Hukum Syair dalam Islam

Daftar Isi Toggle Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syairDalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syairKompromi dalil yang seolah kontradiksiKesimpulan Syair merupakan karya sastra yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab. Di zaman Islam, pengaruh syair pun juga tidak lepas dari kehidupan kaum muslimin. Di zaman Nabi masih hidup, beliau pernah melarang dan mencela syair. Namun, beliau pun pada kesempatan lain tidak melarang syair, bahkan beliau pun pernah melantunkan syair. Kedua hal yang tampaknya bertentangan ini akan mudah dipahami apabila kita bisa menempatkan dalil-dalil yang ada sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Dengan memahami penjelasan masing-masing dalil, maka adanya dalil-dalil yang tampaknya saling bertentangan tersebut dapat dikompromikan dan digunakan sebagaimana mestinya. Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244 Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 244, وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.“ (QS. Asy-Syu’ara’: 244) Mengenai ayat ini, ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang kafir yang diikuti oleh golongan yang sesat dari manusia dan jin.” Demikian pula, yang dikatakan oleh Mujahid dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir) Syekh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di menjelaskan yang dimaksud  (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang sesat dari jalan petunjuk, yang menelusuri jalan menuju kesesatan dan kebinasaan. Para penyair sendiri adalah orang-orang yang sesat, dan Anda akan menemukan para pengikutnya adalah setiap orang sesat lagi celaka. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Manan) Imam Ath-Thabary menjelaskan mengenai ayat ini bahwa yang dimaksud adalah para penyair musyrikin. Para penyair musyrikin yang mengikutinya adalah orang-orang sesat dan setan, serta para jin yang durhaka. Oleh karena itu, Allah menyebutkan secara umum keadaan mereka dan tidak mengkhususkan mengenai kesesatan tertentu. Dengan demikian, maka seluruh golongan yang sesat tercakup dalam keumuman ayat ini. (Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Imam Al-Qurtuby menambahkan penjelasan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang berpaling dari jalan kebenaran. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an.) Sementara Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iriy menyatakan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang tersesat dari petunjuk dan memiliki hati dan niat yang rusak. (Aisarut Tafasir li Kalami Al-‘Aliy Al-Kabir) Namun, tidak semua yang mengikuti para penyair itu sesat. Dalam lanjutan ayat, Allah mengecualikan hal ini dalam firman-Nya, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247) Ada di antara sahabat Nabi yang merupakan penyair yang membela Islam dan membela Rasul serta membantah kejelekan musyrikin, seperti sahabat Hasan bin Sabit, ‘Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan sahabat yang lainnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wilit Tanziil Tafsir Asy-Syu’ara’ fi Sual wal Jawab karya Syekh Musthofa Al-‘Adawy) Imam Ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahaman bin Zaid  bahwa ada seseorang yang berkata kepada ayahku, “Wahai Abu Usamah, tidakkah engkau mengetahui firman Allah, وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ‘Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?’ (QS. Asy-Syu’ara’: 244-246)” Maka, bapakku berkata kepada orang tersebut, “Itu adalah syairnya orang musyrikin, bukan syairnya orang mukmin. Tidakkah Engkau mendengar Allah juga berfirman, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ ‘Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.’ (QS. Asy-Syu’ara’ 247)” Orang itu kemudian berkata, “Engkau telah membuatku lega dan tenang, wahai Abu Usamah. Semoga Allah memberikan ketenangan untukmu.“ (Lihat Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Kesimpulannya, celaan terhadap para penyair dan pengikutnya dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 224 adalah berlaku untuk kaum musyrikin. Dengan demikian, tidak semua syair tercela secara mutlak; karena dalam lanjutan ayat, Allah menyebutkan ada pengecualian, yaitu syairnya orang-orang mukmin. Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Bukhari no. 6155) Dalam hadis di atas, terdapat celaan terhadap syair. Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisikan hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Hajar rahimahulah menjelaskan kandungan hadis di atas bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras terhadap syair dalam hadis ini karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk syair. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al-Bukhari) Sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadis, عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ Dari Amru Bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Baca juga: Melagukan Al Quran dengan Langgam Jawa, Bolehkah? Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair Terdapat pula beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair. Di antaranya adalah hadis dalam riwayat Muslim. Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata, “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis As-Shalthi?‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lantunkanlah!’ Maka, aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian bersabda, ‘Teruskanlah!’ Maka, aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau bersabda hal yang sama, ‘Teruskanlah!’ Hingga aku melantunkan seratus bait syair.” (HR. Muslim no. 2255) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه “Maksud hadis di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan banyak membacanya karena di dalamnya terdapat penetapan tentang ketauhidan dan hari kebangkitan. Maka, di sini menunjukkan bolehnya membacakan syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh dan mendengarkannya. Hal ini berlaku baik itu merupakan syair jahiliah atau selainnya. Yang tercela dari syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh adalah terlalu berlebihan, di mana hal ini merupakan kebanyakan keadaan manusia. Adapun syair yang sedikit, maka tidak mengapa melantunkan, mendengarkan, dan menghafalnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewati Hassan yang tengah bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya (sebagai bentuk pengingkaran). Maka, Hassan berkata, قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan di dalamnya ada seorang yang lebih utama darimu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485) Syekh Abdullah Al-Fauzan menjelaskan bahwa hadis ini sebagai dalil bolehnya bersyair di dalam masjid jika syair itu sifatnya mubah. Jika syair itu untuk membela sunah Nabi, maka hal ini termasuk disyariatkan. Jika syair itu berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat, maka boleh dilantunkan di masjid. Bahkan, keadaan ini berpahala bagi yang mengucapkan dan membacanya. Adapun hadis yang melarang bersyair di masjid adalah jika syair itu berisi kebatilan. Seperti yang terdapat dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Namun demikian, jangan sampai jemaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin yang berlebihan karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid. (Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughi Al-Maram) Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair. عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً Dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, sahih) Kompromi dalil yang seolah kontradiksi Pada dasarnya, bersyair diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis di atas. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini diperlukan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam atau menumbuhkan semangat jihad. Seperti gambaran pada zaman dahulu ketika perang dimulai, akan diawali dengan pembacaan syair sebagai wujud untuk menumbuhkan semangat para mujahidin. Namun, jika dilakukan secara berlebihan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi, maka hal itu adalah tercela. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam menyimpulkan bahwa para ulama mengkompromikan antara dua jenis hadis yang tampaknya bertentangan bahwasanya bersyair di dalam masjid apabila berisi perkataan yang jelek, maka ini adalah kebatilan. Adapun jika berisi pembelaan terhadap agama Allah dan bantahan terhadap kebatilan dengan ucapan yang benar, syair yang mengandung hikmah dan nasihat, maka yang demikian ini tidak terlarang. Syair tidak ubahnya seperti ucapan; jika berisi kejelekan, maka menjadi syair yang jelek. Dan jika berisi kebaikan, maka menjadi syair yang baik. (Taudihul Ahkam min Bulughi Al-Maram) Ketika ditanya tentang hukum syair, Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan bahwasanya dalam hal ini perlu perincian, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Apa yang baik itu baik, dan apa yang jelek itu jelek.” Syair yang mendukung kebenaran, dan membinasakan kebatilan dan para pelaku kebatilan, maka ini  wajib, ini sah, dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Malik, dan para penyair lainnya yang berada pada zamannya. Namun, jika syairnya mengecam kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini murni kekejian dan tidak diperbolehkan. Syair pun berbeda-beda menurut tujuan dan keinginan pengarangnya. Jika ia menginginkan kebenaran dan kebaikan, dan makna syairnya menunjukkan hal itu, maka tidak ada yang salah dengan hal itu, dan ini termasuk bagian menyerukan kebaikan dan kebenaran. Namun, jika syairnya menyerukan kebatilan dan kerusakan, maka ini menjadi tercela dan harus dilarang. Kesimpulan Terdapat dalil-dalil yang melarang untuk melantunkan syair dan terdapat pula dalil-dalil yang membolehkannya. Hal ini sekilas tampak kontradiktif dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, hal ini sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Para ulama sudah menjelaskan dan menjabarkan perincian dari hukum syair ditinjau dari konten yang ada dalam syair tersebut. Ada konten-konten syair yang terlarang, sehingga Islam melarang untuk melantunkan dan memperdengarkannya. Adapun apabila konten syair tidak melanggar syariat, maka ini dibolehkan dan tidak terlarang dalam Islam. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijabarkan di atas, disimpulkan bahwa pada asalnya hukum melantunkan dan memperdengarkan syair adalah perkara yang mubah dalam Islam. Namun, hal ini bisa menjadi terlarang apabila syair itu mengandung kejelekan, keharaman, dan menyerukan kebatilan serta kerusakan. Selain itu, melantunkan syair bisa menjadi perbuatan yang terlarang apabila dalam melantunkan syair tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat diri kita jadi lalai dari Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Baca juga: Hukum Mendengarkan Nyanyian Tanpa Musik *** Penulis: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id Tags: sya'ir

Hukum Syair dalam Islam

Daftar Isi Toggle Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syairDalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syairKompromi dalil yang seolah kontradiksiKesimpulan Syair merupakan karya sastra yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab. Di zaman Islam, pengaruh syair pun juga tidak lepas dari kehidupan kaum muslimin. Di zaman Nabi masih hidup, beliau pernah melarang dan mencela syair. Namun, beliau pun pada kesempatan lain tidak melarang syair, bahkan beliau pun pernah melantunkan syair. Kedua hal yang tampaknya bertentangan ini akan mudah dipahami apabila kita bisa menempatkan dalil-dalil yang ada sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Dengan memahami penjelasan masing-masing dalil, maka adanya dalil-dalil yang tampaknya saling bertentangan tersebut dapat dikompromikan dan digunakan sebagaimana mestinya. Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244 Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 244, وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.“ (QS. Asy-Syu’ara’: 244) Mengenai ayat ini, ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang kafir yang diikuti oleh golongan yang sesat dari manusia dan jin.” Demikian pula, yang dikatakan oleh Mujahid dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir) Syekh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di menjelaskan yang dimaksud  (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang sesat dari jalan petunjuk, yang menelusuri jalan menuju kesesatan dan kebinasaan. Para penyair sendiri adalah orang-orang yang sesat, dan Anda akan menemukan para pengikutnya adalah setiap orang sesat lagi celaka. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Manan) Imam Ath-Thabary menjelaskan mengenai ayat ini bahwa yang dimaksud adalah para penyair musyrikin. Para penyair musyrikin yang mengikutinya adalah orang-orang sesat dan setan, serta para jin yang durhaka. Oleh karena itu, Allah menyebutkan secara umum keadaan mereka dan tidak mengkhususkan mengenai kesesatan tertentu. Dengan demikian, maka seluruh golongan yang sesat tercakup dalam keumuman ayat ini. (Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Imam Al-Qurtuby menambahkan penjelasan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang berpaling dari jalan kebenaran. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an.) Sementara Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iriy menyatakan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang tersesat dari petunjuk dan memiliki hati dan niat yang rusak. (Aisarut Tafasir li Kalami Al-‘Aliy Al-Kabir) Namun, tidak semua yang mengikuti para penyair itu sesat. Dalam lanjutan ayat, Allah mengecualikan hal ini dalam firman-Nya, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247) Ada di antara sahabat Nabi yang merupakan penyair yang membela Islam dan membela Rasul serta membantah kejelekan musyrikin, seperti sahabat Hasan bin Sabit, ‘Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan sahabat yang lainnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wilit Tanziil Tafsir Asy-Syu’ara’ fi Sual wal Jawab karya Syekh Musthofa Al-‘Adawy) Imam Ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahaman bin Zaid  bahwa ada seseorang yang berkata kepada ayahku, “Wahai Abu Usamah, tidakkah engkau mengetahui firman Allah, وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ‘Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?’ (QS. Asy-Syu’ara’: 244-246)” Maka, bapakku berkata kepada orang tersebut, “Itu adalah syairnya orang musyrikin, bukan syairnya orang mukmin. Tidakkah Engkau mendengar Allah juga berfirman, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ ‘Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.’ (QS. Asy-Syu’ara’ 247)” Orang itu kemudian berkata, “Engkau telah membuatku lega dan tenang, wahai Abu Usamah. Semoga Allah memberikan ketenangan untukmu.“ (Lihat Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Kesimpulannya, celaan terhadap para penyair dan pengikutnya dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 224 adalah berlaku untuk kaum musyrikin. Dengan demikian, tidak semua syair tercela secara mutlak; karena dalam lanjutan ayat, Allah menyebutkan ada pengecualian, yaitu syairnya orang-orang mukmin. Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Bukhari no. 6155) Dalam hadis di atas, terdapat celaan terhadap syair. Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisikan hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Hajar rahimahulah menjelaskan kandungan hadis di atas bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras terhadap syair dalam hadis ini karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk syair. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al-Bukhari) Sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadis, عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ Dari Amru Bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Baca juga: Melagukan Al Quran dengan Langgam Jawa, Bolehkah? Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair Terdapat pula beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair. Di antaranya adalah hadis dalam riwayat Muslim. Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata, “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis As-Shalthi?‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lantunkanlah!’ Maka, aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian bersabda, ‘Teruskanlah!’ Maka, aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau bersabda hal yang sama, ‘Teruskanlah!’ Hingga aku melantunkan seratus bait syair.” (HR. Muslim no. 2255) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه “Maksud hadis di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan banyak membacanya karena di dalamnya terdapat penetapan tentang ketauhidan dan hari kebangkitan. Maka, di sini menunjukkan bolehnya membacakan syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh dan mendengarkannya. Hal ini berlaku baik itu merupakan syair jahiliah atau selainnya. Yang tercela dari syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh adalah terlalu berlebihan, di mana hal ini merupakan kebanyakan keadaan manusia. Adapun syair yang sedikit, maka tidak mengapa melantunkan, mendengarkan, dan menghafalnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewati Hassan yang tengah bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya (sebagai bentuk pengingkaran). Maka, Hassan berkata, قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan di dalamnya ada seorang yang lebih utama darimu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485) Syekh Abdullah Al-Fauzan menjelaskan bahwa hadis ini sebagai dalil bolehnya bersyair di dalam masjid jika syair itu sifatnya mubah. Jika syair itu untuk membela sunah Nabi, maka hal ini termasuk disyariatkan. Jika syair itu berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat, maka boleh dilantunkan di masjid. Bahkan, keadaan ini berpahala bagi yang mengucapkan dan membacanya. Adapun hadis yang melarang bersyair di masjid adalah jika syair itu berisi kebatilan. Seperti yang terdapat dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Namun demikian, jangan sampai jemaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin yang berlebihan karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid. (Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughi Al-Maram) Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair. عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً Dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, sahih) Kompromi dalil yang seolah kontradiksi Pada dasarnya, bersyair diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis di atas. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini diperlukan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam atau menumbuhkan semangat jihad. Seperti gambaran pada zaman dahulu ketika perang dimulai, akan diawali dengan pembacaan syair sebagai wujud untuk menumbuhkan semangat para mujahidin. Namun, jika dilakukan secara berlebihan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi, maka hal itu adalah tercela. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam menyimpulkan bahwa para ulama mengkompromikan antara dua jenis hadis yang tampaknya bertentangan bahwasanya bersyair di dalam masjid apabila berisi perkataan yang jelek, maka ini adalah kebatilan. Adapun jika berisi pembelaan terhadap agama Allah dan bantahan terhadap kebatilan dengan ucapan yang benar, syair yang mengandung hikmah dan nasihat, maka yang demikian ini tidak terlarang. Syair tidak ubahnya seperti ucapan; jika berisi kejelekan, maka menjadi syair yang jelek. Dan jika berisi kebaikan, maka menjadi syair yang baik. (Taudihul Ahkam min Bulughi Al-Maram) Ketika ditanya tentang hukum syair, Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan bahwasanya dalam hal ini perlu perincian, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Apa yang baik itu baik, dan apa yang jelek itu jelek.” Syair yang mendukung kebenaran, dan membinasakan kebatilan dan para pelaku kebatilan, maka ini  wajib, ini sah, dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Malik, dan para penyair lainnya yang berada pada zamannya. Namun, jika syairnya mengecam kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini murni kekejian dan tidak diperbolehkan. Syair pun berbeda-beda menurut tujuan dan keinginan pengarangnya. Jika ia menginginkan kebenaran dan kebaikan, dan makna syairnya menunjukkan hal itu, maka tidak ada yang salah dengan hal itu, dan ini termasuk bagian menyerukan kebaikan dan kebenaran. Namun, jika syairnya menyerukan kebatilan dan kerusakan, maka ini menjadi tercela dan harus dilarang. Kesimpulan Terdapat dalil-dalil yang melarang untuk melantunkan syair dan terdapat pula dalil-dalil yang membolehkannya. Hal ini sekilas tampak kontradiktif dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, hal ini sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Para ulama sudah menjelaskan dan menjabarkan perincian dari hukum syair ditinjau dari konten yang ada dalam syair tersebut. Ada konten-konten syair yang terlarang, sehingga Islam melarang untuk melantunkan dan memperdengarkannya. Adapun apabila konten syair tidak melanggar syariat, maka ini dibolehkan dan tidak terlarang dalam Islam. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijabarkan di atas, disimpulkan bahwa pada asalnya hukum melantunkan dan memperdengarkan syair adalah perkara yang mubah dalam Islam. Namun, hal ini bisa menjadi terlarang apabila syair itu mengandung kejelekan, keharaman, dan menyerukan kebatilan serta kerusakan. Selain itu, melantunkan syair bisa menjadi perbuatan yang terlarang apabila dalam melantunkan syair tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat diri kita jadi lalai dari Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Baca juga: Hukum Mendengarkan Nyanyian Tanpa Musik *** Penulis: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id Tags: sya'ir
Daftar Isi Toggle Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syairDalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syairKompromi dalil yang seolah kontradiksiKesimpulan Syair merupakan karya sastra yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab. Di zaman Islam, pengaruh syair pun juga tidak lepas dari kehidupan kaum muslimin. Di zaman Nabi masih hidup, beliau pernah melarang dan mencela syair. Namun, beliau pun pada kesempatan lain tidak melarang syair, bahkan beliau pun pernah melantunkan syair. Kedua hal yang tampaknya bertentangan ini akan mudah dipahami apabila kita bisa menempatkan dalil-dalil yang ada sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Dengan memahami penjelasan masing-masing dalil, maka adanya dalil-dalil yang tampaknya saling bertentangan tersebut dapat dikompromikan dan digunakan sebagaimana mestinya. Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244 Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 244, وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.“ (QS. Asy-Syu’ara’: 244) Mengenai ayat ini, ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang kafir yang diikuti oleh golongan yang sesat dari manusia dan jin.” Demikian pula, yang dikatakan oleh Mujahid dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir) Syekh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di menjelaskan yang dimaksud  (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang sesat dari jalan petunjuk, yang menelusuri jalan menuju kesesatan dan kebinasaan. Para penyair sendiri adalah orang-orang yang sesat, dan Anda akan menemukan para pengikutnya adalah setiap orang sesat lagi celaka. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Manan) Imam Ath-Thabary menjelaskan mengenai ayat ini bahwa yang dimaksud adalah para penyair musyrikin. Para penyair musyrikin yang mengikutinya adalah orang-orang sesat dan setan, serta para jin yang durhaka. Oleh karena itu, Allah menyebutkan secara umum keadaan mereka dan tidak mengkhususkan mengenai kesesatan tertentu. Dengan demikian, maka seluruh golongan yang sesat tercakup dalam keumuman ayat ini. (Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Imam Al-Qurtuby menambahkan penjelasan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang berpaling dari jalan kebenaran. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an.) Sementara Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iriy menyatakan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang tersesat dari petunjuk dan memiliki hati dan niat yang rusak. (Aisarut Tafasir li Kalami Al-‘Aliy Al-Kabir) Namun, tidak semua yang mengikuti para penyair itu sesat. Dalam lanjutan ayat, Allah mengecualikan hal ini dalam firman-Nya, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247) Ada di antara sahabat Nabi yang merupakan penyair yang membela Islam dan membela Rasul serta membantah kejelekan musyrikin, seperti sahabat Hasan bin Sabit, ‘Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan sahabat yang lainnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wilit Tanziil Tafsir Asy-Syu’ara’ fi Sual wal Jawab karya Syekh Musthofa Al-‘Adawy) Imam Ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahaman bin Zaid  bahwa ada seseorang yang berkata kepada ayahku, “Wahai Abu Usamah, tidakkah engkau mengetahui firman Allah, وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ‘Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?’ (QS. Asy-Syu’ara’: 244-246)” Maka, bapakku berkata kepada orang tersebut, “Itu adalah syairnya orang musyrikin, bukan syairnya orang mukmin. Tidakkah Engkau mendengar Allah juga berfirman, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ ‘Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.’ (QS. Asy-Syu’ara’ 247)” Orang itu kemudian berkata, “Engkau telah membuatku lega dan tenang, wahai Abu Usamah. Semoga Allah memberikan ketenangan untukmu.“ (Lihat Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Kesimpulannya, celaan terhadap para penyair dan pengikutnya dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 224 adalah berlaku untuk kaum musyrikin. Dengan demikian, tidak semua syair tercela secara mutlak; karena dalam lanjutan ayat, Allah menyebutkan ada pengecualian, yaitu syairnya orang-orang mukmin. Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Bukhari no. 6155) Dalam hadis di atas, terdapat celaan terhadap syair. Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisikan hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Hajar rahimahulah menjelaskan kandungan hadis di atas bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras terhadap syair dalam hadis ini karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk syair. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al-Bukhari) Sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadis, عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ Dari Amru Bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Baca juga: Melagukan Al Quran dengan Langgam Jawa, Bolehkah? Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair Terdapat pula beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair. Di antaranya adalah hadis dalam riwayat Muslim. Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata, “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis As-Shalthi?‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lantunkanlah!’ Maka, aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian bersabda, ‘Teruskanlah!’ Maka, aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau bersabda hal yang sama, ‘Teruskanlah!’ Hingga aku melantunkan seratus bait syair.” (HR. Muslim no. 2255) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه “Maksud hadis di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan banyak membacanya karena di dalamnya terdapat penetapan tentang ketauhidan dan hari kebangkitan. Maka, di sini menunjukkan bolehnya membacakan syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh dan mendengarkannya. Hal ini berlaku baik itu merupakan syair jahiliah atau selainnya. Yang tercela dari syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh adalah terlalu berlebihan, di mana hal ini merupakan kebanyakan keadaan manusia. Adapun syair yang sedikit, maka tidak mengapa melantunkan, mendengarkan, dan menghafalnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewati Hassan yang tengah bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya (sebagai bentuk pengingkaran). Maka, Hassan berkata, قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan di dalamnya ada seorang yang lebih utama darimu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485) Syekh Abdullah Al-Fauzan menjelaskan bahwa hadis ini sebagai dalil bolehnya bersyair di dalam masjid jika syair itu sifatnya mubah. Jika syair itu untuk membela sunah Nabi, maka hal ini termasuk disyariatkan. Jika syair itu berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat, maka boleh dilantunkan di masjid. Bahkan, keadaan ini berpahala bagi yang mengucapkan dan membacanya. Adapun hadis yang melarang bersyair di masjid adalah jika syair itu berisi kebatilan. Seperti yang terdapat dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Namun demikian, jangan sampai jemaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin yang berlebihan karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid. (Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughi Al-Maram) Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair. عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً Dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, sahih) Kompromi dalil yang seolah kontradiksi Pada dasarnya, bersyair diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis di atas. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini diperlukan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam atau menumbuhkan semangat jihad. Seperti gambaran pada zaman dahulu ketika perang dimulai, akan diawali dengan pembacaan syair sebagai wujud untuk menumbuhkan semangat para mujahidin. Namun, jika dilakukan secara berlebihan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi, maka hal itu adalah tercela. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam menyimpulkan bahwa para ulama mengkompromikan antara dua jenis hadis yang tampaknya bertentangan bahwasanya bersyair di dalam masjid apabila berisi perkataan yang jelek, maka ini adalah kebatilan. Adapun jika berisi pembelaan terhadap agama Allah dan bantahan terhadap kebatilan dengan ucapan yang benar, syair yang mengandung hikmah dan nasihat, maka yang demikian ini tidak terlarang. Syair tidak ubahnya seperti ucapan; jika berisi kejelekan, maka menjadi syair yang jelek. Dan jika berisi kebaikan, maka menjadi syair yang baik. (Taudihul Ahkam min Bulughi Al-Maram) Ketika ditanya tentang hukum syair, Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan bahwasanya dalam hal ini perlu perincian, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Apa yang baik itu baik, dan apa yang jelek itu jelek.” Syair yang mendukung kebenaran, dan membinasakan kebatilan dan para pelaku kebatilan, maka ini  wajib, ini sah, dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Malik, dan para penyair lainnya yang berada pada zamannya. Namun, jika syairnya mengecam kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini murni kekejian dan tidak diperbolehkan. Syair pun berbeda-beda menurut tujuan dan keinginan pengarangnya. Jika ia menginginkan kebenaran dan kebaikan, dan makna syairnya menunjukkan hal itu, maka tidak ada yang salah dengan hal itu, dan ini termasuk bagian menyerukan kebaikan dan kebenaran. Namun, jika syairnya menyerukan kebatilan dan kerusakan, maka ini menjadi tercela dan harus dilarang. Kesimpulan Terdapat dalil-dalil yang melarang untuk melantunkan syair dan terdapat pula dalil-dalil yang membolehkannya. Hal ini sekilas tampak kontradiktif dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, hal ini sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Para ulama sudah menjelaskan dan menjabarkan perincian dari hukum syair ditinjau dari konten yang ada dalam syair tersebut. Ada konten-konten syair yang terlarang, sehingga Islam melarang untuk melantunkan dan memperdengarkannya. Adapun apabila konten syair tidak melanggar syariat, maka ini dibolehkan dan tidak terlarang dalam Islam. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijabarkan di atas, disimpulkan bahwa pada asalnya hukum melantunkan dan memperdengarkan syair adalah perkara yang mubah dalam Islam. Namun, hal ini bisa menjadi terlarang apabila syair itu mengandung kejelekan, keharaman, dan menyerukan kebatilan serta kerusakan. Selain itu, melantunkan syair bisa menjadi perbuatan yang terlarang apabila dalam melantunkan syair tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat diri kita jadi lalai dari Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Baca juga: Hukum Mendengarkan Nyanyian Tanpa Musik *** Penulis: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id Tags: sya'ir


Daftar Isi Toggle Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syairDalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syairKompromi dalil yang seolah kontradiksiKesimpulan Syair merupakan karya sastra yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab. Di zaman Islam, pengaruh syair pun juga tidak lepas dari kehidupan kaum muslimin. Di zaman Nabi masih hidup, beliau pernah melarang dan mencela syair. Namun, beliau pun pada kesempatan lain tidak melarang syair, bahkan beliau pun pernah melantunkan syair. Kedua hal yang tampaknya bertentangan ini akan mudah dipahami apabila kita bisa menempatkan dalil-dalil yang ada sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Dengan memahami penjelasan masing-masing dalil, maka adanya dalil-dalil yang tampaknya saling bertentangan tersebut dapat dikompromikan dan digunakan sebagaimana mestinya. Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244 Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 244, وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.“ (QS. Asy-Syu’ara’: 244) Mengenai ayat ini, ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang kafir yang diikuti oleh golongan yang sesat dari manusia dan jin.” Demikian pula, yang dikatakan oleh Mujahid dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir) Syekh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di menjelaskan yang dimaksud  (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang sesat dari jalan petunjuk, yang menelusuri jalan menuju kesesatan dan kebinasaan. Para penyair sendiri adalah orang-orang yang sesat, dan Anda akan menemukan para pengikutnya adalah setiap orang sesat lagi celaka. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Manan) Imam Ath-Thabary menjelaskan mengenai ayat ini bahwa yang dimaksud adalah para penyair musyrikin. Para penyair musyrikin yang mengikutinya adalah orang-orang sesat dan setan, serta para jin yang durhaka. Oleh karena itu, Allah menyebutkan secara umum keadaan mereka dan tidak mengkhususkan mengenai kesesatan tertentu. Dengan demikian, maka seluruh golongan yang sesat tercakup dalam keumuman ayat ini. (Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Imam Al-Qurtuby menambahkan penjelasan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang berpaling dari jalan kebenaran. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an.) Sementara Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iriy menyatakan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang tersesat dari petunjuk dan memiliki hati dan niat yang rusak. (Aisarut Tafasir li Kalami Al-‘Aliy Al-Kabir) Namun, tidak semua yang mengikuti para penyair itu sesat. Dalam lanjutan ayat, Allah mengecualikan hal ini dalam firman-Nya, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247) Ada di antara sahabat Nabi yang merupakan penyair yang membela Islam dan membela Rasul serta membantah kejelekan musyrikin, seperti sahabat Hasan bin Sabit, ‘Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan sahabat yang lainnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wilit Tanziil Tafsir Asy-Syu’ara’ fi Sual wal Jawab karya Syekh Musthofa Al-‘Adawy) Imam Ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahaman bin Zaid  bahwa ada seseorang yang berkata kepada ayahku, “Wahai Abu Usamah, tidakkah engkau mengetahui firman Allah, وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ‘Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?’ (QS. Asy-Syu’ara’: 244-246)” Maka, bapakku berkata kepada orang tersebut, “Itu adalah syairnya orang musyrikin, bukan syairnya orang mukmin. Tidakkah Engkau mendengar Allah juga berfirman, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ ‘Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.’ (QS. Asy-Syu’ara’ 247)” Orang itu kemudian berkata, “Engkau telah membuatku lega dan tenang, wahai Abu Usamah. Semoga Allah memberikan ketenangan untukmu.“ (Lihat Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an) Kesimpulannya, celaan terhadap para penyair dan pengikutnya dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 224 adalah berlaku untuk kaum musyrikin. Dengan demikian, tidak semua syair tercela secara mutlak; karena dalam lanjutan ayat, Allah menyebutkan ada pengecualian, yaitu syairnya orang-orang mukmin. Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Bukhari no. 6155) Dalam hadis di atas, terdapat celaan terhadap syair. Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisikan hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Hajar rahimahulah menjelaskan kandungan hadis di atas bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras terhadap syair dalam hadis ini karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk syair. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al-Bukhari) Sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadis, عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ Dari Amru Bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Baca juga: Melagukan Al Quran dengan Langgam Jawa, Bolehkah? Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair Terdapat pula beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair. Di antaranya adalah hadis dalam riwayat Muslim. Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata, “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis As-Shalthi?‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lantunkanlah!’ Maka, aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian bersabda, ‘Teruskanlah!’ Maka, aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau bersabda hal yang sama, ‘Teruskanlah!’ Hingga aku melantunkan seratus bait syair.” (HR. Muslim no. 2255) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه “Maksud hadis di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan banyak membacanya karena di dalamnya terdapat penetapan tentang ketauhidan dan hari kebangkitan. Maka, di sini menunjukkan bolehnya membacakan syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh dan mendengarkannya. Hal ini berlaku baik itu merupakan syair jahiliah atau selainnya. Yang tercela dari syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh adalah terlalu berlebihan, di mana hal ini merupakan kebanyakan keadaan manusia. Adapun syair yang sedikit, maka tidak mengapa melantunkan, mendengarkan, dan menghafalnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewati Hassan yang tengah bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya (sebagai bentuk pengingkaran). Maka, Hassan berkata, قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan di dalamnya ada seorang yang lebih utama darimu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485) Syekh Abdullah Al-Fauzan menjelaskan bahwa hadis ini sebagai dalil bolehnya bersyair di dalam masjid jika syair itu sifatnya mubah. Jika syair itu untuk membela sunah Nabi, maka hal ini termasuk disyariatkan. Jika syair itu berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat, maka boleh dilantunkan di masjid. Bahkan, keadaan ini berpahala bagi yang mengucapkan dan membacanya. Adapun hadis yang melarang bersyair di masjid adalah jika syair itu berisi kebatilan. Seperti yang terdapat dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan) Namun demikian, jangan sampai jemaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin yang berlebihan karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid. (Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughi Al-Maram) Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair. عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً Dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, sahih) Kompromi dalil yang seolah kontradiksi Pada dasarnya, bersyair diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis di atas. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini diperlukan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam atau menumbuhkan semangat jihad. Seperti gambaran pada zaman dahulu ketika perang dimulai, akan diawali dengan pembacaan syair sebagai wujud untuk menumbuhkan semangat para mujahidin. Namun, jika dilakukan secara berlebihan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi, maka hal itu adalah tercela. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam menyimpulkan bahwa para ulama mengkompromikan antara dua jenis hadis yang tampaknya bertentangan bahwasanya bersyair di dalam masjid apabila berisi perkataan yang jelek, maka ini adalah kebatilan. Adapun jika berisi pembelaan terhadap agama Allah dan bantahan terhadap kebatilan dengan ucapan yang benar, syair yang mengandung hikmah dan nasihat, maka yang demikian ini tidak terlarang. Syair tidak ubahnya seperti ucapan; jika berisi kejelekan, maka menjadi syair yang jelek. Dan jika berisi kebaikan, maka menjadi syair yang baik. (Taudihul Ahkam min Bulughi Al-Maram) Ketika ditanya tentang hukum syair, Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan bahwasanya dalam hal ini perlu perincian, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Apa yang baik itu baik, dan apa yang jelek itu jelek.” Syair yang mendukung kebenaran, dan membinasakan kebatilan dan para pelaku kebatilan, maka ini  wajib, ini sah, dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Malik, dan para penyair lainnya yang berada pada zamannya. Namun, jika syairnya mengecam kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini murni kekejian dan tidak diperbolehkan. Syair pun berbeda-beda menurut tujuan dan keinginan pengarangnya. Jika ia menginginkan kebenaran dan kebaikan, dan makna syairnya menunjukkan hal itu, maka tidak ada yang salah dengan hal itu, dan ini termasuk bagian menyerukan kebaikan dan kebenaran. Namun, jika syairnya menyerukan kebatilan dan kerusakan, maka ini menjadi tercela dan harus dilarang. Kesimpulan Terdapat dalil-dalil yang melarang untuk melantunkan syair dan terdapat pula dalil-dalil yang membolehkannya. Hal ini sekilas tampak kontradiktif dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, hal ini sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Para ulama sudah menjelaskan dan menjabarkan perincian dari hukum syair ditinjau dari konten yang ada dalam syair tersebut. Ada konten-konten syair yang terlarang, sehingga Islam melarang untuk melantunkan dan memperdengarkannya. Adapun apabila konten syair tidak melanggar syariat, maka ini dibolehkan dan tidak terlarang dalam Islam. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijabarkan di atas, disimpulkan bahwa pada asalnya hukum melantunkan dan memperdengarkan syair adalah perkara yang mubah dalam Islam. Namun, hal ini bisa menjadi terlarang apabila syair itu mengandung kejelekan, keharaman, dan menyerukan kebatilan serta kerusakan. Selain itu, melantunkan syair bisa menjadi perbuatan yang terlarang apabila dalam melantunkan syair tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat diri kita jadi lalai dari Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Baca juga: Hukum Mendengarkan Nyanyian Tanpa Musik *** Penulis: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id Tags: sya'ir

“Al-Qur’an Journaling”

Daftar Isi Toggle Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada AllahMenyusun rencanaMenyiapkan sarana dan prasarana pendukungAmalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Saudaraku, seberapa sering engkau berinteraksi dengan Al-Qur’an? Sebuah kitab suci yang mulia. Terkandung di dalamnya kalamullah. Ayat-ayat yang langsung bersumber dari Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta, Maha Mengatur seluruh makhluk-Nya. Rabb yang telah menetapkan takdir kehidupan dunia dan akhirat kita. As-Shamad yang semestinya kita menggantungkan segala urusan kepada ketetapan-Nya. Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita panduan hidup yang fundamental baik secara duniawi maupun ukhrawi. Selayaknya, panduan ini menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari ingatan dan fokus kita setiap waktu. Adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Kita membutuhkan kitab suci ini. Karenanya, kita butuh berinteraksi dengannya setiap hari. Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah melakukan interaksi dengan Al-Qur’an? Ada beberapa metode dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di antaranya adalah dengan membacanya, memahami maknanya, belajar membacanya, mengkaji tafsirnya, menghafalnya, serta yang paling utama adalah mengamalkan kandungan isinya sesuai dengan metode penafsiran yang mengacu pada pemahaman salaf saleh. Mungkin, di antara kita ada yang menjadikan tidak adanya kajian Al-Qur’an terdekat yang dapat dihadiri, tidak adanya asatidz, atau terbatasnya ilmu, bahkan ketersediaan waktu, sebagai alasan untuk tidak mentadaburinya. Atau, ada pula mungkin di antara kita yang hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja dan mencoba untuk menghafalnya sedikit demi sedikit. Hal demikian adalah baik dan insyaallah tetap mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Namun, bagaimana jika kita melakukan tadabur Al-Qur’an setiap hari melalui suatu cara yang mudah dan dapat dilakukan secara konsisten? Ya, cara mudah tersebut adalah dengan membuat catatan harian atau dengan bahasa populernya “Al-Qur’an Journaling”. عن أبي عبد الرحمن السُّلمي قال: حدثنا مَن كان يُقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل. Dari Abi Abdurrahman As-Sulami, beliau berkata, “Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, menceritakan bahwa mereka biasa membaca sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak melanjutkan sepuluh ayat berikutnya sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kemudian kami belajar ilmu dan amal dari ayat-ayat tersebut.’” (HR. Ahmad) Journaling Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan beberapa hal berikut: memantapkan niat, menyusun rencana, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukannya dengan konsisten, dan mengevaluasi secara konsisten. Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada Allah Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya semua amalan itu terjadi (tergantung) dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907) Ikhlaskanlah niat dalam melakukan tadabur Al-Qur’an ini semata-mata untuk memperoleh keridaan dari Allah Ta’ala. Karena melakukan amalan ibadah dengan niat selain itu adalah tertolak dan –na’udzubillah– dapat terjerumus pada kesyirikan, disebabkan menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara peribadatan. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan), kecuali neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Hud: 15-16) Hal yang menjadi sangat penting juga adalah berdoa memohon kemudahan kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah berupa kemampuan dalam mencerna isi kandungan Al-Qur’an, mengikuti petunjuk dan metode salaf saleh dalam memahaminya, serta mendapatkan keistikamahan untuk menjadikan tadabur Al-Qur’an ini sebagai habit setiap hari (amalan yaumi). Karena, betapa banyak orang yang telah mengerti, bahkan tafsir dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi masih enggan untuk mentadaburi dan mengamalkannya. Mereka paham bahasa Al-Qur’an, namun masih memprioritaskan perkara duniawi daripada mempelajari Al-Qur’an secara konsisten, baik karena merasa telah cukup ilmunya atau bahkan karena Allah Ta’ala telah menutup hatinya, meskipun mereka memiliki ilmu tentang Al-Qur’an  –wal’iyadzubillah-. Oleh karenanya, menyadari bahwa kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan amalan saleh ini adalah karunia Allah Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberikan kemantapan hati, keikhlasan niat, serta kemudahan dan kekuatan untuk melakukan tadabur Al-Qur’an. Menyusun rencana Sebagaimana kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdahulu, dalam mempelajari dan mengamalkan setiap hari minimal 10 ayat Al-Qur’an. Maka, kita pun sebaiknya menargetkan hal serupa, yaitu membaca dan memahami minimal 10 ayat setiap harinya. Namun, sebagai permulaan, kita bisa menetapkan minimal 1 ayat setiap hari untuk dibaca, dipahami, dicatat, dan diamalkan. Kita dapat memulainya dengan merencanakan tadabur Al-Qur’an untuk satu bulan pertama, yaitu 1 hari, 1 ayat. Artinya, dalam satu bulan ada 30 ayat yang kita targetkan untuk kita baca, pahami, catat, dan amalkan kandungannya. Apabila sampai pada ayat-ayat tentang perintah dan larangan Allah, kita langsung dapat mencatat dan meniatkan untuk segera mengamalkannya. Namun, jika ayat-ayat yang sedang kita tadaburi berisi kisah-kisah, kita dapat melanjutkan tadabur hingga bertemu dengan ayat-ayat yang mengandung perintah dan larangan Allah Ta’ala. Baca juga: Di antara Istilah yang Perlu Diketahui dalam Belajar Tafsir Al-Qur’an Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Selanjutnya, kita pun dapat menyiapkan satu tempat untuk tadabur Al-Qur’an ini di rumah, masjid, atau tempat-tempat syar’i, di mana kita dapat berkonsentrasi dalam mentadaburi Al-Qur’an. Hal yang penting untuk kita siapkan adalah mushaf, kitab tafsir, buku catatan, dan pena. Khusus untuk kitab tafsir, apabila kita belum memilikinya, kita dapat memanfaatkan media yang ada. Kami merekomendasikan app Al-Qur’an Tadabur yang diasuh oleh Al-Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah yang dapat diakses di play store secara gratis. Pada aplikasi tersebut, telah tertera 4 (empat) sumber kitab tafsir, seperti: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Tafsir At-Taisir, dan Tafsir Al-Muyassar. Insya Allah, penjelasannya cukup mudah dipahami. Catatlah setiap ayat-ayat yang dirasa perlu untuk ditadaburi lebih dalam, baca terjemahannya, dan telusuri tafsirnya. Pahami, lalu tambahkan catatan dengan tafsir yang telah dipahami. Amalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa apabila kita berjumpa dengan ayat-ayat perintah dan larangan, maka segeralah mempersiapkan diri untuk melaksanakan (perintah) dan menjauhinya (larangan). Renungkan maknanya secara mendalam dan jangan hanya mencukupkan diri dengan pemahaman sendiri dalam melaksanakan perintah dan larangan tersebut. Namun, bacalah tafsirnya, telusuri hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Misalnya, kita sampai pada ayat terkait perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, yatim piatu, dan orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah, وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83) Kita dapat memahami ayat ini dari konteks prioritas dalam berbuat baik, yaitu: pertama adalah kepada kedua orang tua, kemudian kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam memahami makna ‘kerabat’, mungkin kita butuh penjelasan lebih rinci, siapa ‘kerabat’ yang dimaksudkan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Maka, kita kemudian dapat menelusuri lebih jauh dalam tafsir dan hadis-hadis sahih sehingga kita menemukan bahwa kerabat yang dimaksud adalah saudara-saudara kandung/seayah/seibu, paman dan bibi dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya. Maka, dengan metode demikian, insya Allah wawasan kita terhadap Al-Qur’an akan bertambah dan pemahaman kita dapat menjadi lebih dalam. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hati, pikiran, dan fisik kita terdorong untuk segera melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Terakhir, jangan lupa untuk mencatat proses yang telah dijalani dan rencana tadabur ayat-ayat selanjutnya. Kita dapat menetapkan setiap akhir pekan, misalnya, kita kembali membuka catatan-catatan kita, lembar demi lembar, untuk mengevaluasi kekurangan dan untuk menyiapkan penyempurnaan catatan selanjutnya. Saudaraku, catatan harian Al-Qur’an atau Al-Qur’an Journaling ini adalah bagian dari ikhtiar kita dalam rangka mentadaburi Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar kita dapat lebih istikamah selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Allahumma amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: tadabur al-qur'an

“Al-Qur’an Journaling”

Daftar Isi Toggle Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada AllahMenyusun rencanaMenyiapkan sarana dan prasarana pendukungAmalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Saudaraku, seberapa sering engkau berinteraksi dengan Al-Qur’an? Sebuah kitab suci yang mulia. Terkandung di dalamnya kalamullah. Ayat-ayat yang langsung bersumber dari Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta, Maha Mengatur seluruh makhluk-Nya. Rabb yang telah menetapkan takdir kehidupan dunia dan akhirat kita. As-Shamad yang semestinya kita menggantungkan segala urusan kepada ketetapan-Nya. Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita panduan hidup yang fundamental baik secara duniawi maupun ukhrawi. Selayaknya, panduan ini menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari ingatan dan fokus kita setiap waktu. Adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Kita membutuhkan kitab suci ini. Karenanya, kita butuh berinteraksi dengannya setiap hari. Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah melakukan interaksi dengan Al-Qur’an? Ada beberapa metode dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di antaranya adalah dengan membacanya, memahami maknanya, belajar membacanya, mengkaji tafsirnya, menghafalnya, serta yang paling utama adalah mengamalkan kandungan isinya sesuai dengan metode penafsiran yang mengacu pada pemahaman salaf saleh. Mungkin, di antara kita ada yang menjadikan tidak adanya kajian Al-Qur’an terdekat yang dapat dihadiri, tidak adanya asatidz, atau terbatasnya ilmu, bahkan ketersediaan waktu, sebagai alasan untuk tidak mentadaburinya. Atau, ada pula mungkin di antara kita yang hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja dan mencoba untuk menghafalnya sedikit demi sedikit. Hal demikian adalah baik dan insyaallah tetap mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Namun, bagaimana jika kita melakukan tadabur Al-Qur’an setiap hari melalui suatu cara yang mudah dan dapat dilakukan secara konsisten? Ya, cara mudah tersebut adalah dengan membuat catatan harian atau dengan bahasa populernya “Al-Qur’an Journaling”. عن أبي عبد الرحمن السُّلمي قال: حدثنا مَن كان يُقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل. Dari Abi Abdurrahman As-Sulami, beliau berkata, “Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, menceritakan bahwa mereka biasa membaca sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak melanjutkan sepuluh ayat berikutnya sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kemudian kami belajar ilmu dan amal dari ayat-ayat tersebut.’” (HR. Ahmad) Journaling Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan beberapa hal berikut: memantapkan niat, menyusun rencana, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukannya dengan konsisten, dan mengevaluasi secara konsisten. Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada Allah Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya semua amalan itu terjadi (tergantung) dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907) Ikhlaskanlah niat dalam melakukan tadabur Al-Qur’an ini semata-mata untuk memperoleh keridaan dari Allah Ta’ala. Karena melakukan amalan ibadah dengan niat selain itu adalah tertolak dan –na’udzubillah– dapat terjerumus pada kesyirikan, disebabkan menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara peribadatan. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan), kecuali neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Hud: 15-16) Hal yang menjadi sangat penting juga adalah berdoa memohon kemudahan kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah berupa kemampuan dalam mencerna isi kandungan Al-Qur’an, mengikuti petunjuk dan metode salaf saleh dalam memahaminya, serta mendapatkan keistikamahan untuk menjadikan tadabur Al-Qur’an ini sebagai habit setiap hari (amalan yaumi). Karena, betapa banyak orang yang telah mengerti, bahkan tafsir dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi masih enggan untuk mentadaburi dan mengamalkannya. Mereka paham bahasa Al-Qur’an, namun masih memprioritaskan perkara duniawi daripada mempelajari Al-Qur’an secara konsisten, baik karena merasa telah cukup ilmunya atau bahkan karena Allah Ta’ala telah menutup hatinya, meskipun mereka memiliki ilmu tentang Al-Qur’an  –wal’iyadzubillah-. Oleh karenanya, menyadari bahwa kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan amalan saleh ini adalah karunia Allah Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberikan kemantapan hati, keikhlasan niat, serta kemudahan dan kekuatan untuk melakukan tadabur Al-Qur’an. Menyusun rencana Sebagaimana kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdahulu, dalam mempelajari dan mengamalkan setiap hari minimal 10 ayat Al-Qur’an. Maka, kita pun sebaiknya menargetkan hal serupa, yaitu membaca dan memahami minimal 10 ayat setiap harinya. Namun, sebagai permulaan, kita bisa menetapkan minimal 1 ayat setiap hari untuk dibaca, dipahami, dicatat, dan diamalkan. Kita dapat memulainya dengan merencanakan tadabur Al-Qur’an untuk satu bulan pertama, yaitu 1 hari, 1 ayat. Artinya, dalam satu bulan ada 30 ayat yang kita targetkan untuk kita baca, pahami, catat, dan amalkan kandungannya. Apabila sampai pada ayat-ayat tentang perintah dan larangan Allah, kita langsung dapat mencatat dan meniatkan untuk segera mengamalkannya. Namun, jika ayat-ayat yang sedang kita tadaburi berisi kisah-kisah, kita dapat melanjutkan tadabur hingga bertemu dengan ayat-ayat yang mengandung perintah dan larangan Allah Ta’ala. Baca juga: Di antara Istilah yang Perlu Diketahui dalam Belajar Tafsir Al-Qur’an Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Selanjutnya, kita pun dapat menyiapkan satu tempat untuk tadabur Al-Qur’an ini di rumah, masjid, atau tempat-tempat syar’i, di mana kita dapat berkonsentrasi dalam mentadaburi Al-Qur’an. Hal yang penting untuk kita siapkan adalah mushaf, kitab tafsir, buku catatan, dan pena. Khusus untuk kitab tafsir, apabila kita belum memilikinya, kita dapat memanfaatkan media yang ada. Kami merekomendasikan app Al-Qur’an Tadabur yang diasuh oleh Al-Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah yang dapat diakses di play store secara gratis. Pada aplikasi tersebut, telah tertera 4 (empat) sumber kitab tafsir, seperti: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Tafsir At-Taisir, dan Tafsir Al-Muyassar. Insya Allah, penjelasannya cukup mudah dipahami. Catatlah setiap ayat-ayat yang dirasa perlu untuk ditadaburi lebih dalam, baca terjemahannya, dan telusuri tafsirnya. Pahami, lalu tambahkan catatan dengan tafsir yang telah dipahami. Amalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa apabila kita berjumpa dengan ayat-ayat perintah dan larangan, maka segeralah mempersiapkan diri untuk melaksanakan (perintah) dan menjauhinya (larangan). Renungkan maknanya secara mendalam dan jangan hanya mencukupkan diri dengan pemahaman sendiri dalam melaksanakan perintah dan larangan tersebut. Namun, bacalah tafsirnya, telusuri hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Misalnya, kita sampai pada ayat terkait perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, yatim piatu, dan orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah, وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83) Kita dapat memahami ayat ini dari konteks prioritas dalam berbuat baik, yaitu: pertama adalah kepada kedua orang tua, kemudian kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam memahami makna ‘kerabat’, mungkin kita butuh penjelasan lebih rinci, siapa ‘kerabat’ yang dimaksudkan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Maka, kita kemudian dapat menelusuri lebih jauh dalam tafsir dan hadis-hadis sahih sehingga kita menemukan bahwa kerabat yang dimaksud adalah saudara-saudara kandung/seayah/seibu, paman dan bibi dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya. Maka, dengan metode demikian, insya Allah wawasan kita terhadap Al-Qur’an akan bertambah dan pemahaman kita dapat menjadi lebih dalam. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hati, pikiran, dan fisik kita terdorong untuk segera melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Terakhir, jangan lupa untuk mencatat proses yang telah dijalani dan rencana tadabur ayat-ayat selanjutnya. Kita dapat menetapkan setiap akhir pekan, misalnya, kita kembali membuka catatan-catatan kita, lembar demi lembar, untuk mengevaluasi kekurangan dan untuk menyiapkan penyempurnaan catatan selanjutnya. Saudaraku, catatan harian Al-Qur’an atau Al-Qur’an Journaling ini adalah bagian dari ikhtiar kita dalam rangka mentadaburi Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar kita dapat lebih istikamah selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Allahumma amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: tadabur al-qur'an
Daftar Isi Toggle Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada AllahMenyusun rencanaMenyiapkan sarana dan prasarana pendukungAmalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Saudaraku, seberapa sering engkau berinteraksi dengan Al-Qur’an? Sebuah kitab suci yang mulia. Terkandung di dalamnya kalamullah. Ayat-ayat yang langsung bersumber dari Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta, Maha Mengatur seluruh makhluk-Nya. Rabb yang telah menetapkan takdir kehidupan dunia dan akhirat kita. As-Shamad yang semestinya kita menggantungkan segala urusan kepada ketetapan-Nya. Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita panduan hidup yang fundamental baik secara duniawi maupun ukhrawi. Selayaknya, panduan ini menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari ingatan dan fokus kita setiap waktu. Adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Kita membutuhkan kitab suci ini. Karenanya, kita butuh berinteraksi dengannya setiap hari. Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah melakukan interaksi dengan Al-Qur’an? Ada beberapa metode dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di antaranya adalah dengan membacanya, memahami maknanya, belajar membacanya, mengkaji tafsirnya, menghafalnya, serta yang paling utama adalah mengamalkan kandungan isinya sesuai dengan metode penafsiran yang mengacu pada pemahaman salaf saleh. Mungkin, di antara kita ada yang menjadikan tidak adanya kajian Al-Qur’an terdekat yang dapat dihadiri, tidak adanya asatidz, atau terbatasnya ilmu, bahkan ketersediaan waktu, sebagai alasan untuk tidak mentadaburinya. Atau, ada pula mungkin di antara kita yang hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja dan mencoba untuk menghafalnya sedikit demi sedikit. Hal demikian adalah baik dan insyaallah tetap mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Namun, bagaimana jika kita melakukan tadabur Al-Qur’an setiap hari melalui suatu cara yang mudah dan dapat dilakukan secara konsisten? Ya, cara mudah tersebut adalah dengan membuat catatan harian atau dengan bahasa populernya “Al-Qur’an Journaling”. عن أبي عبد الرحمن السُّلمي قال: حدثنا مَن كان يُقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل. Dari Abi Abdurrahman As-Sulami, beliau berkata, “Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, menceritakan bahwa mereka biasa membaca sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak melanjutkan sepuluh ayat berikutnya sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kemudian kami belajar ilmu dan amal dari ayat-ayat tersebut.’” (HR. Ahmad) Journaling Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan beberapa hal berikut: memantapkan niat, menyusun rencana, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukannya dengan konsisten, dan mengevaluasi secara konsisten. Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada Allah Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya semua amalan itu terjadi (tergantung) dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907) Ikhlaskanlah niat dalam melakukan tadabur Al-Qur’an ini semata-mata untuk memperoleh keridaan dari Allah Ta’ala. Karena melakukan amalan ibadah dengan niat selain itu adalah tertolak dan –na’udzubillah– dapat terjerumus pada kesyirikan, disebabkan menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara peribadatan. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan), kecuali neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Hud: 15-16) Hal yang menjadi sangat penting juga adalah berdoa memohon kemudahan kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah berupa kemampuan dalam mencerna isi kandungan Al-Qur’an, mengikuti petunjuk dan metode salaf saleh dalam memahaminya, serta mendapatkan keistikamahan untuk menjadikan tadabur Al-Qur’an ini sebagai habit setiap hari (amalan yaumi). Karena, betapa banyak orang yang telah mengerti, bahkan tafsir dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi masih enggan untuk mentadaburi dan mengamalkannya. Mereka paham bahasa Al-Qur’an, namun masih memprioritaskan perkara duniawi daripada mempelajari Al-Qur’an secara konsisten, baik karena merasa telah cukup ilmunya atau bahkan karena Allah Ta’ala telah menutup hatinya, meskipun mereka memiliki ilmu tentang Al-Qur’an  –wal’iyadzubillah-. Oleh karenanya, menyadari bahwa kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan amalan saleh ini adalah karunia Allah Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberikan kemantapan hati, keikhlasan niat, serta kemudahan dan kekuatan untuk melakukan tadabur Al-Qur’an. Menyusun rencana Sebagaimana kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdahulu, dalam mempelajari dan mengamalkan setiap hari minimal 10 ayat Al-Qur’an. Maka, kita pun sebaiknya menargetkan hal serupa, yaitu membaca dan memahami minimal 10 ayat setiap harinya. Namun, sebagai permulaan, kita bisa menetapkan minimal 1 ayat setiap hari untuk dibaca, dipahami, dicatat, dan diamalkan. Kita dapat memulainya dengan merencanakan tadabur Al-Qur’an untuk satu bulan pertama, yaitu 1 hari, 1 ayat. Artinya, dalam satu bulan ada 30 ayat yang kita targetkan untuk kita baca, pahami, catat, dan amalkan kandungannya. Apabila sampai pada ayat-ayat tentang perintah dan larangan Allah, kita langsung dapat mencatat dan meniatkan untuk segera mengamalkannya. Namun, jika ayat-ayat yang sedang kita tadaburi berisi kisah-kisah, kita dapat melanjutkan tadabur hingga bertemu dengan ayat-ayat yang mengandung perintah dan larangan Allah Ta’ala. Baca juga: Di antara Istilah yang Perlu Diketahui dalam Belajar Tafsir Al-Qur’an Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Selanjutnya, kita pun dapat menyiapkan satu tempat untuk tadabur Al-Qur’an ini di rumah, masjid, atau tempat-tempat syar’i, di mana kita dapat berkonsentrasi dalam mentadaburi Al-Qur’an. Hal yang penting untuk kita siapkan adalah mushaf, kitab tafsir, buku catatan, dan pena. Khusus untuk kitab tafsir, apabila kita belum memilikinya, kita dapat memanfaatkan media yang ada. Kami merekomendasikan app Al-Qur’an Tadabur yang diasuh oleh Al-Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah yang dapat diakses di play store secara gratis. Pada aplikasi tersebut, telah tertera 4 (empat) sumber kitab tafsir, seperti: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Tafsir At-Taisir, dan Tafsir Al-Muyassar. Insya Allah, penjelasannya cukup mudah dipahami. Catatlah setiap ayat-ayat yang dirasa perlu untuk ditadaburi lebih dalam, baca terjemahannya, dan telusuri tafsirnya. Pahami, lalu tambahkan catatan dengan tafsir yang telah dipahami. Amalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa apabila kita berjumpa dengan ayat-ayat perintah dan larangan, maka segeralah mempersiapkan diri untuk melaksanakan (perintah) dan menjauhinya (larangan). Renungkan maknanya secara mendalam dan jangan hanya mencukupkan diri dengan pemahaman sendiri dalam melaksanakan perintah dan larangan tersebut. Namun, bacalah tafsirnya, telusuri hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Misalnya, kita sampai pada ayat terkait perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, yatim piatu, dan orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah, وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83) Kita dapat memahami ayat ini dari konteks prioritas dalam berbuat baik, yaitu: pertama adalah kepada kedua orang tua, kemudian kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam memahami makna ‘kerabat’, mungkin kita butuh penjelasan lebih rinci, siapa ‘kerabat’ yang dimaksudkan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Maka, kita kemudian dapat menelusuri lebih jauh dalam tafsir dan hadis-hadis sahih sehingga kita menemukan bahwa kerabat yang dimaksud adalah saudara-saudara kandung/seayah/seibu, paman dan bibi dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya. Maka, dengan metode demikian, insya Allah wawasan kita terhadap Al-Qur’an akan bertambah dan pemahaman kita dapat menjadi lebih dalam. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hati, pikiran, dan fisik kita terdorong untuk segera melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Terakhir, jangan lupa untuk mencatat proses yang telah dijalani dan rencana tadabur ayat-ayat selanjutnya. Kita dapat menetapkan setiap akhir pekan, misalnya, kita kembali membuka catatan-catatan kita, lembar demi lembar, untuk mengevaluasi kekurangan dan untuk menyiapkan penyempurnaan catatan selanjutnya. Saudaraku, catatan harian Al-Qur’an atau Al-Qur’an Journaling ini adalah bagian dari ikhtiar kita dalam rangka mentadaburi Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar kita dapat lebih istikamah selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Allahumma amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: tadabur al-qur'an


Daftar Isi Toggle Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada AllahMenyusun rencanaMenyiapkan sarana dan prasarana pendukungAmalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Saudaraku, seberapa sering engkau berinteraksi dengan Al-Qur’an? Sebuah kitab suci yang mulia. Terkandung di dalamnya kalamullah. Ayat-ayat yang langsung bersumber dari Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta, Maha Mengatur seluruh makhluk-Nya. Rabb yang telah menetapkan takdir kehidupan dunia dan akhirat kita. As-Shamad yang semestinya kita menggantungkan segala urusan kepada ketetapan-Nya. Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita panduan hidup yang fundamental baik secara duniawi maupun ukhrawi. Selayaknya, panduan ini menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari ingatan dan fokus kita setiap waktu. Adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Kita membutuhkan kitab suci ini. Karenanya, kita butuh berinteraksi dengannya setiap hari. Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah melakukan interaksi dengan Al-Qur’an? Ada beberapa metode dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di antaranya adalah dengan membacanya, memahami maknanya, belajar membacanya, mengkaji tafsirnya, menghafalnya, serta yang paling utama adalah mengamalkan kandungan isinya sesuai dengan metode penafsiran yang mengacu pada pemahaman salaf saleh. Mungkin, di antara kita ada yang menjadikan tidak adanya kajian Al-Qur’an terdekat yang dapat dihadiri, tidak adanya asatidz, atau terbatasnya ilmu, bahkan ketersediaan waktu, sebagai alasan untuk tidak mentadaburinya. Atau, ada pula mungkin di antara kita yang hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja dan mencoba untuk menghafalnya sedikit demi sedikit. Hal demikian adalah baik dan insyaallah tetap mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Namun, bagaimana jika kita melakukan tadabur Al-Qur’an setiap hari melalui suatu cara yang mudah dan dapat dilakukan secara konsisten? Ya, cara mudah tersebut adalah dengan membuat catatan harian atau dengan bahasa populernya “Al-Qur’an Journaling”. عن أبي عبد الرحمن السُّلمي قال: حدثنا مَن كان يُقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل. Dari Abi Abdurrahman As-Sulami, beliau berkata, “Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, menceritakan bahwa mereka biasa membaca sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak melanjutkan sepuluh ayat berikutnya sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kemudian kami belajar ilmu dan amal dari ayat-ayat tersebut.’” (HR. Ahmad) Journaling Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan beberapa hal berikut: memantapkan niat, menyusun rencana, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukannya dengan konsisten, dan mengevaluasi secara konsisten. Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada Allah Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya semua amalan itu terjadi (tergantung) dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907) Ikhlaskanlah niat dalam melakukan tadabur Al-Qur’an ini semata-mata untuk memperoleh keridaan dari Allah Ta’ala. Karena melakukan amalan ibadah dengan niat selain itu adalah tertolak dan –na’udzubillah– dapat terjerumus pada kesyirikan, disebabkan menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara peribadatan. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan), kecuali neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Hud: 15-16) Hal yang menjadi sangat penting juga adalah berdoa memohon kemudahan kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah berupa kemampuan dalam mencerna isi kandungan Al-Qur’an, mengikuti petunjuk dan metode salaf saleh dalam memahaminya, serta mendapatkan keistikamahan untuk menjadikan tadabur Al-Qur’an ini sebagai habit setiap hari (amalan yaumi). Karena, betapa banyak orang yang telah mengerti, bahkan tafsir dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi masih enggan untuk mentadaburi dan mengamalkannya. Mereka paham bahasa Al-Qur’an, namun masih memprioritaskan perkara duniawi daripada mempelajari Al-Qur’an secara konsisten, baik karena merasa telah cukup ilmunya atau bahkan karena Allah Ta’ala telah menutup hatinya, meskipun mereka memiliki ilmu tentang Al-Qur’an  –wal’iyadzubillah-. Oleh karenanya, menyadari bahwa kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan amalan saleh ini adalah karunia Allah Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberikan kemantapan hati, keikhlasan niat, serta kemudahan dan kekuatan untuk melakukan tadabur Al-Qur’an. Menyusun rencana Sebagaimana kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdahulu, dalam mempelajari dan mengamalkan setiap hari minimal 10 ayat Al-Qur’an. Maka, kita pun sebaiknya menargetkan hal serupa, yaitu membaca dan memahami minimal 10 ayat setiap harinya. Namun, sebagai permulaan, kita bisa menetapkan minimal 1 ayat setiap hari untuk dibaca, dipahami, dicatat, dan diamalkan. Kita dapat memulainya dengan merencanakan tadabur Al-Qur’an untuk satu bulan pertama, yaitu 1 hari, 1 ayat. Artinya, dalam satu bulan ada 30 ayat yang kita targetkan untuk kita baca, pahami, catat, dan amalkan kandungannya. Apabila sampai pada ayat-ayat tentang perintah dan larangan Allah, kita langsung dapat mencatat dan meniatkan untuk segera mengamalkannya. Namun, jika ayat-ayat yang sedang kita tadaburi berisi kisah-kisah, kita dapat melanjutkan tadabur hingga bertemu dengan ayat-ayat yang mengandung perintah dan larangan Allah Ta’ala. Baca juga: Di antara Istilah yang Perlu Diketahui dalam Belajar Tafsir Al-Qur’an Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Selanjutnya, kita pun dapat menyiapkan satu tempat untuk tadabur Al-Qur’an ini di rumah, masjid, atau tempat-tempat syar’i, di mana kita dapat berkonsentrasi dalam mentadaburi Al-Qur’an. Hal yang penting untuk kita siapkan adalah mushaf, kitab tafsir, buku catatan, dan pena. Khusus untuk kitab tafsir, apabila kita belum memilikinya, kita dapat memanfaatkan media yang ada. Kami merekomendasikan app Al-Qur’an Tadabur yang diasuh oleh Al-Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah yang dapat diakses di play store secara gratis. Pada aplikasi tersebut, telah tertera 4 (empat) sumber kitab tafsir, seperti: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Tafsir At-Taisir, dan Tafsir Al-Muyassar. Insya Allah, penjelasannya cukup mudah dipahami. Catatlah setiap ayat-ayat yang dirasa perlu untuk ditadaburi lebih dalam, baca terjemahannya, dan telusuri tafsirnya. Pahami, lalu tambahkan catatan dengan tafsir yang telah dipahami. Amalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa apabila kita berjumpa dengan ayat-ayat perintah dan larangan, maka segeralah mempersiapkan diri untuk melaksanakan (perintah) dan menjauhinya (larangan). Renungkan maknanya secara mendalam dan jangan hanya mencukupkan diri dengan pemahaman sendiri dalam melaksanakan perintah dan larangan tersebut. Namun, bacalah tafsirnya, telusuri hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Misalnya, kita sampai pada ayat terkait perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, yatim piatu, dan orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah, وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83) Kita dapat memahami ayat ini dari konteks prioritas dalam berbuat baik, yaitu: pertama adalah kepada kedua orang tua, kemudian kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam memahami makna ‘kerabat’, mungkin kita butuh penjelasan lebih rinci, siapa ‘kerabat’ yang dimaksudkan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Maka, kita kemudian dapat menelusuri lebih jauh dalam tafsir dan hadis-hadis sahih sehingga kita menemukan bahwa kerabat yang dimaksud adalah saudara-saudara kandung/seayah/seibu, paman dan bibi dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya. Maka, dengan metode demikian, insya Allah wawasan kita terhadap Al-Qur’an akan bertambah dan pemahaman kita dapat menjadi lebih dalam. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hati, pikiran, dan fisik kita terdorong untuk segera melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Terakhir, jangan lupa untuk mencatat proses yang telah dijalani dan rencana tadabur ayat-ayat selanjutnya. Kita dapat menetapkan setiap akhir pekan, misalnya, kita kembali membuka catatan-catatan kita, lembar demi lembar, untuk mengevaluasi kekurangan dan untuk menyiapkan penyempurnaan catatan selanjutnya. Saudaraku, catatan harian Al-Qur’an atau Al-Qur’an Journaling ini adalah bagian dari ikhtiar kita dalam rangka mentadaburi Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar kita dapat lebih istikamah selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Allahumma amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: tadabur al-qur'an

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2023

Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.355 video dengan total 4,6 juta subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 811 juta penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.175 video Total Subscribers: 3.941.736  Total Tayangan Video: 667.181.640 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Desember: 136 video Tayangan Video Bulan Desember: 3.801.632 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 317.058 jam Penambahan Subscribers: +14.158 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.246 video Total Subscribers: 298.500 Total Tayangan Video: 20.724.763 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Desember: 22 video Tayangan Video Bulan Desember: 108.025 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 6.559 jam Penambahan Subscribers : +1.016 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 84 video Total Subscribers: 406.073 Total Tayangan Video: 123.164.993 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember: 1 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.519.876 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 132.073 jam Penambahan Subscribers : +5.237 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video : 272 Total Subscribers : 4.593 Total Tayangan Video: 452.621 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 3 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.000 views Jam Tayang Video Bulan Desember: 444 Jam Penambahan Subscribers : +34 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video : 584 Total Subscribers : 47.200 Total Tayangan Video: 2.578.569 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 7 video Tayangan Video Bulan Desember: 62.150 views Penambahan Subscribers Perbulan : +1000 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten : 3.678 Total Pengikut : 1.148.099 Rata-Rata Produksi : 48 Konten/bulan Penambahan Follower : +8.565 Instagram Yufid Network Total Konten : 3.586 Total Pengikut : 501.185 Rata-Rata Produksi : 47 Konten/bulan Penambahan Follower : +3.505 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.973 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 12 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.080 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 392 audio dan rata-rata menghasilkan 20 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.237 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.484 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.041 file mp3 dengan total ukuran 379 Gb dan pada bulan Desember 2023 ini telah mempublikasikan 275 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2023 ini saja telah didengarkan 30.762 kali dan telah di download sebanyak 871 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.167.605 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.279 kata.  Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, project terjemahan ini telah memproduksi 61.931 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.418 artikel dengan total durasi audio 206 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 28 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2023. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Keutamaan Anak Perempuan, Roh Menurut Islam, Gambar Taperwer, Qurban Sapi Untuk Berapa Orang, Ml Sama Wanita Hamil, Cerita Yajuj Dan Majuj Visited 1 times, 1 visit(s) today Post Views: 213 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2023

Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.355 video dengan total 4,6 juta subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 811 juta penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.175 video Total Subscribers: 3.941.736  Total Tayangan Video: 667.181.640 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Desember: 136 video Tayangan Video Bulan Desember: 3.801.632 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 317.058 jam Penambahan Subscribers: +14.158 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.246 video Total Subscribers: 298.500 Total Tayangan Video: 20.724.763 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Desember: 22 video Tayangan Video Bulan Desember: 108.025 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 6.559 jam Penambahan Subscribers : +1.016 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 84 video Total Subscribers: 406.073 Total Tayangan Video: 123.164.993 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember: 1 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.519.876 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 132.073 jam Penambahan Subscribers : +5.237 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video : 272 Total Subscribers : 4.593 Total Tayangan Video: 452.621 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 3 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.000 views Jam Tayang Video Bulan Desember: 444 Jam Penambahan Subscribers : +34 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video : 584 Total Subscribers : 47.200 Total Tayangan Video: 2.578.569 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 7 video Tayangan Video Bulan Desember: 62.150 views Penambahan Subscribers Perbulan : +1000 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten : 3.678 Total Pengikut : 1.148.099 Rata-Rata Produksi : 48 Konten/bulan Penambahan Follower : +8.565 Instagram Yufid Network Total Konten : 3.586 Total Pengikut : 501.185 Rata-Rata Produksi : 47 Konten/bulan Penambahan Follower : +3.505 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.973 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 12 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.080 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 392 audio dan rata-rata menghasilkan 20 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.237 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.484 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.041 file mp3 dengan total ukuran 379 Gb dan pada bulan Desember 2023 ini telah mempublikasikan 275 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2023 ini saja telah didengarkan 30.762 kali dan telah di download sebanyak 871 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.167.605 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.279 kata.  Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, project terjemahan ini telah memproduksi 61.931 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.418 artikel dengan total durasi audio 206 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 28 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2023. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Keutamaan Anak Perempuan, Roh Menurut Islam, Gambar Taperwer, Qurban Sapi Untuk Berapa Orang, Ml Sama Wanita Hamil, Cerita Yajuj Dan Majuj Visited 1 times, 1 visit(s) today Post Views: 213 QRIS donasi Yufid
Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.355 video dengan total 4,6 juta subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 811 juta penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.175 video Total Subscribers: 3.941.736  Total Tayangan Video: 667.181.640 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Desember: 136 video Tayangan Video Bulan Desember: 3.801.632 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 317.058 jam Penambahan Subscribers: +14.158 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.246 video Total Subscribers: 298.500 Total Tayangan Video: 20.724.763 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Desember: 22 video Tayangan Video Bulan Desember: 108.025 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 6.559 jam Penambahan Subscribers : +1.016 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 84 video Total Subscribers: 406.073 Total Tayangan Video: 123.164.993 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember: 1 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.519.876 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 132.073 jam Penambahan Subscribers : +5.237 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video : 272 Total Subscribers : 4.593 Total Tayangan Video: 452.621 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 3 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.000 views Jam Tayang Video Bulan Desember: 444 Jam Penambahan Subscribers : +34 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video : 584 Total Subscribers : 47.200 Total Tayangan Video: 2.578.569 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 7 video Tayangan Video Bulan Desember: 62.150 views Penambahan Subscribers Perbulan : +1000 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten : 3.678 Total Pengikut : 1.148.099 Rata-Rata Produksi : 48 Konten/bulan Penambahan Follower : +8.565 Instagram Yufid Network Total Konten : 3.586 Total Pengikut : 501.185 Rata-Rata Produksi : 47 Konten/bulan Penambahan Follower : +3.505 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.973 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 12 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.080 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 392 audio dan rata-rata menghasilkan 20 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.237 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.484 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.041 file mp3 dengan total ukuran 379 Gb dan pada bulan Desember 2023 ini telah mempublikasikan 275 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2023 ini saja telah didengarkan 30.762 kali dan telah di download sebanyak 871 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.167.605 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.279 kata.  Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, project terjemahan ini telah memproduksi 61.931 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.418 artikel dengan total durasi audio 206 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 28 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2023. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Keutamaan Anak Perempuan, Roh Menurut Islam, Gambar Taperwer, Qurban Sapi Untuk Berapa Orang, Ml Sama Wanita Hamil, Cerita Yajuj Dan Majuj Visited 1 times, 1 visit(s) today Post Views: 213 QRIS donasi Yufid


Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.355 video dengan total 4,6 juta subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 811 juta penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image.png" alt="" class="wp-image-308"/> Total Video Yufid.TV: 17.175 video Total Subscribers: 3.941.736  Total Tayangan Video: 667.181.640 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Desember: 136 video Tayangan Video Bulan Desember: 3.801.632 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 317.058 jam Penambahan Subscribers: +14.158 Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image-2.png" alt="" class="wp-image-310"/> Total Video Yufid Edu: 2.246 video Total Subscribers: 298.500 Total Tayangan Video: 20.724.763 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Desember: 22 video Tayangan Video Bulan Desember: 108.025 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 6.559 jam Penambahan Subscribers : +1.016 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image-4.png" alt="" class="wp-image-312"/> Total Video Yufid Kids: 84 video Total Subscribers: 406.073 Total Tayangan Video: 123.164.993 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember: 1 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.519.876 views Waktu Tayang Video Bulan Desember: 132.073 jam Penambahan Subscribers : +5.237 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video : 272 Total Subscribers : 4.593 Total Tayangan Video: 452.621 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 3 video Tayangan Video Bulan Desember: 2.000 views Jam Tayang Video Bulan Desember: 444 Jam Penambahan Subscribers : +34 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video : 584 Total Subscribers : 47.200 Total Tayangan Video: 2.578.569 views Rata-rata Produksi Per Bulan : 7 video Tayangan Video Bulan Desember: 62.150 views Penambahan Subscribers Perbulan : +1000 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image-5.png" alt="" class="wp-image-313"/> Instagram Yufid.TV Total Konten : 3.678 Total Pengikut : 1.148.099 Rata-Rata Produksi : 48 Konten/bulan Penambahan Follower : +8.565 Instagram Yufid Network Total Konten : 3.586 Total Pengikut : 501.185 Rata-Rata Produksi : 47 Konten/bulan Penambahan Follower : +3.505 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image-1.png" alt="" class="wp-image-309"/> Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://yufid.org/wp-content/uploads/2024/01/image-3.png" alt="" class="wp-image-311"/> Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.973 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 12 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.080 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 392 audio dan rata-rata menghasilkan 20 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.237 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.484 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.041 file mp3 dengan total ukuran 379 Gb dan pada bulan Desember 2023 ini telah mempublikasikan 275 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2023 ini saja telah didengarkan 30.762 kali dan telah di download sebanyak 871 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.167.605 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.279 kata.  Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, project terjemahan ini telah memproduksi 61.931 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.418 artikel dengan total durasi audio 206 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2023, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 28 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2023. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Keutamaan Anak Perempuan, Roh Menurut Islam, Gambar Taperwer, Qurban Sapi Untuk Berapa Orang, Ml Sama Wanita Hamil, Cerita Yajuj Dan Majuj Visited 1 times, 1 visit(s) today Post Views: 213 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupanFaedah 5. Hak Allah atas hamba Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupan Alhamdulillah. Tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayang-Nya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan. Allah berfirman, ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita pun sering mendengar atau membaca ayat, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepada-Nya, dan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu , ‘Jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untuk-Nya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah, pent), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita. Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka. Allah berfirman, وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Allah juga berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh-musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia. Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat. Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaan-Nya untuk bekerja keras menyesatkan manusia. Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh. Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan. Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia, “Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya. Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.” Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbingan-Nya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Hadza, wallahu a’lam. Walillahu hamdu. Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Faedah 5. Hak Allah atas hamba Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para rasul dari masa ke masa hingga rasul yang terakhir. Allah berfirman, وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkan-Nya. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.” Allah berfirman, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25) Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,  إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72) Menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat. Allah berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48) Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik. Allah berfirman, فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Kembali ke bagian 1: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupanFaedah 5. Hak Allah atas hamba Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupan Alhamdulillah. Tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayang-Nya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan. Allah berfirman, ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita pun sering mendengar atau membaca ayat, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepada-Nya, dan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu , ‘Jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untuk-Nya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah, pent), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita. Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka. Allah berfirman, وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Allah juga berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh-musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia. Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat. Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaan-Nya untuk bekerja keras menyesatkan manusia. Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh. Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan. Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia, “Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya. Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.” Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbingan-Nya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Hadza, wallahu a’lam. Walillahu hamdu. Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Faedah 5. Hak Allah atas hamba Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para rasul dari masa ke masa hingga rasul yang terakhir. Allah berfirman, وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkan-Nya. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.” Allah berfirman, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25) Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,  إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72) Menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat. Allah berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48) Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik. Allah berfirman, فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Kembali ke bagian 1: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid
Daftar Isi Toggle Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupanFaedah 5. Hak Allah atas hamba Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupan Alhamdulillah. Tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayang-Nya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan. Allah berfirman, ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita pun sering mendengar atau membaca ayat, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepada-Nya, dan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu , ‘Jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untuk-Nya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah, pent), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita. Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka. Allah berfirman, وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Allah juga berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh-musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia. Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat. Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaan-Nya untuk bekerja keras menyesatkan manusia. Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh. Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan. Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia, “Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya. Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.” Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbingan-Nya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Hadza, wallahu a’lam. Walillahu hamdu. Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Faedah 5. Hak Allah atas hamba Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para rasul dari masa ke masa hingga rasul yang terakhir. Allah berfirman, وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkan-Nya. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.” Allah berfirman, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25) Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,  إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72) Menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat. Allah berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48) Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik. Allah berfirman, فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Kembali ke bagian 1: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid


Daftar Isi Toggle Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupanFaedah 5. Hak Allah atas hamba Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupan Alhamdulillah. Tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayang-Nya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan. Allah berfirman, ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita pun sering mendengar atau membaca ayat, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepada-Nya, dan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu , ‘Jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untuk-Nya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah, pent), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita. Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka. Allah berfirman, وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Allah juga berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh-musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia. Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat. Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaan-Nya untuk bekerja keras menyesatkan manusia. Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh. Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan. Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia, “Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya. Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.” Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbingan-Nya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Hadza, wallahu a’lam. Walillahu hamdu. Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Faedah 5. Hak Allah atas hamba Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para rasul dari masa ke masa hingga rasul yang terakhir. Allah berfirman, وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam. Allah berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkan-Nya. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.” Allah berfirman, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25) Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,  إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72) Menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat. Allah berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48) Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik. Allah berfirman, فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Kembali ke bagian 1: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Wanita Haid dan Nifas

السؤال: هذه رسالة من الأخ في الله عبد الله السليمان من الرياض، يقول: بعض الفتيات يتوهمن أن المرأة الحائض أصبحت نجسة فلا يجوز لها الذكر، ولا استماع القرآن، وإنما الاتجاه لسماع الغناء واللهو، نرجو تبيين هذا الحكم، وما الذي يجوز أيضاً للحائض؟ Pertanyaan: Ini surat dari saudara kita karena Allah, Abdullah as-Sulaiman dari Riyadh. Dia mengatakan bahwa ada sebagian wanita salah sangka bahwa wanita yang sedang haid itu najis, sehingga tidak boleh berzikir atau mendengarkan al-Quran, dan malah beralih mendengarkan nyanyian dan lagu. Tolong jelaskan masalah ini, dan juga apa yang dibolehkan bagi wanita yang sedang haid? الجواب: هذا توهم لا ينبغي، الحائض مشروع لها ما يشرع لغيرها من ذكر الله عز وجل، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، والاستغفار والتوبة، وسماع القرآن ممن يتلوه، وسماع العلم، والمشاركة في حلقات العلم، وسماع ما يذاع من حلقات العلم، وحلقات القرآن، والاستفادة من ذلك مثل غيرهما.النبي ﷺ قال للحائض: افعلي ما يفعله الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري فأمرها أن تفعل ما يفعله الحجاج؛ من التلبية، والذكر، وسائر الوجوه الشرعية ما عدا الطواف، فدل ذلك على أن الحائض مثل غيرها، ترمي الجمار، تلبي، تذكر الله، تسبح، تحمد، تهلل، تستغفر، يعني تفعل كل شيء ما عدا الطواف إذا كانت محرمة بالحج أو العمرة حتى تطهر. Jawaban: Ini adalah kekeliruan yang tidak selayaknya. Seorang wanita yang sedang haid disyariatkan melakukan apa yang disyariatkan bagi yang tidak sedang haid, seperti berzikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, bertobat, mendengarkan al-Quran dari orang yang membacanya, mendengarkan kajian ilmu, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan siaran majelis ilmu dan halaqah al-Quran serta mengambil manfaat darinya, sebagaimana yang lain.  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepada wanita yang sedang haid, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji, tapi janganlah kamu tawaf mengelilingi Kabah sampai kamu suci.”  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya untuk melakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, seperti talbiyah, zikir, dan semua amalan yang disyariatkan kecuali tawaf. Hal ini menunjukkan bahwa wanita haid hukumnya seperti wanita yang tidak haid, tetap melempar jamrah, bertalbiyah, berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, dan istigfar. Artinya, jika dia sedang berihram untuk haji atau umrah, maka dia melakukan semuanya kecuali tawaf, sampai dia suci. كذلك في بيتها تستعمل ما تستطيع من ذكر الله  تسبيحه.. تحميده.. تهليله.. تكبيره.. الاستغفار.. الدعوة إلى الله.. الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.. تدريس العلم.. مطالعة الأحاديث.. غير ذلك. أما قراءة القرآن ففيه خلاف، بعض أهل العلم يرى أنها تمنع من قراءة القرآن، والقول الثاني: أنها لا تمنع من قراءة القرآن عن ظهر قلب، وهذا هو الأقرب والأظهر؛ لأنه لها أن تقرأ القرآن عن ظهر قلب من دون مس المصحف، كالمعلمة تعلم البنات القرآن عن ظهر قلب، وكالتلميذة التي تحتاج إلى قراءة القرآن من غير مس المصحف كذلك. Demikian pula jika dia di rumahnya, hendaknya dia sebisa mungkin memanfaatkannya untuk zikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, berdakwah mengajak kepada Allah, amar makruf dan nahi mungkar, mengajarkan ilmu, mempelajari hadis, dan lain-lain. Adapun membaca al-Quran, maka ada perbedaan pendapat mengenai ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa haid menghalangi wanita dari membaca al-Quran.  Pendapat kedua mengatakan bahwa haid tidak menghalangi wanita dari membaca al-Quran dari hafalan. Inilah pendapat yang lebih tepat dan kuat, yaitu bolehnya membaca al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf, seperti seorang guru yang mengajarkan al-Quran kepada anak-anak perempuan dari hafalannya dan seperti seorang siswi yang perlu membaca al-Quran, tetapi tidak harus menyentuh mushaf. الصحيح أنه لا حرج في قراءتها عن ظهر قلب؛ لأن مدة الحيض تطول وهكذا النفاس، بخلاف الجنب، الجنب لا يقرأ القرآن، لا من المصحف ولا عن ظهر قلب حتى يغتسل؛ لأن النبي ﷺ: كان لا يقرأ القرآن وهو جنب عليه الصلاة والسلام؛ ولأن الجنب يعني وقته قصير يستطيع في أي حال أن يغتسل ويقرأ، ما هناك له موانع؛ لكن الحائض تحتاج إلى أيام وليالي، ليس باختيارها، وهكذا النفساء أطول وأطول، فلهذا الصحيح أنه لا حرج عليها في قراءة القرآن عن ظهر قلب لا من المصحف. Pendapat yang benar bahwa tidak mengapa baginya membacanya dari hafalan, karena masa haid itu lama, begitu pula nifas.  Berbeda dengan orang junub. Orang junub tidak boleh membaca al-Quran, baik dengan membaca mushaf maupun dari hafalan, sampai dia bersuci, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak membaca al-Quran ketika sedang junub. Selain itu, junub itu waktunya singkat dan orang yang junub bisa kapan pun mandi lalu membaca al-Quran. Tidak ada halangan apa pun baginya.  Adapun wanita haid, butuh waktu berhari-hari siang dan malam, pun itu terjadi bukan karena kemauannya. Begitu pula wanita yang sedang nifas, lebih dan lebih lama lagi durasinya. Oleh sebab itu, yang benar bahwa tidak mengapa bagi wanita haid untuk membacanya al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf. وبهذا تعلم أن الحائض تشارك في كل شيء من الخير، ولا تمنع ما عدا مس المصحف، وما عدا الصلاة؛ لأنه لا تصلي ولا تصوم حتى تنتهي من حيضها ونفاسها ثم تقضي الصوم دون الصلاة، ليس عليها قضاء الصلاة بل الله سامحها، سامح الحائض والنفساء الصلاة فلا تقضيها ولا تجب عليها مدة الحيض والنفاس، لكن الصوم تقضيه بعد طهرها وبعد رمضان تقضي ما أفطرت من الأيام. Dengan demikian, Anda bisa tahu bahwa wanita yang sedang haid boleh ikut serta dalam segala bentuk kebaikan dan bahwa haid tidak menghalanginya dari apapun kecuali menyentuh mushaf al-Quran dan salat, karena dia tidak boleh salat dan berpuasa sampai selesai dari haid dan nifasnya, kemudian dia harus mengqada puasanya, tapi tidak dengan salatnya. Dia tidak wajib mengqada salatnya karena Allah Memaafkannya. Allah Memaafkan salat yang dilewatkan wanita haid dan nifas sehingga tidak perlu mengqadanya dan tidak pula wajib mengerjakannya selama masa haid dan nifasnya. Adapun puasa, setelah dia suci dan berlalu Ramadan, dia harus mengqada puasa sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan. سئلت عائشة رضي الله عنها قالت لها امرأة: يا أم المؤمنين! ما بالنا نقضي الصوم ولا نقضي الصلاة؟ فقالت لها عائشة رضي الله عنها: كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة يعني من النبي ﷺ، كان يأمرهن بقضاء الصوم ولا يأمرهن بقضاء الصلاة، وبهذا علم أن الصوم يقضى والصلاة لا تقضى، وهذا محل إجماع بين المسلمين، فقد أجمع العلماء على أن الصلاة لا تقضى في حق الحائض والنفساء، ولكنهما تقضيان الصوم فقط، صوم رمضان يعني. Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, “Wahai Ummul Mukminin, kenapa kita mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?” Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Kami diperintahkan —yakni oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam— untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.”  Jadi, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqada puasa tapi tidak menyuruh untuk mengqada salat. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa puasa harus diqada sementara salat tidak. Ini adalah masalah yang disepakati di tengah kaum muslimin. Para ulama sepakat bahwa salat tidak wajib diqada oleh wanita haid dan nifas, melainkan hanya diwajibkan mengqada puasa saja, yakni puasa Ramadan.  فالحاصل: أن الحائض والنفساء يشرع لهما ذكر الله، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، وحضور حلقات العلم، وسماع القرآن ممن يتلوه، والإنصات لذلك، والمشاركة في كل خير، ما عدا أنها لا تصلي حتى تطهر ولا تصوم حتى تطهر، ولا تقرأ القرآن من المصحف، أما عن ظهر قلب فالصحيح أنه يجوز لها ذلك في أصح قولي العلماء ولاسيما عند الحاجة. نعم. Kesimpulannya, wanita yang sedang haid dan nifas disyariatkan untuk berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan al-Quran dan diam jika ada orang yang membacanya, dan ikut serta dalam segala bentuk kebaikan. Hanya saja, dia tidak boleh salat, puasa, membaca al-Quran dari mushaf sampai dia suci. Adapun membaca dari hafalan, maka pendapat yang benar adalah diperbolehkan. Ini adalah pendapat yang lebih benar dari dua pendapat ulama, apalagi jika memang diperlukan. Demikian. Syaikh Bin Baz rahimahullah Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/4319/ما-يحل-للحاىض-وما-يحرمAudio sumber artikel.PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menghitung Tanggal Pernikahan Menurut Islam, Berbekam, Siapa Itu Syekh Abdul Qodir Jaelani, Keutamaan Membaca Al Kahfi, Mandi Jinabat, Doa Tiap 4 Rakaat Shalat Tarawih Visited 196 times, 1 visit(s) today Post Views: 493 QRIS donasi Yufid

Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Wanita Haid dan Nifas

السؤال: هذه رسالة من الأخ في الله عبد الله السليمان من الرياض، يقول: بعض الفتيات يتوهمن أن المرأة الحائض أصبحت نجسة فلا يجوز لها الذكر، ولا استماع القرآن، وإنما الاتجاه لسماع الغناء واللهو، نرجو تبيين هذا الحكم، وما الذي يجوز أيضاً للحائض؟ Pertanyaan: Ini surat dari saudara kita karena Allah, Abdullah as-Sulaiman dari Riyadh. Dia mengatakan bahwa ada sebagian wanita salah sangka bahwa wanita yang sedang haid itu najis, sehingga tidak boleh berzikir atau mendengarkan al-Quran, dan malah beralih mendengarkan nyanyian dan lagu. Tolong jelaskan masalah ini, dan juga apa yang dibolehkan bagi wanita yang sedang haid? الجواب: هذا توهم لا ينبغي، الحائض مشروع لها ما يشرع لغيرها من ذكر الله عز وجل، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، والاستغفار والتوبة، وسماع القرآن ممن يتلوه، وسماع العلم، والمشاركة في حلقات العلم، وسماع ما يذاع من حلقات العلم، وحلقات القرآن، والاستفادة من ذلك مثل غيرهما.النبي ﷺ قال للحائض: افعلي ما يفعله الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري فأمرها أن تفعل ما يفعله الحجاج؛ من التلبية، والذكر، وسائر الوجوه الشرعية ما عدا الطواف، فدل ذلك على أن الحائض مثل غيرها، ترمي الجمار، تلبي، تذكر الله، تسبح، تحمد، تهلل، تستغفر، يعني تفعل كل شيء ما عدا الطواف إذا كانت محرمة بالحج أو العمرة حتى تطهر. Jawaban: Ini adalah kekeliruan yang tidak selayaknya. Seorang wanita yang sedang haid disyariatkan melakukan apa yang disyariatkan bagi yang tidak sedang haid, seperti berzikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, bertobat, mendengarkan al-Quran dari orang yang membacanya, mendengarkan kajian ilmu, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan siaran majelis ilmu dan halaqah al-Quran serta mengambil manfaat darinya, sebagaimana yang lain.  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepada wanita yang sedang haid, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji, tapi janganlah kamu tawaf mengelilingi Kabah sampai kamu suci.”  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya untuk melakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, seperti talbiyah, zikir, dan semua amalan yang disyariatkan kecuali tawaf. Hal ini menunjukkan bahwa wanita haid hukumnya seperti wanita yang tidak haid, tetap melempar jamrah, bertalbiyah, berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, dan istigfar. Artinya, jika dia sedang berihram untuk haji atau umrah, maka dia melakukan semuanya kecuali tawaf, sampai dia suci. كذلك في بيتها تستعمل ما تستطيع من ذكر الله  تسبيحه.. تحميده.. تهليله.. تكبيره.. الاستغفار.. الدعوة إلى الله.. الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.. تدريس العلم.. مطالعة الأحاديث.. غير ذلك. أما قراءة القرآن ففيه خلاف، بعض أهل العلم يرى أنها تمنع من قراءة القرآن، والقول الثاني: أنها لا تمنع من قراءة القرآن عن ظهر قلب، وهذا هو الأقرب والأظهر؛ لأنه لها أن تقرأ القرآن عن ظهر قلب من دون مس المصحف، كالمعلمة تعلم البنات القرآن عن ظهر قلب، وكالتلميذة التي تحتاج إلى قراءة القرآن من غير مس المصحف كذلك. Demikian pula jika dia di rumahnya, hendaknya dia sebisa mungkin memanfaatkannya untuk zikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, berdakwah mengajak kepada Allah, amar makruf dan nahi mungkar, mengajarkan ilmu, mempelajari hadis, dan lain-lain. Adapun membaca al-Quran, maka ada perbedaan pendapat mengenai ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa haid menghalangi wanita dari membaca al-Quran.  Pendapat kedua mengatakan bahwa haid tidak menghalangi wanita dari membaca al-Quran dari hafalan. Inilah pendapat yang lebih tepat dan kuat, yaitu bolehnya membaca al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf, seperti seorang guru yang mengajarkan al-Quran kepada anak-anak perempuan dari hafalannya dan seperti seorang siswi yang perlu membaca al-Quran, tetapi tidak harus menyentuh mushaf. الصحيح أنه لا حرج في قراءتها عن ظهر قلب؛ لأن مدة الحيض تطول وهكذا النفاس، بخلاف الجنب، الجنب لا يقرأ القرآن، لا من المصحف ولا عن ظهر قلب حتى يغتسل؛ لأن النبي ﷺ: كان لا يقرأ القرآن وهو جنب عليه الصلاة والسلام؛ ولأن الجنب يعني وقته قصير يستطيع في أي حال أن يغتسل ويقرأ، ما هناك له موانع؛ لكن الحائض تحتاج إلى أيام وليالي، ليس باختيارها، وهكذا النفساء أطول وأطول، فلهذا الصحيح أنه لا حرج عليها في قراءة القرآن عن ظهر قلب لا من المصحف. Pendapat yang benar bahwa tidak mengapa baginya membacanya dari hafalan, karena masa haid itu lama, begitu pula nifas.  Berbeda dengan orang junub. Orang junub tidak boleh membaca al-Quran, baik dengan membaca mushaf maupun dari hafalan, sampai dia bersuci, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak membaca al-Quran ketika sedang junub. Selain itu, junub itu waktunya singkat dan orang yang junub bisa kapan pun mandi lalu membaca al-Quran. Tidak ada halangan apa pun baginya.  Adapun wanita haid, butuh waktu berhari-hari siang dan malam, pun itu terjadi bukan karena kemauannya. Begitu pula wanita yang sedang nifas, lebih dan lebih lama lagi durasinya. Oleh sebab itu, yang benar bahwa tidak mengapa bagi wanita haid untuk membacanya al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf. وبهذا تعلم أن الحائض تشارك في كل شيء من الخير، ولا تمنع ما عدا مس المصحف، وما عدا الصلاة؛ لأنه لا تصلي ولا تصوم حتى تنتهي من حيضها ونفاسها ثم تقضي الصوم دون الصلاة، ليس عليها قضاء الصلاة بل الله سامحها، سامح الحائض والنفساء الصلاة فلا تقضيها ولا تجب عليها مدة الحيض والنفاس، لكن الصوم تقضيه بعد طهرها وبعد رمضان تقضي ما أفطرت من الأيام. Dengan demikian, Anda bisa tahu bahwa wanita yang sedang haid boleh ikut serta dalam segala bentuk kebaikan dan bahwa haid tidak menghalanginya dari apapun kecuali menyentuh mushaf al-Quran dan salat, karena dia tidak boleh salat dan berpuasa sampai selesai dari haid dan nifasnya, kemudian dia harus mengqada puasanya, tapi tidak dengan salatnya. Dia tidak wajib mengqada salatnya karena Allah Memaafkannya. Allah Memaafkan salat yang dilewatkan wanita haid dan nifas sehingga tidak perlu mengqadanya dan tidak pula wajib mengerjakannya selama masa haid dan nifasnya. Adapun puasa, setelah dia suci dan berlalu Ramadan, dia harus mengqada puasa sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan. سئلت عائشة رضي الله عنها قالت لها امرأة: يا أم المؤمنين! ما بالنا نقضي الصوم ولا نقضي الصلاة؟ فقالت لها عائشة رضي الله عنها: كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة يعني من النبي ﷺ، كان يأمرهن بقضاء الصوم ولا يأمرهن بقضاء الصلاة، وبهذا علم أن الصوم يقضى والصلاة لا تقضى، وهذا محل إجماع بين المسلمين، فقد أجمع العلماء على أن الصلاة لا تقضى في حق الحائض والنفساء، ولكنهما تقضيان الصوم فقط، صوم رمضان يعني. Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, “Wahai Ummul Mukminin, kenapa kita mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?” Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Kami diperintahkan —yakni oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam— untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.”  Jadi, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqada puasa tapi tidak menyuruh untuk mengqada salat. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa puasa harus diqada sementara salat tidak. Ini adalah masalah yang disepakati di tengah kaum muslimin. Para ulama sepakat bahwa salat tidak wajib diqada oleh wanita haid dan nifas, melainkan hanya diwajibkan mengqada puasa saja, yakni puasa Ramadan.  فالحاصل: أن الحائض والنفساء يشرع لهما ذكر الله، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، وحضور حلقات العلم، وسماع القرآن ممن يتلوه، والإنصات لذلك، والمشاركة في كل خير، ما عدا أنها لا تصلي حتى تطهر ولا تصوم حتى تطهر، ولا تقرأ القرآن من المصحف، أما عن ظهر قلب فالصحيح أنه يجوز لها ذلك في أصح قولي العلماء ولاسيما عند الحاجة. نعم. Kesimpulannya, wanita yang sedang haid dan nifas disyariatkan untuk berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan al-Quran dan diam jika ada orang yang membacanya, dan ikut serta dalam segala bentuk kebaikan. Hanya saja, dia tidak boleh salat, puasa, membaca al-Quran dari mushaf sampai dia suci. Adapun membaca dari hafalan, maka pendapat yang benar adalah diperbolehkan. Ini adalah pendapat yang lebih benar dari dua pendapat ulama, apalagi jika memang diperlukan. Demikian. Syaikh Bin Baz rahimahullah Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/4319/ما-يحل-للحاىض-وما-يحرمAudio sumber artikel.PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menghitung Tanggal Pernikahan Menurut Islam, Berbekam, Siapa Itu Syekh Abdul Qodir Jaelani, Keutamaan Membaca Al Kahfi, Mandi Jinabat, Doa Tiap 4 Rakaat Shalat Tarawih Visited 196 times, 1 visit(s) today Post Views: 493 QRIS donasi Yufid
السؤال: هذه رسالة من الأخ في الله عبد الله السليمان من الرياض، يقول: بعض الفتيات يتوهمن أن المرأة الحائض أصبحت نجسة فلا يجوز لها الذكر، ولا استماع القرآن، وإنما الاتجاه لسماع الغناء واللهو، نرجو تبيين هذا الحكم، وما الذي يجوز أيضاً للحائض؟ Pertanyaan: Ini surat dari saudara kita karena Allah, Abdullah as-Sulaiman dari Riyadh. Dia mengatakan bahwa ada sebagian wanita salah sangka bahwa wanita yang sedang haid itu najis, sehingga tidak boleh berzikir atau mendengarkan al-Quran, dan malah beralih mendengarkan nyanyian dan lagu. Tolong jelaskan masalah ini, dan juga apa yang dibolehkan bagi wanita yang sedang haid? الجواب: هذا توهم لا ينبغي، الحائض مشروع لها ما يشرع لغيرها من ذكر الله عز وجل، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، والاستغفار والتوبة، وسماع القرآن ممن يتلوه، وسماع العلم، والمشاركة في حلقات العلم، وسماع ما يذاع من حلقات العلم، وحلقات القرآن، والاستفادة من ذلك مثل غيرهما.النبي ﷺ قال للحائض: افعلي ما يفعله الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري فأمرها أن تفعل ما يفعله الحجاج؛ من التلبية، والذكر، وسائر الوجوه الشرعية ما عدا الطواف، فدل ذلك على أن الحائض مثل غيرها، ترمي الجمار، تلبي، تذكر الله، تسبح، تحمد، تهلل، تستغفر، يعني تفعل كل شيء ما عدا الطواف إذا كانت محرمة بالحج أو العمرة حتى تطهر. Jawaban: Ini adalah kekeliruan yang tidak selayaknya. Seorang wanita yang sedang haid disyariatkan melakukan apa yang disyariatkan bagi yang tidak sedang haid, seperti berzikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, bertobat, mendengarkan al-Quran dari orang yang membacanya, mendengarkan kajian ilmu, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan siaran majelis ilmu dan halaqah al-Quran serta mengambil manfaat darinya, sebagaimana yang lain.  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepada wanita yang sedang haid, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji, tapi janganlah kamu tawaf mengelilingi Kabah sampai kamu suci.”  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya untuk melakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, seperti talbiyah, zikir, dan semua amalan yang disyariatkan kecuali tawaf. Hal ini menunjukkan bahwa wanita haid hukumnya seperti wanita yang tidak haid, tetap melempar jamrah, bertalbiyah, berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, dan istigfar. Artinya, jika dia sedang berihram untuk haji atau umrah, maka dia melakukan semuanya kecuali tawaf, sampai dia suci. كذلك في بيتها تستعمل ما تستطيع من ذكر الله  تسبيحه.. تحميده.. تهليله.. تكبيره.. الاستغفار.. الدعوة إلى الله.. الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.. تدريس العلم.. مطالعة الأحاديث.. غير ذلك. أما قراءة القرآن ففيه خلاف، بعض أهل العلم يرى أنها تمنع من قراءة القرآن، والقول الثاني: أنها لا تمنع من قراءة القرآن عن ظهر قلب، وهذا هو الأقرب والأظهر؛ لأنه لها أن تقرأ القرآن عن ظهر قلب من دون مس المصحف، كالمعلمة تعلم البنات القرآن عن ظهر قلب، وكالتلميذة التي تحتاج إلى قراءة القرآن من غير مس المصحف كذلك. Demikian pula jika dia di rumahnya, hendaknya dia sebisa mungkin memanfaatkannya untuk zikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, berdakwah mengajak kepada Allah, amar makruf dan nahi mungkar, mengajarkan ilmu, mempelajari hadis, dan lain-lain. Adapun membaca al-Quran, maka ada perbedaan pendapat mengenai ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa haid menghalangi wanita dari membaca al-Quran.  Pendapat kedua mengatakan bahwa haid tidak menghalangi wanita dari membaca al-Quran dari hafalan. Inilah pendapat yang lebih tepat dan kuat, yaitu bolehnya membaca al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf, seperti seorang guru yang mengajarkan al-Quran kepada anak-anak perempuan dari hafalannya dan seperti seorang siswi yang perlu membaca al-Quran, tetapi tidak harus menyentuh mushaf. الصحيح أنه لا حرج في قراءتها عن ظهر قلب؛ لأن مدة الحيض تطول وهكذا النفاس، بخلاف الجنب، الجنب لا يقرأ القرآن، لا من المصحف ولا عن ظهر قلب حتى يغتسل؛ لأن النبي ﷺ: كان لا يقرأ القرآن وهو جنب عليه الصلاة والسلام؛ ولأن الجنب يعني وقته قصير يستطيع في أي حال أن يغتسل ويقرأ، ما هناك له موانع؛ لكن الحائض تحتاج إلى أيام وليالي، ليس باختيارها، وهكذا النفساء أطول وأطول، فلهذا الصحيح أنه لا حرج عليها في قراءة القرآن عن ظهر قلب لا من المصحف. Pendapat yang benar bahwa tidak mengapa baginya membacanya dari hafalan, karena masa haid itu lama, begitu pula nifas.  Berbeda dengan orang junub. Orang junub tidak boleh membaca al-Quran, baik dengan membaca mushaf maupun dari hafalan, sampai dia bersuci, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak membaca al-Quran ketika sedang junub. Selain itu, junub itu waktunya singkat dan orang yang junub bisa kapan pun mandi lalu membaca al-Quran. Tidak ada halangan apa pun baginya.  Adapun wanita haid, butuh waktu berhari-hari siang dan malam, pun itu terjadi bukan karena kemauannya. Begitu pula wanita yang sedang nifas, lebih dan lebih lama lagi durasinya. Oleh sebab itu, yang benar bahwa tidak mengapa bagi wanita haid untuk membacanya al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf. وبهذا تعلم أن الحائض تشارك في كل شيء من الخير، ولا تمنع ما عدا مس المصحف، وما عدا الصلاة؛ لأنه لا تصلي ولا تصوم حتى تنتهي من حيضها ونفاسها ثم تقضي الصوم دون الصلاة، ليس عليها قضاء الصلاة بل الله سامحها، سامح الحائض والنفساء الصلاة فلا تقضيها ولا تجب عليها مدة الحيض والنفاس، لكن الصوم تقضيه بعد طهرها وبعد رمضان تقضي ما أفطرت من الأيام. Dengan demikian, Anda bisa tahu bahwa wanita yang sedang haid boleh ikut serta dalam segala bentuk kebaikan dan bahwa haid tidak menghalanginya dari apapun kecuali menyentuh mushaf al-Quran dan salat, karena dia tidak boleh salat dan berpuasa sampai selesai dari haid dan nifasnya, kemudian dia harus mengqada puasanya, tapi tidak dengan salatnya. Dia tidak wajib mengqada salatnya karena Allah Memaafkannya. Allah Memaafkan salat yang dilewatkan wanita haid dan nifas sehingga tidak perlu mengqadanya dan tidak pula wajib mengerjakannya selama masa haid dan nifasnya. Adapun puasa, setelah dia suci dan berlalu Ramadan, dia harus mengqada puasa sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan. سئلت عائشة رضي الله عنها قالت لها امرأة: يا أم المؤمنين! ما بالنا نقضي الصوم ولا نقضي الصلاة؟ فقالت لها عائشة رضي الله عنها: كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة يعني من النبي ﷺ، كان يأمرهن بقضاء الصوم ولا يأمرهن بقضاء الصلاة، وبهذا علم أن الصوم يقضى والصلاة لا تقضى، وهذا محل إجماع بين المسلمين، فقد أجمع العلماء على أن الصلاة لا تقضى في حق الحائض والنفساء، ولكنهما تقضيان الصوم فقط، صوم رمضان يعني. Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, “Wahai Ummul Mukminin, kenapa kita mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?” Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Kami diperintahkan —yakni oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam— untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.”  Jadi, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqada puasa tapi tidak menyuruh untuk mengqada salat. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa puasa harus diqada sementara salat tidak. Ini adalah masalah yang disepakati di tengah kaum muslimin. Para ulama sepakat bahwa salat tidak wajib diqada oleh wanita haid dan nifas, melainkan hanya diwajibkan mengqada puasa saja, yakni puasa Ramadan.  فالحاصل: أن الحائض والنفساء يشرع لهما ذكر الله، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، وحضور حلقات العلم، وسماع القرآن ممن يتلوه، والإنصات لذلك، والمشاركة في كل خير، ما عدا أنها لا تصلي حتى تطهر ولا تصوم حتى تطهر، ولا تقرأ القرآن من المصحف، أما عن ظهر قلب فالصحيح أنه يجوز لها ذلك في أصح قولي العلماء ولاسيما عند الحاجة. نعم. Kesimpulannya, wanita yang sedang haid dan nifas disyariatkan untuk berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan al-Quran dan diam jika ada orang yang membacanya, dan ikut serta dalam segala bentuk kebaikan. Hanya saja, dia tidak boleh salat, puasa, membaca al-Quran dari mushaf sampai dia suci. Adapun membaca dari hafalan, maka pendapat yang benar adalah diperbolehkan. Ini adalah pendapat yang lebih benar dari dua pendapat ulama, apalagi jika memang diperlukan. Demikian. Syaikh Bin Baz rahimahullah Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/4319/ما-يحل-للحاىض-وما-يحرمAudio sumber artikel.PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menghitung Tanggal Pernikahan Menurut Islam, Berbekam, Siapa Itu Syekh Abdul Qodir Jaelani, Keutamaan Membaca Al Kahfi, Mandi Jinabat, Doa Tiap 4 Rakaat Shalat Tarawih Visited 196 times, 1 visit(s) today Post Views: 493 QRIS donasi Yufid


السؤال: هذه رسالة من الأخ في الله عبد الله السليمان من الرياض، يقول: بعض الفتيات يتوهمن أن المرأة الحائض أصبحت نجسة فلا يجوز لها الذكر، ولا استماع القرآن، وإنما الاتجاه لسماع الغناء واللهو، نرجو تبيين هذا الحكم، وما الذي يجوز أيضاً للحائض؟ Pertanyaan: Ini surat dari saudara kita karena Allah, Abdullah as-Sulaiman dari Riyadh. Dia mengatakan bahwa ada sebagian wanita salah sangka bahwa wanita yang sedang haid itu najis, sehingga tidak boleh berzikir atau mendengarkan al-Quran, dan malah beralih mendengarkan nyanyian dan lagu. Tolong jelaskan masalah ini, dan juga apa yang dibolehkan bagi wanita yang sedang haid? الجواب: هذا توهم لا ينبغي، الحائض مشروع لها ما يشرع لغيرها من ذكر الله عز وجل، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، والاستغفار والتوبة، وسماع القرآن ممن يتلوه، وسماع العلم، والمشاركة في حلقات العلم، وسماع ما يذاع من حلقات العلم، وحلقات القرآن، والاستفادة من ذلك مثل غيرهما.النبي ﷺ قال للحائض: افعلي ما يفعله الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري فأمرها أن تفعل ما يفعله الحجاج؛ من التلبية، والذكر، وسائر الوجوه الشرعية ما عدا الطواف، فدل ذلك على أن الحائض مثل غيرها، ترمي الجمار، تلبي، تذكر الله، تسبح، تحمد، تهلل، تستغفر، يعني تفعل كل شيء ما عدا الطواف إذا كانت محرمة بالحج أو العمرة حتى تطهر. Jawaban: Ini adalah kekeliruan yang tidak selayaknya. Seorang wanita yang sedang haid disyariatkan melakukan apa yang disyariatkan bagi yang tidak sedang haid, seperti berzikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, bertobat, mendengarkan al-Quran dari orang yang membacanya, mendengarkan kajian ilmu, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan siaran majelis ilmu dan halaqah al-Quran serta mengambil manfaat darinya, sebagaimana yang lain.  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepada wanita yang sedang haid, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji, tapi janganlah kamu tawaf mengelilingi Kabah sampai kamu suci.”  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkannya untuk melakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, seperti talbiyah, zikir, dan semua amalan yang disyariatkan kecuali tawaf. Hal ini menunjukkan bahwa wanita haid hukumnya seperti wanita yang tidak haid, tetap melempar jamrah, bertalbiyah, berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, dan istigfar. Artinya, jika dia sedang berihram untuk haji atau umrah, maka dia melakukan semuanya kecuali tawaf, sampai dia suci. كذلك في بيتها تستعمل ما تستطيع من ذكر الله  تسبيحه.. تحميده.. تهليله.. تكبيره.. الاستغفار.. الدعوة إلى الله.. الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.. تدريس العلم.. مطالعة الأحاديث.. غير ذلك. أما قراءة القرآن ففيه خلاف، بعض أهل العلم يرى أنها تمنع من قراءة القرآن، والقول الثاني: أنها لا تمنع من قراءة القرآن عن ظهر قلب، وهذا هو الأقرب والأظهر؛ لأنه لها أن تقرأ القرآن عن ظهر قلب من دون مس المصحف، كالمعلمة تعلم البنات القرآن عن ظهر قلب، وكالتلميذة التي تحتاج إلى قراءة القرآن من غير مس المصحف كذلك. Demikian pula jika dia di rumahnya, hendaknya dia sebisa mungkin memanfaatkannya untuk zikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, berdakwah mengajak kepada Allah, amar makruf dan nahi mungkar, mengajarkan ilmu, mempelajari hadis, dan lain-lain. Adapun membaca al-Quran, maka ada perbedaan pendapat mengenai ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa haid menghalangi wanita dari membaca al-Quran.  Pendapat kedua mengatakan bahwa haid tidak menghalangi wanita dari membaca al-Quran dari hafalan. Inilah pendapat yang lebih tepat dan kuat, yaitu bolehnya membaca al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf, seperti seorang guru yang mengajarkan al-Quran kepada anak-anak perempuan dari hafalannya dan seperti seorang siswi yang perlu membaca al-Quran, tetapi tidak harus menyentuh mushaf. الصحيح أنه لا حرج في قراءتها عن ظهر قلب؛ لأن مدة الحيض تطول وهكذا النفاس، بخلاف الجنب، الجنب لا يقرأ القرآن، لا من المصحف ولا عن ظهر قلب حتى يغتسل؛ لأن النبي ﷺ: كان لا يقرأ القرآن وهو جنب عليه الصلاة والسلام؛ ولأن الجنب يعني وقته قصير يستطيع في أي حال أن يغتسل ويقرأ، ما هناك له موانع؛ لكن الحائض تحتاج إلى أيام وليالي، ليس باختيارها، وهكذا النفساء أطول وأطول، فلهذا الصحيح أنه لا حرج عليها في قراءة القرآن عن ظهر قلب لا من المصحف. Pendapat yang benar bahwa tidak mengapa baginya membacanya dari hafalan, karena masa haid itu lama, begitu pula nifas.  Berbeda dengan orang junub. Orang junub tidak boleh membaca al-Quran, baik dengan membaca mushaf maupun dari hafalan, sampai dia bersuci, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak membaca al-Quran ketika sedang junub. Selain itu, junub itu waktunya singkat dan orang yang junub bisa kapan pun mandi lalu membaca al-Quran. Tidak ada halangan apa pun baginya.  Adapun wanita haid, butuh waktu berhari-hari siang dan malam, pun itu terjadi bukan karena kemauannya. Begitu pula wanita yang sedang nifas, lebih dan lebih lama lagi durasinya. Oleh sebab itu, yang benar bahwa tidak mengapa bagi wanita haid untuk membacanya al-Quran dari hafalan tanpa menyentuh mushaf. وبهذا تعلم أن الحائض تشارك في كل شيء من الخير، ولا تمنع ما عدا مس المصحف، وما عدا الصلاة؛ لأنه لا تصلي ولا تصوم حتى تنتهي من حيضها ونفاسها ثم تقضي الصوم دون الصلاة، ليس عليها قضاء الصلاة بل الله سامحها، سامح الحائض والنفساء الصلاة فلا تقضيها ولا تجب عليها مدة الحيض والنفاس، لكن الصوم تقضيه بعد طهرها وبعد رمضان تقضي ما أفطرت من الأيام. Dengan demikian, Anda bisa tahu bahwa wanita yang sedang haid boleh ikut serta dalam segala bentuk kebaikan dan bahwa haid tidak menghalanginya dari apapun kecuali menyentuh mushaf al-Quran dan salat, karena dia tidak boleh salat dan berpuasa sampai selesai dari haid dan nifasnya, kemudian dia harus mengqada puasanya, tapi tidak dengan salatnya. Dia tidak wajib mengqada salatnya karena Allah Memaafkannya. Allah Memaafkan salat yang dilewatkan wanita haid dan nifas sehingga tidak perlu mengqadanya dan tidak pula wajib mengerjakannya selama masa haid dan nifasnya. Adapun puasa, setelah dia suci dan berlalu Ramadan, dia harus mengqada puasa sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan. سئلت عائشة رضي الله عنها قالت لها امرأة: يا أم المؤمنين! ما بالنا نقضي الصوم ولا نقضي الصلاة؟ فقالت لها عائشة رضي الله عنها: كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة يعني من النبي ﷺ، كان يأمرهن بقضاء الصوم ولا يأمرهن بقضاء الصلاة، وبهذا علم أن الصوم يقضى والصلاة لا تقضى، وهذا محل إجماع بين المسلمين، فقد أجمع العلماء على أن الصلاة لا تقضى في حق الحائض والنفساء، ولكنهما تقضيان الصوم فقط، صوم رمضان يعني. Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, “Wahai Ummul Mukminin, kenapa kita mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?” Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Kami diperintahkan —yakni oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam— untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.”  Jadi, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqada puasa tapi tidak menyuruh untuk mengqada salat. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa puasa harus diqada sementara salat tidak. Ini adalah masalah yang disepakati di tengah kaum muslimin. Para ulama sepakat bahwa salat tidak wajib diqada oleh wanita haid dan nifas, melainkan hanya diwajibkan mengqada puasa saja, yakni puasa Ramadan.  فالحاصل: أن الحائض والنفساء يشرع لهما ذكر الله، وتسبيحه وتحميده وتهليله وتكبيره، وحضور حلقات العلم، وسماع القرآن ممن يتلوه، والإنصات لذلك، والمشاركة في كل خير، ما عدا أنها لا تصلي حتى تطهر ولا تصوم حتى تطهر، ولا تقرأ القرآن من المصحف، أما عن ظهر قلب فالصحيح أنه يجوز لها ذلك في أصح قولي العلماء ولاسيما عند الحاجة. نعم. Kesimpulannya, wanita yang sedang haid dan nifas disyariatkan untuk berzikir, bertasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, menghadiri majelis ilmu, mendengarkan al-Quran dan diam jika ada orang yang membacanya, dan ikut serta dalam segala bentuk kebaikan. Hanya saja, dia tidak boleh salat, puasa, membaca al-Quran dari mushaf sampai dia suci. Adapun membaca dari hafalan, maka pendapat yang benar adalah diperbolehkan. Ini adalah pendapat yang lebih benar dari dua pendapat ulama, apalagi jika memang diperlukan. Demikian. Syaikh Bin Baz rahimahullah Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/4319/ما-يحل-للحاىض-وما-يحرمAudio sumber artikel.PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menghitung Tanggal Pernikahan Menurut Islam, Berbekam, Siapa Itu Syekh Abdul Qodir Jaelani, Keutamaan Membaca Al Kahfi, Mandi Jinabat, Doa Tiap 4 Rakaat Shalat Tarawih Visited 196 times, 1 visit(s) today Post Views: 493 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hadis: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ “Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398) Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437) Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222) Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354) Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.” Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani. Faedah hadis Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45. Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas. Baca juga: Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan. Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang  tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192) Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355) Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه “Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488) Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan. Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak. Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram  diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 407-410). Tags: zakat

Hadis: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ “Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398) Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437) Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222) Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354) Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.” Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani. Faedah hadis Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45. Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas. Baca juga: Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan. Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang  tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192) Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355) Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه “Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488) Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan. Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak. Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram  diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 407-410). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ “Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398) Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437) Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222) Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354) Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.” Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani. Faedah hadis Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45. Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas. Baca juga: Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan. Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang  tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192) Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355) Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه “Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488) Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan. Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak. Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram  diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 407-410). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ “Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398) Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437) Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222) Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354) Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.” Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani. Faedah hadis Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45. Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas. Baca juga: Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan. Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111) Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang  tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192) Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355) Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه “Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488) Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan. Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak. Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram  diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 407-410). Tags: zakat

Hidup Itu Saling Memandang

Daftar Isi Toggle Hidup itu bagaimana cara kita memandangMemandang ke bawah agar lebih bersyukur Pernahkah Anda mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup Anda? Itulah kehidupan di dunia. Semua orang pernah dan akan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang muslim ataupun yang kafir. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu kenikmatan yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53) Seseorang tidak akan berubah dari bahagia menjadi sedih, dari rezeki yang lancar menjadi sukar, kalau bukan dirinya sendiri yang mengubahnya, disebabkan dosa dan maksiat yang diperbuat. Selain itu, kebahagiaan dan kenikmatan yang ia miliki, baik berupa jasmani (fisik dan akal yang sempurna, tidak cacat, kesehatan, pasangan, keturunan, kecukupan harta, kendaraan, tempat tinggal, maupun makanan) atau rohani (ketenangan jiwa) bisa berganti menjadi kesedihan dan kekurangan tatkala ia tergoda untuk membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain. Ketika dirinya mulai tertarik melihat media sosial atau film yang di sana ditampilkan wanita cantik dan membuka aurat, mulailah ia membandingkan pasangannya dengan para artis. Kala bisnisnya mulai lancar atau gajinya sudah naik, mulailah ia membandingkan dengan orang lain yang gajinya lebih besar dan jabatannya lebih tinggi. Saat ia melihat temannya sudah memiliki mobil, ia mulai membandingkan kendaraan roda dua yang dimilikinya. Tatkala seseorang mulai membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain, maka saat itu juga secara bertahap kebahagiaan dan ketenangan yang ia miliki menjadi semakin kecil dan berkurang, bahkan berganti menjadi keresahan dan kesempitan. Allah Ta’ala telah mengingatkan, وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ “Dan janganlah kalian terpesona (silau) kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia (rezeki) Tuhan kamu adalah lebih baik untukmu dan (pahala yang disediakan di akhirat) lebih kekal.” (QS. Thaha: 131) Hidup itu bagaimana cara kita memandang Hidup itu hanya masalah pandang dan memandang, jangan hanya memandang dari apa yang dipandang. Hidup itu adalah melihat dan dilihat, jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Kita melihat orang lain seakan-akan bahagia, padahal kenyataannya belum tentu demikian. Bahkan, bisa jadi, ia malah melihat kita lebih bahagia. Saat kita melihat orang lain memiliki rumah dan mobil mewah, bisa jadi ia sedang diuji dari sisi lain, seperti belum dikaruniai keturunan atau sakit parah yang mana ia memandang kita lebih bahagia karena memiliki anak dan diberikan kesehatan. Orang yang sering terpukau dengan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain akan timbul perasaan iri, dengki, syukur yang semakin berkurang, bahkan protes terhadap pemberian dari Allah kepada dirinya. Allah Ta’ala menegaskan, أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhan kalian? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling memberi manfaat sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32) Allah Ta’ala juga berfirman, وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا “Dan kami jadikan sebagian kamu ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20) Baca juga: Hikmah Manusia Diciptakan Bertingkat-Tingkat Memandang ke bawah agar lebih bersyukur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu (dalam masalah dunia). Karena dengan begitu, kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Tiada seorang pun yang tertimpa musibah di dunia ini, kecuali ia akan menemukan orang yang lebih besar lagi musibahnya. Jika ia sedang ditimpa kesusahan, masih banyak orang yang lebih susah dari dirinya. Dengan memandang orang yang berada di bawah, maka kesusahan dan rasa sedih yang ia rasakan akan berkurang dan membuat hatinya terhibur, sehingga membantunya untuk bersabar dan bersyukur karena ternyata masih ada orang yang berada di bawahnya. Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Artikel: Muslim.or.id Tags: hidup di dunia

Hidup Itu Saling Memandang

Daftar Isi Toggle Hidup itu bagaimana cara kita memandangMemandang ke bawah agar lebih bersyukur Pernahkah Anda mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup Anda? Itulah kehidupan di dunia. Semua orang pernah dan akan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang muslim ataupun yang kafir. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu kenikmatan yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53) Seseorang tidak akan berubah dari bahagia menjadi sedih, dari rezeki yang lancar menjadi sukar, kalau bukan dirinya sendiri yang mengubahnya, disebabkan dosa dan maksiat yang diperbuat. Selain itu, kebahagiaan dan kenikmatan yang ia miliki, baik berupa jasmani (fisik dan akal yang sempurna, tidak cacat, kesehatan, pasangan, keturunan, kecukupan harta, kendaraan, tempat tinggal, maupun makanan) atau rohani (ketenangan jiwa) bisa berganti menjadi kesedihan dan kekurangan tatkala ia tergoda untuk membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain. Ketika dirinya mulai tertarik melihat media sosial atau film yang di sana ditampilkan wanita cantik dan membuka aurat, mulailah ia membandingkan pasangannya dengan para artis. Kala bisnisnya mulai lancar atau gajinya sudah naik, mulailah ia membandingkan dengan orang lain yang gajinya lebih besar dan jabatannya lebih tinggi. Saat ia melihat temannya sudah memiliki mobil, ia mulai membandingkan kendaraan roda dua yang dimilikinya. Tatkala seseorang mulai membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain, maka saat itu juga secara bertahap kebahagiaan dan ketenangan yang ia miliki menjadi semakin kecil dan berkurang, bahkan berganti menjadi keresahan dan kesempitan. Allah Ta’ala telah mengingatkan, وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ “Dan janganlah kalian terpesona (silau) kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia (rezeki) Tuhan kamu adalah lebih baik untukmu dan (pahala yang disediakan di akhirat) lebih kekal.” (QS. Thaha: 131) Hidup itu bagaimana cara kita memandang Hidup itu hanya masalah pandang dan memandang, jangan hanya memandang dari apa yang dipandang. Hidup itu adalah melihat dan dilihat, jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Kita melihat orang lain seakan-akan bahagia, padahal kenyataannya belum tentu demikian. Bahkan, bisa jadi, ia malah melihat kita lebih bahagia. Saat kita melihat orang lain memiliki rumah dan mobil mewah, bisa jadi ia sedang diuji dari sisi lain, seperti belum dikaruniai keturunan atau sakit parah yang mana ia memandang kita lebih bahagia karena memiliki anak dan diberikan kesehatan. Orang yang sering terpukau dengan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain akan timbul perasaan iri, dengki, syukur yang semakin berkurang, bahkan protes terhadap pemberian dari Allah kepada dirinya. Allah Ta’ala menegaskan, أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhan kalian? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling memberi manfaat sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32) Allah Ta’ala juga berfirman, وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا “Dan kami jadikan sebagian kamu ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20) Baca juga: Hikmah Manusia Diciptakan Bertingkat-Tingkat Memandang ke bawah agar lebih bersyukur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu (dalam masalah dunia). Karena dengan begitu, kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Tiada seorang pun yang tertimpa musibah di dunia ini, kecuali ia akan menemukan orang yang lebih besar lagi musibahnya. Jika ia sedang ditimpa kesusahan, masih banyak orang yang lebih susah dari dirinya. Dengan memandang orang yang berada di bawah, maka kesusahan dan rasa sedih yang ia rasakan akan berkurang dan membuat hatinya terhibur, sehingga membantunya untuk bersabar dan bersyukur karena ternyata masih ada orang yang berada di bawahnya. Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Artikel: Muslim.or.id Tags: hidup di dunia
Daftar Isi Toggle Hidup itu bagaimana cara kita memandangMemandang ke bawah agar lebih bersyukur Pernahkah Anda mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup Anda? Itulah kehidupan di dunia. Semua orang pernah dan akan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang muslim ataupun yang kafir. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu kenikmatan yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53) Seseorang tidak akan berubah dari bahagia menjadi sedih, dari rezeki yang lancar menjadi sukar, kalau bukan dirinya sendiri yang mengubahnya, disebabkan dosa dan maksiat yang diperbuat. Selain itu, kebahagiaan dan kenikmatan yang ia miliki, baik berupa jasmani (fisik dan akal yang sempurna, tidak cacat, kesehatan, pasangan, keturunan, kecukupan harta, kendaraan, tempat tinggal, maupun makanan) atau rohani (ketenangan jiwa) bisa berganti menjadi kesedihan dan kekurangan tatkala ia tergoda untuk membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain. Ketika dirinya mulai tertarik melihat media sosial atau film yang di sana ditampilkan wanita cantik dan membuka aurat, mulailah ia membandingkan pasangannya dengan para artis. Kala bisnisnya mulai lancar atau gajinya sudah naik, mulailah ia membandingkan dengan orang lain yang gajinya lebih besar dan jabatannya lebih tinggi. Saat ia melihat temannya sudah memiliki mobil, ia mulai membandingkan kendaraan roda dua yang dimilikinya. Tatkala seseorang mulai membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain, maka saat itu juga secara bertahap kebahagiaan dan ketenangan yang ia miliki menjadi semakin kecil dan berkurang, bahkan berganti menjadi keresahan dan kesempitan. Allah Ta’ala telah mengingatkan, وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ “Dan janganlah kalian terpesona (silau) kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia (rezeki) Tuhan kamu adalah lebih baik untukmu dan (pahala yang disediakan di akhirat) lebih kekal.” (QS. Thaha: 131) Hidup itu bagaimana cara kita memandang Hidup itu hanya masalah pandang dan memandang, jangan hanya memandang dari apa yang dipandang. Hidup itu adalah melihat dan dilihat, jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Kita melihat orang lain seakan-akan bahagia, padahal kenyataannya belum tentu demikian. Bahkan, bisa jadi, ia malah melihat kita lebih bahagia. Saat kita melihat orang lain memiliki rumah dan mobil mewah, bisa jadi ia sedang diuji dari sisi lain, seperti belum dikaruniai keturunan atau sakit parah yang mana ia memandang kita lebih bahagia karena memiliki anak dan diberikan kesehatan. Orang yang sering terpukau dengan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain akan timbul perasaan iri, dengki, syukur yang semakin berkurang, bahkan protes terhadap pemberian dari Allah kepada dirinya. Allah Ta’ala menegaskan, أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhan kalian? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling memberi manfaat sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32) Allah Ta’ala juga berfirman, وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا “Dan kami jadikan sebagian kamu ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20) Baca juga: Hikmah Manusia Diciptakan Bertingkat-Tingkat Memandang ke bawah agar lebih bersyukur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu (dalam masalah dunia). Karena dengan begitu, kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Tiada seorang pun yang tertimpa musibah di dunia ini, kecuali ia akan menemukan orang yang lebih besar lagi musibahnya. Jika ia sedang ditimpa kesusahan, masih banyak orang yang lebih susah dari dirinya. Dengan memandang orang yang berada di bawah, maka kesusahan dan rasa sedih yang ia rasakan akan berkurang dan membuat hatinya terhibur, sehingga membantunya untuk bersabar dan bersyukur karena ternyata masih ada orang yang berada di bawahnya. Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Artikel: Muslim.or.id Tags: hidup di dunia


Daftar Isi Toggle Hidup itu bagaimana cara kita memandangMemandang ke bawah agar lebih bersyukur Pernahkah Anda mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup Anda? Itulah kehidupan di dunia. Semua orang pernah dan akan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang muslim ataupun yang kafir. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu kenikmatan yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53) Seseorang tidak akan berubah dari bahagia menjadi sedih, dari rezeki yang lancar menjadi sukar, kalau bukan dirinya sendiri yang mengubahnya, disebabkan dosa dan maksiat yang diperbuat. Selain itu, kebahagiaan dan kenikmatan yang ia miliki, baik berupa jasmani (fisik dan akal yang sempurna, tidak cacat, kesehatan, pasangan, keturunan, kecukupan harta, kendaraan, tempat tinggal, maupun makanan) atau rohani (ketenangan jiwa) bisa berganti menjadi kesedihan dan kekurangan tatkala ia tergoda untuk membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain. Ketika dirinya mulai tertarik melihat media sosial atau film yang di sana ditampilkan wanita cantik dan membuka aurat, mulailah ia membandingkan pasangannya dengan para artis. Kala bisnisnya mulai lancar atau gajinya sudah naik, mulailah ia membandingkan dengan orang lain yang gajinya lebih besar dan jabatannya lebih tinggi. Saat ia melihat temannya sudah memiliki mobil, ia mulai membandingkan kendaraan roda dua yang dimilikinya. Tatkala seseorang mulai membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan orang lain, maka saat itu juga secara bertahap kebahagiaan dan ketenangan yang ia miliki menjadi semakin kecil dan berkurang, bahkan berganti menjadi keresahan dan kesempitan. Allah Ta’ala telah mengingatkan, وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ “Dan janganlah kalian terpesona (silau) kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia (rezeki) Tuhan kamu adalah lebih baik untukmu dan (pahala yang disediakan di akhirat) lebih kekal.” (QS. Thaha: 131) Hidup itu bagaimana cara kita memandang Hidup itu hanya masalah pandang dan memandang, jangan hanya memandang dari apa yang dipandang. Hidup itu adalah melihat dan dilihat, jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Kita melihat orang lain seakan-akan bahagia, padahal kenyataannya belum tentu demikian. Bahkan, bisa jadi, ia malah melihat kita lebih bahagia. Saat kita melihat orang lain memiliki rumah dan mobil mewah, bisa jadi ia sedang diuji dari sisi lain, seperti belum dikaruniai keturunan atau sakit parah yang mana ia memandang kita lebih bahagia karena memiliki anak dan diberikan kesehatan. Orang yang sering terpukau dengan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain akan timbul perasaan iri, dengki, syukur yang semakin berkurang, bahkan protes terhadap pemberian dari Allah kepada dirinya. Allah Ta’ala menegaskan, أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhan kalian? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling memberi manfaat sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32) Allah Ta’ala juga berfirman, وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا “Dan kami jadikan sebagian kamu ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20) Baca juga: Hikmah Manusia Diciptakan Bertingkat-Tingkat Memandang ke bawah agar lebih bersyukur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu (dalam masalah dunia). Karena dengan begitu, kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Tiada seorang pun yang tertimpa musibah di dunia ini, kecuali ia akan menemukan orang yang lebih besar lagi musibahnya. Jika ia sedang ditimpa kesusahan, masih banyak orang yang lebih susah dari dirinya. Dengan memandang orang yang berada di bawah, maka kesusahan dan rasa sedih yang ia rasakan akan berkurang dan membuat hatinya terhibur, sehingga membantunya untuk bersabar dan bersyukur karena ternyata masih ada orang yang berada di bawahnya. Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Artikel: Muslim.or.id Tags: hidup di dunia

Apakah Orang yang Bunuh Diri Tetap Dishalatkan?

Pertanyaan: Benarkah orang yang meninggal karena bunuh diri tidak boleh dishalatkan oleh kaum Muslimin? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du, Bunuh diri adalah dosa besar, namun pelakunya tidak kafir. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30). Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110). Maka bunuh diri dalam Islam itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap disalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.245 pertanyaan ke-7). Ahlussunnah meyakini bahwa orang Mukmin pelaku dosa besar selain syirik, maka ia tidak kafir dan tidak kekal di neraka. Walaupun demikian maksiat yang ia lakukan mengurangi imannya dan membuat ia terancam masuk neraka. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa: 48). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ “Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 44). Demikian juga dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: شَفاعَتي لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتي “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari kalangan umatku” (HR. Al-Hakim no.229, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.3649). Orang yang mati dalam keadaan masih memiliki iman dalam hatinya, kemudian ia mati dalam keadaan membawa dosa besar, maka statusnya tahtal masyi’ah. Artinya nasibnya di akhirat tergantung kehendak Allah ta’ala. Bisa jadi Allah ampuni dia, bisa jadi Allah azab dia. Selama dosa tersebut bukan dosa kesyirikan. Sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4 di atas. Allah ta’ala juga berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 129). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, وَمن لقِيه مصرا غير تائب من الذُّنُوب الَّتِي اسْتوْجبَ بهَا الْعقُوبَة فَأمره إِلَى الله إِن شَاءَ عذبه وَإِن شَاءَ غفر لَه “Siapa saja yang bertemu Allah dalam keadaan masih terus-menerus melakukan dosa dan belum bertaubat darinya, yang dosa tersebut membuat dia berhak untuk diazab, maka perkaranya tergantung kepada Allah. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengazabnya. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengampuninya” (Ushulus Sunnah, no.26). Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa orang Mukmin yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap seorang yang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau mensalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: salatkanlah dia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadis yang terdapat lafaz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafaz tersebut mahfuzh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al-Kabair, 110). Adapun hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رجلًا قتلَ نفسَهُ بمشاقِصَ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ أمَّا أنا فلا أصلِّي عليْه “Ada seseorang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Adapun saya, maka saya tidak salatkan dia.” (HR. An-Nasa’i no. 1964, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i). Hadis ini tidak bermakna larangan menyalatkan orang yang mati bunuh diri, karena: 1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di atas. 2. Hadis ini berisi anjuran bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat untuk tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar. Sebagai bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan yang dilakukan si mayit.  Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadis ini: أن النبيّ ﷺ إنما لم يصل عليه بنفسه زجرًا للناس وصلت عليه الصحابة “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyalatkan jenazah yang mati bunuh diri tersebut sebagai bentuk peringatan kepada manusia. Namun para sahabat tetap menyalatkannya” (Nailul Authar, 7/314). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Disyariatkan bahwa imam atau tokoh suatu kaum untuk tidak menyalatkan orang yang bunuh diri. Namun larangan di sini bersifat haram atau makruh? Ada dua pendapat di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan haram untuk menyalatkannya. Sebagian ulama mengatakan makruh. Yang shahih adalah tergantung maslahat. Jika yang lebih maslahat adalah tidak menyalatkan maka wajib untuk tidak menyalatkan dan haram hukumnya. Namun jika perkaranya tidak terlalu urgen di sisi manusia, maka lebih tepat dihukumi makruh” (Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 2/540). Kesimpulannya, orang yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Namun bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat ada anjuran untuk tidak menyalatkannya sebagai bentuk bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan dosa besar.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Penulisan Insya Allah, Tulisan In Shaa Allah, Hukum Muslim Memelihara Anjing, Nikmatnya Malam Jumat, Khutbah Idul Fitri Yang Menyentuh Hati, Waktu Yang Diharamkan Shalat Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 282 QRIS donasi Yufid

Apakah Orang yang Bunuh Diri Tetap Dishalatkan?

Pertanyaan: Benarkah orang yang meninggal karena bunuh diri tidak boleh dishalatkan oleh kaum Muslimin? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du, Bunuh diri adalah dosa besar, namun pelakunya tidak kafir. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30). Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110). Maka bunuh diri dalam Islam itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap disalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.245 pertanyaan ke-7). Ahlussunnah meyakini bahwa orang Mukmin pelaku dosa besar selain syirik, maka ia tidak kafir dan tidak kekal di neraka. Walaupun demikian maksiat yang ia lakukan mengurangi imannya dan membuat ia terancam masuk neraka. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa: 48). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ “Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 44). Demikian juga dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: شَفاعَتي لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتي “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari kalangan umatku” (HR. Al-Hakim no.229, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.3649). Orang yang mati dalam keadaan masih memiliki iman dalam hatinya, kemudian ia mati dalam keadaan membawa dosa besar, maka statusnya tahtal masyi’ah. Artinya nasibnya di akhirat tergantung kehendak Allah ta’ala. Bisa jadi Allah ampuni dia, bisa jadi Allah azab dia. Selama dosa tersebut bukan dosa kesyirikan. Sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4 di atas. Allah ta’ala juga berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 129). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, وَمن لقِيه مصرا غير تائب من الذُّنُوب الَّتِي اسْتوْجبَ بهَا الْعقُوبَة فَأمره إِلَى الله إِن شَاءَ عذبه وَإِن شَاءَ غفر لَه “Siapa saja yang bertemu Allah dalam keadaan masih terus-menerus melakukan dosa dan belum bertaubat darinya, yang dosa tersebut membuat dia berhak untuk diazab, maka perkaranya tergantung kepada Allah. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengazabnya. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengampuninya” (Ushulus Sunnah, no.26). Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa orang Mukmin yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap seorang yang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau mensalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: salatkanlah dia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadis yang terdapat lafaz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafaz tersebut mahfuzh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al-Kabair, 110). Adapun hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رجلًا قتلَ نفسَهُ بمشاقِصَ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ أمَّا أنا فلا أصلِّي عليْه “Ada seseorang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Adapun saya, maka saya tidak salatkan dia.” (HR. An-Nasa’i no. 1964, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i). Hadis ini tidak bermakna larangan menyalatkan orang yang mati bunuh diri, karena: 1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di atas. 2. Hadis ini berisi anjuran bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat untuk tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar. Sebagai bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan yang dilakukan si mayit.  Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadis ini: أن النبيّ ﷺ إنما لم يصل عليه بنفسه زجرًا للناس وصلت عليه الصحابة “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyalatkan jenazah yang mati bunuh diri tersebut sebagai bentuk peringatan kepada manusia. Namun para sahabat tetap menyalatkannya” (Nailul Authar, 7/314). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Disyariatkan bahwa imam atau tokoh suatu kaum untuk tidak menyalatkan orang yang bunuh diri. Namun larangan di sini bersifat haram atau makruh? Ada dua pendapat di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan haram untuk menyalatkannya. Sebagian ulama mengatakan makruh. Yang shahih adalah tergantung maslahat. Jika yang lebih maslahat adalah tidak menyalatkan maka wajib untuk tidak menyalatkan dan haram hukumnya. Namun jika perkaranya tidak terlalu urgen di sisi manusia, maka lebih tepat dihukumi makruh” (Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 2/540). Kesimpulannya, orang yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Namun bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat ada anjuran untuk tidak menyalatkannya sebagai bentuk bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan dosa besar.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Penulisan Insya Allah, Tulisan In Shaa Allah, Hukum Muslim Memelihara Anjing, Nikmatnya Malam Jumat, Khutbah Idul Fitri Yang Menyentuh Hati, Waktu Yang Diharamkan Shalat Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 282 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Benarkah orang yang meninggal karena bunuh diri tidak boleh dishalatkan oleh kaum Muslimin? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du, Bunuh diri adalah dosa besar, namun pelakunya tidak kafir. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30). Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110). Maka bunuh diri dalam Islam itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap disalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.245 pertanyaan ke-7). Ahlussunnah meyakini bahwa orang Mukmin pelaku dosa besar selain syirik, maka ia tidak kafir dan tidak kekal di neraka. Walaupun demikian maksiat yang ia lakukan mengurangi imannya dan membuat ia terancam masuk neraka. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa: 48). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ “Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 44). Demikian juga dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: شَفاعَتي لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتي “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari kalangan umatku” (HR. Al-Hakim no.229, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.3649). Orang yang mati dalam keadaan masih memiliki iman dalam hatinya, kemudian ia mati dalam keadaan membawa dosa besar, maka statusnya tahtal masyi’ah. Artinya nasibnya di akhirat tergantung kehendak Allah ta’ala. Bisa jadi Allah ampuni dia, bisa jadi Allah azab dia. Selama dosa tersebut bukan dosa kesyirikan. Sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4 di atas. Allah ta’ala juga berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 129). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, وَمن لقِيه مصرا غير تائب من الذُّنُوب الَّتِي اسْتوْجبَ بهَا الْعقُوبَة فَأمره إِلَى الله إِن شَاءَ عذبه وَإِن شَاءَ غفر لَه “Siapa saja yang bertemu Allah dalam keadaan masih terus-menerus melakukan dosa dan belum bertaubat darinya, yang dosa tersebut membuat dia berhak untuk diazab, maka perkaranya tergantung kepada Allah. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengazabnya. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengampuninya” (Ushulus Sunnah, no.26). Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa orang Mukmin yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap seorang yang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau mensalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: salatkanlah dia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadis yang terdapat lafaz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafaz tersebut mahfuzh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al-Kabair, 110). Adapun hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رجلًا قتلَ نفسَهُ بمشاقِصَ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ أمَّا أنا فلا أصلِّي عليْه “Ada seseorang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Adapun saya, maka saya tidak salatkan dia.” (HR. An-Nasa’i no. 1964, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i). Hadis ini tidak bermakna larangan menyalatkan orang yang mati bunuh diri, karena: 1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di atas. 2. Hadis ini berisi anjuran bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat untuk tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar. Sebagai bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan yang dilakukan si mayit.  Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadis ini: أن النبيّ ﷺ إنما لم يصل عليه بنفسه زجرًا للناس وصلت عليه الصحابة “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyalatkan jenazah yang mati bunuh diri tersebut sebagai bentuk peringatan kepada manusia. Namun para sahabat tetap menyalatkannya” (Nailul Authar, 7/314). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Disyariatkan bahwa imam atau tokoh suatu kaum untuk tidak menyalatkan orang yang bunuh diri. Namun larangan di sini bersifat haram atau makruh? Ada dua pendapat di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan haram untuk menyalatkannya. Sebagian ulama mengatakan makruh. Yang shahih adalah tergantung maslahat. Jika yang lebih maslahat adalah tidak menyalatkan maka wajib untuk tidak menyalatkan dan haram hukumnya. Namun jika perkaranya tidak terlalu urgen di sisi manusia, maka lebih tepat dihukumi makruh” (Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 2/540). Kesimpulannya, orang yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Namun bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat ada anjuran untuk tidak menyalatkannya sebagai bentuk bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan dosa besar.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Penulisan Insya Allah, Tulisan In Shaa Allah, Hukum Muslim Memelihara Anjing, Nikmatnya Malam Jumat, Khutbah Idul Fitri Yang Menyentuh Hati, Waktu Yang Diharamkan Shalat Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 282 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Benarkah orang yang meninggal karena bunuh diri tidak boleh dishalatkan oleh kaum Muslimin? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du, Bunuh diri adalah dosa besar, namun pelakunya tidak kafir. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30). Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110). Maka bunuh diri dalam Islam itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap disalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.245 pertanyaan ke-7). Ahlussunnah meyakini bahwa orang Mukmin pelaku dosa besar selain syirik, maka ia tidak kafir dan tidak kekal di neraka. Walaupun demikian maksiat yang ia lakukan mengurangi imannya dan membuat ia terancam masuk neraka. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa: 48). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ “Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 44). Demikian juga dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: شَفاعَتي لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتي “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari kalangan umatku” (HR. Al-Hakim no.229, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.3649). Orang yang mati dalam keadaan masih memiliki iman dalam hatinya, kemudian ia mati dalam keadaan membawa dosa besar, maka statusnya tahtal masyi’ah. Artinya nasibnya di akhirat tergantung kehendak Allah ta’ala. Bisa jadi Allah ampuni dia, bisa jadi Allah azab dia. Selama dosa tersebut bukan dosa kesyirikan. Sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4 di atas. Allah ta’ala juga berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 129). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, وَمن لقِيه مصرا غير تائب من الذُّنُوب الَّتِي اسْتوْجبَ بهَا الْعقُوبَة فَأمره إِلَى الله إِن شَاءَ عذبه وَإِن شَاءَ غفر لَه “Siapa saja yang bertemu Allah dalam keadaan masih terus-menerus melakukan dosa dan belum bertaubat darinya, yang dosa tersebut membuat dia berhak untuk diazab, maka perkaranya tergantung kepada Allah. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengazabnya. Jika Allah ingin, maka Allah akan mengampuninya” (Ushulus Sunnah, no.26). Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa orang Mukmin yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap seorang yang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau mensalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: salatkanlah dia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadis yang terdapat lafaz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafaz tersebut mahfuzh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al-Kabair, 110). Adapun hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رجلًا قتلَ نفسَهُ بمشاقِصَ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ أمَّا أنا فلا أصلِّي عليْه “Ada seseorang bunuh diri dengan misyqash (semacam pisau). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Adapun saya, maka saya tidak salatkan dia.” (HR. An-Nasa’i no. 1964, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i). Hadis ini tidak bermakna larangan menyalatkan orang yang mati bunuh diri, karena: 1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di atas. 2. Hadis ini berisi anjuran bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat untuk tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar. Sebagai bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan yang dilakukan si mayit.  Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadis ini: أن النبيّ ﷺ إنما لم يصل عليه بنفسه زجرًا للناس وصلت عليه الصحابة “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyalatkan jenazah yang mati bunuh diri tersebut sebagai bentuk peringatan kepada manusia. Namun para sahabat tetap menyalatkannya” (Nailul Authar, 7/314). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Disyariatkan bahwa imam atau tokoh suatu kaum untuk tidak menyalatkan orang yang bunuh diri. Namun larangan di sini bersifat haram atau makruh? Ada dua pendapat di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan haram untuk menyalatkannya. Sebagian ulama mengatakan makruh. Yang shahih adalah tergantung maslahat. Jika yang lebih maslahat adalah tidak menyalatkan maka wajib untuk tidak menyalatkan dan haram hukumnya. Namun jika perkaranya tidak terlalu urgen di sisi manusia, maka lebih tepat dihukumi makruh” (Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 2/540). Kesimpulannya, orang yang mati bunuh diri, ia masih Muslim dan memiliki hak untuk diurus jenazahnya. Ia tetap dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Namun bagi pemimpin, ulama, imam masjid, tokoh masyarakat ada anjuran untuk tidak menyalatkannya sebagai bentuk bentuk tahdzir (peringatan keras) terhadap masyarakat agar meninggalkan perbuatan dosa besar.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Penulisan Insya Allah, Tulisan In Shaa Allah, Hukum Muslim Memelihara Anjing, Nikmatnya Malam Jumat, Khutbah Idul Fitri Yang Menyentuh Hati, Waktu Yang Diharamkan Shalat Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 282 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Pahala Besar Untukmu #cobaanhidup

Dalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad yang hasan,beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan, …” Ketika cobaan begitu besar,maka bergembiralah,karena pahala dan ganjarannya juga besar. “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan,dan sesungguhnya Allah jika Mencintai seorang hamba,niscaya Allah akan Mengujinya. Barang siapa yang rida, maka dia mendapatkan rida-Nya,dan barang siapa yang murka, maka dia mendapatkan murka-Nya.”Jadi, berserah dirilah, wahai hamba Allah,dan bergembiralah dengan kebaikan ini. ==== عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ كُلَّمَا كَانَ الْاِبْتِلَاءُ عَظِيمًا أَبْشِرْ فَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ إِذَنِ اسْتَسْلِمْ يَا عَبْدَ اللهِ وَأَبْشِرْ بِالْخَيْرِ

Pahala Besar Untukmu #cobaanhidup

Dalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad yang hasan,beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan, …” Ketika cobaan begitu besar,maka bergembiralah,karena pahala dan ganjarannya juga besar. “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan,dan sesungguhnya Allah jika Mencintai seorang hamba,niscaya Allah akan Mengujinya. Barang siapa yang rida, maka dia mendapatkan rida-Nya,dan barang siapa yang murka, maka dia mendapatkan murka-Nya.”Jadi, berserah dirilah, wahai hamba Allah,dan bergembiralah dengan kebaikan ini. ==== عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ كُلَّمَا كَانَ الْاِبْتِلَاءُ عَظِيمًا أَبْشِرْ فَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ إِذَنِ اسْتَسْلِمْ يَا عَبْدَ اللهِ وَأَبْشِرْ بِالْخَيْرِ
Dalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad yang hasan,beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan, …” Ketika cobaan begitu besar,maka bergembiralah,karena pahala dan ganjarannya juga besar. “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan,dan sesungguhnya Allah jika Mencintai seorang hamba,niscaya Allah akan Mengujinya. Barang siapa yang rida, maka dia mendapatkan rida-Nya,dan barang siapa yang murka, maka dia mendapatkan murka-Nya.”Jadi, berserah dirilah, wahai hamba Allah,dan bergembiralah dengan kebaikan ini. ==== عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ كُلَّمَا كَانَ الْاِبْتِلَاءُ عَظِيمًا أَبْشِرْ فَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ إِذَنِ اسْتَسْلِمْ يَا عَبْدَ اللهِ وَأَبْشِرْ بِالْخَيْرِ


Dalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad yang hasan,beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan, …” Ketika cobaan begitu besar,maka bergembiralah,karena pahala dan ganjarannya juga besar. “Sesungguhnya besarnya pahalaberbanding lurus dengan besarnya cobaan,dan sesungguhnya Allah jika Mencintai seorang hamba,niscaya Allah akan Mengujinya. Barang siapa yang rida, maka dia mendapatkan rida-Nya,dan barang siapa yang murka, maka dia mendapatkan murka-Nya.”Jadi, berserah dirilah, wahai hamba Allah,dan bergembiralah dengan kebaikan ini. ==== عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ كُلَّمَا كَانَ الْاِبْتِلَاءُ عَظِيمًا أَبْشِرْ فَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ إِذَنِ اسْتَسْلِمْ يَا عَبْدَ اللهِ وَأَبْشِرْ بِالْخَيْرِ

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Teks hadis kelimaKandungan hadis kelimaTeks hadis keenamKandungan hadis keenamTeks hadis ketujuhKandungan hadis ketujuh Teks hadis kelima Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ “Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.) Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ “Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.) Kandungan hadis kelima Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya. Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah. Baca juga: Boleh Membunuh Hewan Yang Mengganggu Atau Membahayakan Teks hadis keenam Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982) Kandungan hadis keenam Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53) Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal. Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi. Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal. Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya. Teks hadis ketujuh Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi), وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ “Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan) Kandungan hadis ketujuh Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya. Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Kembali ke bagian 2: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 403-406 dan 4: 415-416). Tags: zakat

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Teks hadis kelimaKandungan hadis kelimaTeks hadis keenamKandungan hadis keenamTeks hadis ketujuhKandungan hadis ketujuh Teks hadis kelima Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ “Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.) Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ “Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.) Kandungan hadis kelima Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya. Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah. Baca juga: Boleh Membunuh Hewan Yang Mengganggu Atau Membahayakan Teks hadis keenam Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982) Kandungan hadis keenam Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53) Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal. Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi. Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal. Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya. Teks hadis ketujuh Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi), وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ “Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan) Kandungan hadis ketujuh Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya. Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Kembali ke bagian 2: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 403-406 dan 4: 415-416). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadis kelimaKandungan hadis kelimaTeks hadis keenamKandungan hadis keenamTeks hadis ketujuhKandungan hadis ketujuh Teks hadis kelima Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ “Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.) Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ “Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.) Kandungan hadis kelima Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya. Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah. Baca juga: Boleh Membunuh Hewan Yang Mengganggu Atau Membahayakan Teks hadis keenam Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982) Kandungan hadis keenam Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53) Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal. Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi. Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal. Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya. Teks hadis ketujuh Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi), وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ “Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan) Kandungan hadis ketujuh Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya. Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Kembali ke bagian 2: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 403-406 dan 4: 415-416). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadis kelimaKandungan hadis kelimaTeks hadis keenamKandungan hadis keenamTeks hadis ketujuhKandungan hadis ketujuh Teks hadis kelima Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ “Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.) Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ “Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.) Kandungan hadis kelima Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya. Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah. Baca juga: Boleh Membunuh Hewan Yang Mengganggu Atau Membahayakan Teks hadis keenam Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982) Kandungan hadis keenam Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53) Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109) Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal. Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi. Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal. Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya. Teks hadis ketujuh Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi), وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ “Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan) Kandungan hadis ketujuh Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya. Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Kembali ke bagian 2: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 403-406 dan 4: 415-416). Tags: zakat

Jauhi Sifat Ini

“Barang siapa yang dalam hatinyaada kesombongan walau sebesar zarah,niscaya dia tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim) Masalah ini masalah serius!Sifat seperti inilahyang perlu Anda periksa dalam diri Anda! Jangan sampai dalam diri Andaada sifat ini walaupun hanya sedikit. Sebiji zarah itu sangat sedikit.Jadi, perkara ini butuh kesungguhan besardalam mencari dan memeriksa. Sabda Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamadalah kebenaran, demi Tuhan Pemilik langit!Tanpa dilebih-lebihkan dari yang semestinya. Sikapi perkara ini dengan serius!Jika dalam hati Andaada kesombongan sebesar zarah,maka Anda terancam dengan ancaman besar ini! ==== وَمَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فَالْمَقَامُ مَقَامٌ عَظِيمٌ وَمِثْلُ هَذَا الْخُلُقِ حَرِيٌّ بِكَ أَنْ تُفَتِّشَ فِي نَفْسِكَ حَذَارِي أَنْ يَكُونَ فِيكَ هَذَا الْمِقْدَارُ الضَّئِيلُ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ شَيْءٌ قَلِيلٌ إِذَنِ الْمَقَامُ يَحْتَاجُ إِلَى اجْتِهَادٍ عَظِيمٍ فِي الْبَحْثِ وَالتَّفْتِيشِ وَكَلَامُ رَسُولِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَرَبِّ السَّمَاءِ لَيْسَ فِيهِ مُبَالَغَةٌ عَنِ الْحَدِّ فَخُذْ هَذَا الْأَمْرَ عَلَى مَحْمَلِ الْجِدِّ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ فَأَنْتَ مُتَوَعَّدٌ بِهَذَا الْوَعِيدِ الْعَظِيمِ

Jauhi Sifat Ini

“Barang siapa yang dalam hatinyaada kesombongan walau sebesar zarah,niscaya dia tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim) Masalah ini masalah serius!Sifat seperti inilahyang perlu Anda periksa dalam diri Anda! Jangan sampai dalam diri Andaada sifat ini walaupun hanya sedikit. Sebiji zarah itu sangat sedikit.Jadi, perkara ini butuh kesungguhan besardalam mencari dan memeriksa. Sabda Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamadalah kebenaran, demi Tuhan Pemilik langit!Tanpa dilebih-lebihkan dari yang semestinya. Sikapi perkara ini dengan serius!Jika dalam hati Andaada kesombongan sebesar zarah,maka Anda terancam dengan ancaman besar ini! ==== وَمَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فَالْمَقَامُ مَقَامٌ عَظِيمٌ وَمِثْلُ هَذَا الْخُلُقِ حَرِيٌّ بِكَ أَنْ تُفَتِّشَ فِي نَفْسِكَ حَذَارِي أَنْ يَكُونَ فِيكَ هَذَا الْمِقْدَارُ الضَّئِيلُ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ شَيْءٌ قَلِيلٌ إِذَنِ الْمَقَامُ يَحْتَاجُ إِلَى اجْتِهَادٍ عَظِيمٍ فِي الْبَحْثِ وَالتَّفْتِيشِ وَكَلَامُ رَسُولِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَرَبِّ السَّمَاءِ لَيْسَ فِيهِ مُبَالَغَةٌ عَنِ الْحَدِّ فَخُذْ هَذَا الْأَمْرَ عَلَى مَحْمَلِ الْجِدِّ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ فَأَنْتَ مُتَوَعَّدٌ بِهَذَا الْوَعِيدِ الْعَظِيمِ
“Barang siapa yang dalam hatinyaada kesombongan walau sebesar zarah,niscaya dia tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim) Masalah ini masalah serius!Sifat seperti inilahyang perlu Anda periksa dalam diri Anda! Jangan sampai dalam diri Andaada sifat ini walaupun hanya sedikit. Sebiji zarah itu sangat sedikit.Jadi, perkara ini butuh kesungguhan besardalam mencari dan memeriksa. Sabda Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamadalah kebenaran, demi Tuhan Pemilik langit!Tanpa dilebih-lebihkan dari yang semestinya. Sikapi perkara ini dengan serius!Jika dalam hati Andaada kesombongan sebesar zarah,maka Anda terancam dengan ancaman besar ini! ==== وَمَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فَالْمَقَامُ مَقَامٌ عَظِيمٌ وَمِثْلُ هَذَا الْخُلُقِ حَرِيٌّ بِكَ أَنْ تُفَتِّشَ فِي نَفْسِكَ حَذَارِي أَنْ يَكُونَ فِيكَ هَذَا الْمِقْدَارُ الضَّئِيلُ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ شَيْءٌ قَلِيلٌ إِذَنِ الْمَقَامُ يَحْتَاجُ إِلَى اجْتِهَادٍ عَظِيمٍ فِي الْبَحْثِ وَالتَّفْتِيشِ وَكَلَامُ رَسُولِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَرَبِّ السَّمَاءِ لَيْسَ فِيهِ مُبَالَغَةٌ عَنِ الْحَدِّ فَخُذْ هَذَا الْأَمْرَ عَلَى مَحْمَلِ الْجِدِّ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ فَأَنْتَ مُتَوَعَّدٌ بِهَذَا الْوَعِيدِ الْعَظِيمِ


“Barang siapa yang dalam hatinyaada kesombongan walau sebesar zarah,niscaya dia tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim) Masalah ini masalah serius!Sifat seperti inilahyang perlu Anda periksa dalam diri Anda! Jangan sampai dalam diri Andaada sifat ini walaupun hanya sedikit. Sebiji zarah itu sangat sedikit.Jadi, perkara ini butuh kesungguhan besardalam mencari dan memeriksa. Sabda Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamadalah kebenaran, demi Tuhan Pemilik langit!Tanpa dilebih-lebihkan dari yang semestinya. Sikapi perkara ini dengan serius!Jika dalam hati Andaada kesombongan sebesar zarah,maka Anda terancam dengan ancaman besar ini! ==== وَمَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فَالْمَقَامُ مَقَامٌ عَظِيمٌ وَمِثْلُ هَذَا الْخُلُقِ حَرِيٌّ بِكَ أَنْ تُفَتِّشَ فِي نَفْسِكَ حَذَارِي أَنْ يَكُونَ فِيكَ هَذَا الْمِقْدَارُ الضَّئِيلُ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ شَيْءٌ قَلِيلٌ إِذَنِ الْمَقَامُ يَحْتَاجُ إِلَى اجْتِهَادٍ عَظِيمٍ فِي الْبَحْثِ وَالتَّفْتِيشِ وَكَلَامُ رَسُولِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَرَبِّ السَّمَاءِ لَيْسَ فِيهِ مُبَالَغَةٌ عَنِ الْحَدِّ فَخُذْ هَذَا الْأَمْرَ عَلَى مَحْمَلِ الْجِدِّ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ فَأَنْتَ مُتَوَعَّدٌ بِهَذَا الْوَعِيدِ الْعَظِيمِ

Ayat Kursi tidak Termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang

السؤال قد ذكرتم في السؤال رقم: (217496) أحاديث أذكار الصباح والمساء، ولكن لم تأتوا بذكر آية الكرسي وفضلها، مع أني قد قرأت في “السنن الكبرى” للنسائي حديث رقم (7703)، ورجال ذلك الحديث ثقات، ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لسيدنا أبي هريرة (أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ، وَلا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ)، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ ؟ قَالَ: (آيَةُ الْكُرْسِيِّ، اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ)، قَالَ أَبُوهُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ لِي: (أَوَ مَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ)، فما سر عدم ذكر ذلك الحديث؟ وهل هناك أحاديث أخرى يمكن أن يؤخذ منها أذكار الصباح والمساء بجانب ما تفضلتم بذكره سابقا في السؤال رقم: (217496)؟ Pertanyaan: Pada pertanyaan nomor 217496 Anda menyebutkan hadis-hadis tentang Zikir Pagi Petang, namun Anda tidak menyebutkan Ayat Kursi beserta fadilah-nya, padahal saya membaca dalam as-Sunan al-Kubrā karya an-Nasai pada hadis nomor 7703 ada riwayat yang sampai kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dari para perawi hadis yang terpercaya yang menyatakan bahwa ada yang berkata kepada Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— “Aku ajari kamu beberapa kalimat yang jika kamu mengatakannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.”  Aku bertanya, “Apa kalimat-kalimat tersebut?”  Dia berkata, “Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya, kemudian mengabarkannya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?”  Lalu apa alasan di balik tidak disebutkannya hadis tersebut? Adakah hadis lain yang dapat dijadikan Zikir Pagi Petang, selain yang telah Anda sebutkan sebelumnya dalam pertanyaan nomor 217496? ملخص الجواب المحفوظ من حيث الرواية أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليست من أذكار الصباح والمساء. Ringkasan Jawaban: Hadis yang Maẖfūdz (terpelihara dari kekeliruan) dalam riwayat ini adalah bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu zikir ketika tidur, bukan Zikir Pagi Petang. الجواب الحمد لله. أولا: روى النسائي في “السنن الكبرى” (10728)، و(7963)، وفي “فضائل القرآن” (ص 91 — 93)، وفي “عمل اليوم والليلة” (ص 531 – 532)، قال: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:” أَنَّهُ كَانَ عَلَى تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَوَجَدَ أَثَرَ كَفٍّ كَأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ قُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقُلْتُ ، فَإِذَا جِنِّيٌّ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيَّ، فَأَخَذْتُهُ لِأَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا أَخَذْتُهُ لِأَهْلِ بَيْتٍ فُقَرَاءَ مِنَ الْجِنِّ، وَلَنْ أَعُودَ.  Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, bahwa an-Nasai meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab as-Sunan al-Kubrā nomor (10728) dan (7963), kitab Faḏāʾil al-Qurān (halaman 91-93), dan kitab ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (halaman 531-532), yang menyatakan, “Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah mengabarkan kepada kami; dia berkata: Syuaib bin Harb mengatakan kepada kami; dia berkata: Ismail bin Muslim mengatakan kepada kami dari Abul Mutawakkil dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— suatu ketika menjaga kurma sedekah. Dia menemukan bekas telapak tangan seolah-olah ada kurma yang diambil. Lalu dia melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu ingin menangkapnya? Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (Maha Suci Zat Yang Menundukkan kamu kepada Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam)”  Abu Hurairah mengisahkan, “Lalu aku membacanya, tiba-tiba ada jin yang berdiri di hadapanku. Lalu aku menangkapnya untuk membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia mengatakan, ‘Aku mengambilnya hanya untuk keluargaku dari bangsa jin yang miskin. Aku tidak akan kembali lagi.’”  قَالَ: فَعَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟  فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَاهَدَنِي أَنْ لَا يَعُودَ فَتَرَكْتُهُ، ثُمَّ عَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَقُلْتُ: عَاهَدْتَنِي فَكَذَبْتَ وَعُدْتَ، لَأَذْهَبَنَّ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: خَلِّ عَنِّي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: أَوَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ. Abu Hurairah mengisahkan, “Ternyata dia kembali lagi. Lalu aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ jawabku.  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Dia berkata (setelah mengucapkannya), ‘Tiba-tiba dia sudah di sampingku, lalu aku ingin membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Akan tetapi, dia berjanji kepadaku tidak akan kembali lagi, jadi aku melepaskannya.  Ternyata, dia kembali lagi, maka aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ tukasku. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Lalu aku mengucapkannya dan tiba-tiba dia sudah di sampingku, maka aku katakan kepadanya, ‘Kamu sudah berjanji tapi kamu berbohong dan kembali lagi. Sungguh, aku akan membawamu ke hadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu dia menimpali, ‘Lepaskan aku, aku mengajarimu beberapa kalimat yang jika kamu mengucapkannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.’ Aku bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia mengatakan, ‘Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.’”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya lalu mengabarkan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, ‘Apakah engkau belum tahu memang demikian?’” وهذا إسناد رواته ثقات، لكن شعيب بن حرب وإن كان ثقة إلا أنه قد رواه غيره عن إسماعيل بن مسلم فخالفوه. فقد رواه الخطيب البغدادي في “المتفق والمفترق” (1/ 380 – 381)، قال: أخبرنا محمد بن الحسين بن الفضل القطان، أخبرنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن عمرويه الصفار، حدثنا أبو بكر بن أبي خيثمة، حدثنا مسلم يعني ابن إبراهيم، حدثنا إسماعيل بن مسلم، عن أبي المتوكل: ” أن أبا هريرة رضي الله عنه كان معه مفتاح بيت الصدقة وكان فيه تمر، فذهب يوما يفتح الباب فوجد التمر قد أخذ منه ملء كف… “ فذكر الحديث، وفيه: (” فإنك إن تدعني علمتك كلمات إذا أنت قلتها لم يقربك أحد من الجن، صغير ولا كبير، ذكر ولا أنثى. قال: لتفعلن؟ قال: نعم. قال: ما هن؟ قال: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آية الكرسي، حتى ختمها، فتركه فذهب فأبعد. فذكر ذلك أبو هريرة للنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، فقال له النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: أما علمت أن ذلك كذلك”. Para perawi dalam sanad ini dapat dipercaya. Syuaib bin Harb meskipun tepercaya, hanya saja ada perawi lain yang meriwayatkan dari Ismail bin Muslim tapi menyelisihi riwayatnya. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Muttafiq wal Muftariq (1/380 – 381), dia berkata, “Muhammad bin al-Husain bin al-Faḏl al-Qaṯṯān mengabarkan kepada kami; Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Amrawaih aṣh-Ṣhaffār mengabarkan kepada kami; Abu Bakar bin Abi Khaitsamah menceritakan kepada kami; Muslim—yakni Ibnu Ibrahim—menceritakan kepada kami; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh …” dan seterusnya.  Dalam hadis tersebut disebutkan, “Jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.”  Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh. Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” ورواه ابن ضريس في “فضائل القرآن” (ص 93)، قال: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو ‌الْمُتَوَكِّلِ: ” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ، وَكَانَ فِيهِ تَمْرٌ، فَذَهَبَ يَوْمًا يَفْتَحُ الْبَابَ، فَإِذَا التَّمْرُ قَدْ أُخِذَ مِنْهُ مِلْءُ كَفٍّ، ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا آخَرَ، حَتَّى ذَكَرَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ… )فذكر الخبر، وفيه: ” فَقَالَ لَهُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، زَعَمْتَ أَنَّكَ لَا تَعُودُ، لَا أَدَعْكَ الْيَوْمَ حَتَّى أَذْهَبَ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ، إِنَّكَ إِنْ تَدَعْنِي عَلَّمْتُكَ كَلِمَاتٍ إِذَا أَنْتَ قُلْتَهَا لَمْ يَقْرَبْكَ أَحَدٌ مِنَ الْجِنِّ، صَغِيرٌ وَلَا كَبِيرٌ، ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى، قَالَ لَهُ: لَتَفْعَلَنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا هُوَ؟ قَالَ: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آيَةُ الْكُرْسِيِّ حَتَّى خَتَمَهَا فَتَرَكَهُ، فَذَهَبَ فَلَمْ يَعُدْ، فَذَكَرَ ذَلِكَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ. Diriwayatkan oleh Ibnu Ḏharīs dalam Faḏāʾil al-Qurʾān (halaman 93), dia berkata “Muslim bin Ibrahim mengabarkan kepada kami; Ismail bin Muslim al-ʿAbdi menceritakan kepada kami; Abul Mutawakkil menceritakan kepada kami bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh. Kemudian, dia pergi di hari lain, dan dia menyebutnya sampai tiga kali …,” dan seterusnya.  Lalu dia mengisahkan kisah tersebut dan disebutkan bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah! Kamu janji tidak akan kembali lagi! Hari ini aku tidak akan melepasmu sampai aku membawamu kehadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia menimpali, “Jangan lakukan! Sungguh, jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh.  Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” وفي هذه الرواية قد خالف مسلم بن إبراهيم شعيبا في أمرين: الأمر الأول: أنه لم ينص على قراءة آية الكرسي في الصباح والمساء؛ وإنما ذكر قراءتها، دون تقييد لذلك بوقت أو حال. الأمر الثاني: أن أبا المتوكل لم يصرح بأخذه لهذا الحديث عن أبي هريرة، بل قال:” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ…”، وصيغة “أنّ” لا تفيد الاتصال بمجردها؛ فهي لا تدل على سماع أبي المتوكل لهذا الخبر من أبي هريرة، وإنما استعملت لحكاية قصة أبي هريرة، فهذه الرواية مرسلة غير متصلة الإسناد. Dalam riwayat ini, Muslim bin Ibrahim menyelisihi riwayat Syuaib dalam dua hal; Pertama, bahwa dia tidak mengabarkan tentang membaca Ayat Kursi pada pagi dan petang, melainkan hanya mengatakan membacanya saja tanpa membatasi pada waktu atau keadaan tertentu. Kedua, bahwa Abul Mutawakkil tidak menyatakan secara eksplisit bahwa dia mendapatkan cerita ini dari Abu Hurairah, melainkan mengatakan “… bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah…” diksi anna (bahwa) secara independen tidak bermakna ketersambungan sanad, karena diksi ini tidak menunjukkan bahwa Abul Mutawakkil mendengar langsung riwayat ini dari Abu Hurairah, melainkan hanya menceritakan kisah tentang Abu Hurairah saja. Jadi, riwayat ini statusnya Mursal dan sanadnya terputus. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” وحاصله أن الراوي إذا قال: “عن فلان” فلا فرق أن يضيف إليه القول أو الفعل في اتصال ذلك عند الجمهور بشرطه السابق. وإذا قال: ” أن فلانا ” ففيه فرق؛ وذلك أن ينظر، فإن كان خبرها قولا لم يتعد لمن لم يدركه التحقت بحكم “عن” بلا خلاف. كأن يقول التابعي: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال: “سمعت كذا”، فهو نظير ما لو قال: عن أبي هريرة أنه قال: “سمعت كذا”. وإن كان خبرها فعلا نظر إن كان الراوي أدرك ذلك التحقت بحكم “عن” وإن كان لم يدركه لم تلتحق بحكمها. Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jadi, kesimpulannya bahwa jika perawi mengatakan, ‘(diriwayatkan) dari fulan’ maka tidak ada bedanya dalam status ketersambungan sanadnya, baik dia mengatakannya dengan konteks qaul (perkataan) atau fiʿil (perbuatan). Ini menurut mayoritas ulama dengan syarat yang tadi. Adapun jika dia mengatakan, ‘bahwa si fulan’ maka ini ada perbedaan dan perlu dilihat dulu; Jika diriwayatkan dalam konteks qaul dari orang yang tidak menjumpainya, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari) tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Misalnya, jika seorang Tabiin berkata bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Aku mendengar demikian dan demikian, …’ maka ini serupa hukumnya dengan jika dia berkata, ‘(diriwayatkan) dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Aku mendengar demikian dan demikian, ….”’  Jika diriwayatkan dalam konteks fiʿil, maka dilihat, jika perawinya menjumpai perbuatan tersebut, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari). Adapun jika dia tidak menjumpainya, maka tidak. فكون يعقوب بن شيبة قال في رواية عطاء عن ابن الحنفية: ( أن عمارا مر بالنبي صلى الله عليه وسلم ) هذا مرسل.إنما هو من جهة كونه أضاف إلى صيغة الفعل الذي لم يدركه ابن الحنفية، وهو مرور عمار …. ولو كان أضاف إليها القول كأن يقول: عن ابن الحنفية أن عمارا قال: ( مررت بالنبي صلى الله عليه وسلم ) لكان ظاهر الاتصال. وقد نبه شيخنا – العراقي – على هذا الموضع فأردت زيادة إيضاحه، ثم إنه نقل عن ابن المواق تحرير ذلك، واتفاق المحدثين على الحكم بانقطاع ما هذا سبيله، وهو كما قال، لكن في نقل الاتفاق نظر ” انتهى من “النكت” (2/ 591 – 592). Maka dari itulah, ketika Yakub bin Syaibah dalam riwayatnya dari ʿAṯhāʾ dari Ibnul Hanafiyah mengatakan, “Bahwa Ammar melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …,” maka riwayat ini Mursal. Dari sisi bahwa dia meriwayatkannya dengan konteks fiʿil (perbuatan) yang tidak dijumpai oleh Ibnul Hanafiyah, yakni lewatnya si Ammar tersebut. Seandainya dia meriwayatkannya dengan konteks qaul, seperti dengan mengatakan, “(Diriwayatkan) dari Ibnul Hanafiyah bahwa Ammar berkata, ‘Aku melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …’ maka ini jelas bersambung sanadnya. Guru kami al-ʿIrāqi telah memberi catatan tentang masalah ini dan aku ingin memperjelasnya lagi. Beliau juga mengutip rincian pembahasan ini dari Ibnul Mawwāq dan menukil bahwa para ahli hadis juga bersepakat menghukumi keterputusan sanad yang demikian cara periwayatannya. Demikian yang beliau katakan, tetapi kesepakatan yang beliau kutip perlu diteliti lagi. Selesai kutipan akhir dari an-Nukat (2/591-592). وبهذه الصيغة رواه أيضا عمرو بن منصور عن إسماعيل بن مسلم، عند البخاري في “التاريخ الكبير” (1/243)، قال: ” وقالَ لي عَمرُو بنُ مَنصورٍ: حَدَّثَنَا إِسْماعيلُ بنُ مُسلِمٍ، عَن أَبي ‌المُتوكِّلِ، أنَّ مَفاتيحَ الصَّدقةِ كانتْ معَ أَبي هُريْرةَ، بِهذا “. ومسلم بن إبراهيم وعمرو بن منصور ثقتان فلا شك أن روايتهما مقدمة على رواية الواحد. كما أن أبا المتوكل وإن كان ثقة فقد خالفه من هو أوثق منه في أبي هريرة، وهو محمد بن سيرين. Redaksi periwayatan seperti ini juga diriwayatkan oleh Amru bin Mansur dari Ismail bin Muslim, yang dikutip oleh Bukhari dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/243) di mana dia mengatakan, “Dan Amru bin Mansur berkata kepadaku; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abul Mutawakkil bahwa kunci-kunci (gudang) harta sedekah dipegang oleh Abu Hurairah, ….”  Sementara Muslim bin Ibrahim dan Amru bin Mansur adalah orang yang tepercaya sehingga tidak perlu ragu bahwa riwayat mereka lebih dikedepankan daripada riwayat satu orang saja. Selain itu, meskipun Abul Mutawakkil adalah perawi tepercaya, tetapi ia juga menyelisihi perawi lain yang lebih tepercaya daripadanya dalam riwayatnya dari Abu Hurairah ini, yaitu Muhammad bin Sirin. قال عبد الله ابن الإمام أحمد رحمه الله تعالى: ” وسمعته – يقصد والده الإمام أحمد – يقول: محمد بن سيرين في أبي هريرة ‌لا ‌يقدم ‌عليه أحد ” انتهى من “العلل ومعرفة الرجال” (1/351). ورواية ابن سيرين عن أبي هريرة قد انتقاها الإمام البخاري وأدخلها في “الصحيح” في عدة مواضع، وليس فيها ذكر الصباح والمساء، وإنما فيها: (إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ). فروى البخاري في عدة ومواضع، منها تحت رقم: (3275)، قال: وَقَالَ ‌عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ : حَدَّثَنَا ‌عَوْفٌ عَنْ ‌مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: Abdullah bin Imam Ahmad —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Aku mendengar beliau—maksudnya ayahnya, Imam Ahmad—berkata bahwa Muhammad bin Sirin paling dikedepankan daripada siapa pun dalam periwayatan dari Abu Hurairah.” Selesai kutipan dari al-ʿIlal wa Maʿrifatu ar-Rijāl (1/351).  Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah telah diseleksi Imam Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitab Sahih-nya di beberapa tempat tanpa menyebutkan konteks (zikir) pagi dan petang, melainkan menyebutkan, “Jika engkau hendak menuju pembaringanmu, maka bacalah Ayat Kursi.”  Imam Bukhari meriwayatkan di beberapa tempat, antara lain dalam hadis nomor 3275, beliau berkata, “Utsman bin al-Haitsam berkata: Auf menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, ” وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ؛ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ الحَدِيثَ -، فَقَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ. فالبخاري وإن لم يصرح بسماعه لهذا الحديث من عثمان بن الهيثم، إلا أنه قد رواه غير واحد من الثقات عن عثمان بن الهيثم، بهذا الإسناد. ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengamanahkan kepadaku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitrah). Lalu, ada yang datang dan mengacak-acak makanan, kemudian aku menangkapnya. Aku mengatakan, “Aku akan mengadukanmu pada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …” kemudian dia menyebutkan hadis di atas … lalu setan mengatakan, ‘Jika kamu hendak pergi tidur ke pembaringan, bacalah Ayat Kursi, maka akan selalu ada penjaga dari Allah bagimu dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pun bersabda, “Dia berkata benar, meskipun dia adalah pembohong besar. Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).  Meskipun Imam Bukhari tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia mendengar hadis ini dari Utsman bin al-Haitsam, tetapi tidak hanya satu perawi tepercaya yang meriwayatkannya dari Utsman bin al-Haitsam dengan sanad ini. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” هكذا أورد البخاري هذا الحديث هنا ولم يصرح فيه بالتحديث، وزعم ابن العربي أنه منقطع، وأعاده كذلك في صفة إبليس وفي فضائل القرآن لكن باختصار. وقد وصله النسائي والإسماعيلي وأبو نعيم، من طرق، إلى عثمان المذكور، وذكرته في “تغليق التعليق” من طريق عبد العزيز بن منيب، وعبد العزيز بن سلام، وإبراهيم بن يعقوب الجوزجاني، وهلال بن بشر الصواف، ومحمد بن غالب الذي يقال له تمتام، وأقربهم لأن يكون البخاري أخذه عنه إن كان ما سمعه من ابن الهيثم هلال بن بشر، فإنه من شيوخه أخرج عنه في “جزء القراءة خلف الإمام”… ” انتهى من “فتح الباري لابن حجر” (4/488). Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Demikianlah Bukhari meriwayatkan hadis ini di sini, sementara beliau tidak secara eksplisit menyatakan taẖdīts (dengan redaksi ẖaddatsanā (telah menceritakan kepada kami)) sehingga Ibnul Arabi menyangka ini hadis yang terputus. Beliau mengulanginya seperti ini dalam bab ‘Sifat Iblis’ dan ‘Fadilah-fadilah al-Quran’ tapi diringkas.  An-Nasai, al-Ismaili, dan Abu Nuaim telah menyambung keterputusan sanad ini dari berbagai jalur sampai kepada Utsman tersebut di atas. Aku juga menyebutkannya dalam kitab Taghlīq at-Taʿlīq melalui jalur Abdul Aziz bin Munib, Abdul Aziz bin Salam, Ibrahim bin Yakub al-Jauzajani, Hilal bin Bisyr aṣh-Ṣhawwāf, dan Muhammad bin Ghalib yang dipanggil Tamtām. Dialah orang yang riwayatnya paling mungkin diambil oleh Bukhari walaupun beliau tidak mendengarnya langsung dari Ibnul Haitsam Hilal bin Bisyr, karena dia adalah salah satu gurunya yang mana beliau meriwayatkan darinya dalam Juzʾu al-Qirāʾah Khalfa al-Imām ….” Selesai kutipan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar (4/488). فالحاصل؛ أن المحفوظ في هذا الحديث: هي الرواية التي تنص على أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليس من أذكار الصباح والمساء. وقد وردت روايات أخرى تنص على أن آية الكرسي من أذكار الصباح والمساء، لكن أسانيدها فيها مقال. فقد روى الترمذي (2879)، وابن السني في “عمل اليوم والليلة” (ص 66)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 157)، وغيرهم من طرق عدة: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ المُلَيْكِيِّ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ مُصْعَبٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( مَنْ قَرَأَ حم المُؤْمِنَ إِلَى ( إِلَيْهِ المَصِيرُ )، ‌وَآيَةَ ‌الكُرْسِيِّ ‌حِينَ ‌يُصْبِحُ: حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهُمَا حِينَ يُمْسِي حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُصْبِحَ). وقال الترمذي: ” هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ فِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ المُلَيْكِيِّ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ ” انتهى. Kesimpulannya, bahwa riwayat yang terpelihara dalam hadis ini adalah riwayat yang menyebutkan bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu Zikir Sebelum Tidur, dan bukan Zikir Pagi dan Petang.  Ada beberapa riwayat lain yang menyatakan bahwa Ayat Kursi termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang, namun semua sanadnya tidak lepas dari kritik.  Tirmidzi (2879), Ibnus Sunni dalam ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 66), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 157), dan lain-lain meriwayatkannya dari beberapa jalur berbeda dari Abdurrahman bin Abu Bakar al-Mulaiki dari Zurārah bin Muṣʿab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca H̱ā Mīm dalam surah al-Mukmin (Ghafir) sampai dengan wa ilaihil maṣhīr, dan Ayat Kursi pada waktu pagi, maka ia akan dijaga hingga waktu sore tiba, dan barang siapa membaca keduanya pada waktu sore, maka ia akan dijaga hingga waktu pagi.” Abu Isa berkata, “Hadis ini Gharīb. Sebagian ulama mengkritisi Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Mulaikah al-Mulaiki dari sisi hafalannya.” Selesai kutipan. وقال الذهبي رحمه الله تعالى: ” عبد الرحمن بن أبي بكر المليكى . قال البخاري: ذاهب الحديث. وقال ابن معين: ضعيف. وقال أحمد: منكر الحديث. وقال النسائي: متروك ” انتهى من “ميزان الاعتدال” (2/550). فإسناد الحديث ضعيف. Az-Zahabi —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari Abdurrahman bin Abi Bakar al-Mulaiki mengatakan bahwa Imam Bukhari berkata, “Haditsnya ditinggalkan.” Ibnu Maʿīn berkata, “Lemah.” Imam Ahmad berkata, “Hadisnya mungkar.” An-Nasai berkata, “Ditinggalkan.” Selesai kutipan dari Mizan al-Iʿtidāl (2/550). Jadi, sanad hadis ini lemah. وورد أيضا ذكر الصباح والمساء في حديث أبي بن كعب رضي الله عنه، وهو شبيه بقصة أبي هريرة رضي الله عنه السابقة. رواه البخاري في “التاريخ الكبير” (1/ 242 – 243)، والنسائي في “السنن الكبري” (10730)، و(10731)، و(10732)، وابن حبان كما في “الإحسان” (3 / 63)، والطبراني في “المعجم الكبير” (1 / 201)، والحاكم في “المستدرك” (1 / 561 – 562)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 166 – 167). وغيرهم. لكنه حديث مضطرب الإسناد والمتن، ففي بعض طرقه ينص على الصباح والمساء، وفي بعضها لم يرد ذكر الصباح والمساء. Ada juga riwayat yang menyebutkan tentang pembacaan Ayat Kursi pada pagi dan petang dalam hadis Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya—, yang kisahnya mirip dengan kisah Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— sebelumnya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/242-243), an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubrā (10730), (10731), dan (10732), Ibnu Hibban sebagaimana dalam al-Ihsān (3/63), at-Tabarani dalam al-Muʿjam al-Kabīr (1/201), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/561- 562), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 166-167), dan lain-lain. Hanya saja, hadis ini Muḏhṯharib (rancu) secara sanad dan matannya, di mana pada sebagian riwayatnya menyebutkan pagi dan sore dan pada sebagian yang lainnya tidak menyebutkannya. ثانيا: ما ورد في جواب السؤال رقم: (217496) من أذكار للصباح والمساء، فهذا أصح ما وقفنا عليه. وفيه – إن شاء الله – كفاية للمسلم إذا التزم بها، ويرد في دواوين السنة غيرها، لكن أغلبها مما اختلف في صحته، أو مقطوع بضعفه. ومن ترجح لديه ثبوت شيء منها، أو أن ضعفه يسير يعمل به في مثل هذه الأبواب التي يتسامح في أسانيدها، فعمل به: فلا حرج عليه، بل هو خير، عن شاء الله. Kedua, berkenaan dengan apa yang disebutkan pada jawaban pertanyaan nomor 217496 tentang Zikir Pagi dan Petang, maka zikir-zikir itulah yang paling sahih sejauh yang kami telaah. Apa yang kami sebutkan insya Allah cukup bagi seorang muslim jika ia konsisten mengamalkannya.  Memang ada zikir-zikir lain yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja kesahihannya diperselisihkan atau bahkan jelas kelemahannya. Jika ada seseorang yang menganggap ada zikir yang menurutnya sahih atau agak lemah, maka dia boleh mengamalkannya dalam konteks zikir seperti ini yang memang agak longgar dalam menghukumi sanadnya. Jadi, yang mengamalkannya tidak masalah, bahkan baik, dengan izin Allah.  ويمكن الاطلاع على جملة مما ورد في ذلك الباب في عدد من المصنفات، منها: كتاب “عمل اليوم والليلة ” للنسائي. وكتاب “عمل اليوم والليلة” لابن السني. وكتاب “الأذكار” للنووي. ومن الكتب المعاصرة، كتاب “حصن المسلم من أذكار الكتاب والسّنة” للشيخ سعيد بن على بن وهف القحطاني رحمه الله تعالى.والله أعلم. Riwayat-Riwayat dalam masalah ini bisa ditelaah di beberapa kitab, antara lain: ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya an-Nasa’i, ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibnus Sunni, dan al-Adzkār karya an-Nawawi.  Adapun dalam kitab-kitab kontemporer, ada kitab H̱iṣhnul Muslim min Adzkār al-Kitāb wa as-Sunnah karya Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf Qaẖṯhāni —Semoga Allah Merahmatinya— Allah yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/448652/هل-اية-الكرسي-من-اذكار-الصباح-والمساءPDF sumber artikel. 🔍 Doa Melihat Kabah, Sholat Qobliyah Jumat, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Kalung Perak Pria, Doa Menghafal, Tempat Minum Anak Tupperware Visited 280 times, 3 visit(s) today Post Views: 610 QRIS donasi Yufid

Ayat Kursi tidak Termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang

السؤال قد ذكرتم في السؤال رقم: (217496) أحاديث أذكار الصباح والمساء، ولكن لم تأتوا بذكر آية الكرسي وفضلها، مع أني قد قرأت في “السنن الكبرى” للنسائي حديث رقم (7703)، ورجال ذلك الحديث ثقات، ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لسيدنا أبي هريرة (أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ، وَلا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ)، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ ؟ قَالَ: (آيَةُ الْكُرْسِيِّ، اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ)، قَالَ أَبُوهُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ لِي: (أَوَ مَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ)، فما سر عدم ذكر ذلك الحديث؟ وهل هناك أحاديث أخرى يمكن أن يؤخذ منها أذكار الصباح والمساء بجانب ما تفضلتم بذكره سابقا في السؤال رقم: (217496)؟ Pertanyaan: Pada pertanyaan nomor 217496 Anda menyebutkan hadis-hadis tentang Zikir Pagi Petang, namun Anda tidak menyebutkan Ayat Kursi beserta fadilah-nya, padahal saya membaca dalam as-Sunan al-Kubrā karya an-Nasai pada hadis nomor 7703 ada riwayat yang sampai kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dari para perawi hadis yang terpercaya yang menyatakan bahwa ada yang berkata kepada Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— “Aku ajari kamu beberapa kalimat yang jika kamu mengatakannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.”  Aku bertanya, “Apa kalimat-kalimat tersebut?”  Dia berkata, “Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya, kemudian mengabarkannya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?”  Lalu apa alasan di balik tidak disebutkannya hadis tersebut? Adakah hadis lain yang dapat dijadikan Zikir Pagi Petang, selain yang telah Anda sebutkan sebelumnya dalam pertanyaan nomor 217496? ملخص الجواب المحفوظ من حيث الرواية أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليست من أذكار الصباح والمساء. Ringkasan Jawaban: Hadis yang Maẖfūdz (terpelihara dari kekeliruan) dalam riwayat ini adalah bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu zikir ketika tidur, bukan Zikir Pagi Petang. الجواب الحمد لله. أولا: روى النسائي في “السنن الكبرى” (10728)، و(7963)، وفي “فضائل القرآن” (ص 91 — 93)، وفي “عمل اليوم والليلة” (ص 531 – 532)، قال: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:” أَنَّهُ كَانَ عَلَى تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَوَجَدَ أَثَرَ كَفٍّ كَأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ قُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقُلْتُ ، فَإِذَا جِنِّيٌّ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيَّ، فَأَخَذْتُهُ لِأَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا أَخَذْتُهُ لِأَهْلِ بَيْتٍ فُقَرَاءَ مِنَ الْجِنِّ، وَلَنْ أَعُودَ.  Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, bahwa an-Nasai meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab as-Sunan al-Kubrā nomor (10728) dan (7963), kitab Faḏāʾil al-Qurān (halaman 91-93), dan kitab ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (halaman 531-532), yang menyatakan, “Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah mengabarkan kepada kami; dia berkata: Syuaib bin Harb mengatakan kepada kami; dia berkata: Ismail bin Muslim mengatakan kepada kami dari Abul Mutawakkil dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— suatu ketika menjaga kurma sedekah. Dia menemukan bekas telapak tangan seolah-olah ada kurma yang diambil. Lalu dia melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu ingin menangkapnya? Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (Maha Suci Zat Yang Menundukkan kamu kepada Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam)”  Abu Hurairah mengisahkan, “Lalu aku membacanya, tiba-tiba ada jin yang berdiri di hadapanku. Lalu aku menangkapnya untuk membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia mengatakan, ‘Aku mengambilnya hanya untuk keluargaku dari bangsa jin yang miskin. Aku tidak akan kembali lagi.’”  قَالَ: فَعَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟  فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَاهَدَنِي أَنْ لَا يَعُودَ فَتَرَكْتُهُ، ثُمَّ عَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَقُلْتُ: عَاهَدْتَنِي فَكَذَبْتَ وَعُدْتَ، لَأَذْهَبَنَّ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: خَلِّ عَنِّي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: أَوَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ. Abu Hurairah mengisahkan, “Ternyata dia kembali lagi. Lalu aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ jawabku.  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Dia berkata (setelah mengucapkannya), ‘Tiba-tiba dia sudah di sampingku, lalu aku ingin membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Akan tetapi, dia berjanji kepadaku tidak akan kembali lagi, jadi aku melepaskannya.  Ternyata, dia kembali lagi, maka aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ tukasku. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Lalu aku mengucapkannya dan tiba-tiba dia sudah di sampingku, maka aku katakan kepadanya, ‘Kamu sudah berjanji tapi kamu berbohong dan kembali lagi. Sungguh, aku akan membawamu ke hadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu dia menimpali, ‘Lepaskan aku, aku mengajarimu beberapa kalimat yang jika kamu mengucapkannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.’ Aku bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia mengatakan, ‘Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.’”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya lalu mengabarkan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, ‘Apakah engkau belum tahu memang demikian?’” وهذا إسناد رواته ثقات، لكن شعيب بن حرب وإن كان ثقة إلا أنه قد رواه غيره عن إسماعيل بن مسلم فخالفوه. فقد رواه الخطيب البغدادي في “المتفق والمفترق” (1/ 380 – 381)، قال: أخبرنا محمد بن الحسين بن الفضل القطان، أخبرنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن عمرويه الصفار، حدثنا أبو بكر بن أبي خيثمة، حدثنا مسلم يعني ابن إبراهيم، حدثنا إسماعيل بن مسلم، عن أبي المتوكل: ” أن أبا هريرة رضي الله عنه كان معه مفتاح بيت الصدقة وكان فيه تمر، فذهب يوما يفتح الباب فوجد التمر قد أخذ منه ملء كف… “ فذكر الحديث، وفيه: (” فإنك إن تدعني علمتك كلمات إذا أنت قلتها لم يقربك أحد من الجن، صغير ولا كبير، ذكر ولا أنثى. قال: لتفعلن؟ قال: نعم. قال: ما هن؟ قال: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آية الكرسي، حتى ختمها، فتركه فذهب فأبعد. فذكر ذلك أبو هريرة للنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، فقال له النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: أما علمت أن ذلك كذلك”. Para perawi dalam sanad ini dapat dipercaya. Syuaib bin Harb meskipun tepercaya, hanya saja ada perawi lain yang meriwayatkan dari Ismail bin Muslim tapi menyelisihi riwayatnya. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Muttafiq wal Muftariq (1/380 – 381), dia berkata, “Muhammad bin al-Husain bin al-Faḏl al-Qaṯṯān mengabarkan kepada kami; Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Amrawaih aṣh-Ṣhaffār mengabarkan kepada kami; Abu Bakar bin Abi Khaitsamah menceritakan kepada kami; Muslim—yakni Ibnu Ibrahim—menceritakan kepada kami; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh …” dan seterusnya.  Dalam hadis tersebut disebutkan, “Jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.”  Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh. Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” ورواه ابن ضريس في “فضائل القرآن” (ص 93)، قال: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو ‌الْمُتَوَكِّلِ: ” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ، وَكَانَ فِيهِ تَمْرٌ، فَذَهَبَ يَوْمًا يَفْتَحُ الْبَابَ، فَإِذَا التَّمْرُ قَدْ أُخِذَ مِنْهُ مِلْءُ كَفٍّ، ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا آخَرَ، حَتَّى ذَكَرَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ… )فذكر الخبر، وفيه: ” فَقَالَ لَهُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، زَعَمْتَ أَنَّكَ لَا تَعُودُ، لَا أَدَعْكَ الْيَوْمَ حَتَّى أَذْهَبَ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ، إِنَّكَ إِنْ تَدَعْنِي عَلَّمْتُكَ كَلِمَاتٍ إِذَا أَنْتَ قُلْتَهَا لَمْ يَقْرَبْكَ أَحَدٌ مِنَ الْجِنِّ، صَغِيرٌ وَلَا كَبِيرٌ، ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى، قَالَ لَهُ: لَتَفْعَلَنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا هُوَ؟ قَالَ: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آيَةُ الْكُرْسِيِّ حَتَّى خَتَمَهَا فَتَرَكَهُ، فَذَهَبَ فَلَمْ يَعُدْ، فَذَكَرَ ذَلِكَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ. Diriwayatkan oleh Ibnu Ḏharīs dalam Faḏāʾil al-Qurʾān (halaman 93), dia berkata “Muslim bin Ibrahim mengabarkan kepada kami; Ismail bin Muslim al-ʿAbdi menceritakan kepada kami; Abul Mutawakkil menceritakan kepada kami bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh. Kemudian, dia pergi di hari lain, dan dia menyebutnya sampai tiga kali …,” dan seterusnya.  Lalu dia mengisahkan kisah tersebut dan disebutkan bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah! Kamu janji tidak akan kembali lagi! Hari ini aku tidak akan melepasmu sampai aku membawamu kehadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia menimpali, “Jangan lakukan! Sungguh, jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh.  Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” وفي هذه الرواية قد خالف مسلم بن إبراهيم شعيبا في أمرين: الأمر الأول: أنه لم ينص على قراءة آية الكرسي في الصباح والمساء؛ وإنما ذكر قراءتها، دون تقييد لذلك بوقت أو حال. الأمر الثاني: أن أبا المتوكل لم يصرح بأخذه لهذا الحديث عن أبي هريرة، بل قال:” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ…”، وصيغة “أنّ” لا تفيد الاتصال بمجردها؛ فهي لا تدل على سماع أبي المتوكل لهذا الخبر من أبي هريرة، وإنما استعملت لحكاية قصة أبي هريرة، فهذه الرواية مرسلة غير متصلة الإسناد. Dalam riwayat ini, Muslim bin Ibrahim menyelisihi riwayat Syuaib dalam dua hal; Pertama, bahwa dia tidak mengabarkan tentang membaca Ayat Kursi pada pagi dan petang, melainkan hanya mengatakan membacanya saja tanpa membatasi pada waktu atau keadaan tertentu. Kedua, bahwa Abul Mutawakkil tidak menyatakan secara eksplisit bahwa dia mendapatkan cerita ini dari Abu Hurairah, melainkan mengatakan “… bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah…” diksi anna (bahwa) secara independen tidak bermakna ketersambungan sanad, karena diksi ini tidak menunjukkan bahwa Abul Mutawakkil mendengar langsung riwayat ini dari Abu Hurairah, melainkan hanya menceritakan kisah tentang Abu Hurairah saja. Jadi, riwayat ini statusnya Mursal dan sanadnya terputus. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” وحاصله أن الراوي إذا قال: “عن فلان” فلا فرق أن يضيف إليه القول أو الفعل في اتصال ذلك عند الجمهور بشرطه السابق. وإذا قال: ” أن فلانا ” ففيه فرق؛ وذلك أن ينظر، فإن كان خبرها قولا لم يتعد لمن لم يدركه التحقت بحكم “عن” بلا خلاف. كأن يقول التابعي: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال: “سمعت كذا”، فهو نظير ما لو قال: عن أبي هريرة أنه قال: “سمعت كذا”. وإن كان خبرها فعلا نظر إن كان الراوي أدرك ذلك التحقت بحكم “عن” وإن كان لم يدركه لم تلتحق بحكمها. Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jadi, kesimpulannya bahwa jika perawi mengatakan, ‘(diriwayatkan) dari fulan’ maka tidak ada bedanya dalam status ketersambungan sanadnya, baik dia mengatakannya dengan konteks qaul (perkataan) atau fiʿil (perbuatan). Ini menurut mayoritas ulama dengan syarat yang tadi. Adapun jika dia mengatakan, ‘bahwa si fulan’ maka ini ada perbedaan dan perlu dilihat dulu; Jika diriwayatkan dalam konteks qaul dari orang yang tidak menjumpainya, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari) tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Misalnya, jika seorang Tabiin berkata bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Aku mendengar demikian dan demikian, …’ maka ini serupa hukumnya dengan jika dia berkata, ‘(diriwayatkan) dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Aku mendengar demikian dan demikian, ….”’  Jika diriwayatkan dalam konteks fiʿil, maka dilihat, jika perawinya menjumpai perbuatan tersebut, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari). Adapun jika dia tidak menjumpainya, maka tidak. فكون يعقوب بن شيبة قال في رواية عطاء عن ابن الحنفية: ( أن عمارا مر بالنبي صلى الله عليه وسلم ) هذا مرسل.إنما هو من جهة كونه أضاف إلى صيغة الفعل الذي لم يدركه ابن الحنفية، وهو مرور عمار …. ولو كان أضاف إليها القول كأن يقول: عن ابن الحنفية أن عمارا قال: ( مررت بالنبي صلى الله عليه وسلم ) لكان ظاهر الاتصال. وقد نبه شيخنا – العراقي – على هذا الموضع فأردت زيادة إيضاحه، ثم إنه نقل عن ابن المواق تحرير ذلك، واتفاق المحدثين على الحكم بانقطاع ما هذا سبيله، وهو كما قال، لكن في نقل الاتفاق نظر ” انتهى من “النكت” (2/ 591 – 592). Maka dari itulah, ketika Yakub bin Syaibah dalam riwayatnya dari ʿAṯhāʾ dari Ibnul Hanafiyah mengatakan, “Bahwa Ammar melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …,” maka riwayat ini Mursal. Dari sisi bahwa dia meriwayatkannya dengan konteks fiʿil (perbuatan) yang tidak dijumpai oleh Ibnul Hanafiyah, yakni lewatnya si Ammar tersebut. Seandainya dia meriwayatkannya dengan konteks qaul, seperti dengan mengatakan, “(Diriwayatkan) dari Ibnul Hanafiyah bahwa Ammar berkata, ‘Aku melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …’ maka ini jelas bersambung sanadnya. Guru kami al-ʿIrāqi telah memberi catatan tentang masalah ini dan aku ingin memperjelasnya lagi. Beliau juga mengutip rincian pembahasan ini dari Ibnul Mawwāq dan menukil bahwa para ahli hadis juga bersepakat menghukumi keterputusan sanad yang demikian cara periwayatannya. Demikian yang beliau katakan, tetapi kesepakatan yang beliau kutip perlu diteliti lagi. Selesai kutipan akhir dari an-Nukat (2/591-592). وبهذه الصيغة رواه أيضا عمرو بن منصور عن إسماعيل بن مسلم، عند البخاري في “التاريخ الكبير” (1/243)، قال: ” وقالَ لي عَمرُو بنُ مَنصورٍ: حَدَّثَنَا إِسْماعيلُ بنُ مُسلِمٍ، عَن أَبي ‌المُتوكِّلِ، أنَّ مَفاتيحَ الصَّدقةِ كانتْ معَ أَبي هُريْرةَ، بِهذا “. ومسلم بن إبراهيم وعمرو بن منصور ثقتان فلا شك أن روايتهما مقدمة على رواية الواحد. كما أن أبا المتوكل وإن كان ثقة فقد خالفه من هو أوثق منه في أبي هريرة، وهو محمد بن سيرين. Redaksi periwayatan seperti ini juga diriwayatkan oleh Amru bin Mansur dari Ismail bin Muslim, yang dikutip oleh Bukhari dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/243) di mana dia mengatakan, “Dan Amru bin Mansur berkata kepadaku; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abul Mutawakkil bahwa kunci-kunci (gudang) harta sedekah dipegang oleh Abu Hurairah, ….”  Sementara Muslim bin Ibrahim dan Amru bin Mansur adalah orang yang tepercaya sehingga tidak perlu ragu bahwa riwayat mereka lebih dikedepankan daripada riwayat satu orang saja. Selain itu, meskipun Abul Mutawakkil adalah perawi tepercaya, tetapi ia juga menyelisihi perawi lain yang lebih tepercaya daripadanya dalam riwayatnya dari Abu Hurairah ini, yaitu Muhammad bin Sirin. قال عبد الله ابن الإمام أحمد رحمه الله تعالى: ” وسمعته – يقصد والده الإمام أحمد – يقول: محمد بن سيرين في أبي هريرة ‌لا ‌يقدم ‌عليه أحد ” انتهى من “العلل ومعرفة الرجال” (1/351). ورواية ابن سيرين عن أبي هريرة قد انتقاها الإمام البخاري وأدخلها في “الصحيح” في عدة مواضع، وليس فيها ذكر الصباح والمساء، وإنما فيها: (إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ). فروى البخاري في عدة ومواضع، منها تحت رقم: (3275)، قال: وَقَالَ ‌عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ : حَدَّثَنَا ‌عَوْفٌ عَنْ ‌مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: Abdullah bin Imam Ahmad —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Aku mendengar beliau—maksudnya ayahnya, Imam Ahmad—berkata bahwa Muhammad bin Sirin paling dikedepankan daripada siapa pun dalam periwayatan dari Abu Hurairah.” Selesai kutipan dari al-ʿIlal wa Maʿrifatu ar-Rijāl (1/351).  Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah telah diseleksi Imam Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitab Sahih-nya di beberapa tempat tanpa menyebutkan konteks (zikir) pagi dan petang, melainkan menyebutkan, “Jika engkau hendak menuju pembaringanmu, maka bacalah Ayat Kursi.”  Imam Bukhari meriwayatkan di beberapa tempat, antara lain dalam hadis nomor 3275, beliau berkata, “Utsman bin al-Haitsam berkata: Auf menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, ” وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ؛ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ الحَدِيثَ -، فَقَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ. فالبخاري وإن لم يصرح بسماعه لهذا الحديث من عثمان بن الهيثم، إلا أنه قد رواه غير واحد من الثقات عن عثمان بن الهيثم، بهذا الإسناد. ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengamanahkan kepadaku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitrah). Lalu, ada yang datang dan mengacak-acak makanan, kemudian aku menangkapnya. Aku mengatakan, “Aku akan mengadukanmu pada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …” kemudian dia menyebutkan hadis di atas … lalu setan mengatakan, ‘Jika kamu hendak pergi tidur ke pembaringan, bacalah Ayat Kursi, maka akan selalu ada penjaga dari Allah bagimu dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pun bersabda, “Dia berkata benar, meskipun dia adalah pembohong besar. Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).  Meskipun Imam Bukhari tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia mendengar hadis ini dari Utsman bin al-Haitsam, tetapi tidak hanya satu perawi tepercaya yang meriwayatkannya dari Utsman bin al-Haitsam dengan sanad ini. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” هكذا أورد البخاري هذا الحديث هنا ولم يصرح فيه بالتحديث، وزعم ابن العربي أنه منقطع، وأعاده كذلك في صفة إبليس وفي فضائل القرآن لكن باختصار. وقد وصله النسائي والإسماعيلي وأبو نعيم، من طرق، إلى عثمان المذكور، وذكرته في “تغليق التعليق” من طريق عبد العزيز بن منيب، وعبد العزيز بن سلام، وإبراهيم بن يعقوب الجوزجاني، وهلال بن بشر الصواف، ومحمد بن غالب الذي يقال له تمتام، وأقربهم لأن يكون البخاري أخذه عنه إن كان ما سمعه من ابن الهيثم هلال بن بشر، فإنه من شيوخه أخرج عنه في “جزء القراءة خلف الإمام”… ” انتهى من “فتح الباري لابن حجر” (4/488). Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Demikianlah Bukhari meriwayatkan hadis ini di sini, sementara beliau tidak secara eksplisit menyatakan taẖdīts (dengan redaksi ẖaddatsanā (telah menceritakan kepada kami)) sehingga Ibnul Arabi menyangka ini hadis yang terputus. Beliau mengulanginya seperti ini dalam bab ‘Sifat Iblis’ dan ‘Fadilah-fadilah al-Quran’ tapi diringkas.  An-Nasai, al-Ismaili, dan Abu Nuaim telah menyambung keterputusan sanad ini dari berbagai jalur sampai kepada Utsman tersebut di atas. Aku juga menyebutkannya dalam kitab Taghlīq at-Taʿlīq melalui jalur Abdul Aziz bin Munib, Abdul Aziz bin Salam, Ibrahim bin Yakub al-Jauzajani, Hilal bin Bisyr aṣh-Ṣhawwāf, dan Muhammad bin Ghalib yang dipanggil Tamtām. Dialah orang yang riwayatnya paling mungkin diambil oleh Bukhari walaupun beliau tidak mendengarnya langsung dari Ibnul Haitsam Hilal bin Bisyr, karena dia adalah salah satu gurunya yang mana beliau meriwayatkan darinya dalam Juzʾu al-Qirāʾah Khalfa al-Imām ….” Selesai kutipan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar (4/488). فالحاصل؛ أن المحفوظ في هذا الحديث: هي الرواية التي تنص على أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليس من أذكار الصباح والمساء. وقد وردت روايات أخرى تنص على أن آية الكرسي من أذكار الصباح والمساء، لكن أسانيدها فيها مقال. فقد روى الترمذي (2879)، وابن السني في “عمل اليوم والليلة” (ص 66)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 157)، وغيرهم من طرق عدة: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ المُلَيْكِيِّ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ مُصْعَبٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( مَنْ قَرَأَ حم المُؤْمِنَ إِلَى ( إِلَيْهِ المَصِيرُ )، ‌وَآيَةَ ‌الكُرْسِيِّ ‌حِينَ ‌يُصْبِحُ: حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهُمَا حِينَ يُمْسِي حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُصْبِحَ). وقال الترمذي: ” هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ فِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ المُلَيْكِيِّ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ ” انتهى. Kesimpulannya, bahwa riwayat yang terpelihara dalam hadis ini adalah riwayat yang menyebutkan bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu Zikir Sebelum Tidur, dan bukan Zikir Pagi dan Petang.  Ada beberapa riwayat lain yang menyatakan bahwa Ayat Kursi termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang, namun semua sanadnya tidak lepas dari kritik.  Tirmidzi (2879), Ibnus Sunni dalam ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 66), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 157), dan lain-lain meriwayatkannya dari beberapa jalur berbeda dari Abdurrahman bin Abu Bakar al-Mulaiki dari Zurārah bin Muṣʿab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca H̱ā Mīm dalam surah al-Mukmin (Ghafir) sampai dengan wa ilaihil maṣhīr, dan Ayat Kursi pada waktu pagi, maka ia akan dijaga hingga waktu sore tiba, dan barang siapa membaca keduanya pada waktu sore, maka ia akan dijaga hingga waktu pagi.” Abu Isa berkata, “Hadis ini Gharīb. Sebagian ulama mengkritisi Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Mulaikah al-Mulaiki dari sisi hafalannya.” Selesai kutipan. وقال الذهبي رحمه الله تعالى: ” عبد الرحمن بن أبي بكر المليكى . قال البخاري: ذاهب الحديث. وقال ابن معين: ضعيف. وقال أحمد: منكر الحديث. وقال النسائي: متروك ” انتهى من “ميزان الاعتدال” (2/550). فإسناد الحديث ضعيف. Az-Zahabi —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari Abdurrahman bin Abi Bakar al-Mulaiki mengatakan bahwa Imam Bukhari berkata, “Haditsnya ditinggalkan.” Ibnu Maʿīn berkata, “Lemah.” Imam Ahmad berkata, “Hadisnya mungkar.” An-Nasai berkata, “Ditinggalkan.” Selesai kutipan dari Mizan al-Iʿtidāl (2/550). Jadi, sanad hadis ini lemah. وورد أيضا ذكر الصباح والمساء في حديث أبي بن كعب رضي الله عنه، وهو شبيه بقصة أبي هريرة رضي الله عنه السابقة. رواه البخاري في “التاريخ الكبير” (1/ 242 – 243)، والنسائي في “السنن الكبري” (10730)، و(10731)، و(10732)، وابن حبان كما في “الإحسان” (3 / 63)، والطبراني في “المعجم الكبير” (1 / 201)، والحاكم في “المستدرك” (1 / 561 – 562)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 166 – 167). وغيرهم. لكنه حديث مضطرب الإسناد والمتن، ففي بعض طرقه ينص على الصباح والمساء، وفي بعضها لم يرد ذكر الصباح والمساء. Ada juga riwayat yang menyebutkan tentang pembacaan Ayat Kursi pada pagi dan petang dalam hadis Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya—, yang kisahnya mirip dengan kisah Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— sebelumnya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/242-243), an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubrā (10730), (10731), dan (10732), Ibnu Hibban sebagaimana dalam al-Ihsān (3/63), at-Tabarani dalam al-Muʿjam al-Kabīr (1/201), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/561- 562), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 166-167), dan lain-lain. Hanya saja, hadis ini Muḏhṯharib (rancu) secara sanad dan matannya, di mana pada sebagian riwayatnya menyebutkan pagi dan sore dan pada sebagian yang lainnya tidak menyebutkannya. ثانيا: ما ورد في جواب السؤال رقم: (217496) من أذكار للصباح والمساء، فهذا أصح ما وقفنا عليه. وفيه – إن شاء الله – كفاية للمسلم إذا التزم بها، ويرد في دواوين السنة غيرها، لكن أغلبها مما اختلف في صحته، أو مقطوع بضعفه. ومن ترجح لديه ثبوت شيء منها، أو أن ضعفه يسير يعمل به في مثل هذه الأبواب التي يتسامح في أسانيدها، فعمل به: فلا حرج عليه، بل هو خير، عن شاء الله. Kedua, berkenaan dengan apa yang disebutkan pada jawaban pertanyaan nomor 217496 tentang Zikir Pagi dan Petang, maka zikir-zikir itulah yang paling sahih sejauh yang kami telaah. Apa yang kami sebutkan insya Allah cukup bagi seorang muslim jika ia konsisten mengamalkannya.  Memang ada zikir-zikir lain yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja kesahihannya diperselisihkan atau bahkan jelas kelemahannya. Jika ada seseorang yang menganggap ada zikir yang menurutnya sahih atau agak lemah, maka dia boleh mengamalkannya dalam konteks zikir seperti ini yang memang agak longgar dalam menghukumi sanadnya. Jadi, yang mengamalkannya tidak masalah, bahkan baik, dengan izin Allah.  ويمكن الاطلاع على جملة مما ورد في ذلك الباب في عدد من المصنفات، منها: كتاب “عمل اليوم والليلة ” للنسائي. وكتاب “عمل اليوم والليلة” لابن السني. وكتاب “الأذكار” للنووي. ومن الكتب المعاصرة، كتاب “حصن المسلم من أذكار الكتاب والسّنة” للشيخ سعيد بن على بن وهف القحطاني رحمه الله تعالى.والله أعلم. Riwayat-Riwayat dalam masalah ini bisa ditelaah di beberapa kitab, antara lain: ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya an-Nasa’i, ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibnus Sunni, dan al-Adzkār karya an-Nawawi.  Adapun dalam kitab-kitab kontemporer, ada kitab H̱iṣhnul Muslim min Adzkār al-Kitāb wa as-Sunnah karya Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf Qaẖṯhāni —Semoga Allah Merahmatinya— Allah yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/448652/هل-اية-الكرسي-من-اذكار-الصباح-والمساءPDF sumber artikel. 🔍 Doa Melihat Kabah, Sholat Qobliyah Jumat, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Kalung Perak Pria, Doa Menghafal, Tempat Minum Anak Tupperware Visited 280 times, 3 visit(s) today Post Views: 610 QRIS donasi Yufid
السؤال قد ذكرتم في السؤال رقم: (217496) أحاديث أذكار الصباح والمساء، ولكن لم تأتوا بذكر آية الكرسي وفضلها، مع أني قد قرأت في “السنن الكبرى” للنسائي حديث رقم (7703)، ورجال ذلك الحديث ثقات، ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لسيدنا أبي هريرة (أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ، وَلا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ)، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ ؟ قَالَ: (آيَةُ الْكُرْسِيِّ، اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ)، قَالَ أَبُوهُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ لِي: (أَوَ مَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ)، فما سر عدم ذكر ذلك الحديث؟ وهل هناك أحاديث أخرى يمكن أن يؤخذ منها أذكار الصباح والمساء بجانب ما تفضلتم بذكره سابقا في السؤال رقم: (217496)؟ Pertanyaan: Pada pertanyaan nomor 217496 Anda menyebutkan hadis-hadis tentang Zikir Pagi Petang, namun Anda tidak menyebutkan Ayat Kursi beserta fadilah-nya, padahal saya membaca dalam as-Sunan al-Kubrā karya an-Nasai pada hadis nomor 7703 ada riwayat yang sampai kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dari para perawi hadis yang terpercaya yang menyatakan bahwa ada yang berkata kepada Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— “Aku ajari kamu beberapa kalimat yang jika kamu mengatakannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.”  Aku bertanya, “Apa kalimat-kalimat tersebut?”  Dia berkata, “Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya, kemudian mengabarkannya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?”  Lalu apa alasan di balik tidak disebutkannya hadis tersebut? Adakah hadis lain yang dapat dijadikan Zikir Pagi Petang, selain yang telah Anda sebutkan sebelumnya dalam pertanyaan nomor 217496? ملخص الجواب المحفوظ من حيث الرواية أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليست من أذكار الصباح والمساء. Ringkasan Jawaban: Hadis yang Maẖfūdz (terpelihara dari kekeliruan) dalam riwayat ini adalah bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu zikir ketika tidur, bukan Zikir Pagi Petang. الجواب الحمد لله. أولا: روى النسائي في “السنن الكبرى” (10728)، و(7963)، وفي “فضائل القرآن” (ص 91 — 93)، وفي “عمل اليوم والليلة” (ص 531 – 532)، قال: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:” أَنَّهُ كَانَ عَلَى تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَوَجَدَ أَثَرَ كَفٍّ كَأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ قُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقُلْتُ ، فَإِذَا جِنِّيٌّ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيَّ، فَأَخَذْتُهُ لِأَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا أَخَذْتُهُ لِأَهْلِ بَيْتٍ فُقَرَاءَ مِنَ الْجِنِّ، وَلَنْ أَعُودَ.  Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, bahwa an-Nasai meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab as-Sunan al-Kubrā nomor (10728) dan (7963), kitab Faḏāʾil al-Qurān (halaman 91-93), dan kitab ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (halaman 531-532), yang menyatakan, “Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah mengabarkan kepada kami; dia berkata: Syuaib bin Harb mengatakan kepada kami; dia berkata: Ismail bin Muslim mengatakan kepada kami dari Abul Mutawakkil dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— suatu ketika menjaga kurma sedekah. Dia menemukan bekas telapak tangan seolah-olah ada kurma yang diambil. Lalu dia melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu ingin menangkapnya? Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (Maha Suci Zat Yang Menundukkan kamu kepada Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam)”  Abu Hurairah mengisahkan, “Lalu aku membacanya, tiba-tiba ada jin yang berdiri di hadapanku. Lalu aku menangkapnya untuk membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia mengatakan, ‘Aku mengambilnya hanya untuk keluargaku dari bangsa jin yang miskin. Aku tidak akan kembali lagi.’”  قَالَ: فَعَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟  فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَاهَدَنِي أَنْ لَا يَعُودَ فَتَرَكْتُهُ، ثُمَّ عَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَقُلْتُ: عَاهَدْتَنِي فَكَذَبْتَ وَعُدْتَ، لَأَذْهَبَنَّ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: خَلِّ عَنِّي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: أَوَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ. Abu Hurairah mengisahkan, “Ternyata dia kembali lagi. Lalu aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ jawabku.  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Dia berkata (setelah mengucapkannya), ‘Tiba-tiba dia sudah di sampingku, lalu aku ingin membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Akan tetapi, dia berjanji kepadaku tidak akan kembali lagi, jadi aku melepaskannya.  Ternyata, dia kembali lagi, maka aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ tukasku. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Lalu aku mengucapkannya dan tiba-tiba dia sudah di sampingku, maka aku katakan kepadanya, ‘Kamu sudah berjanji tapi kamu berbohong dan kembali lagi. Sungguh, aku akan membawamu ke hadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu dia menimpali, ‘Lepaskan aku, aku mengajarimu beberapa kalimat yang jika kamu mengucapkannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.’ Aku bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia mengatakan, ‘Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.’”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya lalu mengabarkan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, ‘Apakah engkau belum tahu memang demikian?’” وهذا إسناد رواته ثقات، لكن شعيب بن حرب وإن كان ثقة إلا أنه قد رواه غيره عن إسماعيل بن مسلم فخالفوه. فقد رواه الخطيب البغدادي في “المتفق والمفترق” (1/ 380 – 381)، قال: أخبرنا محمد بن الحسين بن الفضل القطان، أخبرنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن عمرويه الصفار، حدثنا أبو بكر بن أبي خيثمة، حدثنا مسلم يعني ابن إبراهيم، حدثنا إسماعيل بن مسلم، عن أبي المتوكل: ” أن أبا هريرة رضي الله عنه كان معه مفتاح بيت الصدقة وكان فيه تمر، فذهب يوما يفتح الباب فوجد التمر قد أخذ منه ملء كف… “ فذكر الحديث، وفيه: (” فإنك إن تدعني علمتك كلمات إذا أنت قلتها لم يقربك أحد من الجن، صغير ولا كبير، ذكر ولا أنثى. قال: لتفعلن؟ قال: نعم. قال: ما هن؟ قال: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آية الكرسي، حتى ختمها، فتركه فذهب فأبعد. فذكر ذلك أبو هريرة للنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، فقال له النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: أما علمت أن ذلك كذلك”. Para perawi dalam sanad ini dapat dipercaya. Syuaib bin Harb meskipun tepercaya, hanya saja ada perawi lain yang meriwayatkan dari Ismail bin Muslim tapi menyelisihi riwayatnya. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Muttafiq wal Muftariq (1/380 – 381), dia berkata, “Muhammad bin al-Husain bin al-Faḏl al-Qaṯṯān mengabarkan kepada kami; Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Amrawaih aṣh-Ṣhaffār mengabarkan kepada kami; Abu Bakar bin Abi Khaitsamah menceritakan kepada kami; Muslim—yakni Ibnu Ibrahim—menceritakan kepada kami; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh …” dan seterusnya.  Dalam hadis tersebut disebutkan, “Jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.”  Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh. Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” ورواه ابن ضريس في “فضائل القرآن” (ص 93)، قال: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو ‌الْمُتَوَكِّلِ: ” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ، وَكَانَ فِيهِ تَمْرٌ، فَذَهَبَ يَوْمًا يَفْتَحُ الْبَابَ، فَإِذَا التَّمْرُ قَدْ أُخِذَ مِنْهُ مِلْءُ كَفٍّ، ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا آخَرَ، حَتَّى ذَكَرَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ… )فذكر الخبر، وفيه: ” فَقَالَ لَهُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، زَعَمْتَ أَنَّكَ لَا تَعُودُ، لَا أَدَعْكَ الْيَوْمَ حَتَّى أَذْهَبَ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ، إِنَّكَ إِنْ تَدَعْنِي عَلَّمْتُكَ كَلِمَاتٍ إِذَا أَنْتَ قُلْتَهَا لَمْ يَقْرَبْكَ أَحَدٌ مِنَ الْجِنِّ، صَغِيرٌ وَلَا كَبِيرٌ، ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى، قَالَ لَهُ: لَتَفْعَلَنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا هُوَ؟ قَالَ: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آيَةُ الْكُرْسِيِّ حَتَّى خَتَمَهَا فَتَرَكَهُ، فَذَهَبَ فَلَمْ يَعُدْ، فَذَكَرَ ذَلِكَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ. Diriwayatkan oleh Ibnu Ḏharīs dalam Faḏāʾil al-Qurʾān (halaman 93), dia berkata “Muslim bin Ibrahim mengabarkan kepada kami; Ismail bin Muslim al-ʿAbdi menceritakan kepada kami; Abul Mutawakkil menceritakan kepada kami bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh. Kemudian, dia pergi di hari lain, dan dia menyebutnya sampai tiga kali …,” dan seterusnya.  Lalu dia mengisahkan kisah tersebut dan disebutkan bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah! Kamu janji tidak akan kembali lagi! Hari ini aku tidak akan melepasmu sampai aku membawamu kehadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia menimpali, “Jangan lakukan! Sungguh, jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh.  Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” وفي هذه الرواية قد خالف مسلم بن إبراهيم شعيبا في أمرين: الأمر الأول: أنه لم ينص على قراءة آية الكرسي في الصباح والمساء؛ وإنما ذكر قراءتها، دون تقييد لذلك بوقت أو حال. الأمر الثاني: أن أبا المتوكل لم يصرح بأخذه لهذا الحديث عن أبي هريرة، بل قال:” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ…”، وصيغة “أنّ” لا تفيد الاتصال بمجردها؛ فهي لا تدل على سماع أبي المتوكل لهذا الخبر من أبي هريرة، وإنما استعملت لحكاية قصة أبي هريرة، فهذه الرواية مرسلة غير متصلة الإسناد. Dalam riwayat ini, Muslim bin Ibrahim menyelisihi riwayat Syuaib dalam dua hal; Pertama, bahwa dia tidak mengabarkan tentang membaca Ayat Kursi pada pagi dan petang, melainkan hanya mengatakan membacanya saja tanpa membatasi pada waktu atau keadaan tertentu. Kedua, bahwa Abul Mutawakkil tidak menyatakan secara eksplisit bahwa dia mendapatkan cerita ini dari Abu Hurairah, melainkan mengatakan “… bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah…” diksi anna (bahwa) secara independen tidak bermakna ketersambungan sanad, karena diksi ini tidak menunjukkan bahwa Abul Mutawakkil mendengar langsung riwayat ini dari Abu Hurairah, melainkan hanya menceritakan kisah tentang Abu Hurairah saja. Jadi, riwayat ini statusnya Mursal dan sanadnya terputus. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” وحاصله أن الراوي إذا قال: “عن فلان” فلا فرق أن يضيف إليه القول أو الفعل في اتصال ذلك عند الجمهور بشرطه السابق. وإذا قال: ” أن فلانا ” ففيه فرق؛ وذلك أن ينظر، فإن كان خبرها قولا لم يتعد لمن لم يدركه التحقت بحكم “عن” بلا خلاف. كأن يقول التابعي: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال: “سمعت كذا”، فهو نظير ما لو قال: عن أبي هريرة أنه قال: “سمعت كذا”. وإن كان خبرها فعلا نظر إن كان الراوي أدرك ذلك التحقت بحكم “عن” وإن كان لم يدركه لم تلتحق بحكمها. Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jadi, kesimpulannya bahwa jika perawi mengatakan, ‘(diriwayatkan) dari fulan’ maka tidak ada bedanya dalam status ketersambungan sanadnya, baik dia mengatakannya dengan konteks qaul (perkataan) atau fiʿil (perbuatan). Ini menurut mayoritas ulama dengan syarat yang tadi. Adapun jika dia mengatakan, ‘bahwa si fulan’ maka ini ada perbedaan dan perlu dilihat dulu; Jika diriwayatkan dalam konteks qaul dari orang yang tidak menjumpainya, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari) tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Misalnya, jika seorang Tabiin berkata bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Aku mendengar demikian dan demikian, …’ maka ini serupa hukumnya dengan jika dia berkata, ‘(diriwayatkan) dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Aku mendengar demikian dan demikian, ….”’  Jika diriwayatkan dalam konteks fiʿil, maka dilihat, jika perawinya menjumpai perbuatan tersebut, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari). Adapun jika dia tidak menjumpainya, maka tidak. فكون يعقوب بن شيبة قال في رواية عطاء عن ابن الحنفية: ( أن عمارا مر بالنبي صلى الله عليه وسلم ) هذا مرسل.إنما هو من جهة كونه أضاف إلى صيغة الفعل الذي لم يدركه ابن الحنفية، وهو مرور عمار …. ولو كان أضاف إليها القول كأن يقول: عن ابن الحنفية أن عمارا قال: ( مررت بالنبي صلى الله عليه وسلم ) لكان ظاهر الاتصال. وقد نبه شيخنا – العراقي – على هذا الموضع فأردت زيادة إيضاحه، ثم إنه نقل عن ابن المواق تحرير ذلك، واتفاق المحدثين على الحكم بانقطاع ما هذا سبيله، وهو كما قال، لكن في نقل الاتفاق نظر ” انتهى من “النكت” (2/ 591 – 592). Maka dari itulah, ketika Yakub bin Syaibah dalam riwayatnya dari ʿAṯhāʾ dari Ibnul Hanafiyah mengatakan, “Bahwa Ammar melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …,” maka riwayat ini Mursal. Dari sisi bahwa dia meriwayatkannya dengan konteks fiʿil (perbuatan) yang tidak dijumpai oleh Ibnul Hanafiyah, yakni lewatnya si Ammar tersebut. Seandainya dia meriwayatkannya dengan konteks qaul, seperti dengan mengatakan, “(Diriwayatkan) dari Ibnul Hanafiyah bahwa Ammar berkata, ‘Aku melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …’ maka ini jelas bersambung sanadnya. Guru kami al-ʿIrāqi telah memberi catatan tentang masalah ini dan aku ingin memperjelasnya lagi. Beliau juga mengutip rincian pembahasan ini dari Ibnul Mawwāq dan menukil bahwa para ahli hadis juga bersepakat menghukumi keterputusan sanad yang demikian cara periwayatannya. Demikian yang beliau katakan, tetapi kesepakatan yang beliau kutip perlu diteliti lagi. Selesai kutipan akhir dari an-Nukat (2/591-592). وبهذه الصيغة رواه أيضا عمرو بن منصور عن إسماعيل بن مسلم، عند البخاري في “التاريخ الكبير” (1/243)، قال: ” وقالَ لي عَمرُو بنُ مَنصورٍ: حَدَّثَنَا إِسْماعيلُ بنُ مُسلِمٍ، عَن أَبي ‌المُتوكِّلِ، أنَّ مَفاتيحَ الصَّدقةِ كانتْ معَ أَبي هُريْرةَ، بِهذا “. ومسلم بن إبراهيم وعمرو بن منصور ثقتان فلا شك أن روايتهما مقدمة على رواية الواحد. كما أن أبا المتوكل وإن كان ثقة فقد خالفه من هو أوثق منه في أبي هريرة، وهو محمد بن سيرين. Redaksi periwayatan seperti ini juga diriwayatkan oleh Amru bin Mansur dari Ismail bin Muslim, yang dikutip oleh Bukhari dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/243) di mana dia mengatakan, “Dan Amru bin Mansur berkata kepadaku; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abul Mutawakkil bahwa kunci-kunci (gudang) harta sedekah dipegang oleh Abu Hurairah, ….”  Sementara Muslim bin Ibrahim dan Amru bin Mansur adalah orang yang tepercaya sehingga tidak perlu ragu bahwa riwayat mereka lebih dikedepankan daripada riwayat satu orang saja. Selain itu, meskipun Abul Mutawakkil adalah perawi tepercaya, tetapi ia juga menyelisihi perawi lain yang lebih tepercaya daripadanya dalam riwayatnya dari Abu Hurairah ini, yaitu Muhammad bin Sirin. قال عبد الله ابن الإمام أحمد رحمه الله تعالى: ” وسمعته – يقصد والده الإمام أحمد – يقول: محمد بن سيرين في أبي هريرة ‌لا ‌يقدم ‌عليه أحد ” انتهى من “العلل ومعرفة الرجال” (1/351). ورواية ابن سيرين عن أبي هريرة قد انتقاها الإمام البخاري وأدخلها في “الصحيح” في عدة مواضع، وليس فيها ذكر الصباح والمساء، وإنما فيها: (إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ). فروى البخاري في عدة ومواضع، منها تحت رقم: (3275)، قال: وَقَالَ ‌عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ : حَدَّثَنَا ‌عَوْفٌ عَنْ ‌مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: Abdullah bin Imam Ahmad —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Aku mendengar beliau—maksudnya ayahnya, Imam Ahmad—berkata bahwa Muhammad bin Sirin paling dikedepankan daripada siapa pun dalam periwayatan dari Abu Hurairah.” Selesai kutipan dari al-ʿIlal wa Maʿrifatu ar-Rijāl (1/351).  Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah telah diseleksi Imam Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitab Sahih-nya di beberapa tempat tanpa menyebutkan konteks (zikir) pagi dan petang, melainkan menyebutkan, “Jika engkau hendak menuju pembaringanmu, maka bacalah Ayat Kursi.”  Imam Bukhari meriwayatkan di beberapa tempat, antara lain dalam hadis nomor 3275, beliau berkata, “Utsman bin al-Haitsam berkata: Auf menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, ” وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ؛ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ الحَدِيثَ -، فَقَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ. فالبخاري وإن لم يصرح بسماعه لهذا الحديث من عثمان بن الهيثم، إلا أنه قد رواه غير واحد من الثقات عن عثمان بن الهيثم، بهذا الإسناد. ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengamanahkan kepadaku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitrah). Lalu, ada yang datang dan mengacak-acak makanan, kemudian aku menangkapnya. Aku mengatakan, “Aku akan mengadukanmu pada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …” kemudian dia menyebutkan hadis di atas … lalu setan mengatakan, ‘Jika kamu hendak pergi tidur ke pembaringan, bacalah Ayat Kursi, maka akan selalu ada penjaga dari Allah bagimu dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pun bersabda, “Dia berkata benar, meskipun dia adalah pembohong besar. Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).  Meskipun Imam Bukhari tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia mendengar hadis ini dari Utsman bin al-Haitsam, tetapi tidak hanya satu perawi tepercaya yang meriwayatkannya dari Utsman bin al-Haitsam dengan sanad ini. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” هكذا أورد البخاري هذا الحديث هنا ولم يصرح فيه بالتحديث، وزعم ابن العربي أنه منقطع، وأعاده كذلك في صفة إبليس وفي فضائل القرآن لكن باختصار. وقد وصله النسائي والإسماعيلي وأبو نعيم، من طرق، إلى عثمان المذكور، وذكرته في “تغليق التعليق” من طريق عبد العزيز بن منيب، وعبد العزيز بن سلام، وإبراهيم بن يعقوب الجوزجاني، وهلال بن بشر الصواف، ومحمد بن غالب الذي يقال له تمتام، وأقربهم لأن يكون البخاري أخذه عنه إن كان ما سمعه من ابن الهيثم هلال بن بشر، فإنه من شيوخه أخرج عنه في “جزء القراءة خلف الإمام”… ” انتهى من “فتح الباري لابن حجر” (4/488). Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Demikianlah Bukhari meriwayatkan hadis ini di sini, sementara beliau tidak secara eksplisit menyatakan taẖdīts (dengan redaksi ẖaddatsanā (telah menceritakan kepada kami)) sehingga Ibnul Arabi menyangka ini hadis yang terputus. Beliau mengulanginya seperti ini dalam bab ‘Sifat Iblis’ dan ‘Fadilah-fadilah al-Quran’ tapi diringkas.  An-Nasai, al-Ismaili, dan Abu Nuaim telah menyambung keterputusan sanad ini dari berbagai jalur sampai kepada Utsman tersebut di atas. Aku juga menyebutkannya dalam kitab Taghlīq at-Taʿlīq melalui jalur Abdul Aziz bin Munib, Abdul Aziz bin Salam, Ibrahim bin Yakub al-Jauzajani, Hilal bin Bisyr aṣh-Ṣhawwāf, dan Muhammad bin Ghalib yang dipanggil Tamtām. Dialah orang yang riwayatnya paling mungkin diambil oleh Bukhari walaupun beliau tidak mendengarnya langsung dari Ibnul Haitsam Hilal bin Bisyr, karena dia adalah salah satu gurunya yang mana beliau meriwayatkan darinya dalam Juzʾu al-Qirāʾah Khalfa al-Imām ….” Selesai kutipan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar (4/488). فالحاصل؛ أن المحفوظ في هذا الحديث: هي الرواية التي تنص على أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليس من أذكار الصباح والمساء. وقد وردت روايات أخرى تنص على أن آية الكرسي من أذكار الصباح والمساء، لكن أسانيدها فيها مقال. فقد روى الترمذي (2879)، وابن السني في “عمل اليوم والليلة” (ص 66)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 157)، وغيرهم من طرق عدة: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ المُلَيْكِيِّ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ مُصْعَبٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( مَنْ قَرَأَ حم المُؤْمِنَ إِلَى ( إِلَيْهِ المَصِيرُ )، ‌وَآيَةَ ‌الكُرْسِيِّ ‌حِينَ ‌يُصْبِحُ: حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهُمَا حِينَ يُمْسِي حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُصْبِحَ). وقال الترمذي: ” هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ فِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ المُلَيْكِيِّ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ ” انتهى. Kesimpulannya, bahwa riwayat yang terpelihara dalam hadis ini adalah riwayat yang menyebutkan bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu Zikir Sebelum Tidur, dan bukan Zikir Pagi dan Petang.  Ada beberapa riwayat lain yang menyatakan bahwa Ayat Kursi termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang, namun semua sanadnya tidak lepas dari kritik.  Tirmidzi (2879), Ibnus Sunni dalam ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 66), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 157), dan lain-lain meriwayatkannya dari beberapa jalur berbeda dari Abdurrahman bin Abu Bakar al-Mulaiki dari Zurārah bin Muṣʿab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca H̱ā Mīm dalam surah al-Mukmin (Ghafir) sampai dengan wa ilaihil maṣhīr, dan Ayat Kursi pada waktu pagi, maka ia akan dijaga hingga waktu sore tiba, dan barang siapa membaca keduanya pada waktu sore, maka ia akan dijaga hingga waktu pagi.” Abu Isa berkata, “Hadis ini Gharīb. Sebagian ulama mengkritisi Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Mulaikah al-Mulaiki dari sisi hafalannya.” Selesai kutipan. وقال الذهبي رحمه الله تعالى: ” عبد الرحمن بن أبي بكر المليكى . قال البخاري: ذاهب الحديث. وقال ابن معين: ضعيف. وقال أحمد: منكر الحديث. وقال النسائي: متروك ” انتهى من “ميزان الاعتدال” (2/550). فإسناد الحديث ضعيف. Az-Zahabi —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari Abdurrahman bin Abi Bakar al-Mulaiki mengatakan bahwa Imam Bukhari berkata, “Haditsnya ditinggalkan.” Ibnu Maʿīn berkata, “Lemah.” Imam Ahmad berkata, “Hadisnya mungkar.” An-Nasai berkata, “Ditinggalkan.” Selesai kutipan dari Mizan al-Iʿtidāl (2/550). Jadi, sanad hadis ini lemah. وورد أيضا ذكر الصباح والمساء في حديث أبي بن كعب رضي الله عنه، وهو شبيه بقصة أبي هريرة رضي الله عنه السابقة. رواه البخاري في “التاريخ الكبير” (1/ 242 – 243)، والنسائي في “السنن الكبري” (10730)، و(10731)، و(10732)، وابن حبان كما في “الإحسان” (3 / 63)، والطبراني في “المعجم الكبير” (1 / 201)، والحاكم في “المستدرك” (1 / 561 – 562)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 166 – 167). وغيرهم. لكنه حديث مضطرب الإسناد والمتن، ففي بعض طرقه ينص على الصباح والمساء، وفي بعضها لم يرد ذكر الصباح والمساء. Ada juga riwayat yang menyebutkan tentang pembacaan Ayat Kursi pada pagi dan petang dalam hadis Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya—, yang kisahnya mirip dengan kisah Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— sebelumnya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/242-243), an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubrā (10730), (10731), dan (10732), Ibnu Hibban sebagaimana dalam al-Ihsān (3/63), at-Tabarani dalam al-Muʿjam al-Kabīr (1/201), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/561- 562), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 166-167), dan lain-lain. Hanya saja, hadis ini Muḏhṯharib (rancu) secara sanad dan matannya, di mana pada sebagian riwayatnya menyebutkan pagi dan sore dan pada sebagian yang lainnya tidak menyebutkannya. ثانيا: ما ورد في جواب السؤال رقم: (217496) من أذكار للصباح والمساء، فهذا أصح ما وقفنا عليه. وفيه – إن شاء الله – كفاية للمسلم إذا التزم بها، ويرد في دواوين السنة غيرها، لكن أغلبها مما اختلف في صحته، أو مقطوع بضعفه. ومن ترجح لديه ثبوت شيء منها، أو أن ضعفه يسير يعمل به في مثل هذه الأبواب التي يتسامح في أسانيدها، فعمل به: فلا حرج عليه، بل هو خير، عن شاء الله. Kedua, berkenaan dengan apa yang disebutkan pada jawaban pertanyaan nomor 217496 tentang Zikir Pagi dan Petang, maka zikir-zikir itulah yang paling sahih sejauh yang kami telaah. Apa yang kami sebutkan insya Allah cukup bagi seorang muslim jika ia konsisten mengamalkannya.  Memang ada zikir-zikir lain yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja kesahihannya diperselisihkan atau bahkan jelas kelemahannya. Jika ada seseorang yang menganggap ada zikir yang menurutnya sahih atau agak lemah, maka dia boleh mengamalkannya dalam konteks zikir seperti ini yang memang agak longgar dalam menghukumi sanadnya. Jadi, yang mengamalkannya tidak masalah, bahkan baik, dengan izin Allah.  ويمكن الاطلاع على جملة مما ورد في ذلك الباب في عدد من المصنفات، منها: كتاب “عمل اليوم والليلة ” للنسائي. وكتاب “عمل اليوم والليلة” لابن السني. وكتاب “الأذكار” للنووي. ومن الكتب المعاصرة، كتاب “حصن المسلم من أذكار الكتاب والسّنة” للشيخ سعيد بن على بن وهف القحطاني رحمه الله تعالى.والله أعلم. Riwayat-Riwayat dalam masalah ini bisa ditelaah di beberapa kitab, antara lain: ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya an-Nasa’i, ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibnus Sunni, dan al-Adzkār karya an-Nawawi.  Adapun dalam kitab-kitab kontemporer, ada kitab H̱iṣhnul Muslim min Adzkār al-Kitāb wa as-Sunnah karya Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf Qaẖṯhāni —Semoga Allah Merahmatinya— Allah yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/448652/هل-اية-الكرسي-من-اذكار-الصباح-والمساءPDF sumber artikel. 🔍 Doa Melihat Kabah, Sholat Qobliyah Jumat, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Kalung Perak Pria, Doa Menghafal, Tempat Minum Anak Tupperware Visited 280 times, 3 visit(s) today Post Views: 610 QRIS donasi Yufid


السؤال قد ذكرتم في السؤال رقم: (217496) أحاديث أذكار الصباح والمساء، ولكن لم تأتوا بذكر آية الكرسي وفضلها، مع أني قد قرأت في “السنن الكبرى” للنسائي حديث رقم (7703)، ورجال ذلك الحديث ثقات، ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لسيدنا أبي هريرة (أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ، وَلا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ)، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ ؟ قَالَ: (آيَةُ الْكُرْسِيِّ، اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ)، قَالَ أَبُوهُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ لِي: (أَوَ مَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ)، فما سر عدم ذكر ذلك الحديث؟ وهل هناك أحاديث أخرى يمكن أن يؤخذ منها أذكار الصباح والمساء بجانب ما تفضلتم بذكره سابقا في السؤال رقم: (217496)؟ Pertanyaan: Pada pertanyaan nomor 217496 Anda menyebutkan hadis-hadis tentang Zikir Pagi Petang, namun Anda tidak menyebutkan Ayat Kursi beserta fadilah-nya, padahal saya membaca dalam as-Sunan al-Kubrā karya an-Nasai pada hadis nomor 7703 ada riwayat yang sampai kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dari para perawi hadis yang terpercaya yang menyatakan bahwa ada yang berkata kepada Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— “Aku ajari kamu beberapa kalimat yang jika kamu mengatakannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.”  Aku bertanya, “Apa kalimat-kalimat tersebut?”  Dia berkata, “Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya, kemudian mengabarkannya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?”  Lalu apa alasan di balik tidak disebutkannya hadis tersebut? Adakah hadis lain yang dapat dijadikan Zikir Pagi Petang, selain yang telah Anda sebutkan sebelumnya dalam pertanyaan nomor 217496? ملخص الجواب المحفوظ من حيث الرواية أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليست من أذكار الصباح والمساء. Ringkasan Jawaban: Hadis yang Maẖfūdz (terpelihara dari kekeliruan) dalam riwayat ini adalah bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu zikir ketika tidur, bukan Zikir Pagi Petang. الجواب الحمد لله. أولا: روى النسائي في “السنن الكبرى” (10728)، و(7963)، وفي “فضائل القرآن” (ص 91 — 93)، وفي “عمل اليوم والليلة” (ص 531 – 532)، قال: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:” أَنَّهُ كَانَ عَلَى تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَوَجَدَ أَثَرَ كَفٍّ كَأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ قُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقُلْتُ ، فَإِذَا جِنِّيٌّ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيَّ، فَأَخَذْتُهُ لِأَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا أَخَذْتُهُ لِأَهْلِ بَيْتٍ فُقَرَاءَ مِنَ الْجِنِّ، وَلَنْ أَعُودَ.  Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, bahwa an-Nasai meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab as-Sunan al-Kubrā nomor (10728) dan (7963), kitab Faḏāʾil al-Qurān (halaman 91-93), dan kitab ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (halaman 531-532), yang menyatakan, “Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah mengabarkan kepada kami; dia berkata: Syuaib bin Harb mengatakan kepada kami; dia berkata: Ismail bin Muslim mengatakan kepada kami dari Abul Mutawakkil dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— suatu ketika menjaga kurma sedekah. Dia menemukan bekas telapak tangan seolah-olah ada kurma yang diambil. Lalu dia melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu ingin menangkapnya? Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (Maha Suci Zat Yang Menundukkan kamu kepada Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam)”  Abu Hurairah mengisahkan, “Lalu aku membacanya, tiba-tiba ada jin yang berdiri di hadapanku. Lalu aku menangkapnya untuk membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia mengatakan, ‘Aku mengambilnya hanya untuk keluargaku dari bangsa jin yang miskin. Aku tidak akan kembali lagi.’”  قَالَ: فَعَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟  فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَاهَدَنِي أَنْ لَا يَعُودَ فَتَرَكْتُهُ، ثُمَّ عَادَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَأْخُذَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُلْ سُبْحَانَ مَا سَخَّرَكَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ، فَإِذَا أَنَا بِهِ، فَقُلْتُ: عَاهَدْتَنِي فَكَذَبْتَ وَعُدْتَ، لَأَذْهَبَنَّ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: خَلِّ عَنِّي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ إِذَا قُلْتَهُنَّ لَمْ يَقْربْكَ ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى مِنَ الْجِنِّ، قُلْتُ: وَمَا هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ اقْرَأْهَا عِنْدَ كُلِّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: أَوَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ كَذَلِكَ. Abu Hurairah mengisahkan, “Ternyata dia kembali lagi. Lalu aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ jawabku.  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Dia berkata (setelah mengucapkannya), ‘Tiba-tiba dia sudah di sampingku, lalu aku ingin membawanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Akan tetapi, dia berjanji kepadaku tidak akan kembali lagi, jadi aku melepaskannya.  Ternyata, dia kembali lagi, maka aku melaporkan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu ingin menangkapnya?’ ‘Iya,’ tukasku. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Katakanlah: Subẖāna man sakhkharaka li muẖammadin Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’ Lalu aku mengucapkannya dan tiba-tiba dia sudah di sampingku, maka aku katakan kepadanya, ‘Kamu sudah berjanji tapi kamu berbohong dan kembali lagi. Sungguh, aku akan membawamu ke hadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu dia menimpali, ‘Lepaskan aku, aku mengajarimu beberapa kalimat yang jika kamu mengucapkannya, maka jin laki-laki maupun perempuan tidak akan mendekatimu.’ Aku bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia mengatakan, ‘Ayat Kursi, bacalah setiap pagi dan petang.’”  Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Lalu aku melepaskannya lalu mengabarkan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, ‘Apakah engkau belum tahu memang demikian?’” وهذا إسناد رواته ثقات، لكن شعيب بن حرب وإن كان ثقة إلا أنه قد رواه غيره عن إسماعيل بن مسلم فخالفوه. فقد رواه الخطيب البغدادي في “المتفق والمفترق” (1/ 380 – 381)، قال: أخبرنا محمد بن الحسين بن الفضل القطان، أخبرنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن عمرويه الصفار، حدثنا أبو بكر بن أبي خيثمة، حدثنا مسلم يعني ابن إبراهيم، حدثنا إسماعيل بن مسلم، عن أبي المتوكل: ” أن أبا هريرة رضي الله عنه كان معه مفتاح بيت الصدقة وكان فيه تمر، فذهب يوما يفتح الباب فوجد التمر قد أخذ منه ملء كف… “ فذكر الحديث، وفيه: (” فإنك إن تدعني علمتك كلمات إذا أنت قلتها لم يقربك أحد من الجن، صغير ولا كبير، ذكر ولا أنثى. قال: لتفعلن؟ قال: نعم. قال: ما هن؟ قال: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آية الكرسي، حتى ختمها، فتركه فذهب فأبعد. فذكر ذلك أبو هريرة للنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، فقال له النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: أما علمت أن ذلك كذلك”. Para perawi dalam sanad ini dapat dipercaya. Syuaib bin Harb meskipun tepercaya, hanya saja ada perawi lain yang meriwayatkan dari Ismail bin Muslim tapi menyelisihi riwayatnya. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Muttafiq wal Muftariq (1/380 – 381), dia berkata, “Muhammad bin al-Husain bin al-Faḏl al-Qaṯṯān mengabarkan kepada kami; Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Amrawaih aṣh-Ṣhaffār mengabarkan kepada kami; Abu Bakar bin Abi Khaitsamah menceritakan kepada kami; Muslim—yakni Ibnu Ibrahim—menceritakan kepada kami; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh …” dan seterusnya.  Dalam hadis tersebut disebutkan, “Jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.”  Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh. Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” ورواه ابن ضريس في “فضائل القرآن” (ص 93)، قال: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو ‌الْمُتَوَكِّلِ: ” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ، وَكَانَ فِيهِ تَمْرٌ، فَذَهَبَ يَوْمًا يَفْتَحُ الْبَابَ، فَإِذَا التَّمْرُ قَدْ أُخِذَ مِنْهُ مِلْءُ كَفٍّ، ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا آخَرَ، حَتَّى ذَكَرَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ… )فذكر الخبر، وفيه: ” فَقَالَ لَهُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، زَعَمْتَ أَنَّكَ لَا تَعُودُ، لَا أَدَعْكَ الْيَوْمَ حَتَّى أَذْهَبَ بِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ، إِنَّكَ إِنْ تَدَعْنِي عَلَّمْتُكَ كَلِمَاتٍ إِذَا أَنْتَ قُلْتَهَا لَمْ يَقْرَبْكَ أَحَدٌ مِنَ الْجِنِّ، صَغِيرٌ وَلَا كَبِيرٌ، ذَكَرٌ وَلَا أُنْثَى، قَالَ لَهُ: لَتَفْعَلَنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا هُوَ؟ قَالَ: ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ )، آيَةُ الْكُرْسِيِّ حَتَّى خَتَمَهَا فَتَرَكَهُ، فَذَهَبَ فَلَمْ يَعُدْ، فَذَكَرَ ذَلِكَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ. Diriwayatkan oleh Ibnu Ḏharīs dalam Faḏāʾil al-Qurʾān (halaman 93), dia berkata “Muslim bin Ibrahim mengabarkan kepada kami; Ismail bin Muslim al-ʿAbdi menceritakan kepada kami; Abul Mutawakkil menceritakan kepada kami bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah yang berisi kurma. Suatu hari, dia pergi untuk membuka pintunya dan mendapati kurmanya telah diambil sebanyak genggaman tangan penuh. Kemudian, dia pergi di hari lain, dan dia menyebutnya sampai tiga kali …,” dan seterusnya.  Lalu dia mengisahkan kisah tersebut dan disebutkan bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah! Kamu janji tidak akan kembali lagi! Hari ini aku tidak akan melepasmu sampai aku membawamu kehadapan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” Dia menimpali, “Jangan lakukan! Sungguh, jika kamu melepaskanku, aku akan mengajarimu kata-kata yang jika kamu mengucapkannya, maka tidak akan ada satu pun jin yang akan mendekatimu, baik jin kecil maupun besar, maupun jin laki-laki atau perempuan.” Dia —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Benar kamu mau melakukannya?” Dia menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Dia menjawab, “Allāhu lā ilāha illā huwal ḥayyul qayyụm, … yakni Ayat Kursi sampai akhir ayat.” Lalu dia —Semoga Allah Meridainya— melepaskannya, lalu dia pergi dan menjauh.  Setelah itu, Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— menceritakan peristiwa itu kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau belum tahu memang demikian?” وفي هذه الرواية قد خالف مسلم بن إبراهيم شعيبا في أمرين: الأمر الأول: أنه لم ينص على قراءة آية الكرسي في الصباح والمساء؛ وإنما ذكر قراءتها، دون تقييد لذلك بوقت أو حال. الأمر الثاني: أن أبا المتوكل لم يصرح بأخذه لهذا الحديث عن أبي هريرة، بل قال:” أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ مَعَهُ مِفْتَاحُ بَيْتِ الصَّدَقَةِ…”، وصيغة “أنّ” لا تفيد الاتصال بمجردها؛ فهي لا تدل على سماع أبي المتوكل لهذا الخبر من أبي هريرة، وإنما استعملت لحكاية قصة أبي هريرة، فهذه الرواية مرسلة غير متصلة الإسناد. Dalam riwayat ini, Muslim bin Ibrahim menyelisihi riwayat Syuaib dalam dua hal; Pertama, bahwa dia tidak mengabarkan tentang membaca Ayat Kursi pada pagi dan petang, melainkan hanya mengatakan membacanya saja tanpa membatasi pada waktu atau keadaan tertentu. Kedua, bahwa Abul Mutawakkil tidak menyatakan secara eksplisit bahwa dia mendapatkan cerita ini dari Abu Hurairah, melainkan mengatakan “… bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— pernah memegang kunci gudang harta sedekah…” diksi anna (bahwa) secara independen tidak bermakna ketersambungan sanad, karena diksi ini tidak menunjukkan bahwa Abul Mutawakkil mendengar langsung riwayat ini dari Abu Hurairah, melainkan hanya menceritakan kisah tentang Abu Hurairah saja. Jadi, riwayat ini statusnya Mursal dan sanadnya terputus. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” وحاصله أن الراوي إذا قال: “عن فلان” فلا فرق أن يضيف إليه القول أو الفعل في اتصال ذلك عند الجمهور بشرطه السابق. وإذا قال: ” أن فلانا ” ففيه فرق؛ وذلك أن ينظر، فإن كان خبرها قولا لم يتعد لمن لم يدركه التحقت بحكم “عن” بلا خلاف. كأن يقول التابعي: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال: “سمعت كذا”، فهو نظير ما لو قال: عن أبي هريرة أنه قال: “سمعت كذا”. وإن كان خبرها فعلا نظر إن كان الراوي أدرك ذلك التحقت بحكم “عن” وإن كان لم يدركه لم تلتحق بحكمها. Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jadi, kesimpulannya bahwa jika perawi mengatakan, ‘(diriwayatkan) dari fulan’ maka tidak ada bedanya dalam status ketersambungan sanadnya, baik dia mengatakannya dengan konteks qaul (perkataan) atau fiʿil (perbuatan). Ini menurut mayoritas ulama dengan syarat yang tadi. Adapun jika dia mengatakan, ‘bahwa si fulan’ maka ini ada perbedaan dan perlu dilihat dulu; Jika diriwayatkan dalam konteks qaul dari orang yang tidak menjumpainya, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari) tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Misalnya, jika seorang Tabiin berkata bahwa Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— berkata, ‘Aku mendengar demikian dan demikian, …’ maka ini serupa hukumnya dengan jika dia berkata, ‘(diriwayatkan) dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Aku mendengar demikian dan demikian, ….”’  Jika diriwayatkan dalam konteks fiʿil, maka dilihat, jika perawinya menjumpai perbuatan tersebut, maka hukumnya disamakan dengan hukum riwayat ʿan (dari). Adapun jika dia tidak menjumpainya, maka tidak. فكون يعقوب بن شيبة قال في رواية عطاء عن ابن الحنفية: ( أن عمارا مر بالنبي صلى الله عليه وسلم ) هذا مرسل.إنما هو من جهة كونه أضاف إلى صيغة الفعل الذي لم يدركه ابن الحنفية، وهو مرور عمار …. ولو كان أضاف إليها القول كأن يقول: عن ابن الحنفية أن عمارا قال: ( مررت بالنبي صلى الله عليه وسلم ) لكان ظاهر الاتصال. وقد نبه شيخنا – العراقي – على هذا الموضع فأردت زيادة إيضاحه، ثم إنه نقل عن ابن المواق تحرير ذلك، واتفاق المحدثين على الحكم بانقطاع ما هذا سبيله، وهو كما قال، لكن في نقل الاتفاق نظر ” انتهى من “النكت” (2/ 591 – 592). Maka dari itulah, ketika Yakub bin Syaibah dalam riwayatnya dari ʿAṯhāʾ dari Ibnul Hanafiyah mengatakan, “Bahwa Ammar melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …,” maka riwayat ini Mursal. Dari sisi bahwa dia meriwayatkannya dengan konteks fiʿil (perbuatan) yang tidak dijumpai oleh Ibnul Hanafiyah, yakni lewatnya si Ammar tersebut. Seandainya dia meriwayatkannya dengan konteks qaul, seperti dengan mengatakan, “(Diriwayatkan) dari Ibnul Hanafiyah bahwa Ammar berkata, ‘Aku melewati Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …’ maka ini jelas bersambung sanadnya. Guru kami al-ʿIrāqi telah memberi catatan tentang masalah ini dan aku ingin memperjelasnya lagi. Beliau juga mengutip rincian pembahasan ini dari Ibnul Mawwāq dan menukil bahwa para ahli hadis juga bersepakat menghukumi keterputusan sanad yang demikian cara periwayatannya. Demikian yang beliau katakan, tetapi kesepakatan yang beliau kutip perlu diteliti lagi. Selesai kutipan akhir dari an-Nukat (2/591-592). وبهذه الصيغة رواه أيضا عمرو بن منصور عن إسماعيل بن مسلم، عند البخاري في “التاريخ الكبير” (1/243)، قال: ” وقالَ لي عَمرُو بنُ مَنصورٍ: حَدَّثَنَا إِسْماعيلُ بنُ مُسلِمٍ، عَن أَبي ‌المُتوكِّلِ، أنَّ مَفاتيحَ الصَّدقةِ كانتْ معَ أَبي هُريْرةَ، بِهذا “. ومسلم بن إبراهيم وعمرو بن منصور ثقتان فلا شك أن روايتهما مقدمة على رواية الواحد. كما أن أبا المتوكل وإن كان ثقة فقد خالفه من هو أوثق منه في أبي هريرة، وهو محمد بن سيرين. Redaksi periwayatan seperti ini juga diriwayatkan oleh Amru bin Mansur dari Ismail bin Muslim, yang dikutip oleh Bukhari dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/243) di mana dia mengatakan, “Dan Amru bin Mansur berkata kepadaku; Ismail bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abul Mutawakkil bahwa kunci-kunci (gudang) harta sedekah dipegang oleh Abu Hurairah, ….”  Sementara Muslim bin Ibrahim dan Amru bin Mansur adalah orang yang tepercaya sehingga tidak perlu ragu bahwa riwayat mereka lebih dikedepankan daripada riwayat satu orang saja. Selain itu, meskipun Abul Mutawakkil adalah perawi tepercaya, tetapi ia juga menyelisihi perawi lain yang lebih tepercaya daripadanya dalam riwayatnya dari Abu Hurairah ini, yaitu Muhammad bin Sirin. قال عبد الله ابن الإمام أحمد رحمه الله تعالى: ” وسمعته – يقصد والده الإمام أحمد – يقول: محمد بن سيرين في أبي هريرة ‌لا ‌يقدم ‌عليه أحد ” انتهى من “العلل ومعرفة الرجال” (1/351). ورواية ابن سيرين عن أبي هريرة قد انتقاها الإمام البخاري وأدخلها في “الصحيح” في عدة مواضع، وليس فيها ذكر الصباح والمساء، وإنما فيها: (إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ). فروى البخاري في عدة ومواضع، منها تحت رقم: (3275)، قال: وَقَالَ ‌عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ : حَدَّثَنَا ‌عَوْفٌ عَنْ ‌مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: Abdullah bin Imam Ahmad —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Aku mendengar beliau—maksudnya ayahnya, Imam Ahmad—berkata bahwa Muhammad bin Sirin paling dikedepankan daripada siapa pun dalam periwayatan dari Abu Hurairah.” Selesai kutipan dari al-ʿIlal wa Maʿrifatu ar-Rijāl (1/351).  Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah telah diseleksi Imam Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitab Sahih-nya di beberapa tempat tanpa menyebutkan konteks (zikir) pagi dan petang, melainkan menyebutkan, “Jika engkau hendak menuju pembaringanmu, maka bacalah Ayat Kursi.”  Imam Bukhari meriwayatkan di beberapa tempat, antara lain dalam hadis nomor 3275, beliau berkata, “Utsman bin al-Haitsam berkata: Auf menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, ” وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ؛ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ الحَدِيثَ -، فَقَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ. فالبخاري وإن لم يصرح بسماعه لهذا الحديث من عثمان بن الهيثم، إلا أنه قد رواه غير واحد من الثقات عن عثمان بن الهيثم، بهذا الإسناد. ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah mengamanahkan kepadaku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitrah). Lalu, ada yang datang dan mengacak-acak makanan, kemudian aku menangkapnya. Aku mengatakan, “Aku akan mengadukanmu pada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam …” kemudian dia menyebutkan hadis di atas … lalu setan mengatakan, ‘Jika kamu hendak pergi tidur ke pembaringan, bacalah Ayat Kursi, maka akan selalu ada penjaga dari Allah bagimu dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pun bersabda, “Dia berkata benar, meskipun dia adalah pembohong besar. Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).  Meskipun Imam Bukhari tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia mendengar hadis ini dari Utsman bin al-Haitsam, tetapi tidak hanya satu perawi tepercaya yang meriwayatkannya dari Utsman bin al-Haitsam dengan sanad ini. قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: ” هكذا أورد البخاري هذا الحديث هنا ولم يصرح فيه بالتحديث، وزعم ابن العربي أنه منقطع، وأعاده كذلك في صفة إبليس وفي فضائل القرآن لكن باختصار. وقد وصله النسائي والإسماعيلي وأبو نعيم، من طرق، إلى عثمان المذكور، وذكرته في “تغليق التعليق” من طريق عبد العزيز بن منيب، وعبد العزيز بن سلام، وإبراهيم بن يعقوب الجوزجاني، وهلال بن بشر الصواف، ومحمد بن غالب الذي يقال له تمتام، وأقربهم لأن يكون البخاري أخذه عنه إن كان ما سمعه من ابن الهيثم هلال بن بشر، فإنه من شيوخه أخرج عنه في “جزء القراءة خلف الإمام”… ” انتهى من “فتح الباري لابن حجر” (4/488). Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Demikianlah Bukhari meriwayatkan hadis ini di sini, sementara beliau tidak secara eksplisit menyatakan taẖdīts (dengan redaksi ẖaddatsanā (telah menceritakan kepada kami)) sehingga Ibnul Arabi menyangka ini hadis yang terputus. Beliau mengulanginya seperti ini dalam bab ‘Sifat Iblis’ dan ‘Fadilah-fadilah al-Quran’ tapi diringkas.  An-Nasai, al-Ismaili, dan Abu Nuaim telah menyambung keterputusan sanad ini dari berbagai jalur sampai kepada Utsman tersebut di atas. Aku juga menyebutkannya dalam kitab Taghlīq at-Taʿlīq melalui jalur Abdul Aziz bin Munib, Abdul Aziz bin Salam, Ibrahim bin Yakub al-Jauzajani, Hilal bin Bisyr aṣh-Ṣhawwāf, dan Muhammad bin Ghalib yang dipanggil Tamtām. Dialah orang yang riwayatnya paling mungkin diambil oleh Bukhari walaupun beliau tidak mendengarnya langsung dari Ibnul Haitsam Hilal bin Bisyr, karena dia adalah salah satu gurunya yang mana beliau meriwayatkan darinya dalam Juzʾu al-Qirāʾah Khalfa al-Imām ….” Selesai kutipan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar (4/488). فالحاصل؛ أن المحفوظ في هذا الحديث: هي الرواية التي تنص على أن قراءة آية الكرسي من أذكار النوم، وليس من أذكار الصباح والمساء. وقد وردت روايات أخرى تنص على أن آية الكرسي من أذكار الصباح والمساء، لكن أسانيدها فيها مقال. فقد روى الترمذي (2879)، وابن السني في “عمل اليوم والليلة” (ص 66)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 157)، وغيرهم من طرق عدة: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ المُلَيْكِيِّ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ مُصْعَبٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( مَنْ قَرَأَ حم المُؤْمِنَ إِلَى ( إِلَيْهِ المَصِيرُ )، ‌وَآيَةَ ‌الكُرْسِيِّ ‌حِينَ ‌يُصْبِحُ: حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهُمَا حِينَ يُمْسِي حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُصْبِحَ). وقال الترمذي: ” هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ فِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ المُلَيْكِيِّ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ ” انتهى. Kesimpulannya, bahwa riwayat yang terpelihara dalam hadis ini adalah riwayat yang menyebutkan bahwa membaca Ayat Kursi merupakan salah satu Zikir Sebelum Tidur, dan bukan Zikir Pagi dan Petang.  Ada beberapa riwayat lain yang menyatakan bahwa Ayat Kursi termasuk dalam Zikir Pagi dan Petang, namun semua sanadnya tidak lepas dari kritik.  Tirmidzi (2879), Ibnus Sunni dalam ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 66), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 157), dan lain-lain meriwayatkannya dari beberapa jalur berbeda dari Abdurrahman bin Abu Bakar al-Mulaiki dari Zurārah bin Muṣʿab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca H̱ā Mīm dalam surah al-Mukmin (Ghafir) sampai dengan wa ilaihil maṣhīr, dan Ayat Kursi pada waktu pagi, maka ia akan dijaga hingga waktu sore tiba, dan barang siapa membaca keduanya pada waktu sore, maka ia akan dijaga hingga waktu pagi.” Abu Isa berkata, “Hadis ini Gharīb. Sebagian ulama mengkritisi Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Mulaikah al-Mulaiki dari sisi hafalannya.” Selesai kutipan. وقال الذهبي رحمه الله تعالى: ” عبد الرحمن بن أبي بكر المليكى . قال البخاري: ذاهب الحديث. وقال ابن معين: ضعيف. وقال أحمد: منكر الحديث. وقال النسائي: متروك ” انتهى من “ميزان الاعتدال” (2/550). فإسناد الحديث ضعيف. Az-Zahabi —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari Abdurrahman bin Abi Bakar al-Mulaiki mengatakan bahwa Imam Bukhari berkata, “Haditsnya ditinggalkan.” Ibnu Maʿīn berkata, “Lemah.” Imam Ahmad berkata, “Hadisnya mungkar.” An-Nasai berkata, “Ditinggalkan.” Selesai kutipan dari Mizan al-Iʿtidāl (2/550). Jadi, sanad hadis ini lemah. وورد أيضا ذكر الصباح والمساء في حديث أبي بن كعب رضي الله عنه، وهو شبيه بقصة أبي هريرة رضي الله عنه السابقة. رواه البخاري في “التاريخ الكبير” (1/ 242 – 243)، والنسائي في “السنن الكبري” (10730)، و(10731)، و(10732)، وابن حبان كما في “الإحسان” (3 / 63)، والطبراني في “المعجم الكبير” (1 / 201)، والحاكم في “المستدرك” (1 / 561 – 562)، والمروزي في “قيام الليل – المختصر” (ص 166 – 167). وغيرهم. لكنه حديث مضطرب الإسناد والمتن، ففي بعض طرقه ينص على الصباح والمساء، وفي بعضها لم يرد ذكر الصباح والمساء. Ada juga riwayat yang menyebutkan tentang pembacaan Ayat Kursi pada pagi dan petang dalam hadis Ubay bin Ka’ab —Semoga Allah Meridainya—, yang kisahnya mirip dengan kisah Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— sebelumnya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam at-Tārīkh al-Kabīr (1/242-243), an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubrā (10730), (10731), dan (10732), Ibnu Hibban sebagaimana dalam al-Ihsān (3/63), at-Tabarani dalam al-Muʿjam al-Kabīr (1/201), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/561- 562), al-Maruzi dalam Qiyam al-Lail al-Mukhtasar (hal. 166-167), dan lain-lain. Hanya saja, hadis ini Muḏhṯharib (rancu) secara sanad dan matannya, di mana pada sebagian riwayatnya menyebutkan pagi dan sore dan pada sebagian yang lainnya tidak menyebutkannya. ثانيا: ما ورد في جواب السؤال رقم: (217496) من أذكار للصباح والمساء، فهذا أصح ما وقفنا عليه. وفيه – إن شاء الله – كفاية للمسلم إذا التزم بها، ويرد في دواوين السنة غيرها، لكن أغلبها مما اختلف في صحته، أو مقطوع بضعفه. ومن ترجح لديه ثبوت شيء منها، أو أن ضعفه يسير يعمل به في مثل هذه الأبواب التي يتسامح في أسانيدها، فعمل به: فلا حرج عليه، بل هو خير، عن شاء الله. Kedua, berkenaan dengan apa yang disebutkan pada jawaban pertanyaan nomor 217496 tentang Zikir Pagi dan Petang, maka zikir-zikir itulah yang paling sahih sejauh yang kami telaah. Apa yang kami sebutkan insya Allah cukup bagi seorang muslim jika ia konsisten mengamalkannya.  Memang ada zikir-zikir lain yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja kesahihannya diperselisihkan atau bahkan jelas kelemahannya. Jika ada seseorang yang menganggap ada zikir yang menurutnya sahih atau agak lemah, maka dia boleh mengamalkannya dalam konteks zikir seperti ini yang memang agak longgar dalam menghukumi sanadnya. Jadi, yang mengamalkannya tidak masalah, bahkan baik, dengan izin Allah.  ويمكن الاطلاع على جملة مما ورد في ذلك الباب في عدد من المصنفات، منها: كتاب “عمل اليوم والليلة ” للنسائي. وكتاب “عمل اليوم والليلة” لابن السني. وكتاب “الأذكار” للنووي. ومن الكتب المعاصرة، كتاب “حصن المسلم من أذكار الكتاب والسّنة” للشيخ سعيد بن على بن وهف القحطاني رحمه الله تعالى.والله أعلم. Riwayat-Riwayat dalam masalah ini bisa ditelaah di beberapa kitab, antara lain: ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya an-Nasa’i, ʿAmal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibnus Sunni, dan al-Adzkār karya an-Nawawi.  Adapun dalam kitab-kitab kontemporer, ada kitab H̱iṣhnul Muslim min Adzkār al-Kitāb wa as-Sunnah karya Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf Qaẖṯhāni —Semoga Allah Merahmatinya— Allah yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/448652/هل-اية-الكرسي-من-اذكار-الصباح-والمساءPDF sumber artikel. 🔍 Doa Melihat Kabah, Sholat Qobliyah Jumat, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Kalung Perak Pria, Doa Menghafal, Tempat Minum Anak Tupperware Visited 280 times, 3 visit(s) today Post Views: 610 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks hadis keduaKandungan hadis keduaTeks hadis ketigaKandungan hadis ketigaTeks hadis keempatKandungan hadis keempat Teks hadis kedua Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455) Kandungan hadis kedua Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat. Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar. Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat. Baca juga: Larangan Menyerupai Hewan dalam Salat Teks hadis ketiga Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453) Kandungan hadis ketiga Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah. Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta. Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham. Baca juga: Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah Teks hadis keempat Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih) Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu: Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga. Kandungan hadis keempat Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini. Nishab (jumlah sapi) Kadar wajib zakat 30-39 ekor 1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih) 40-59 ekor 1 musinnah 60-69 ekor 2 tabi’ 70-79 ekor 1 musinnah dan 1 tabi’ 80-89 ekor 2 musinnah 90-99 ekor 3 tabi’ (Dan demikian seterusnya) Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157) Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas. Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 394-399). Tags: zakat

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks hadis keduaKandungan hadis keduaTeks hadis ketigaKandungan hadis ketigaTeks hadis keempatKandungan hadis keempat Teks hadis kedua Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455) Kandungan hadis kedua Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat. Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar. Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat. Baca juga: Larangan Menyerupai Hewan dalam Salat Teks hadis ketiga Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453) Kandungan hadis ketiga Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah. Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta. Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham. Baca juga: Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah Teks hadis keempat Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih) Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu: Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga. Kandungan hadis keempat Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini. Nishab (jumlah sapi) Kadar wajib zakat 30-39 ekor 1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih) 40-59 ekor 1 musinnah 60-69 ekor 2 tabi’ 70-79 ekor 1 musinnah dan 1 tabi’ 80-89 ekor 2 musinnah 90-99 ekor 3 tabi’ (Dan demikian seterusnya) Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157) Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas. Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 394-399). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadis keduaKandungan hadis keduaTeks hadis ketigaKandungan hadis ketigaTeks hadis keempatKandungan hadis keempat Teks hadis kedua Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455) Kandungan hadis kedua Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat. Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar. Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat. Baca juga: Larangan Menyerupai Hewan dalam Salat Teks hadis ketiga Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453) Kandungan hadis ketiga Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah. Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta. Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham. Baca juga: Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah Teks hadis keempat Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih) Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu: Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga. Kandungan hadis keempat Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini. Nishab (jumlah sapi) Kadar wajib zakat 30-39 ekor 1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih) 40-59 ekor 1 musinnah 60-69 ekor 2 tabi’ 70-79 ekor 1 musinnah dan 1 tabi’ 80-89 ekor 2 musinnah 90-99 ekor 3 tabi’ (Dan demikian seterusnya) Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157) Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas. Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 394-399). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadis keduaKandungan hadis keduaTeks hadis ketigaKandungan hadis ketigaTeks hadis keempatKandungan hadis keempat Teks hadis kedua Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455) Kandungan hadis kedua Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat. Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar. Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat. Baca juga: Larangan Menyerupai Hewan dalam Salat Teks hadis ketiga Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453) Kandungan hadis ketiga Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah. Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta. Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham. Baca juga: Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah Teks hadis keempat Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih) Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu: Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua. Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga. Kandungan hadis keempat Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini. Nishab (jumlah sapi) Kadar wajib zakat 30-39 ekor 1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih) 40-59 ekor 1 musinnah 60-69 ekor 2 tabi’ 70-79 ekor 1 musinnah dan 1 tabi’ 80-89 ekor 2 musinnah 90-99 ekor 3 tabi’ (Dan demikian seterusnya) Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157) Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas. Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3) *** @Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 394-399). Tags: zakat

Sabar Itu pada Hantaman Pertama

Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah berjalan melewatiseorang perempuan yang sedang menangisdi atas kubur anaknya atau kerabatnya,maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!”Dia lantas menimpali, “Menjauhlah engkau dariku!Sesungguhnya engkau belum pernah mengalami musibah yang aku alami.” Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berlalu dan meninggalkanya.Ketika dia diberitahu bahwa itu adalah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia kaget dan segera mengejarmengikuti Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,sampai bertemu di rumah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,lalu dia mulai meminta maaf kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!”“Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!” Lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepadanya,“Sabar itu hanyalah saat hantaman pertama.” (HR. Bukhari) Marilah kita bersabar terhadap takdir-takdir Allah.kita bersabar dengan pahitnya takdir,karena kita tahu bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, dan bahwa kita semua adalah hamba Allah,dan Allah adalah Tuhan kita,Allah berhak berbuat apa yang dikehendaki-Nya pada kita. ==== مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ تَبْكِي عَلَى قَبْرٍ لِابْنِهَا أَوْ قَرِيبٍ لَهَا فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ… فَلَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي فَتَرَكَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى فَلَمَّا أُخْبِرَتْ بِأَنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَالَهَا ذَلِكَ وَأَصْبَحَتْ تَسْعَى وَرَاءَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَدْرَكَتْهُ فِي بَيْتِهِ وَأَخَذَتْ تَقُولُ مُعْتَذِرَةً يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى نَصْبِرُ عَلَى أَقْدَارِ اللهِ نَصْبِرُ عَلَى مُرِّ الْقَدَرِ لِأَنَّا نَعْلَمُ أَنَّ اللهَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ وَأَنَّا عِبَادٌ لله وَأَنَّ اللهَ رَبُّنَا فَيَفْعَلُ بِنَا مَا شَاءَ

Sabar Itu pada Hantaman Pertama

Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah berjalan melewatiseorang perempuan yang sedang menangisdi atas kubur anaknya atau kerabatnya,maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!”Dia lantas menimpali, “Menjauhlah engkau dariku!Sesungguhnya engkau belum pernah mengalami musibah yang aku alami.” Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berlalu dan meninggalkanya.Ketika dia diberitahu bahwa itu adalah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia kaget dan segera mengejarmengikuti Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,sampai bertemu di rumah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,lalu dia mulai meminta maaf kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!”“Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!” Lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepadanya,“Sabar itu hanyalah saat hantaman pertama.” (HR. Bukhari) Marilah kita bersabar terhadap takdir-takdir Allah.kita bersabar dengan pahitnya takdir,karena kita tahu bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, dan bahwa kita semua adalah hamba Allah,dan Allah adalah Tuhan kita,Allah berhak berbuat apa yang dikehendaki-Nya pada kita. ==== مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ تَبْكِي عَلَى قَبْرٍ لِابْنِهَا أَوْ قَرِيبٍ لَهَا فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ… فَلَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي فَتَرَكَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى فَلَمَّا أُخْبِرَتْ بِأَنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَالَهَا ذَلِكَ وَأَصْبَحَتْ تَسْعَى وَرَاءَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَدْرَكَتْهُ فِي بَيْتِهِ وَأَخَذَتْ تَقُولُ مُعْتَذِرَةً يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى نَصْبِرُ عَلَى أَقْدَارِ اللهِ نَصْبِرُ عَلَى مُرِّ الْقَدَرِ لِأَنَّا نَعْلَمُ أَنَّ اللهَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ وَأَنَّا عِبَادٌ لله وَأَنَّ اللهَ رَبُّنَا فَيَفْعَلُ بِنَا مَا شَاءَ
Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah berjalan melewatiseorang perempuan yang sedang menangisdi atas kubur anaknya atau kerabatnya,maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!”Dia lantas menimpali, “Menjauhlah engkau dariku!Sesungguhnya engkau belum pernah mengalami musibah yang aku alami.” Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berlalu dan meninggalkanya.Ketika dia diberitahu bahwa itu adalah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia kaget dan segera mengejarmengikuti Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,sampai bertemu di rumah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,lalu dia mulai meminta maaf kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!”“Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!” Lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepadanya,“Sabar itu hanyalah saat hantaman pertama.” (HR. Bukhari) Marilah kita bersabar terhadap takdir-takdir Allah.kita bersabar dengan pahitnya takdir,karena kita tahu bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, dan bahwa kita semua adalah hamba Allah,dan Allah adalah Tuhan kita,Allah berhak berbuat apa yang dikehendaki-Nya pada kita. ==== مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ تَبْكِي عَلَى قَبْرٍ لِابْنِهَا أَوْ قَرِيبٍ لَهَا فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ… فَلَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي فَتَرَكَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى فَلَمَّا أُخْبِرَتْ بِأَنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَالَهَا ذَلِكَ وَأَصْبَحَتْ تَسْعَى وَرَاءَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَدْرَكَتْهُ فِي بَيْتِهِ وَأَخَذَتْ تَقُولُ مُعْتَذِرَةً يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى نَصْبِرُ عَلَى أَقْدَارِ اللهِ نَصْبِرُ عَلَى مُرِّ الْقَدَرِ لِأَنَّا نَعْلَمُ أَنَّ اللهَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ وَأَنَّا عِبَادٌ لله وَأَنَّ اللهَ رَبُّنَا فَيَفْعَلُ بِنَا مَا شَاءَ


Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah berjalan melewatiseorang perempuan yang sedang menangisdi atas kubur anaknya atau kerabatnya,maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!”Dia lantas menimpali, “Menjauhlah engkau dariku!Sesungguhnya engkau belum pernah mengalami musibah yang aku alami.” Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berlalu dan meninggalkanya.Ketika dia diberitahu bahwa itu adalah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia kaget dan segera mengejarmengikuti Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,sampai bertemu di rumah beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,lalu dia mulai meminta maaf kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!”“Wahai Rasulullah, aku tak tahu kalau yang tadi adalah engkau!” Lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda kepadanya,“Sabar itu hanyalah saat hantaman pertama.” (HR. Bukhari) Marilah kita bersabar terhadap takdir-takdir Allah.kita bersabar dengan pahitnya takdir,karena kita tahu bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, dan bahwa kita semua adalah hamba Allah,dan Allah adalah Tuhan kita,Allah berhak berbuat apa yang dikehendaki-Nya pada kita. ==== مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ تَبْكِي عَلَى قَبْرٍ لِابْنِهَا أَوْ قَرِيبٍ لَهَا فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ… فَلَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي فَتَرَكَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى فَلَمَّا أُخْبِرَتْ بِأَنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَالَهَا ذَلِكَ وَأَصْبَحَتْ تَسْعَى وَرَاءَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَدْرَكَتْهُ فِي بَيْتِهِ وَأَخَذَتْ تَقُولُ مُعْتَذِرَةً يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَرَفْتُكَ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى نَصْبِرُ عَلَى أَقْدَارِ اللهِ نَصْبِرُ عَلَى مُرِّ الْقَدَرِ لِأَنَّا نَعْلَمُ أَنَّ اللهَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ وَأَنَّا عِبَادٌ لله وَأَنَّ اللهَ رَبُّنَا فَيَفْعَلُ بِنَا مَا شَاءَ
Prev     Next