Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub
Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub


Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.
Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.


Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.


Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim
Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim


Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah
Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah


Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Jangan Menunggu Iqomah Baru ke Masjid – Syaikh Sa’ad Al Khatslan #NasehatUlama

Di antara hal lain yang dapat diperhatikan dari sebagian orang, bahkan dapat kita katakan: banyak orang yang terlambat datang menuju salat berjamaah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala pada ‘tahjir’, niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya.” “Tahjir” yaitu bersegera (menuju masjid). Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim. Kita temui banyak masjid yang jemaahnya baru datang ketika iqamah dikumandangkan. Sehingga fungsi iqamah sekarang menjadi seperti azan. Namun, sunahnya adalah seorang muslim segera ke masjid ketika mendengar azan. Hal ini karena jika dia membiasakan diri dalam mengamalkan itu, dia akan meraih pahala yang besar. Karena jika dia menunggu pelaksanaan salat, maka dia terhitung sedang melakukan salat. Para malaikat juga akan berdoa untuknya. Dan ini lebih ditekankan lagi secara khusus pada Salat Jumat. Yang terjadi sekarang, ketika khatib datang, mayoritas jemaah masih di luar masjid. Apabila mereka mendengar khatib memulai khutbahnya, mereka baru berbondong-bondong masuk masjid. Saya katakan wahai saudara-saudara! Hendaklah ada perhatian dan kepedulian besar, terlebih lagi terhadap Salat Jumat. ==== كَذَلِكَ أَيْضًا مِمَّا يُلَاحَظُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ وَرُبَّمَا نَقُولُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ التَّأَخُّرُ فِي الْإِتْيَانِ لِلصَّلَاةِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَالتَّهْجِيرُ هُوَ التَّبْكِيرُ وَهَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ وَمُسْلِمٌ وَنَجِدُ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْمَسَاجِدِ لَا يَأْتِي النَّاسُ إِلَّا مَعَ الْإِقَامَةِ فَتَكَادُ الْإِقَامَةُ الْانَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَذَانِ لَكِن السُّنَّةُ أَنْ يُبَادِرَ الْمُسْلِمُ لِلْمَسْجِدِ مِنْ حِينِ أَنْ يَسْمَعَ الْأَذَانَ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا عَوَّدَ نَفْسَهُ عَلَى ذَلِكَ يَكْسِبُ أَجْرًا عَظِيْمًا فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَلَائِكَةُ تَدْعُو لَهُ وَيَتَأَكَّدُ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَيَأْتِي الْآنَ الْخَطِيْبُ وَأَكْثَرُ الْمُصَلِّيْنَ أَكْثَرُ النَّاسِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا سَمِعُوا الْخَطِيْبَ قَدْ بَدَأَ بَدَؤُوْا يَتَوَافَدُوْنَ لِلْجَامِعِ أَقُولُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ يَنْبَغِي الِاهْتِمَامُ بِشَأْنِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ وَالْعِنَايَةُ بِهَا

Jangan Menunggu Iqomah Baru ke Masjid – Syaikh Sa’ad Al Khatslan #NasehatUlama

Di antara hal lain yang dapat diperhatikan dari sebagian orang, bahkan dapat kita katakan: banyak orang yang terlambat datang menuju salat berjamaah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala pada ‘tahjir’, niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya.” “Tahjir” yaitu bersegera (menuju masjid). Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim. Kita temui banyak masjid yang jemaahnya baru datang ketika iqamah dikumandangkan. Sehingga fungsi iqamah sekarang menjadi seperti azan. Namun, sunahnya adalah seorang muslim segera ke masjid ketika mendengar azan. Hal ini karena jika dia membiasakan diri dalam mengamalkan itu, dia akan meraih pahala yang besar. Karena jika dia menunggu pelaksanaan salat, maka dia terhitung sedang melakukan salat. Para malaikat juga akan berdoa untuknya. Dan ini lebih ditekankan lagi secara khusus pada Salat Jumat. Yang terjadi sekarang, ketika khatib datang, mayoritas jemaah masih di luar masjid. Apabila mereka mendengar khatib memulai khutbahnya, mereka baru berbondong-bondong masuk masjid. Saya katakan wahai saudara-saudara! Hendaklah ada perhatian dan kepedulian besar, terlebih lagi terhadap Salat Jumat. ==== كَذَلِكَ أَيْضًا مِمَّا يُلَاحَظُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ وَرُبَّمَا نَقُولُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ التَّأَخُّرُ فِي الْإِتْيَانِ لِلصَّلَاةِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَالتَّهْجِيرُ هُوَ التَّبْكِيرُ وَهَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ وَمُسْلِمٌ وَنَجِدُ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْمَسَاجِدِ لَا يَأْتِي النَّاسُ إِلَّا مَعَ الْإِقَامَةِ فَتَكَادُ الْإِقَامَةُ الْانَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَذَانِ لَكِن السُّنَّةُ أَنْ يُبَادِرَ الْمُسْلِمُ لِلْمَسْجِدِ مِنْ حِينِ أَنْ يَسْمَعَ الْأَذَانَ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا عَوَّدَ نَفْسَهُ عَلَى ذَلِكَ يَكْسِبُ أَجْرًا عَظِيْمًا فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَلَائِكَةُ تَدْعُو لَهُ وَيَتَأَكَّدُ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَيَأْتِي الْآنَ الْخَطِيْبُ وَأَكْثَرُ الْمُصَلِّيْنَ أَكْثَرُ النَّاسِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا سَمِعُوا الْخَطِيْبَ قَدْ بَدَأَ بَدَؤُوْا يَتَوَافَدُوْنَ لِلْجَامِعِ أَقُولُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ يَنْبَغِي الِاهْتِمَامُ بِشَأْنِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ وَالْعِنَايَةُ بِهَا
Di antara hal lain yang dapat diperhatikan dari sebagian orang, bahkan dapat kita katakan: banyak orang yang terlambat datang menuju salat berjamaah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala pada ‘tahjir’, niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya.” “Tahjir” yaitu bersegera (menuju masjid). Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim. Kita temui banyak masjid yang jemaahnya baru datang ketika iqamah dikumandangkan. Sehingga fungsi iqamah sekarang menjadi seperti azan. Namun, sunahnya adalah seorang muslim segera ke masjid ketika mendengar azan. Hal ini karena jika dia membiasakan diri dalam mengamalkan itu, dia akan meraih pahala yang besar. Karena jika dia menunggu pelaksanaan salat, maka dia terhitung sedang melakukan salat. Para malaikat juga akan berdoa untuknya. Dan ini lebih ditekankan lagi secara khusus pada Salat Jumat. Yang terjadi sekarang, ketika khatib datang, mayoritas jemaah masih di luar masjid. Apabila mereka mendengar khatib memulai khutbahnya, mereka baru berbondong-bondong masuk masjid. Saya katakan wahai saudara-saudara! Hendaklah ada perhatian dan kepedulian besar, terlebih lagi terhadap Salat Jumat. ==== كَذَلِكَ أَيْضًا مِمَّا يُلَاحَظُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ وَرُبَّمَا نَقُولُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ التَّأَخُّرُ فِي الْإِتْيَانِ لِلصَّلَاةِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَالتَّهْجِيرُ هُوَ التَّبْكِيرُ وَهَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ وَمُسْلِمٌ وَنَجِدُ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْمَسَاجِدِ لَا يَأْتِي النَّاسُ إِلَّا مَعَ الْإِقَامَةِ فَتَكَادُ الْإِقَامَةُ الْانَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَذَانِ لَكِن السُّنَّةُ أَنْ يُبَادِرَ الْمُسْلِمُ لِلْمَسْجِدِ مِنْ حِينِ أَنْ يَسْمَعَ الْأَذَانَ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا عَوَّدَ نَفْسَهُ عَلَى ذَلِكَ يَكْسِبُ أَجْرًا عَظِيْمًا فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَلَائِكَةُ تَدْعُو لَهُ وَيَتَأَكَّدُ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَيَأْتِي الْآنَ الْخَطِيْبُ وَأَكْثَرُ الْمُصَلِّيْنَ أَكْثَرُ النَّاسِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا سَمِعُوا الْخَطِيْبَ قَدْ بَدَأَ بَدَؤُوْا يَتَوَافَدُوْنَ لِلْجَامِعِ أَقُولُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ يَنْبَغِي الِاهْتِمَامُ بِشَأْنِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ وَالْعِنَايَةُ بِهَا


Di antara hal lain yang dapat diperhatikan dari sebagian orang, bahkan dapat kita katakan: banyak orang yang terlambat datang menuju salat berjamaah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala pada ‘tahjir’, niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya.” “Tahjir” yaitu bersegera (menuju masjid). Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim. Kita temui banyak masjid yang jemaahnya baru datang ketika iqamah dikumandangkan. Sehingga fungsi iqamah sekarang menjadi seperti azan. Namun, sunahnya adalah seorang muslim segera ke masjid ketika mendengar azan. Hal ini karena jika dia membiasakan diri dalam mengamalkan itu, dia akan meraih pahala yang besar. Karena jika dia menunggu pelaksanaan salat, maka dia terhitung sedang melakukan salat. Para malaikat juga akan berdoa untuknya. Dan ini lebih ditekankan lagi secara khusus pada Salat Jumat. Yang terjadi sekarang, ketika khatib datang, mayoritas jemaah masih di luar masjid. Apabila mereka mendengar khatib memulai khutbahnya, mereka baru berbondong-bondong masuk masjid. Saya katakan wahai saudara-saudara! Hendaklah ada perhatian dan kepedulian besar, terlebih lagi terhadap Salat Jumat. ==== كَذَلِكَ أَيْضًا مِمَّا يُلَاحَظُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ وَرُبَّمَا نَقُولُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ التَّأَخُّرُ فِي الْإِتْيَانِ لِلصَّلَاةِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَالتَّهْجِيرُ هُوَ التَّبْكِيرُ وَهَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ وَمُسْلِمٌ وَنَجِدُ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْمَسَاجِدِ لَا يَأْتِي النَّاسُ إِلَّا مَعَ الْإِقَامَةِ فَتَكَادُ الْإِقَامَةُ الْانَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَذَانِ لَكِن السُّنَّةُ أَنْ يُبَادِرَ الْمُسْلِمُ لِلْمَسْجِدِ مِنْ حِينِ أَنْ يَسْمَعَ الْأَذَانَ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا عَوَّدَ نَفْسَهُ عَلَى ذَلِكَ يَكْسِبُ أَجْرًا عَظِيْمًا فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَلَائِكَةُ تَدْعُو لَهُ وَيَتَأَكَّدُ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَيَأْتِي الْآنَ الْخَطِيْبُ وَأَكْثَرُ الْمُصَلِّيْنَ أَكْثَرُ النَّاسِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا سَمِعُوا الْخَطِيْبَ قَدْ بَدَأَ بَدَؤُوْا يَتَوَافَدُوْنَ لِلْجَامِعِ أَقُولُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ يَنْبَغِي الِاهْتِمَامُ بِشَأْنِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ وَالْعِنَايَةُ بِهَا

Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala?

Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala?

Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Sebab-Sebab Terbesar Su’ul Khatimah (Kematian yang Buruk)

Daftar Isi Toggle Akidah yang menyimpangMenunda-nunda tobatSenantiasa bermaksiatTerlalu cinta pada dunia Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh setiap makhluk-Nya. Semuanya akan mati dan akan menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan selama hidupnya di dunia. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35) Sebagai seorang muslim, tentunya menginginkan kematian yang indah di akhir hidupnya, diwafatkan dalam kondisi yang baik, dan diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas, bagaimana jika kita diwafatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam kondisi sebaliknya? Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri kita. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada su’ul khatimah (kematian yang buruk) agar senantiasa berhati-hati dan menghindarinya dengan segala upaya dan kemampuannya. Dan di antara sebab-sebab su’ul khatimah adalah: Akidah yang menyimpang Seseorang yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan meyakini perbuatan yang ia lakukan adalah kebenaran, padahal itu adalah kesesatan. Dia merasa apa yang ia lakukan sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika ia tidak segera sadar dan bertobat sebelum kematiannya, maka sia-sialah apa yang telah ia lakukan selama ini dan bisa menjadi sebab ia mati dalam kondisi su’ul khatimah. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Katakan (Wahai Muhammad), ‘Maukah engkau aku beritakan tentang amalan yang paling merugi? Yaitu, mereka yang semasa di dunia melakukan amalan yang sesat, tapi sayangnya mereka mengira telah berbuat baik.’ ” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Sungguh merugi, orang yang menyimpang dari akidah yang lurus. Seluruh amalannya sia-sia dan ia termasuk orang-orang yang merugi. Ia akan senantiasa dalam kesesatannya dan sulit untuk bertobat darinya. Para pelaku penyimpangan akan sulit untuk menerima kebenaran, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menutup pintu tobat bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sesungguhnya Allah menutup pintu tobat bagi para pelaku penyimpangan sampai dia tinggalkan ke-bid’ah-annya.” (HR. Ath-Thabrani) Jika bukan karena taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka akan senantiasa dalam kesesatannya dan tidak akan bertobat darinya hingga kematiannya. Menunda-nunda tobat Menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah dilakukan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tenggelam ke dalam angan-angan yang sia-sia. Ia akan berpikir untuk berbuat dosa sebanyak mungkin dan di suatu waktu, ia akan bertobat darinya entah kapan. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu, kapan saja, dan di mana saja. Bagaimana jika ia dimatikan dalam kondisi berlumuran dosa dan belum sempat bertobat darinya? Oleh karena itu, Allah ‘Azza Wajalla sangat membenci dan mencela orang-orang yang panjang angannya sehingga melalaikan mereka dari berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ  ذَرْهُمْ يَأْكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ “Orang-orang yang kafir itu sering kali menginginkan, kiranya mereka dahulu di dunia menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr: 2-3) Dengan menunda tobat, berarti ia telah menunda kebaikan yang besar dan sekadar berangan-angan saja. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan modal bagi orang-orang yang merugi lagi bangkrut. إن المنى رأس أموال المفاليس “Sesungguhnya sekadar berangan-angan tanpa realisasi itu adalah modal orang-orang yang bangkrut.” (Madarijus Salikin, 1: 456) Ujungnya ia akan menyesal selamanya dengan penyesalan yang terlambat, karena kematian lebih dulu menjemputnya di saat ia bergelimang dosa. Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Berhati-hatilah dengan sikap menunda-nunda. Hari ini adalah sekarang. Janganlah menunggu esok hari, karena jika esok tak kunjung datang, hanya penyesalanlah atas apa yang luput darimu.” (Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 30) Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Senantiasa bermaksiat Di antara sebab yang sering kali menggelincirkan seseorang pada kematian yang buruk adalah kemaksiatan yang terus menerus. Kemaksiatan akan menyebabkan seseorang lalai dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan enggan untuk bertobat sehingga membuatnya dengan mudah mengalami su’ul khatimah saat kematiannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, أن الذنوب والمعاصي والشهوات تخذل صاحبها عند الموت مع خذلان الشيطان له. فيجتمع عليه الخذلان مع ضعف الإيمان. فيقع في سوء الخاتمة “Sungguh dosa, maksiat, dan syahwat ialah sebab yang bisa menggelincirkan manusia saat kematiannya, ditambah lagi dengan godaan setan. Jika terkumpul maksiat dan godaan setan, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah ia mati dalam kondisi su’ul khatimah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10: 184) Apabila seseorang selama hidupnya senantiasa banyak melakukan amal buruk atau kemaksiatan dan sedikit sekali amal baiknya, dikhawatirkan saat menjelang kematiannya, ia dimatikan dalam kondisi buruk pula. Karena ketika ia sering bermaksiat, maksiat itu akan menghalanginya untuk bertobat dan melakukan ketaatan, serta keburukanlah yang akan menghiasi pikirannya ketika menjelang kematiannya sehingga menyebabkannya mati dalam kondisi su’ul khatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يُبعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ “Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai kondisi kematiannya.” (HR. Muslim) Maksud dari hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Munawi rahimahullah, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ “Yaitu, ia mati di atas kehidupan yang biasanya ia lakukan dan ia dibangkitkan di atas hal itu pula.” (At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ As-Shagir, 2: 859) Oleh karenanya, kematian seseorang biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan semasa hidupnya. Jika ia terbiasa dengan melakukan keburukan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi buruk pula. Begitu sebaliknya, jika ia terbiasa dengan melakukan kebaikan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi yang baik pula. Terlalu cinta pada dunia Cinta pada dunia biasanya dipengaruhi oleh lemahnya keimanan seseorang. Karena sebab lemahnya iman ini, akan menyebabkan lemahnya kecintaan dia kepada Rabbnya. Nantinya, yang akan menguasainya adalah syahwat dan maksiat, serta kecintaannya pada dunia yang amat mendalam. Selain itu, kecintaan yang berlebihan pada dunia akan menyebabkan seseorang merasa berat atau bahkan enggan untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan. Dengan begitu, setan akan dengan mudah membuatnya terjerumus ke dalam kubangan dosa dan kemaksiatan. Terlalu cinta pada dunia akan meredupkan iman seseorang, bahkan bisa saja membuatnya jatuh dalam kegelapan (kekufuran). Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا مَثَلُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلْأَنْعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَٰدِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَىٰهَآ أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِٱلْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟ “Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya?” (HR. Muslim no. 2868) Salah seorang salaf juga mengatakan, “Cinta dunia adalah induk dari segala dosa dan merusak agama seseorang.” Berlebihan dalam mencintai dunia berarti ia lebih mengagungkan sesuatu selain Allah dan ini termasuk dalam dosa yang paling besar yang dapat mendatangkan azab dan murka-Nya. Selain itu, mencintai dunia dibanding akhirat berarti ia telah menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik dibandingkan dunia. Sebab, inilah yang sering kali membuat seseorang lalai dan menjumpai kematiannya dalam kondisi yang buruk. Sebagai penutup, agar terjauhkan dari sebab-sebab tersebut hendaklah seseorang senantiasa melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Rabbnya, melakukan apa yang diperintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Bersegera untuk bertobat, memperbaiki tujuan hidupnya, dan memperbanyak doa meminta husnul khatimah. Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepadaMu!’” (HR. Muslim, no. 4798) Baca juga: Doa Menghadapi Kematian *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi Artikel: Muslim.or.id

Sebab-Sebab Terbesar Su’ul Khatimah (Kematian yang Buruk)

Daftar Isi Toggle Akidah yang menyimpangMenunda-nunda tobatSenantiasa bermaksiatTerlalu cinta pada dunia Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh setiap makhluk-Nya. Semuanya akan mati dan akan menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan selama hidupnya di dunia. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35) Sebagai seorang muslim, tentunya menginginkan kematian yang indah di akhir hidupnya, diwafatkan dalam kondisi yang baik, dan diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas, bagaimana jika kita diwafatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam kondisi sebaliknya? Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri kita. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada su’ul khatimah (kematian yang buruk) agar senantiasa berhati-hati dan menghindarinya dengan segala upaya dan kemampuannya. Dan di antara sebab-sebab su’ul khatimah adalah: Akidah yang menyimpang Seseorang yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan meyakini perbuatan yang ia lakukan adalah kebenaran, padahal itu adalah kesesatan. Dia merasa apa yang ia lakukan sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika ia tidak segera sadar dan bertobat sebelum kematiannya, maka sia-sialah apa yang telah ia lakukan selama ini dan bisa menjadi sebab ia mati dalam kondisi su’ul khatimah. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Katakan (Wahai Muhammad), ‘Maukah engkau aku beritakan tentang amalan yang paling merugi? Yaitu, mereka yang semasa di dunia melakukan amalan yang sesat, tapi sayangnya mereka mengira telah berbuat baik.’ ” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Sungguh merugi, orang yang menyimpang dari akidah yang lurus. Seluruh amalannya sia-sia dan ia termasuk orang-orang yang merugi. Ia akan senantiasa dalam kesesatannya dan sulit untuk bertobat darinya. Para pelaku penyimpangan akan sulit untuk menerima kebenaran, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menutup pintu tobat bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sesungguhnya Allah menutup pintu tobat bagi para pelaku penyimpangan sampai dia tinggalkan ke-bid’ah-annya.” (HR. Ath-Thabrani) Jika bukan karena taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka akan senantiasa dalam kesesatannya dan tidak akan bertobat darinya hingga kematiannya. Menunda-nunda tobat Menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah dilakukan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tenggelam ke dalam angan-angan yang sia-sia. Ia akan berpikir untuk berbuat dosa sebanyak mungkin dan di suatu waktu, ia akan bertobat darinya entah kapan. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu, kapan saja, dan di mana saja. Bagaimana jika ia dimatikan dalam kondisi berlumuran dosa dan belum sempat bertobat darinya? Oleh karena itu, Allah ‘Azza Wajalla sangat membenci dan mencela orang-orang yang panjang angannya sehingga melalaikan mereka dari berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ  ذَرْهُمْ يَأْكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ “Orang-orang yang kafir itu sering kali menginginkan, kiranya mereka dahulu di dunia menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr: 2-3) Dengan menunda tobat, berarti ia telah menunda kebaikan yang besar dan sekadar berangan-angan saja. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan modal bagi orang-orang yang merugi lagi bangkrut. إن المنى رأس أموال المفاليس “Sesungguhnya sekadar berangan-angan tanpa realisasi itu adalah modal orang-orang yang bangkrut.” (Madarijus Salikin, 1: 456) Ujungnya ia akan menyesal selamanya dengan penyesalan yang terlambat, karena kematian lebih dulu menjemputnya di saat ia bergelimang dosa. Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Berhati-hatilah dengan sikap menunda-nunda. Hari ini adalah sekarang. Janganlah menunggu esok hari, karena jika esok tak kunjung datang, hanya penyesalanlah atas apa yang luput darimu.” (Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 30) Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Senantiasa bermaksiat Di antara sebab yang sering kali menggelincirkan seseorang pada kematian yang buruk adalah kemaksiatan yang terus menerus. Kemaksiatan akan menyebabkan seseorang lalai dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan enggan untuk bertobat sehingga membuatnya dengan mudah mengalami su’ul khatimah saat kematiannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, أن الذنوب والمعاصي والشهوات تخذل صاحبها عند الموت مع خذلان الشيطان له. فيجتمع عليه الخذلان مع ضعف الإيمان. فيقع في سوء الخاتمة “Sungguh dosa, maksiat, dan syahwat ialah sebab yang bisa menggelincirkan manusia saat kematiannya, ditambah lagi dengan godaan setan. Jika terkumpul maksiat dan godaan setan, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah ia mati dalam kondisi su’ul khatimah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10: 184) Apabila seseorang selama hidupnya senantiasa banyak melakukan amal buruk atau kemaksiatan dan sedikit sekali amal baiknya, dikhawatirkan saat menjelang kematiannya, ia dimatikan dalam kondisi buruk pula. Karena ketika ia sering bermaksiat, maksiat itu akan menghalanginya untuk bertobat dan melakukan ketaatan, serta keburukanlah yang akan menghiasi pikirannya ketika menjelang kematiannya sehingga menyebabkannya mati dalam kondisi su’ul khatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يُبعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ “Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai kondisi kematiannya.” (HR. Muslim) Maksud dari hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Munawi rahimahullah, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ “Yaitu, ia mati di atas kehidupan yang biasanya ia lakukan dan ia dibangkitkan di atas hal itu pula.” (At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ As-Shagir, 2: 859) Oleh karenanya, kematian seseorang biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan semasa hidupnya. Jika ia terbiasa dengan melakukan keburukan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi buruk pula. Begitu sebaliknya, jika ia terbiasa dengan melakukan kebaikan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi yang baik pula. Terlalu cinta pada dunia Cinta pada dunia biasanya dipengaruhi oleh lemahnya keimanan seseorang. Karena sebab lemahnya iman ini, akan menyebabkan lemahnya kecintaan dia kepada Rabbnya. Nantinya, yang akan menguasainya adalah syahwat dan maksiat, serta kecintaannya pada dunia yang amat mendalam. Selain itu, kecintaan yang berlebihan pada dunia akan menyebabkan seseorang merasa berat atau bahkan enggan untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan. Dengan begitu, setan akan dengan mudah membuatnya terjerumus ke dalam kubangan dosa dan kemaksiatan. Terlalu cinta pada dunia akan meredupkan iman seseorang, bahkan bisa saja membuatnya jatuh dalam kegelapan (kekufuran). Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا مَثَلُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلْأَنْعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَٰدِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَىٰهَآ أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِٱلْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟ “Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya?” (HR. Muslim no. 2868) Salah seorang salaf juga mengatakan, “Cinta dunia adalah induk dari segala dosa dan merusak agama seseorang.” Berlebihan dalam mencintai dunia berarti ia lebih mengagungkan sesuatu selain Allah dan ini termasuk dalam dosa yang paling besar yang dapat mendatangkan azab dan murka-Nya. Selain itu, mencintai dunia dibanding akhirat berarti ia telah menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik dibandingkan dunia. Sebab, inilah yang sering kali membuat seseorang lalai dan menjumpai kematiannya dalam kondisi yang buruk. Sebagai penutup, agar terjauhkan dari sebab-sebab tersebut hendaklah seseorang senantiasa melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Rabbnya, melakukan apa yang diperintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Bersegera untuk bertobat, memperbaiki tujuan hidupnya, dan memperbanyak doa meminta husnul khatimah. Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepadaMu!’” (HR. Muslim, no. 4798) Baca juga: Doa Menghadapi Kematian *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Akidah yang menyimpangMenunda-nunda tobatSenantiasa bermaksiatTerlalu cinta pada dunia Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh setiap makhluk-Nya. Semuanya akan mati dan akan menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan selama hidupnya di dunia. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35) Sebagai seorang muslim, tentunya menginginkan kematian yang indah di akhir hidupnya, diwafatkan dalam kondisi yang baik, dan diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas, bagaimana jika kita diwafatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam kondisi sebaliknya? Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri kita. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada su’ul khatimah (kematian yang buruk) agar senantiasa berhati-hati dan menghindarinya dengan segala upaya dan kemampuannya. Dan di antara sebab-sebab su’ul khatimah adalah: Akidah yang menyimpang Seseorang yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan meyakini perbuatan yang ia lakukan adalah kebenaran, padahal itu adalah kesesatan. Dia merasa apa yang ia lakukan sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika ia tidak segera sadar dan bertobat sebelum kematiannya, maka sia-sialah apa yang telah ia lakukan selama ini dan bisa menjadi sebab ia mati dalam kondisi su’ul khatimah. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Katakan (Wahai Muhammad), ‘Maukah engkau aku beritakan tentang amalan yang paling merugi? Yaitu, mereka yang semasa di dunia melakukan amalan yang sesat, tapi sayangnya mereka mengira telah berbuat baik.’ ” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Sungguh merugi, orang yang menyimpang dari akidah yang lurus. Seluruh amalannya sia-sia dan ia termasuk orang-orang yang merugi. Ia akan senantiasa dalam kesesatannya dan sulit untuk bertobat darinya. Para pelaku penyimpangan akan sulit untuk menerima kebenaran, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menutup pintu tobat bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sesungguhnya Allah menutup pintu tobat bagi para pelaku penyimpangan sampai dia tinggalkan ke-bid’ah-annya.” (HR. Ath-Thabrani) Jika bukan karena taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka akan senantiasa dalam kesesatannya dan tidak akan bertobat darinya hingga kematiannya. Menunda-nunda tobat Menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah dilakukan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tenggelam ke dalam angan-angan yang sia-sia. Ia akan berpikir untuk berbuat dosa sebanyak mungkin dan di suatu waktu, ia akan bertobat darinya entah kapan. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu, kapan saja, dan di mana saja. Bagaimana jika ia dimatikan dalam kondisi berlumuran dosa dan belum sempat bertobat darinya? Oleh karena itu, Allah ‘Azza Wajalla sangat membenci dan mencela orang-orang yang panjang angannya sehingga melalaikan mereka dari berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ  ذَرْهُمْ يَأْكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ “Orang-orang yang kafir itu sering kali menginginkan, kiranya mereka dahulu di dunia menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr: 2-3) Dengan menunda tobat, berarti ia telah menunda kebaikan yang besar dan sekadar berangan-angan saja. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan modal bagi orang-orang yang merugi lagi bangkrut. إن المنى رأس أموال المفاليس “Sesungguhnya sekadar berangan-angan tanpa realisasi itu adalah modal orang-orang yang bangkrut.” (Madarijus Salikin, 1: 456) Ujungnya ia akan menyesal selamanya dengan penyesalan yang terlambat, karena kematian lebih dulu menjemputnya di saat ia bergelimang dosa. Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Berhati-hatilah dengan sikap menunda-nunda. Hari ini adalah sekarang. Janganlah menunggu esok hari, karena jika esok tak kunjung datang, hanya penyesalanlah atas apa yang luput darimu.” (Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 30) Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Senantiasa bermaksiat Di antara sebab yang sering kali menggelincirkan seseorang pada kematian yang buruk adalah kemaksiatan yang terus menerus. Kemaksiatan akan menyebabkan seseorang lalai dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan enggan untuk bertobat sehingga membuatnya dengan mudah mengalami su’ul khatimah saat kematiannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, أن الذنوب والمعاصي والشهوات تخذل صاحبها عند الموت مع خذلان الشيطان له. فيجتمع عليه الخذلان مع ضعف الإيمان. فيقع في سوء الخاتمة “Sungguh dosa, maksiat, dan syahwat ialah sebab yang bisa menggelincirkan manusia saat kematiannya, ditambah lagi dengan godaan setan. Jika terkumpul maksiat dan godaan setan, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah ia mati dalam kondisi su’ul khatimah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10: 184) Apabila seseorang selama hidupnya senantiasa banyak melakukan amal buruk atau kemaksiatan dan sedikit sekali amal baiknya, dikhawatirkan saat menjelang kematiannya, ia dimatikan dalam kondisi buruk pula. Karena ketika ia sering bermaksiat, maksiat itu akan menghalanginya untuk bertobat dan melakukan ketaatan, serta keburukanlah yang akan menghiasi pikirannya ketika menjelang kematiannya sehingga menyebabkannya mati dalam kondisi su’ul khatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يُبعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ “Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai kondisi kematiannya.” (HR. Muslim) Maksud dari hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Munawi rahimahullah, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ “Yaitu, ia mati di atas kehidupan yang biasanya ia lakukan dan ia dibangkitkan di atas hal itu pula.” (At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ As-Shagir, 2: 859) Oleh karenanya, kematian seseorang biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan semasa hidupnya. Jika ia terbiasa dengan melakukan keburukan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi buruk pula. Begitu sebaliknya, jika ia terbiasa dengan melakukan kebaikan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi yang baik pula. Terlalu cinta pada dunia Cinta pada dunia biasanya dipengaruhi oleh lemahnya keimanan seseorang. Karena sebab lemahnya iman ini, akan menyebabkan lemahnya kecintaan dia kepada Rabbnya. Nantinya, yang akan menguasainya adalah syahwat dan maksiat, serta kecintaannya pada dunia yang amat mendalam. Selain itu, kecintaan yang berlebihan pada dunia akan menyebabkan seseorang merasa berat atau bahkan enggan untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan. Dengan begitu, setan akan dengan mudah membuatnya terjerumus ke dalam kubangan dosa dan kemaksiatan. Terlalu cinta pada dunia akan meredupkan iman seseorang, bahkan bisa saja membuatnya jatuh dalam kegelapan (kekufuran). Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا مَثَلُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلْأَنْعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَٰدِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَىٰهَآ أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِٱلْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟ “Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya?” (HR. Muslim no. 2868) Salah seorang salaf juga mengatakan, “Cinta dunia adalah induk dari segala dosa dan merusak agama seseorang.” Berlebihan dalam mencintai dunia berarti ia lebih mengagungkan sesuatu selain Allah dan ini termasuk dalam dosa yang paling besar yang dapat mendatangkan azab dan murka-Nya. Selain itu, mencintai dunia dibanding akhirat berarti ia telah menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik dibandingkan dunia. Sebab, inilah yang sering kali membuat seseorang lalai dan menjumpai kematiannya dalam kondisi yang buruk. Sebagai penutup, agar terjauhkan dari sebab-sebab tersebut hendaklah seseorang senantiasa melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Rabbnya, melakukan apa yang diperintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Bersegera untuk bertobat, memperbaiki tujuan hidupnya, dan memperbanyak doa meminta husnul khatimah. Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepadaMu!’” (HR. Muslim, no. 4798) Baca juga: Doa Menghadapi Kematian *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Akidah yang menyimpangMenunda-nunda tobatSenantiasa bermaksiatTerlalu cinta pada dunia Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh setiap makhluk-Nya. Semuanya akan mati dan akan menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan selama hidupnya di dunia. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35) Sebagai seorang muslim, tentunya menginginkan kematian yang indah di akhir hidupnya, diwafatkan dalam kondisi yang baik, dan diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas, bagaimana jika kita diwafatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam kondisi sebaliknya? Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri kita. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada su’ul khatimah (kematian yang buruk) agar senantiasa berhati-hati dan menghindarinya dengan segala upaya dan kemampuannya. Dan di antara sebab-sebab su’ul khatimah adalah: Akidah yang menyimpang Seseorang yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan meyakini perbuatan yang ia lakukan adalah kebenaran, padahal itu adalah kesesatan. Dia merasa apa yang ia lakukan sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika ia tidak segera sadar dan bertobat sebelum kematiannya, maka sia-sialah apa yang telah ia lakukan selama ini dan bisa menjadi sebab ia mati dalam kondisi su’ul khatimah. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Katakan (Wahai Muhammad), ‘Maukah engkau aku beritakan tentang amalan yang paling merugi? Yaitu, mereka yang semasa di dunia melakukan amalan yang sesat, tapi sayangnya mereka mengira telah berbuat baik.’ ” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Sungguh merugi, orang yang menyimpang dari akidah yang lurus. Seluruh amalannya sia-sia dan ia termasuk orang-orang yang merugi. Ia akan senantiasa dalam kesesatannya dan sulit untuk bertobat darinya. Para pelaku penyimpangan akan sulit untuk menerima kebenaran, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menutup pintu tobat bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sesungguhnya Allah menutup pintu tobat bagi para pelaku penyimpangan sampai dia tinggalkan ke-bid’ah-annya.” (HR. Ath-Thabrani) Jika bukan karena taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka akan senantiasa dalam kesesatannya dan tidak akan bertobat darinya hingga kematiannya. Menunda-nunda tobat Menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah dilakukan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tenggelam ke dalam angan-angan yang sia-sia. Ia akan berpikir untuk berbuat dosa sebanyak mungkin dan di suatu waktu, ia akan bertobat darinya entah kapan. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu, kapan saja, dan di mana saja. Bagaimana jika ia dimatikan dalam kondisi berlumuran dosa dan belum sempat bertobat darinya? Oleh karena itu, Allah ‘Azza Wajalla sangat membenci dan mencela orang-orang yang panjang angannya sehingga melalaikan mereka dari berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ  ذَرْهُمْ يَأْكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ “Orang-orang yang kafir itu sering kali menginginkan, kiranya mereka dahulu di dunia menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr: 2-3) Dengan menunda tobat, berarti ia telah menunda kebaikan yang besar dan sekadar berangan-angan saja. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan modal bagi orang-orang yang merugi lagi bangkrut. إن المنى رأس أموال المفاليس “Sesungguhnya sekadar berangan-angan tanpa realisasi itu adalah modal orang-orang yang bangkrut.” (Madarijus Salikin, 1: 456) Ujungnya ia akan menyesal selamanya dengan penyesalan yang terlambat, karena kematian lebih dulu menjemputnya di saat ia bergelimang dosa. Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Berhati-hatilah dengan sikap menunda-nunda. Hari ini adalah sekarang. Janganlah menunggu esok hari, karena jika esok tak kunjung datang, hanya penyesalanlah atas apa yang luput darimu.” (Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 30) Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Senantiasa bermaksiat Di antara sebab yang sering kali menggelincirkan seseorang pada kematian yang buruk adalah kemaksiatan yang terus menerus. Kemaksiatan akan menyebabkan seseorang lalai dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan enggan untuk bertobat sehingga membuatnya dengan mudah mengalami su’ul khatimah saat kematiannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, أن الذنوب والمعاصي والشهوات تخذل صاحبها عند الموت مع خذلان الشيطان له. فيجتمع عليه الخذلان مع ضعف الإيمان. فيقع في سوء الخاتمة “Sungguh dosa, maksiat, dan syahwat ialah sebab yang bisa menggelincirkan manusia saat kematiannya, ditambah lagi dengan godaan setan. Jika terkumpul maksiat dan godaan setan, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah ia mati dalam kondisi su’ul khatimah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10: 184) Apabila seseorang selama hidupnya senantiasa banyak melakukan amal buruk atau kemaksiatan dan sedikit sekali amal baiknya, dikhawatirkan saat menjelang kematiannya, ia dimatikan dalam kondisi buruk pula. Karena ketika ia sering bermaksiat, maksiat itu akan menghalanginya untuk bertobat dan melakukan ketaatan, serta keburukanlah yang akan menghiasi pikirannya ketika menjelang kematiannya sehingga menyebabkannya mati dalam kondisi su’ul khatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يُبعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ “Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai kondisi kematiannya.” (HR. Muslim) Maksud dari hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Munawi rahimahullah, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ “Yaitu, ia mati di atas kehidupan yang biasanya ia lakukan dan ia dibangkitkan di atas hal itu pula.” (At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ As-Shagir, 2: 859) Oleh karenanya, kematian seseorang biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan semasa hidupnya. Jika ia terbiasa dengan melakukan keburukan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi buruk pula. Begitu sebaliknya, jika ia terbiasa dengan melakukan kebaikan, maka ia akan dimatikan dalam kondisi yang baik pula. Terlalu cinta pada dunia Cinta pada dunia biasanya dipengaruhi oleh lemahnya keimanan seseorang. Karena sebab lemahnya iman ini, akan menyebabkan lemahnya kecintaan dia kepada Rabbnya. Nantinya, yang akan menguasainya adalah syahwat dan maksiat, serta kecintaannya pada dunia yang amat mendalam. Selain itu, kecintaan yang berlebihan pada dunia akan menyebabkan seseorang merasa berat atau bahkan enggan untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan. Dengan begitu, setan akan dengan mudah membuatnya terjerumus ke dalam kubangan dosa dan kemaksiatan. Terlalu cinta pada dunia akan meredupkan iman seseorang, bahkan bisa saja membuatnya jatuh dalam kegelapan (kekufuran). Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا مَثَلُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلْأَنْعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَٰدِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَىٰهَآ أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِٱلْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟ “Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya?” (HR. Muslim no. 2868) Salah seorang salaf juga mengatakan, “Cinta dunia adalah induk dari segala dosa dan merusak agama seseorang.” Berlebihan dalam mencintai dunia berarti ia lebih mengagungkan sesuatu selain Allah dan ini termasuk dalam dosa yang paling besar yang dapat mendatangkan azab dan murka-Nya. Selain itu, mencintai dunia dibanding akhirat berarti ia telah menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik dibandingkan dunia. Sebab, inilah yang sering kali membuat seseorang lalai dan menjumpai kematiannya dalam kondisi yang buruk. Sebagai penutup, agar terjauhkan dari sebab-sebab tersebut hendaklah seseorang senantiasa melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Rabbnya, melakukan apa yang diperintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Bersegera untuk bertobat, memperbaiki tujuan hidupnya, dan memperbanyak doa meminta husnul khatimah. Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepadaMu!’” (HR. Muslim, no. 4798) Baca juga: Doa Menghadapi Kematian *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi Artikel: Muslim.or.id

Hukum “Nikah dengan Niat Talak”

Daftar Isi Toggle Pengertian “nikah dengan niat talak”Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak”Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak”Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak”Tujuan syariah dalam pernikahanMendapatkan ketenanganKeberlangsungan dan kelestarian pernikahanMemperoleh keturunan dan memperbanyak umatBeberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak”Kezaliman terhadap wanitaKehilangan anakPerpindahan dan ketidakjelasan nasabMenjerumuskan wanita dalam keadaan sulitPencemaran citra IslamMengabaikan kualitas istriMenghambat wanita dari pernikahan yang muliaPendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil pertamaJawaban atas dalil keduaKesimpulan Pernikahan dalam Islam memiliki tujuan mulia, yaitu membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang, memperoleh keturunan yang baik, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, ada praktik pernikahan yang mengandung niat tersembunyi untuk menjatuhkan talak setelah tujuan sementara tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dalam pandangan syariat. Artikel ini akan membahas hukum pernikahan dengan niat talak. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Pengertian “nikah dengan niat talak” Nikah dengan niat talak, yaitu هو أن يتزوج الرجل المرأة وفي نيته طلاقها بعد انتهاء دراسته أو إقامته أو حاجته. “Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat untuk menceraikannya setelah studinya selesai, masa tinggalnya berakhir, atau kebutuhannya terpenuhi.” [1] Dengan istilah lain, “nikah dengan niat talak” merupakan pernikahan yang telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, namun suami dalam hatinya berniat untuk menceraikan istrinya setelah jangka waktu tertentu, baik itu waktu yang jelas, seperti sepuluh hari, atau waktu yang tidak jelas, seperti mengaitkan pernikahan dengan selesainya studi atau tercapainya tujuan yang menjadi alasan ia menikah. [2] Adapun istri, wali, dan keluarga istri tidak mengetahui adanya niat dari suami tersebut, karena memang tidak diucapkan secara langsung (hanya diniatkan dalam hati). Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak” Nikah mut’ah adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi perempuan dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana pernikahan tersebut berakhir ketika waktu yang disepakati itu selesai, sebagaimana diketahui. Allah telah mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak hingga hari kiamat menurut kesepakatan ahli sunah waljamaah, karena bertentangan dengan tujuan syariat Islam dalam pensyariatan pernikahan. [3] Oleh karena itu, nikah mut’ah berbeda dengan “nikah dengan niat talak”. Di antara perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: Pertama: Nikah mut’ah dilakukan dengan kesepakatan antara kedua pasangan (dengan asumsi keduanya layak disebut pasangan) atas jangka waktu pernikahan, dan perpisahan terjadi segera setelah waktu tersebut berakhir. Nikah dengan niat talak, di sisi lain, tidak melibatkan perpisahan, kecuali dengan talak yang nyata dari suami dan harus diikuti dengan masa idah yang wajib. Kedua: Dalam nikah mut’ah, perempuan hanya berhak menerima upah (yang disebut sebagai mahar). Sedangkan dalam nikah dengan niat talak, perempuan tetap memiliki hak atas warisan, nafkah selama masa idah, dan seluruh hak-hak istri lainnya terhadap suaminya. Ketiga: Masa idah bagi perempuan yang diceraikan dalam nikah dengan niat talak sama dengan masa idah perempuan lain yang diceraikan. Sedangkan dalam nikah mut’ah, perempuan menjalani masa idah yang berbeda dari masa idah perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya. Keempat: Nikah dengan niat talak bisa berlanjut dan berkesinambungan jika suami mengubah niatnya untuk tidak menceraikan istrinya. Sebaliknya, dalam nikah mut’ah, suami tidak memiliki hak untuk melanjutkan pernikahan dengan istrinya setelah waktu yang telah disepakati berakhir, dan perpisahan wajib dilakukan segera. [4] Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 1) Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak” Terdapat dua pendapat utama [5] mengenai hukum nikah dengan niat talak: Pendapat pertama: Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali berpendapat bahwa nikah dengan niat talak adalah sah. Dalil utama dari pendapat ini adalah karena akad nikah tersebut tidak mengandung unsur yang membatalkan, sebab penentuan waktu yang merusak akad hanya dianggap sah jika benar-benar dinyatakan dengan lisan, bukan hanya dengan niat semata. Adakalanya seorang laki-laki berniat, namun tidak melaksanakan niat tersebut, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diniatkannya. Pendapat kedua: Pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa nikah dengan niat talak tidak sah, karena dianggap sebagai salah satu bentuk nikah mut’ah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama Maliki, terutama jika perempuan atau walinya memahami maksud niat tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi. [6] Kemudian, para ulama yang menganggap sah nikah tersebut (pendapat pertama), mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh (dibenci atau haram), atau tidak. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak” Walaupun ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat talak (sebagian membolehkannya tanpa makruh, sebagian membolehkan dengan makruh, dan sebagian lagi mengharamkan serta membatalkannya), mereka memiliki dalil masing-masing. Namun, Allah Ta’ala memerintahkan agar segala perselisihan dan perbedaan dikembalikan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Maka, jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59) Untuk mengetahui hukum syariah tentang nikah dengan niat talak, kita harus memahami tujuan syariah dalam mensyariatkan pernikahan. Jika pernikahan tersebut sesuai dengan tujuan tersebut, maka ia dianggap sah menurut syariat. Selain itu, kita juga perlu melihat apakah ada mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut. Tujuan syariah dalam pernikahan Ketika kita merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memahami tujuan syariah dalam pernikahan, kita mendapati bahwa pernikahan disyariatkan dengan tujuan-tujuan yang sangat agung dan mulia, di antaranya: Mendapatkan ketenangan Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21) Yang dimaksud dengan ketenangan di sini adalah ketenangan yang sempurna antara suami dan istri, mencakup ketenangan hati, tubuh, pancaindra, serta pikiran bagi keduanya. Keberlangsungan dan kelestarian pernikahan Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan dari pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah terciptanya kasih sayang dan rahmat yang terus-menerus. Allah mendorong para suami untuk mempertahankan pernikahan mereka. Memperoleh keturunan dan memperbanyak umat Allah Ta’ala berfirman, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu terhadap istrimu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan menerima tobatmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [8] Beberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak” Berikut adalah beberapa kerusakan yang tampak dari pernikahan dengan niat talak: Kezaliman terhadap wanita Ini merupakan bentuk ketidakadilan, pengkhianatan, dan tipu daya. Pria yang melakukan pernikahan seperti ini tentu tidak akan mengizinkan hal serupa terjadi pada putrinya atau keluarganya sendiri; lalu mengapa dia merasa hal ini pantas untuk dilakukan pada orang lain? Kehilangan anak Dalam banyak kasus, anak mungkin tidak bisa dibawa ke negara asal ayahnya karena adanya peraturan atau undang-undang yang melarang hal tersebut, atau karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka. Perpindahan dan ketidakjelasan nasab Dengan banyaknya pernikahan seperti ini, mudah bagi pria untuk tidak mematuhi hukum syariah, sehingga menyebabkan nasab menjadi tidak jelas atau bahkan hilang. Menjerumuskan wanita dalam keadaan sulit Banyak wanita yang terperangkap dalam pernikahan seperti ini, diceraikan dengan cara yang buruk, yang pada akhirnya menempatkan mereka dalam bahaya terjerumus pada perbuatan dosa. Pencemaran citra Islam Mengizinkan pernikahan seperti ini merusak citra Islam, menimbulkan kebencian terhadap agama, dan menyebabkan banyak wanita yang baru memeluk Islam atau yang berada di negara-negara Barat berpaling dari Islam setelah diceraikan oleh suami mereka. Mengabaikan kualitas istri Banyak pria yang menikah dengan niat talak tidak peduli dengan kesalehan, latar belakang keluarga, atau sifat-sifat baik calon istrinya. Mereka hanya fokus pada pernikahan jangka pendek. Menghambat wanita dari pernikahan yang mulia Pria mungkin enggan menikahi wanita yang lebih mulia di matanya karena niat menceraikannya, sehingga ia memilih wanita yang menurutnya lebih rendah untuk menghindari masalah sosial atau biaya yang tinggi. Kerusakan-kerusakan ini, serta yang lainnya, tidak pantas dan tidak diterima oleh akal sehat, apalagi oleh syariat Allah yang bijaksana. [9] Pendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak” Berdasarkan poin-poin di atas, maka yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan ketidakabsahan nikah dengan niat talak. Wallaahu a’lam. Pendapat ini, sebagaimana telah disampaikan di atas, merupakan pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki. Selain itu, pendapat ini juga yang di-rajih-kan oleh Lajnah Daimah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi), dan selain mereka. Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau yang khusus membahas pemasalahan ini, أن الزواج بنية الطلاق ليس شرعيًا، لذا فهو حرام لا يحل، وإذا كان كذلك، فهو باطل. “Sesungguhnya nikah dengan niat talak tidak syar’i. Oleh karena itu, hukumnya haram dan tidak diperbolehkan. Jika demikian, pernikahan tersebut dianggap batal (tidak sah).” [10] Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak” Sebagaimana telah disampaikan di atas, dalil para ulama yang menganggap sah nikah dengan niat talak berporos pada dua dalil utama, yaitu: (1) pernikahan dilakukan sesuai dengan bentuknya yang sah tanpa syarat tertentu, seperti syarat waktu (seperti dalam nikah mut’ah) atau syarat talak (seperti dalam nikah tahlil), atau syarat-syarat lainnya; dan (2) kekhawatiran akan terjerumus dalam zina. Jawaban atas dalil pertama Ada perbedaan yang sangat besar dan mencolok antara kedua jenis pernikahan tersebut, sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Niat orang yang menikah secara syar’i berbeda dengan niat orang yang menikah dengan niat talak. Orang pertama menikah dengan niat yang disyariatkan oleh Allah, di mana Allah menetapkan talak sebagai jalan keluar dari pernikahan apabila terjadi sesuatu yang membuat sulit atau mustahilnya melanjutkan kehidupan rumah tangga. Sedangkan, dalam pernikahan dengan niat talak, orang yang menikah sudah berniat dan bertekad sejak awal untuk menceraikan pasangannya setelah tujuannya tercapai, karena ia hanya menikah untuk memenuhi keinginan sementara. Jawaban atas dalil kedua Kekhawatiran terjerumus dalam zina hanyalah dugaan belaka, dan ini merupakan kerusakan kecil. Namun, jika pernikahan dengan niat talak dibolehkan, akan muncul kerusakan yang jauh lebih besar, termasuk terjadinya zina dan bahkan murtad. Apakah kita akan membolehkan pernikahan ini hanya demi mencegah satu individu terjerumus dalam zina, sementara di sisi lain, banyak kerusakan besar yang akan terjadi akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti ini? [11] Kesimpulan Pernikahan dengan niat talak, tidak sesuai dengan tujuan utama syariat Islam yang mengutamakan keberlangsungan dan kelestarian pernikahan. Meskipun ada ulama yang membolehkannya, banyak dari mereka menilai praktik ini mengandung banyak bahaya, termasuk ketidakjujuran dan potensi ketidakadilan terhadap pasangan, serta kerusakan sosial yang lebih luas. Pendapat yang lebih kuat, hukum nikah ini adalah tidak sah. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk berpegang teguh dengan syariat yang mulai ini, amin. Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1) *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Rabii’ Al-Akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: – Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur, Dar Ibnul Jauziy – Saudi, cet. 1, 1428. – Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, hal. 43. [2] https://www.spa.gov.sa/353254; lihat juga Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78. [3] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 34. [4] https://fiqh.islamonline.net/الزواج-مع-وجود-نية-الطلاق [5] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 5: 28-29, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 41: 343. [6] Lihat Fatwa Lajnah Daimah No. 21140, 18: 448-449. [7] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 43-53. [8] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 71-74. [9] Nata’ij Buhuts wa Khawatim Kutub, 4: 58-59. [10] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 54-70. [11] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78-130.

Hukum “Nikah dengan Niat Talak”

Daftar Isi Toggle Pengertian “nikah dengan niat talak”Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak”Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak”Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak”Tujuan syariah dalam pernikahanMendapatkan ketenanganKeberlangsungan dan kelestarian pernikahanMemperoleh keturunan dan memperbanyak umatBeberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak”Kezaliman terhadap wanitaKehilangan anakPerpindahan dan ketidakjelasan nasabMenjerumuskan wanita dalam keadaan sulitPencemaran citra IslamMengabaikan kualitas istriMenghambat wanita dari pernikahan yang muliaPendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil pertamaJawaban atas dalil keduaKesimpulan Pernikahan dalam Islam memiliki tujuan mulia, yaitu membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang, memperoleh keturunan yang baik, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, ada praktik pernikahan yang mengandung niat tersembunyi untuk menjatuhkan talak setelah tujuan sementara tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dalam pandangan syariat. Artikel ini akan membahas hukum pernikahan dengan niat talak. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Pengertian “nikah dengan niat talak” Nikah dengan niat talak, yaitu هو أن يتزوج الرجل المرأة وفي نيته طلاقها بعد انتهاء دراسته أو إقامته أو حاجته. “Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat untuk menceraikannya setelah studinya selesai, masa tinggalnya berakhir, atau kebutuhannya terpenuhi.” [1] Dengan istilah lain, “nikah dengan niat talak” merupakan pernikahan yang telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, namun suami dalam hatinya berniat untuk menceraikan istrinya setelah jangka waktu tertentu, baik itu waktu yang jelas, seperti sepuluh hari, atau waktu yang tidak jelas, seperti mengaitkan pernikahan dengan selesainya studi atau tercapainya tujuan yang menjadi alasan ia menikah. [2] Adapun istri, wali, dan keluarga istri tidak mengetahui adanya niat dari suami tersebut, karena memang tidak diucapkan secara langsung (hanya diniatkan dalam hati). Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak” Nikah mut’ah adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi perempuan dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana pernikahan tersebut berakhir ketika waktu yang disepakati itu selesai, sebagaimana diketahui. Allah telah mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak hingga hari kiamat menurut kesepakatan ahli sunah waljamaah, karena bertentangan dengan tujuan syariat Islam dalam pensyariatan pernikahan. [3] Oleh karena itu, nikah mut’ah berbeda dengan “nikah dengan niat talak”. Di antara perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: Pertama: Nikah mut’ah dilakukan dengan kesepakatan antara kedua pasangan (dengan asumsi keduanya layak disebut pasangan) atas jangka waktu pernikahan, dan perpisahan terjadi segera setelah waktu tersebut berakhir. Nikah dengan niat talak, di sisi lain, tidak melibatkan perpisahan, kecuali dengan talak yang nyata dari suami dan harus diikuti dengan masa idah yang wajib. Kedua: Dalam nikah mut’ah, perempuan hanya berhak menerima upah (yang disebut sebagai mahar). Sedangkan dalam nikah dengan niat talak, perempuan tetap memiliki hak atas warisan, nafkah selama masa idah, dan seluruh hak-hak istri lainnya terhadap suaminya. Ketiga: Masa idah bagi perempuan yang diceraikan dalam nikah dengan niat talak sama dengan masa idah perempuan lain yang diceraikan. Sedangkan dalam nikah mut’ah, perempuan menjalani masa idah yang berbeda dari masa idah perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya. Keempat: Nikah dengan niat talak bisa berlanjut dan berkesinambungan jika suami mengubah niatnya untuk tidak menceraikan istrinya. Sebaliknya, dalam nikah mut’ah, suami tidak memiliki hak untuk melanjutkan pernikahan dengan istrinya setelah waktu yang telah disepakati berakhir, dan perpisahan wajib dilakukan segera. [4] Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 1) Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak” Terdapat dua pendapat utama [5] mengenai hukum nikah dengan niat talak: Pendapat pertama: Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali berpendapat bahwa nikah dengan niat talak adalah sah. Dalil utama dari pendapat ini adalah karena akad nikah tersebut tidak mengandung unsur yang membatalkan, sebab penentuan waktu yang merusak akad hanya dianggap sah jika benar-benar dinyatakan dengan lisan, bukan hanya dengan niat semata. Adakalanya seorang laki-laki berniat, namun tidak melaksanakan niat tersebut, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diniatkannya. Pendapat kedua: Pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa nikah dengan niat talak tidak sah, karena dianggap sebagai salah satu bentuk nikah mut’ah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama Maliki, terutama jika perempuan atau walinya memahami maksud niat tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi. [6] Kemudian, para ulama yang menganggap sah nikah tersebut (pendapat pertama), mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh (dibenci atau haram), atau tidak. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak” Walaupun ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat talak (sebagian membolehkannya tanpa makruh, sebagian membolehkan dengan makruh, dan sebagian lagi mengharamkan serta membatalkannya), mereka memiliki dalil masing-masing. Namun, Allah Ta’ala memerintahkan agar segala perselisihan dan perbedaan dikembalikan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Maka, jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59) Untuk mengetahui hukum syariah tentang nikah dengan niat talak, kita harus memahami tujuan syariah dalam mensyariatkan pernikahan. Jika pernikahan tersebut sesuai dengan tujuan tersebut, maka ia dianggap sah menurut syariat. Selain itu, kita juga perlu melihat apakah ada mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut. Tujuan syariah dalam pernikahan Ketika kita merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memahami tujuan syariah dalam pernikahan, kita mendapati bahwa pernikahan disyariatkan dengan tujuan-tujuan yang sangat agung dan mulia, di antaranya: Mendapatkan ketenangan Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21) Yang dimaksud dengan ketenangan di sini adalah ketenangan yang sempurna antara suami dan istri, mencakup ketenangan hati, tubuh, pancaindra, serta pikiran bagi keduanya. Keberlangsungan dan kelestarian pernikahan Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan dari pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah terciptanya kasih sayang dan rahmat yang terus-menerus. Allah mendorong para suami untuk mempertahankan pernikahan mereka. Memperoleh keturunan dan memperbanyak umat Allah Ta’ala berfirman, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu terhadap istrimu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan menerima tobatmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [8] Beberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak” Berikut adalah beberapa kerusakan yang tampak dari pernikahan dengan niat talak: Kezaliman terhadap wanita Ini merupakan bentuk ketidakadilan, pengkhianatan, dan tipu daya. Pria yang melakukan pernikahan seperti ini tentu tidak akan mengizinkan hal serupa terjadi pada putrinya atau keluarganya sendiri; lalu mengapa dia merasa hal ini pantas untuk dilakukan pada orang lain? Kehilangan anak Dalam banyak kasus, anak mungkin tidak bisa dibawa ke negara asal ayahnya karena adanya peraturan atau undang-undang yang melarang hal tersebut, atau karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka. Perpindahan dan ketidakjelasan nasab Dengan banyaknya pernikahan seperti ini, mudah bagi pria untuk tidak mematuhi hukum syariah, sehingga menyebabkan nasab menjadi tidak jelas atau bahkan hilang. Menjerumuskan wanita dalam keadaan sulit Banyak wanita yang terperangkap dalam pernikahan seperti ini, diceraikan dengan cara yang buruk, yang pada akhirnya menempatkan mereka dalam bahaya terjerumus pada perbuatan dosa. Pencemaran citra Islam Mengizinkan pernikahan seperti ini merusak citra Islam, menimbulkan kebencian terhadap agama, dan menyebabkan banyak wanita yang baru memeluk Islam atau yang berada di negara-negara Barat berpaling dari Islam setelah diceraikan oleh suami mereka. Mengabaikan kualitas istri Banyak pria yang menikah dengan niat talak tidak peduli dengan kesalehan, latar belakang keluarga, atau sifat-sifat baik calon istrinya. Mereka hanya fokus pada pernikahan jangka pendek. Menghambat wanita dari pernikahan yang mulia Pria mungkin enggan menikahi wanita yang lebih mulia di matanya karena niat menceraikannya, sehingga ia memilih wanita yang menurutnya lebih rendah untuk menghindari masalah sosial atau biaya yang tinggi. Kerusakan-kerusakan ini, serta yang lainnya, tidak pantas dan tidak diterima oleh akal sehat, apalagi oleh syariat Allah yang bijaksana. [9] Pendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak” Berdasarkan poin-poin di atas, maka yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan ketidakabsahan nikah dengan niat talak. Wallaahu a’lam. Pendapat ini, sebagaimana telah disampaikan di atas, merupakan pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki. Selain itu, pendapat ini juga yang di-rajih-kan oleh Lajnah Daimah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi), dan selain mereka. Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau yang khusus membahas pemasalahan ini, أن الزواج بنية الطلاق ليس شرعيًا، لذا فهو حرام لا يحل، وإذا كان كذلك، فهو باطل. “Sesungguhnya nikah dengan niat talak tidak syar’i. Oleh karena itu, hukumnya haram dan tidak diperbolehkan. Jika demikian, pernikahan tersebut dianggap batal (tidak sah).” [10] Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak” Sebagaimana telah disampaikan di atas, dalil para ulama yang menganggap sah nikah dengan niat talak berporos pada dua dalil utama, yaitu: (1) pernikahan dilakukan sesuai dengan bentuknya yang sah tanpa syarat tertentu, seperti syarat waktu (seperti dalam nikah mut’ah) atau syarat talak (seperti dalam nikah tahlil), atau syarat-syarat lainnya; dan (2) kekhawatiran akan terjerumus dalam zina. Jawaban atas dalil pertama Ada perbedaan yang sangat besar dan mencolok antara kedua jenis pernikahan tersebut, sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Niat orang yang menikah secara syar’i berbeda dengan niat orang yang menikah dengan niat talak. Orang pertama menikah dengan niat yang disyariatkan oleh Allah, di mana Allah menetapkan talak sebagai jalan keluar dari pernikahan apabila terjadi sesuatu yang membuat sulit atau mustahilnya melanjutkan kehidupan rumah tangga. Sedangkan, dalam pernikahan dengan niat talak, orang yang menikah sudah berniat dan bertekad sejak awal untuk menceraikan pasangannya setelah tujuannya tercapai, karena ia hanya menikah untuk memenuhi keinginan sementara. Jawaban atas dalil kedua Kekhawatiran terjerumus dalam zina hanyalah dugaan belaka, dan ini merupakan kerusakan kecil. Namun, jika pernikahan dengan niat talak dibolehkan, akan muncul kerusakan yang jauh lebih besar, termasuk terjadinya zina dan bahkan murtad. Apakah kita akan membolehkan pernikahan ini hanya demi mencegah satu individu terjerumus dalam zina, sementara di sisi lain, banyak kerusakan besar yang akan terjadi akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti ini? [11] Kesimpulan Pernikahan dengan niat talak, tidak sesuai dengan tujuan utama syariat Islam yang mengutamakan keberlangsungan dan kelestarian pernikahan. Meskipun ada ulama yang membolehkannya, banyak dari mereka menilai praktik ini mengandung banyak bahaya, termasuk ketidakjujuran dan potensi ketidakadilan terhadap pasangan, serta kerusakan sosial yang lebih luas. Pendapat yang lebih kuat, hukum nikah ini adalah tidak sah. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk berpegang teguh dengan syariat yang mulai ini, amin. Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1) *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Rabii’ Al-Akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: – Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur, Dar Ibnul Jauziy – Saudi, cet. 1, 1428. – Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, hal. 43. [2] https://www.spa.gov.sa/353254; lihat juga Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78. [3] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 34. [4] https://fiqh.islamonline.net/الزواج-مع-وجود-نية-الطلاق [5] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 5: 28-29, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 41: 343. [6] Lihat Fatwa Lajnah Daimah No. 21140, 18: 448-449. [7] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 43-53. [8] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 71-74. [9] Nata’ij Buhuts wa Khawatim Kutub, 4: 58-59. [10] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 54-70. [11] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78-130.
Daftar Isi Toggle Pengertian “nikah dengan niat talak”Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak”Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak”Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak”Tujuan syariah dalam pernikahanMendapatkan ketenanganKeberlangsungan dan kelestarian pernikahanMemperoleh keturunan dan memperbanyak umatBeberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak”Kezaliman terhadap wanitaKehilangan anakPerpindahan dan ketidakjelasan nasabMenjerumuskan wanita dalam keadaan sulitPencemaran citra IslamMengabaikan kualitas istriMenghambat wanita dari pernikahan yang muliaPendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil pertamaJawaban atas dalil keduaKesimpulan Pernikahan dalam Islam memiliki tujuan mulia, yaitu membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang, memperoleh keturunan yang baik, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, ada praktik pernikahan yang mengandung niat tersembunyi untuk menjatuhkan talak setelah tujuan sementara tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dalam pandangan syariat. Artikel ini akan membahas hukum pernikahan dengan niat talak. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Pengertian “nikah dengan niat talak” Nikah dengan niat talak, yaitu هو أن يتزوج الرجل المرأة وفي نيته طلاقها بعد انتهاء دراسته أو إقامته أو حاجته. “Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat untuk menceraikannya setelah studinya selesai, masa tinggalnya berakhir, atau kebutuhannya terpenuhi.” [1] Dengan istilah lain, “nikah dengan niat talak” merupakan pernikahan yang telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, namun suami dalam hatinya berniat untuk menceraikan istrinya setelah jangka waktu tertentu, baik itu waktu yang jelas, seperti sepuluh hari, atau waktu yang tidak jelas, seperti mengaitkan pernikahan dengan selesainya studi atau tercapainya tujuan yang menjadi alasan ia menikah. [2] Adapun istri, wali, dan keluarga istri tidak mengetahui adanya niat dari suami tersebut, karena memang tidak diucapkan secara langsung (hanya diniatkan dalam hati). Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak” Nikah mut’ah adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi perempuan dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana pernikahan tersebut berakhir ketika waktu yang disepakati itu selesai, sebagaimana diketahui. Allah telah mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak hingga hari kiamat menurut kesepakatan ahli sunah waljamaah, karena bertentangan dengan tujuan syariat Islam dalam pensyariatan pernikahan. [3] Oleh karena itu, nikah mut’ah berbeda dengan “nikah dengan niat talak”. Di antara perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: Pertama: Nikah mut’ah dilakukan dengan kesepakatan antara kedua pasangan (dengan asumsi keduanya layak disebut pasangan) atas jangka waktu pernikahan, dan perpisahan terjadi segera setelah waktu tersebut berakhir. Nikah dengan niat talak, di sisi lain, tidak melibatkan perpisahan, kecuali dengan talak yang nyata dari suami dan harus diikuti dengan masa idah yang wajib. Kedua: Dalam nikah mut’ah, perempuan hanya berhak menerima upah (yang disebut sebagai mahar). Sedangkan dalam nikah dengan niat talak, perempuan tetap memiliki hak atas warisan, nafkah selama masa idah, dan seluruh hak-hak istri lainnya terhadap suaminya. Ketiga: Masa idah bagi perempuan yang diceraikan dalam nikah dengan niat talak sama dengan masa idah perempuan lain yang diceraikan. Sedangkan dalam nikah mut’ah, perempuan menjalani masa idah yang berbeda dari masa idah perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya. Keempat: Nikah dengan niat talak bisa berlanjut dan berkesinambungan jika suami mengubah niatnya untuk tidak menceraikan istrinya. Sebaliknya, dalam nikah mut’ah, suami tidak memiliki hak untuk melanjutkan pernikahan dengan istrinya setelah waktu yang telah disepakati berakhir, dan perpisahan wajib dilakukan segera. [4] Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 1) Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak” Terdapat dua pendapat utama [5] mengenai hukum nikah dengan niat talak: Pendapat pertama: Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali berpendapat bahwa nikah dengan niat talak adalah sah. Dalil utama dari pendapat ini adalah karena akad nikah tersebut tidak mengandung unsur yang membatalkan, sebab penentuan waktu yang merusak akad hanya dianggap sah jika benar-benar dinyatakan dengan lisan, bukan hanya dengan niat semata. Adakalanya seorang laki-laki berniat, namun tidak melaksanakan niat tersebut, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diniatkannya. Pendapat kedua: Pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa nikah dengan niat talak tidak sah, karena dianggap sebagai salah satu bentuk nikah mut’ah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama Maliki, terutama jika perempuan atau walinya memahami maksud niat tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi. [6] Kemudian, para ulama yang menganggap sah nikah tersebut (pendapat pertama), mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh (dibenci atau haram), atau tidak. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak” Walaupun ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat talak (sebagian membolehkannya tanpa makruh, sebagian membolehkan dengan makruh, dan sebagian lagi mengharamkan serta membatalkannya), mereka memiliki dalil masing-masing. Namun, Allah Ta’ala memerintahkan agar segala perselisihan dan perbedaan dikembalikan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Maka, jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59) Untuk mengetahui hukum syariah tentang nikah dengan niat talak, kita harus memahami tujuan syariah dalam mensyariatkan pernikahan. Jika pernikahan tersebut sesuai dengan tujuan tersebut, maka ia dianggap sah menurut syariat. Selain itu, kita juga perlu melihat apakah ada mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut. Tujuan syariah dalam pernikahan Ketika kita merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memahami tujuan syariah dalam pernikahan, kita mendapati bahwa pernikahan disyariatkan dengan tujuan-tujuan yang sangat agung dan mulia, di antaranya: Mendapatkan ketenangan Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21) Yang dimaksud dengan ketenangan di sini adalah ketenangan yang sempurna antara suami dan istri, mencakup ketenangan hati, tubuh, pancaindra, serta pikiran bagi keduanya. Keberlangsungan dan kelestarian pernikahan Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan dari pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah terciptanya kasih sayang dan rahmat yang terus-menerus. Allah mendorong para suami untuk mempertahankan pernikahan mereka. Memperoleh keturunan dan memperbanyak umat Allah Ta’ala berfirman, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu terhadap istrimu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan menerima tobatmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [8] Beberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak” Berikut adalah beberapa kerusakan yang tampak dari pernikahan dengan niat talak: Kezaliman terhadap wanita Ini merupakan bentuk ketidakadilan, pengkhianatan, dan tipu daya. Pria yang melakukan pernikahan seperti ini tentu tidak akan mengizinkan hal serupa terjadi pada putrinya atau keluarganya sendiri; lalu mengapa dia merasa hal ini pantas untuk dilakukan pada orang lain? Kehilangan anak Dalam banyak kasus, anak mungkin tidak bisa dibawa ke negara asal ayahnya karena adanya peraturan atau undang-undang yang melarang hal tersebut, atau karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka. Perpindahan dan ketidakjelasan nasab Dengan banyaknya pernikahan seperti ini, mudah bagi pria untuk tidak mematuhi hukum syariah, sehingga menyebabkan nasab menjadi tidak jelas atau bahkan hilang. Menjerumuskan wanita dalam keadaan sulit Banyak wanita yang terperangkap dalam pernikahan seperti ini, diceraikan dengan cara yang buruk, yang pada akhirnya menempatkan mereka dalam bahaya terjerumus pada perbuatan dosa. Pencemaran citra Islam Mengizinkan pernikahan seperti ini merusak citra Islam, menimbulkan kebencian terhadap agama, dan menyebabkan banyak wanita yang baru memeluk Islam atau yang berada di negara-negara Barat berpaling dari Islam setelah diceraikan oleh suami mereka. Mengabaikan kualitas istri Banyak pria yang menikah dengan niat talak tidak peduli dengan kesalehan, latar belakang keluarga, atau sifat-sifat baik calon istrinya. Mereka hanya fokus pada pernikahan jangka pendek. Menghambat wanita dari pernikahan yang mulia Pria mungkin enggan menikahi wanita yang lebih mulia di matanya karena niat menceraikannya, sehingga ia memilih wanita yang menurutnya lebih rendah untuk menghindari masalah sosial atau biaya yang tinggi. Kerusakan-kerusakan ini, serta yang lainnya, tidak pantas dan tidak diterima oleh akal sehat, apalagi oleh syariat Allah yang bijaksana. [9] Pendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak” Berdasarkan poin-poin di atas, maka yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan ketidakabsahan nikah dengan niat talak. Wallaahu a’lam. Pendapat ini, sebagaimana telah disampaikan di atas, merupakan pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki. Selain itu, pendapat ini juga yang di-rajih-kan oleh Lajnah Daimah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi), dan selain mereka. Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau yang khusus membahas pemasalahan ini, أن الزواج بنية الطلاق ليس شرعيًا، لذا فهو حرام لا يحل، وإذا كان كذلك، فهو باطل. “Sesungguhnya nikah dengan niat talak tidak syar’i. Oleh karena itu, hukumnya haram dan tidak diperbolehkan. Jika demikian, pernikahan tersebut dianggap batal (tidak sah).” [10] Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak” Sebagaimana telah disampaikan di atas, dalil para ulama yang menganggap sah nikah dengan niat talak berporos pada dua dalil utama, yaitu: (1) pernikahan dilakukan sesuai dengan bentuknya yang sah tanpa syarat tertentu, seperti syarat waktu (seperti dalam nikah mut’ah) atau syarat talak (seperti dalam nikah tahlil), atau syarat-syarat lainnya; dan (2) kekhawatiran akan terjerumus dalam zina. Jawaban atas dalil pertama Ada perbedaan yang sangat besar dan mencolok antara kedua jenis pernikahan tersebut, sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Niat orang yang menikah secara syar’i berbeda dengan niat orang yang menikah dengan niat talak. Orang pertama menikah dengan niat yang disyariatkan oleh Allah, di mana Allah menetapkan talak sebagai jalan keluar dari pernikahan apabila terjadi sesuatu yang membuat sulit atau mustahilnya melanjutkan kehidupan rumah tangga. Sedangkan, dalam pernikahan dengan niat talak, orang yang menikah sudah berniat dan bertekad sejak awal untuk menceraikan pasangannya setelah tujuannya tercapai, karena ia hanya menikah untuk memenuhi keinginan sementara. Jawaban atas dalil kedua Kekhawatiran terjerumus dalam zina hanyalah dugaan belaka, dan ini merupakan kerusakan kecil. Namun, jika pernikahan dengan niat talak dibolehkan, akan muncul kerusakan yang jauh lebih besar, termasuk terjadinya zina dan bahkan murtad. Apakah kita akan membolehkan pernikahan ini hanya demi mencegah satu individu terjerumus dalam zina, sementara di sisi lain, banyak kerusakan besar yang akan terjadi akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti ini? [11] Kesimpulan Pernikahan dengan niat talak, tidak sesuai dengan tujuan utama syariat Islam yang mengutamakan keberlangsungan dan kelestarian pernikahan. Meskipun ada ulama yang membolehkannya, banyak dari mereka menilai praktik ini mengandung banyak bahaya, termasuk ketidakjujuran dan potensi ketidakadilan terhadap pasangan, serta kerusakan sosial yang lebih luas. Pendapat yang lebih kuat, hukum nikah ini adalah tidak sah. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk berpegang teguh dengan syariat yang mulai ini, amin. Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1) *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Rabii’ Al-Akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: – Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur, Dar Ibnul Jauziy – Saudi, cet. 1, 1428. – Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, hal. 43. [2] https://www.spa.gov.sa/353254; lihat juga Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78. [3] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 34. [4] https://fiqh.islamonline.net/الزواج-مع-وجود-نية-الطلاق [5] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 5: 28-29, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 41: 343. [6] Lihat Fatwa Lajnah Daimah No. 21140, 18: 448-449. [7] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 43-53. [8] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 71-74. [9] Nata’ij Buhuts wa Khawatim Kutub, 4: 58-59. [10] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 54-70. [11] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78-130.


Daftar Isi Toggle Pengertian “nikah dengan niat talak”Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak”Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak”Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak”Tujuan syariah dalam pernikahanMendapatkan ketenanganKeberlangsungan dan kelestarian pernikahanMemperoleh keturunan dan memperbanyak umatBeberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak”Kezaliman terhadap wanitaKehilangan anakPerpindahan dan ketidakjelasan nasabMenjerumuskan wanita dalam keadaan sulitPencemaran citra IslamMengabaikan kualitas istriMenghambat wanita dari pernikahan yang muliaPendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak”Jawaban atas dalil pertamaJawaban atas dalil keduaKesimpulan Pernikahan dalam Islam memiliki tujuan mulia, yaitu membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang, memperoleh keturunan yang baik, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, ada praktik pernikahan yang mengandung niat tersembunyi untuk menjatuhkan talak setelah tujuan sementara tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dalam pandangan syariat. Artikel ini akan membahas hukum pernikahan dengan niat talak. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Pengertian “nikah dengan niat talak” Nikah dengan niat talak, yaitu هو أن يتزوج الرجل المرأة وفي نيته طلاقها بعد انتهاء دراسته أو إقامته أو حاجته. “Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat untuk menceraikannya setelah studinya selesai, masa tinggalnya berakhir, atau kebutuhannya terpenuhi.” [1] Dengan istilah lain, “nikah dengan niat talak” merupakan pernikahan yang telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, namun suami dalam hatinya berniat untuk menceraikan istrinya setelah jangka waktu tertentu, baik itu waktu yang jelas, seperti sepuluh hari, atau waktu yang tidak jelas, seperti mengaitkan pernikahan dengan selesainya studi atau tercapainya tujuan yang menjadi alasan ia menikah. [2] Adapun istri, wali, dan keluarga istri tidak mengetahui adanya niat dari suami tersebut, karena memang tidak diucapkan secara langsung (hanya diniatkan dalam hati). Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak” Nikah mut’ah adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi perempuan dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana pernikahan tersebut berakhir ketika waktu yang disepakati itu selesai, sebagaimana diketahui. Allah telah mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak hingga hari kiamat menurut kesepakatan ahli sunah waljamaah, karena bertentangan dengan tujuan syariat Islam dalam pensyariatan pernikahan. [3] Oleh karena itu, nikah mut’ah berbeda dengan “nikah dengan niat talak”. Di antara perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: Pertama: Nikah mut’ah dilakukan dengan kesepakatan antara kedua pasangan (dengan asumsi keduanya layak disebut pasangan) atas jangka waktu pernikahan, dan perpisahan terjadi segera setelah waktu tersebut berakhir. Nikah dengan niat talak, di sisi lain, tidak melibatkan perpisahan, kecuali dengan talak yang nyata dari suami dan harus diikuti dengan masa idah yang wajib. Kedua: Dalam nikah mut’ah, perempuan hanya berhak menerima upah (yang disebut sebagai mahar). Sedangkan dalam nikah dengan niat talak, perempuan tetap memiliki hak atas warisan, nafkah selama masa idah, dan seluruh hak-hak istri lainnya terhadap suaminya. Ketiga: Masa idah bagi perempuan yang diceraikan dalam nikah dengan niat talak sama dengan masa idah perempuan lain yang diceraikan. Sedangkan dalam nikah mut’ah, perempuan menjalani masa idah yang berbeda dari masa idah perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya. Keempat: Nikah dengan niat talak bisa berlanjut dan berkesinambungan jika suami mengubah niatnya untuk tidak menceraikan istrinya. Sebaliknya, dalam nikah mut’ah, suami tidak memiliki hak untuk melanjutkan pernikahan dengan istrinya setelah waktu yang telah disepakati berakhir, dan perpisahan wajib dilakukan segera. [4] Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 1) Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak” Terdapat dua pendapat utama [5] mengenai hukum nikah dengan niat talak: Pendapat pertama: Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali berpendapat bahwa nikah dengan niat talak adalah sah. Dalil utama dari pendapat ini adalah karena akad nikah tersebut tidak mengandung unsur yang membatalkan, sebab penentuan waktu yang merusak akad hanya dianggap sah jika benar-benar dinyatakan dengan lisan, bukan hanya dengan niat semata. Adakalanya seorang laki-laki berniat, namun tidak melaksanakan niat tersebut, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diniatkannya. Pendapat kedua: Pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa nikah dengan niat talak tidak sah, karena dianggap sebagai salah satu bentuk nikah mut’ah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama Maliki, terutama jika perempuan atau walinya memahami maksud niat tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi. [6] Kemudian, para ulama yang menganggap sah nikah tersebut (pendapat pertama), mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh (dibenci atau haram), atau tidak. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak” Walaupun ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat talak (sebagian membolehkannya tanpa makruh, sebagian membolehkan dengan makruh, dan sebagian lagi mengharamkan serta membatalkannya), mereka memiliki dalil masing-masing. Namun, Allah Ta’ala memerintahkan agar segala perselisihan dan perbedaan dikembalikan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Maka, jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59) Untuk mengetahui hukum syariah tentang nikah dengan niat talak, kita harus memahami tujuan syariah dalam mensyariatkan pernikahan. Jika pernikahan tersebut sesuai dengan tujuan tersebut, maka ia dianggap sah menurut syariat. Selain itu, kita juga perlu melihat apakah ada mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut. Tujuan syariah dalam pernikahan Ketika kita merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memahami tujuan syariah dalam pernikahan, kita mendapati bahwa pernikahan disyariatkan dengan tujuan-tujuan yang sangat agung dan mulia, di antaranya: Mendapatkan ketenangan Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21) Yang dimaksud dengan ketenangan di sini adalah ketenangan yang sempurna antara suami dan istri, mencakup ketenangan hati, tubuh, pancaindra, serta pikiran bagi keduanya. Keberlangsungan dan kelestarian pernikahan Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan dari pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah terciptanya kasih sayang dan rahmat yang terus-menerus. Allah mendorong para suami untuk mempertahankan pernikahan mereka. Memperoleh keturunan dan memperbanyak umat Allah Ta’ala berfirman, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu terhadap istrimu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan menerima tobatmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [8] Beberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak” Berikut adalah beberapa kerusakan yang tampak dari pernikahan dengan niat talak: Kezaliman terhadap wanita Ini merupakan bentuk ketidakadilan, pengkhianatan, dan tipu daya. Pria yang melakukan pernikahan seperti ini tentu tidak akan mengizinkan hal serupa terjadi pada putrinya atau keluarganya sendiri; lalu mengapa dia merasa hal ini pantas untuk dilakukan pada orang lain? Kehilangan anak Dalam banyak kasus, anak mungkin tidak bisa dibawa ke negara asal ayahnya karena adanya peraturan atau undang-undang yang melarang hal tersebut, atau karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka. Perpindahan dan ketidakjelasan nasab Dengan banyaknya pernikahan seperti ini, mudah bagi pria untuk tidak mematuhi hukum syariah, sehingga menyebabkan nasab menjadi tidak jelas atau bahkan hilang. Menjerumuskan wanita dalam keadaan sulit Banyak wanita yang terperangkap dalam pernikahan seperti ini, diceraikan dengan cara yang buruk, yang pada akhirnya menempatkan mereka dalam bahaya terjerumus pada perbuatan dosa. Pencemaran citra Islam Mengizinkan pernikahan seperti ini merusak citra Islam, menimbulkan kebencian terhadap agama, dan menyebabkan banyak wanita yang baru memeluk Islam atau yang berada di negara-negara Barat berpaling dari Islam setelah diceraikan oleh suami mereka. Mengabaikan kualitas istri Banyak pria yang menikah dengan niat talak tidak peduli dengan kesalehan, latar belakang keluarga, atau sifat-sifat baik calon istrinya. Mereka hanya fokus pada pernikahan jangka pendek. Menghambat wanita dari pernikahan yang mulia Pria mungkin enggan menikahi wanita yang lebih mulia di matanya karena niat menceraikannya, sehingga ia memilih wanita yang menurutnya lebih rendah untuk menghindari masalah sosial atau biaya yang tinggi. Kerusakan-kerusakan ini, serta yang lainnya, tidak pantas dan tidak diterima oleh akal sehat, apalagi oleh syariat Allah yang bijaksana. [9] Pendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak” Berdasarkan poin-poin di atas, maka yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan ketidakabsahan nikah dengan niat talak. Wallaahu a’lam. Pendapat ini, sebagaimana telah disampaikan di atas, merupakan pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki. Selain itu, pendapat ini juga yang di-rajih-kan oleh Lajnah Daimah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi), dan selain mereka. Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau yang khusus membahas pemasalahan ini, أن الزواج بنية الطلاق ليس شرعيًا، لذا فهو حرام لا يحل، وإذا كان كذلك، فهو باطل. “Sesungguhnya nikah dengan niat talak tidak syar’i. Oleh karena itu, hukumnya haram dan tidak diperbolehkan. Jika demikian, pernikahan tersebut dianggap batal (tidak sah).” [10] Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak” Sebagaimana telah disampaikan di atas, dalil para ulama yang menganggap sah nikah dengan niat talak berporos pada dua dalil utama, yaitu: (1) pernikahan dilakukan sesuai dengan bentuknya yang sah tanpa syarat tertentu, seperti syarat waktu (seperti dalam nikah mut’ah) atau syarat talak (seperti dalam nikah tahlil), atau syarat-syarat lainnya; dan (2) kekhawatiran akan terjerumus dalam zina. Jawaban atas dalil pertama Ada perbedaan yang sangat besar dan mencolok antara kedua jenis pernikahan tersebut, sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Niat orang yang menikah secara syar’i berbeda dengan niat orang yang menikah dengan niat talak. Orang pertama menikah dengan niat yang disyariatkan oleh Allah, di mana Allah menetapkan talak sebagai jalan keluar dari pernikahan apabila terjadi sesuatu yang membuat sulit atau mustahilnya melanjutkan kehidupan rumah tangga. Sedangkan, dalam pernikahan dengan niat talak, orang yang menikah sudah berniat dan bertekad sejak awal untuk menceraikan pasangannya setelah tujuannya tercapai, karena ia hanya menikah untuk memenuhi keinginan sementara. Jawaban atas dalil kedua Kekhawatiran terjerumus dalam zina hanyalah dugaan belaka, dan ini merupakan kerusakan kecil. Namun, jika pernikahan dengan niat talak dibolehkan, akan muncul kerusakan yang jauh lebih besar, termasuk terjadinya zina dan bahkan murtad. Apakah kita akan membolehkan pernikahan ini hanya demi mencegah satu individu terjerumus dalam zina, sementara di sisi lain, banyak kerusakan besar yang akan terjadi akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti ini? [11] Kesimpulan Pernikahan dengan niat talak, tidak sesuai dengan tujuan utama syariat Islam yang mengutamakan keberlangsungan dan kelestarian pernikahan. Meskipun ada ulama yang membolehkannya, banyak dari mereka menilai praktik ini mengandung banyak bahaya, termasuk ketidakjujuran dan potensi ketidakadilan terhadap pasangan, serta kerusakan sosial yang lebih luas. Pendapat yang lebih kuat, hukum nikah ini adalah tidak sah. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk berpegang teguh dengan syariat yang mulai ini, amin. Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1) *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Rabii’ Al-Akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: – Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur, Dar Ibnul Jauziy – Saudi, cet. 1, 1428. – Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq min Khilali Adillatil Kitab was Sunnah wa Maqashid Syari’ah Islamiyah, hal. 43. [2] https://www.spa.gov.sa/353254; lihat juga Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78. [3] Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 34. [4] https://fiqh.islamonline.net/الزواج-مع-وجود-نية-الطلاق [5] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 5: 28-29, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 41: 343. [6] Lihat Fatwa Lajnah Daimah No. 21140, 18: 448-449. [7] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 43-53. [8] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 71-74. [9] Nata’ij Buhuts wa Khawatim Kutub, 4: 58-59. [10] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 54-70. [11] Lihat Az-Zawaj bi Niyati Thalaq, hal. 78-130.

Standar Negara Maju dan Bahagia Menurut Perspektif Al-Qur’an

Negara yang disebut maju dan bahagia dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kriteria yang berbeda dari definisi umum negara maju, seperti kemajuan teknologi atau standar material lainnya. Dalam Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara sangat berkaitan dengan keberkahan yang Allah berikan, yang akan tercurah ketika penduduk negeri itu beriman dan bertakwa. Misalnya, jika kita ditanya negara mana yang paling maju, mungkin kita langsung menyebut Amerika, China, atau Jepang. Sementara untuk negara yang paling bahagia, Finlandia sering kali menjadi jawaban karena negara ini sudah enam tahun berturut-turut berada di puncak peringkat negara paling bahagia di dunia. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-84 dari total 137 negara, dengan skor 5.277. Salah satu alasan utama kebahagiaan Finlandia adalah karena ketimpangan pendapatan yang rendah, adanya dukungan sosial yang tinggi, kebebasan individu untuk mengambil keputusan, tingkat korupsi yang rendah, serta sistem kesehatan publik yang efektif dan transportasi umum yang andal. Ini semua menunjukkan kualitas hidup yang baik di sana. Namun, menurut Al-Qur’an, standar kemajuan dan kebahagiaan sejati terletak pada iman dan takwa, bukan semata pada standar material. Dalam ayat disebutkan, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsinya menyatakan, “Kemudian Allah menyebutkan bahwa penduduk negeri-negeri, jika mereka beriman dengan hati mereka dengan iman yang benar yang dibuktikan dengan amal perbuatan, dan mereka menjaga takwa kepada Allah, baik secara lahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi kepada mereka. Dia akan menurunkan hujan secara deras bagi mereka dan menumbuhkan dari bumi apa yang mereka butuhkan untuk hidup, begitu juga yang dibutuhkan oleh hewan ternak mereka, dalam kehidupan yang paling subur dan rezeki yang paling melimpah, tanpa kesulitan, kerja keras, ataupun keletihan.” Inilah kriteria sejati sebuah negara yang maju dan bahagia menurut perspektif Al-Qur’an. Kesimpulan: Dalam pandangan Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara tidak diukur dari standar material seperti kemajuan teknologi atau standar ekonomi, melainkan dari keberkahan yang Allah limpahkan kepada negeri tersebut. Berkah ini akan tercurah ketika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah, yang ditandai dengan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan amal kebaikan secara lahir dan batin. – Baca Juga: Membandingkan Gaji adalah Sumber Ketidakbahagiaan 3 Tanda Kebahagiaan Ditulis pada malam 29 Rabiuts Tsani 1446 H, 31 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsketakwaan negara maju takwa

Standar Negara Maju dan Bahagia Menurut Perspektif Al-Qur’an

Negara yang disebut maju dan bahagia dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kriteria yang berbeda dari definisi umum negara maju, seperti kemajuan teknologi atau standar material lainnya. Dalam Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara sangat berkaitan dengan keberkahan yang Allah berikan, yang akan tercurah ketika penduduk negeri itu beriman dan bertakwa. Misalnya, jika kita ditanya negara mana yang paling maju, mungkin kita langsung menyebut Amerika, China, atau Jepang. Sementara untuk negara yang paling bahagia, Finlandia sering kali menjadi jawaban karena negara ini sudah enam tahun berturut-turut berada di puncak peringkat negara paling bahagia di dunia. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-84 dari total 137 negara, dengan skor 5.277. Salah satu alasan utama kebahagiaan Finlandia adalah karena ketimpangan pendapatan yang rendah, adanya dukungan sosial yang tinggi, kebebasan individu untuk mengambil keputusan, tingkat korupsi yang rendah, serta sistem kesehatan publik yang efektif dan transportasi umum yang andal. Ini semua menunjukkan kualitas hidup yang baik di sana. Namun, menurut Al-Qur’an, standar kemajuan dan kebahagiaan sejati terletak pada iman dan takwa, bukan semata pada standar material. Dalam ayat disebutkan, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsinya menyatakan, “Kemudian Allah menyebutkan bahwa penduduk negeri-negeri, jika mereka beriman dengan hati mereka dengan iman yang benar yang dibuktikan dengan amal perbuatan, dan mereka menjaga takwa kepada Allah, baik secara lahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi kepada mereka. Dia akan menurunkan hujan secara deras bagi mereka dan menumbuhkan dari bumi apa yang mereka butuhkan untuk hidup, begitu juga yang dibutuhkan oleh hewan ternak mereka, dalam kehidupan yang paling subur dan rezeki yang paling melimpah, tanpa kesulitan, kerja keras, ataupun keletihan.” Inilah kriteria sejati sebuah negara yang maju dan bahagia menurut perspektif Al-Qur’an. Kesimpulan: Dalam pandangan Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara tidak diukur dari standar material seperti kemajuan teknologi atau standar ekonomi, melainkan dari keberkahan yang Allah limpahkan kepada negeri tersebut. Berkah ini akan tercurah ketika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah, yang ditandai dengan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan amal kebaikan secara lahir dan batin. – Baca Juga: Membandingkan Gaji adalah Sumber Ketidakbahagiaan 3 Tanda Kebahagiaan Ditulis pada malam 29 Rabiuts Tsani 1446 H, 31 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsketakwaan negara maju takwa
Negara yang disebut maju dan bahagia dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kriteria yang berbeda dari definisi umum negara maju, seperti kemajuan teknologi atau standar material lainnya. Dalam Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara sangat berkaitan dengan keberkahan yang Allah berikan, yang akan tercurah ketika penduduk negeri itu beriman dan bertakwa. Misalnya, jika kita ditanya negara mana yang paling maju, mungkin kita langsung menyebut Amerika, China, atau Jepang. Sementara untuk negara yang paling bahagia, Finlandia sering kali menjadi jawaban karena negara ini sudah enam tahun berturut-turut berada di puncak peringkat negara paling bahagia di dunia. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-84 dari total 137 negara, dengan skor 5.277. Salah satu alasan utama kebahagiaan Finlandia adalah karena ketimpangan pendapatan yang rendah, adanya dukungan sosial yang tinggi, kebebasan individu untuk mengambil keputusan, tingkat korupsi yang rendah, serta sistem kesehatan publik yang efektif dan transportasi umum yang andal. Ini semua menunjukkan kualitas hidup yang baik di sana. Namun, menurut Al-Qur’an, standar kemajuan dan kebahagiaan sejati terletak pada iman dan takwa, bukan semata pada standar material. Dalam ayat disebutkan, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsinya menyatakan, “Kemudian Allah menyebutkan bahwa penduduk negeri-negeri, jika mereka beriman dengan hati mereka dengan iman yang benar yang dibuktikan dengan amal perbuatan, dan mereka menjaga takwa kepada Allah, baik secara lahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi kepada mereka. Dia akan menurunkan hujan secara deras bagi mereka dan menumbuhkan dari bumi apa yang mereka butuhkan untuk hidup, begitu juga yang dibutuhkan oleh hewan ternak mereka, dalam kehidupan yang paling subur dan rezeki yang paling melimpah, tanpa kesulitan, kerja keras, ataupun keletihan.” Inilah kriteria sejati sebuah negara yang maju dan bahagia menurut perspektif Al-Qur’an. Kesimpulan: Dalam pandangan Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara tidak diukur dari standar material seperti kemajuan teknologi atau standar ekonomi, melainkan dari keberkahan yang Allah limpahkan kepada negeri tersebut. Berkah ini akan tercurah ketika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah, yang ditandai dengan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan amal kebaikan secara lahir dan batin. – Baca Juga: Membandingkan Gaji adalah Sumber Ketidakbahagiaan 3 Tanda Kebahagiaan Ditulis pada malam 29 Rabiuts Tsani 1446 H, 31 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsketakwaan negara maju takwa


Negara yang disebut maju dan bahagia dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kriteria yang berbeda dari definisi umum negara maju, seperti kemajuan teknologi atau standar material lainnya. Dalam Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara sangat berkaitan dengan keberkahan yang Allah berikan, yang akan tercurah ketika penduduk negeri itu beriman dan bertakwa. Misalnya, jika kita ditanya negara mana yang paling maju, mungkin kita langsung menyebut Amerika, China, atau Jepang. Sementara untuk negara yang paling bahagia, Finlandia sering kali menjadi jawaban karena negara ini sudah enam tahun berturut-turut berada di puncak peringkat negara paling bahagia di dunia. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-84 dari total 137 negara, dengan skor 5.277. Salah satu alasan utama kebahagiaan Finlandia adalah karena ketimpangan pendapatan yang rendah, adanya dukungan sosial yang tinggi, kebebasan individu untuk mengambil keputusan, tingkat korupsi yang rendah, serta sistem kesehatan publik yang efektif dan transportasi umum yang andal. Ini semua menunjukkan kualitas hidup yang baik di sana. Namun, menurut Al-Qur’an, standar kemajuan dan kebahagiaan sejati terletak pada iman dan takwa, bukan semata pada standar material. Dalam ayat disebutkan, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsinya menyatakan, “Kemudian Allah menyebutkan bahwa penduduk negeri-negeri, jika mereka beriman dengan hati mereka dengan iman yang benar yang dibuktikan dengan amal perbuatan, dan mereka menjaga takwa kepada Allah, baik secara lahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi kepada mereka. Dia akan menurunkan hujan secara deras bagi mereka dan menumbuhkan dari bumi apa yang mereka butuhkan untuk hidup, begitu juga yang dibutuhkan oleh hewan ternak mereka, dalam kehidupan yang paling subur dan rezeki yang paling melimpah, tanpa kesulitan, kerja keras, ataupun keletihan.” Inilah kriteria sejati sebuah negara yang maju dan bahagia menurut perspektif Al-Qur’an. Kesimpulan: Dalam pandangan Al-Qur’an, kemajuan dan kebahagiaan suatu negara tidak diukur dari standar material seperti kemajuan teknologi atau standar ekonomi, melainkan dari keberkahan yang Allah limpahkan kepada negeri tersebut. Berkah ini akan tercurah ketika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah, yang ditandai dengan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan amal kebaikan secara lahir dan batin. – Baca Juga: Membandingkan Gaji adalah Sumber Ketidakbahagiaan 3 Tanda Kebahagiaan Ditulis pada malam 29 Rabiuts Tsani 1446 H, 31 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsketakwaan negara maju takwa

Hadis: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiKandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiPendapat pertamaPendapat keduaPendapat ketigaPendapat yang lebih kuatRingkasan Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ عَمْرَةَ بِنْتَ الْجَوْنِ تَعَوّذَتْ مِنْ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أُدْخِلَتْ عَلَيهِ -تَعْني: لَمَّا تَزَوّجَهَا- فَقَال: “لَقَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ” فَطَلَّقَهَا، وَأَمَرَ أُسَامَةَ فَمَتَّعَهَا بِثَلَاثةِ أَثْوَابٍ. “Amrah binti Al-Jawn pernah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekamar dengan beliau, yakni ketika dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat yang menjadi sumber perlindungan (Allah).” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya mut’ah berupa tiga helai pakaian. (HR. Ibnu Majah no. 2037, hadis ini batil karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Ubaid bin Al-Qasim) Dasar hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no. 5255), yang diriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid, dari ayahnya, Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada suatu dinding yang dinamakan ‘Asy Syauth’. Kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding dan duduk di antara keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduklah kalian di sini.” Beliau pun masuk dan ternyata telah didatangkan seorang perempuan bani Jaun dan ditempatkan di rumah yang ada di kebun kurma, yaitu rumahnya Ummayyah binti An-Nu’man bin Syarahil yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya. Dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, beliau bersabda, هَبِي نَفْسَكِ لِي “Serahkanlah dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu (permaisuri) akan menyerahkan dirinya kepada seorang rakyat jelata?” Maka beliau pun menjulurkan tangannya dan hendak menyentuh dan menenangkan, akan tetapi wanita itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عُذْتِ بِمَعَاذٍ “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar dan berkata, يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا “Wahai Usaid, berilah ia dua helai pakaian dari katun dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.” Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati permintaan wanita tersebut dan memerintahkannya untuk diberi pakaian sebagai bentuk mut’ah, kemudian mengembalikannya kepada keluarganya dengan baik. Kandungan Hadis Kandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya memberikan hadiah (mut’ah) yang layak kepada istri yang telah diceraikan, sesuai dengan kemampuan suami dan adat yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghibur hati istri yang terkena musibah perceraian, meredakan kesedihannya, serta sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Tidak ada batasan jumlah tertentu dari syariat untuk mut’ah ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 236, عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya, dan orang yang kekurangan memberi menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Jika suami dan istri sepakat atas jumlah tertentu, maka tidak ada masalah. Namun, jika terjadi perbedaan, hakim akan memutuskan berdasarkan petunjuk ayat ini. Kandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pemberian mut’ah kepada istri yang diceraikan menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama Wajib memberikan mut’ah kepada setiap istri yang diceraikan, baik diceraikan sebelum terjadi hubungan intim atau setelahnya, baik telah ditentukan (ditetapkan) maharnya atau belum. Pendapat ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’id bin Jubair. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Al-Hafiz Ibnu Hajar, dan Asy-Syinqithi. [1] Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapatkan mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Lafal “para perempuan yang diceraikan” (المطلقات) bersifat umum, menunjukkan bahwa hal ini berlaku umum untuk semua istri yang diceraikan. Kata “حَقًّا” (berhak), menekankan kewajiban tersebut, dan dikuatkan lagi dengan pernyataan “عَلَى الْمُتَّقِينَ” (sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa). Dalam ayat lain disebutkan, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Hendaklah pemberian itu diberikan dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Selain itu, Allah memerintahkan Nabi untuk berkata kepada istri-istrinya, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Ayat ini menunjukkan bahwa mut’ah juga diberikan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah jelas memiliki mahar dan telah terjadi hubungan suami istri. Berdasarkan kaidah ushul, setiap perintah khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku umum bagi umatnya, kecuali ada dalil yang secara khusus mengecualikan (bahwa hal itu hanya khusus berlaku untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan tidak untuk umatnya). Baca juga: Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami? Pendapat kedua Mut’ah dianjurkan (sunah) untuk diberikan kepada setiap istri yang diceraikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf. [2] Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dan juga firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Mereka berpendapat bahwa jika hukum mut’ah itu wajib, maka hal ini tidak akan dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin) dan orang-orang yang bertakwa (muttaqin), tetapi menjadi kewajiban bagi semua orang. Selain itu, jika mut’ah itu wajib, maka akan ada batasan tertentu mengenai jumlah yang harus diberikan. Namun, pandangan bahwa mut’ah hanya dianjurkan dibantah dengan argumen bahwa meskipun mut’ah tidak memiliki jumlah yang pasti (tidak ditentukan jumlahnya secara khusus oleh syariat), ini tidak menafikan kewajibannya. Sama halnya dengan nafkah bagi istri dan kerabat yang juga wajib, meskipun jumlahnya tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat. [3] Pendapat ketiga Mut’ah wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan intim dan belum ditetapkan maharnya. Namun, jika istri diceraikan setelah terjadi hubungan intim, maka tidak ada kewajiban memberikan mut’ah baginya. Jika istri tersebut termasuk golongan mufawwidhah (istri yang belum ditetapkan maharnya) [4], maka dia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan lain yang sepadan dengannya). Adapun jika mahar telah ditetapkan sebelumnya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar tersebut. Pendapat ini dipegang oleh sekelompok sahabat dan tabi’in, termasuk Ibnu Abbas, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, serta ulama seperti Al-Hasan, Atha’, dan Asy-Sya’bi rahimahumullah. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah. Dalil untuk pendapat ketiga ini adalah firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka atau menetapkan untuk mereka suatu mahar. Dan berilah mereka mut’ah sesuai dengan kemampuan, bagi yang kaya sesuai kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai kemampuannya, sebagai pemberian yang layak, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar diberikan mut’ah kepada wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan sebelum ditentukan maharnya. Kemudian dalam ayat selanjutnya (surah Al-Baqarah ayat 237), Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka dan telah menetapkan untuk mereka suatu mahar, maka berikanlah kepada mereka setengah dari apa yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Ayat ini khusus menunjukkan bahwa bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan telah ditetapkan mahar, mereka hanya berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Para ulama berargumen bahwa jika ada kewajiban lain (yaitu memberikan mut’ah) yang harus diberikan selain memberikan setengah mahar, maka Allah Ta’ala pasti akan menjelaskannya. Lebih-lebih, ayat 237 tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya (ayat 236) yang menunjukkan bahwa mut’ah hanya khusus (wajib) diberikan kepada istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim dan belum ditetapkan mahar. Mereka juga menjawab ayat {Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} dengan menyatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan maharnya. Sebagian ulama menolak pandangan bahwa ada spesifikasi, dengan alasan bahwa disebutkannya mut’ah untuk perempuan yang diceraikan sebelum hubungan intim adalah bagian dari penjelasan untuk kategori tertentu dalam hukum umum, tanpa mengubah hak umum yang ada. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah bahwa mut’ah wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan mahar, karena kuatnya dalil-dalil yang mendukung hal ini. Mut’ah dalam kasus ini berfungsi sebagai kompensasi atas mahar yang tidak dia terima dan sebagai bentuk kebaikan untuk mengurangi kesedihan akibat perceraian, sehingga tidak terjadi dua kerugian sekaligus hilangnya mahar dan hilangnya pernikahan. Adapun wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim tetapi sudah ditetapkan maharnya, maka mut’ah hanya dianjurkan (sunah), karena kewajiban itu telah gugur dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuh mereka, padahal kalian sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka berikanlah kepada mereka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Maka, dalil-dalil yang menunjukkan keumuman pemberian mut’ah dipahami sebagai anjuran (sunah) dalam kasus ini, agar ada keseimbangan antara dalil-dalil yang ada. Begitu pula, mut’ah dianjurkan bagi wanita yang diceraikan setelah hubungan intim, karena mahar telah menjadi haknya dengan adanya hubungan tersebut, sedangkan mut’ah dianjurkan sebagai tambahan kebaikan atas perceraian itu. Adapun pandangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mewajibkan mut’ah secara mutlak, Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan bahwa kewajiban itu dibatasi oleh lama waktu pernikahan. Jika suami menceraikan istrinya setelah setahun atau lebih, atau dalam waktu yang dekat dari itu, maka mut’ah menjadi wajib. Namun, jika perceraian terjadi segera setelah pernikahan dan mahar masih berada di genggaman istri, maka tidak ada alasan kuat untuk memberikan mut’ah. [5] Ringkasan Untuk memudahkan, berikut ini tedapat empat keadaan istri yang dicerai dan hukum masing-masing menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pertama: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami wajib memberikan mut’ah, namun istri tidak berhak mendapatkan mahar. Kedua: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar. Ketiga: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar). Keempat: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar sesuai dengan yang telah ditetapkan. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [5] Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Ath-Thabari, 5: 264; Al-Mughni, 10: 140; Al-Ikhtiyaraat, hal. 237; Fathul Baari, 9: 496; Adhwa’ul Bayaan, 1: 281-282. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 183; Al-Mughni, 10: 139. [3] Al-Adhwaa’, 1: 282. [4] Lihat Al-Muthli’, hal. 327. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 400-405). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiKandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiPendapat pertamaPendapat keduaPendapat ketigaPendapat yang lebih kuatRingkasan Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ عَمْرَةَ بِنْتَ الْجَوْنِ تَعَوّذَتْ مِنْ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أُدْخِلَتْ عَلَيهِ -تَعْني: لَمَّا تَزَوّجَهَا- فَقَال: “لَقَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ” فَطَلَّقَهَا، وَأَمَرَ أُسَامَةَ فَمَتَّعَهَا بِثَلَاثةِ أَثْوَابٍ. “Amrah binti Al-Jawn pernah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekamar dengan beliau, yakni ketika dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat yang menjadi sumber perlindungan (Allah).” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya mut’ah berupa tiga helai pakaian. (HR. Ibnu Majah no. 2037, hadis ini batil karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Ubaid bin Al-Qasim) Dasar hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no. 5255), yang diriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid, dari ayahnya, Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada suatu dinding yang dinamakan ‘Asy Syauth’. Kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding dan duduk di antara keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduklah kalian di sini.” Beliau pun masuk dan ternyata telah didatangkan seorang perempuan bani Jaun dan ditempatkan di rumah yang ada di kebun kurma, yaitu rumahnya Ummayyah binti An-Nu’man bin Syarahil yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya. Dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, beliau bersabda, هَبِي نَفْسَكِ لِي “Serahkanlah dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu (permaisuri) akan menyerahkan dirinya kepada seorang rakyat jelata?” Maka beliau pun menjulurkan tangannya dan hendak menyentuh dan menenangkan, akan tetapi wanita itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عُذْتِ بِمَعَاذٍ “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar dan berkata, يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا “Wahai Usaid, berilah ia dua helai pakaian dari katun dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.” Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati permintaan wanita tersebut dan memerintahkannya untuk diberi pakaian sebagai bentuk mut’ah, kemudian mengembalikannya kepada keluarganya dengan baik. Kandungan Hadis Kandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya memberikan hadiah (mut’ah) yang layak kepada istri yang telah diceraikan, sesuai dengan kemampuan suami dan adat yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghibur hati istri yang terkena musibah perceraian, meredakan kesedihannya, serta sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Tidak ada batasan jumlah tertentu dari syariat untuk mut’ah ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 236, عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya, dan orang yang kekurangan memberi menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Jika suami dan istri sepakat atas jumlah tertentu, maka tidak ada masalah. Namun, jika terjadi perbedaan, hakim akan memutuskan berdasarkan petunjuk ayat ini. Kandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pemberian mut’ah kepada istri yang diceraikan menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama Wajib memberikan mut’ah kepada setiap istri yang diceraikan, baik diceraikan sebelum terjadi hubungan intim atau setelahnya, baik telah ditentukan (ditetapkan) maharnya atau belum. Pendapat ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’id bin Jubair. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Al-Hafiz Ibnu Hajar, dan Asy-Syinqithi. [1] Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapatkan mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Lafal “para perempuan yang diceraikan” (المطلقات) bersifat umum, menunjukkan bahwa hal ini berlaku umum untuk semua istri yang diceraikan. Kata “حَقًّا” (berhak), menekankan kewajiban tersebut, dan dikuatkan lagi dengan pernyataan “عَلَى الْمُتَّقِينَ” (sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa). Dalam ayat lain disebutkan, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Hendaklah pemberian itu diberikan dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Selain itu, Allah memerintahkan Nabi untuk berkata kepada istri-istrinya, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Ayat ini menunjukkan bahwa mut’ah juga diberikan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah jelas memiliki mahar dan telah terjadi hubungan suami istri. Berdasarkan kaidah ushul, setiap perintah khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku umum bagi umatnya, kecuali ada dalil yang secara khusus mengecualikan (bahwa hal itu hanya khusus berlaku untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan tidak untuk umatnya). Baca juga: Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami? Pendapat kedua Mut’ah dianjurkan (sunah) untuk diberikan kepada setiap istri yang diceraikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf. [2] Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dan juga firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Mereka berpendapat bahwa jika hukum mut’ah itu wajib, maka hal ini tidak akan dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin) dan orang-orang yang bertakwa (muttaqin), tetapi menjadi kewajiban bagi semua orang. Selain itu, jika mut’ah itu wajib, maka akan ada batasan tertentu mengenai jumlah yang harus diberikan. Namun, pandangan bahwa mut’ah hanya dianjurkan dibantah dengan argumen bahwa meskipun mut’ah tidak memiliki jumlah yang pasti (tidak ditentukan jumlahnya secara khusus oleh syariat), ini tidak menafikan kewajibannya. Sama halnya dengan nafkah bagi istri dan kerabat yang juga wajib, meskipun jumlahnya tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat. [3] Pendapat ketiga Mut’ah wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan intim dan belum ditetapkan maharnya. Namun, jika istri diceraikan setelah terjadi hubungan intim, maka tidak ada kewajiban memberikan mut’ah baginya. Jika istri tersebut termasuk golongan mufawwidhah (istri yang belum ditetapkan maharnya) [4], maka dia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan lain yang sepadan dengannya). Adapun jika mahar telah ditetapkan sebelumnya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar tersebut. Pendapat ini dipegang oleh sekelompok sahabat dan tabi’in, termasuk Ibnu Abbas, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, serta ulama seperti Al-Hasan, Atha’, dan Asy-Sya’bi rahimahumullah. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah. Dalil untuk pendapat ketiga ini adalah firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka atau menetapkan untuk mereka suatu mahar. Dan berilah mereka mut’ah sesuai dengan kemampuan, bagi yang kaya sesuai kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai kemampuannya, sebagai pemberian yang layak, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar diberikan mut’ah kepada wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan sebelum ditentukan maharnya. Kemudian dalam ayat selanjutnya (surah Al-Baqarah ayat 237), Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka dan telah menetapkan untuk mereka suatu mahar, maka berikanlah kepada mereka setengah dari apa yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Ayat ini khusus menunjukkan bahwa bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan telah ditetapkan mahar, mereka hanya berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Para ulama berargumen bahwa jika ada kewajiban lain (yaitu memberikan mut’ah) yang harus diberikan selain memberikan setengah mahar, maka Allah Ta’ala pasti akan menjelaskannya. Lebih-lebih, ayat 237 tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya (ayat 236) yang menunjukkan bahwa mut’ah hanya khusus (wajib) diberikan kepada istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim dan belum ditetapkan mahar. Mereka juga menjawab ayat {Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} dengan menyatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan maharnya. Sebagian ulama menolak pandangan bahwa ada spesifikasi, dengan alasan bahwa disebutkannya mut’ah untuk perempuan yang diceraikan sebelum hubungan intim adalah bagian dari penjelasan untuk kategori tertentu dalam hukum umum, tanpa mengubah hak umum yang ada. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah bahwa mut’ah wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan mahar, karena kuatnya dalil-dalil yang mendukung hal ini. Mut’ah dalam kasus ini berfungsi sebagai kompensasi atas mahar yang tidak dia terima dan sebagai bentuk kebaikan untuk mengurangi kesedihan akibat perceraian, sehingga tidak terjadi dua kerugian sekaligus hilangnya mahar dan hilangnya pernikahan. Adapun wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim tetapi sudah ditetapkan maharnya, maka mut’ah hanya dianjurkan (sunah), karena kewajiban itu telah gugur dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuh mereka, padahal kalian sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka berikanlah kepada mereka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Maka, dalil-dalil yang menunjukkan keumuman pemberian mut’ah dipahami sebagai anjuran (sunah) dalam kasus ini, agar ada keseimbangan antara dalil-dalil yang ada. Begitu pula, mut’ah dianjurkan bagi wanita yang diceraikan setelah hubungan intim, karena mahar telah menjadi haknya dengan adanya hubungan tersebut, sedangkan mut’ah dianjurkan sebagai tambahan kebaikan atas perceraian itu. Adapun pandangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mewajibkan mut’ah secara mutlak, Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan bahwa kewajiban itu dibatasi oleh lama waktu pernikahan. Jika suami menceraikan istrinya setelah setahun atau lebih, atau dalam waktu yang dekat dari itu, maka mut’ah menjadi wajib. Namun, jika perceraian terjadi segera setelah pernikahan dan mahar masih berada di genggaman istri, maka tidak ada alasan kuat untuk memberikan mut’ah. [5] Ringkasan Untuk memudahkan, berikut ini tedapat empat keadaan istri yang dicerai dan hukum masing-masing menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pertama: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami wajib memberikan mut’ah, namun istri tidak berhak mendapatkan mahar. Kedua: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar. Ketiga: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar). Keempat: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar sesuai dengan yang telah ditetapkan. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [5] Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Ath-Thabari, 5: 264; Al-Mughni, 10: 140; Al-Ikhtiyaraat, hal. 237; Fathul Baari, 9: 496; Adhwa’ul Bayaan, 1: 281-282. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 183; Al-Mughni, 10: 139. [3] Al-Adhwaa’, 1: 282. [4] Lihat Al-Muthli’, hal. 327. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 400-405). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiKandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiPendapat pertamaPendapat keduaPendapat ketigaPendapat yang lebih kuatRingkasan Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ عَمْرَةَ بِنْتَ الْجَوْنِ تَعَوّذَتْ مِنْ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أُدْخِلَتْ عَلَيهِ -تَعْني: لَمَّا تَزَوّجَهَا- فَقَال: “لَقَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ” فَطَلَّقَهَا، وَأَمَرَ أُسَامَةَ فَمَتَّعَهَا بِثَلَاثةِ أَثْوَابٍ. “Amrah binti Al-Jawn pernah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekamar dengan beliau, yakni ketika dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat yang menjadi sumber perlindungan (Allah).” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya mut’ah berupa tiga helai pakaian. (HR. Ibnu Majah no. 2037, hadis ini batil karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Ubaid bin Al-Qasim) Dasar hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no. 5255), yang diriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid, dari ayahnya, Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada suatu dinding yang dinamakan ‘Asy Syauth’. Kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding dan duduk di antara keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduklah kalian di sini.” Beliau pun masuk dan ternyata telah didatangkan seorang perempuan bani Jaun dan ditempatkan di rumah yang ada di kebun kurma, yaitu rumahnya Ummayyah binti An-Nu’man bin Syarahil yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya. Dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, beliau bersabda, هَبِي نَفْسَكِ لِي “Serahkanlah dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu (permaisuri) akan menyerahkan dirinya kepada seorang rakyat jelata?” Maka beliau pun menjulurkan tangannya dan hendak menyentuh dan menenangkan, akan tetapi wanita itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عُذْتِ بِمَعَاذٍ “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar dan berkata, يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا “Wahai Usaid, berilah ia dua helai pakaian dari katun dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.” Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati permintaan wanita tersebut dan memerintahkannya untuk diberi pakaian sebagai bentuk mut’ah, kemudian mengembalikannya kepada keluarganya dengan baik. Kandungan Hadis Kandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya memberikan hadiah (mut’ah) yang layak kepada istri yang telah diceraikan, sesuai dengan kemampuan suami dan adat yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghibur hati istri yang terkena musibah perceraian, meredakan kesedihannya, serta sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Tidak ada batasan jumlah tertentu dari syariat untuk mut’ah ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 236, عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya, dan orang yang kekurangan memberi menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Jika suami dan istri sepakat atas jumlah tertentu, maka tidak ada masalah. Namun, jika terjadi perbedaan, hakim akan memutuskan berdasarkan petunjuk ayat ini. Kandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pemberian mut’ah kepada istri yang diceraikan menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama Wajib memberikan mut’ah kepada setiap istri yang diceraikan, baik diceraikan sebelum terjadi hubungan intim atau setelahnya, baik telah ditentukan (ditetapkan) maharnya atau belum. Pendapat ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’id bin Jubair. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Al-Hafiz Ibnu Hajar, dan Asy-Syinqithi. [1] Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapatkan mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Lafal “para perempuan yang diceraikan” (المطلقات) bersifat umum, menunjukkan bahwa hal ini berlaku umum untuk semua istri yang diceraikan. Kata “حَقًّا” (berhak), menekankan kewajiban tersebut, dan dikuatkan lagi dengan pernyataan “عَلَى الْمُتَّقِينَ” (sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa). Dalam ayat lain disebutkan, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Hendaklah pemberian itu diberikan dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Selain itu, Allah memerintahkan Nabi untuk berkata kepada istri-istrinya, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Ayat ini menunjukkan bahwa mut’ah juga diberikan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah jelas memiliki mahar dan telah terjadi hubungan suami istri. Berdasarkan kaidah ushul, setiap perintah khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku umum bagi umatnya, kecuali ada dalil yang secara khusus mengecualikan (bahwa hal itu hanya khusus berlaku untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan tidak untuk umatnya). Baca juga: Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami? Pendapat kedua Mut’ah dianjurkan (sunah) untuk diberikan kepada setiap istri yang diceraikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf. [2] Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dan juga firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Mereka berpendapat bahwa jika hukum mut’ah itu wajib, maka hal ini tidak akan dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin) dan orang-orang yang bertakwa (muttaqin), tetapi menjadi kewajiban bagi semua orang. Selain itu, jika mut’ah itu wajib, maka akan ada batasan tertentu mengenai jumlah yang harus diberikan. Namun, pandangan bahwa mut’ah hanya dianjurkan dibantah dengan argumen bahwa meskipun mut’ah tidak memiliki jumlah yang pasti (tidak ditentukan jumlahnya secara khusus oleh syariat), ini tidak menafikan kewajibannya. Sama halnya dengan nafkah bagi istri dan kerabat yang juga wajib, meskipun jumlahnya tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat. [3] Pendapat ketiga Mut’ah wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan intim dan belum ditetapkan maharnya. Namun, jika istri diceraikan setelah terjadi hubungan intim, maka tidak ada kewajiban memberikan mut’ah baginya. Jika istri tersebut termasuk golongan mufawwidhah (istri yang belum ditetapkan maharnya) [4], maka dia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan lain yang sepadan dengannya). Adapun jika mahar telah ditetapkan sebelumnya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar tersebut. Pendapat ini dipegang oleh sekelompok sahabat dan tabi’in, termasuk Ibnu Abbas, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, serta ulama seperti Al-Hasan, Atha’, dan Asy-Sya’bi rahimahumullah. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah. Dalil untuk pendapat ketiga ini adalah firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka atau menetapkan untuk mereka suatu mahar. Dan berilah mereka mut’ah sesuai dengan kemampuan, bagi yang kaya sesuai kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai kemampuannya, sebagai pemberian yang layak, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar diberikan mut’ah kepada wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan sebelum ditentukan maharnya. Kemudian dalam ayat selanjutnya (surah Al-Baqarah ayat 237), Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka dan telah menetapkan untuk mereka suatu mahar, maka berikanlah kepada mereka setengah dari apa yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Ayat ini khusus menunjukkan bahwa bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan telah ditetapkan mahar, mereka hanya berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Para ulama berargumen bahwa jika ada kewajiban lain (yaitu memberikan mut’ah) yang harus diberikan selain memberikan setengah mahar, maka Allah Ta’ala pasti akan menjelaskannya. Lebih-lebih, ayat 237 tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya (ayat 236) yang menunjukkan bahwa mut’ah hanya khusus (wajib) diberikan kepada istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim dan belum ditetapkan mahar. Mereka juga menjawab ayat {Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} dengan menyatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan maharnya. Sebagian ulama menolak pandangan bahwa ada spesifikasi, dengan alasan bahwa disebutkannya mut’ah untuk perempuan yang diceraikan sebelum hubungan intim adalah bagian dari penjelasan untuk kategori tertentu dalam hukum umum, tanpa mengubah hak umum yang ada. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah bahwa mut’ah wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan mahar, karena kuatnya dalil-dalil yang mendukung hal ini. Mut’ah dalam kasus ini berfungsi sebagai kompensasi atas mahar yang tidak dia terima dan sebagai bentuk kebaikan untuk mengurangi kesedihan akibat perceraian, sehingga tidak terjadi dua kerugian sekaligus hilangnya mahar dan hilangnya pernikahan. Adapun wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim tetapi sudah ditetapkan maharnya, maka mut’ah hanya dianjurkan (sunah), karena kewajiban itu telah gugur dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuh mereka, padahal kalian sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka berikanlah kepada mereka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Maka, dalil-dalil yang menunjukkan keumuman pemberian mut’ah dipahami sebagai anjuran (sunah) dalam kasus ini, agar ada keseimbangan antara dalil-dalil yang ada. Begitu pula, mut’ah dianjurkan bagi wanita yang diceraikan setelah hubungan intim, karena mahar telah menjadi haknya dengan adanya hubungan tersebut, sedangkan mut’ah dianjurkan sebagai tambahan kebaikan atas perceraian itu. Adapun pandangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mewajibkan mut’ah secara mutlak, Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan bahwa kewajiban itu dibatasi oleh lama waktu pernikahan. Jika suami menceraikan istrinya setelah setahun atau lebih, atau dalam waktu yang dekat dari itu, maka mut’ah menjadi wajib. Namun, jika perceraian terjadi segera setelah pernikahan dan mahar masih berada di genggaman istri, maka tidak ada alasan kuat untuk memberikan mut’ah. [5] Ringkasan Untuk memudahkan, berikut ini tedapat empat keadaan istri yang dicerai dan hukum masing-masing menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pertama: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami wajib memberikan mut’ah, namun istri tidak berhak mendapatkan mahar. Kedua: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar. Ketiga: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar). Keempat: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar sesuai dengan yang telah ditetapkan. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [5] Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Ath-Thabari, 5: 264; Al-Mughni, 10: 140; Al-Ikhtiyaraat, hal. 237; Fathul Baari, 9: 496; Adhwa’ul Bayaan, 1: 281-282. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 183; Al-Mughni, 10: 139. [3] Al-Adhwaa’, 1: 282. [4] Lihat Al-Muthli’, hal. 327. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 400-405). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiKandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang diceraiPendapat pertamaPendapat keduaPendapat ketigaPendapat yang lebih kuatRingkasan Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ عَمْرَةَ بِنْتَ الْجَوْنِ تَعَوّذَتْ مِنْ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أُدْخِلَتْ عَلَيهِ -تَعْني: لَمَّا تَزَوّجَهَا- فَقَال: “لَقَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ” فَطَلَّقَهَا، وَأَمَرَ أُسَامَةَ فَمَتَّعَهَا بِثَلَاثةِ أَثْوَابٍ. “Amrah binti Al-Jawn pernah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekamar dengan beliau, yakni ketika dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat yang menjadi sumber perlindungan (Allah).” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya mut’ah berupa tiga helai pakaian. (HR. Ibnu Majah no. 2037, hadis ini batil karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Ubaid bin Al-Qasim) Dasar hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no. 5255), yang diriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid, dari ayahnya, Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada suatu dinding yang dinamakan ‘Asy Syauth’. Kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding dan duduk di antara keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduklah kalian di sini.” Beliau pun masuk dan ternyata telah didatangkan seorang perempuan bani Jaun dan ditempatkan di rumah yang ada di kebun kurma, yaitu rumahnya Ummayyah binti An-Nu’man bin Syarahil yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya. Dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, beliau bersabda, هَبِي نَفْسَكِ لِي “Serahkanlah dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu (permaisuri) akan menyerahkan dirinya kepada seorang rakyat jelata?” Maka beliau pun menjulurkan tangannya dan hendak menyentuh dan menenangkan, akan tetapi wanita itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عُذْتِ بِمَعَاذٍ “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar dan berkata, يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا “Wahai Usaid, berilah ia dua helai pakaian dari katun dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.” Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati permintaan wanita tersebut dan memerintahkannya untuk diberi pakaian sebagai bentuk mut’ah, kemudian mengembalikannya kepada keluarganya dengan baik. Kandungan Hadis Kandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya memberikan hadiah (mut’ah) yang layak kepada istri yang telah diceraikan, sesuai dengan kemampuan suami dan adat yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghibur hati istri yang terkena musibah perceraian, meredakan kesedihannya, serta sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Tidak ada batasan jumlah tertentu dari syariat untuk mut’ah ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 236, عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya, dan orang yang kekurangan memberi menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Jika suami dan istri sepakat atas jumlah tertentu, maka tidak ada masalah. Namun, jika terjadi perbedaan, hakim akan memutuskan berdasarkan petunjuk ayat ini. Kandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pemberian mut’ah kepada istri yang diceraikan menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama Wajib memberikan mut’ah kepada setiap istri yang diceraikan, baik diceraikan sebelum terjadi hubungan intim atau setelahnya, baik telah ditentukan (ditetapkan) maharnya atau belum. Pendapat ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’id bin Jubair. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Al-Hafiz Ibnu Hajar, dan Asy-Syinqithi. [1] Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapatkan mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241) Lafal “para perempuan yang diceraikan” (المطلقات) bersifat umum, menunjukkan bahwa hal ini berlaku umum untuk semua istri yang diceraikan. Kata “حَقًّا” (berhak), menekankan kewajiban tersebut, dan dikuatkan lagi dengan pernyataan “عَلَى الْمُتَّقِينَ” (sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa). Dalam ayat lain disebutkan, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Hendaklah pemberian itu diberikan dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Selain itu, Allah memerintahkan Nabi untuk berkata kepada istri-istrinya, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28) Ayat ini menunjukkan bahwa mut’ah juga diberikan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah jelas memiliki mahar dan telah terjadi hubungan suami istri. Berdasarkan kaidah ushul, setiap perintah khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku umum bagi umatnya, kecuali ada dalil yang secara khusus mengecualikan (bahwa hal itu hanya khusus berlaku untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan tidak untuk umatnya). Baca juga: Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami? Pendapat kedua Mut’ah dianjurkan (sunah) untuk diberikan kepada setiap istri yang diceraikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf. [2] Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dan juga firman Allah Ta’ala, حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Mereka berpendapat bahwa jika hukum mut’ah itu wajib, maka hal ini tidak akan dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin) dan orang-orang yang bertakwa (muttaqin), tetapi menjadi kewajiban bagi semua orang. Selain itu, jika mut’ah itu wajib, maka akan ada batasan tertentu mengenai jumlah yang harus diberikan. Namun, pandangan bahwa mut’ah hanya dianjurkan dibantah dengan argumen bahwa meskipun mut’ah tidak memiliki jumlah yang pasti (tidak ditentukan jumlahnya secara khusus oleh syariat), ini tidak menafikan kewajibannya. Sama halnya dengan nafkah bagi istri dan kerabat yang juga wajib, meskipun jumlahnya tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat. [3] Pendapat ketiga Mut’ah wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan intim dan belum ditetapkan maharnya. Namun, jika istri diceraikan setelah terjadi hubungan intim, maka tidak ada kewajiban memberikan mut’ah baginya. Jika istri tersebut termasuk golongan mufawwidhah (istri yang belum ditetapkan maharnya) [4], maka dia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan lain yang sepadan dengannya). Adapun jika mahar telah ditetapkan sebelumnya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar tersebut. Pendapat ini dipegang oleh sekelompok sahabat dan tabi’in, termasuk Ibnu Abbas, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, serta ulama seperti Al-Hasan, Atha’, dan Asy-Sya’bi rahimahumullah. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah. Dalil untuk pendapat ketiga ini adalah firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka atau menetapkan untuk mereka suatu mahar. Dan berilah mereka mut’ah sesuai dengan kemampuan, bagi yang kaya sesuai kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai kemampuannya, sebagai pemberian yang layak, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar diberikan mut’ah kepada wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan sebelum ditentukan maharnya. Kemudian dalam ayat selanjutnya (surah Al-Baqarah ayat 237), Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka dan telah menetapkan untuk mereka suatu mahar, maka berikanlah kepada mereka setengah dari apa yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Ayat ini khusus menunjukkan bahwa bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan telah ditetapkan mahar, mereka hanya berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Para ulama berargumen bahwa jika ada kewajiban lain (yaitu memberikan mut’ah) yang harus diberikan selain memberikan setengah mahar, maka Allah Ta’ala pasti akan menjelaskannya. Lebih-lebih, ayat 237 tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya (ayat 236) yang menunjukkan bahwa mut’ah hanya khusus (wajib) diberikan kepada istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim dan belum ditetapkan mahar. Mereka juga menjawab ayat {Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} dengan menyatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan maharnya. Sebagian ulama menolak pandangan bahwa ada spesifikasi, dengan alasan bahwa disebutkannya mut’ah untuk perempuan yang diceraikan sebelum hubungan intim adalah bagian dari penjelasan untuk kategori tertentu dalam hukum umum, tanpa mengubah hak umum yang ada. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah bahwa mut’ah wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan mahar, karena kuatnya dalil-dalil yang mendukung hal ini. Mut’ah dalam kasus ini berfungsi sebagai kompensasi atas mahar yang tidak dia terima dan sebagai bentuk kebaikan untuk mengurangi kesedihan akibat perceraian, sehingga tidak terjadi dua kerugian sekaligus hilangnya mahar dan hilangnya pernikahan. Adapun wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim tetapi sudah ditetapkan maharnya, maka mut’ah hanya dianjurkan (sunah), karena kewajiban itu telah gugur dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuh mereka, padahal kalian sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka berikanlah kepada mereka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237) Maka, dalil-dalil yang menunjukkan keumuman pemberian mut’ah dipahami sebagai anjuran (sunah) dalam kasus ini, agar ada keseimbangan antara dalil-dalil yang ada. Begitu pula, mut’ah dianjurkan bagi wanita yang diceraikan setelah hubungan intim, karena mahar telah menjadi haknya dengan adanya hubungan tersebut, sedangkan mut’ah dianjurkan sebagai tambahan kebaikan atas perceraian itu. Adapun pandangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mewajibkan mut’ah secara mutlak, Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan bahwa kewajiban itu dibatasi oleh lama waktu pernikahan. Jika suami menceraikan istrinya setelah setahun atau lebih, atau dalam waktu yang dekat dari itu, maka mut’ah menjadi wajib. Namun, jika perceraian terjadi segera setelah pernikahan dan mahar masih berada di genggaman istri, maka tidak ada alasan kuat untuk memberikan mut’ah. [5] Ringkasan Untuk memudahkan, berikut ini tedapat empat keadaan istri yang dicerai dan hukum masing-masing menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pertama: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami wajib memberikan mut’ah, namun istri tidak berhak mendapatkan mahar. Kedua: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar. Ketiga: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar). Keempat: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar sesuai dengan yang telah ditetapkan. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [5] Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Ath-Thabari, 5: 264; Al-Mughni, 10: 140; Al-Ikhtiyaraat, hal. 237; Fathul Baari, 9: 496; Adhwa’ul Bayaan, 1: 281-282. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 183; Al-Mughni, 10: 139. [3] Al-Adhwaa’, 1: 282. [4] Lihat Al-Muthli’, hal. 327. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 400-405). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“Surah Al-Baqarah ayat 263Surah Al-An’am ayat 133Surah Ibrahim ayat 8Surah An-Naml ayat 40Surah At-Taghabun ayat 6Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks AllahKekayaan Allah yang sempurnaPemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhlukKekayaan khusus bagi hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segiMenyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hambaBerdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Mengenal Allah merupakan tujuan utama dari seluruh makhluk. Mengenal nama-nama Allah merupakan cara untuk memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tidak ada kehidupan bagi hati, kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, menyembah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasakan ketenangan dengan mengingat-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Salah satu nama-Nya yang agung adalah “Al-Ghaniy“, yang berarti Mahakaya. Nama ini menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah, yaitu “Al-Ghaniy” (الغني). Kami memohon kepada Allah Yang Mahakaya agar memberikan taufik kepada kita untuk memahami dan mengamalkan kandungannya. Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“ Nama Allah “Al-Ghaniy” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan belas kali. [1] Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: Surah Al-Baqarah ayat 263 قول معْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.” Surah Al-An’am ayat 133 وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ “Dan Tuhanmu adalah Yang Mahakaya lagi mempunyai rahmat.” Surah Ibrahim ayat 8 إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Surah An-Naml ayat 40 وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ “Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” Surah At-Taghabun ayat 6 فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ “Mereka kufur, lalu berpaling, namun Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaniy” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“ Az-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, الغني في كلام العرب: الذي ليس بمحتاج إلى غيره “Al-Ghaniy dalam ucapan orang Arab, yaitu orang yang tidak membutuhkan orang lain.” [2] Dari sisi asal kata, “Al-Ghaniy” berasal dari kata “ghaniya” ( غَنِيَ ) yang memiliki dua akar makna utama: (1) menunjukkan kecukupan ( الْكِفَايَةِ ), dan (2) menunjukkan suara. Dikatakan, ‘Seseorang ghaniy jika ia mencukupi dirinya dengan kekayaannya.’ [3] Al-Fayyumiy rahimahullah mengatakan, “Ghana’ ( الْغَنَاءُ ) berarti ( الِاكْتِفَاءُ ) kecukupan.” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks Allah ِAbul Qasim Al-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, “Ghaniy dalam bahasa Arab berarti seseorang yang tidak membutuhkan orang lain. Begitu pula Allah, Dia tidak membutuhkan siapa pun, dan Mahasuci Dia dari segala kebutuhan, sebagaimana firman-Nya, إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ “Sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam.” (QS. Al-Ankabut: 6) Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) Allah tidak membutuhkan siapa pun dalam penciptaan-Nya dan apa yang Dia atur. Dia memberi, menyediakan rezeki, menetapkan takdir, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) [6] Kekayaan Allah yang sempurna Allah Mahakaya dengan Zat-Nya sendiri, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tidak mengandung kekurangan sedikit pun. Allah harus kaya karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki, Penyayang, dan Pemberi kebaikan. Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya dalam hal apa pun, sementara seluruh makhluk tidak bisa hidup tanpa bergantung kepada kebaikan, kasih sayang, dan pengaturan-Nya, bahkan sekejap mata pun. Pemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhluk Di antara tanda kekayaan-Nya yang sempurna adalah bahwa seluruh kekayaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Pemberian-Nya kepada makhluk-Nya terus mengalir, siang dan malam, dengan tangan-Nya yang senantiasa terbuka untuk memberi. Kekayaan-Nya juga terlihat dalam ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya setiap saat, dan Dia menjanjikan untuk mengabulkan. Dia memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan menjanjikan penerimaan dan ganjaran. Jika seluruh penduduk langit dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, berkumpul dalam satu tempat dan memohon segala sesuatu yang mereka inginkan, kemudian Dia memberi mereka semua permintaan mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya sedikit pun, sebagaimana jarum yang dicelupkan ke dalam laut tidak akan mengurangi air laut. Kekayaan khusus bagi hamba-Nya Kekayaan Allah yang agung, yang tidak dapat diukur, tampak dalam apa yang Dia siapkan bagi penduduk surga berupa kenikmatan yang terus menerus, berbagai bentuk penghormatan, dan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau terlintas di hati manusia. Allah mengayakan hamba-hamba pilihan-Nya dengan melimpahkan pengetahuan, pemahaman, dan hakikat keimanan ke dalam hati mereka, sehingga hati mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaniy” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi Dalam Tafsir As-Si’di disebutkan, فهو الغني بذاته، الذي له الغنى التام المطلق، من جميع الوجوه والاعتبارات لكماله، وكمال صفاته، فلا يتطرق إليها نقص بوجه من الوجوه، ولا يمكن أن يكون إلا غنيا، لأن غناه من لوازم ذاته، كما لا يكون إلا خالقا، قادرا، رازقا، محسنا “Allah adalah Yang Mahakaya dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada kekurangan yang dapat menyentuh-Nya, dan tidak mungkin bagi Allah selain menjadi Al-Ghaniy, karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti penciptaan, kekuasaan, pemberian rezeki, dan kemurahan-Nya.” Syekh As-Si’diy rahimahullah melanjutkan, “Dia tidak membutuhkan siapa pun dari segi apa pun. Dialah Al-Ghaniy, yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, serta perbendaharaan dunia dan akhirat. Dia memberi kekayaan kepada seluruh makhluk-Nya secara umum, dan khususnya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan ilmu dan iman yang Dia curahkan ke dalam hati mereka.” [8] Menyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hamba Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan sifat agung ini, maka ia akan mengenal dirinya. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekayaan mutlak, ia akan mengenal dirinya dengan kefakiran mutlak. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekuasaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kelemahan total. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kemuliaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kehinaan sempurna. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan ilmu dan hikmah sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kebodohan. Pengetahuan hamba tentang ketergantungannya kepada Allah, yang merupakan buah dari pengenalan ini adalah tanda kebahagiaan dan keberhasilannya di dunia dan akhirat.” [9] Secara lebih rinci, Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa fakir itu ada dua macam: Pertama: Fakir yang bersifat darurat, yaitu fakir yang mencakup semua manusia, baik orang saleh maupun orang fasik, dan tidak menuntut pujian atau celaan. Kedua: Fakir yang bersifat pilihan, yang muncul dari dua pengetahuan penting: pengetahuan hamba tentang Tuhannya, dan pengetahuan hamba tentang dirinya. Fakir inilah yang merupakan kekayaan sejati, kebahagiaan, dan keberhasilan. Mereka yang paling sempurna dalam hal ini adalah mereka yang paling banyak mengetahui kekurangan diri dan kekayaan Tuhan mereka. Semakin seorang hamba mengetahui kekuasaan Allah, semakin ia merasa fakir dan membutuhkan Allah. [10] Berdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Sebagai hamba yang sangat fakir, tentu kita sangat membutuhkan Allah Ta’ala. Di antaranya, kita bisa memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun. Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadis sahih dari Anas bin Malik, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah, ما يمنعك أن تسمعي ما أوصيك به، أن تقولي إذا أصبحت وإذا أمسيت: يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين. “Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang aku wasiatkan kepadamu? Ucapkanlah ketika pagi dan sore, ‘Ya Hayyu, Ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun.’” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 6: 147 dan Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 46.) Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an, Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy, Dar Fadhilah. Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah-Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi-Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 462; Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 211. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, karya Az-Zajjajiy, hal. 117. [3] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibnu Faris, 4: 397. [4] Al-Mishbah Al-Munir, hal. 461. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 117. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62. [7] Disarikan dari Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62-64. [8] Tafsir As-Si’diy, hal. 948. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 214. [10] Lihat Thariq Al-Hijratain, karya Ibnul Qayyim, hal. 13-14.

Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“Surah Al-Baqarah ayat 263Surah Al-An’am ayat 133Surah Ibrahim ayat 8Surah An-Naml ayat 40Surah At-Taghabun ayat 6Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks AllahKekayaan Allah yang sempurnaPemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhlukKekayaan khusus bagi hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segiMenyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hambaBerdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Mengenal Allah merupakan tujuan utama dari seluruh makhluk. Mengenal nama-nama Allah merupakan cara untuk memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tidak ada kehidupan bagi hati, kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, menyembah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasakan ketenangan dengan mengingat-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Salah satu nama-Nya yang agung adalah “Al-Ghaniy“, yang berarti Mahakaya. Nama ini menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah, yaitu “Al-Ghaniy” (الغني). Kami memohon kepada Allah Yang Mahakaya agar memberikan taufik kepada kita untuk memahami dan mengamalkan kandungannya. Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“ Nama Allah “Al-Ghaniy” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan belas kali. [1] Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: Surah Al-Baqarah ayat 263 قول معْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.” Surah Al-An’am ayat 133 وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ “Dan Tuhanmu adalah Yang Mahakaya lagi mempunyai rahmat.” Surah Ibrahim ayat 8 إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Surah An-Naml ayat 40 وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ “Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” Surah At-Taghabun ayat 6 فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ “Mereka kufur, lalu berpaling, namun Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaniy” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“ Az-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, الغني في كلام العرب: الذي ليس بمحتاج إلى غيره “Al-Ghaniy dalam ucapan orang Arab, yaitu orang yang tidak membutuhkan orang lain.” [2] Dari sisi asal kata, “Al-Ghaniy” berasal dari kata “ghaniya” ( غَنِيَ ) yang memiliki dua akar makna utama: (1) menunjukkan kecukupan ( الْكِفَايَةِ ), dan (2) menunjukkan suara. Dikatakan, ‘Seseorang ghaniy jika ia mencukupi dirinya dengan kekayaannya.’ [3] Al-Fayyumiy rahimahullah mengatakan, “Ghana’ ( الْغَنَاءُ ) berarti ( الِاكْتِفَاءُ ) kecukupan.” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks Allah ِAbul Qasim Al-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, “Ghaniy dalam bahasa Arab berarti seseorang yang tidak membutuhkan orang lain. Begitu pula Allah, Dia tidak membutuhkan siapa pun, dan Mahasuci Dia dari segala kebutuhan, sebagaimana firman-Nya, إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ “Sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam.” (QS. Al-Ankabut: 6) Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) Allah tidak membutuhkan siapa pun dalam penciptaan-Nya dan apa yang Dia atur. Dia memberi, menyediakan rezeki, menetapkan takdir, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) [6] Kekayaan Allah yang sempurna Allah Mahakaya dengan Zat-Nya sendiri, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tidak mengandung kekurangan sedikit pun. Allah harus kaya karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki, Penyayang, dan Pemberi kebaikan. Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya dalam hal apa pun, sementara seluruh makhluk tidak bisa hidup tanpa bergantung kepada kebaikan, kasih sayang, dan pengaturan-Nya, bahkan sekejap mata pun. Pemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhluk Di antara tanda kekayaan-Nya yang sempurna adalah bahwa seluruh kekayaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Pemberian-Nya kepada makhluk-Nya terus mengalir, siang dan malam, dengan tangan-Nya yang senantiasa terbuka untuk memberi. Kekayaan-Nya juga terlihat dalam ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya setiap saat, dan Dia menjanjikan untuk mengabulkan. Dia memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan menjanjikan penerimaan dan ganjaran. Jika seluruh penduduk langit dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, berkumpul dalam satu tempat dan memohon segala sesuatu yang mereka inginkan, kemudian Dia memberi mereka semua permintaan mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya sedikit pun, sebagaimana jarum yang dicelupkan ke dalam laut tidak akan mengurangi air laut. Kekayaan khusus bagi hamba-Nya Kekayaan Allah yang agung, yang tidak dapat diukur, tampak dalam apa yang Dia siapkan bagi penduduk surga berupa kenikmatan yang terus menerus, berbagai bentuk penghormatan, dan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau terlintas di hati manusia. Allah mengayakan hamba-hamba pilihan-Nya dengan melimpahkan pengetahuan, pemahaman, dan hakikat keimanan ke dalam hati mereka, sehingga hati mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaniy” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi Dalam Tafsir As-Si’di disebutkan, فهو الغني بذاته، الذي له الغنى التام المطلق، من جميع الوجوه والاعتبارات لكماله، وكمال صفاته، فلا يتطرق إليها نقص بوجه من الوجوه، ولا يمكن أن يكون إلا غنيا، لأن غناه من لوازم ذاته، كما لا يكون إلا خالقا، قادرا، رازقا، محسنا “Allah adalah Yang Mahakaya dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada kekurangan yang dapat menyentuh-Nya, dan tidak mungkin bagi Allah selain menjadi Al-Ghaniy, karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti penciptaan, kekuasaan, pemberian rezeki, dan kemurahan-Nya.” Syekh As-Si’diy rahimahullah melanjutkan, “Dia tidak membutuhkan siapa pun dari segi apa pun. Dialah Al-Ghaniy, yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, serta perbendaharaan dunia dan akhirat. Dia memberi kekayaan kepada seluruh makhluk-Nya secara umum, dan khususnya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan ilmu dan iman yang Dia curahkan ke dalam hati mereka.” [8] Menyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hamba Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan sifat agung ini, maka ia akan mengenal dirinya. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekayaan mutlak, ia akan mengenal dirinya dengan kefakiran mutlak. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekuasaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kelemahan total. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kemuliaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kehinaan sempurna. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan ilmu dan hikmah sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kebodohan. Pengetahuan hamba tentang ketergantungannya kepada Allah, yang merupakan buah dari pengenalan ini adalah tanda kebahagiaan dan keberhasilannya di dunia dan akhirat.” [9] Secara lebih rinci, Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa fakir itu ada dua macam: Pertama: Fakir yang bersifat darurat, yaitu fakir yang mencakup semua manusia, baik orang saleh maupun orang fasik, dan tidak menuntut pujian atau celaan. Kedua: Fakir yang bersifat pilihan, yang muncul dari dua pengetahuan penting: pengetahuan hamba tentang Tuhannya, dan pengetahuan hamba tentang dirinya. Fakir inilah yang merupakan kekayaan sejati, kebahagiaan, dan keberhasilan. Mereka yang paling sempurna dalam hal ini adalah mereka yang paling banyak mengetahui kekurangan diri dan kekayaan Tuhan mereka. Semakin seorang hamba mengetahui kekuasaan Allah, semakin ia merasa fakir dan membutuhkan Allah. [10] Berdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Sebagai hamba yang sangat fakir, tentu kita sangat membutuhkan Allah Ta’ala. Di antaranya, kita bisa memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun. Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadis sahih dari Anas bin Malik, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah, ما يمنعك أن تسمعي ما أوصيك به، أن تقولي إذا أصبحت وإذا أمسيت: يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين. “Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang aku wasiatkan kepadamu? Ucapkanlah ketika pagi dan sore, ‘Ya Hayyu, Ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun.’” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 6: 147 dan Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 46.) Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an, Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy, Dar Fadhilah. Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah-Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi-Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 462; Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 211. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, karya Az-Zajjajiy, hal. 117. [3] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibnu Faris, 4: 397. [4] Al-Mishbah Al-Munir, hal. 461. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 117. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62. [7] Disarikan dari Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62-64. [8] Tafsir As-Si’diy, hal. 948. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 214. [10] Lihat Thariq Al-Hijratain, karya Ibnul Qayyim, hal. 13-14.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“Surah Al-Baqarah ayat 263Surah Al-An’am ayat 133Surah Ibrahim ayat 8Surah An-Naml ayat 40Surah At-Taghabun ayat 6Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks AllahKekayaan Allah yang sempurnaPemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhlukKekayaan khusus bagi hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segiMenyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hambaBerdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Mengenal Allah merupakan tujuan utama dari seluruh makhluk. Mengenal nama-nama Allah merupakan cara untuk memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tidak ada kehidupan bagi hati, kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, menyembah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasakan ketenangan dengan mengingat-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Salah satu nama-Nya yang agung adalah “Al-Ghaniy“, yang berarti Mahakaya. Nama ini menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah, yaitu “Al-Ghaniy” (الغني). Kami memohon kepada Allah Yang Mahakaya agar memberikan taufik kepada kita untuk memahami dan mengamalkan kandungannya. Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“ Nama Allah “Al-Ghaniy” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan belas kali. [1] Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: Surah Al-Baqarah ayat 263 قول معْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.” Surah Al-An’am ayat 133 وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ “Dan Tuhanmu adalah Yang Mahakaya lagi mempunyai rahmat.” Surah Ibrahim ayat 8 إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Surah An-Naml ayat 40 وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ “Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” Surah At-Taghabun ayat 6 فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ “Mereka kufur, lalu berpaling, namun Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaniy” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“ Az-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, الغني في كلام العرب: الذي ليس بمحتاج إلى غيره “Al-Ghaniy dalam ucapan orang Arab, yaitu orang yang tidak membutuhkan orang lain.” [2] Dari sisi asal kata, “Al-Ghaniy” berasal dari kata “ghaniya” ( غَنِيَ ) yang memiliki dua akar makna utama: (1) menunjukkan kecukupan ( الْكِفَايَةِ ), dan (2) menunjukkan suara. Dikatakan, ‘Seseorang ghaniy jika ia mencukupi dirinya dengan kekayaannya.’ [3] Al-Fayyumiy rahimahullah mengatakan, “Ghana’ ( الْغَنَاءُ ) berarti ( الِاكْتِفَاءُ ) kecukupan.” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks Allah ِAbul Qasim Al-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, “Ghaniy dalam bahasa Arab berarti seseorang yang tidak membutuhkan orang lain. Begitu pula Allah, Dia tidak membutuhkan siapa pun, dan Mahasuci Dia dari segala kebutuhan, sebagaimana firman-Nya, إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ “Sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam.” (QS. Al-Ankabut: 6) Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) Allah tidak membutuhkan siapa pun dalam penciptaan-Nya dan apa yang Dia atur. Dia memberi, menyediakan rezeki, menetapkan takdir, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) [6] Kekayaan Allah yang sempurna Allah Mahakaya dengan Zat-Nya sendiri, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tidak mengandung kekurangan sedikit pun. Allah harus kaya karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki, Penyayang, dan Pemberi kebaikan. Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya dalam hal apa pun, sementara seluruh makhluk tidak bisa hidup tanpa bergantung kepada kebaikan, kasih sayang, dan pengaturan-Nya, bahkan sekejap mata pun. Pemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhluk Di antara tanda kekayaan-Nya yang sempurna adalah bahwa seluruh kekayaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Pemberian-Nya kepada makhluk-Nya terus mengalir, siang dan malam, dengan tangan-Nya yang senantiasa terbuka untuk memberi. Kekayaan-Nya juga terlihat dalam ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya setiap saat, dan Dia menjanjikan untuk mengabulkan. Dia memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan menjanjikan penerimaan dan ganjaran. Jika seluruh penduduk langit dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, berkumpul dalam satu tempat dan memohon segala sesuatu yang mereka inginkan, kemudian Dia memberi mereka semua permintaan mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya sedikit pun, sebagaimana jarum yang dicelupkan ke dalam laut tidak akan mengurangi air laut. Kekayaan khusus bagi hamba-Nya Kekayaan Allah yang agung, yang tidak dapat diukur, tampak dalam apa yang Dia siapkan bagi penduduk surga berupa kenikmatan yang terus menerus, berbagai bentuk penghormatan, dan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau terlintas di hati manusia. Allah mengayakan hamba-hamba pilihan-Nya dengan melimpahkan pengetahuan, pemahaman, dan hakikat keimanan ke dalam hati mereka, sehingga hati mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaniy” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi Dalam Tafsir As-Si’di disebutkan, فهو الغني بذاته، الذي له الغنى التام المطلق، من جميع الوجوه والاعتبارات لكماله، وكمال صفاته، فلا يتطرق إليها نقص بوجه من الوجوه، ولا يمكن أن يكون إلا غنيا، لأن غناه من لوازم ذاته، كما لا يكون إلا خالقا، قادرا، رازقا، محسنا “Allah adalah Yang Mahakaya dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada kekurangan yang dapat menyentuh-Nya, dan tidak mungkin bagi Allah selain menjadi Al-Ghaniy, karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti penciptaan, kekuasaan, pemberian rezeki, dan kemurahan-Nya.” Syekh As-Si’diy rahimahullah melanjutkan, “Dia tidak membutuhkan siapa pun dari segi apa pun. Dialah Al-Ghaniy, yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, serta perbendaharaan dunia dan akhirat. Dia memberi kekayaan kepada seluruh makhluk-Nya secara umum, dan khususnya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan ilmu dan iman yang Dia curahkan ke dalam hati mereka.” [8] Menyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hamba Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan sifat agung ini, maka ia akan mengenal dirinya. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekayaan mutlak, ia akan mengenal dirinya dengan kefakiran mutlak. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekuasaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kelemahan total. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kemuliaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kehinaan sempurna. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan ilmu dan hikmah sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kebodohan. Pengetahuan hamba tentang ketergantungannya kepada Allah, yang merupakan buah dari pengenalan ini adalah tanda kebahagiaan dan keberhasilannya di dunia dan akhirat.” [9] Secara lebih rinci, Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa fakir itu ada dua macam: Pertama: Fakir yang bersifat darurat, yaitu fakir yang mencakup semua manusia, baik orang saleh maupun orang fasik, dan tidak menuntut pujian atau celaan. Kedua: Fakir yang bersifat pilihan, yang muncul dari dua pengetahuan penting: pengetahuan hamba tentang Tuhannya, dan pengetahuan hamba tentang dirinya. Fakir inilah yang merupakan kekayaan sejati, kebahagiaan, dan keberhasilan. Mereka yang paling sempurna dalam hal ini adalah mereka yang paling banyak mengetahui kekurangan diri dan kekayaan Tuhan mereka. Semakin seorang hamba mengetahui kekuasaan Allah, semakin ia merasa fakir dan membutuhkan Allah. [10] Berdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Sebagai hamba yang sangat fakir, tentu kita sangat membutuhkan Allah Ta’ala. Di antaranya, kita bisa memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun. Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadis sahih dari Anas bin Malik, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah, ما يمنعك أن تسمعي ما أوصيك به، أن تقولي إذا أصبحت وإذا أمسيت: يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين. “Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang aku wasiatkan kepadamu? Ucapkanlah ketika pagi dan sore, ‘Ya Hayyu, Ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun.’” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 6: 147 dan Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 46.) Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an, Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy, Dar Fadhilah. Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah-Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi-Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 462; Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 211. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, karya Az-Zajjajiy, hal. 117. [3] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibnu Faris, 4: 397. [4] Al-Mishbah Al-Munir, hal. 461. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 117. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62. [7] Disarikan dari Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62-64. [8] Tafsir As-Si’diy, hal. 948. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 214. [10] Lihat Thariq Al-Hijratain, karya Ibnul Qayyim, hal. 13-14.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“Surah Al-Baqarah ayat 263Surah Al-An’am ayat 133Surah Ibrahim ayat 8Surah An-Naml ayat 40Surah At-Taghabun ayat 6Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks AllahKekayaan Allah yang sempurnaPemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhlukKekayaan khusus bagi hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segiMenyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hambaBerdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Mengenal Allah merupakan tujuan utama dari seluruh makhluk. Mengenal nama-nama Allah merupakan cara untuk memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tidak ada kehidupan bagi hati, kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, menyembah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasakan ketenangan dengan mengingat-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Salah satu nama-Nya yang agung adalah “Al-Ghaniy“, yang berarti Mahakaya. Nama ini menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah, yaitu “Al-Ghaniy” (الغني). Kami memohon kepada Allah Yang Mahakaya agar memberikan taufik kepada kita untuk memahami dan mengamalkan kandungannya. Dalil nama Allah “Al-Ghaniy“ Nama Allah “Al-Ghaniy” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan belas kali. [1] Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: Surah Al-Baqarah ayat 263 قول معْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.” Surah Al-An’am ayat 133 وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ “Dan Tuhanmu adalah Yang Mahakaya lagi mempunyai rahmat.” Surah Ibrahim ayat 8 إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Surah An-Naml ayat 40 وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ “Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” Surah At-Taghabun ayat 6 فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ “Mereka kufur, lalu berpaling, namun Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaniy“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaniy” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaniy“ Az-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, الغني في كلام العرب: الذي ليس بمحتاج إلى غيره “Al-Ghaniy dalam ucapan orang Arab, yaitu orang yang tidak membutuhkan orang lain.” [2] Dari sisi asal kata, “Al-Ghaniy” berasal dari kata “ghaniya” ( غَنِيَ ) yang memiliki dua akar makna utama: (1) menunjukkan kecukupan ( الْكِفَايَةِ ), dan (2) menunjukkan suara. Dikatakan, ‘Seseorang ghaniy jika ia mencukupi dirinya dengan kekayaannya.’ [3] Al-Fayyumiy rahimahullah mengatakan, “Ghana’ ( الْغَنَاءُ ) berarti ( الِاكْتِفَاءُ ) kecukupan.” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” Makna “Al-Ghaniy” dalam konteks Allah ِAbul Qasim Al-Zajjajiy rahimahullah mengatakan, “Ghaniy dalam bahasa Arab berarti seseorang yang tidak membutuhkan orang lain. Begitu pula Allah, Dia tidak membutuhkan siapa pun, dan Mahasuci Dia dari segala kebutuhan, sebagaimana firman-Nya, إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ “Sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam.” (QS. Al-Ankabut: 6) Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) Allah tidak membutuhkan siapa pun dalam penciptaan-Nya dan apa yang Dia atur. Dia memberi, menyediakan rezeki, menetapkan takdir, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15) [6] Kekayaan Allah yang sempurna Allah Mahakaya dengan Zat-Nya sendiri, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tidak mengandung kekurangan sedikit pun. Allah harus kaya karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki, Penyayang, dan Pemberi kebaikan. Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya dalam hal apa pun, sementara seluruh makhluk tidak bisa hidup tanpa bergantung kepada kebaikan, kasih sayang, dan pengaturan-Nya, bahkan sekejap mata pun. Pemberian yang terus mengalir kepada seluruh makhluk Di antara tanda kekayaan-Nya yang sempurna adalah bahwa seluruh kekayaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Pemberian-Nya kepada makhluk-Nya terus mengalir, siang dan malam, dengan tangan-Nya yang senantiasa terbuka untuk memberi. Kekayaan-Nya juga terlihat dalam ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya setiap saat, dan Dia menjanjikan untuk mengabulkan. Dia memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan menjanjikan penerimaan dan ganjaran. Jika seluruh penduduk langit dan bumi, dari yang pertama hingga yang terakhir, berkumpul dalam satu tempat dan memohon segala sesuatu yang mereka inginkan, kemudian Dia memberi mereka semua permintaan mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya sedikit pun, sebagaimana jarum yang dicelupkan ke dalam laut tidak akan mengurangi air laut. Kekayaan khusus bagi hamba-Nya Kekayaan Allah yang agung, yang tidak dapat diukur, tampak dalam apa yang Dia siapkan bagi penduduk surga berupa kenikmatan yang terus menerus, berbagai bentuk penghormatan, dan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, atau terlintas di hati manusia. Allah mengayakan hamba-hamba pilihan-Nya dengan melimpahkan pengetahuan, pemahaman, dan hakikat keimanan ke dalam hati mereka, sehingga hati mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaniy” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaniy” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghaniy (Mahakaya) dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi Dalam Tafsir As-Si’di disebutkan, فهو الغني بذاته، الذي له الغنى التام المطلق، من جميع الوجوه والاعتبارات لكماله، وكمال صفاته، فلا يتطرق إليها نقص بوجه من الوجوه، ولا يمكن أن يكون إلا غنيا، لأن غناه من لوازم ذاته، كما لا يكون إلا خالقا، قادرا، رازقا، محسنا “Allah adalah Yang Mahakaya dengan Zat-Nya, yang memiliki kekayaan sempurna dari segala segi dan sudut pandang karena kesempurnaan Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada kekurangan yang dapat menyentuh-Nya, dan tidak mungkin bagi Allah selain menjadi Al-Ghaniy, karena kekayaan adalah bagian dari Zat-Nya, sama seperti penciptaan, kekuasaan, pemberian rezeki, dan kemurahan-Nya.” Syekh As-Si’diy rahimahullah melanjutkan, “Dia tidak membutuhkan siapa pun dari segi apa pun. Dialah Al-Ghaniy, yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, serta perbendaharaan dunia dan akhirat. Dia memberi kekayaan kepada seluruh makhluk-Nya secara umum, dan khususnya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan ilmu dan iman yang Dia curahkan ke dalam hati mereka.” [8] Menyadari bahwa hamba sangat membutuhkan Allah, dan hal ini merupakan kekayaan serta kebahagiaan sejati bagi hamba Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan sifat agung ini, maka ia akan mengenal dirinya. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekayaan mutlak, ia akan mengenal dirinya dengan kefakiran mutlak. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kekuasaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kelemahan total. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan kemuliaan sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kehinaan sempurna. Barangsiapa mengenal Tuhannya dengan ilmu dan hikmah sempurna, ia akan mengenal dirinya dengan kebodohan. Pengetahuan hamba tentang ketergantungannya kepada Allah, yang merupakan buah dari pengenalan ini adalah tanda kebahagiaan dan keberhasilannya di dunia dan akhirat.” [9] Secara lebih rinci, Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa fakir itu ada dua macam: Pertama: Fakir yang bersifat darurat, yaitu fakir yang mencakup semua manusia, baik orang saleh maupun orang fasik, dan tidak menuntut pujian atau celaan. Kedua: Fakir yang bersifat pilihan, yang muncul dari dua pengetahuan penting: pengetahuan hamba tentang Tuhannya, dan pengetahuan hamba tentang dirinya. Fakir inilah yang merupakan kekayaan sejati, kebahagiaan, dan keberhasilan. Mereka yang paling sempurna dalam hal ini adalah mereka yang paling banyak mengetahui kekurangan diri dan kekayaan Tuhan mereka. Semakin seorang hamba mengetahui kekuasaan Allah, semakin ia merasa fakir dan membutuhkan Allah. [10] Berdoalah memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun Sebagai hamba yang sangat fakir, tentu kita sangat membutuhkan Allah Ta’ala. Di antaranya, kita bisa memohon pertolongan dan perbaikan segala urusan kepada Allah, serta agar tidak dibiarkan bergantung pada diri sendiri walau sekejap mata pun. Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadis sahih dari Anas bin Malik, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah, ما يمنعك أن تسمعي ما أوصيك به، أن تقولي إذا أصبحت وإذا أمسيت: يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين. “Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang aku wasiatkan kepadamu? Ucapkanlah ketika pagi dan sore, ‘Ya Hayyu, Ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun.’” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 6: 147 dan Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 46.) Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiulakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an, Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy, Dar Fadhilah. Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah-Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi-Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 462; Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 211. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, karya Az-Zajjajiy, hal. 117. [3] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibnu Faris, 4: 397. [4] Al-Mishbah Al-Munir, hal. 461. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 117. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62. [7] Disarikan dari Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam, hal. 62-64. [8] Tafsir As-Si’diy, hal. 948. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 214. [10] Lihat Thariq Al-Hijratain, karya Ibnul Qayyim, hal. 13-14.
Prev     Next