Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 3)

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 3)

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.
Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.


Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Ringankan Musibahmu dengan Mengingat Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ

Ringankan Musibahmu dengan Mengingat Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ
“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ


“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ

Bolehkah Salat sambil Duduk? Inilah Beberapa Batasan Bolehnya Salat sambil Duduk

Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar

Bolehkah Salat sambil Duduk? Inilah Beberapa Batasan Bolehnya Salat sambil Duduk

Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar
Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar


Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar

Cara Menumbuhkan Syukur: Tujuh Hal yang Membantu untuk Bersyukur (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.

Cara Menumbuhkan Syukur: Tujuh Hal yang Membantu untuk Bersyukur (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.
Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.


Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.

Fatwa Ulama: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.

Fatwa Ulama: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.

Hubungan Shalat Malam dan al-Quran – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Hubungan Shalat Malam dan al-Quran – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Teks Khotbah Jumat: Anjuran Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Anjuran Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Fikih Akad Salam (Bag. 1): Definisi dan Hukum

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam (Bag. 1): Definisi dan Hukum

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.
Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.


Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.
Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.


Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 3): Pintu Tobat Allah Tidak Pernah Tertutup

Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 3): Pintu Tobat Allah Tidak Pernah Tertutup

Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.
Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.


Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.

Tuntunan Islam Ketika Terjadi Konflik Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Tuntunan Islam Ketika Terjadi Konflik Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Rahasia Doa Nabi Yunus: Kunci Terkabulnya Keinginan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ

Rahasia Doa Nabi Yunus: Kunci Terkabulnya Keinginan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ


Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ

Apakah Islam Termasuk Logika Mistika ala Tan Malaka?

Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.

Apakah Islam Termasuk Logika Mistika ala Tan Malaka?

Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.
Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.


Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.
Prev     Next