Mengenal Nama Allah “Al-Fattah”

Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.

Mengenal Nama Allah “Al-Fattah”

Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.
Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.


Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.

180 Video Belajar Iqro 1-6 dari Yufid TV

Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 294 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid

180 Video Belajar Iqro 1-6 dari Yufid TV

Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 294 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid
Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 294 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid


Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1.jpg" alt="" class="wp-image-44603" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 1 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/kwsF_iIEBg8?list=PLUuYlj8dcEXbH1NOHAhUYUWo-7OMDcSQS" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2.jpg" alt="" class="wp-image-44605" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 2 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/X4-jaEGcACE?list=PLUuYlj8dcEXY4TcCHJ1i0xvJ5tJGiVQ1e" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3.jpg" alt="" class="wp-image-44607" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 3 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/JANmWtC4bSs?list=PLUuYlj8dcEXamoFK-OCiH47Q57wcoNHnc" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4.jpg" alt="" class="wp-image-44609" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 4 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/IhyBnd6RwfA?list=PLUuYlj8dcEXaR5Boq_FJwFba_IvAWJ-g0" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5.jpg" alt="" class="wp-image-44611" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 5 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/Bdo_jU3YEdQ?list=PLUuYlj8dcEXYzgN4ER3L3g3_vzvblZLtb" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6.jpg" alt="" class="wp-image-44613" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 6 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/8n1U95_q0Yk?list=PLUuYlj8dcEXanAxCd1aJpFTnsyN7x3vE-" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 294 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Bagaimana Cara Menjadi Mahir Al-Quran? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ

Bagaimana Cara Menjadi Mahir Al-Quran? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ
https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ


https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ

Fikih Akad Muzara’ah

Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.

Fikih Akad Muzara’ah

Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.
Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.


Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.

Mau Hidup Tenang? Inilah Rahasianya – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا

Mau Hidup Tenang? Inilah Rahasianya – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا
Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا


Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا

Teks Khotbah Jumat: Saat Musibah Menimpa, Waktu yang Tepat untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Saat Musibah Menimpa, Waktu yang Tepat untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Anda Miskin Tapi Mau Nikah? Tonton Ini Dulu! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ

Anda Miskin Tapi Mau Nikah? Tonton Ini Dulu! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ
Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ


Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ

Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh

Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.

Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh

Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.
Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.


Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.

Membangun Kokohnya Iman dan Amal

Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Membangun Kokohnya Iman dan Amal

Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Inilah Rahasia agar Khusyuk dalam Shalat – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Inilah Rahasia agar Khusyuk dalam Shalat – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ


Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“Pertama: Al-‘Aliy (العلي)Kedua: Al-A’la (الأعلى)Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي)Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Nama-nama Allah tersebut mengandung petunjuk yang menjadi pedoman bagi kaum mukminin dalam mengenal Rabb-nya dengan benar. Di antara nama-nama Allah yang penuh makna adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Ketiga nama ini menunjukkan ketinggian, keagungan, dan keperkasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, dan konsekuensi dari mengenal nama-nama tersebut bagi seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Nama ( العليّ ) Al-‘Aliy disebutkan dalam delapan tempat, di antaranya: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya tidak memberatkan-Nya, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255) Kedua: Firman-Nya, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير “Yang demikian itu, karena Allah, Dialah yang benar. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62) Ketiga: Firman-Nya, فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ “Maka, (hanya) Allahlah yang menetapkan hukum, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Ghafir: 12) Adapun ( الأعلى ) Al-A’la, disebutkan dalam: Pertama: Firman Allah Ta’ala, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1) Kedua: Firman-Nya, إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى “Kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS. Al-Lail: 20) Adapun (الْمُتَعَالي) Al-Muta’ali, disebutkan satu kali dalam, yaitu firman Allah Ta’ala, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالي “Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9) [1] Dalam ayat di atas, Imam Qari’ Ibn Katsir, Ya’qub, dan Ibn Muhaysin membacanya dengan menetapkan huruf ya ( الْمُتَعَالي ), sementara bacaan tanpa huruf ya ( الْمُتَعَال ) merupakan bacaan para imam Qari’ lainnya (Imam ‘Ashim, Imam Nafi’ dan selainnya). [2] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“ Pertama: Al-‘Aliy (العلي) Kata ini merupakan sifat musyabbahah dari kata kerja “عَلَا يَعْلُو” (tinggi), berwazan “فعيل“. Asalnya adalah “عَلِيُو“, di mana huruf ya mati (ي) dan wawu (و) bertemu. Wawu diubah menjadi ya, lalu diidgam (dileburkan) dengan ya berikutnya. [3] Kedua: Al-A’la (الأعلى) Nama ini berwazan af’al (أَفْعَل) dengan asal “أَعْلَو“. Huruf asli lamnya adalah wawu yang kemudian diubah menjadi ya, lalu diubah menjadi alif. [4] Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي) Merupakan isim fa’il (pelaku) dari kata kerja “تَعَالَى“. Asalnya adalah “الْمُتَعَالو” dari kata dasar “علا – يعلو“. Huruf wawu diubah menjadi ya. [5] Secara makna, para ahli lughah (ahli bahasa) menjelaskan sebagai berikut: Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, العلي: فعيل من العلو والعلاء، والعلاء: الرفعة والسناء والجلال “Nama ‘Al-‘Aliy’ berwazan (فعيل), berasal dari kata “علو” (ketinggian) dan “علاء” yang bermakna keagungan, kehormatan, dan kemuliaan.” Orang Arab berkata, ‘فلان علي ذو علاء‘ untuk menyebut seseorang yang agung dan tinggi kedudukannya. Selain itu, ‘Al-‘Aliy’ dan ‘Al-‘Aaliy’ juga berarti yang menguasai dan yang menundukkan segala sesuatu. Dalam konteks bahasa, ‘علا فلان فلانًا’ berarti seseorang mengalahkan atau menundukkan orang lain.” [6] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (‌علو) الْعَيْنُ وَاللَّامُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ يَاءً كَانَ أَوْ وَاوًا أَوْ أَلِفًا، أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى السُّمُوِّ وَالِارْتِفَاعِ “Kata dasar ‘عَلَوَ‘ yang terdiri dari huruf ‘ain, lam, dan huruf illat (ya, wawu, atau alif) merupakan akar yang satu, menunjukkan makna ‘ketinggian’ dan ‘terangkat’.” [7] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, (ع ل ا) : عُلْوُ الدَّارِ وَغَيْرِهَا خِلَافُ السُّفْلِ … وَعَلَا الشَّيْءُ عُلُوًّا (مِنْ بَابِ قَعَدَ) ارْتَفَعَ. “Kata ‘عُلْوُ‘ berarti kebalikan dari rendah (sufl). Kata kerja ‘عَلَا – يعلو‘ bermakna naik atau terangkat.” [8] Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks Allah Allah ‘Azza Wajalla adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Hal ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian-Nya dalam kedudukan, kehormatan, serta derajat. Al-Khalil bin Ahmad berkata, الله عز وجل هو العلي الأعلى المتعالي ذو العلاء والعلو، فأما العلاء: فالرفعة، والعلو: العظمة والتجبر. وتقول «علا الشيء علاء». ويقال: علوت وعليت جميعًا، وكذلك عليَ علاء في الرفعة والشرف والارتفاع “Allah adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali, yang memiliki keagungan dan ketinggian. Adapun ‘العلاء‘ berarti keagungan, sedangkan ‘العلو‘ berarti kebesaran dan keperkasaan. Kamu mengatakan, ‘علا الشيء علاء‘ (sesuatu itu menjadi tinggi). Dan digunakan juga, ‘علوت‘ (aku meninggi) dan ‘عليت‘ (aku mencapai ketinggian). Demikian juga, ‘عليَ علاء‘ menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan ketinggian.” [9] Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan, mencakup ketinggian zat-Nya, ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya, dan ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan: Pertama: Allah adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian zat-Nya, yang istiwa di atas ‘Arsy, dan tinggi di atas semua makhluk serta terpisah dari mereka. Sebagaimana firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ‘Ar-Rahman istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Thaha: 5) Dan firman-Nya dalam enam ayat Al-Qur’an, ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Al-A’raf: 54) Yaitu, Dia tinggi dan berada di atas ‘Arsy dengan ketinggian yang sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kebesaran-Nya. Kedua: Dia juga Al-‘Aliy dalam ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya begitu agung, tidak ada yang setara atau mendekati sifat-sifat tersebut. Bahkan, hamba-hamba-Nya tidak mampu memahami sepenuhnya satu pun dari sifat-sifat-Nya. Ketiga: Dia adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk kepada-Nya. Seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang bergerak atau diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.” [10] Allah Ta’ala Al-‘Aliy yang menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, dan Al-A’la yang menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut. Syekh As-Si’diy berkata, والفرق بين العلي الأعلى أنَّ العلي يدل على كثرة الصفات ومتعلقاتها وتنوعها، والأعلى يدل على عظمتها “Perbedaan antara Al-‘Aliy dan Al-A’la adalah bahwa Al-‘Aliy menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, sedangkan Al-A’la menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.” [11] Adapun tentang Al-Muta’ali, Imam Mufassir, Ibnu katsir mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} أَيْ: عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ، فَخَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ وَدَانَ لَهُ الْعِبَادُ، طَوْعًا وَكَرْهًا “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, menguasai segala sesuatu, sehingga semua leher tunduk kepada-Nya, dan semua makhluk patuh kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa.” [12] Syekh As-Si’diy rahimahullah mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره. “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi atas semua makhluk-Nya, dengan Zat-Nya, kekuasaan-Nya, dan keperkasaan-Nya.” [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Majid” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Penetapan nama-nama “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang muslim hendaknya meyakini ketinggian mutlak Allah, Rabb semesta alam, dalam semua maknanya, tanpa meniadakan atau menakwilkan salah satu dari sifat tersebut, serta tanpa membatasi apa pun darinya. Dia wajib menetapkan bagi-Nya ketinggian zat, ketinggian kedudukan, dan ketinggian kekuasaan. Kedua: Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya, dan Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tentang diri-Nya. Hal ini merupakan akidah salaf umat ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, termasuk para ulama hadis, tafsir, fikih, ushul, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan lainnya. [14] Ketiga: Keimanan terhadap ketinggian Allah atas makhluk-Nya akan menanamkan rasa pengagungan, kerendahan, ketundukan hati di hadapan Allah, penyucian-Nya dari segala kekurangan dan cela, keikhlasan dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ، هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikianlah, karena Allah, Dialah yang benar, dan apa yang mereka seru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi, Mahabesar” (QS Al-Hajj: 62). [15] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Al-Shadhili, Ayman. Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif. Diedit oleh Mukhtar bin Faraj Al-‘Alami. Pengantar oleh Zakaria Al-Nuti. Cetakan Pertama. 1440 H/2019 M. Kharuf, Muhammad Fahd. Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah. Edisi Kelima. Beirut: Dar Ibn Kathir, 1437 H/2016 M. ISBN: 978-614-415-173-0.   Catatan kaki: [1] An-Nahjul Asma, hal. 225. [2] Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah, hal. 250. Lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170, dan Al-Mudhah, hal. 700-701. [3] Al-Bayan, hal. 42. Lihat juga Isytiqaq, hal. 108. [4] Al-Bayan, hal. 591. [5] Al-Bayan, hal. 250. Lihat juga An-Nahjul Asma, hal. 224. [6] Isytiqaq, hal. 108. [7] Maqaayiis Al-Lughah, hal. 597 [8] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 431. [9] Dinukil dari Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 109. [10] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170. [11] Fathur Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 51. [12] Tafsir Ibnu Katsir, 4: 437. [13] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 414. [14] An-Nahj Al-Asma, hal. 227-228. [15] Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 174.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“Pertama: Al-‘Aliy (العلي)Kedua: Al-A’la (الأعلى)Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي)Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Nama-nama Allah tersebut mengandung petunjuk yang menjadi pedoman bagi kaum mukminin dalam mengenal Rabb-nya dengan benar. Di antara nama-nama Allah yang penuh makna adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Ketiga nama ini menunjukkan ketinggian, keagungan, dan keperkasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, dan konsekuensi dari mengenal nama-nama tersebut bagi seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Nama ( العليّ ) Al-‘Aliy disebutkan dalam delapan tempat, di antaranya: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya tidak memberatkan-Nya, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255) Kedua: Firman-Nya, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير “Yang demikian itu, karena Allah, Dialah yang benar. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62) Ketiga: Firman-Nya, فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ “Maka, (hanya) Allahlah yang menetapkan hukum, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Ghafir: 12) Adapun ( الأعلى ) Al-A’la, disebutkan dalam: Pertama: Firman Allah Ta’ala, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1) Kedua: Firman-Nya, إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى “Kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS. Al-Lail: 20) Adapun (الْمُتَعَالي) Al-Muta’ali, disebutkan satu kali dalam, yaitu firman Allah Ta’ala, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالي “Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9) [1] Dalam ayat di atas, Imam Qari’ Ibn Katsir, Ya’qub, dan Ibn Muhaysin membacanya dengan menetapkan huruf ya ( الْمُتَعَالي ), sementara bacaan tanpa huruf ya ( الْمُتَعَال ) merupakan bacaan para imam Qari’ lainnya (Imam ‘Ashim, Imam Nafi’ dan selainnya). [2] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“ Pertama: Al-‘Aliy (العلي) Kata ini merupakan sifat musyabbahah dari kata kerja “عَلَا يَعْلُو” (tinggi), berwazan “فعيل“. Asalnya adalah “عَلِيُو“, di mana huruf ya mati (ي) dan wawu (و) bertemu. Wawu diubah menjadi ya, lalu diidgam (dileburkan) dengan ya berikutnya. [3] Kedua: Al-A’la (الأعلى) Nama ini berwazan af’al (أَفْعَل) dengan asal “أَعْلَو“. Huruf asli lamnya adalah wawu yang kemudian diubah menjadi ya, lalu diubah menjadi alif. [4] Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي) Merupakan isim fa’il (pelaku) dari kata kerja “تَعَالَى“. Asalnya adalah “الْمُتَعَالو” dari kata dasar “علا – يعلو“. Huruf wawu diubah menjadi ya. [5] Secara makna, para ahli lughah (ahli bahasa) menjelaskan sebagai berikut: Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, العلي: فعيل من العلو والعلاء، والعلاء: الرفعة والسناء والجلال “Nama ‘Al-‘Aliy’ berwazan (فعيل), berasal dari kata “علو” (ketinggian) dan “علاء” yang bermakna keagungan, kehormatan, dan kemuliaan.” Orang Arab berkata, ‘فلان علي ذو علاء‘ untuk menyebut seseorang yang agung dan tinggi kedudukannya. Selain itu, ‘Al-‘Aliy’ dan ‘Al-‘Aaliy’ juga berarti yang menguasai dan yang menundukkan segala sesuatu. Dalam konteks bahasa, ‘علا فلان فلانًا’ berarti seseorang mengalahkan atau menundukkan orang lain.” [6] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (‌علو) الْعَيْنُ وَاللَّامُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ يَاءً كَانَ أَوْ وَاوًا أَوْ أَلِفًا، أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى السُّمُوِّ وَالِارْتِفَاعِ “Kata dasar ‘عَلَوَ‘ yang terdiri dari huruf ‘ain, lam, dan huruf illat (ya, wawu, atau alif) merupakan akar yang satu, menunjukkan makna ‘ketinggian’ dan ‘terangkat’.” [7] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, (ع ل ا) : عُلْوُ الدَّارِ وَغَيْرِهَا خِلَافُ السُّفْلِ … وَعَلَا الشَّيْءُ عُلُوًّا (مِنْ بَابِ قَعَدَ) ارْتَفَعَ. “Kata ‘عُلْوُ‘ berarti kebalikan dari rendah (sufl). Kata kerja ‘عَلَا – يعلو‘ bermakna naik atau terangkat.” [8] Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks Allah Allah ‘Azza Wajalla adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Hal ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian-Nya dalam kedudukan, kehormatan, serta derajat. Al-Khalil bin Ahmad berkata, الله عز وجل هو العلي الأعلى المتعالي ذو العلاء والعلو، فأما العلاء: فالرفعة، والعلو: العظمة والتجبر. وتقول «علا الشيء علاء». ويقال: علوت وعليت جميعًا، وكذلك عليَ علاء في الرفعة والشرف والارتفاع “Allah adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali, yang memiliki keagungan dan ketinggian. Adapun ‘العلاء‘ berarti keagungan, sedangkan ‘العلو‘ berarti kebesaran dan keperkasaan. Kamu mengatakan, ‘علا الشيء علاء‘ (sesuatu itu menjadi tinggi). Dan digunakan juga, ‘علوت‘ (aku meninggi) dan ‘عليت‘ (aku mencapai ketinggian). Demikian juga, ‘عليَ علاء‘ menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan ketinggian.” [9] Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan, mencakup ketinggian zat-Nya, ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya, dan ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan: Pertama: Allah adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian zat-Nya, yang istiwa di atas ‘Arsy, dan tinggi di atas semua makhluk serta terpisah dari mereka. Sebagaimana firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ‘Ar-Rahman istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Thaha: 5) Dan firman-Nya dalam enam ayat Al-Qur’an, ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Al-A’raf: 54) Yaitu, Dia tinggi dan berada di atas ‘Arsy dengan ketinggian yang sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kebesaran-Nya. Kedua: Dia juga Al-‘Aliy dalam ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya begitu agung, tidak ada yang setara atau mendekati sifat-sifat tersebut. Bahkan, hamba-hamba-Nya tidak mampu memahami sepenuhnya satu pun dari sifat-sifat-Nya. Ketiga: Dia adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk kepada-Nya. Seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang bergerak atau diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.” [10] Allah Ta’ala Al-‘Aliy yang menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, dan Al-A’la yang menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut. Syekh As-Si’diy berkata, والفرق بين العلي الأعلى أنَّ العلي يدل على كثرة الصفات ومتعلقاتها وتنوعها، والأعلى يدل على عظمتها “Perbedaan antara Al-‘Aliy dan Al-A’la adalah bahwa Al-‘Aliy menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, sedangkan Al-A’la menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.” [11] Adapun tentang Al-Muta’ali, Imam Mufassir, Ibnu katsir mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} أَيْ: عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ، فَخَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ وَدَانَ لَهُ الْعِبَادُ، طَوْعًا وَكَرْهًا “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, menguasai segala sesuatu, sehingga semua leher tunduk kepada-Nya, dan semua makhluk patuh kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa.” [12] Syekh As-Si’diy rahimahullah mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره. “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi atas semua makhluk-Nya, dengan Zat-Nya, kekuasaan-Nya, dan keperkasaan-Nya.” [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Majid” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Penetapan nama-nama “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang muslim hendaknya meyakini ketinggian mutlak Allah, Rabb semesta alam, dalam semua maknanya, tanpa meniadakan atau menakwilkan salah satu dari sifat tersebut, serta tanpa membatasi apa pun darinya. Dia wajib menetapkan bagi-Nya ketinggian zat, ketinggian kedudukan, dan ketinggian kekuasaan. Kedua: Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya, dan Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tentang diri-Nya. Hal ini merupakan akidah salaf umat ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, termasuk para ulama hadis, tafsir, fikih, ushul, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan lainnya. [14] Ketiga: Keimanan terhadap ketinggian Allah atas makhluk-Nya akan menanamkan rasa pengagungan, kerendahan, ketundukan hati di hadapan Allah, penyucian-Nya dari segala kekurangan dan cela, keikhlasan dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ، هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikianlah, karena Allah, Dialah yang benar, dan apa yang mereka seru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi, Mahabesar” (QS Al-Hajj: 62). [15] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Al-Shadhili, Ayman. Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif. Diedit oleh Mukhtar bin Faraj Al-‘Alami. Pengantar oleh Zakaria Al-Nuti. Cetakan Pertama. 1440 H/2019 M. Kharuf, Muhammad Fahd. Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah. Edisi Kelima. Beirut: Dar Ibn Kathir, 1437 H/2016 M. ISBN: 978-614-415-173-0.   Catatan kaki: [1] An-Nahjul Asma, hal. 225. [2] Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah, hal. 250. Lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170, dan Al-Mudhah, hal. 700-701. [3] Al-Bayan, hal. 42. Lihat juga Isytiqaq, hal. 108. [4] Al-Bayan, hal. 591. [5] Al-Bayan, hal. 250. Lihat juga An-Nahjul Asma, hal. 224. [6] Isytiqaq, hal. 108. [7] Maqaayiis Al-Lughah, hal. 597 [8] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 431. [9] Dinukil dari Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 109. [10] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170. [11] Fathur Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 51. [12] Tafsir Ibnu Katsir, 4: 437. [13] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 414. [14] An-Nahj Al-Asma, hal. 227-228. [15] Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 174.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“Pertama: Al-‘Aliy (العلي)Kedua: Al-A’la (الأعلى)Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي)Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Nama-nama Allah tersebut mengandung petunjuk yang menjadi pedoman bagi kaum mukminin dalam mengenal Rabb-nya dengan benar. Di antara nama-nama Allah yang penuh makna adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Ketiga nama ini menunjukkan ketinggian, keagungan, dan keperkasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, dan konsekuensi dari mengenal nama-nama tersebut bagi seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Nama ( العليّ ) Al-‘Aliy disebutkan dalam delapan tempat, di antaranya: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya tidak memberatkan-Nya, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255) Kedua: Firman-Nya, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير “Yang demikian itu, karena Allah, Dialah yang benar. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62) Ketiga: Firman-Nya, فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ “Maka, (hanya) Allahlah yang menetapkan hukum, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Ghafir: 12) Adapun ( الأعلى ) Al-A’la, disebutkan dalam: Pertama: Firman Allah Ta’ala, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1) Kedua: Firman-Nya, إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى “Kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS. Al-Lail: 20) Adapun (الْمُتَعَالي) Al-Muta’ali, disebutkan satu kali dalam, yaitu firman Allah Ta’ala, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالي “Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9) [1] Dalam ayat di atas, Imam Qari’ Ibn Katsir, Ya’qub, dan Ibn Muhaysin membacanya dengan menetapkan huruf ya ( الْمُتَعَالي ), sementara bacaan tanpa huruf ya ( الْمُتَعَال ) merupakan bacaan para imam Qari’ lainnya (Imam ‘Ashim, Imam Nafi’ dan selainnya). [2] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“ Pertama: Al-‘Aliy (العلي) Kata ini merupakan sifat musyabbahah dari kata kerja “عَلَا يَعْلُو” (tinggi), berwazan “فعيل“. Asalnya adalah “عَلِيُو“, di mana huruf ya mati (ي) dan wawu (و) bertemu. Wawu diubah menjadi ya, lalu diidgam (dileburkan) dengan ya berikutnya. [3] Kedua: Al-A’la (الأعلى) Nama ini berwazan af’al (أَفْعَل) dengan asal “أَعْلَو“. Huruf asli lamnya adalah wawu yang kemudian diubah menjadi ya, lalu diubah menjadi alif. [4] Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي) Merupakan isim fa’il (pelaku) dari kata kerja “تَعَالَى“. Asalnya adalah “الْمُتَعَالو” dari kata dasar “علا – يعلو“. Huruf wawu diubah menjadi ya. [5] Secara makna, para ahli lughah (ahli bahasa) menjelaskan sebagai berikut: Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, العلي: فعيل من العلو والعلاء، والعلاء: الرفعة والسناء والجلال “Nama ‘Al-‘Aliy’ berwazan (فعيل), berasal dari kata “علو” (ketinggian) dan “علاء” yang bermakna keagungan, kehormatan, dan kemuliaan.” Orang Arab berkata, ‘فلان علي ذو علاء‘ untuk menyebut seseorang yang agung dan tinggi kedudukannya. Selain itu, ‘Al-‘Aliy’ dan ‘Al-‘Aaliy’ juga berarti yang menguasai dan yang menundukkan segala sesuatu. Dalam konteks bahasa, ‘علا فلان فلانًا’ berarti seseorang mengalahkan atau menundukkan orang lain.” [6] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (‌علو) الْعَيْنُ وَاللَّامُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ يَاءً كَانَ أَوْ وَاوًا أَوْ أَلِفًا، أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى السُّمُوِّ وَالِارْتِفَاعِ “Kata dasar ‘عَلَوَ‘ yang terdiri dari huruf ‘ain, lam, dan huruf illat (ya, wawu, atau alif) merupakan akar yang satu, menunjukkan makna ‘ketinggian’ dan ‘terangkat’.” [7] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, (ع ل ا) : عُلْوُ الدَّارِ وَغَيْرِهَا خِلَافُ السُّفْلِ … وَعَلَا الشَّيْءُ عُلُوًّا (مِنْ بَابِ قَعَدَ) ارْتَفَعَ. “Kata ‘عُلْوُ‘ berarti kebalikan dari rendah (sufl). Kata kerja ‘عَلَا – يعلو‘ bermakna naik atau terangkat.” [8] Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks Allah Allah ‘Azza Wajalla adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Hal ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian-Nya dalam kedudukan, kehormatan, serta derajat. Al-Khalil bin Ahmad berkata, الله عز وجل هو العلي الأعلى المتعالي ذو العلاء والعلو، فأما العلاء: فالرفعة، والعلو: العظمة والتجبر. وتقول «علا الشيء علاء». ويقال: علوت وعليت جميعًا، وكذلك عليَ علاء في الرفعة والشرف والارتفاع “Allah adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali, yang memiliki keagungan dan ketinggian. Adapun ‘العلاء‘ berarti keagungan, sedangkan ‘العلو‘ berarti kebesaran dan keperkasaan. Kamu mengatakan, ‘علا الشيء علاء‘ (sesuatu itu menjadi tinggi). Dan digunakan juga, ‘علوت‘ (aku meninggi) dan ‘عليت‘ (aku mencapai ketinggian). Demikian juga, ‘عليَ علاء‘ menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan ketinggian.” [9] Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan, mencakup ketinggian zat-Nya, ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya, dan ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan: Pertama: Allah adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian zat-Nya, yang istiwa di atas ‘Arsy, dan tinggi di atas semua makhluk serta terpisah dari mereka. Sebagaimana firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ‘Ar-Rahman istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Thaha: 5) Dan firman-Nya dalam enam ayat Al-Qur’an, ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Al-A’raf: 54) Yaitu, Dia tinggi dan berada di atas ‘Arsy dengan ketinggian yang sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kebesaran-Nya. Kedua: Dia juga Al-‘Aliy dalam ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya begitu agung, tidak ada yang setara atau mendekati sifat-sifat tersebut. Bahkan, hamba-hamba-Nya tidak mampu memahami sepenuhnya satu pun dari sifat-sifat-Nya. Ketiga: Dia adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk kepada-Nya. Seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang bergerak atau diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.” [10] Allah Ta’ala Al-‘Aliy yang menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, dan Al-A’la yang menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut. Syekh As-Si’diy berkata, والفرق بين العلي الأعلى أنَّ العلي يدل على كثرة الصفات ومتعلقاتها وتنوعها، والأعلى يدل على عظمتها “Perbedaan antara Al-‘Aliy dan Al-A’la adalah bahwa Al-‘Aliy menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, sedangkan Al-A’la menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.” [11] Adapun tentang Al-Muta’ali, Imam Mufassir, Ibnu katsir mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} أَيْ: عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ، فَخَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ وَدَانَ لَهُ الْعِبَادُ، طَوْعًا وَكَرْهًا “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, menguasai segala sesuatu, sehingga semua leher tunduk kepada-Nya, dan semua makhluk patuh kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa.” [12] Syekh As-Si’diy rahimahullah mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره. “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi atas semua makhluk-Nya, dengan Zat-Nya, kekuasaan-Nya, dan keperkasaan-Nya.” [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Majid” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Penetapan nama-nama “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang muslim hendaknya meyakini ketinggian mutlak Allah, Rabb semesta alam, dalam semua maknanya, tanpa meniadakan atau menakwilkan salah satu dari sifat tersebut, serta tanpa membatasi apa pun darinya. Dia wajib menetapkan bagi-Nya ketinggian zat, ketinggian kedudukan, dan ketinggian kekuasaan. Kedua: Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya, dan Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tentang diri-Nya. Hal ini merupakan akidah salaf umat ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, termasuk para ulama hadis, tafsir, fikih, ushul, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan lainnya. [14] Ketiga: Keimanan terhadap ketinggian Allah atas makhluk-Nya akan menanamkan rasa pengagungan, kerendahan, ketundukan hati di hadapan Allah, penyucian-Nya dari segala kekurangan dan cela, keikhlasan dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ، هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikianlah, karena Allah, Dialah yang benar, dan apa yang mereka seru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi, Mahabesar” (QS Al-Hajj: 62). [15] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Al-Shadhili, Ayman. Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif. Diedit oleh Mukhtar bin Faraj Al-‘Alami. Pengantar oleh Zakaria Al-Nuti. Cetakan Pertama. 1440 H/2019 M. Kharuf, Muhammad Fahd. Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah. Edisi Kelima. Beirut: Dar Ibn Kathir, 1437 H/2016 M. ISBN: 978-614-415-173-0.   Catatan kaki: [1] An-Nahjul Asma, hal. 225. [2] Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah, hal. 250. Lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170, dan Al-Mudhah, hal. 700-701. [3] Al-Bayan, hal. 42. Lihat juga Isytiqaq, hal. 108. [4] Al-Bayan, hal. 591. [5] Al-Bayan, hal. 250. Lihat juga An-Nahjul Asma, hal. 224. [6] Isytiqaq, hal. 108. [7] Maqaayiis Al-Lughah, hal. 597 [8] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 431. [9] Dinukil dari Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 109. [10] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170. [11] Fathur Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 51. [12] Tafsir Ibnu Katsir, 4: 437. [13] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 414. [14] An-Nahj Al-Asma, hal. 227-228. [15] Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 174.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“Pertama: Al-‘Aliy (العلي)Kedua: Al-A’la (الأعلى)Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي)Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Nama-nama Allah tersebut mengandung petunjuk yang menjadi pedoman bagi kaum mukminin dalam mengenal Rabb-nya dengan benar. Di antara nama-nama Allah yang penuh makna adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Ketiga nama ini menunjukkan ketinggian, keagungan, dan keperkasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, dan konsekuensi dari mengenal nama-nama tersebut bagi seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Dalil nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Nama ( العليّ ) Al-‘Aliy disebutkan dalam delapan tempat, di antaranya: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya tidak memberatkan-Nya, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255) Kedua: Firman-Nya, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير “Yang demikian itu, karena Allah, Dialah yang benar. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62) Ketiga: Firman-Nya, فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ “Maka, (hanya) Allahlah yang menetapkan hukum, Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Ghafir: 12) Adapun ( الأعلى ) Al-A’la, disebutkan dalam: Pertama: Firman Allah Ta’ala, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (QS. Al-A’la: 1) Kedua: Firman-Nya, إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى “Kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS. Al-Lail: 20) Adapun (الْمُتَعَالي) Al-Muta’ali, disebutkan satu kali dalam, yaitu firman Allah Ta’ala, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالي “Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9) [1] Dalam ayat di atas, Imam Qari’ Ibn Katsir, Ya’qub, dan Ibn Muhaysin membacanya dengan menetapkan huruf ya ( الْمُتَعَالي ), sementara bacaan tanpa huruf ya ( الْمُتَعَال ) merupakan bacaan para imam Qari’ lainnya (Imam ‘Ashim, Imam Nafi’ dan selainnya). [2] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aliy“, “Al-A’la” dan “Al-Muta’ali“ Pertama: Al-‘Aliy (العلي) Kata ini merupakan sifat musyabbahah dari kata kerja “عَلَا يَعْلُو” (tinggi), berwazan “فعيل“. Asalnya adalah “عَلِيُو“, di mana huruf ya mati (ي) dan wawu (و) bertemu. Wawu diubah menjadi ya, lalu diidgam (dileburkan) dengan ya berikutnya. [3] Kedua: Al-A’la (الأعلى) Nama ini berwazan af’al (أَفْعَل) dengan asal “أَعْلَو“. Huruf asli lamnya adalah wawu yang kemudian diubah menjadi ya, lalu diubah menjadi alif. [4] Ketiga: Al-Muta’ali (المتعالي) Merupakan isim fa’il (pelaku) dari kata kerja “تَعَالَى“. Asalnya adalah “الْمُتَعَالو” dari kata dasar “علا – يعلو“. Huruf wawu diubah menjadi ya. [5] Secara makna, para ahli lughah (ahli bahasa) menjelaskan sebagai berikut: Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, العلي: فعيل من العلو والعلاء، والعلاء: الرفعة والسناء والجلال “Nama ‘Al-‘Aliy’ berwazan (فعيل), berasal dari kata “علو” (ketinggian) dan “علاء” yang bermakna keagungan, kehormatan, dan kemuliaan.” Orang Arab berkata, ‘فلان علي ذو علاء‘ untuk menyebut seseorang yang agung dan tinggi kedudukannya. Selain itu, ‘Al-‘Aliy’ dan ‘Al-‘Aaliy’ juga berarti yang menguasai dan yang menundukkan segala sesuatu. Dalam konteks bahasa, ‘علا فلان فلانًا’ berarti seseorang mengalahkan atau menundukkan orang lain.” [6] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (‌علو) الْعَيْنُ وَاللَّامُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ يَاءً كَانَ أَوْ وَاوًا أَوْ أَلِفًا، أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى السُّمُوِّ وَالِارْتِفَاعِ “Kata dasar ‘عَلَوَ‘ yang terdiri dari huruf ‘ain, lam, dan huruf illat (ya, wawu, atau alif) merupakan akar yang satu, menunjukkan makna ‘ketinggian’ dan ‘terangkat’.” [7] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, (ع ل ا) : عُلْوُ الدَّارِ وَغَيْرِهَا خِلَافُ السُّفْلِ … وَعَلَا الشَّيْءُ عُلُوًّا (مِنْ بَابِ قَعَدَ) ارْتَفَعَ. “Kata ‘عُلْوُ‘ berarti kebalikan dari rendah (sufl). Kata kerja ‘عَلَا – يعلو‘ bermakna naik atau terangkat.” [8] Makna “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” dalam konteks Allah Allah ‘Azza Wajalla adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali. Hal ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian-Nya dalam kedudukan, kehormatan, serta derajat. Al-Khalil bin Ahmad berkata, الله عز وجل هو العلي الأعلى المتعالي ذو العلاء والعلو، فأما العلاء: فالرفعة، والعلو: العظمة والتجبر. وتقول «علا الشيء علاء». ويقال: علوت وعليت جميعًا، وكذلك عليَ علاء في الرفعة والشرف والارتفاع “Allah adalah Al-‘Aliy, Al-A’la, dan Al-Muta’ali, yang memiliki keagungan dan ketinggian. Adapun ‘العلاء‘ berarti keagungan, sedangkan ‘العلو‘ berarti kebesaran dan keperkasaan. Kamu mengatakan, ‘علا الشيء علاء‘ (sesuatu itu menjadi tinggi). Dan digunakan juga, ‘علوت‘ (aku meninggi) dan ‘عليت‘ (aku mencapai ketinggian). Demikian juga, ‘عليَ علاء‘ menunjukkan keluhuran, kehormatan, dan ketinggian.” [9] Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan, mencakup ketinggian zat-Nya, ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya, dan ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Nama-nama ini menunjukkan ketinggian Allah yang mutlak dalam segala aspek dan pertimbangan: Pertama: Allah adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian zat-Nya, yang istiwa di atas ‘Arsy, dan tinggi di atas semua makhluk serta terpisah dari mereka. Sebagaimana firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ‘Ar-Rahman istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Thaha: 5) Dan firman-Nya dalam enam ayat Al-Qur’an, ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.’ (QS. Al-A’raf: 54) Yaitu, Dia tinggi dan berada di atas ‘Arsy dengan ketinggian yang sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kebesaran-Nya. Kedua: Dia juga Al-‘Aliy dalam ketinggian martabat dan keagungan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya begitu agung, tidak ada yang setara atau mendekati sifat-sifat tersebut. Bahkan, hamba-hamba-Nya tidak mampu memahami sepenuhnya satu pun dari sifat-sifat-Nya. Ketiga: Dia adalah Al-‘Aliy dalam ketinggian kekuasaan-Nya, yang menguasai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk kepada-Nya. Seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang bergerak atau diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.” [10] Allah Ta’ala Al-‘Aliy yang menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, dan Al-A’la yang menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut. Syekh As-Si’diy berkata, والفرق بين العلي الأعلى أنَّ العلي يدل على كثرة الصفات ومتعلقاتها وتنوعها، والأعلى يدل على عظمتها “Perbedaan antara Al-‘Aliy dan Al-A’la adalah bahwa Al-‘Aliy menunjukkan banyaknya sifat-sifat Allah, berbagai aspek yang berkaitan dengannya, dan keragamannya, sedangkan Al-A’la menunjukkan keagungan sifat-sifat tersebut.” [11] Adapun tentang Al-Muta’ali, Imam Mufassir, Ibnu katsir mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} أَيْ: عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ، فَخَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ وَدَانَ لَهُ الْعِبَادُ، طَوْعًا وَكَرْهًا “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, menguasai segala sesuatu, sehingga semua leher tunduk kepada-Nya, dan semua makhluk patuh kepada-Nya, baik dengan suka maupun terpaksa.” [12] Syekh As-Si’diy rahimahullah mengatakan, {‌الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره. “Al-Muta’ali berarti Dia Mahatinggi atas semua makhluk-Nya, dengan Zat-Nya, kekuasaan-Nya, dan keperkasaan-Nya.” [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Majid” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi hamba Penetapan nama-nama “Al-‘Aliy“, “Al-A’la“, dan “Al-Muta’ali” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang muslim hendaknya meyakini ketinggian mutlak Allah, Rabb semesta alam, dalam semua maknanya, tanpa meniadakan atau menakwilkan salah satu dari sifat tersebut, serta tanpa membatasi apa pun darinya. Dia wajib menetapkan bagi-Nya ketinggian zat, ketinggian kedudukan, dan ketinggian kekuasaan. Kedua: Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya, dan Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tentang diri-Nya. Hal ini merupakan akidah salaf umat ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, termasuk para ulama hadis, tafsir, fikih, ushul, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan lainnya. [14] Ketiga: Keimanan terhadap ketinggian Allah atas makhluk-Nya akan menanamkan rasa pengagungan, kerendahan, ketundukan hati di hadapan Allah, penyucian-Nya dari segala kekurangan dan cela, keikhlasan dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ، هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikianlah, karena Allah, Dialah yang benar, dan apa yang mereka seru selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi, Mahabesar” (QS Al-Hajj: 62). [15] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Al-Shadhili, Ayman. Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif. Diedit oleh Mukhtar bin Faraj Al-‘Alami. Pengantar oleh Zakaria Al-Nuti. Cetakan Pertama. 1440 H/2019 M. Kharuf, Muhammad Fahd. Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah. Edisi Kelima. Beirut: Dar Ibn Kathir, 1437 H/2016 M. ISBN: 978-614-415-173-0.   Catatan kaki: [1] An-Nahjul Asma, hal. 225. [2] Al-Muyassar fi Al-Qira’at Al-‘Asyr Al-Mutawatirah, hal. 250. Lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170, dan Al-Mudhah, hal. 700-701. [3] Al-Bayan, hal. 42. Lihat juga Isytiqaq, hal. 108. [4] Al-Bayan, hal. 591. [5] Al-Bayan, hal. 250. Lihat juga An-Nahjul Asma, hal. 224. [6] Isytiqaq, hal. 108. [7] Maqaayiis Al-Lughah, hal. 597 [8] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 431. [9] Dinukil dari Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 109. [10] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 170. [11] Fathur Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 51. [12] Tafsir Ibnu Katsir, 4: 437. [13] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 414. [14] An-Nahj Al-Asma, hal. 227-228. [15] Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 174.

Kapan Seseorang Disebut Sebagai Ahli Zikir? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Para ulama mengatakan: Bahwa seorang hamba akan termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah, apabila ia senantiasa membaca zikir pagi dan petang yang sesuai sunah. Juga membaca zikir setelah salat dan sebelum tidur. Serta membaca zikir masuk dan keluar rumah maupun naik kendaraan. Selain itu, ia juga merutinkan membaca zikir yang umum kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan termasuk ke dalam golongan ahli zikir: “Para lelaki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah…” (QS Al-Ahzab: 35) yang telah Allah siapkan bagi mereka ampunan dan pahala. ===== أَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ أَنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا إِذَا اعْتَنَى بِأَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ الْمَأْثُورَةِ وَأَذْكَارِ الصَّلَوَاتِ وَأَذْكَارِ النَّوْمِ وَأَذْكَارِ الدُّخُولِ وَالْخُرُوجِ وَالرُّكُوبِ وَأَيْضًا اعْتَنَى بِشَيءٍ مِنَ الذِّكْرِ الْمُطْلَقِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ الَّذِينَ أَعَدَّ اللهُ لَهُمُ الْمَغْفِرَةَ وَالْأَجْرَ

Kapan Seseorang Disebut Sebagai Ahli Zikir? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Para ulama mengatakan: Bahwa seorang hamba akan termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah, apabila ia senantiasa membaca zikir pagi dan petang yang sesuai sunah. Juga membaca zikir setelah salat dan sebelum tidur. Serta membaca zikir masuk dan keluar rumah maupun naik kendaraan. Selain itu, ia juga merutinkan membaca zikir yang umum kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan termasuk ke dalam golongan ahli zikir: “Para lelaki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah…” (QS Al-Ahzab: 35) yang telah Allah siapkan bagi mereka ampunan dan pahala. ===== أَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ أَنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا إِذَا اعْتَنَى بِأَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ الْمَأْثُورَةِ وَأَذْكَارِ الصَّلَوَاتِ وَأَذْكَارِ النَّوْمِ وَأَذْكَارِ الدُّخُولِ وَالْخُرُوجِ وَالرُّكُوبِ وَأَيْضًا اعْتَنَى بِشَيءٍ مِنَ الذِّكْرِ الْمُطْلَقِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ الَّذِينَ أَعَدَّ اللهُ لَهُمُ الْمَغْفِرَةَ وَالْأَجْرَ
Para ulama mengatakan: Bahwa seorang hamba akan termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah, apabila ia senantiasa membaca zikir pagi dan petang yang sesuai sunah. Juga membaca zikir setelah salat dan sebelum tidur. Serta membaca zikir masuk dan keluar rumah maupun naik kendaraan. Selain itu, ia juga merutinkan membaca zikir yang umum kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan termasuk ke dalam golongan ahli zikir: “Para lelaki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah…” (QS Al-Ahzab: 35) yang telah Allah siapkan bagi mereka ampunan dan pahala. ===== أَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ أَنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا إِذَا اعْتَنَى بِأَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ الْمَأْثُورَةِ وَأَذْكَارِ الصَّلَوَاتِ وَأَذْكَارِ النَّوْمِ وَأَذْكَارِ الدُّخُولِ وَالْخُرُوجِ وَالرُّكُوبِ وَأَيْضًا اعْتَنَى بِشَيءٍ مِنَ الذِّكْرِ الْمُطْلَقِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ الَّذِينَ أَعَدَّ اللهُ لَهُمُ الْمَغْفِرَةَ وَالْأَجْرَ


Para ulama mengatakan: Bahwa seorang hamba akan termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah, apabila ia senantiasa membaca zikir pagi dan petang yang sesuai sunah. Juga membaca zikir setelah salat dan sebelum tidur. Serta membaca zikir masuk dan keluar rumah maupun naik kendaraan. Selain itu, ia juga merutinkan membaca zikir yang umum kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan termasuk ke dalam golongan ahli zikir: “Para lelaki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah…” (QS Al-Ahzab: 35) yang telah Allah siapkan bagi mereka ampunan dan pahala. ===== أَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ أَنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا إِذَا اعْتَنَى بِأَذْكَارِ الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ الْمَأْثُورَةِ وَأَذْكَارِ الصَّلَوَاتِ وَأَذْكَارِ النَّوْمِ وَأَذْكَارِ الدُّخُولِ وَالْخُرُوجِ وَالرُّكُوبِ وَأَيْضًا اعْتَنَى بِشَيءٍ مِنَ الذِّكْرِ الْمُطْلَقِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ دَخَلَ فِي هَؤُلَاءِ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ الَّذِينَ أَعَدَّ اللهُ لَهُمُ الْمَغْفِرَةَ وَالْأَجْرَ

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 2): Mengungkap Jejak Arab Musta’rabah

Daftar Isi Toggle Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabahJejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah MakkahKeturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Setelah membahas Arab Ba’idah yang telah punah dan Arab ‘Aribah yang merupakan suku asli Jazirah Arab, kini waktunya kita mengenal Arab Musta’rabah. Apa itu Arab Musta’rabah? Bagaimana awal terbentuknya? InsyaAllah artikel ini akan mengantarkan Anda untuk mengetahui lebih lanjut terkait Arab Musta’rabah. Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabah Arab Musta’rabah (العرب المستعربة) berasal dari keturunan Nabi Ibrahim (إبراهيم) ‘alaihissalam yang sempat menetap di daerah Irak. Setelah selang beberapa saat, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berhijrah ke beberapa daerah, di antaranya adalah Mesir. Ketika di Mesir, Fir’aun mencoba melakukan tipu daya kepada Sarah (سارة), istri beliau ‘alaihissalam. Akan tetapi, Allah membalikkan tipu daya tersebut kepada Fir’aun. Akhirnya, Fir’aun menyadari bahwa Sarah memiliki hubungan yang kuat dengan Allah sehingga ia menghadiahkan Hajar (هاجر) kepada Sarah. Di kemudian hari, Sarah menikahkan Hajar dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Jejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah Makkah Dalam pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar, Allah mengaruniakannya anak bernama Isma’il (إسماعيل). Hal itu membuat Sarah cemburu. Hal ini memaksa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar beserta Isma’il kecil ke daerah Hijaz (الحجاز). Beliau menempatkan keduanya di lembah tandus di dekat Baitullah yang waktu itu belum berwujud Ka’bah. Saat itu, penduduk sama sekali belum ada. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membekali keduanya dengan sekantung kurma dan sekantung air. Setelah itu, beliau kembali Palestina. Hari-hari berlalu sampai perbekalan mereka berdua habis. Singkat cerita, memancarlah air dari sumur Zamzam atas karunia dari Allah ‘Azza Wajalla. Dengan demikian, air Zamzam tersebut dapat menjadi makanan bagi keduanya untuk sementara waktu. Selang beberapa waktu, datanglah kabilah dari Yaman, yaitu Jurhum kedua ke Makkah dan menetap di sana setelah mendapatkan izin kepada Hajar, ibunda Isma’il. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sering mengunjungi Makkah untuk melihat keadaan keluarganya yang ditinggalkan di sana. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat kali kunjungan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke Makkah. Salah satu kunjungannya itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala ceritakan di dalam Al-Qur’an tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi menyembelih anaknya, Isma’il. Maka, Nabi Ibrahim menjalankan perintah tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّهٗ لِلۡجَبِيۡنِ​ۚ‏ (١٠٣) وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ‏ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ​ ​ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏ (١٠٥) اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡبَلٰٓؤُا الۡمُبِيۡنُ‏ (١٠٦) وَفَدَيۡنٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيۡمٍ‏ (١٠٧) “Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu, Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 103-107) Kisah ini menceritakan minimal kunjungan pertama sebelum Isma’il beranjak dewasa. Tiga kunjungan lainnya disebutkan panjang lebar oleh Bukhari dari Ibnu Abbas. Intinya, tatkala Nabi Isma’il beranjak dewasa dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, penduduk kagum dengan kepribadiannya. Lalu, mereka menikahkan Nabi Isma’il dengan seorang wanita dari kabilah tersebut. Tidak beselang lama, Hajar meninggal dunia. Setelah Nabi Isma’il menikah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengunjungi keluarganya di Makkah. Namun, beliau ‘alaihissalam tidak mendapati Nabi Isma’il di sana. Akan tetapi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan istri Nabi Isma’il dan menanyakan keadaan mereka berdua. Istrinya mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka alami. Setelah itu, Nabi Ibrahim berpesan kepada Isma’il melalui istrinya agar Nabi Isma’il “mengganti ambang pintu rumahnya”. Setelah mendengar pesan ayahnya, Nabi Isma’il mengerti maksud ayahnya, lalu menceraikan istrinya tersebut. Setelah itu, Nabi Isma’il menikah dengan wanita lain, yaitu seorang putri Mudhadh bin ‘Amr (مضاض بن عمرو). Mudhadh adalah seorang tokoh dalam kabilah Jurhum. Di kesempatan lain, Nabi Ibrahim berkunjung kembali setelah pernikahan Nabi Isma’il yang kedua. Nabi Ibrahim Kembali tidak mendapati Nabi Isma’il. Kemudian, beliau bertemu dengan istri keduanya dan menanyakan kondisi mereka berdua. Istrinya memuji Allah dan bercerita tentang keadaan mereka yang baik. Maka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpesan kepada Nabi Isma’il agar “memperkuat ambang pintu rumahnya”. Setelah beberapa waktu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kembali berkunjung ke Makkah dan menjumpai Nabi Isma’il ‘alaihissalam. Ketika Nabi Isma’il bertemu sang ayah, beliau segera menyambut ayahnya dengan penuh kasih, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang anak kepada ayahnya. Pertemuan mereka terjadi setelah sekian lama sehingga menimbulkan kerinduan yang mendalam. Dalam kunjungannya ini, Nabi Ibrahim juga membangun Ka’bah bersama Nabi Isma’il dan meninggikan fondasinya. Setelah itu, Nabi Ibrahim juga berseru kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang Allah perintahkan. Keturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Dari pernikahan Nabi Isma’il dengan putri Mudhadh, Allah menganugerahkan dua belas anak laki-laki, yaitu Nabat (نابت), Qaidar (قيدار), Adba’il (أدبائيل), Mibsyam (مبشام), Misyma’ (مشماع), Duma (دوما), Misya (ميشا), Hadad (حدد), Yatma (يتما), Yathur (يطور), Nafis (نفيس), dan Qaiduman (قيدمان). Dari anak-anaknya tersebut, terbentuk 12 kabilah yang semuanya menetap di Makkah selama beberapa waktu. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Setelah itu, kabilah-kabilah ini menyebar ke seluruh Jazirah Arab, bahkan sampai keluar wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, jejak sejarah mereka hilang, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar. Peradaban anak keturunan Nabat (Nabatea) berkembang pesat di wilayah utara Hijaz. Mereka membentuk pemerintahan yang kuat dan diakui oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka menjadikan Petra sebagai ibu kotanya. Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan mereka sampai bangsa Romawi mengalahkan mereka. Adapun keturunan Qaidar, mereka senantiasa menetap di Makkah sampai lahirnya Adnan (عدنان) dan anaknya, Ma’ad (معد). Dari Adnan inilah, nasab bangsa Arab Adnaniyyah terjaga. Adnan merupakan leluhur Nabi Muhammad ke-21 dalam silsilah beliau. Ma’ad memiliki anak bernama Nizar (نزار). Nizar memiliki empat orang anak, yaitu Iyad (إياد), Anmar (أنمار), Rabi’ah (ربيعة), dan Mudhar (مضر). Kabilah Mudhar bercabang menjadi dua, yaitu Qais ‘Ailan (قيس عيلان) dan Ilyas (إلياس). Ilyas bin Mudhar memiliki keturunan Tamim bin Murrah (تميم بن مرة), Hudzail bin Mudrikah (هذيل بن مدركة), keturunan Asad bin Khuzaimah (بنو أسد بن خزيمة), dan keturunan Kinanah bin Khuzaimah (بطون كنانة بن خزيمة). Dari keturunan Kinanah, lahirlah Quraisy (قريش). Mereka adalah anak-anak Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah (فهر بن مالك بن النضر بن كنانة). Quraisy terbagi menjadi banyak kabilah. Kabilah yang terkenal di antaranya adalah Jumuh (جمح), Sahm (سهم), Adi (عدي), Makhzum (مخزوم), Taim (تيم), Zuhrah (زهرة), keturunan Qushay bin Kilab (بطون قصي بن كلاب). Keturunan Qushay bin Kilab terdiri dari Abdud Dar (عبد الدار), Asad bin Abdul Uzza (أسد بن عبد العزي), dan Abdu Manaf (عبد مناف). Abdu Manaf memiliki empat anak: Abdu Syams (عبد شمس), Naufal (نوفل), Al-Muththalib (المطلب), dan Hasyim (هاشم). Keluarga Hasyim adalah garis keturunan yang Allah pilih sebagai asal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim (عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله اصطفى من ولد إبراهيم إسماعيل، واصطفى من ولد إسماعيل كنانة، واصطفى من بني كنانة قريشا، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم “Sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Kinanah, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) Semua keturunan Adnan menyebar ke seantero Jazirah Arab. Di antaranya ada yang bermigrasi ke Bahrain (البحرين), Yamamah (اليمامة), Bashrah (البصرة), Kufah (الكوفة), Madinah (المدينة), Tha’if (الطائف), dan Hauran (حوران). Keturunan Quraisy yang tetap menetap di Makkah. Awalnya mereka hidup terpencar-pencar dan tidak memiliki persatuan hingga muncullah Qushay bin Kilab yang menyatukan mereka. Persatuan ini membuat mereka mulia dan mengangkat kedudukan mereka. Arab Musta’rabah adalah salah satu pilar utama dalam peradaban Jazirah Arab. Mereka tidak hanya membangun fondasi budaya dan sejarah yang kuat, tetapi juga Allah pilih sebagai garis keturunan lahirnya Nabi terakhir yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah warisan yang mengingatkan kita akan peran besar bangsa ini dalam sejarah umat manusia. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Ar-Rahiq Al-Makhtum, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubarakfuri dengan sedikit penambahan.

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 2): Mengungkap Jejak Arab Musta’rabah

Daftar Isi Toggle Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabahJejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah MakkahKeturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Setelah membahas Arab Ba’idah yang telah punah dan Arab ‘Aribah yang merupakan suku asli Jazirah Arab, kini waktunya kita mengenal Arab Musta’rabah. Apa itu Arab Musta’rabah? Bagaimana awal terbentuknya? InsyaAllah artikel ini akan mengantarkan Anda untuk mengetahui lebih lanjut terkait Arab Musta’rabah. Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabah Arab Musta’rabah (العرب المستعربة) berasal dari keturunan Nabi Ibrahim (إبراهيم) ‘alaihissalam yang sempat menetap di daerah Irak. Setelah selang beberapa saat, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berhijrah ke beberapa daerah, di antaranya adalah Mesir. Ketika di Mesir, Fir’aun mencoba melakukan tipu daya kepada Sarah (سارة), istri beliau ‘alaihissalam. Akan tetapi, Allah membalikkan tipu daya tersebut kepada Fir’aun. Akhirnya, Fir’aun menyadari bahwa Sarah memiliki hubungan yang kuat dengan Allah sehingga ia menghadiahkan Hajar (هاجر) kepada Sarah. Di kemudian hari, Sarah menikahkan Hajar dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Jejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah Makkah Dalam pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar, Allah mengaruniakannya anak bernama Isma’il (إسماعيل). Hal itu membuat Sarah cemburu. Hal ini memaksa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar beserta Isma’il kecil ke daerah Hijaz (الحجاز). Beliau menempatkan keduanya di lembah tandus di dekat Baitullah yang waktu itu belum berwujud Ka’bah. Saat itu, penduduk sama sekali belum ada. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membekali keduanya dengan sekantung kurma dan sekantung air. Setelah itu, beliau kembali Palestina. Hari-hari berlalu sampai perbekalan mereka berdua habis. Singkat cerita, memancarlah air dari sumur Zamzam atas karunia dari Allah ‘Azza Wajalla. Dengan demikian, air Zamzam tersebut dapat menjadi makanan bagi keduanya untuk sementara waktu. Selang beberapa waktu, datanglah kabilah dari Yaman, yaitu Jurhum kedua ke Makkah dan menetap di sana setelah mendapatkan izin kepada Hajar, ibunda Isma’il. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sering mengunjungi Makkah untuk melihat keadaan keluarganya yang ditinggalkan di sana. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat kali kunjungan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke Makkah. Salah satu kunjungannya itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala ceritakan di dalam Al-Qur’an tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi menyembelih anaknya, Isma’il. Maka, Nabi Ibrahim menjalankan perintah tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّهٗ لِلۡجَبِيۡنِ​ۚ‏ (١٠٣) وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ‏ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ​ ​ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏ (١٠٥) اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡبَلٰٓؤُا الۡمُبِيۡنُ‏ (١٠٦) وَفَدَيۡنٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيۡمٍ‏ (١٠٧) “Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu, Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 103-107) Kisah ini menceritakan minimal kunjungan pertama sebelum Isma’il beranjak dewasa. Tiga kunjungan lainnya disebutkan panjang lebar oleh Bukhari dari Ibnu Abbas. Intinya, tatkala Nabi Isma’il beranjak dewasa dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, penduduk kagum dengan kepribadiannya. Lalu, mereka menikahkan Nabi Isma’il dengan seorang wanita dari kabilah tersebut. Tidak beselang lama, Hajar meninggal dunia. Setelah Nabi Isma’il menikah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengunjungi keluarganya di Makkah. Namun, beliau ‘alaihissalam tidak mendapati Nabi Isma’il di sana. Akan tetapi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan istri Nabi Isma’il dan menanyakan keadaan mereka berdua. Istrinya mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka alami. Setelah itu, Nabi Ibrahim berpesan kepada Isma’il melalui istrinya agar Nabi Isma’il “mengganti ambang pintu rumahnya”. Setelah mendengar pesan ayahnya, Nabi Isma’il mengerti maksud ayahnya, lalu menceraikan istrinya tersebut. Setelah itu, Nabi Isma’il menikah dengan wanita lain, yaitu seorang putri Mudhadh bin ‘Amr (مضاض بن عمرو). Mudhadh adalah seorang tokoh dalam kabilah Jurhum. Di kesempatan lain, Nabi Ibrahim berkunjung kembali setelah pernikahan Nabi Isma’il yang kedua. Nabi Ibrahim Kembali tidak mendapati Nabi Isma’il. Kemudian, beliau bertemu dengan istri keduanya dan menanyakan kondisi mereka berdua. Istrinya memuji Allah dan bercerita tentang keadaan mereka yang baik. Maka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpesan kepada Nabi Isma’il agar “memperkuat ambang pintu rumahnya”. Setelah beberapa waktu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kembali berkunjung ke Makkah dan menjumpai Nabi Isma’il ‘alaihissalam. Ketika Nabi Isma’il bertemu sang ayah, beliau segera menyambut ayahnya dengan penuh kasih, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang anak kepada ayahnya. Pertemuan mereka terjadi setelah sekian lama sehingga menimbulkan kerinduan yang mendalam. Dalam kunjungannya ini, Nabi Ibrahim juga membangun Ka’bah bersama Nabi Isma’il dan meninggikan fondasinya. Setelah itu, Nabi Ibrahim juga berseru kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang Allah perintahkan. Keturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Dari pernikahan Nabi Isma’il dengan putri Mudhadh, Allah menganugerahkan dua belas anak laki-laki, yaitu Nabat (نابت), Qaidar (قيدار), Adba’il (أدبائيل), Mibsyam (مبشام), Misyma’ (مشماع), Duma (دوما), Misya (ميشا), Hadad (حدد), Yatma (يتما), Yathur (يطور), Nafis (نفيس), dan Qaiduman (قيدمان). Dari anak-anaknya tersebut, terbentuk 12 kabilah yang semuanya menetap di Makkah selama beberapa waktu. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Setelah itu, kabilah-kabilah ini menyebar ke seluruh Jazirah Arab, bahkan sampai keluar wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, jejak sejarah mereka hilang, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar. Peradaban anak keturunan Nabat (Nabatea) berkembang pesat di wilayah utara Hijaz. Mereka membentuk pemerintahan yang kuat dan diakui oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka menjadikan Petra sebagai ibu kotanya. Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan mereka sampai bangsa Romawi mengalahkan mereka. Adapun keturunan Qaidar, mereka senantiasa menetap di Makkah sampai lahirnya Adnan (عدنان) dan anaknya, Ma’ad (معد). Dari Adnan inilah, nasab bangsa Arab Adnaniyyah terjaga. Adnan merupakan leluhur Nabi Muhammad ke-21 dalam silsilah beliau. Ma’ad memiliki anak bernama Nizar (نزار). Nizar memiliki empat orang anak, yaitu Iyad (إياد), Anmar (أنمار), Rabi’ah (ربيعة), dan Mudhar (مضر). Kabilah Mudhar bercabang menjadi dua, yaitu Qais ‘Ailan (قيس عيلان) dan Ilyas (إلياس). Ilyas bin Mudhar memiliki keturunan Tamim bin Murrah (تميم بن مرة), Hudzail bin Mudrikah (هذيل بن مدركة), keturunan Asad bin Khuzaimah (بنو أسد بن خزيمة), dan keturunan Kinanah bin Khuzaimah (بطون كنانة بن خزيمة). Dari keturunan Kinanah, lahirlah Quraisy (قريش). Mereka adalah anak-anak Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah (فهر بن مالك بن النضر بن كنانة). Quraisy terbagi menjadi banyak kabilah. Kabilah yang terkenal di antaranya adalah Jumuh (جمح), Sahm (سهم), Adi (عدي), Makhzum (مخزوم), Taim (تيم), Zuhrah (زهرة), keturunan Qushay bin Kilab (بطون قصي بن كلاب). Keturunan Qushay bin Kilab terdiri dari Abdud Dar (عبد الدار), Asad bin Abdul Uzza (أسد بن عبد العزي), dan Abdu Manaf (عبد مناف). Abdu Manaf memiliki empat anak: Abdu Syams (عبد شمس), Naufal (نوفل), Al-Muththalib (المطلب), dan Hasyim (هاشم). Keluarga Hasyim adalah garis keturunan yang Allah pilih sebagai asal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim (عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله اصطفى من ولد إبراهيم إسماعيل، واصطفى من ولد إسماعيل كنانة، واصطفى من بني كنانة قريشا، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم “Sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Kinanah, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) Semua keturunan Adnan menyebar ke seantero Jazirah Arab. Di antaranya ada yang bermigrasi ke Bahrain (البحرين), Yamamah (اليمامة), Bashrah (البصرة), Kufah (الكوفة), Madinah (المدينة), Tha’if (الطائف), dan Hauran (حوران). Keturunan Quraisy yang tetap menetap di Makkah. Awalnya mereka hidup terpencar-pencar dan tidak memiliki persatuan hingga muncullah Qushay bin Kilab yang menyatukan mereka. Persatuan ini membuat mereka mulia dan mengangkat kedudukan mereka. Arab Musta’rabah adalah salah satu pilar utama dalam peradaban Jazirah Arab. Mereka tidak hanya membangun fondasi budaya dan sejarah yang kuat, tetapi juga Allah pilih sebagai garis keturunan lahirnya Nabi terakhir yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah warisan yang mengingatkan kita akan peran besar bangsa ini dalam sejarah umat manusia. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Ar-Rahiq Al-Makhtum, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubarakfuri dengan sedikit penambahan.
Daftar Isi Toggle Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabahJejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah MakkahKeturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Setelah membahas Arab Ba’idah yang telah punah dan Arab ‘Aribah yang merupakan suku asli Jazirah Arab, kini waktunya kita mengenal Arab Musta’rabah. Apa itu Arab Musta’rabah? Bagaimana awal terbentuknya? InsyaAllah artikel ini akan mengantarkan Anda untuk mengetahui lebih lanjut terkait Arab Musta’rabah. Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabah Arab Musta’rabah (العرب المستعربة) berasal dari keturunan Nabi Ibrahim (إبراهيم) ‘alaihissalam yang sempat menetap di daerah Irak. Setelah selang beberapa saat, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berhijrah ke beberapa daerah, di antaranya adalah Mesir. Ketika di Mesir, Fir’aun mencoba melakukan tipu daya kepada Sarah (سارة), istri beliau ‘alaihissalam. Akan tetapi, Allah membalikkan tipu daya tersebut kepada Fir’aun. Akhirnya, Fir’aun menyadari bahwa Sarah memiliki hubungan yang kuat dengan Allah sehingga ia menghadiahkan Hajar (هاجر) kepada Sarah. Di kemudian hari, Sarah menikahkan Hajar dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Jejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah Makkah Dalam pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar, Allah mengaruniakannya anak bernama Isma’il (إسماعيل). Hal itu membuat Sarah cemburu. Hal ini memaksa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar beserta Isma’il kecil ke daerah Hijaz (الحجاز). Beliau menempatkan keduanya di lembah tandus di dekat Baitullah yang waktu itu belum berwujud Ka’bah. Saat itu, penduduk sama sekali belum ada. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membekali keduanya dengan sekantung kurma dan sekantung air. Setelah itu, beliau kembali Palestina. Hari-hari berlalu sampai perbekalan mereka berdua habis. Singkat cerita, memancarlah air dari sumur Zamzam atas karunia dari Allah ‘Azza Wajalla. Dengan demikian, air Zamzam tersebut dapat menjadi makanan bagi keduanya untuk sementara waktu. Selang beberapa waktu, datanglah kabilah dari Yaman, yaitu Jurhum kedua ke Makkah dan menetap di sana setelah mendapatkan izin kepada Hajar, ibunda Isma’il. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sering mengunjungi Makkah untuk melihat keadaan keluarganya yang ditinggalkan di sana. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat kali kunjungan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke Makkah. Salah satu kunjungannya itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala ceritakan di dalam Al-Qur’an tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi menyembelih anaknya, Isma’il. Maka, Nabi Ibrahim menjalankan perintah tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّهٗ لِلۡجَبِيۡنِ​ۚ‏ (١٠٣) وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ‏ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ​ ​ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏ (١٠٥) اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡبَلٰٓؤُا الۡمُبِيۡنُ‏ (١٠٦) وَفَدَيۡنٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيۡمٍ‏ (١٠٧) “Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu, Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 103-107) Kisah ini menceritakan minimal kunjungan pertama sebelum Isma’il beranjak dewasa. Tiga kunjungan lainnya disebutkan panjang lebar oleh Bukhari dari Ibnu Abbas. Intinya, tatkala Nabi Isma’il beranjak dewasa dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, penduduk kagum dengan kepribadiannya. Lalu, mereka menikahkan Nabi Isma’il dengan seorang wanita dari kabilah tersebut. Tidak beselang lama, Hajar meninggal dunia. Setelah Nabi Isma’il menikah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengunjungi keluarganya di Makkah. Namun, beliau ‘alaihissalam tidak mendapati Nabi Isma’il di sana. Akan tetapi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan istri Nabi Isma’il dan menanyakan keadaan mereka berdua. Istrinya mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka alami. Setelah itu, Nabi Ibrahim berpesan kepada Isma’il melalui istrinya agar Nabi Isma’il “mengganti ambang pintu rumahnya”. Setelah mendengar pesan ayahnya, Nabi Isma’il mengerti maksud ayahnya, lalu menceraikan istrinya tersebut. Setelah itu, Nabi Isma’il menikah dengan wanita lain, yaitu seorang putri Mudhadh bin ‘Amr (مضاض بن عمرو). Mudhadh adalah seorang tokoh dalam kabilah Jurhum. Di kesempatan lain, Nabi Ibrahim berkunjung kembali setelah pernikahan Nabi Isma’il yang kedua. Nabi Ibrahim Kembali tidak mendapati Nabi Isma’il. Kemudian, beliau bertemu dengan istri keduanya dan menanyakan kondisi mereka berdua. Istrinya memuji Allah dan bercerita tentang keadaan mereka yang baik. Maka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpesan kepada Nabi Isma’il agar “memperkuat ambang pintu rumahnya”. Setelah beberapa waktu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kembali berkunjung ke Makkah dan menjumpai Nabi Isma’il ‘alaihissalam. Ketika Nabi Isma’il bertemu sang ayah, beliau segera menyambut ayahnya dengan penuh kasih, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang anak kepada ayahnya. Pertemuan mereka terjadi setelah sekian lama sehingga menimbulkan kerinduan yang mendalam. Dalam kunjungannya ini, Nabi Ibrahim juga membangun Ka’bah bersama Nabi Isma’il dan meninggikan fondasinya. Setelah itu, Nabi Ibrahim juga berseru kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang Allah perintahkan. Keturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Dari pernikahan Nabi Isma’il dengan putri Mudhadh, Allah menganugerahkan dua belas anak laki-laki, yaitu Nabat (نابت), Qaidar (قيدار), Adba’il (أدبائيل), Mibsyam (مبشام), Misyma’ (مشماع), Duma (دوما), Misya (ميشا), Hadad (حدد), Yatma (يتما), Yathur (يطور), Nafis (نفيس), dan Qaiduman (قيدمان). Dari anak-anaknya tersebut, terbentuk 12 kabilah yang semuanya menetap di Makkah selama beberapa waktu. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Setelah itu, kabilah-kabilah ini menyebar ke seluruh Jazirah Arab, bahkan sampai keluar wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, jejak sejarah mereka hilang, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar. Peradaban anak keturunan Nabat (Nabatea) berkembang pesat di wilayah utara Hijaz. Mereka membentuk pemerintahan yang kuat dan diakui oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka menjadikan Petra sebagai ibu kotanya. Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan mereka sampai bangsa Romawi mengalahkan mereka. Adapun keturunan Qaidar, mereka senantiasa menetap di Makkah sampai lahirnya Adnan (عدنان) dan anaknya, Ma’ad (معد). Dari Adnan inilah, nasab bangsa Arab Adnaniyyah terjaga. Adnan merupakan leluhur Nabi Muhammad ke-21 dalam silsilah beliau. Ma’ad memiliki anak bernama Nizar (نزار). Nizar memiliki empat orang anak, yaitu Iyad (إياد), Anmar (أنمار), Rabi’ah (ربيعة), dan Mudhar (مضر). Kabilah Mudhar bercabang menjadi dua, yaitu Qais ‘Ailan (قيس عيلان) dan Ilyas (إلياس). Ilyas bin Mudhar memiliki keturunan Tamim bin Murrah (تميم بن مرة), Hudzail bin Mudrikah (هذيل بن مدركة), keturunan Asad bin Khuzaimah (بنو أسد بن خزيمة), dan keturunan Kinanah bin Khuzaimah (بطون كنانة بن خزيمة). Dari keturunan Kinanah, lahirlah Quraisy (قريش). Mereka adalah anak-anak Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah (فهر بن مالك بن النضر بن كنانة). Quraisy terbagi menjadi banyak kabilah. Kabilah yang terkenal di antaranya adalah Jumuh (جمح), Sahm (سهم), Adi (عدي), Makhzum (مخزوم), Taim (تيم), Zuhrah (زهرة), keturunan Qushay bin Kilab (بطون قصي بن كلاب). Keturunan Qushay bin Kilab terdiri dari Abdud Dar (عبد الدار), Asad bin Abdul Uzza (أسد بن عبد العزي), dan Abdu Manaf (عبد مناف). Abdu Manaf memiliki empat anak: Abdu Syams (عبد شمس), Naufal (نوفل), Al-Muththalib (المطلب), dan Hasyim (هاشم). Keluarga Hasyim adalah garis keturunan yang Allah pilih sebagai asal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim (عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله اصطفى من ولد إبراهيم إسماعيل، واصطفى من ولد إسماعيل كنانة، واصطفى من بني كنانة قريشا، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم “Sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Kinanah, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) Semua keturunan Adnan menyebar ke seantero Jazirah Arab. Di antaranya ada yang bermigrasi ke Bahrain (البحرين), Yamamah (اليمامة), Bashrah (البصرة), Kufah (الكوفة), Madinah (المدينة), Tha’if (الطائف), dan Hauran (حوران). Keturunan Quraisy yang tetap menetap di Makkah. Awalnya mereka hidup terpencar-pencar dan tidak memiliki persatuan hingga muncullah Qushay bin Kilab yang menyatukan mereka. Persatuan ini membuat mereka mulia dan mengangkat kedudukan mereka. Arab Musta’rabah adalah salah satu pilar utama dalam peradaban Jazirah Arab. Mereka tidak hanya membangun fondasi budaya dan sejarah yang kuat, tetapi juga Allah pilih sebagai garis keturunan lahirnya Nabi terakhir yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah warisan yang mengingatkan kita akan peran besar bangsa ini dalam sejarah umat manusia. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Ar-Rahiq Al-Makhtum, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubarakfuri dengan sedikit penambahan.


Daftar Isi Toggle Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabahJejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah MakkahKeturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Setelah membahas Arab Ba’idah yang telah punah dan Arab ‘Aribah yang merupakan suku asli Jazirah Arab, kini waktunya kita mengenal Arab Musta’rabah. Apa itu Arab Musta’rabah? Bagaimana awal terbentuknya? InsyaAllah artikel ini akan mengantarkan Anda untuk mengetahui lebih lanjut terkait Arab Musta’rabah. Dari Ibrahim ke Makkah: Awal Arab Musta’rabah Arab Musta’rabah (العرب المستعربة) berasal dari keturunan Nabi Ibrahim (إبراهيم) ‘alaihissalam yang sempat menetap di daerah Irak. Setelah selang beberapa saat, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berhijrah ke beberapa daerah, di antaranya adalah Mesir. Ketika di Mesir, Fir’aun mencoba melakukan tipu daya kepada Sarah (سارة), istri beliau ‘alaihissalam. Akan tetapi, Allah membalikkan tipu daya tersebut kepada Fir’aun. Akhirnya, Fir’aun menyadari bahwa Sarah memiliki hubungan yang kuat dengan Allah sehingga ia menghadiahkan Hajar (هاجر) kepada Sarah. Di kemudian hari, Sarah menikahkan Hajar dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Jejak Nabi Isma’il: Kehidupan di lembah Makkah Dalam pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar, Allah mengaruniakannya anak bernama Isma’il (إسماعيل). Hal itu membuat Sarah cemburu. Hal ini memaksa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar beserta Isma’il kecil ke daerah Hijaz (الحجاز). Beliau menempatkan keduanya di lembah tandus di dekat Baitullah yang waktu itu belum berwujud Ka’bah. Saat itu, penduduk sama sekali belum ada. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membekali keduanya dengan sekantung kurma dan sekantung air. Setelah itu, beliau kembali Palestina. Hari-hari berlalu sampai perbekalan mereka berdua habis. Singkat cerita, memancarlah air dari sumur Zamzam atas karunia dari Allah ‘Azza Wajalla. Dengan demikian, air Zamzam tersebut dapat menjadi makanan bagi keduanya untuk sementara waktu. Selang beberapa waktu, datanglah kabilah dari Yaman, yaitu Jurhum kedua ke Makkah dan menetap di sana setelah mendapatkan izin kepada Hajar, ibunda Isma’il. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sering mengunjungi Makkah untuk melihat keadaan keluarganya yang ditinggalkan di sana. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat kali kunjungan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke Makkah. Salah satu kunjungannya itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala ceritakan di dalam Al-Qur’an tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi menyembelih anaknya, Isma’il. Maka, Nabi Ibrahim menjalankan perintah tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّهٗ لِلۡجَبِيۡنِ​ۚ‏ (١٠٣) وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ‏ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ​ ​ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏ (١٠٥) اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡبَلٰٓؤُا الۡمُبِيۡنُ‏ (١٠٦) وَفَدَيۡنٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيۡمٍ‏ (١٠٧) “Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu, Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 103-107) Kisah ini menceritakan minimal kunjungan pertama sebelum Isma’il beranjak dewasa. Tiga kunjungan lainnya disebutkan panjang lebar oleh Bukhari dari Ibnu Abbas. Intinya, tatkala Nabi Isma’il beranjak dewasa dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, penduduk kagum dengan kepribadiannya. Lalu, mereka menikahkan Nabi Isma’il dengan seorang wanita dari kabilah tersebut. Tidak beselang lama, Hajar meninggal dunia. Setelah Nabi Isma’il menikah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengunjungi keluarganya di Makkah. Namun, beliau ‘alaihissalam tidak mendapati Nabi Isma’il di sana. Akan tetapi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan istri Nabi Isma’il dan menanyakan keadaan mereka berdua. Istrinya mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka alami. Setelah itu, Nabi Ibrahim berpesan kepada Isma’il melalui istrinya agar Nabi Isma’il “mengganti ambang pintu rumahnya”. Setelah mendengar pesan ayahnya, Nabi Isma’il mengerti maksud ayahnya, lalu menceraikan istrinya tersebut. Setelah itu, Nabi Isma’il menikah dengan wanita lain, yaitu seorang putri Mudhadh bin ‘Amr (مضاض بن عمرو). Mudhadh adalah seorang tokoh dalam kabilah Jurhum. Di kesempatan lain, Nabi Ibrahim berkunjung kembali setelah pernikahan Nabi Isma’il yang kedua. Nabi Ibrahim Kembali tidak mendapati Nabi Isma’il. Kemudian, beliau bertemu dengan istri keduanya dan menanyakan kondisi mereka berdua. Istrinya memuji Allah dan bercerita tentang keadaan mereka yang baik. Maka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpesan kepada Nabi Isma’il agar “memperkuat ambang pintu rumahnya”. Setelah beberapa waktu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kembali berkunjung ke Makkah dan menjumpai Nabi Isma’il ‘alaihissalam. Ketika Nabi Isma’il bertemu sang ayah, beliau segera menyambut ayahnya dengan penuh kasih, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang anak kepada ayahnya. Pertemuan mereka terjadi setelah sekian lama sehingga menimbulkan kerinduan yang mendalam. Dalam kunjungannya ini, Nabi Ibrahim juga membangun Ka’bah bersama Nabi Isma’il dan meninggikan fondasinya. Setelah itu, Nabi Ibrahim juga berseru kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang Allah perintahkan. Keturunan Nabi Isma’il: Jejak Nabatea dan Arab Adnaniyah Dari pernikahan Nabi Isma’il dengan putri Mudhadh, Allah menganugerahkan dua belas anak laki-laki, yaitu Nabat (نابت), Qaidar (قيدار), Adba’il (أدبائيل), Mibsyam (مبشام), Misyma’ (مشماع), Duma (دوما), Misya (ميشا), Hadad (حدد), Yatma (يتما), Yathur (يطور), Nafis (نفيس), dan Qaiduman (قيدمان). Dari anak-anaknya tersebut, terbentuk 12 kabilah yang semuanya menetap di Makkah selama beberapa waktu. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Setelah itu, kabilah-kabilah ini menyebar ke seluruh Jazirah Arab, bahkan sampai keluar wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, jejak sejarah mereka hilang, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar. Peradaban anak keturunan Nabat (Nabatea) berkembang pesat di wilayah utara Hijaz. Mereka membentuk pemerintahan yang kuat dan diakui oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka menjadikan Petra sebagai ibu kotanya. Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan mereka sampai bangsa Romawi mengalahkan mereka. Adapun keturunan Qaidar, mereka senantiasa menetap di Makkah sampai lahirnya Adnan (عدنان) dan anaknya, Ma’ad (معد). Dari Adnan inilah, nasab bangsa Arab Adnaniyyah terjaga. Adnan merupakan leluhur Nabi Muhammad ke-21 dalam silsilah beliau. Ma’ad memiliki anak bernama Nizar (نزار). Nizar memiliki empat orang anak, yaitu Iyad (إياد), Anmar (أنمار), Rabi’ah (ربيعة), dan Mudhar (مضر). Kabilah Mudhar bercabang menjadi dua, yaitu Qais ‘Ailan (قيس عيلان) dan Ilyas (إلياس). Ilyas bin Mudhar memiliki keturunan Tamim bin Murrah (تميم بن مرة), Hudzail bin Mudrikah (هذيل بن مدركة), keturunan Asad bin Khuzaimah (بنو أسد بن خزيمة), dan keturunan Kinanah bin Khuzaimah (بطون كنانة بن خزيمة). Dari keturunan Kinanah, lahirlah Quraisy (قريش). Mereka adalah anak-anak Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah (فهر بن مالك بن النضر بن كنانة). Quraisy terbagi menjadi banyak kabilah. Kabilah yang terkenal di antaranya adalah Jumuh (جمح), Sahm (سهم), Adi (عدي), Makhzum (مخزوم), Taim (تيم), Zuhrah (زهرة), keturunan Qushay bin Kilab (بطون قصي بن كلاب). Keturunan Qushay bin Kilab terdiri dari Abdud Dar (عبد الدار), Asad bin Abdul Uzza (أسد بن عبد العزي), dan Abdu Manaf (عبد مناف). Abdu Manaf memiliki empat anak: Abdu Syams (عبد شمس), Naufal (نوفل), Al-Muththalib (المطلب), dan Hasyim (هاشم). Keluarga Hasyim adalah garis keturunan yang Allah pilih sebagai asal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim (عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله اصطفى من ولد إبراهيم إسماعيل، واصطفى من ولد إسماعيل كنانة، واصطفى من بني كنانة قريشا، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم “Sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Kinanah, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) Semua keturunan Adnan menyebar ke seantero Jazirah Arab. Di antaranya ada yang bermigrasi ke Bahrain (البحرين), Yamamah (اليمامة), Bashrah (البصرة), Kufah (الكوفة), Madinah (المدينة), Tha’if (الطائف), dan Hauran (حوران). Keturunan Quraisy yang tetap menetap di Makkah. Awalnya mereka hidup terpencar-pencar dan tidak memiliki persatuan hingga muncullah Qushay bin Kilab yang menyatukan mereka. Persatuan ini membuat mereka mulia dan mengangkat kedudukan mereka. Arab Musta’rabah adalah salah satu pilar utama dalam peradaban Jazirah Arab. Mereka tidak hanya membangun fondasi budaya dan sejarah yang kuat, tetapi juga Allah pilih sebagai garis keturunan lahirnya Nabi terakhir yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah warisan yang mengingatkan kita akan peran besar bangsa ini dalam sejarah umat manusia. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Ar-Rahiq Al-Makhtum, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubarakfuri dengan sedikit penambahan.

Mendoakan Anak, Salah Satu Rahasia Kesuksesan dan Keberhasilan

الدعاء للأولاد سر من أسرار النجاح والفلاح Oleh: Divisi Ilmiah di Lembaga Dakwah, Bimbingan, dan Penyuluhan Imigran di Selatan Buraydah اللجنة العلمية في مكتب الدعوة والإرشاد وتوعية الجاليات في جنوب بريدة كثيرون هم أولئك الذين دفعهم الحرص على صلاح أولادهم إلى سلوك وسائل مهمة في هذا الجانب، لكنهم قد يغفلون عن وسيلة هي من أقرب الوسائل وأكثرها وأسهلها، هذه الوسيلة لا تحتاج إلى عناء وتعب بل هي راحة الصالحين والمربين والعابدين تلكم الوسيلة هي وسيلة الدعاء للأولاد، وسأذكر على مسامعكم المباركة وقفات حول هذا الموضوع وعندكم الكثير غير أن هذه الوقفات هي مفتاح لتفعيل تلك الوسيلة. Segala puji hanya bagi Allah. selawat, salam, serta keberkahan semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi dan manusia terpilih-Nya, dan kepada keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau. Amma ba’du: Banyak orang – yang karena terdorong oleh keinginan besar agar anak-anaknya menjadi saleh – menempuh berbagai macam cara penting dalam usaha merealisasikan hal tersebut. Namun, terkadang mereka lalai dari cara yang merupakan salah satu cara tercepat, terbanyak, dan termudah. Cara ini tidak membutuhkan usaha dan energi besar, tapi ia merupakan menjadi sumber kedamaian orang-orang saleh, para pendidik, dan para ahli ibadah. Cara yang dimaksud adalah mendoakan anak-anak. Di sini saya akan menyebutkan beberapa renungan tentang tema ini. Mungkin masih banyak renungan lainnya, tapi renungan-renungan berikut merupakan kunci dari efektifitas penggunaan cara ini: الوقفة الأولى: أهميتها، مما يجمع عليه المربون والناصحون والمرشدون أن مناجاة الله تعالى في جميع الأمور غاية في الأهمية، ومنها الدعاء والمناجاة في طلب صلاح الذرية، كيف لا وهو سلوك الأنبياء قال الله تعالى عن إبراهيم عليه وعلى نبينا الصلاة والسلام (رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي) وهكذا الصالحون يرفعون أكف الضراعة إلى الله دائما في صلاح نياتهم وذرياتهم فقد قال الله تعالى عنهم في دعائهم (ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين) والواقع المعاصر يشهد بذلك فأحدهم كان أبناؤه حفظة لكتاب الله ولسنة رسوله عليه الصلاة والسلام ويظهر عليهم الصلاح والتقى والهدى، فلما سئل عن ذلك قال كنت ملازما للدعاء لهم في كثير من الأوقات ولم أبذل أسبابا تذكر كما بذلت في الدعاء. Pertama: Urgensinya. Sudah menjadi suatu kesepakatan dari para pendidik, pemberi nasihat, dan pembimbing bahwa munajat kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan merupakan hal yang sangat penting. Di antaranya adalah bermunajat dan berdoa meminta keturunan yang saleh. Bagaimana tidak, sedangkan ini adalah cara para Nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim – semoga selawat dan salam terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat…” (QS. Ibrahim: 40). Demikian juga orang-orang saleh yang senantiasa menengadahkan tangan dengan penuh ketundukan kepada Allah agar memperbaiki niat dan keturunan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka ketika berdoa: رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ  “…Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami…” (QS. Al-Furqan: 74). Realita yang terjadi memang menegaskan hal ini. Ada salah satu orang saleh yang anak-anaknya menjadi para penghafal Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tampak dari diri mereka kesalehan, ketakwaan, dan hidayah. Ketika orang tuanya ditanya tentang itu, ia menjawab, “Dulu aku selalu mendoakan anak-anak dalam berbagai kesempatan; dan aku tidak mengerahkan usaha yang signifikan jika dibandingkan dengan usahaku dalam mendoakan mereka.” الوقفة الثانية: كم هو جميل أن يتناقش الآباء والأمهات مع أقرانهم عن تلك الوسيلة وهي الدعاء للأولاد، في فتح بعضهم على بعض ويحفز بعضهم بعضا فالدعاء هو عبارة عن مناجاة لله تعالى في جميع الأحوال الممكنة بأن يصلح قلوب هؤلاء وأعمالهم ولو أن الأب والأم استداموا هذه الدعوة وهي (اللهم أصلح قلوب ذريتي وأعمالهم) لوجدوا خيرا عظيما، فربما وافقت ساعة إجابة وربما أفلح الدعاء وأخفقت بعض الوسائل الحسية. Kedua: Betapa bagusnya jika para ayah dan ibu saling berdiskusi dengan rekan mereka sesama orang tua tentang cara mendoakan anak ini, untuk saling memberi ide dan semangat; karena doa merupakan munajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan yang memungkinkan agar Dia memperbaiki hati dan amalan mereka. Seandainya ayah dan ibu senantiasa memanjatkan doa, “Ya Allah! Perbaikilah hati dan amalan anak keturunanku” niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan besar; karena bisa jadi ia bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa; dan bisa jadi, doa itu berhasil sedangkan cara-cara lahiriahnya mengalami kegagalan. الوقفة الثالثة: عندما يدعو الوالدان لأولادهم ليس معنى هذا التخلي عن الأساليب الأخرى والاكتفاء بالدعاء وإنما يضم هذا إلى هذا فابذل الأسباب التي من خلالها يحصل ما دعوت به لصلاحهم وإصلاحهم. Ketiga: Ketika kedua orang tua telah berdoa untuk anak-anak mereka, itu tidak berarti mereka boleh berlepas diri dari cara-cara lainnya dan mencukupkan diri dengan doa. Keduanya harus dikombinasikan satu sama lain. Lakukanlah berbagai macam cara yang dengan itu kamu dapat merealisasikan doamu untuk kebaikan dan perbaikan anak keturunan. الوقفة الرابعة: مما لا شك فيه أن الأوقات الفاضلة للدعاء كآخر الليل وساعة الجمعة وبين الأذان والإقامة وفي السجود وغيرها من مواطن الدعاء هي أوقات يتعين على المهتمين أن يتحروها ويقصدوها، فيا أيها الوالدان الكريمان اجعلا نصيبا من قيامكم آخر الليل دعاء لذرياتكم وخصوهم وألحوا بياذا الجلال والإكرام فالله تعالى قريب مجيب وبادروا أيضا إلى صلواتكم لتدركوا الدعوات لهم بين الأذان والإقامة وأطيلوا في سجودكم مستثمرين ذلك بالدعاء لهم فلن تخيبوا والله تعالى هو جواد كريم. Keempat: Tidak diragukan lagi bahwa waktu-waktu utama untuk berdoa, seperti akhir malam, suatu saat di hari Jumat, waktu antara azan dan iqamah, ketika bersujud, dan waktu-waktu utama lainnya untuk berdoa merupakan waktu-waktu yang harus dimanfaatkan oleh para orang tua.  Wahai para orang tua yang mulia! Sisihkanlah waktu dari salat kalian di akhir malam untuk mendoakan para buah hati kalian. Khususkanlah doa untuk mereka secara konsisten dengan mengucapkan, “Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan!” karena Allah Ta’ala itu Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Bersegeralah juga menuju salat kalian, agar kalian dapat mendoakan mereka pada waktu antara azan dan iqamah. Juga perpanjanglah sujud kalian dengan memanfaatkannya untuk berdoa bagi mereka; niscaya kalian tidak akan kecewa, karena Allah Ta’ala Maha Pemurah lagi Maha Mulia. الوقفة الخامسة: عندما تدعو لذريتك لا تقصر الدعاء لهم فقط بل واشمل بذلك أولاد المسلمين، فإن هذا الدعاء هو من الدعاء بالغيب فالملك يقول آمين ولك بمثل، فلنتواص جميعا أن يدعو بعضنا لبعض ولنكثر من هذا ولنحرص عليه، ويقول أحدهم: إذا رأيت أحدا من أولاد المسلمين يعمل عملا مشينا، خصصته بدعوة خاصة آخر الليل فوجدت من ذلك خيرا عظيما فيهم وفي ذريتي. Kelima: Ketika kamu berdoa untuk anak-anakmu, jangan hanya terhenti dengan doa untuk mereka, tapi doakanlah juga anak-anak kaum Muslimin; karena ini termasuk doa untuk orang yang tidak sedang di sisi kita, sehingga malaikat akan mengucapkan, “Aamiin, dan semoga bagimu seperti itu juga.” Hendaklah kita semua saling menasihati agar kita saling mendoakan, serta sering-sering melakukannya dan memberi perhatian besar padanya.  Ada orang yang berkata, “Ketika aku melihat seorang anak kaum Muslimin yang berbuat buruk, aku segera mengkhususkan doa baginya pada akhir malam; lalu aku pun melihat banyak kebaikan pada mereka dan pada para buah hatiku.” الوقفة السادسة: عجبا للدعاء للأولاد ما أيسره وأسهله وما أعظم أثره لمن استحضر ذلك، فأحدهم كان ملازما لذلك فاعلا لبعض الأسباب اليسيرة رزقه الله أكثر من عشرة أبناء وبنات كلهم حفظوا القرآن وظهر عليهم الصلاح والهدى، فالدعاء للذرية ينبغي أن يكون حاضرا في الذهن كل وقت، فهو لا يتضمن كلفة ولا مشقة، إنما هي كلمات مرفوعة من عبد ضعيف إلى رب غني كريم. Keenam: Sungguh luar biasa doa bagi buah hati; betapa mudah dan ringannya, dan betapa besar pengaruhnya bagi orang yang merenunginya. Ada seseorang yang senantiasa mendoakan anaknya, disertai dengan beberapa ikhtiar kecil, tapi Allah mengaruniakan kepadanya lebih dari sepuluh putra dan putri yang semuanya menjadi penghafal al-Quran dan tampak dari diri mereka kesalehan dan hidayah.  Doa bagi anak harus senantiasa hadir dalam pikiran setiap saat, karena ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan biaya dan tidak sulit dilakukan; ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajukan oleh seorang hamba yang lemah kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah. الوقفة السابعة: من الجميل إشعار الذرية بأنه يدعو لهم ويناجي الله لصلاحهم فإن شعورهم هذا يلفت أنظارهم إلى هذا الجانب فيدعون هم لأنفسهم وليكن سجية لهم مع أولادهم لاحقا، ويستحضرون أيضا أن الدعاء سلاح ووسيلة عظيمة في ذلك المجال بل ويدعون هم لوالديهم حيث خصوهم بالدعاء فيكون الدعاء متبادلا بين الآباء والأولاد. Ketujuh: Sebaiknya anak-anak juga harus dijadikan merasa bahwa orang tua senantiasa berdoa bagi mereka dan bermunajat kepada Allah untuk kesalehan mereka; karena perasaan itu akan menarik perhatian mereka kepada hal tersebut, sehingga mereka juga akan berdoa untuk diri mereka dan agar itu menjadi kebiasaan mereka kelak terhadap anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga akan mengerti bahwa doa merupakan senjata dan cara yang agung dalam perkara ini. Bahkan, mereka juga akan mendoakan orang tua mereka secara khusus; sehingga doa akan silih berganti dipanjatkan antara orang tua dan anak-anak. الوقفة الثامنة: هذا الدعاء للأولاد يحتاج إلى صبر ومصابرة ومرابطة وعدم استعجال للإجابة حتى ولو لم يظهر صلاح عليهم، فاستدم الدعاء بل إن هذا يدفعك إلى الحرص أكثر من ذي قبل للحاجة الماسة إليه، وأما من كان أولاده صالحين فإنه يدعو لهم مزيدا على ذلك بالثبات والإصلاح، فإن الصلاح أخص من الإصلاح، والإصلاح أعم من الصلاح، فليحرص الجميع على توريث الأولاد الصالحين المصلحين، ليكونوا صدقة جارية لوالديهم. Kedelapan: Doa untuk anak-anak membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, serta tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan. Meskipun belum tampak kesalehan pada diri mereka, tetaplah berdoa. Bahkan, hendaklah itu menjadi pendorongmu untuk lebih banyak berdoa dari sebelumnya, karena adanya kebutuhan yang lebih besar terhadapnya. Adapun bagi orang tua yang anak-anaknya saleh, maka hendaklah ia berdoa agar mereka semakin istiqamah dan bisa mendatangkan perbaikan pada diri orang lain; karena kebaikan diri sendiri cakupannya lebih sempit daripada perbaikan pada diri orang lain. Oleh sebab itu, hendaklah kita semua berusaha mencetak peninggalan berupa anak keturunan yang baik dirinya dan membawa perbaikan pada orang lain, agar mereka menjadi sedekah jariyah bagi orang tua mereka. الوقفة التاسعة: إياك والدعاء عليهم عند الضجر منهم فإنك قد تدعو بساعة غضب عليهم تندم عليها ساعات وسنوات وتتمنى أنك لم تفعل، فاحذر هذا أشد الحذر ولا يغوينك الشيطان في شيء من الدعاء عليهم فكن بعيد النظر ولا تستغلق ذهنك بساعتك الحاضرة، واعلم أن الألفاظ متقاربة في الدعاء لهم أو عليهم غير أن الأولى خير في الدارين والثانية ليست كذلك، فالدعاء عليهم هو إحدى الدعوات الاستجابات، وهي دعوة المسافر، ودعوة المظلوم، ودعوة الوالد على ولده، وإن من المشاهد في الواقع المعاصر مآسي حصلت بسبب دعاء الوالدين على أولادهم، فاحذر ذلك يا رعاك الله. Sembilan: Janganlah sekali-kali kamu mendoakan keburukan bagi mereka ketika sedang marah terhadap mereka; karena bisa jadi kamu hanya mendoakan keburukan bagi mereka ketika marah, tapi itu membuatmu menyesal dalam waktu yang lama dan bertahun-tahun, dan berharap kamu tidak pernah melakukannya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dan jangan sampai tergoda oleh setan untuk mendoakan keburukan bagi mereka.  Jadilah orang yang berpandangan jauh ke masa depan dan jangan tutup pikiranmu dengan yang terjadi saat ini. Ketahuilah bahwa kalimat-kalimat tidak jauh berbeda antara doa kebaikan atau keburukan bagi mereka; hanya saja, yang pertama akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, sedangkan yang kedua tidak demikian. Doa keburukan dari orang tua kepada anak merupakan salah satu doa yang mustajab; karena di antara doa yang mustajab adalah doa musafir, doa orang yang terzalimi, dan doa orang tua untuk keburukan anaknya.  Di antara kenyataan yang terjadi sekarang, banyak kesengsaraan yang timbul akibat doa orang tua untuk keburukan anaknya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dari hal ini. Semoga Allah menjagamu. الوقفة العاشرة: عليك بحثهم أن يدعوا هم بأنفسهم فإن تربيتهم على ذلك مطلب تربوي كبير، بل وقد يكون ذلك ناهيا لهم عن الفحشاء والمنكر فهو إذا دعا لنفسه استحضر ما يتطلبه ذلك الدعاء من المعروف والفضائل. Sepuluh: Kamu harus mendorong anak-anak untuk berdoa bagi diri mereka sendiri, karena mendidik mereka untuk melakukan itu merupakan tuntutan besar dalam pendidikan. Bahkan, itu menjadi penghalang mereka dari melakukan perbuatan keji dan mungkar; karena apabila seorang anak berdoa untuk kebaikan dirinya, ia akan sadar perbuatan baik apa saja yang menjadi tuntutan dari doa itu. الوقفة الحادية عشرة: من مآثر السلف ما ورد عن الفضيل بن عياض رحمه الله، حيث بذل جهودا مع ابنه لصلاحه فعجز عن ذلك فقال (اللهم إني عجزت عن تأديب ابني عليا فأدبه أنت لي) وما ورد عن ابن دقيق العيد رحمه الله أنه هو وزوجته متجهان إلى الحج فولدت زوجته في طريقها فلما وصل إلى مكة طاف هو بابنه عند الكعبة وقال (اللهم اجعله عالما عاملا) ومآثر السلف كثيرة في دعواتهم لأولادهم في صلاحهم وإصلاحهم، فلنقتد بهم. Sebelas: Di antara riwayat dari para Salaf dalam perkara ini, terdapat riwayat dari al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang mengerahkan segenap usaha untuk kesalehan anaknya, tapi beliau tetap tidak mampu mewujudkannya, sehingga beliau berdoa, “Ya Allah! Aku tidak mampu lagi mendidik anakku, Ali; maka didiklah dia untukku.”  Diriwayatkan juga dari Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah bahwa ia dan istrinya pernah pergi menunaikan haji. Lalu istrinya melahirkan ketika dalam perjalanan. Saat beliau sampai di Makkah, beliau bertawaf mengelilingi Ka’bah bersama anaknya itu seraya berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah anak ini orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya!” Masih banyak kisah-kisah para Salaf yang mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang baik dan membawa perbaikan bagi orang lain; maka hendaklah kita mencontoh mereka. هذه وقفات سريعة مع هذا الموضوع المهم تربويا مع أولادنا، ولعله من المناسب إذا رأيت أولاد صاحبك يظهر عليهم الصلاح أن تتحاور معه عن سبب ذلك فلتقتبس شيئا من أسباب بذلها لعل الله أن ينفع بها أولادك. أسأل الله تعالى أن يصلح قلوبنا وقلوبهم وأعمالنا وأعمالهم وأن يجعلهم قرة عين لوالديهم، صالحين مصلحين، إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. Demikianlah renungan ringkas tentang tema penting ini dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin sangat tepat juga ketika kamu melihat anak-anak temanmu yang tampak saleh, untuk berdiskusi dengannya tentang sebab dari kesalehan mereka itu; lalu tirulah salah satu sebabnya; semoga dengan sebab itu, Allah mendatangkan manfaatnya pada anak-anakmu. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memperbaiki hati kita dan hati mereka, memperbaiki amalan kita dan amalan mereka, dan menjadikan anak-anak kita penyejuk hati bagi orang tua mereka, menjadi anak-anak baik dan mendatangkan kebaikan. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.  Semoga selawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.  Sumber: https://www.alukah.net/social/0/143557/الدعاء-للأولاد-سر-من-أسرار-النجاح-والفلاح/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 614 times, 6 visit(s) today Post Views: 434 QRIS donasi Yufid

Mendoakan Anak, Salah Satu Rahasia Kesuksesan dan Keberhasilan

الدعاء للأولاد سر من أسرار النجاح والفلاح Oleh: Divisi Ilmiah di Lembaga Dakwah, Bimbingan, dan Penyuluhan Imigran di Selatan Buraydah اللجنة العلمية في مكتب الدعوة والإرشاد وتوعية الجاليات في جنوب بريدة كثيرون هم أولئك الذين دفعهم الحرص على صلاح أولادهم إلى سلوك وسائل مهمة في هذا الجانب، لكنهم قد يغفلون عن وسيلة هي من أقرب الوسائل وأكثرها وأسهلها، هذه الوسيلة لا تحتاج إلى عناء وتعب بل هي راحة الصالحين والمربين والعابدين تلكم الوسيلة هي وسيلة الدعاء للأولاد، وسأذكر على مسامعكم المباركة وقفات حول هذا الموضوع وعندكم الكثير غير أن هذه الوقفات هي مفتاح لتفعيل تلك الوسيلة. Segala puji hanya bagi Allah. selawat, salam, serta keberkahan semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi dan manusia terpilih-Nya, dan kepada keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau. Amma ba’du: Banyak orang – yang karena terdorong oleh keinginan besar agar anak-anaknya menjadi saleh – menempuh berbagai macam cara penting dalam usaha merealisasikan hal tersebut. Namun, terkadang mereka lalai dari cara yang merupakan salah satu cara tercepat, terbanyak, dan termudah. Cara ini tidak membutuhkan usaha dan energi besar, tapi ia merupakan menjadi sumber kedamaian orang-orang saleh, para pendidik, dan para ahli ibadah. Cara yang dimaksud adalah mendoakan anak-anak. Di sini saya akan menyebutkan beberapa renungan tentang tema ini. Mungkin masih banyak renungan lainnya, tapi renungan-renungan berikut merupakan kunci dari efektifitas penggunaan cara ini: الوقفة الأولى: أهميتها، مما يجمع عليه المربون والناصحون والمرشدون أن مناجاة الله تعالى في جميع الأمور غاية في الأهمية، ومنها الدعاء والمناجاة في طلب صلاح الذرية، كيف لا وهو سلوك الأنبياء قال الله تعالى عن إبراهيم عليه وعلى نبينا الصلاة والسلام (رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي) وهكذا الصالحون يرفعون أكف الضراعة إلى الله دائما في صلاح نياتهم وذرياتهم فقد قال الله تعالى عنهم في دعائهم (ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين) والواقع المعاصر يشهد بذلك فأحدهم كان أبناؤه حفظة لكتاب الله ولسنة رسوله عليه الصلاة والسلام ويظهر عليهم الصلاح والتقى والهدى، فلما سئل عن ذلك قال كنت ملازما للدعاء لهم في كثير من الأوقات ولم أبذل أسبابا تذكر كما بذلت في الدعاء. Pertama: Urgensinya. Sudah menjadi suatu kesepakatan dari para pendidik, pemberi nasihat, dan pembimbing bahwa munajat kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan merupakan hal yang sangat penting. Di antaranya adalah bermunajat dan berdoa meminta keturunan yang saleh. Bagaimana tidak, sedangkan ini adalah cara para Nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim – semoga selawat dan salam terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat…” (QS. Ibrahim: 40). Demikian juga orang-orang saleh yang senantiasa menengadahkan tangan dengan penuh ketundukan kepada Allah agar memperbaiki niat dan keturunan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka ketika berdoa: رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ  “…Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami…” (QS. Al-Furqan: 74). Realita yang terjadi memang menegaskan hal ini. Ada salah satu orang saleh yang anak-anaknya menjadi para penghafal Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tampak dari diri mereka kesalehan, ketakwaan, dan hidayah. Ketika orang tuanya ditanya tentang itu, ia menjawab, “Dulu aku selalu mendoakan anak-anak dalam berbagai kesempatan; dan aku tidak mengerahkan usaha yang signifikan jika dibandingkan dengan usahaku dalam mendoakan mereka.” الوقفة الثانية: كم هو جميل أن يتناقش الآباء والأمهات مع أقرانهم عن تلك الوسيلة وهي الدعاء للأولاد، في فتح بعضهم على بعض ويحفز بعضهم بعضا فالدعاء هو عبارة عن مناجاة لله تعالى في جميع الأحوال الممكنة بأن يصلح قلوب هؤلاء وأعمالهم ولو أن الأب والأم استداموا هذه الدعوة وهي (اللهم أصلح قلوب ذريتي وأعمالهم) لوجدوا خيرا عظيما، فربما وافقت ساعة إجابة وربما أفلح الدعاء وأخفقت بعض الوسائل الحسية. Kedua: Betapa bagusnya jika para ayah dan ibu saling berdiskusi dengan rekan mereka sesama orang tua tentang cara mendoakan anak ini, untuk saling memberi ide dan semangat; karena doa merupakan munajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan yang memungkinkan agar Dia memperbaiki hati dan amalan mereka. Seandainya ayah dan ibu senantiasa memanjatkan doa, “Ya Allah! Perbaikilah hati dan amalan anak keturunanku” niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan besar; karena bisa jadi ia bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa; dan bisa jadi, doa itu berhasil sedangkan cara-cara lahiriahnya mengalami kegagalan. الوقفة الثالثة: عندما يدعو الوالدان لأولادهم ليس معنى هذا التخلي عن الأساليب الأخرى والاكتفاء بالدعاء وإنما يضم هذا إلى هذا فابذل الأسباب التي من خلالها يحصل ما دعوت به لصلاحهم وإصلاحهم. Ketiga: Ketika kedua orang tua telah berdoa untuk anak-anak mereka, itu tidak berarti mereka boleh berlepas diri dari cara-cara lainnya dan mencukupkan diri dengan doa. Keduanya harus dikombinasikan satu sama lain. Lakukanlah berbagai macam cara yang dengan itu kamu dapat merealisasikan doamu untuk kebaikan dan perbaikan anak keturunan. الوقفة الرابعة: مما لا شك فيه أن الأوقات الفاضلة للدعاء كآخر الليل وساعة الجمعة وبين الأذان والإقامة وفي السجود وغيرها من مواطن الدعاء هي أوقات يتعين على المهتمين أن يتحروها ويقصدوها، فيا أيها الوالدان الكريمان اجعلا نصيبا من قيامكم آخر الليل دعاء لذرياتكم وخصوهم وألحوا بياذا الجلال والإكرام فالله تعالى قريب مجيب وبادروا أيضا إلى صلواتكم لتدركوا الدعوات لهم بين الأذان والإقامة وأطيلوا في سجودكم مستثمرين ذلك بالدعاء لهم فلن تخيبوا والله تعالى هو جواد كريم. Keempat: Tidak diragukan lagi bahwa waktu-waktu utama untuk berdoa, seperti akhir malam, suatu saat di hari Jumat, waktu antara azan dan iqamah, ketika bersujud, dan waktu-waktu utama lainnya untuk berdoa merupakan waktu-waktu yang harus dimanfaatkan oleh para orang tua.  Wahai para orang tua yang mulia! Sisihkanlah waktu dari salat kalian di akhir malam untuk mendoakan para buah hati kalian. Khususkanlah doa untuk mereka secara konsisten dengan mengucapkan, “Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan!” karena Allah Ta’ala itu Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Bersegeralah juga menuju salat kalian, agar kalian dapat mendoakan mereka pada waktu antara azan dan iqamah. Juga perpanjanglah sujud kalian dengan memanfaatkannya untuk berdoa bagi mereka; niscaya kalian tidak akan kecewa, karena Allah Ta’ala Maha Pemurah lagi Maha Mulia. الوقفة الخامسة: عندما تدعو لذريتك لا تقصر الدعاء لهم فقط بل واشمل بذلك أولاد المسلمين، فإن هذا الدعاء هو من الدعاء بالغيب فالملك يقول آمين ولك بمثل، فلنتواص جميعا أن يدعو بعضنا لبعض ولنكثر من هذا ولنحرص عليه، ويقول أحدهم: إذا رأيت أحدا من أولاد المسلمين يعمل عملا مشينا، خصصته بدعوة خاصة آخر الليل فوجدت من ذلك خيرا عظيما فيهم وفي ذريتي. Kelima: Ketika kamu berdoa untuk anak-anakmu, jangan hanya terhenti dengan doa untuk mereka, tapi doakanlah juga anak-anak kaum Muslimin; karena ini termasuk doa untuk orang yang tidak sedang di sisi kita, sehingga malaikat akan mengucapkan, “Aamiin, dan semoga bagimu seperti itu juga.” Hendaklah kita semua saling menasihati agar kita saling mendoakan, serta sering-sering melakukannya dan memberi perhatian besar padanya.  Ada orang yang berkata, “Ketika aku melihat seorang anak kaum Muslimin yang berbuat buruk, aku segera mengkhususkan doa baginya pada akhir malam; lalu aku pun melihat banyak kebaikan pada mereka dan pada para buah hatiku.” الوقفة السادسة: عجبا للدعاء للأولاد ما أيسره وأسهله وما أعظم أثره لمن استحضر ذلك، فأحدهم كان ملازما لذلك فاعلا لبعض الأسباب اليسيرة رزقه الله أكثر من عشرة أبناء وبنات كلهم حفظوا القرآن وظهر عليهم الصلاح والهدى، فالدعاء للذرية ينبغي أن يكون حاضرا في الذهن كل وقت، فهو لا يتضمن كلفة ولا مشقة، إنما هي كلمات مرفوعة من عبد ضعيف إلى رب غني كريم. Keenam: Sungguh luar biasa doa bagi buah hati; betapa mudah dan ringannya, dan betapa besar pengaruhnya bagi orang yang merenunginya. Ada seseorang yang senantiasa mendoakan anaknya, disertai dengan beberapa ikhtiar kecil, tapi Allah mengaruniakan kepadanya lebih dari sepuluh putra dan putri yang semuanya menjadi penghafal al-Quran dan tampak dari diri mereka kesalehan dan hidayah.  Doa bagi anak harus senantiasa hadir dalam pikiran setiap saat, karena ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan biaya dan tidak sulit dilakukan; ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajukan oleh seorang hamba yang lemah kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah. الوقفة السابعة: من الجميل إشعار الذرية بأنه يدعو لهم ويناجي الله لصلاحهم فإن شعورهم هذا يلفت أنظارهم إلى هذا الجانب فيدعون هم لأنفسهم وليكن سجية لهم مع أولادهم لاحقا، ويستحضرون أيضا أن الدعاء سلاح ووسيلة عظيمة في ذلك المجال بل ويدعون هم لوالديهم حيث خصوهم بالدعاء فيكون الدعاء متبادلا بين الآباء والأولاد. Ketujuh: Sebaiknya anak-anak juga harus dijadikan merasa bahwa orang tua senantiasa berdoa bagi mereka dan bermunajat kepada Allah untuk kesalehan mereka; karena perasaan itu akan menarik perhatian mereka kepada hal tersebut, sehingga mereka juga akan berdoa untuk diri mereka dan agar itu menjadi kebiasaan mereka kelak terhadap anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga akan mengerti bahwa doa merupakan senjata dan cara yang agung dalam perkara ini. Bahkan, mereka juga akan mendoakan orang tua mereka secara khusus; sehingga doa akan silih berganti dipanjatkan antara orang tua dan anak-anak. الوقفة الثامنة: هذا الدعاء للأولاد يحتاج إلى صبر ومصابرة ومرابطة وعدم استعجال للإجابة حتى ولو لم يظهر صلاح عليهم، فاستدم الدعاء بل إن هذا يدفعك إلى الحرص أكثر من ذي قبل للحاجة الماسة إليه، وأما من كان أولاده صالحين فإنه يدعو لهم مزيدا على ذلك بالثبات والإصلاح، فإن الصلاح أخص من الإصلاح، والإصلاح أعم من الصلاح، فليحرص الجميع على توريث الأولاد الصالحين المصلحين، ليكونوا صدقة جارية لوالديهم. Kedelapan: Doa untuk anak-anak membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, serta tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan. Meskipun belum tampak kesalehan pada diri mereka, tetaplah berdoa. Bahkan, hendaklah itu menjadi pendorongmu untuk lebih banyak berdoa dari sebelumnya, karena adanya kebutuhan yang lebih besar terhadapnya. Adapun bagi orang tua yang anak-anaknya saleh, maka hendaklah ia berdoa agar mereka semakin istiqamah dan bisa mendatangkan perbaikan pada diri orang lain; karena kebaikan diri sendiri cakupannya lebih sempit daripada perbaikan pada diri orang lain. Oleh sebab itu, hendaklah kita semua berusaha mencetak peninggalan berupa anak keturunan yang baik dirinya dan membawa perbaikan pada orang lain, agar mereka menjadi sedekah jariyah bagi orang tua mereka. الوقفة التاسعة: إياك والدعاء عليهم عند الضجر منهم فإنك قد تدعو بساعة غضب عليهم تندم عليها ساعات وسنوات وتتمنى أنك لم تفعل، فاحذر هذا أشد الحذر ولا يغوينك الشيطان في شيء من الدعاء عليهم فكن بعيد النظر ولا تستغلق ذهنك بساعتك الحاضرة، واعلم أن الألفاظ متقاربة في الدعاء لهم أو عليهم غير أن الأولى خير في الدارين والثانية ليست كذلك، فالدعاء عليهم هو إحدى الدعوات الاستجابات، وهي دعوة المسافر، ودعوة المظلوم، ودعوة الوالد على ولده، وإن من المشاهد في الواقع المعاصر مآسي حصلت بسبب دعاء الوالدين على أولادهم، فاحذر ذلك يا رعاك الله. Sembilan: Janganlah sekali-kali kamu mendoakan keburukan bagi mereka ketika sedang marah terhadap mereka; karena bisa jadi kamu hanya mendoakan keburukan bagi mereka ketika marah, tapi itu membuatmu menyesal dalam waktu yang lama dan bertahun-tahun, dan berharap kamu tidak pernah melakukannya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dan jangan sampai tergoda oleh setan untuk mendoakan keburukan bagi mereka.  Jadilah orang yang berpandangan jauh ke masa depan dan jangan tutup pikiranmu dengan yang terjadi saat ini. Ketahuilah bahwa kalimat-kalimat tidak jauh berbeda antara doa kebaikan atau keburukan bagi mereka; hanya saja, yang pertama akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, sedangkan yang kedua tidak demikian. Doa keburukan dari orang tua kepada anak merupakan salah satu doa yang mustajab; karena di antara doa yang mustajab adalah doa musafir, doa orang yang terzalimi, dan doa orang tua untuk keburukan anaknya.  Di antara kenyataan yang terjadi sekarang, banyak kesengsaraan yang timbul akibat doa orang tua untuk keburukan anaknya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dari hal ini. Semoga Allah menjagamu. الوقفة العاشرة: عليك بحثهم أن يدعوا هم بأنفسهم فإن تربيتهم على ذلك مطلب تربوي كبير، بل وقد يكون ذلك ناهيا لهم عن الفحشاء والمنكر فهو إذا دعا لنفسه استحضر ما يتطلبه ذلك الدعاء من المعروف والفضائل. Sepuluh: Kamu harus mendorong anak-anak untuk berdoa bagi diri mereka sendiri, karena mendidik mereka untuk melakukan itu merupakan tuntutan besar dalam pendidikan. Bahkan, itu menjadi penghalang mereka dari melakukan perbuatan keji dan mungkar; karena apabila seorang anak berdoa untuk kebaikan dirinya, ia akan sadar perbuatan baik apa saja yang menjadi tuntutan dari doa itu. الوقفة الحادية عشرة: من مآثر السلف ما ورد عن الفضيل بن عياض رحمه الله، حيث بذل جهودا مع ابنه لصلاحه فعجز عن ذلك فقال (اللهم إني عجزت عن تأديب ابني عليا فأدبه أنت لي) وما ورد عن ابن دقيق العيد رحمه الله أنه هو وزوجته متجهان إلى الحج فولدت زوجته في طريقها فلما وصل إلى مكة طاف هو بابنه عند الكعبة وقال (اللهم اجعله عالما عاملا) ومآثر السلف كثيرة في دعواتهم لأولادهم في صلاحهم وإصلاحهم، فلنقتد بهم. Sebelas: Di antara riwayat dari para Salaf dalam perkara ini, terdapat riwayat dari al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang mengerahkan segenap usaha untuk kesalehan anaknya, tapi beliau tetap tidak mampu mewujudkannya, sehingga beliau berdoa, “Ya Allah! Aku tidak mampu lagi mendidik anakku, Ali; maka didiklah dia untukku.”  Diriwayatkan juga dari Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah bahwa ia dan istrinya pernah pergi menunaikan haji. Lalu istrinya melahirkan ketika dalam perjalanan. Saat beliau sampai di Makkah, beliau bertawaf mengelilingi Ka’bah bersama anaknya itu seraya berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah anak ini orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya!” Masih banyak kisah-kisah para Salaf yang mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang baik dan membawa perbaikan bagi orang lain; maka hendaklah kita mencontoh mereka. هذه وقفات سريعة مع هذا الموضوع المهم تربويا مع أولادنا، ولعله من المناسب إذا رأيت أولاد صاحبك يظهر عليهم الصلاح أن تتحاور معه عن سبب ذلك فلتقتبس شيئا من أسباب بذلها لعل الله أن ينفع بها أولادك. أسأل الله تعالى أن يصلح قلوبنا وقلوبهم وأعمالنا وأعمالهم وأن يجعلهم قرة عين لوالديهم، صالحين مصلحين، إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. Demikianlah renungan ringkas tentang tema penting ini dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin sangat tepat juga ketika kamu melihat anak-anak temanmu yang tampak saleh, untuk berdiskusi dengannya tentang sebab dari kesalehan mereka itu; lalu tirulah salah satu sebabnya; semoga dengan sebab itu, Allah mendatangkan manfaatnya pada anak-anakmu. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memperbaiki hati kita dan hati mereka, memperbaiki amalan kita dan amalan mereka, dan menjadikan anak-anak kita penyejuk hati bagi orang tua mereka, menjadi anak-anak baik dan mendatangkan kebaikan. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.  Semoga selawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.  Sumber: https://www.alukah.net/social/0/143557/الدعاء-للأولاد-سر-من-أسرار-النجاح-والفلاح/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 614 times, 6 visit(s) today Post Views: 434 QRIS donasi Yufid
الدعاء للأولاد سر من أسرار النجاح والفلاح Oleh: Divisi Ilmiah di Lembaga Dakwah, Bimbingan, dan Penyuluhan Imigran di Selatan Buraydah اللجنة العلمية في مكتب الدعوة والإرشاد وتوعية الجاليات في جنوب بريدة كثيرون هم أولئك الذين دفعهم الحرص على صلاح أولادهم إلى سلوك وسائل مهمة في هذا الجانب، لكنهم قد يغفلون عن وسيلة هي من أقرب الوسائل وأكثرها وأسهلها، هذه الوسيلة لا تحتاج إلى عناء وتعب بل هي راحة الصالحين والمربين والعابدين تلكم الوسيلة هي وسيلة الدعاء للأولاد، وسأذكر على مسامعكم المباركة وقفات حول هذا الموضوع وعندكم الكثير غير أن هذه الوقفات هي مفتاح لتفعيل تلك الوسيلة. Segala puji hanya bagi Allah. selawat, salam, serta keberkahan semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi dan manusia terpilih-Nya, dan kepada keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau. Amma ba’du: Banyak orang – yang karena terdorong oleh keinginan besar agar anak-anaknya menjadi saleh – menempuh berbagai macam cara penting dalam usaha merealisasikan hal tersebut. Namun, terkadang mereka lalai dari cara yang merupakan salah satu cara tercepat, terbanyak, dan termudah. Cara ini tidak membutuhkan usaha dan energi besar, tapi ia merupakan menjadi sumber kedamaian orang-orang saleh, para pendidik, dan para ahli ibadah. Cara yang dimaksud adalah mendoakan anak-anak. Di sini saya akan menyebutkan beberapa renungan tentang tema ini. Mungkin masih banyak renungan lainnya, tapi renungan-renungan berikut merupakan kunci dari efektifitas penggunaan cara ini: الوقفة الأولى: أهميتها، مما يجمع عليه المربون والناصحون والمرشدون أن مناجاة الله تعالى في جميع الأمور غاية في الأهمية، ومنها الدعاء والمناجاة في طلب صلاح الذرية، كيف لا وهو سلوك الأنبياء قال الله تعالى عن إبراهيم عليه وعلى نبينا الصلاة والسلام (رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي) وهكذا الصالحون يرفعون أكف الضراعة إلى الله دائما في صلاح نياتهم وذرياتهم فقد قال الله تعالى عنهم في دعائهم (ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين) والواقع المعاصر يشهد بذلك فأحدهم كان أبناؤه حفظة لكتاب الله ولسنة رسوله عليه الصلاة والسلام ويظهر عليهم الصلاح والتقى والهدى، فلما سئل عن ذلك قال كنت ملازما للدعاء لهم في كثير من الأوقات ولم أبذل أسبابا تذكر كما بذلت في الدعاء. Pertama: Urgensinya. Sudah menjadi suatu kesepakatan dari para pendidik, pemberi nasihat, dan pembimbing bahwa munajat kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan merupakan hal yang sangat penting. Di antaranya adalah bermunajat dan berdoa meminta keturunan yang saleh. Bagaimana tidak, sedangkan ini adalah cara para Nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim – semoga selawat dan salam terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat…” (QS. Ibrahim: 40). Demikian juga orang-orang saleh yang senantiasa menengadahkan tangan dengan penuh ketundukan kepada Allah agar memperbaiki niat dan keturunan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka ketika berdoa: رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ  “…Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami…” (QS. Al-Furqan: 74). Realita yang terjadi memang menegaskan hal ini. Ada salah satu orang saleh yang anak-anaknya menjadi para penghafal Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tampak dari diri mereka kesalehan, ketakwaan, dan hidayah. Ketika orang tuanya ditanya tentang itu, ia menjawab, “Dulu aku selalu mendoakan anak-anak dalam berbagai kesempatan; dan aku tidak mengerahkan usaha yang signifikan jika dibandingkan dengan usahaku dalam mendoakan mereka.” الوقفة الثانية: كم هو جميل أن يتناقش الآباء والأمهات مع أقرانهم عن تلك الوسيلة وهي الدعاء للأولاد، في فتح بعضهم على بعض ويحفز بعضهم بعضا فالدعاء هو عبارة عن مناجاة لله تعالى في جميع الأحوال الممكنة بأن يصلح قلوب هؤلاء وأعمالهم ولو أن الأب والأم استداموا هذه الدعوة وهي (اللهم أصلح قلوب ذريتي وأعمالهم) لوجدوا خيرا عظيما، فربما وافقت ساعة إجابة وربما أفلح الدعاء وأخفقت بعض الوسائل الحسية. Kedua: Betapa bagusnya jika para ayah dan ibu saling berdiskusi dengan rekan mereka sesama orang tua tentang cara mendoakan anak ini, untuk saling memberi ide dan semangat; karena doa merupakan munajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan yang memungkinkan agar Dia memperbaiki hati dan amalan mereka. Seandainya ayah dan ibu senantiasa memanjatkan doa, “Ya Allah! Perbaikilah hati dan amalan anak keturunanku” niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan besar; karena bisa jadi ia bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa; dan bisa jadi, doa itu berhasil sedangkan cara-cara lahiriahnya mengalami kegagalan. الوقفة الثالثة: عندما يدعو الوالدان لأولادهم ليس معنى هذا التخلي عن الأساليب الأخرى والاكتفاء بالدعاء وإنما يضم هذا إلى هذا فابذل الأسباب التي من خلالها يحصل ما دعوت به لصلاحهم وإصلاحهم. Ketiga: Ketika kedua orang tua telah berdoa untuk anak-anak mereka, itu tidak berarti mereka boleh berlepas diri dari cara-cara lainnya dan mencukupkan diri dengan doa. Keduanya harus dikombinasikan satu sama lain. Lakukanlah berbagai macam cara yang dengan itu kamu dapat merealisasikan doamu untuk kebaikan dan perbaikan anak keturunan. الوقفة الرابعة: مما لا شك فيه أن الأوقات الفاضلة للدعاء كآخر الليل وساعة الجمعة وبين الأذان والإقامة وفي السجود وغيرها من مواطن الدعاء هي أوقات يتعين على المهتمين أن يتحروها ويقصدوها، فيا أيها الوالدان الكريمان اجعلا نصيبا من قيامكم آخر الليل دعاء لذرياتكم وخصوهم وألحوا بياذا الجلال والإكرام فالله تعالى قريب مجيب وبادروا أيضا إلى صلواتكم لتدركوا الدعوات لهم بين الأذان والإقامة وأطيلوا في سجودكم مستثمرين ذلك بالدعاء لهم فلن تخيبوا والله تعالى هو جواد كريم. Keempat: Tidak diragukan lagi bahwa waktu-waktu utama untuk berdoa, seperti akhir malam, suatu saat di hari Jumat, waktu antara azan dan iqamah, ketika bersujud, dan waktu-waktu utama lainnya untuk berdoa merupakan waktu-waktu yang harus dimanfaatkan oleh para orang tua.  Wahai para orang tua yang mulia! Sisihkanlah waktu dari salat kalian di akhir malam untuk mendoakan para buah hati kalian. Khususkanlah doa untuk mereka secara konsisten dengan mengucapkan, “Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan!” karena Allah Ta’ala itu Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Bersegeralah juga menuju salat kalian, agar kalian dapat mendoakan mereka pada waktu antara azan dan iqamah. Juga perpanjanglah sujud kalian dengan memanfaatkannya untuk berdoa bagi mereka; niscaya kalian tidak akan kecewa, karena Allah Ta’ala Maha Pemurah lagi Maha Mulia. الوقفة الخامسة: عندما تدعو لذريتك لا تقصر الدعاء لهم فقط بل واشمل بذلك أولاد المسلمين، فإن هذا الدعاء هو من الدعاء بالغيب فالملك يقول آمين ولك بمثل، فلنتواص جميعا أن يدعو بعضنا لبعض ولنكثر من هذا ولنحرص عليه، ويقول أحدهم: إذا رأيت أحدا من أولاد المسلمين يعمل عملا مشينا، خصصته بدعوة خاصة آخر الليل فوجدت من ذلك خيرا عظيما فيهم وفي ذريتي. Kelima: Ketika kamu berdoa untuk anak-anakmu, jangan hanya terhenti dengan doa untuk mereka, tapi doakanlah juga anak-anak kaum Muslimin; karena ini termasuk doa untuk orang yang tidak sedang di sisi kita, sehingga malaikat akan mengucapkan, “Aamiin, dan semoga bagimu seperti itu juga.” Hendaklah kita semua saling menasihati agar kita saling mendoakan, serta sering-sering melakukannya dan memberi perhatian besar padanya.  Ada orang yang berkata, “Ketika aku melihat seorang anak kaum Muslimin yang berbuat buruk, aku segera mengkhususkan doa baginya pada akhir malam; lalu aku pun melihat banyak kebaikan pada mereka dan pada para buah hatiku.” الوقفة السادسة: عجبا للدعاء للأولاد ما أيسره وأسهله وما أعظم أثره لمن استحضر ذلك، فأحدهم كان ملازما لذلك فاعلا لبعض الأسباب اليسيرة رزقه الله أكثر من عشرة أبناء وبنات كلهم حفظوا القرآن وظهر عليهم الصلاح والهدى، فالدعاء للذرية ينبغي أن يكون حاضرا في الذهن كل وقت، فهو لا يتضمن كلفة ولا مشقة، إنما هي كلمات مرفوعة من عبد ضعيف إلى رب غني كريم. Keenam: Sungguh luar biasa doa bagi buah hati; betapa mudah dan ringannya, dan betapa besar pengaruhnya bagi orang yang merenunginya. Ada seseorang yang senantiasa mendoakan anaknya, disertai dengan beberapa ikhtiar kecil, tapi Allah mengaruniakan kepadanya lebih dari sepuluh putra dan putri yang semuanya menjadi penghafal al-Quran dan tampak dari diri mereka kesalehan dan hidayah.  Doa bagi anak harus senantiasa hadir dalam pikiran setiap saat, karena ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan biaya dan tidak sulit dilakukan; ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajukan oleh seorang hamba yang lemah kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah. الوقفة السابعة: من الجميل إشعار الذرية بأنه يدعو لهم ويناجي الله لصلاحهم فإن شعورهم هذا يلفت أنظارهم إلى هذا الجانب فيدعون هم لأنفسهم وليكن سجية لهم مع أولادهم لاحقا، ويستحضرون أيضا أن الدعاء سلاح ووسيلة عظيمة في ذلك المجال بل ويدعون هم لوالديهم حيث خصوهم بالدعاء فيكون الدعاء متبادلا بين الآباء والأولاد. Ketujuh: Sebaiknya anak-anak juga harus dijadikan merasa bahwa orang tua senantiasa berdoa bagi mereka dan bermunajat kepada Allah untuk kesalehan mereka; karena perasaan itu akan menarik perhatian mereka kepada hal tersebut, sehingga mereka juga akan berdoa untuk diri mereka dan agar itu menjadi kebiasaan mereka kelak terhadap anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga akan mengerti bahwa doa merupakan senjata dan cara yang agung dalam perkara ini. Bahkan, mereka juga akan mendoakan orang tua mereka secara khusus; sehingga doa akan silih berganti dipanjatkan antara orang tua dan anak-anak. الوقفة الثامنة: هذا الدعاء للأولاد يحتاج إلى صبر ومصابرة ومرابطة وعدم استعجال للإجابة حتى ولو لم يظهر صلاح عليهم، فاستدم الدعاء بل إن هذا يدفعك إلى الحرص أكثر من ذي قبل للحاجة الماسة إليه، وأما من كان أولاده صالحين فإنه يدعو لهم مزيدا على ذلك بالثبات والإصلاح، فإن الصلاح أخص من الإصلاح، والإصلاح أعم من الصلاح، فليحرص الجميع على توريث الأولاد الصالحين المصلحين، ليكونوا صدقة جارية لوالديهم. Kedelapan: Doa untuk anak-anak membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, serta tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan. Meskipun belum tampak kesalehan pada diri mereka, tetaplah berdoa. Bahkan, hendaklah itu menjadi pendorongmu untuk lebih banyak berdoa dari sebelumnya, karena adanya kebutuhan yang lebih besar terhadapnya. Adapun bagi orang tua yang anak-anaknya saleh, maka hendaklah ia berdoa agar mereka semakin istiqamah dan bisa mendatangkan perbaikan pada diri orang lain; karena kebaikan diri sendiri cakupannya lebih sempit daripada perbaikan pada diri orang lain. Oleh sebab itu, hendaklah kita semua berusaha mencetak peninggalan berupa anak keturunan yang baik dirinya dan membawa perbaikan pada orang lain, agar mereka menjadi sedekah jariyah bagi orang tua mereka. الوقفة التاسعة: إياك والدعاء عليهم عند الضجر منهم فإنك قد تدعو بساعة غضب عليهم تندم عليها ساعات وسنوات وتتمنى أنك لم تفعل، فاحذر هذا أشد الحذر ولا يغوينك الشيطان في شيء من الدعاء عليهم فكن بعيد النظر ولا تستغلق ذهنك بساعتك الحاضرة، واعلم أن الألفاظ متقاربة في الدعاء لهم أو عليهم غير أن الأولى خير في الدارين والثانية ليست كذلك، فالدعاء عليهم هو إحدى الدعوات الاستجابات، وهي دعوة المسافر، ودعوة المظلوم، ودعوة الوالد على ولده، وإن من المشاهد في الواقع المعاصر مآسي حصلت بسبب دعاء الوالدين على أولادهم، فاحذر ذلك يا رعاك الله. Sembilan: Janganlah sekali-kali kamu mendoakan keburukan bagi mereka ketika sedang marah terhadap mereka; karena bisa jadi kamu hanya mendoakan keburukan bagi mereka ketika marah, tapi itu membuatmu menyesal dalam waktu yang lama dan bertahun-tahun, dan berharap kamu tidak pernah melakukannya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dan jangan sampai tergoda oleh setan untuk mendoakan keburukan bagi mereka.  Jadilah orang yang berpandangan jauh ke masa depan dan jangan tutup pikiranmu dengan yang terjadi saat ini. Ketahuilah bahwa kalimat-kalimat tidak jauh berbeda antara doa kebaikan atau keburukan bagi mereka; hanya saja, yang pertama akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, sedangkan yang kedua tidak demikian. Doa keburukan dari orang tua kepada anak merupakan salah satu doa yang mustajab; karena di antara doa yang mustajab adalah doa musafir, doa orang yang terzalimi, dan doa orang tua untuk keburukan anaknya.  Di antara kenyataan yang terjadi sekarang, banyak kesengsaraan yang timbul akibat doa orang tua untuk keburukan anaknya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dari hal ini. Semoga Allah menjagamu. الوقفة العاشرة: عليك بحثهم أن يدعوا هم بأنفسهم فإن تربيتهم على ذلك مطلب تربوي كبير، بل وقد يكون ذلك ناهيا لهم عن الفحشاء والمنكر فهو إذا دعا لنفسه استحضر ما يتطلبه ذلك الدعاء من المعروف والفضائل. Sepuluh: Kamu harus mendorong anak-anak untuk berdoa bagi diri mereka sendiri, karena mendidik mereka untuk melakukan itu merupakan tuntutan besar dalam pendidikan. Bahkan, itu menjadi penghalang mereka dari melakukan perbuatan keji dan mungkar; karena apabila seorang anak berdoa untuk kebaikan dirinya, ia akan sadar perbuatan baik apa saja yang menjadi tuntutan dari doa itu. الوقفة الحادية عشرة: من مآثر السلف ما ورد عن الفضيل بن عياض رحمه الله، حيث بذل جهودا مع ابنه لصلاحه فعجز عن ذلك فقال (اللهم إني عجزت عن تأديب ابني عليا فأدبه أنت لي) وما ورد عن ابن دقيق العيد رحمه الله أنه هو وزوجته متجهان إلى الحج فولدت زوجته في طريقها فلما وصل إلى مكة طاف هو بابنه عند الكعبة وقال (اللهم اجعله عالما عاملا) ومآثر السلف كثيرة في دعواتهم لأولادهم في صلاحهم وإصلاحهم، فلنقتد بهم. Sebelas: Di antara riwayat dari para Salaf dalam perkara ini, terdapat riwayat dari al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang mengerahkan segenap usaha untuk kesalehan anaknya, tapi beliau tetap tidak mampu mewujudkannya, sehingga beliau berdoa, “Ya Allah! Aku tidak mampu lagi mendidik anakku, Ali; maka didiklah dia untukku.”  Diriwayatkan juga dari Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah bahwa ia dan istrinya pernah pergi menunaikan haji. Lalu istrinya melahirkan ketika dalam perjalanan. Saat beliau sampai di Makkah, beliau bertawaf mengelilingi Ka’bah bersama anaknya itu seraya berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah anak ini orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya!” Masih banyak kisah-kisah para Salaf yang mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang baik dan membawa perbaikan bagi orang lain; maka hendaklah kita mencontoh mereka. هذه وقفات سريعة مع هذا الموضوع المهم تربويا مع أولادنا، ولعله من المناسب إذا رأيت أولاد صاحبك يظهر عليهم الصلاح أن تتحاور معه عن سبب ذلك فلتقتبس شيئا من أسباب بذلها لعل الله أن ينفع بها أولادك. أسأل الله تعالى أن يصلح قلوبنا وقلوبهم وأعمالنا وأعمالهم وأن يجعلهم قرة عين لوالديهم، صالحين مصلحين، إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. Demikianlah renungan ringkas tentang tema penting ini dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin sangat tepat juga ketika kamu melihat anak-anak temanmu yang tampak saleh, untuk berdiskusi dengannya tentang sebab dari kesalehan mereka itu; lalu tirulah salah satu sebabnya; semoga dengan sebab itu, Allah mendatangkan manfaatnya pada anak-anakmu. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memperbaiki hati kita dan hati mereka, memperbaiki amalan kita dan amalan mereka, dan menjadikan anak-anak kita penyejuk hati bagi orang tua mereka, menjadi anak-anak baik dan mendatangkan kebaikan. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.  Semoga selawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.  Sumber: https://www.alukah.net/social/0/143557/الدعاء-للأولاد-سر-من-أسرار-النجاح-والفلاح/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 614 times, 6 visit(s) today Post Views: 434 QRIS donasi Yufid


الدعاء للأولاد سر من أسرار النجاح والفلاح Oleh: Divisi Ilmiah di Lembaga Dakwah, Bimbingan, dan Penyuluhan Imigran di Selatan Buraydah اللجنة العلمية في مكتب الدعوة والإرشاد وتوعية الجاليات في جنوب بريدة كثيرون هم أولئك الذين دفعهم الحرص على صلاح أولادهم إلى سلوك وسائل مهمة في هذا الجانب، لكنهم قد يغفلون عن وسيلة هي من أقرب الوسائل وأكثرها وأسهلها، هذه الوسيلة لا تحتاج إلى عناء وتعب بل هي راحة الصالحين والمربين والعابدين تلكم الوسيلة هي وسيلة الدعاء للأولاد، وسأذكر على مسامعكم المباركة وقفات حول هذا الموضوع وعندكم الكثير غير أن هذه الوقفات هي مفتاح لتفعيل تلك الوسيلة. Segala puji hanya bagi Allah. selawat, salam, serta keberkahan semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi dan manusia terpilih-Nya, dan kepada keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau. Amma ba’du: Banyak orang – yang karena terdorong oleh keinginan besar agar anak-anaknya menjadi saleh – menempuh berbagai macam cara penting dalam usaha merealisasikan hal tersebut. Namun, terkadang mereka lalai dari cara yang merupakan salah satu cara tercepat, terbanyak, dan termudah. Cara ini tidak membutuhkan usaha dan energi besar, tapi ia merupakan menjadi sumber kedamaian orang-orang saleh, para pendidik, dan para ahli ibadah. Cara yang dimaksud adalah mendoakan anak-anak. Di sini saya akan menyebutkan beberapa renungan tentang tema ini. Mungkin masih banyak renungan lainnya, tapi renungan-renungan berikut merupakan kunci dari efektifitas penggunaan cara ini: الوقفة الأولى: أهميتها، مما يجمع عليه المربون والناصحون والمرشدون أن مناجاة الله تعالى في جميع الأمور غاية في الأهمية، ومنها الدعاء والمناجاة في طلب صلاح الذرية، كيف لا وهو سلوك الأنبياء قال الله تعالى عن إبراهيم عليه وعلى نبينا الصلاة والسلام (رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي) وهكذا الصالحون يرفعون أكف الضراعة إلى الله دائما في صلاح نياتهم وذرياتهم فقد قال الله تعالى عنهم في دعائهم (ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين) والواقع المعاصر يشهد بذلك فأحدهم كان أبناؤه حفظة لكتاب الله ولسنة رسوله عليه الصلاة والسلام ويظهر عليهم الصلاح والتقى والهدى، فلما سئل عن ذلك قال كنت ملازما للدعاء لهم في كثير من الأوقات ولم أبذل أسبابا تذكر كما بذلت في الدعاء. Pertama: Urgensinya. Sudah menjadi suatu kesepakatan dari para pendidik, pemberi nasihat, dan pembimbing bahwa munajat kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan merupakan hal yang sangat penting. Di antaranya adalah bermunajat dan berdoa meminta keturunan yang saleh. Bagaimana tidak, sedangkan ini adalah cara para Nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim – semoga selawat dan salam terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat…” (QS. Ibrahim: 40). Demikian juga orang-orang saleh yang senantiasa menengadahkan tangan dengan penuh ketundukan kepada Allah agar memperbaiki niat dan keturunan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka ketika berdoa: رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ  “…Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami…” (QS. Al-Furqan: 74). Realita yang terjadi memang menegaskan hal ini. Ada salah satu orang saleh yang anak-anaknya menjadi para penghafal Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tampak dari diri mereka kesalehan, ketakwaan, dan hidayah. Ketika orang tuanya ditanya tentang itu, ia menjawab, “Dulu aku selalu mendoakan anak-anak dalam berbagai kesempatan; dan aku tidak mengerahkan usaha yang signifikan jika dibandingkan dengan usahaku dalam mendoakan mereka.” الوقفة الثانية: كم هو جميل أن يتناقش الآباء والأمهات مع أقرانهم عن تلك الوسيلة وهي الدعاء للأولاد، في فتح بعضهم على بعض ويحفز بعضهم بعضا فالدعاء هو عبارة عن مناجاة لله تعالى في جميع الأحوال الممكنة بأن يصلح قلوب هؤلاء وأعمالهم ولو أن الأب والأم استداموا هذه الدعوة وهي (اللهم أصلح قلوب ذريتي وأعمالهم) لوجدوا خيرا عظيما، فربما وافقت ساعة إجابة وربما أفلح الدعاء وأخفقت بعض الوسائل الحسية. Kedua: Betapa bagusnya jika para ayah dan ibu saling berdiskusi dengan rekan mereka sesama orang tua tentang cara mendoakan anak ini, untuk saling memberi ide dan semangat; karena doa merupakan munajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan yang memungkinkan agar Dia memperbaiki hati dan amalan mereka. Seandainya ayah dan ibu senantiasa memanjatkan doa, “Ya Allah! Perbaikilah hati dan amalan anak keturunanku” niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan besar; karena bisa jadi ia bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa; dan bisa jadi, doa itu berhasil sedangkan cara-cara lahiriahnya mengalami kegagalan. الوقفة الثالثة: عندما يدعو الوالدان لأولادهم ليس معنى هذا التخلي عن الأساليب الأخرى والاكتفاء بالدعاء وإنما يضم هذا إلى هذا فابذل الأسباب التي من خلالها يحصل ما دعوت به لصلاحهم وإصلاحهم. Ketiga: Ketika kedua orang tua telah berdoa untuk anak-anak mereka, itu tidak berarti mereka boleh berlepas diri dari cara-cara lainnya dan mencukupkan diri dengan doa. Keduanya harus dikombinasikan satu sama lain. Lakukanlah berbagai macam cara yang dengan itu kamu dapat merealisasikan doamu untuk kebaikan dan perbaikan anak keturunan. الوقفة الرابعة: مما لا شك فيه أن الأوقات الفاضلة للدعاء كآخر الليل وساعة الجمعة وبين الأذان والإقامة وفي السجود وغيرها من مواطن الدعاء هي أوقات يتعين على المهتمين أن يتحروها ويقصدوها، فيا أيها الوالدان الكريمان اجعلا نصيبا من قيامكم آخر الليل دعاء لذرياتكم وخصوهم وألحوا بياذا الجلال والإكرام فالله تعالى قريب مجيب وبادروا أيضا إلى صلواتكم لتدركوا الدعوات لهم بين الأذان والإقامة وأطيلوا في سجودكم مستثمرين ذلك بالدعاء لهم فلن تخيبوا والله تعالى هو جواد كريم. Keempat: Tidak diragukan lagi bahwa waktu-waktu utama untuk berdoa, seperti akhir malam, suatu saat di hari Jumat, waktu antara azan dan iqamah, ketika bersujud, dan waktu-waktu utama lainnya untuk berdoa merupakan waktu-waktu yang harus dimanfaatkan oleh para orang tua.  Wahai para orang tua yang mulia! Sisihkanlah waktu dari salat kalian di akhir malam untuk mendoakan para buah hati kalian. Khususkanlah doa untuk mereka secara konsisten dengan mengucapkan, “Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan!” karena Allah Ta’ala itu Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Bersegeralah juga menuju salat kalian, agar kalian dapat mendoakan mereka pada waktu antara azan dan iqamah. Juga perpanjanglah sujud kalian dengan memanfaatkannya untuk berdoa bagi mereka; niscaya kalian tidak akan kecewa, karena Allah Ta’ala Maha Pemurah lagi Maha Mulia. الوقفة الخامسة: عندما تدعو لذريتك لا تقصر الدعاء لهم فقط بل واشمل بذلك أولاد المسلمين، فإن هذا الدعاء هو من الدعاء بالغيب فالملك يقول آمين ولك بمثل، فلنتواص جميعا أن يدعو بعضنا لبعض ولنكثر من هذا ولنحرص عليه، ويقول أحدهم: إذا رأيت أحدا من أولاد المسلمين يعمل عملا مشينا، خصصته بدعوة خاصة آخر الليل فوجدت من ذلك خيرا عظيما فيهم وفي ذريتي. Kelima: Ketika kamu berdoa untuk anak-anakmu, jangan hanya terhenti dengan doa untuk mereka, tapi doakanlah juga anak-anak kaum Muslimin; karena ini termasuk doa untuk orang yang tidak sedang di sisi kita, sehingga malaikat akan mengucapkan, “Aamiin, dan semoga bagimu seperti itu juga.” Hendaklah kita semua saling menasihati agar kita saling mendoakan, serta sering-sering melakukannya dan memberi perhatian besar padanya.  Ada orang yang berkata, “Ketika aku melihat seorang anak kaum Muslimin yang berbuat buruk, aku segera mengkhususkan doa baginya pada akhir malam; lalu aku pun melihat banyak kebaikan pada mereka dan pada para buah hatiku.” الوقفة السادسة: عجبا للدعاء للأولاد ما أيسره وأسهله وما أعظم أثره لمن استحضر ذلك، فأحدهم كان ملازما لذلك فاعلا لبعض الأسباب اليسيرة رزقه الله أكثر من عشرة أبناء وبنات كلهم حفظوا القرآن وظهر عليهم الصلاح والهدى، فالدعاء للذرية ينبغي أن يكون حاضرا في الذهن كل وقت، فهو لا يتضمن كلفة ولا مشقة، إنما هي كلمات مرفوعة من عبد ضعيف إلى رب غني كريم. Keenam: Sungguh luar biasa doa bagi buah hati; betapa mudah dan ringannya, dan betapa besar pengaruhnya bagi orang yang merenunginya. Ada seseorang yang senantiasa mendoakan anaknya, disertai dengan beberapa ikhtiar kecil, tapi Allah mengaruniakan kepadanya lebih dari sepuluh putra dan putri yang semuanya menjadi penghafal al-Quran dan tampak dari diri mereka kesalehan dan hidayah.  Doa bagi anak harus senantiasa hadir dalam pikiran setiap saat, karena ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan biaya dan tidak sulit dilakukan; ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajukan oleh seorang hamba yang lemah kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah. الوقفة السابعة: من الجميل إشعار الذرية بأنه يدعو لهم ويناجي الله لصلاحهم فإن شعورهم هذا يلفت أنظارهم إلى هذا الجانب فيدعون هم لأنفسهم وليكن سجية لهم مع أولادهم لاحقا، ويستحضرون أيضا أن الدعاء سلاح ووسيلة عظيمة في ذلك المجال بل ويدعون هم لوالديهم حيث خصوهم بالدعاء فيكون الدعاء متبادلا بين الآباء والأولاد. Ketujuh: Sebaiknya anak-anak juga harus dijadikan merasa bahwa orang tua senantiasa berdoa bagi mereka dan bermunajat kepada Allah untuk kesalehan mereka; karena perasaan itu akan menarik perhatian mereka kepada hal tersebut, sehingga mereka juga akan berdoa untuk diri mereka dan agar itu menjadi kebiasaan mereka kelak terhadap anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga akan mengerti bahwa doa merupakan senjata dan cara yang agung dalam perkara ini. Bahkan, mereka juga akan mendoakan orang tua mereka secara khusus; sehingga doa akan silih berganti dipanjatkan antara orang tua dan anak-anak. الوقفة الثامنة: هذا الدعاء للأولاد يحتاج إلى صبر ومصابرة ومرابطة وعدم استعجال للإجابة حتى ولو لم يظهر صلاح عليهم، فاستدم الدعاء بل إن هذا يدفعك إلى الحرص أكثر من ذي قبل للحاجة الماسة إليه، وأما من كان أولاده صالحين فإنه يدعو لهم مزيدا على ذلك بالثبات والإصلاح، فإن الصلاح أخص من الإصلاح، والإصلاح أعم من الصلاح، فليحرص الجميع على توريث الأولاد الصالحين المصلحين، ليكونوا صدقة جارية لوالديهم. Kedelapan: Doa untuk anak-anak membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, serta tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan. Meskipun belum tampak kesalehan pada diri mereka, tetaplah berdoa. Bahkan, hendaklah itu menjadi pendorongmu untuk lebih banyak berdoa dari sebelumnya, karena adanya kebutuhan yang lebih besar terhadapnya. Adapun bagi orang tua yang anak-anaknya saleh, maka hendaklah ia berdoa agar mereka semakin istiqamah dan bisa mendatangkan perbaikan pada diri orang lain; karena kebaikan diri sendiri cakupannya lebih sempit daripada perbaikan pada diri orang lain. Oleh sebab itu, hendaklah kita semua berusaha mencetak peninggalan berupa anak keturunan yang baik dirinya dan membawa perbaikan pada orang lain, agar mereka menjadi sedekah jariyah bagi orang tua mereka. الوقفة التاسعة: إياك والدعاء عليهم عند الضجر منهم فإنك قد تدعو بساعة غضب عليهم تندم عليها ساعات وسنوات وتتمنى أنك لم تفعل، فاحذر هذا أشد الحذر ولا يغوينك الشيطان في شيء من الدعاء عليهم فكن بعيد النظر ولا تستغلق ذهنك بساعتك الحاضرة، واعلم أن الألفاظ متقاربة في الدعاء لهم أو عليهم غير أن الأولى خير في الدارين والثانية ليست كذلك، فالدعاء عليهم هو إحدى الدعوات الاستجابات، وهي دعوة المسافر، ودعوة المظلوم، ودعوة الوالد على ولده، وإن من المشاهد في الواقع المعاصر مآسي حصلت بسبب دعاء الوالدين على أولادهم، فاحذر ذلك يا رعاك الله. Sembilan: Janganlah sekali-kali kamu mendoakan keburukan bagi mereka ketika sedang marah terhadap mereka; karena bisa jadi kamu hanya mendoakan keburukan bagi mereka ketika marah, tapi itu membuatmu menyesal dalam waktu yang lama dan bertahun-tahun, dan berharap kamu tidak pernah melakukannya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dan jangan sampai tergoda oleh setan untuk mendoakan keburukan bagi mereka.  Jadilah orang yang berpandangan jauh ke masa depan dan jangan tutup pikiranmu dengan yang terjadi saat ini. Ketahuilah bahwa kalimat-kalimat tidak jauh berbeda antara doa kebaikan atau keburukan bagi mereka; hanya saja, yang pertama akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, sedangkan yang kedua tidak demikian. Doa keburukan dari orang tua kepada anak merupakan salah satu doa yang mustajab; karena di antara doa yang mustajab adalah doa musafir, doa orang yang terzalimi, dan doa orang tua untuk keburukan anaknya.  Di antara kenyataan yang terjadi sekarang, banyak kesengsaraan yang timbul akibat doa orang tua untuk keburukan anaknya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dari hal ini. Semoga Allah menjagamu. الوقفة العاشرة: عليك بحثهم أن يدعوا هم بأنفسهم فإن تربيتهم على ذلك مطلب تربوي كبير، بل وقد يكون ذلك ناهيا لهم عن الفحشاء والمنكر فهو إذا دعا لنفسه استحضر ما يتطلبه ذلك الدعاء من المعروف والفضائل. Sepuluh: Kamu harus mendorong anak-anak untuk berdoa bagi diri mereka sendiri, karena mendidik mereka untuk melakukan itu merupakan tuntutan besar dalam pendidikan. Bahkan, itu menjadi penghalang mereka dari melakukan perbuatan keji dan mungkar; karena apabila seorang anak berdoa untuk kebaikan dirinya, ia akan sadar perbuatan baik apa saja yang menjadi tuntutan dari doa itu. الوقفة الحادية عشرة: من مآثر السلف ما ورد عن الفضيل بن عياض رحمه الله، حيث بذل جهودا مع ابنه لصلاحه فعجز عن ذلك فقال (اللهم إني عجزت عن تأديب ابني عليا فأدبه أنت لي) وما ورد عن ابن دقيق العيد رحمه الله أنه هو وزوجته متجهان إلى الحج فولدت زوجته في طريقها فلما وصل إلى مكة طاف هو بابنه عند الكعبة وقال (اللهم اجعله عالما عاملا) ومآثر السلف كثيرة في دعواتهم لأولادهم في صلاحهم وإصلاحهم، فلنقتد بهم. Sebelas: Di antara riwayat dari para Salaf dalam perkara ini, terdapat riwayat dari al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang mengerahkan segenap usaha untuk kesalehan anaknya, tapi beliau tetap tidak mampu mewujudkannya, sehingga beliau berdoa, “Ya Allah! Aku tidak mampu lagi mendidik anakku, Ali; maka didiklah dia untukku.”  Diriwayatkan juga dari Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah bahwa ia dan istrinya pernah pergi menunaikan haji. Lalu istrinya melahirkan ketika dalam perjalanan. Saat beliau sampai di Makkah, beliau bertawaf mengelilingi Ka’bah bersama anaknya itu seraya berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah anak ini orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya!” Masih banyak kisah-kisah para Salaf yang mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang baik dan membawa perbaikan bagi orang lain; maka hendaklah kita mencontoh mereka. هذه وقفات سريعة مع هذا الموضوع المهم تربويا مع أولادنا، ولعله من المناسب إذا رأيت أولاد صاحبك يظهر عليهم الصلاح أن تتحاور معه عن سبب ذلك فلتقتبس شيئا من أسباب بذلها لعل الله أن ينفع بها أولادك. أسأل الله تعالى أن يصلح قلوبنا وقلوبهم وأعمالنا وأعمالهم وأن يجعلهم قرة عين لوالديهم، صالحين مصلحين، إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. Demikianlah renungan ringkas tentang tema penting ini dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin sangat tepat juga ketika kamu melihat anak-anak temanmu yang tampak saleh, untuk berdiskusi dengannya tentang sebab dari kesalehan mereka itu; lalu tirulah salah satu sebabnya; semoga dengan sebab itu, Allah mendatangkan manfaatnya pada anak-anakmu. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memperbaiki hati kita dan hati mereka, memperbaiki amalan kita dan amalan mereka, dan menjadikan anak-anak kita penyejuk hati bagi orang tua mereka, menjadi anak-anak baik dan mendatangkan kebaikan. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.  Semoga selawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.  Sumber: https://www.alukah.net/social/0/143557/الدعاء-للأولاد-سر-من-أسرار-النجاح-والفلاح/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 614 times, 6 visit(s) today Post Views: 434 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next