapa yang paling sedikit berdosa, melainkan siapa yang paling cepat kembali kepada Allah.Taubat adalah pintu harapan yang selalu terbuka, tapi tak selamanya kita punya kesempatan untuk masuk.Sayangnya, banyak orang menundanya, menyepelekannya, bahkan mengira dirinya sudah bertaubat padahal belum.Tulisan ini akan membahas secara lengkap: apa itu taubat, apa syarat sahnya, apa bahayanya jika ditunda, dan apa tanda-tanda taubat kita benar-benar diterima.Karena kembali kepada Allah bukan sekadar niat, tapi perjuangan yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul Qayyim 2. Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan Mati 3. Dosa yang Menjadi Jalan ke Surga 4. Tanda-Tanda Taubat yang Diterima 5. Penutup Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul QayyimIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang tulus (taubat nasuha) mengandung tiga unsur penting:Pertama, mencakup seluruh dosa, besar maupun kecil, tersembunyi maupun terang-terangan. Artinya, seseorang tidak boleh menyisakan satu dosa pun yang tidak ia sesali atau ia biarkan tanpa taubat.Kedua, tekad yang bulat dan kejujuran penuh dalam bertaubat. Tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, menunda-nunda, atau setengah hati. Ia segera mengambil keputusan dengan sepenuh kehendak dan kemauan untuk meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah.Ketiga, memurnikan taubat dari segala niat yang keliru. Taubat yang benar semata-mata karena takut kepada Allah, mengharap pahala-Nya, dan takut akan azab-Nya—bukan karena ingin menjaga reputasi, kedudukan, atau kekuasaan; bukan pula demi mendapatkan pujian manusia, menghindari celaan mereka, atau karena sudah tak mampu bermaksiat lagi akibat usia atau keadaan ekonomi. Semua niat duniawi seperti ini merusak kemurnian taubat.Ringkasnya, unsur pertama berkaitan dengan dosa-dosa yang ditinggalkan, yang ketiga berkaitan dengan siapa yang dituju dalam taubat—yaitu Allah, dan yang kedua berada di tengah: berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.Taubat seperti inilah yang benar-benar jujur, ikhlas, dan menyeluruh. Ia mengandung istighfar, menghapus seluruh dosa, dan menjadi bentuk taubat yang paling sempurna.Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan MatiSalah satu penghalang terbesar dalam bertaubat adalah menunda-nunda. Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa esok masih ada untuknya? Menunda taubat ibarat bermain di ujung jurang.Orang yang tidak segera bertaubat terancam oleh dua bahaya besar:Hatinya menghitam karena terus menerus dilumuri dosa. Kegelapan itu akan semakin tebal hingga menjadi kerak dosa yang sulit dibersihkan.Sakit bisa datang tiba-tiba, membuatnya tidak lagi mampu memperbaiki diri. Ia pun menghadap Allah dalam keadaan hati yang tidak selamat. Padahal, yang akan selamat hanyalah mereka yang menghadap Allah dengan qalbun salīm—hati yang bersih.Ulama pernah membuat perumpamaan yang menyentuh:Orang yang suka menunda taubat itu seperti orang yang ingin mencabut pohon. Ia tahu pohon itu sudah kokoh dan sulit dicabut. Tapi ia berkata, “Aku tunda saja, tahun depan baru aku cabut.”Padahal ia tahu: semakin lama pohon itu tumbuh, akarnya makin kuat, dan tubuhnya makin besar. Sementara dirinya—seiring waktu—justru makin lemah. Bukankah itu bentuk kebodohan terbesar?Dosa yang Menjadi Jalan ke SurgaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia bukakan jalan taubat, penyesalan, kehinaan diri, rasa butuh kepada Allah, dan terus-menerus berdoa dan mendekat kepada-Nya. Bahkan, terkadang dosa yang ia lakukan menjadi sebab turunnya rahmat Allah.Setan pun menyesal dan berkata, “Seandainya aku biarkan dia, tak kutjerumuskan dalam dosa itu!”Ibnul Qayyim juga mengutip ucapan salaf:“Ada orang yang masuk surga karena dosanya, dan ada yang masuk neraka karena amal baiknya.” Bagaimana bisa?Karena seseorang bisa saja berdosa, lalu terus mengingatnya, menangis, menyesal, takut kepada Allah, dan menjadi rendah hati. Rasa takut dan hina itu menjadi sebab ia makin dekat kepada Allah—bahkan lebih bermanfaat daripada amal-amal yang banyak.Sebaliknya, ada orang yang beramal baik, tapi ia sombong, merasa paling hebat, membanggakan dirinya, dan ujub atas amalnya. Ini justru bisa menjadi sebab kehancurannya.Jika Allah menghendaki kebaikan, Dia akan mengujinya agar rasa sombong itu patah. Namun jika tidak, Allah biarkan ia terjerumus dalam ujub dan kesombongan. Itulah bentuk kehinaan yang nyata.Karena para ulama yang arif sepakat, أَنَّ التَّوْفِيقَ أَنْ لَا يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ، وَالْخِذْلَانَ أَنْ يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ.Taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan dirimu pada dirimu sendiri.Kehinaan adalah ketika Allah membiarkanmu mengandalkan dirimu sendiri. Tanda-Tanda Taubat yang DiterimaIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang benar dan diterima memiliki beberapa tanda penting. Apa saja?1. Kehidupannya setelah taubat lebih baik dari sebelumnya.Ia semakin dekat dengan Allah, makin rajin ibadah, dan jauh dari maksiat.2. Rasa takut kepada Allah selalu menyertainya.Ia tidak pernah merasa aman dari azab Allah, bahkan sekejap mata pun tidak.Rasa takut itu hanya hilang ketika ruhnya dicabut, dan malaikat berkata:أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ“Jangan takut, jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan.” (QS. Fuṣṣilat: 30)3. Hatinya remuk karena penyesalan.Semakin besar dosa, semakin besar pula penyesalannya.Inilah makna ayat:إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ— “hingga hati mereka hancur berkeping-keping” (QS. At-Taubah: 110), kata Ibn ‘Uyainah, maksudnya: hancur karena taubat.Kalau hati tak hancur karena dosa saat di dunia, pasti akan hancur di akhirat ketika melihat pahala orang-orang taat dan siksa bagi para pendosa.4. Ia merasakan kehancuran hati yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar bertaubat.Rasa ini tak bisa muncul karena lapar, olahraga, atau sekadar cinta.Itu adalah kehancuran total: hati yang rebah di hadapan Allah, seperti budak yang tertangkap setelah melarikan diri.Ia sadar: hidup dan keselamatannya hanya ada dalam ridha Tuhannya, yang mengetahui seluruh dosanya. Ia lemah, Allah Maha Kuat. Ia hina, Allah Maha Mulia.Dari sini lahir rasa hancur dan tunduk yang paling dalam—dan inilah yang paling dicintai oleh Allah.Lalu ia pun berkata dengan penuh ketulusan:“Ya Allah, demi kemuliaan-Mu dan kehinaanku, kasihanilah aku. Demi kekuatan-Mu dan kelemahanku, demi kekayaan-Mu dan kefakiranku…Tak ada tempat lari dari-Mu kecuali hanya kembali kepada-Mu…Inilah ubun-ubunku yang berdosa di hadapan-Mu… Aku hanyalah hamba-Mu yang tak punya siapa-siapa selain Engkau…” PenutupInilah tanda-tanda taubat yang benar.Jika kita belum merasakan itu semua dalam hati kita, jangan-jangan taubat kita masih belum sungguh-sungguh.Betapa berat taubat yang sejati dalam kenyataan, dan betapa mudah diucapkan oleh lisan.Taubat sejati bukan sekadar kata, tapi luka hati yang membawa kita pulang kepada Allah. Referensi: Tulisan “Rahasia Taubat” di Islamweb – Disusun pada 16 Dzulhijjah 1446 H (12 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya menunda taubat cara bertaubat yang benar cara taubat istighfar dan taubat keutamaan taubat makna taubat dalam Islam syarat taubat syarat taubat yang sah tanda taubat diterima taubat taubat dalam Al-Qur’an dan hadits taubat dan ampunan Allah taubat dari dosa besar taubat menurut ulama taubat nasuha taubat yang diterima Allah

Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda Taubat

Setiap orang pasti pernah jatuh dalam dosa. Tapi yang membedakan bukan siapa yang paling sedikit berdosa, melainkan siapa yang paling cepat kembali kepada Allah.Taubat adalah pintu harapan yang selalu terbuka, tapi tak selamanya kita punya kesempatan untuk masuk.Sayangnya, banyak orang menundanya, menyepelekannya, bahkan mengira dirinya sudah bertaubat padahal belum.Tulisan ini akan membahas secara lengkap: apa itu taubat, apa syarat sahnya, apa bahayanya jika ditunda, dan apa tanda-tanda taubat kita benar-benar diterima.Karena kembali kepada Allah bukan sekadar niat, tapi perjuangan yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul Qayyim 2. Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan Mati 3. Dosa yang Menjadi Jalan ke Surga 4. Tanda-Tanda Taubat yang Diterima 5. Penutup Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul QayyimIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang tulus (taubat nasuha) mengandung tiga unsur penting:Pertama, mencakup seluruh dosa, besar maupun kecil, tersembunyi maupun terang-terangan. Artinya, seseorang tidak boleh menyisakan satu dosa pun yang tidak ia sesali atau ia biarkan tanpa taubat.Kedua, tekad yang bulat dan kejujuran penuh dalam bertaubat. Tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, menunda-nunda, atau setengah hati. Ia segera mengambil keputusan dengan sepenuh kehendak dan kemauan untuk meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah.Ketiga, memurnikan taubat dari segala niat yang keliru. Taubat yang benar semata-mata karena takut kepada Allah, mengharap pahala-Nya, dan takut akan azab-Nya—bukan karena ingin menjaga reputasi, kedudukan, atau kekuasaan; bukan pula demi mendapatkan pujian manusia, menghindari celaan mereka, atau karena sudah tak mampu bermaksiat lagi akibat usia atau keadaan ekonomi. Semua niat duniawi seperti ini merusak kemurnian taubat.Ringkasnya, unsur pertama berkaitan dengan dosa-dosa yang ditinggalkan, yang ketiga berkaitan dengan siapa yang dituju dalam taubat—yaitu Allah, dan yang kedua berada di tengah: berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.Taubat seperti inilah yang benar-benar jujur, ikhlas, dan menyeluruh. Ia mengandung istighfar, menghapus seluruh dosa, dan menjadi bentuk taubat yang paling sempurna.Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan MatiSalah satu penghalang terbesar dalam bertaubat adalah menunda-nunda. Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa esok masih ada untuknya? Menunda taubat ibarat bermain di ujung jurang.Orang yang tidak segera bertaubat terancam oleh dua bahaya besar:Hatinya menghitam karena terus menerus dilumuri dosa. Kegelapan itu akan semakin tebal hingga menjadi kerak dosa yang sulit dibersihkan.Sakit bisa datang tiba-tiba, membuatnya tidak lagi mampu memperbaiki diri. Ia pun menghadap Allah dalam keadaan hati yang tidak selamat. Padahal, yang akan selamat hanyalah mereka yang menghadap Allah dengan qalbun salīm—hati yang bersih.Ulama pernah membuat perumpamaan yang menyentuh:Orang yang suka menunda taubat itu seperti orang yang ingin mencabut pohon. Ia tahu pohon itu sudah kokoh dan sulit dicabut. Tapi ia berkata, “Aku tunda saja, tahun depan baru aku cabut.”Padahal ia tahu: semakin lama pohon itu tumbuh, akarnya makin kuat, dan tubuhnya makin besar. Sementara dirinya—seiring waktu—justru makin lemah. Bukankah itu bentuk kebodohan terbesar?Dosa yang Menjadi Jalan ke SurgaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia bukakan jalan taubat, penyesalan, kehinaan diri, rasa butuh kepada Allah, dan terus-menerus berdoa dan mendekat kepada-Nya. Bahkan, terkadang dosa yang ia lakukan menjadi sebab turunnya rahmat Allah.Setan pun menyesal dan berkata, “Seandainya aku biarkan dia, tak kutjerumuskan dalam dosa itu!”Ibnul Qayyim juga mengutip ucapan salaf:“Ada orang yang masuk surga karena dosanya, dan ada yang masuk neraka karena amal baiknya.” Bagaimana bisa?Karena seseorang bisa saja berdosa, lalu terus mengingatnya, menangis, menyesal, takut kepada Allah, dan menjadi rendah hati. Rasa takut dan hina itu menjadi sebab ia makin dekat kepada Allah—bahkan lebih bermanfaat daripada amal-amal yang banyak.Sebaliknya, ada orang yang beramal baik, tapi ia sombong, merasa paling hebat, membanggakan dirinya, dan ujub atas amalnya. Ini justru bisa menjadi sebab kehancurannya.Jika Allah menghendaki kebaikan, Dia akan mengujinya agar rasa sombong itu patah. Namun jika tidak, Allah biarkan ia terjerumus dalam ujub dan kesombongan. Itulah bentuk kehinaan yang nyata.Karena para ulama yang arif sepakat, أَنَّ التَّوْفِيقَ أَنْ لَا يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ، وَالْخِذْلَانَ أَنْ يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ.Taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan dirimu pada dirimu sendiri.Kehinaan adalah ketika Allah membiarkanmu mengandalkan dirimu sendiri. Tanda-Tanda Taubat yang DiterimaIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang benar dan diterima memiliki beberapa tanda penting. Apa saja?1. Kehidupannya setelah taubat lebih baik dari sebelumnya.Ia semakin dekat dengan Allah, makin rajin ibadah, dan jauh dari maksiat.2. Rasa takut kepada Allah selalu menyertainya.Ia tidak pernah merasa aman dari azab Allah, bahkan sekejap mata pun tidak.Rasa takut itu hanya hilang ketika ruhnya dicabut, dan malaikat berkata:أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ“Jangan takut, jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan.” (QS. Fuṣṣilat: 30)3. Hatinya remuk karena penyesalan.Semakin besar dosa, semakin besar pula penyesalannya.Inilah makna ayat:إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ— “hingga hati mereka hancur berkeping-keping” (QS. At-Taubah: 110), kata Ibn ‘Uyainah, maksudnya: hancur karena taubat.Kalau hati tak hancur karena dosa saat di dunia, pasti akan hancur di akhirat ketika melihat pahala orang-orang taat dan siksa bagi para pendosa.4. Ia merasakan kehancuran hati yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar bertaubat.Rasa ini tak bisa muncul karena lapar, olahraga, atau sekadar cinta.Itu adalah kehancuran total: hati yang rebah di hadapan Allah, seperti budak yang tertangkap setelah melarikan diri.Ia sadar: hidup dan keselamatannya hanya ada dalam ridha Tuhannya, yang mengetahui seluruh dosanya. Ia lemah, Allah Maha Kuat. Ia hina, Allah Maha Mulia.Dari sini lahir rasa hancur dan tunduk yang paling dalam—dan inilah yang paling dicintai oleh Allah.Lalu ia pun berkata dengan penuh ketulusan:“Ya Allah, demi kemuliaan-Mu dan kehinaanku, kasihanilah aku. Demi kekuatan-Mu dan kelemahanku, demi kekayaan-Mu dan kefakiranku…Tak ada tempat lari dari-Mu kecuali hanya kembali kepada-Mu…Inilah ubun-ubunku yang berdosa di hadapan-Mu… Aku hanyalah hamba-Mu yang tak punya siapa-siapa selain Engkau…” PenutupInilah tanda-tanda taubat yang benar.Jika kita belum merasakan itu semua dalam hati kita, jangan-jangan taubat kita masih belum sungguh-sungguh.Betapa berat taubat yang sejati dalam kenyataan, dan betapa mudah diucapkan oleh lisan.Taubat sejati bukan sekadar kata, tapi luka hati yang membawa kita pulang kepada Allah. Referensi: Tulisan “Rahasia Taubat” di Islamweb – Disusun pada 16 Dzulhijjah 1446 H (12 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya menunda taubat cara bertaubat yang benar cara taubat istighfar dan taubat keutamaan taubat makna taubat dalam Islam syarat taubat syarat taubat yang sah tanda taubat diterima taubat taubat dalam Al-Qur’an dan hadits taubat dan ampunan Allah taubat dari dosa besar taubat menurut ulama taubat nasuha taubat yang diterima Allah
Setiap orang pasti pernah jatuh dalam dosa. Tapi yang membedakan bukan siapa yang paling sedikit berdosa, melainkan siapa yang paling cepat kembali kepada Allah.Taubat adalah pintu harapan yang selalu terbuka, tapi tak selamanya kita punya kesempatan untuk masuk.Sayangnya, banyak orang menundanya, menyepelekannya, bahkan mengira dirinya sudah bertaubat padahal belum.Tulisan ini akan membahas secara lengkap: apa itu taubat, apa syarat sahnya, apa bahayanya jika ditunda, dan apa tanda-tanda taubat kita benar-benar diterima.Karena kembali kepada Allah bukan sekadar niat, tapi perjuangan yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul Qayyim 2. Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan Mati 3. Dosa yang Menjadi Jalan ke Surga 4. Tanda-Tanda Taubat yang Diterima 5. Penutup Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul QayyimIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang tulus (taubat nasuha) mengandung tiga unsur penting:Pertama, mencakup seluruh dosa, besar maupun kecil, tersembunyi maupun terang-terangan. Artinya, seseorang tidak boleh menyisakan satu dosa pun yang tidak ia sesali atau ia biarkan tanpa taubat.Kedua, tekad yang bulat dan kejujuran penuh dalam bertaubat. Tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, menunda-nunda, atau setengah hati. Ia segera mengambil keputusan dengan sepenuh kehendak dan kemauan untuk meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah.Ketiga, memurnikan taubat dari segala niat yang keliru. Taubat yang benar semata-mata karena takut kepada Allah, mengharap pahala-Nya, dan takut akan azab-Nya—bukan karena ingin menjaga reputasi, kedudukan, atau kekuasaan; bukan pula demi mendapatkan pujian manusia, menghindari celaan mereka, atau karena sudah tak mampu bermaksiat lagi akibat usia atau keadaan ekonomi. Semua niat duniawi seperti ini merusak kemurnian taubat.Ringkasnya, unsur pertama berkaitan dengan dosa-dosa yang ditinggalkan, yang ketiga berkaitan dengan siapa yang dituju dalam taubat—yaitu Allah, dan yang kedua berada di tengah: berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.Taubat seperti inilah yang benar-benar jujur, ikhlas, dan menyeluruh. Ia mengandung istighfar, menghapus seluruh dosa, dan menjadi bentuk taubat yang paling sempurna.Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan MatiSalah satu penghalang terbesar dalam bertaubat adalah menunda-nunda. Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa esok masih ada untuknya? Menunda taubat ibarat bermain di ujung jurang.Orang yang tidak segera bertaubat terancam oleh dua bahaya besar:Hatinya menghitam karena terus menerus dilumuri dosa. Kegelapan itu akan semakin tebal hingga menjadi kerak dosa yang sulit dibersihkan.Sakit bisa datang tiba-tiba, membuatnya tidak lagi mampu memperbaiki diri. Ia pun menghadap Allah dalam keadaan hati yang tidak selamat. Padahal, yang akan selamat hanyalah mereka yang menghadap Allah dengan qalbun salīm—hati yang bersih.Ulama pernah membuat perumpamaan yang menyentuh:Orang yang suka menunda taubat itu seperti orang yang ingin mencabut pohon. Ia tahu pohon itu sudah kokoh dan sulit dicabut. Tapi ia berkata, “Aku tunda saja, tahun depan baru aku cabut.”Padahal ia tahu: semakin lama pohon itu tumbuh, akarnya makin kuat, dan tubuhnya makin besar. Sementara dirinya—seiring waktu—justru makin lemah. Bukankah itu bentuk kebodohan terbesar?Dosa yang Menjadi Jalan ke SurgaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia bukakan jalan taubat, penyesalan, kehinaan diri, rasa butuh kepada Allah, dan terus-menerus berdoa dan mendekat kepada-Nya. Bahkan, terkadang dosa yang ia lakukan menjadi sebab turunnya rahmat Allah.Setan pun menyesal dan berkata, “Seandainya aku biarkan dia, tak kutjerumuskan dalam dosa itu!”Ibnul Qayyim juga mengutip ucapan salaf:“Ada orang yang masuk surga karena dosanya, dan ada yang masuk neraka karena amal baiknya.” Bagaimana bisa?Karena seseorang bisa saja berdosa, lalu terus mengingatnya, menangis, menyesal, takut kepada Allah, dan menjadi rendah hati. Rasa takut dan hina itu menjadi sebab ia makin dekat kepada Allah—bahkan lebih bermanfaat daripada amal-amal yang banyak.Sebaliknya, ada orang yang beramal baik, tapi ia sombong, merasa paling hebat, membanggakan dirinya, dan ujub atas amalnya. Ini justru bisa menjadi sebab kehancurannya.Jika Allah menghendaki kebaikan, Dia akan mengujinya agar rasa sombong itu patah. Namun jika tidak, Allah biarkan ia terjerumus dalam ujub dan kesombongan. Itulah bentuk kehinaan yang nyata.Karena para ulama yang arif sepakat, أَنَّ التَّوْفِيقَ أَنْ لَا يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ، وَالْخِذْلَانَ أَنْ يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ.Taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan dirimu pada dirimu sendiri.Kehinaan adalah ketika Allah membiarkanmu mengandalkan dirimu sendiri. Tanda-Tanda Taubat yang DiterimaIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang benar dan diterima memiliki beberapa tanda penting. Apa saja?1. Kehidupannya setelah taubat lebih baik dari sebelumnya.Ia semakin dekat dengan Allah, makin rajin ibadah, dan jauh dari maksiat.2. Rasa takut kepada Allah selalu menyertainya.Ia tidak pernah merasa aman dari azab Allah, bahkan sekejap mata pun tidak.Rasa takut itu hanya hilang ketika ruhnya dicabut, dan malaikat berkata:أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ“Jangan takut, jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan.” (QS. Fuṣṣilat: 30)3. Hatinya remuk karena penyesalan.Semakin besar dosa, semakin besar pula penyesalannya.Inilah makna ayat:إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ— “hingga hati mereka hancur berkeping-keping” (QS. At-Taubah: 110), kata Ibn ‘Uyainah, maksudnya: hancur karena taubat.Kalau hati tak hancur karena dosa saat di dunia, pasti akan hancur di akhirat ketika melihat pahala orang-orang taat dan siksa bagi para pendosa.4. Ia merasakan kehancuran hati yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar bertaubat.Rasa ini tak bisa muncul karena lapar, olahraga, atau sekadar cinta.Itu adalah kehancuran total: hati yang rebah di hadapan Allah, seperti budak yang tertangkap setelah melarikan diri.Ia sadar: hidup dan keselamatannya hanya ada dalam ridha Tuhannya, yang mengetahui seluruh dosanya. Ia lemah, Allah Maha Kuat. Ia hina, Allah Maha Mulia.Dari sini lahir rasa hancur dan tunduk yang paling dalam—dan inilah yang paling dicintai oleh Allah.Lalu ia pun berkata dengan penuh ketulusan:“Ya Allah, demi kemuliaan-Mu dan kehinaanku, kasihanilah aku. Demi kekuatan-Mu dan kelemahanku, demi kekayaan-Mu dan kefakiranku…Tak ada tempat lari dari-Mu kecuali hanya kembali kepada-Mu…Inilah ubun-ubunku yang berdosa di hadapan-Mu… Aku hanyalah hamba-Mu yang tak punya siapa-siapa selain Engkau…” PenutupInilah tanda-tanda taubat yang benar.Jika kita belum merasakan itu semua dalam hati kita, jangan-jangan taubat kita masih belum sungguh-sungguh.Betapa berat taubat yang sejati dalam kenyataan, dan betapa mudah diucapkan oleh lisan.Taubat sejati bukan sekadar kata, tapi luka hati yang membawa kita pulang kepada Allah. Referensi: Tulisan “Rahasia Taubat” di Islamweb – Disusun pada 16 Dzulhijjah 1446 H (12 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya menunda taubat cara bertaubat yang benar cara taubat istighfar dan taubat keutamaan taubat makna taubat dalam Islam syarat taubat syarat taubat yang sah tanda taubat diterima taubat taubat dalam Al-Qur’an dan hadits taubat dan ampunan Allah taubat dari dosa besar taubat menurut ulama taubat nasuha taubat yang diterima Allah


Setiap orang pasti pernah jatuh dalam dosa. Tapi yang membedakan bukan siapa yang paling sedikit berdosa, melainkan siapa yang paling cepat kembali kepada Allah.Taubat adalah pintu harapan yang selalu terbuka, tapi tak selamanya kita punya kesempatan untuk masuk.Sayangnya, banyak orang menundanya, menyepelekannya, bahkan mengira dirinya sudah bertaubat padahal belum.Tulisan ini akan membahas secara lengkap: apa itu taubat, apa syarat sahnya, apa bahayanya jika ditunda, dan apa tanda-tanda taubat kita benar-benar diterima.Karena kembali kepada Allah bukan sekadar niat, tapi perjuangan yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul Qayyim 2. Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan Mati 3. Dosa yang Menjadi Jalan ke Surga 4. Tanda-Tanda Taubat yang Diterima 5. Penutup Makna Taubat Nasuha menurut Ibnul QayyimIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang tulus (taubat nasuha) mengandung tiga unsur penting:Pertama, mencakup seluruh dosa, besar maupun kecil, tersembunyi maupun terang-terangan. Artinya, seseorang tidak boleh menyisakan satu dosa pun yang tidak ia sesali atau ia biarkan tanpa taubat.Kedua, tekad yang bulat dan kejujuran penuh dalam bertaubat. Tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, menunda-nunda, atau setengah hati. Ia segera mengambil keputusan dengan sepenuh kehendak dan kemauan untuk meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah.Ketiga, memurnikan taubat dari segala niat yang keliru. Taubat yang benar semata-mata karena takut kepada Allah, mengharap pahala-Nya, dan takut akan azab-Nya—bukan karena ingin menjaga reputasi, kedudukan, atau kekuasaan; bukan pula demi mendapatkan pujian manusia, menghindari celaan mereka, atau karena sudah tak mampu bermaksiat lagi akibat usia atau keadaan ekonomi. Semua niat duniawi seperti ini merusak kemurnian taubat.Ringkasnya, unsur pertama berkaitan dengan dosa-dosa yang ditinggalkan, yang ketiga berkaitan dengan siapa yang dituju dalam taubat—yaitu Allah, dan yang kedua berada di tengah: berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.Taubat seperti inilah yang benar-benar jujur, ikhlas, dan menyeluruh. Ia mengandung istighfar, menghapus seluruh dosa, dan menjadi bentuk taubat yang paling sempurna.Bahaya Menunda Taubat: Antara Kegelapan Hati dan Ketidaksiapan MatiSalah satu penghalang terbesar dalam bertaubat adalah menunda-nunda. Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa esok masih ada untuknya? Menunda taubat ibarat bermain di ujung jurang.Orang yang tidak segera bertaubat terancam oleh dua bahaya besar:Hatinya menghitam karena terus menerus dilumuri dosa. Kegelapan itu akan semakin tebal hingga menjadi kerak dosa yang sulit dibersihkan.Sakit bisa datang tiba-tiba, membuatnya tidak lagi mampu memperbaiki diri. Ia pun menghadap Allah dalam keadaan hati yang tidak selamat. Padahal, yang akan selamat hanyalah mereka yang menghadap Allah dengan qalbun salīm—hati yang bersih.Ulama pernah membuat perumpamaan yang menyentuh:Orang yang suka menunda taubat itu seperti orang yang ingin mencabut pohon. Ia tahu pohon itu sudah kokoh dan sulit dicabut. Tapi ia berkata, “Aku tunda saja, tahun depan baru aku cabut.”Padahal ia tahu: semakin lama pohon itu tumbuh, akarnya makin kuat, dan tubuhnya makin besar. Sementara dirinya—seiring waktu—justru makin lemah. Bukankah itu bentuk kebodohan terbesar?Dosa yang Menjadi Jalan ke SurgaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia bukakan jalan taubat, penyesalan, kehinaan diri, rasa butuh kepada Allah, dan terus-menerus berdoa dan mendekat kepada-Nya. Bahkan, terkadang dosa yang ia lakukan menjadi sebab turunnya rahmat Allah.Setan pun menyesal dan berkata, “Seandainya aku biarkan dia, tak kutjerumuskan dalam dosa itu!”Ibnul Qayyim juga mengutip ucapan salaf:“Ada orang yang masuk surga karena dosanya, dan ada yang masuk neraka karena amal baiknya.” Bagaimana bisa?Karena seseorang bisa saja berdosa, lalu terus mengingatnya, menangis, menyesal, takut kepada Allah, dan menjadi rendah hati. Rasa takut dan hina itu menjadi sebab ia makin dekat kepada Allah—bahkan lebih bermanfaat daripada amal-amal yang banyak.Sebaliknya, ada orang yang beramal baik, tapi ia sombong, merasa paling hebat, membanggakan dirinya, dan ujub atas amalnya. Ini justru bisa menjadi sebab kehancurannya.Jika Allah menghendaki kebaikan, Dia akan mengujinya agar rasa sombong itu patah. Namun jika tidak, Allah biarkan ia terjerumus dalam ujub dan kesombongan. Itulah bentuk kehinaan yang nyata.Karena para ulama yang arif sepakat, أَنَّ التَّوْفِيقَ أَنْ لَا يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ، وَالْخِذْلَانَ أَنْ يَكِلَكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَفْسِكَ.Taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan dirimu pada dirimu sendiri.Kehinaan adalah ketika Allah membiarkanmu mengandalkan dirimu sendiri. Tanda-Tanda Taubat yang DiterimaIbnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa taubat yang benar dan diterima memiliki beberapa tanda penting. Apa saja?1. Kehidupannya setelah taubat lebih baik dari sebelumnya.Ia semakin dekat dengan Allah, makin rajin ibadah, dan jauh dari maksiat.2. Rasa takut kepada Allah selalu menyertainya.Ia tidak pernah merasa aman dari azab Allah, bahkan sekejap mata pun tidak.Rasa takut itu hanya hilang ketika ruhnya dicabut, dan malaikat berkata:أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ“Jangan takut, jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan.” (QS. Fuṣṣilat: 30)3. Hatinya remuk karena penyesalan.Semakin besar dosa, semakin besar pula penyesalannya.Inilah makna ayat:إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ— “hingga hati mereka hancur berkeping-keping” (QS. At-Taubah: 110), kata Ibn ‘Uyainah, maksudnya: hancur karena taubat.Kalau hati tak hancur karena dosa saat di dunia, pasti akan hancur di akhirat ketika melihat pahala orang-orang taat dan siksa bagi para pendosa.4. Ia merasakan kehancuran hati yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar bertaubat.Rasa ini tak bisa muncul karena lapar, olahraga, atau sekadar cinta.Itu adalah kehancuran total: hati yang rebah di hadapan Allah, seperti budak yang tertangkap setelah melarikan diri.Ia sadar: hidup dan keselamatannya hanya ada dalam ridha Tuhannya, yang mengetahui seluruh dosanya. Ia lemah, Allah Maha Kuat. Ia hina, Allah Maha Mulia.Dari sini lahir rasa hancur dan tunduk yang paling dalam—dan inilah yang paling dicintai oleh Allah.Lalu ia pun berkata dengan penuh ketulusan:“Ya Allah, demi kemuliaan-Mu dan kehinaanku, kasihanilah aku. Demi kekuatan-Mu dan kelemahanku, demi kekayaan-Mu dan kefakiranku…Tak ada tempat lari dari-Mu kecuali hanya kembali kepada-Mu…Inilah ubun-ubunku yang berdosa di hadapan-Mu… Aku hanyalah hamba-Mu yang tak punya siapa-siapa selain Engkau…” PenutupInilah tanda-tanda taubat yang benar.Jika kita belum merasakan itu semua dalam hati kita, jangan-jangan taubat kita masih belum sungguh-sungguh.Betapa berat taubat yang sejati dalam kenyataan, dan betapa mudah diucapkan oleh lisan.Taubat sejati bukan sekadar kata, tapi luka hati yang membawa kita pulang kepada Allah. Referensi: Tulisan “Rahasia Taubat” di Islamweb – Disusun pada 16 Dzulhijjah 1446 H (12 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya menunda taubat cara bertaubat yang benar cara taubat istighfar dan taubat keutamaan taubat makna taubat dalam Islam syarat taubat syarat taubat yang sah tanda taubat diterima taubat taubat dalam Al-Qur’an dan hadits taubat dan ampunan Allah taubat dari dosa besar taubat menurut ulama taubat nasuha taubat yang diterima Allah

Benarkah Sudah Bersyahadat? Ini Makna Syahadat Muhammad Rasulullah yang Sebenarnya

Banyak yang mengucapkan syahadat, tapi belum tentu paham apa makna “Muhammad adalah utusan Allah.” Syahadat ini punya konsekuensi: harus taat, percaya, menjauhi larangan, dan beribadah sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa empat hal ini, syahadat bisa jadi hanya formalitas di lisan. Yuk pahami maknanya agar benar-benar menjadi umat Nabi yang sejati.Makna syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah mengandung empat unsur pokok:Mentaati beliau dalam segala yang diperintahkan.Membenarkan semua yang beliau kabarkan.Menjauhi apa yang beliau larang dan cegah.Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau bawa.Empat hal ini adalah syarat sah dan kesempurnaan syahadat kita kepada beliau. Maka, setiap perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Perintah wajib tidak boleh ditinggalkan, sementara perintah sunnah, meskipun tidak mengikat, tetaplah sangat dianjurkan dan berpahala bila dilakukan.Firman Allah:{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ}“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisā’: 64)Karena ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah. Sebab, apa yang beliau bawa adalah wahyu dari Allah, bukan kehendaknya sendiri. Allah berfirman:{إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ}“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yūsuf: 40)Sayangnya, banyak orang yang mengucapkan syahadat dalam shalat dan saat adzan, tetapi mereka belum mewujudkan makna syahadat itu dalam kehidupan. Padahal Allah berfirman:{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Ḥasyr: 7)Begitu pula dalam hal membenarkan semua kabar yang beliau sampaikan. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan adalah wahyu yang pasti benar. Orang yang mendustakan beliau berarti belum mengakui secara sempurna bahwa beliau adalah utusan Allah.Yang ketiga, menjauhi apa yang beliau larang. Banyak umat Islam yang lalai dalam hal ini. Mereka masih mengerjakan larangan Rasul dalam ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini menunjukkan lemahnya iman. Dalam Islam, perintah disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan larangan tidak ada toleransi—wajib dijauhi.Rasulullah ﷺ bersabda:“ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَما أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ ما اسْتَطَعْتُمْ”“Apa yang aku larang maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Yang keempat, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan. Ini adalah prinsip penting dalam agama. Ibadah tidak boleh dibuat-buat, tidak berdasarkan akal atau hawa nafsu, dan tidak pula berdasarkan tradisi yang tidak punya dalil. Ibadah hanya sah jika sesuai dengan syariat.Prinsip ini menyempurnakan dua pondasi besar dalam agama: ikhlas—tidak menyembah kecuali Allah, dan mutaba’ah—tidak beribadah kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ.Barang siapa beribadah tanpa dalil syar’i, apalagi menganggapnya sebagai amalan wajib atau sunnah, maka ia adalah pelaku bid’ah. Tidak ada istilah “bid’ah hasanah” menurut para imam agama ini. Semua bid’ah adalah sesat.Banyak dalil menekankan pentingnya mengikuti Rasulullah ﷺ dan menjauhi segala bentuk kebaruan dalam agama. Allah berfirman:{الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ…}“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi…” (QS. Al-A’rāf: 157){وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}“Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’rāf: 158){قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي…}“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Āli ‘Imrān: 31){قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا…}“Katakanlah: Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya…” (QS. Al-Kahf: 103–104){فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ…}“Jika mereka tidak menjawab (tantangan)mu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Qaṣaṣ: 50)Dalam hadits dari Al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, Rasulullah ﷺ bersabda:“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru, karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)Jalan keselamatan adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Apa yang beliau lakukan dalam rangka ibadah adalah teladan bagi kita. Sebagaimana firman Allah:{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Aḥzāb: 21)Beliau bersabda:“صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”Dan dalam haji:“خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”“Ambillah dariku tata cara hajimu.”Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله berkata:“Adapun mengikuti Rasul, maka wajib bagi umat beliau untuk mengikutinya dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Semua itu harus ditimbang dengan ajaran beliau. Apa yang sesuai, diterima. Yang menyelisihi, ditolak meskipun pelakunya siapa pun.”Rasulullah ﷺ bersabda:“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى”“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”“Barang siapa taat kepadaku, maka ia masuk surga. Barang siapa mendurhakaiku, maka ia telah enggan.” ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarti syahadat nabi bukti mencintai nabi dakwah Nabi Muhammad ibadah sesuai sunnah jauhi larangan nabi konsekuensi syahadat makna syahadat mengikuti ajaran nabi percaya kepada nabi syahadat dalam islam syahadat muhammad rasulullah syarat syahadat yang benar taat kepada nabi tsalatsatul ushul tuntunan rasulullah dalam ibadah umat nabi yang sejati

Benarkah Sudah Bersyahadat? Ini Makna Syahadat Muhammad Rasulullah yang Sebenarnya

Banyak yang mengucapkan syahadat, tapi belum tentu paham apa makna “Muhammad adalah utusan Allah.” Syahadat ini punya konsekuensi: harus taat, percaya, menjauhi larangan, dan beribadah sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa empat hal ini, syahadat bisa jadi hanya formalitas di lisan. Yuk pahami maknanya agar benar-benar menjadi umat Nabi yang sejati.Makna syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah mengandung empat unsur pokok:Mentaati beliau dalam segala yang diperintahkan.Membenarkan semua yang beliau kabarkan.Menjauhi apa yang beliau larang dan cegah.Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau bawa.Empat hal ini adalah syarat sah dan kesempurnaan syahadat kita kepada beliau. Maka, setiap perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Perintah wajib tidak boleh ditinggalkan, sementara perintah sunnah, meskipun tidak mengikat, tetaplah sangat dianjurkan dan berpahala bila dilakukan.Firman Allah:{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ}“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisā’: 64)Karena ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah. Sebab, apa yang beliau bawa adalah wahyu dari Allah, bukan kehendaknya sendiri. Allah berfirman:{إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ}“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yūsuf: 40)Sayangnya, banyak orang yang mengucapkan syahadat dalam shalat dan saat adzan, tetapi mereka belum mewujudkan makna syahadat itu dalam kehidupan. Padahal Allah berfirman:{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Ḥasyr: 7)Begitu pula dalam hal membenarkan semua kabar yang beliau sampaikan. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan adalah wahyu yang pasti benar. Orang yang mendustakan beliau berarti belum mengakui secara sempurna bahwa beliau adalah utusan Allah.Yang ketiga, menjauhi apa yang beliau larang. Banyak umat Islam yang lalai dalam hal ini. Mereka masih mengerjakan larangan Rasul dalam ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini menunjukkan lemahnya iman. Dalam Islam, perintah disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan larangan tidak ada toleransi—wajib dijauhi.Rasulullah ﷺ bersabda:“ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَما أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ ما اسْتَطَعْتُمْ”“Apa yang aku larang maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Yang keempat, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan. Ini adalah prinsip penting dalam agama. Ibadah tidak boleh dibuat-buat, tidak berdasarkan akal atau hawa nafsu, dan tidak pula berdasarkan tradisi yang tidak punya dalil. Ibadah hanya sah jika sesuai dengan syariat.Prinsip ini menyempurnakan dua pondasi besar dalam agama: ikhlas—tidak menyembah kecuali Allah, dan mutaba’ah—tidak beribadah kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ.Barang siapa beribadah tanpa dalil syar’i, apalagi menganggapnya sebagai amalan wajib atau sunnah, maka ia adalah pelaku bid’ah. Tidak ada istilah “bid’ah hasanah” menurut para imam agama ini. Semua bid’ah adalah sesat.Banyak dalil menekankan pentingnya mengikuti Rasulullah ﷺ dan menjauhi segala bentuk kebaruan dalam agama. Allah berfirman:{الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ…}“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi…” (QS. Al-A’rāf: 157){وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}“Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’rāf: 158){قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي…}“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Āli ‘Imrān: 31){قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا…}“Katakanlah: Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya…” (QS. Al-Kahf: 103–104){فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ…}“Jika mereka tidak menjawab (tantangan)mu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Qaṣaṣ: 50)Dalam hadits dari Al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, Rasulullah ﷺ bersabda:“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru, karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)Jalan keselamatan adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Apa yang beliau lakukan dalam rangka ibadah adalah teladan bagi kita. Sebagaimana firman Allah:{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Aḥzāb: 21)Beliau bersabda:“صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”Dan dalam haji:“خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”“Ambillah dariku tata cara hajimu.”Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله berkata:“Adapun mengikuti Rasul, maka wajib bagi umat beliau untuk mengikutinya dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Semua itu harus ditimbang dengan ajaran beliau. Apa yang sesuai, diterima. Yang menyelisihi, ditolak meskipun pelakunya siapa pun.”Rasulullah ﷺ bersabda:“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى”“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”“Barang siapa taat kepadaku, maka ia masuk surga. Barang siapa mendurhakaiku, maka ia telah enggan.” ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarti syahadat nabi bukti mencintai nabi dakwah Nabi Muhammad ibadah sesuai sunnah jauhi larangan nabi konsekuensi syahadat makna syahadat mengikuti ajaran nabi percaya kepada nabi syahadat dalam islam syahadat muhammad rasulullah syarat syahadat yang benar taat kepada nabi tsalatsatul ushul tuntunan rasulullah dalam ibadah umat nabi yang sejati
Banyak yang mengucapkan syahadat, tapi belum tentu paham apa makna “Muhammad adalah utusan Allah.” Syahadat ini punya konsekuensi: harus taat, percaya, menjauhi larangan, dan beribadah sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa empat hal ini, syahadat bisa jadi hanya formalitas di lisan. Yuk pahami maknanya agar benar-benar menjadi umat Nabi yang sejati.Makna syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah mengandung empat unsur pokok:Mentaati beliau dalam segala yang diperintahkan.Membenarkan semua yang beliau kabarkan.Menjauhi apa yang beliau larang dan cegah.Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau bawa.Empat hal ini adalah syarat sah dan kesempurnaan syahadat kita kepada beliau. Maka, setiap perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Perintah wajib tidak boleh ditinggalkan, sementara perintah sunnah, meskipun tidak mengikat, tetaplah sangat dianjurkan dan berpahala bila dilakukan.Firman Allah:{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ}“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisā’: 64)Karena ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah. Sebab, apa yang beliau bawa adalah wahyu dari Allah, bukan kehendaknya sendiri. Allah berfirman:{إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ}“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yūsuf: 40)Sayangnya, banyak orang yang mengucapkan syahadat dalam shalat dan saat adzan, tetapi mereka belum mewujudkan makna syahadat itu dalam kehidupan. Padahal Allah berfirman:{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Ḥasyr: 7)Begitu pula dalam hal membenarkan semua kabar yang beliau sampaikan. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan adalah wahyu yang pasti benar. Orang yang mendustakan beliau berarti belum mengakui secara sempurna bahwa beliau adalah utusan Allah.Yang ketiga, menjauhi apa yang beliau larang. Banyak umat Islam yang lalai dalam hal ini. Mereka masih mengerjakan larangan Rasul dalam ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini menunjukkan lemahnya iman. Dalam Islam, perintah disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan larangan tidak ada toleransi—wajib dijauhi.Rasulullah ﷺ bersabda:“ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَما أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ ما اسْتَطَعْتُمْ”“Apa yang aku larang maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Yang keempat, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan. Ini adalah prinsip penting dalam agama. Ibadah tidak boleh dibuat-buat, tidak berdasarkan akal atau hawa nafsu, dan tidak pula berdasarkan tradisi yang tidak punya dalil. Ibadah hanya sah jika sesuai dengan syariat.Prinsip ini menyempurnakan dua pondasi besar dalam agama: ikhlas—tidak menyembah kecuali Allah, dan mutaba’ah—tidak beribadah kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ.Barang siapa beribadah tanpa dalil syar’i, apalagi menganggapnya sebagai amalan wajib atau sunnah, maka ia adalah pelaku bid’ah. Tidak ada istilah “bid’ah hasanah” menurut para imam agama ini. Semua bid’ah adalah sesat.Banyak dalil menekankan pentingnya mengikuti Rasulullah ﷺ dan menjauhi segala bentuk kebaruan dalam agama. Allah berfirman:{الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ…}“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi…” (QS. Al-A’rāf: 157){وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}“Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’rāf: 158){قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي…}“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Āli ‘Imrān: 31){قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا…}“Katakanlah: Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya…” (QS. Al-Kahf: 103–104){فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ…}“Jika mereka tidak menjawab (tantangan)mu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Qaṣaṣ: 50)Dalam hadits dari Al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, Rasulullah ﷺ bersabda:“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru, karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)Jalan keselamatan adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Apa yang beliau lakukan dalam rangka ibadah adalah teladan bagi kita. Sebagaimana firman Allah:{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Aḥzāb: 21)Beliau bersabda:“صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”Dan dalam haji:“خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”“Ambillah dariku tata cara hajimu.”Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله berkata:“Adapun mengikuti Rasul, maka wajib bagi umat beliau untuk mengikutinya dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Semua itu harus ditimbang dengan ajaran beliau. Apa yang sesuai, diterima. Yang menyelisihi, ditolak meskipun pelakunya siapa pun.”Rasulullah ﷺ bersabda:“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى”“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”“Barang siapa taat kepadaku, maka ia masuk surga. Barang siapa mendurhakaiku, maka ia telah enggan.” ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarti syahadat nabi bukti mencintai nabi dakwah Nabi Muhammad ibadah sesuai sunnah jauhi larangan nabi konsekuensi syahadat makna syahadat mengikuti ajaran nabi percaya kepada nabi syahadat dalam islam syahadat muhammad rasulullah syarat syahadat yang benar taat kepada nabi tsalatsatul ushul tuntunan rasulullah dalam ibadah umat nabi yang sejati


Banyak yang mengucapkan syahadat, tapi belum tentu paham apa makna “Muhammad adalah utusan Allah.” Syahadat ini punya konsekuensi: harus taat, percaya, menjauhi larangan, dan beribadah sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa empat hal ini, syahadat bisa jadi hanya formalitas di lisan. Yuk pahami maknanya agar benar-benar menjadi umat Nabi yang sejati.Makna syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah mengandung empat unsur pokok:Mentaati beliau dalam segala yang diperintahkan.Membenarkan semua yang beliau kabarkan.Menjauhi apa yang beliau larang dan cegah.Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau bawa.Empat hal ini adalah syarat sah dan kesempurnaan syahadat kita kepada beliau. Maka, setiap perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Perintah wajib tidak boleh ditinggalkan, sementara perintah sunnah, meskipun tidak mengikat, tetaplah sangat dianjurkan dan berpahala bila dilakukan.Firman Allah:{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ}“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. An-Nisā’: 64)Karena ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah. Sebab, apa yang beliau bawa adalah wahyu dari Allah, bukan kehendaknya sendiri. Allah berfirman:{إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ}“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yūsuf: 40)Sayangnya, banyak orang yang mengucapkan syahadat dalam shalat dan saat adzan, tetapi mereka belum mewujudkan makna syahadat itu dalam kehidupan. Padahal Allah berfirman:{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Ḥasyr: 7)Begitu pula dalam hal membenarkan semua kabar yang beliau sampaikan. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan adalah wahyu yang pasti benar. Orang yang mendustakan beliau berarti belum mengakui secara sempurna bahwa beliau adalah utusan Allah.Yang ketiga, menjauhi apa yang beliau larang. Banyak umat Islam yang lalai dalam hal ini. Mereka masih mengerjakan larangan Rasul dalam ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini menunjukkan lemahnya iman. Dalam Islam, perintah disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan larangan tidak ada toleransi—wajib dijauhi.Rasulullah ﷺ bersabda:“ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَما أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ ما اسْتَطَعْتُمْ”“Apa yang aku larang maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Yang keempat, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan. Ini adalah prinsip penting dalam agama. Ibadah tidak boleh dibuat-buat, tidak berdasarkan akal atau hawa nafsu, dan tidak pula berdasarkan tradisi yang tidak punya dalil. Ibadah hanya sah jika sesuai dengan syariat.Prinsip ini menyempurnakan dua pondasi besar dalam agama: ikhlas—tidak menyembah kecuali Allah, dan mutaba’ah—tidak beribadah kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ.Barang siapa beribadah tanpa dalil syar’i, apalagi menganggapnya sebagai amalan wajib atau sunnah, maka ia adalah pelaku bid’ah. Tidak ada istilah “bid’ah hasanah” menurut para imam agama ini. Semua bid’ah adalah sesat.Banyak dalil menekankan pentingnya mengikuti Rasulullah ﷺ dan menjauhi segala bentuk kebaruan dalam agama. Allah berfirman:{الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ…}“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi…” (QS. Al-A’rāf: 157){وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}“Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’rāf: 158){قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي…}“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Āli ‘Imrān: 31){قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا…}“Katakanlah: Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya…” (QS. Al-Kahf: 103–104){فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ…}“Jika mereka tidak menjawab (tantangan)mu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Qaṣaṣ: 50)Dalam hadits dari Al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, Rasulullah ﷺ bersabda:“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru, karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)Jalan keselamatan adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Apa yang beliau lakukan dalam rangka ibadah adalah teladan bagi kita. Sebagaimana firman Allah:{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Aḥzāb: 21)Beliau bersabda:“صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”Dan dalam haji:“خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”“Ambillah dariku tata cara hajimu.”Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله berkata:“Adapun mengikuti Rasul, maka wajib bagi umat beliau untuk mengikutinya dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Semua itu harus ditimbang dengan ajaran beliau. Apa yang sesuai, diterima. Yang menyelisihi, ditolak meskipun pelakunya siapa pun.”Rasulullah ﷺ bersabda:“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى”“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”“Barang siapa taat kepadaku, maka ia masuk surga. Barang siapa mendurhakaiku, maka ia telah enggan.” ________ @ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarti syahadat nabi bukti mencintai nabi dakwah Nabi Muhammad ibadah sesuai sunnah jauhi larangan nabi konsekuensi syahadat makna syahadat mengikuti ajaran nabi percaya kepada nabi syahadat dalam islam syahadat muhammad rasulullah syarat syahadat yang benar taat kepada nabi tsalatsatul ushul tuntunan rasulullah dalam ibadah umat nabi yang sejati

Anda Belum Naik Haji? Dengarkan Hiburan & Pelipur Lara untuk Anda Ini – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Seorang suami menunaikan haji tahun ini, dan ia telah berusaha keras agar bisa mengajak istrinya. Namun, akhirnya ia tidak berhasil mengajaknya, sehingga sang istri sangat bersedih. Adakah kalimat penghibur untuknya atas kesedihan yang ia rasakan karena hal ini? Begitu juga bagi siapa pun yang belum mampu menunaikan haji. Pertama, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Jutaan kaum Muslimin dan Muslimat juga ingin menunaikan haji, namun belum dimudahkan. Ketika seseorang tidak sendirian dalam musibah, maka musibah itu terasa lebih ringan. Ini yang pertama. Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla hanya mewajibkan ibadah haji kepada orang yang mampu. Orang yang tidak mampu sama sekali tidak dibebani kewajiban haji. Selama engkau belum mampu, maka engkau tidak dituntut untuk berhaji. Alhamdulillah. Ketiga, ketahuilah — semoga Allah menjagamu — bahwa seorang mukmin apabila berniat tulus untuk melakukan amal saleh dari lubuk hatinya dan telah mengerahkan segala usaha yang ia mampu, tetapi terhalang oleh suatu hal yang di luar kendalinya, maka ia tetap mendapat pahala amal itu seakan-akan ia telah melaksanakannya. Wahai saudariku, saya berharap kepada Allah agar engkau mendapat pahala haji meski engkau masih di negerimu, selama engkau telah mengerahkan segala upaya yang engkau mampu dan engkau punya niat yang tulus untuk menunaikan haji. Maka bergembiralah atas kebaikan ini. Bergembiralah dengan pahala haji, meskipun engkau masih berada di negerimu. Ini merupakan pendapat para ulama, dan ini mencakup untuk seluruh muslim yang memiliki niat tulus untuk berhaji pada tahun ini, tapi dia belum dimudahkan untuk menunaikannya. Ada hal yang menghalanginya. Maka kita berharap kepada Allah agar Allah mencatatkan baginya pahala haji, seakan-akan ia benar-benar menunaikannya. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah jemaah haji. Karunia Allah sangat agung, dan karunia-Nya amat luas. ==== رَجُلٌ حَجَّ هَذَا الْعَامَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ لِأَخْذِ زَوْجَتِهِ مَعَهُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ ذَلِكَ فَحَزِنَتْ مِنْ ذَلِكَ حُزْنًا كَبِيرًا فَهَلْ مِنْ كَلِمَةٍ تُسَلُّونَهَا عَلَى مَا أَصَابَهَا مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ الْحَجُّ أَوَّلًا لَسْتِ وَحْدَكِ فِي هَذَا مَلَايِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ يُرِيدُونَ الْحَجَّ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُمْ وَكَوْنُ الْإِنْسَانِ لَا يَنْفَرِدُ بِالْمُصِيبَةِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ هَذَا هَذَا أَوَّلًا ثَانِيًا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَوْجَبَ الْحَجَّ إِلَّا عَلَى الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ مُطَالَبٍ بِالْحَجِّ أَصْلًا فَأَنْتِ مَا دُمْتِ غَيْرَ مُسْتَطِيعَةٍ فَأَنْتِ لَمْ تُطَالَبِي بِالْحَجِّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثَالِثًا اعْلَمِي رَعَاكِ اللَّهُ أَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا نَوَى الْعَمَلَ الصَّالِحَ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ وَبَذَلَ مَا يَسْتَطِيعُ مِنَ الْأَسْبَابِ لَكِنْ حَالَ دُونَهُ مَانِعٌ مِنَ الْمَوَانِعِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ عَلَى ذَلِكَ الْعَمَلِ كَأَنَّهُ قَدْ عَمِلَهُ فَأَنْتِ يَا أُخْتَاهُ رَجَائِي مِنَ اللَّهِ أَنَّكِ تُؤْجَرِيْنَ عَلَى الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ مَا دُمْتُمْ بَذَلْتُمْ مَا تَسْتَطِيعُونَ وَأَنْتِ صَادِقَةَ النِّيَّةِ أَنْ تَحُجِّي فَأَبْشِرِي بِالْخَيْرِ أَبْشِرِي بِأَجْرِ الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ وَهَذَا التَّحْقِيقُ مِنْ أَقْوَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهَذَا يَشْمَلُ كُلَّ مُسْلِمٍ صَادِقَ النِّيَّةِ فِي إِرَادَةِ الْحَجِّ هَذَا الْعَامَ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مَنَعَهُ مَانِعٌ فَإِنَّ الرَّجَاءَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُكْتَبَ لَهُ أَجْرُ الْحَجِّ كَأَنَّهُ قَدْ أَدَّى الْحَجَّ كَأَنَّهُ مَعَ الْحَجِيجِ وَفَضْلُ اللَّهِ عَظِيمٌ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ

Anda Belum Naik Haji? Dengarkan Hiburan & Pelipur Lara untuk Anda Ini – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Seorang suami menunaikan haji tahun ini, dan ia telah berusaha keras agar bisa mengajak istrinya. Namun, akhirnya ia tidak berhasil mengajaknya, sehingga sang istri sangat bersedih. Adakah kalimat penghibur untuknya atas kesedihan yang ia rasakan karena hal ini? Begitu juga bagi siapa pun yang belum mampu menunaikan haji. Pertama, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Jutaan kaum Muslimin dan Muslimat juga ingin menunaikan haji, namun belum dimudahkan. Ketika seseorang tidak sendirian dalam musibah, maka musibah itu terasa lebih ringan. Ini yang pertama. Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla hanya mewajibkan ibadah haji kepada orang yang mampu. Orang yang tidak mampu sama sekali tidak dibebani kewajiban haji. Selama engkau belum mampu, maka engkau tidak dituntut untuk berhaji. Alhamdulillah. Ketiga, ketahuilah — semoga Allah menjagamu — bahwa seorang mukmin apabila berniat tulus untuk melakukan amal saleh dari lubuk hatinya dan telah mengerahkan segala usaha yang ia mampu, tetapi terhalang oleh suatu hal yang di luar kendalinya, maka ia tetap mendapat pahala amal itu seakan-akan ia telah melaksanakannya. Wahai saudariku, saya berharap kepada Allah agar engkau mendapat pahala haji meski engkau masih di negerimu, selama engkau telah mengerahkan segala upaya yang engkau mampu dan engkau punya niat yang tulus untuk menunaikan haji. Maka bergembiralah atas kebaikan ini. Bergembiralah dengan pahala haji, meskipun engkau masih berada di negerimu. Ini merupakan pendapat para ulama, dan ini mencakup untuk seluruh muslim yang memiliki niat tulus untuk berhaji pada tahun ini, tapi dia belum dimudahkan untuk menunaikannya. Ada hal yang menghalanginya. Maka kita berharap kepada Allah agar Allah mencatatkan baginya pahala haji, seakan-akan ia benar-benar menunaikannya. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah jemaah haji. Karunia Allah sangat agung, dan karunia-Nya amat luas. ==== رَجُلٌ حَجَّ هَذَا الْعَامَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ لِأَخْذِ زَوْجَتِهِ مَعَهُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ ذَلِكَ فَحَزِنَتْ مِنْ ذَلِكَ حُزْنًا كَبِيرًا فَهَلْ مِنْ كَلِمَةٍ تُسَلُّونَهَا عَلَى مَا أَصَابَهَا مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ الْحَجُّ أَوَّلًا لَسْتِ وَحْدَكِ فِي هَذَا مَلَايِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ يُرِيدُونَ الْحَجَّ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُمْ وَكَوْنُ الْإِنْسَانِ لَا يَنْفَرِدُ بِالْمُصِيبَةِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ هَذَا هَذَا أَوَّلًا ثَانِيًا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَوْجَبَ الْحَجَّ إِلَّا عَلَى الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ مُطَالَبٍ بِالْحَجِّ أَصْلًا فَأَنْتِ مَا دُمْتِ غَيْرَ مُسْتَطِيعَةٍ فَأَنْتِ لَمْ تُطَالَبِي بِالْحَجِّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثَالِثًا اعْلَمِي رَعَاكِ اللَّهُ أَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا نَوَى الْعَمَلَ الصَّالِحَ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ وَبَذَلَ مَا يَسْتَطِيعُ مِنَ الْأَسْبَابِ لَكِنْ حَالَ دُونَهُ مَانِعٌ مِنَ الْمَوَانِعِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ عَلَى ذَلِكَ الْعَمَلِ كَأَنَّهُ قَدْ عَمِلَهُ فَأَنْتِ يَا أُخْتَاهُ رَجَائِي مِنَ اللَّهِ أَنَّكِ تُؤْجَرِيْنَ عَلَى الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ مَا دُمْتُمْ بَذَلْتُمْ مَا تَسْتَطِيعُونَ وَأَنْتِ صَادِقَةَ النِّيَّةِ أَنْ تَحُجِّي فَأَبْشِرِي بِالْخَيْرِ أَبْشِرِي بِأَجْرِ الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ وَهَذَا التَّحْقِيقُ مِنْ أَقْوَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهَذَا يَشْمَلُ كُلَّ مُسْلِمٍ صَادِقَ النِّيَّةِ فِي إِرَادَةِ الْحَجِّ هَذَا الْعَامَ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مَنَعَهُ مَانِعٌ فَإِنَّ الرَّجَاءَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُكْتَبَ لَهُ أَجْرُ الْحَجِّ كَأَنَّهُ قَدْ أَدَّى الْحَجَّ كَأَنَّهُ مَعَ الْحَجِيجِ وَفَضْلُ اللَّهِ عَظِيمٌ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ
Seorang suami menunaikan haji tahun ini, dan ia telah berusaha keras agar bisa mengajak istrinya. Namun, akhirnya ia tidak berhasil mengajaknya, sehingga sang istri sangat bersedih. Adakah kalimat penghibur untuknya atas kesedihan yang ia rasakan karena hal ini? Begitu juga bagi siapa pun yang belum mampu menunaikan haji. Pertama, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Jutaan kaum Muslimin dan Muslimat juga ingin menunaikan haji, namun belum dimudahkan. Ketika seseorang tidak sendirian dalam musibah, maka musibah itu terasa lebih ringan. Ini yang pertama. Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla hanya mewajibkan ibadah haji kepada orang yang mampu. Orang yang tidak mampu sama sekali tidak dibebani kewajiban haji. Selama engkau belum mampu, maka engkau tidak dituntut untuk berhaji. Alhamdulillah. Ketiga, ketahuilah — semoga Allah menjagamu — bahwa seorang mukmin apabila berniat tulus untuk melakukan amal saleh dari lubuk hatinya dan telah mengerahkan segala usaha yang ia mampu, tetapi terhalang oleh suatu hal yang di luar kendalinya, maka ia tetap mendapat pahala amal itu seakan-akan ia telah melaksanakannya. Wahai saudariku, saya berharap kepada Allah agar engkau mendapat pahala haji meski engkau masih di negerimu, selama engkau telah mengerahkan segala upaya yang engkau mampu dan engkau punya niat yang tulus untuk menunaikan haji. Maka bergembiralah atas kebaikan ini. Bergembiralah dengan pahala haji, meskipun engkau masih berada di negerimu. Ini merupakan pendapat para ulama, dan ini mencakup untuk seluruh muslim yang memiliki niat tulus untuk berhaji pada tahun ini, tapi dia belum dimudahkan untuk menunaikannya. Ada hal yang menghalanginya. Maka kita berharap kepada Allah agar Allah mencatatkan baginya pahala haji, seakan-akan ia benar-benar menunaikannya. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah jemaah haji. Karunia Allah sangat agung, dan karunia-Nya amat luas. ==== رَجُلٌ حَجَّ هَذَا الْعَامَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ لِأَخْذِ زَوْجَتِهِ مَعَهُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ ذَلِكَ فَحَزِنَتْ مِنْ ذَلِكَ حُزْنًا كَبِيرًا فَهَلْ مِنْ كَلِمَةٍ تُسَلُّونَهَا عَلَى مَا أَصَابَهَا مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ الْحَجُّ أَوَّلًا لَسْتِ وَحْدَكِ فِي هَذَا مَلَايِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ يُرِيدُونَ الْحَجَّ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُمْ وَكَوْنُ الْإِنْسَانِ لَا يَنْفَرِدُ بِالْمُصِيبَةِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ هَذَا هَذَا أَوَّلًا ثَانِيًا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَوْجَبَ الْحَجَّ إِلَّا عَلَى الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ مُطَالَبٍ بِالْحَجِّ أَصْلًا فَأَنْتِ مَا دُمْتِ غَيْرَ مُسْتَطِيعَةٍ فَأَنْتِ لَمْ تُطَالَبِي بِالْحَجِّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثَالِثًا اعْلَمِي رَعَاكِ اللَّهُ أَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا نَوَى الْعَمَلَ الصَّالِحَ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ وَبَذَلَ مَا يَسْتَطِيعُ مِنَ الْأَسْبَابِ لَكِنْ حَالَ دُونَهُ مَانِعٌ مِنَ الْمَوَانِعِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ عَلَى ذَلِكَ الْعَمَلِ كَأَنَّهُ قَدْ عَمِلَهُ فَأَنْتِ يَا أُخْتَاهُ رَجَائِي مِنَ اللَّهِ أَنَّكِ تُؤْجَرِيْنَ عَلَى الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ مَا دُمْتُمْ بَذَلْتُمْ مَا تَسْتَطِيعُونَ وَأَنْتِ صَادِقَةَ النِّيَّةِ أَنْ تَحُجِّي فَأَبْشِرِي بِالْخَيْرِ أَبْشِرِي بِأَجْرِ الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ وَهَذَا التَّحْقِيقُ مِنْ أَقْوَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهَذَا يَشْمَلُ كُلَّ مُسْلِمٍ صَادِقَ النِّيَّةِ فِي إِرَادَةِ الْحَجِّ هَذَا الْعَامَ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مَنَعَهُ مَانِعٌ فَإِنَّ الرَّجَاءَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُكْتَبَ لَهُ أَجْرُ الْحَجِّ كَأَنَّهُ قَدْ أَدَّى الْحَجَّ كَأَنَّهُ مَعَ الْحَجِيجِ وَفَضْلُ اللَّهِ عَظِيمٌ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ


Seorang suami menunaikan haji tahun ini, dan ia telah berusaha keras agar bisa mengajak istrinya. Namun, akhirnya ia tidak berhasil mengajaknya, sehingga sang istri sangat bersedih. Adakah kalimat penghibur untuknya atas kesedihan yang ia rasakan karena hal ini? Begitu juga bagi siapa pun yang belum mampu menunaikan haji. Pertama, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Jutaan kaum Muslimin dan Muslimat juga ingin menunaikan haji, namun belum dimudahkan. Ketika seseorang tidak sendirian dalam musibah, maka musibah itu terasa lebih ringan. Ini yang pertama. Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla hanya mewajibkan ibadah haji kepada orang yang mampu. Orang yang tidak mampu sama sekali tidak dibebani kewajiban haji. Selama engkau belum mampu, maka engkau tidak dituntut untuk berhaji. Alhamdulillah. Ketiga, ketahuilah — semoga Allah menjagamu — bahwa seorang mukmin apabila berniat tulus untuk melakukan amal saleh dari lubuk hatinya dan telah mengerahkan segala usaha yang ia mampu, tetapi terhalang oleh suatu hal yang di luar kendalinya, maka ia tetap mendapat pahala amal itu seakan-akan ia telah melaksanakannya. Wahai saudariku, saya berharap kepada Allah agar engkau mendapat pahala haji meski engkau masih di negerimu, selama engkau telah mengerahkan segala upaya yang engkau mampu dan engkau punya niat yang tulus untuk menunaikan haji. Maka bergembiralah atas kebaikan ini. Bergembiralah dengan pahala haji, meskipun engkau masih berada di negerimu. Ini merupakan pendapat para ulama, dan ini mencakup untuk seluruh muslim yang memiliki niat tulus untuk berhaji pada tahun ini, tapi dia belum dimudahkan untuk menunaikannya. Ada hal yang menghalanginya. Maka kita berharap kepada Allah agar Allah mencatatkan baginya pahala haji, seakan-akan ia benar-benar menunaikannya. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah jemaah haji. Karunia Allah sangat agung, dan karunia-Nya amat luas. ==== رَجُلٌ حَجَّ هَذَا الْعَامَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ لِأَخْذِ زَوْجَتِهِ مَعَهُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ ذَلِكَ فَحَزِنَتْ مِنْ ذَلِكَ حُزْنًا كَبِيرًا فَهَلْ مِنْ كَلِمَةٍ تُسَلُّونَهَا عَلَى مَا أَصَابَهَا مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ الْحَجُّ أَوَّلًا لَسْتِ وَحْدَكِ فِي هَذَا مَلَايِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ يُرِيدُونَ الْحَجَّ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُمْ وَكَوْنُ الْإِنْسَانِ لَا يَنْفَرِدُ بِالْمُصِيبَةِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ هَذَا هَذَا أَوَّلًا ثَانِيًا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَوْجَبَ الْحَجَّ إِلَّا عَلَى الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ الْمُسْتَطِيعِ غَيْرُ مُطَالَبٍ بِالْحَجِّ أَصْلًا فَأَنْتِ مَا دُمْتِ غَيْرَ مُسْتَطِيعَةٍ فَأَنْتِ لَمْ تُطَالَبِي بِالْحَجِّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثَالِثًا اعْلَمِي رَعَاكِ اللَّهُ أَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا نَوَى الْعَمَلَ الصَّالِحَ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ وَبَذَلَ مَا يَسْتَطِيعُ مِنَ الْأَسْبَابِ لَكِنْ حَالَ دُونَهُ مَانِعٌ مِنَ الْمَوَانِعِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ عَلَى ذَلِكَ الْعَمَلِ كَأَنَّهُ قَدْ عَمِلَهُ فَأَنْتِ يَا أُخْتَاهُ رَجَائِي مِنَ اللَّهِ أَنَّكِ تُؤْجَرِيْنَ عَلَى الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ مَا دُمْتُمْ بَذَلْتُمْ مَا تَسْتَطِيعُونَ وَأَنْتِ صَادِقَةَ النِّيَّةِ أَنْ تَحُجِّي فَأَبْشِرِي بِالْخَيْرِ أَبْشِرِي بِأَجْرِ الْحَجِّ وَأَنْتِ فِي بَلَدِكِ وَهَذَا التَّحْقِيقُ مِنْ أَقْوَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهَذَا يَشْمَلُ كُلَّ مُسْلِمٍ صَادِقَ النِّيَّةِ فِي إِرَادَةِ الْحَجِّ هَذَا الْعَامَ لَكِنْ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مَنَعَهُ مَانِعٌ فَإِنَّ الرَّجَاءَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُكْتَبَ لَهُ أَجْرُ الْحَجِّ كَأَنَّهُ قَدْ أَدَّى الْحَجَّ كَأَنَّهُ مَعَ الْحَجِيجِ وَفَضْلُ اللَّهِ عَظِيمٌ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ

Apa Arti Mimpi Buruk Bertemu Sosok Putih? Lakukan 5 Tips Ini Jika Mimpi Buruk

Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Apa Arti Mimpi Buruk Bertemu Sosok Putih? Lakukan 5 Tips Ini Jika Mimpi Buruk

Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ


Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Fatwa Ulama: Seorang Hamba Memiliki Pilihan atas Perbuatannya Sesuai Kehendaknya

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.

Fatwa Ulama: Seorang Hamba Memiliki Pilihan atas Perbuatannya Sesuai Kehendaknya

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.
Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.


Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.

3 Syarat Tobat: Tobatmu Belum Sah Jika Belum Melakukannya! – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا

3 Syarat Tobat: Tobatmu Belum Sah Jika Belum Melakukannya! – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا
Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا


Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 1)

Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 1)

Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.
Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.


Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.
Prev     Next