Serial Karakter Pemimpin Ideal No: 1 – Pemimpin Harus Beriman

Serial Karakter Pemimpin Ideal – 1Pemimpin Harus BerimanOleh Abdullah Zaen, Lc., MAKeberadaan pemimpin, mutlak diperlukan dalam sebuah negara. Agar roda pemerintahan berjalan dengan baik. Demi misi tersebut, tidak boleh sembarang orang menduduki jabatan tertinggi itu. Namun hanya orang yang berkompeten yang layak mendudukinya.Di antara kriteria yang harus terpenuhi dalam diri pemimpin adalah keimanan dan ketakwaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ”“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman setia), lalu meninggalkan orang-orang yang beriman”. QS: An Nisa’ [4]: 144.Cara mengetahui keimanan dan ketakwaan pemimpin adalah dari akidah yang diyakininya dan dari ibadah kesehariannya. Apakah ia menganut akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau tidak? Apakah ia rajin menunaikan shalat lima waktu atau tidak?Keimanan itu bukan diukur dari sekedar kedekatan calon pemimpin dengan tokoh agama. Apalagi jika kedekatan itu hanya ketika masa kampanye saja. Biasanya orang seperti ini menganggap ulama ibarat orang yang mendorong mobil mogok. Setelah mobilnya berjalan, maka si pendorong akan ditinggalkan.Banyak orang jahat tidak menghendaki negeri ini dipimpin oleh orang yang baik. Segala makar mereka rancang demi terpilihnya pemimpin yang tidak berkompeten. Untuk itu, selain berikhtiar maksimal, kita juga harus senantiasa berdoa memohon kepada Allah ta’ala agar mengaruniakan pemimpin yang idaman bagi kita semua…“اللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَاكْفِنَا شِرَارَنا”“Ya Allah jadikanlah orang-orang baik sebagai pemimpin kami. Dan lindungilah kami dari orang-orang jahat”.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 l 5 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

Serial Karakter Pemimpin Ideal No: 1 – Pemimpin Harus Beriman

Serial Karakter Pemimpin Ideal – 1Pemimpin Harus BerimanOleh Abdullah Zaen, Lc., MAKeberadaan pemimpin, mutlak diperlukan dalam sebuah negara. Agar roda pemerintahan berjalan dengan baik. Demi misi tersebut, tidak boleh sembarang orang menduduki jabatan tertinggi itu. Namun hanya orang yang berkompeten yang layak mendudukinya.Di antara kriteria yang harus terpenuhi dalam diri pemimpin adalah keimanan dan ketakwaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ”“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman setia), lalu meninggalkan orang-orang yang beriman”. QS: An Nisa’ [4]: 144.Cara mengetahui keimanan dan ketakwaan pemimpin adalah dari akidah yang diyakininya dan dari ibadah kesehariannya. Apakah ia menganut akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau tidak? Apakah ia rajin menunaikan shalat lima waktu atau tidak?Keimanan itu bukan diukur dari sekedar kedekatan calon pemimpin dengan tokoh agama. Apalagi jika kedekatan itu hanya ketika masa kampanye saja. Biasanya orang seperti ini menganggap ulama ibarat orang yang mendorong mobil mogok. Setelah mobilnya berjalan, maka si pendorong akan ditinggalkan.Banyak orang jahat tidak menghendaki negeri ini dipimpin oleh orang yang baik. Segala makar mereka rancang demi terpilihnya pemimpin yang tidak berkompeten. Untuk itu, selain berikhtiar maksimal, kita juga harus senantiasa berdoa memohon kepada Allah ta’ala agar mengaruniakan pemimpin yang idaman bagi kita semua…“اللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَاكْفِنَا شِرَارَنا”“Ya Allah jadikanlah orang-orang baik sebagai pemimpin kami. Dan lindungilah kami dari orang-orang jahat”.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 l 5 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma
Serial Karakter Pemimpin Ideal – 1Pemimpin Harus BerimanOleh Abdullah Zaen, Lc., MAKeberadaan pemimpin, mutlak diperlukan dalam sebuah negara. Agar roda pemerintahan berjalan dengan baik. Demi misi tersebut, tidak boleh sembarang orang menduduki jabatan tertinggi itu. Namun hanya orang yang berkompeten yang layak mendudukinya.Di antara kriteria yang harus terpenuhi dalam diri pemimpin adalah keimanan dan ketakwaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ”“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman setia), lalu meninggalkan orang-orang yang beriman”. QS: An Nisa’ [4]: 144.Cara mengetahui keimanan dan ketakwaan pemimpin adalah dari akidah yang diyakininya dan dari ibadah kesehariannya. Apakah ia menganut akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau tidak? Apakah ia rajin menunaikan shalat lima waktu atau tidak?Keimanan itu bukan diukur dari sekedar kedekatan calon pemimpin dengan tokoh agama. Apalagi jika kedekatan itu hanya ketika masa kampanye saja. Biasanya orang seperti ini menganggap ulama ibarat orang yang mendorong mobil mogok. Setelah mobilnya berjalan, maka si pendorong akan ditinggalkan.Banyak orang jahat tidak menghendaki negeri ini dipimpin oleh orang yang baik. Segala makar mereka rancang demi terpilihnya pemimpin yang tidak berkompeten. Untuk itu, selain berikhtiar maksimal, kita juga harus senantiasa berdoa memohon kepada Allah ta’ala agar mengaruniakan pemimpin yang idaman bagi kita semua…“اللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَاكْفِنَا شِرَارَنا”“Ya Allah jadikanlah orang-orang baik sebagai pemimpin kami. Dan lindungilah kami dari orang-orang jahat”.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 l 5 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma


Serial Karakter Pemimpin Ideal – 1Pemimpin Harus BerimanOleh Abdullah Zaen, Lc., MAKeberadaan pemimpin, mutlak diperlukan dalam sebuah negara. Agar roda pemerintahan berjalan dengan baik. Demi misi tersebut, tidak boleh sembarang orang menduduki jabatan tertinggi itu. Namun hanya orang yang berkompeten yang layak mendudukinya.Di antara kriteria yang harus terpenuhi dalam diri pemimpin adalah keimanan dan ketakwaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ”“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman setia), lalu meninggalkan orang-orang yang beriman”. QS: An Nisa’ [4]: 144.Cara mengetahui keimanan dan ketakwaan pemimpin adalah dari akidah yang diyakininya dan dari ibadah kesehariannya. Apakah ia menganut akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau tidak? Apakah ia rajin menunaikan shalat lima waktu atau tidak?Keimanan itu bukan diukur dari sekedar kedekatan calon pemimpin dengan tokoh agama. Apalagi jika kedekatan itu hanya ketika masa kampanye saja. Biasanya orang seperti ini menganggap ulama ibarat orang yang mendorong mobil mogok. Setelah mobilnya berjalan, maka si pendorong akan ditinggalkan.Banyak orang jahat tidak menghendaki negeri ini dipimpin oleh orang yang baik. Segala makar mereka rancang demi terpilihnya pemimpin yang tidak berkompeten. Untuk itu, selain berikhtiar maksimal, kita juga harus senantiasa berdoa memohon kepada Allah ta’ala agar mengaruniakan pemimpin yang idaman bagi kita semua…“اللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَاكْفِنَا شِرَارَنا”“Ya Allah jadikanlah orang-orang baik sebagai pemimpin kami. Dan lindungilah kami dari orang-orang jahat”.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 l 5 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

Menemukan Makna Ikhlas

Sahl bin Abdullah At-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan, kecuali hal ini. Yaitu, hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun, apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 7-8) Abul Qasim Al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan Al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan. Yaitu, dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 8) Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama jika dia berkata, maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal, maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas, hal. 592) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu, untuk siapa dan bagaimana. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya.” (lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 113) Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas, namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian pula, apabila amalan itu benar, tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. (Akan diterima) sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah. Sedangkan benar jika berada di atas sunah/tuntunan.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 19 cet. Dar Al-Hadits) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّینُ ٱلۡخَالِصُۚ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama (amalan) yang murni (ikhlas) itu merupakan hak Allah.” (QS. Az-Zumar: 2-3) Allah Ta’ala berfirman, وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ “Padahal, mereka tidaklah disuruh, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala berfirman, فَٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14) Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu, orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah Ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘Azza Wajalla. Sehingga, orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid …” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 85) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid dan ibadah. Hakikat ikhlas adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan dan keutamaan dari-Nya …” (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 107) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Hadis tentang ikhlas Diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ’anhu. Beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‘Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’i Al-Wahyi no. 1, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur no. 6689 dan Muslim dalam Kitab Al-Imarah no. 1907) Ibnu As-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadis tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal nonibadat tidak akan bisa membuahkan pahala, kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah). Seperti contohnya makan, bisa mendatangkan pahala apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari, 1: 17. Lihat penjelasan serupa dalam Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 129) Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab, di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat (yang benar). Sementara niat (yang benar) untuk melakukan sesuatu tidak akan benar, kecuali setelah mengetahui hukumnya.” (Fath Al-Bari, 1: 22) Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19). Ibnu Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19) Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati), Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Aku tidaklah menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19) Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20) Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani, disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22) Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak teperdaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon. Sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barangsiapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan, maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent). Sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’ad (kari kiamat). Ketika dipanen, barulah tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang dipetik, maka buah tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati. Buahnya di akhirat berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surah Ibrahim.” (lihat Al-Fawa’id, hal. 158) Baca juga: Pentingnya Tauhid dan Keikhlasan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: ikhlas

Menemukan Makna Ikhlas

Sahl bin Abdullah At-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan, kecuali hal ini. Yaitu, hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun, apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 7-8) Abul Qasim Al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan Al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan. Yaitu, dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 8) Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama jika dia berkata, maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal, maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas, hal. 592) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu, untuk siapa dan bagaimana. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya.” (lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 113) Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas, namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian pula, apabila amalan itu benar, tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. (Akan diterima) sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah. Sedangkan benar jika berada di atas sunah/tuntunan.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 19 cet. Dar Al-Hadits) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّینُ ٱلۡخَالِصُۚ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama (amalan) yang murni (ikhlas) itu merupakan hak Allah.” (QS. Az-Zumar: 2-3) Allah Ta’ala berfirman, وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ “Padahal, mereka tidaklah disuruh, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala berfirman, فَٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14) Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu, orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah Ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘Azza Wajalla. Sehingga, orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid …” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 85) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid dan ibadah. Hakikat ikhlas adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan dan keutamaan dari-Nya …” (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 107) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Hadis tentang ikhlas Diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ’anhu. Beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‘Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’i Al-Wahyi no. 1, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur no. 6689 dan Muslim dalam Kitab Al-Imarah no. 1907) Ibnu As-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadis tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal nonibadat tidak akan bisa membuahkan pahala, kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah). Seperti contohnya makan, bisa mendatangkan pahala apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari, 1: 17. Lihat penjelasan serupa dalam Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 129) Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab, di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat (yang benar). Sementara niat (yang benar) untuk melakukan sesuatu tidak akan benar, kecuali setelah mengetahui hukumnya.” (Fath Al-Bari, 1: 22) Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19). Ibnu Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19) Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati), Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Aku tidaklah menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19) Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20) Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani, disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22) Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak teperdaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon. Sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barangsiapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan, maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent). Sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’ad (kari kiamat). Ketika dipanen, barulah tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang dipetik, maka buah tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati. Buahnya di akhirat berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surah Ibrahim.” (lihat Al-Fawa’id, hal. 158) Baca juga: Pentingnya Tauhid dan Keikhlasan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: ikhlas
Sahl bin Abdullah At-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan, kecuali hal ini. Yaitu, hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun, apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 7-8) Abul Qasim Al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan Al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan. Yaitu, dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 8) Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama jika dia berkata, maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal, maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas, hal. 592) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu, untuk siapa dan bagaimana. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya.” (lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 113) Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas, namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian pula, apabila amalan itu benar, tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. (Akan diterima) sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah. Sedangkan benar jika berada di atas sunah/tuntunan.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 19 cet. Dar Al-Hadits) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّینُ ٱلۡخَالِصُۚ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama (amalan) yang murni (ikhlas) itu merupakan hak Allah.” (QS. Az-Zumar: 2-3) Allah Ta’ala berfirman, وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ “Padahal, mereka tidaklah disuruh, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala berfirman, فَٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14) Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu, orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah Ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘Azza Wajalla. Sehingga, orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid …” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 85) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid dan ibadah. Hakikat ikhlas adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan dan keutamaan dari-Nya …” (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 107) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Hadis tentang ikhlas Diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ’anhu. Beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‘Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’i Al-Wahyi no. 1, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur no. 6689 dan Muslim dalam Kitab Al-Imarah no. 1907) Ibnu As-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadis tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal nonibadat tidak akan bisa membuahkan pahala, kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah). Seperti contohnya makan, bisa mendatangkan pahala apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari, 1: 17. Lihat penjelasan serupa dalam Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 129) Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab, di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat (yang benar). Sementara niat (yang benar) untuk melakukan sesuatu tidak akan benar, kecuali setelah mengetahui hukumnya.” (Fath Al-Bari, 1: 22) Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19). Ibnu Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19) Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati), Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Aku tidaklah menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19) Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20) Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani, disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22) Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak teperdaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon. Sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barangsiapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan, maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent). Sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’ad (kari kiamat). Ketika dipanen, barulah tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang dipetik, maka buah tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati. Buahnya di akhirat berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surah Ibrahim.” (lihat Al-Fawa’id, hal. 158) Baca juga: Pentingnya Tauhid dan Keikhlasan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: ikhlas


Sahl bin Abdullah At-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan, kecuali hal ini. Yaitu, hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun, apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 7-8) Abul Qasim Al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan Al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan. Yaitu, dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” (lihat Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 8) Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama jika dia berkata, maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal, maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas, hal. 592) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu, untuk siapa dan bagaimana. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya.” (lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 113) Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas, namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian pula, apabila amalan itu benar, tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. (Akan diterima) sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah. Sedangkan benar jika berada di atas sunah/tuntunan.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 19 cet. Dar Al-Hadits) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّینُ ٱلۡخَالِصُۚ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama (amalan) yang murni (ikhlas) itu merupakan hak Allah.” (QS. Az-Zumar: 2-3) Allah Ta’ala berfirman, وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ “Padahal, mereka tidaklah disuruh, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala berfirman, فَٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14) Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu, orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah Ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘Azza Wajalla. Sehingga, orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid …” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 85) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid dan ibadah. Hakikat ikhlas adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan dan keutamaan dari-Nya …” (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 107) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Hadis tentang ikhlas Diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ’anhu. Beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‘Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’i Al-Wahyi no. 1, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur no. 6689 dan Muslim dalam Kitab Al-Imarah no. 1907) Ibnu As-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadis tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal nonibadat tidak akan bisa membuahkan pahala, kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah). Seperti contohnya makan, bisa mendatangkan pahala apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari, 1: 17. Lihat penjelasan serupa dalam Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 129) Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab, di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat (yang benar). Sementara niat (yang benar) untuk melakukan sesuatu tidak akan benar, kecuali setelah mengetahui hukumnya.” (Fath Al-Bari, 1: 22) Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19). Ibnu Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 19) Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati), Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Aku tidaklah menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19) Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20) Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani, disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22) Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak teperdaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon. Sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barangsiapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan, maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent). Sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’ad (kari kiamat). Ketika dipanen, barulah tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang dipetik, maka buah tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati. Buahnya di akhirat berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surah Ibrahim.” (lihat Al-Fawa’id, hal. 158) Baca juga: Pentingnya Tauhid dan Keikhlasan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: ikhlas

Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif

Daftar Isi Toggle Perampas prioritasMisi KehidupanPertanggungjawaban di hadapan AllahAktivitas harian seorang muslimPertama: Aktivitas pagiKedua: Aktivitas siangKetiga: Aktivitas soreKeempat: Aktivitas malamMenggapai rida dan kasih sayang Allah Perampas prioritas Sungguh, media modern telah banyak merampas fokus dan perhatian kita dari hal-hal prioritas yang semestinya kita kerjakan. Gadget dengan segala apps-nya yang memiliki manfaat dan mudarat, pada kenyataannya justru banyak melalaikan manusia dari menyembah Rabb-Nya. Adalah fenomena yang lumrah saat ini, ketika kita melihat seorang anak muda dengan waktu luangnya karena liburan sekolah atau kuliah, atau seorang tua dengan waktu libur weekend-nya, kemudian mengisi waktu dengan berbaring santai sambil melihat screen gadget, mengusap-usap (scrolling) layar gadget dengan berbagai konten. Satu, dua, tiga, bahkan hingga beberapa jam terlewatkan hanya fokus pada tontonan yang ada. Kadangkala, tidak peduli dengan halal-haram konten yang ditonton. Semua tontonan itu telah membawanya lalai dari segala hal yang bermanfaat yang bisa dikerjakan saat itu. Bahkan, tidak jarang pula, kewajiban ibadah seperti salat 5 waktu pun terlewatkan saking asyiknya dengan gadget di tangan. Wal’iyadzu billah. Padahal, jelas banyak hal yang lebih utama untuk dilakukan daripada menghabiskan waktu di depan layar gadget. Dan jelas pula bahwa kegiatan melalaikan diri itu merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Melakukan hal yang tidak bermanfaat merupakan pertanda keislaman seseorang perlu diperbaiki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Misi Kehidupan Fenomena perampasan fokus dan perhatian oleh teknologi modern ini patut kita sadari dengan mata terbuka. Sebab, sedikit saja kita lalai, maka bisa saja kita terlupakan oleh apa yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Kita lupa bahwasanya kita memiliki misi yang harus diselesaikan dengan baik selama diberikan kesempatan hidup di dunia ini. Misi itu tidak lain adalah menyembah Allah Ta’ala. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat: 56) Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwasanya setiap waktu minimal 17 kali dalam sehari, kita mengikrarkan penghambaan kita kepada Allah Ta’ala dalam setiap bacaan Al-Fatihah pada salat-salat kita? Ya, adalah kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) merupakan pengakuan kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa kalimat  نَعْبُدُ merupakan fi’il mudhari’ yang memiliki sifat dan makna ‘terus menerus’. Artinya, penghambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah nonstop setiap waktu. Tidak sedetik pun kita pernah berubah dari status sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Inilah misi kita. Inilah job desk kita, full-time 24 jam. Oleh karenanya, sadarilah bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah semata-mata untuk menyembah Allah Ta’ala. Maka, tidak berlebihan kiranya apabila kami mengistilahkan hal ini dengan sebuah kalimat, “Kehidupan ini hanyalah menunggu waktu salat ke waktu salat berikutnya.” Maksudnya, tujuan kita hidup di dunia hanyalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Sementara, seluruh aktivitas yang kita lakukan, baik itu bekerja, belajar, mengasuh, mendidik, dan segala pekerjaan yang dilakoni adalah faktor pendukung agar kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan semaksimal mungkin. Baca juga: Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita Pertanggungjawaban di hadapan Allah Sebab, selain karena pertanggungjawaban dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Ta’ala, kelak di akhirat, kita pun akan ditanya tentang segala hal yang pernah kita jalani dalam kehidupan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya, di manakah ia habiskan, (2) ilmunya, di manakah ia amalkan, (3) hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya, di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Oleh karenanya, sebagai seorang hamba Allah yang beriman dan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat usia yang telah diberikan Allah, hendaklah kita benar-benar menyadari segala potensi yang dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Mari kita mengatur waktu dan menjadi bos atas manajemen waktu diri kita sendiri. Hiasi semua waktu yang diberikan kepada kita setiap hari dengan tujuan ibadah dan bekerja untuk ibadah. Aktivitas harian seorang muslim Pada kesempatan yang baik melalui artikel ini, kami bermaksud ingin berbagi beberapa poin terkait dengan aktivitas harian seorang muslim ideal di zaman disrupsi teknologi digital ini. Mudah-mudahan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan memang menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai seorang muslim ini, dapat menjadikan kita lebih produktif dan lebih dapat bermanfaat bagi sesama, serta yang lebih penting mendapatkan rida Allah Ta’ala. Pertama: Aktivitas pagi Salat malam, salat Subuh plus qabliyah, zikir pagi, membaca Al-Qur’an, olah raga ringan, salat Duha, merencanakan aktivitas harian dan bekerja. Kedua: Aktivitas siang Salat Zuhur plus rawatib, istirahat sejenak (15 – 30 menit) untuk bekal tenaga melaksanakan salat malam, lanjut bekerja. Ketiga: Aktivitas sore Salat Asar, zikir petang, bercengkrama bersama keluarga, menambah ilmu agama (mengikuti kajian, membaca buku, dan belajar meningkatkan keterampilan untuk menambah pendapatan). Keempat: Aktivitas malam Salat Magrib plus ba’diyah, membaca Al-Qur’an, bercengkrama dengan keluarga, salat Isya plus ba’diyah, dan istirahat. Menggapai rida dan kasih sayang Allah Saudaraku, ingat! Jangan pernah berhenti untuk memohon karunia Allah Ta’ala agar dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya. Keistikamahan dan ketekunan dalam melakukan ibadah-ibadah bukanlah semata-mata perkara fisik yang prima. Namun juga, karena petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Tergeraknya hati kita untuk selalu berzikir mengingat Allah, melaksanakan kewajiban salat 5 waktu secara tepat waktu, gerakan hati dan fisik untuk segera berwudu dan melaksanakan salat tahajud, serta melaksanakan segala aktivitas yang bermanfaat, semuanya karena kasih sayang Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya, abainya kita terhadap prioritas yang semestinya kita lakukan, lalainya kita dalam kubangan teknologi digital dengan segala konten penyita waktu dan fokus, serta enggannya kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah Ta’ala, juga bisa saja karena kita jauh dari kasih sayang Allah Ta’ala. Adakah hati yang tergerak untuk segera menggapai rida dan kasih sayang-Nya? Wallahu a’lam. Baca juga: Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: disruptifproduktif

Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif

Daftar Isi Toggle Perampas prioritasMisi KehidupanPertanggungjawaban di hadapan AllahAktivitas harian seorang muslimPertama: Aktivitas pagiKedua: Aktivitas siangKetiga: Aktivitas soreKeempat: Aktivitas malamMenggapai rida dan kasih sayang Allah Perampas prioritas Sungguh, media modern telah banyak merampas fokus dan perhatian kita dari hal-hal prioritas yang semestinya kita kerjakan. Gadget dengan segala apps-nya yang memiliki manfaat dan mudarat, pada kenyataannya justru banyak melalaikan manusia dari menyembah Rabb-Nya. Adalah fenomena yang lumrah saat ini, ketika kita melihat seorang anak muda dengan waktu luangnya karena liburan sekolah atau kuliah, atau seorang tua dengan waktu libur weekend-nya, kemudian mengisi waktu dengan berbaring santai sambil melihat screen gadget, mengusap-usap (scrolling) layar gadget dengan berbagai konten. Satu, dua, tiga, bahkan hingga beberapa jam terlewatkan hanya fokus pada tontonan yang ada. Kadangkala, tidak peduli dengan halal-haram konten yang ditonton. Semua tontonan itu telah membawanya lalai dari segala hal yang bermanfaat yang bisa dikerjakan saat itu. Bahkan, tidak jarang pula, kewajiban ibadah seperti salat 5 waktu pun terlewatkan saking asyiknya dengan gadget di tangan. Wal’iyadzu billah. Padahal, jelas banyak hal yang lebih utama untuk dilakukan daripada menghabiskan waktu di depan layar gadget. Dan jelas pula bahwa kegiatan melalaikan diri itu merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Melakukan hal yang tidak bermanfaat merupakan pertanda keislaman seseorang perlu diperbaiki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Misi Kehidupan Fenomena perampasan fokus dan perhatian oleh teknologi modern ini patut kita sadari dengan mata terbuka. Sebab, sedikit saja kita lalai, maka bisa saja kita terlupakan oleh apa yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Kita lupa bahwasanya kita memiliki misi yang harus diselesaikan dengan baik selama diberikan kesempatan hidup di dunia ini. Misi itu tidak lain adalah menyembah Allah Ta’ala. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat: 56) Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwasanya setiap waktu minimal 17 kali dalam sehari, kita mengikrarkan penghambaan kita kepada Allah Ta’ala dalam setiap bacaan Al-Fatihah pada salat-salat kita? Ya, adalah kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) merupakan pengakuan kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa kalimat  نَعْبُدُ merupakan fi’il mudhari’ yang memiliki sifat dan makna ‘terus menerus’. Artinya, penghambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah nonstop setiap waktu. Tidak sedetik pun kita pernah berubah dari status sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Inilah misi kita. Inilah job desk kita, full-time 24 jam. Oleh karenanya, sadarilah bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah semata-mata untuk menyembah Allah Ta’ala. Maka, tidak berlebihan kiranya apabila kami mengistilahkan hal ini dengan sebuah kalimat, “Kehidupan ini hanyalah menunggu waktu salat ke waktu salat berikutnya.” Maksudnya, tujuan kita hidup di dunia hanyalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Sementara, seluruh aktivitas yang kita lakukan, baik itu bekerja, belajar, mengasuh, mendidik, dan segala pekerjaan yang dilakoni adalah faktor pendukung agar kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan semaksimal mungkin. Baca juga: Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita Pertanggungjawaban di hadapan Allah Sebab, selain karena pertanggungjawaban dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Ta’ala, kelak di akhirat, kita pun akan ditanya tentang segala hal yang pernah kita jalani dalam kehidupan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya, di manakah ia habiskan, (2) ilmunya, di manakah ia amalkan, (3) hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya, di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Oleh karenanya, sebagai seorang hamba Allah yang beriman dan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat usia yang telah diberikan Allah, hendaklah kita benar-benar menyadari segala potensi yang dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Mari kita mengatur waktu dan menjadi bos atas manajemen waktu diri kita sendiri. Hiasi semua waktu yang diberikan kepada kita setiap hari dengan tujuan ibadah dan bekerja untuk ibadah. Aktivitas harian seorang muslim Pada kesempatan yang baik melalui artikel ini, kami bermaksud ingin berbagi beberapa poin terkait dengan aktivitas harian seorang muslim ideal di zaman disrupsi teknologi digital ini. Mudah-mudahan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan memang menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai seorang muslim ini, dapat menjadikan kita lebih produktif dan lebih dapat bermanfaat bagi sesama, serta yang lebih penting mendapatkan rida Allah Ta’ala. Pertama: Aktivitas pagi Salat malam, salat Subuh plus qabliyah, zikir pagi, membaca Al-Qur’an, olah raga ringan, salat Duha, merencanakan aktivitas harian dan bekerja. Kedua: Aktivitas siang Salat Zuhur plus rawatib, istirahat sejenak (15 – 30 menit) untuk bekal tenaga melaksanakan salat malam, lanjut bekerja. Ketiga: Aktivitas sore Salat Asar, zikir petang, bercengkrama bersama keluarga, menambah ilmu agama (mengikuti kajian, membaca buku, dan belajar meningkatkan keterampilan untuk menambah pendapatan). Keempat: Aktivitas malam Salat Magrib plus ba’diyah, membaca Al-Qur’an, bercengkrama dengan keluarga, salat Isya plus ba’diyah, dan istirahat. Menggapai rida dan kasih sayang Allah Saudaraku, ingat! Jangan pernah berhenti untuk memohon karunia Allah Ta’ala agar dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya. Keistikamahan dan ketekunan dalam melakukan ibadah-ibadah bukanlah semata-mata perkara fisik yang prima. Namun juga, karena petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Tergeraknya hati kita untuk selalu berzikir mengingat Allah, melaksanakan kewajiban salat 5 waktu secara tepat waktu, gerakan hati dan fisik untuk segera berwudu dan melaksanakan salat tahajud, serta melaksanakan segala aktivitas yang bermanfaat, semuanya karena kasih sayang Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya, abainya kita terhadap prioritas yang semestinya kita lakukan, lalainya kita dalam kubangan teknologi digital dengan segala konten penyita waktu dan fokus, serta enggannya kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah Ta’ala, juga bisa saja karena kita jauh dari kasih sayang Allah Ta’ala. Adakah hati yang tergerak untuk segera menggapai rida dan kasih sayang-Nya? Wallahu a’lam. Baca juga: Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: disruptifproduktif
Daftar Isi Toggle Perampas prioritasMisi KehidupanPertanggungjawaban di hadapan AllahAktivitas harian seorang muslimPertama: Aktivitas pagiKedua: Aktivitas siangKetiga: Aktivitas soreKeempat: Aktivitas malamMenggapai rida dan kasih sayang Allah Perampas prioritas Sungguh, media modern telah banyak merampas fokus dan perhatian kita dari hal-hal prioritas yang semestinya kita kerjakan. Gadget dengan segala apps-nya yang memiliki manfaat dan mudarat, pada kenyataannya justru banyak melalaikan manusia dari menyembah Rabb-Nya. Adalah fenomena yang lumrah saat ini, ketika kita melihat seorang anak muda dengan waktu luangnya karena liburan sekolah atau kuliah, atau seorang tua dengan waktu libur weekend-nya, kemudian mengisi waktu dengan berbaring santai sambil melihat screen gadget, mengusap-usap (scrolling) layar gadget dengan berbagai konten. Satu, dua, tiga, bahkan hingga beberapa jam terlewatkan hanya fokus pada tontonan yang ada. Kadangkala, tidak peduli dengan halal-haram konten yang ditonton. Semua tontonan itu telah membawanya lalai dari segala hal yang bermanfaat yang bisa dikerjakan saat itu. Bahkan, tidak jarang pula, kewajiban ibadah seperti salat 5 waktu pun terlewatkan saking asyiknya dengan gadget di tangan. Wal’iyadzu billah. Padahal, jelas banyak hal yang lebih utama untuk dilakukan daripada menghabiskan waktu di depan layar gadget. Dan jelas pula bahwa kegiatan melalaikan diri itu merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Melakukan hal yang tidak bermanfaat merupakan pertanda keislaman seseorang perlu diperbaiki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Misi Kehidupan Fenomena perampasan fokus dan perhatian oleh teknologi modern ini patut kita sadari dengan mata terbuka. Sebab, sedikit saja kita lalai, maka bisa saja kita terlupakan oleh apa yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Kita lupa bahwasanya kita memiliki misi yang harus diselesaikan dengan baik selama diberikan kesempatan hidup di dunia ini. Misi itu tidak lain adalah menyembah Allah Ta’ala. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat: 56) Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwasanya setiap waktu minimal 17 kali dalam sehari, kita mengikrarkan penghambaan kita kepada Allah Ta’ala dalam setiap bacaan Al-Fatihah pada salat-salat kita? Ya, adalah kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) merupakan pengakuan kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa kalimat  نَعْبُدُ merupakan fi’il mudhari’ yang memiliki sifat dan makna ‘terus menerus’. Artinya, penghambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah nonstop setiap waktu. Tidak sedetik pun kita pernah berubah dari status sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Inilah misi kita. Inilah job desk kita, full-time 24 jam. Oleh karenanya, sadarilah bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah semata-mata untuk menyembah Allah Ta’ala. Maka, tidak berlebihan kiranya apabila kami mengistilahkan hal ini dengan sebuah kalimat, “Kehidupan ini hanyalah menunggu waktu salat ke waktu salat berikutnya.” Maksudnya, tujuan kita hidup di dunia hanyalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Sementara, seluruh aktivitas yang kita lakukan, baik itu bekerja, belajar, mengasuh, mendidik, dan segala pekerjaan yang dilakoni adalah faktor pendukung agar kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan semaksimal mungkin. Baca juga: Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita Pertanggungjawaban di hadapan Allah Sebab, selain karena pertanggungjawaban dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Ta’ala, kelak di akhirat, kita pun akan ditanya tentang segala hal yang pernah kita jalani dalam kehidupan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya, di manakah ia habiskan, (2) ilmunya, di manakah ia amalkan, (3) hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya, di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Oleh karenanya, sebagai seorang hamba Allah yang beriman dan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat usia yang telah diberikan Allah, hendaklah kita benar-benar menyadari segala potensi yang dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Mari kita mengatur waktu dan menjadi bos atas manajemen waktu diri kita sendiri. Hiasi semua waktu yang diberikan kepada kita setiap hari dengan tujuan ibadah dan bekerja untuk ibadah. Aktivitas harian seorang muslim Pada kesempatan yang baik melalui artikel ini, kami bermaksud ingin berbagi beberapa poin terkait dengan aktivitas harian seorang muslim ideal di zaman disrupsi teknologi digital ini. Mudah-mudahan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan memang menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai seorang muslim ini, dapat menjadikan kita lebih produktif dan lebih dapat bermanfaat bagi sesama, serta yang lebih penting mendapatkan rida Allah Ta’ala. Pertama: Aktivitas pagi Salat malam, salat Subuh plus qabliyah, zikir pagi, membaca Al-Qur’an, olah raga ringan, salat Duha, merencanakan aktivitas harian dan bekerja. Kedua: Aktivitas siang Salat Zuhur plus rawatib, istirahat sejenak (15 – 30 menit) untuk bekal tenaga melaksanakan salat malam, lanjut bekerja. Ketiga: Aktivitas sore Salat Asar, zikir petang, bercengkrama bersama keluarga, menambah ilmu agama (mengikuti kajian, membaca buku, dan belajar meningkatkan keterampilan untuk menambah pendapatan). Keempat: Aktivitas malam Salat Magrib plus ba’diyah, membaca Al-Qur’an, bercengkrama dengan keluarga, salat Isya plus ba’diyah, dan istirahat. Menggapai rida dan kasih sayang Allah Saudaraku, ingat! Jangan pernah berhenti untuk memohon karunia Allah Ta’ala agar dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya. Keistikamahan dan ketekunan dalam melakukan ibadah-ibadah bukanlah semata-mata perkara fisik yang prima. Namun juga, karena petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Tergeraknya hati kita untuk selalu berzikir mengingat Allah, melaksanakan kewajiban salat 5 waktu secara tepat waktu, gerakan hati dan fisik untuk segera berwudu dan melaksanakan salat tahajud, serta melaksanakan segala aktivitas yang bermanfaat, semuanya karena kasih sayang Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya, abainya kita terhadap prioritas yang semestinya kita lakukan, lalainya kita dalam kubangan teknologi digital dengan segala konten penyita waktu dan fokus, serta enggannya kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah Ta’ala, juga bisa saja karena kita jauh dari kasih sayang Allah Ta’ala. Adakah hati yang tergerak untuk segera menggapai rida dan kasih sayang-Nya? Wallahu a’lam. Baca juga: Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: disruptifproduktif


Daftar Isi Toggle Perampas prioritasMisi KehidupanPertanggungjawaban di hadapan AllahAktivitas harian seorang muslimPertama: Aktivitas pagiKedua: Aktivitas siangKetiga: Aktivitas soreKeempat: Aktivitas malamMenggapai rida dan kasih sayang Allah Perampas prioritas Sungguh, media modern telah banyak merampas fokus dan perhatian kita dari hal-hal prioritas yang semestinya kita kerjakan. Gadget dengan segala apps-nya yang memiliki manfaat dan mudarat, pada kenyataannya justru banyak melalaikan manusia dari menyembah Rabb-Nya. Adalah fenomena yang lumrah saat ini, ketika kita melihat seorang anak muda dengan waktu luangnya karena liburan sekolah atau kuliah, atau seorang tua dengan waktu libur weekend-nya, kemudian mengisi waktu dengan berbaring santai sambil melihat screen gadget, mengusap-usap (scrolling) layar gadget dengan berbagai konten. Satu, dua, tiga, bahkan hingga beberapa jam terlewatkan hanya fokus pada tontonan yang ada. Kadangkala, tidak peduli dengan halal-haram konten yang ditonton. Semua tontonan itu telah membawanya lalai dari segala hal yang bermanfaat yang bisa dikerjakan saat itu. Bahkan, tidak jarang pula, kewajiban ibadah seperti salat 5 waktu pun terlewatkan saking asyiknya dengan gadget di tangan. Wal’iyadzu billah. Padahal, jelas banyak hal yang lebih utama untuk dilakukan daripada menghabiskan waktu di depan layar gadget. Dan jelas pula bahwa kegiatan melalaikan diri itu merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Melakukan hal yang tidak bermanfaat merupakan pertanda keislaman seseorang perlu diperbaiki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Misi Kehidupan Fenomena perampasan fokus dan perhatian oleh teknologi modern ini patut kita sadari dengan mata terbuka. Sebab, sedikit saja kita lalai, maka bisa saja kita terlupakan oleh apa yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Kita lupa bahwasanya kita memiliki misi yang harus diselesaikan dengan baik selama diberikan kesempatan hidup di dunia ini. Misi itu tidak lain adalah menyembah Allah Ta’ala. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat: 56) Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwasanya setiap waktu minimal 17 kali dalam sehari, kita mengikrarkan penghambaan kita kepada Allah Ta’ala dalam setiap bacaan Al-Fatihah pada salat-salat kita? Ya, adalah kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) merupakan pengakuan kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa kalimat  نَعْبُدُ merupakan fi’il mudhari’ yang memiliki sifat dan makna ‘terus menerus’. Artinya, penghambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah nonstop setiap waktu. Tidak sedetik pun kita pernah berubah dari status sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Inilah misi kita. Inilah job desk kita, full-time 24 jam. Oleh karenanya, sadarilah bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah semata-mata untuk menyembah Allah Ta’ala. Maka, tidak berlebihan kiranya apabila kami mengistilahkan hal ini dengan sebuah kalimat, “Kehidupan ini hanyalah menunggu waktu salat ke waktu salat berikutnya.” Maksudnya, tujuan kita hidup di dunia hanyalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Sementara, seluruh aktivitas yang kita lakukan, baik itu bekerja, belajar, mengasuh, mendidik, dan segala pekerjaan yang dilakoni adalah faktor pendukung agar kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan semaksimal mungkin. Baca juga: Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita Pertanggungjawaban di hadapan Allah Sebab, selain karena pertanggungjawaban dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Ta’ala, kelak di akhirat, kita pun akan ditanya tentang segala hal yang pernah kita jalani dalam kehidupan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya, di manakah ia habiskan, (2) ilmunya, di manakah ia amalkan, (3) hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya, di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih) Oleh karenanya, sebagai seorang hamba Allah yang beriman dan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat usia yang telah diberikan Allah, hendaklah kita benar-benar menyadari segala potensi yang dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Mari kita mengatur waktu dan menjadi bos atas manajemen waktu diri kita sendiri. Hiasi semua waktu yang diberikan kepada kita setiap hari dengan tujuan ibadah dan bekerja untuk ibadah. Aktivitas harian seorang muslim Pada kesempatan yang baik melalui artikel ini, kami bermaksud ingin berbagi beberapa poin terkait dengan aktivitas harian seorang muslim ideal di zaman disrupsi teknologi digital ini. Mudah-mudahan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan memang menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai seorang muslim ini, dapat menjadikan kita lebih produktif dan lebih dapat bermanfaat bagi sesama, serta yang lebih penting mendapatkan rida Allah Ta’ala. Pertama: Aktivitas pagi Salat malam, salat Subuh plus qabliyah, zikir pagi, membaca Al-Qur’an, olah raga ringan, salat Duha, merencanakan aktivitas harian dan bekerja. Kedua: Aktivitas siang Salat Zuhur plus rawatib, istirahat sejenak (15 – 30 menit) untuk bekal tenaga melaksanakan salat malam, lanjut bekerja. Ketiga: Aktivitas sore Salat Asar, zikir petang, bercengkrama bersama keluarga, menambah ilmu agama (mengikuti kajian, membaca buku, dan belajar meningkatkan keterampilan untuk menambah pendapatan). Keempat: Aktivitas malam Salat Magrib plus ba’diyah, membaca Al-Qur’an, bercengkrama dengan keluarga, salat Isya plus ba’diyah, dan istirahat. Menggapai rida dan kasih sayang Allah Saudaraku, ingat! Jangan pernah berhenti untuk memohon karunia Allah Ta’ala agar dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya. Keistikamahan dan ketekunan dalam melakukan ibadah-ibadah bukanlah semata-mata perkara fisik yang prima. Namun juga, karena petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Tergeraknya hati kita untuk selalu berzikir mengingat Allah, melaksanakan kewajiban salat 5 waktu secara tepat waktu, gerakan hati dan fisik untuk segera berwudu dan melaksanakan salat tahajud, serta melaksanakan segala aktivitas yang bermanfaat, semuanya karena kasih sayang Allah Ta’ala. Begitu pula sebaliknya, abainya kita terhadap prioritas yang semestinya kita lakukan, lalainya kita dalam kubangan teknologi digital dengan segala konten penyita waktu dan fokus, serta enggannya kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah Ta’ala, juga bisa saja karena kita jauh dari kasih sayang Allah Ta’ala. Adakah hati yang tergerak untuk segera menggapai rida dan kasih sayang-Nya? Wallahu a’lam. Baca juga: Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: disruptifproduktif

Apakah Telat Nikah Itu Tercela?

Pertanyaan: Ustadz, usia saya sudah lebih dari 30 tahun namun saya belum menikah. Apakah telat menikah itu tercela ustadz? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du. Perlu dipahami bahwa menikah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firman-Nya, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah/kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32). Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhum, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: تزوَّجوا الودودَ الوَلودَ فإنِّي مُكاثِرٌ بِكُمُ الأممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku bangga dengan banyaknya umatku” (HR. An-Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih). Dalam hadis ini juga digunakan fi’il amr تزوَّجوا (menikahlah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga mencela orang yang tidak mau menikah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ “Menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383). Dengan demikian sudah semestinya seorang Muslim bersemangat untuk menikah ketika ia sudah mampu.  Adapun orang yang terlambat menikah, bisa kita bagi menjadi dua macam: Pertama, orang yang sudah berusaha untuk menikah dan mencari calon pasangan tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Atau ia mendapati banyak halangan dan rintangan untuk menikah. Yang seperti ini tidak tercela dan boleh mengatakan “qaddarallah” (ini adalah takdir Allah). Karena boleh beralasan dengan takdir untuk musibah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan, “Andaikan saya melakukan ini dan itu.” Namun ucapkan, “qaddarallah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: تبين لنا أن الاحتجاج بالقدر على المصائب جائز، وكذلك الاحتجاج بالقدر على المعصية بعد التوبة منها جائز، وأما الاحتجاج بالقدر على المعصية تبريراً لموقف الإنسان واستمراراً فيها: فغير جائز “Jelas bagi kita bahwa beralasan dengan takdir terhadap suatu musibah, ini dibolehkan. Demikian juga beralasan dengan takdir terhadap suatu maksiat, setelah pelakunya bertaubat, ini juga dibolehkan. Adapun beralasan dengan takdir untuk membenarkan suatu maksiat dan membela maksiat seseorang, dan agar bisa terus-menerus melakukannya, maka ini tidak diperbolehkan” (Syarah Hadis Jibril ‘alaihissalam, 93). Orang yang sudah berusaha mencari jodoh namun belum mendapatkannya, hendaknya terus bersemangat berusaha mencarinya, tingkatkan takwa kepada Allah, dan banyak-banyak bertaubat dari maksiat agar Allah mudahkan jalannya. Allah ta’ala berfirman, ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Kedua, orang yang tidak berusaha untuk menikah, serta menunda-nundanya. Inilah yang tercela dan keliru. Dan tidak boleh mengatakan “qaddarallah” untuk kasus ini. Karena tidak boleh beralasan dengan takdir untuk kekeliruan. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk segera menikah. Dalil-dalil tentang menikah menggunakan kata perintah فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah), وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah), تزوَّجوا (menikahlah) dan semisalnya. Jumhur ulama mengatakan: الأمر يقتضي الفور “Kata perintah menghasilkan tuntutan untuk bersegera”. Terlebih Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam memerintahkan para syabab (pemuda dan pemudi) untuk menikah, beliau bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah …” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadis ini: هذا الحديث العظيم يدل على شرعية المبادرة بالزواج، وهو يعم الشباب الذكور والإناث جميعًا، يعم الرجال والنساء، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى وجوب ذلك مع الاستطاعة، وقال آخرون: إن خاف على نفسه أو خافت على نفسها وجب وإلا شرع فقط من دون وجوب “Hadis yang agung ini menunjukkan disyariatkannya bersegera untuk menikah. Dan ini mencakup pemuda dan pemudi semuanya. Mencakup laki-laki dan wanita. Dan sebagian ulama mengatakan wajib untuk segera menikah jika mampu. Sebagian ulama yang lain mengatakan, wajib jika seorang pemuda atau pemudi khawatir akan dirinya, namun hanya disyariatkan dan tidak wajib jika tidak demikian” (Fatawa Nurun’ alad Darbi, rekaman no. 863 pertanyaan no. 4). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, تأخير الزواج للرجل إذا كان قادراً قدرة مالية وبدنية مخالف لتوجيه الرسول عليه الصلاة والسلام … واختلف العلماء رحمهم الله في الشاب الذي له شهوة وقدرة على النكاح هل يأثم في تأخيره أو لا يأتم؟ فمنهم من قال: إنه يأثم؛ لأن الأمر فيه ردود، وتأخير الواجب محرم، ومنهم من قال: إنه لا يأثم؛ لأن الأمر فيه للإرشاد “Laki-laki jika menunda nikah, padahal ia mampu secara finansial dan fisik, ini bertentangan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Dan para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang pemuda yang punya syahwat dan mampu menikah, apakah ia berdosa jika menunda menikah? Sebagian ulama mengatakan, ia berdosa. Karena perintah mengandung tuntutan, dan mengakhirkan yang wajib hukumnya haram, Sebagian ulama mengatakan, ia tidak berdosa. Karena perintah yang ada adalah dalam rangka bimbingan semata” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no. 253). Maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, dan jangan menunda-nunda menikah jika sudah mampu. Bersegeralah menjalankan ibadah dan sunnah yang mulia ini. Raihlah banyak pahala dan keutamaan yang ada di dalamnya.  Semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Wanita Memakai Celana, Pekerjaan Wanita Dalam Islam, Arti Salam Dalam Islam, Zahir Small Business, Malam Rajab, Akibat Sering Onani Visited 327 times, 1 visit(s) today Post Views: 622 QRIS donasi Yufid

Apakah Telat Nikah Itu Tercela?

Pertanyaan: Ustadz, usia saya sudah lebih dari 30 tahun namun saya belum menikah. Apakah telat menikah itu tercela ustadz? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du. Perlu dipahami bahwa menikah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firman-Nya, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah/kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32). Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhum, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: تزوَّجوا الودودَ الوَلودَ فإنِّي مُكاثِرٌ بِكُمُ الأممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku bangga dengan banyaknya umatku” (HR. An-Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih). Dalam hadis ini juga digunakan fi’il amr تزوَّجوا (menikahlah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga mencela orang yang tidak mau menikah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ “Menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383). Dengan demikian sudah semestinya seorang Muslim bersemangat untuk menikah ketika ia sudah mampu.  Adapun orang yang terlambat menikah, bisa kita bagi menjadi dua macam: Pertama, orang yang sudah berusaha untuk menikah dan mencari calon pasangan tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Atau ia mendapati banyak halangan dan rintangan untuk menikah. Yang seperti ini tidak tercela dan boleh mengatakan “qaddarallah” (ini adalah takdir Allah). Karena boleh beralasan dengan takdir untuk musibah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan, “Andaikan saya melakukan ini dan itu.” Namun ucapkan, “qaddarallah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: تبين لنا أن الاحتجاج بالقدر على المصائب جائز، وكذلك الاحتجاج بالقدر على المعصية بعد التوبة منها جائز، وأما الاحتجاج بالقدر على المعصية تبريراً لموقف الإنسان واستمراراً فيها: فغير جائز “Jelas bagi kita bahwa beralasan dengan takdir terhadap suatu musibah, ini dibolehkan. Demikian juga beralasan dengan takdir terhadap suatu maksiat, setelah pelakunya bertaubat, ini juga dibolehkan. Adapun beralasan dengan takdir untuk membenarkan suatu maksiat dan membela maksiat seseorang, dan agar bisa terus-menerus melakukannya, maka ini tidak diperbolehkan” (Syarah Hadis Jibril ‘alaihissalam, 93). Orang yang sudah berusaha mencari jodoh namun belum mendapatkannya, hendaknya terus bersemangat berusaha mencarinya, tingkatkan takwa kepada Allah, dan banyak-banyak bertaubat dari maksiat agar Allah mudahkan jalannya. Allah ta’ala berfirman, ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Kedua, orang yang tidak berusaha untuk menikah, serta menunda-nundanya. Inilah yang tercela dan keliru. Dan tidak boleh mengatakan “qaddarallah” untuk kasus ini. Karena tidak boleh beralasan dengan takdir untuk kekeliruan. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk segera menikah. Dalil-dalil tentang menikah menggunakan kata perintah فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah), وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah), تزوَّجوا (menikahlah) dan semisalnya. Jumhur ulama mengatakan: الأمر يقتضي الفور “Kata perintah menghasilkan tuntutan untuk bersegera”. Terlebih Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam memerintahkan para syabab (pemuda dan pemudi) untuk menikah, beliau bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah …” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadis ini: هذا الحديث العظيم يدل على شرعية المبادرة بالزواج، وهو يعم الشباب الذكور والإناث جميعًا، يعم الرجال والنساء، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى وجوب ذلك مع الاستطاعة، وقال آخرون: إن خاف على نفسه أو خافت على نفسها وجب وإلا شرع فقط من دون وجوب “Hadis yang agung ini menunjukkan disyariatkannya bersegera untuk menikah. Dan ini mencakup pemuda dan pemudi semuanya. Mencakup laki-laki dan wanita. Dan sebagian ulama mengatakan wajib untuk segera menikah jika mampu. Sebagian ulama yang lain mengatakan, wajib jika seorang pemuda atau pemudi khawatir akan dirinya, namun hanya disyariatkan dan tidak wajib jika tidak demikian” (Fatawa Nurun’ alad Darbi, rekaman no. 863 pertanyaan no. 4). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, تأخير الزواج للرجل إذا كان قادراً قدرة مالية وبدنية مخالف لتوجيه الرسول عليه الصلاة والسلام … واختلف العلماء رحمهم الله في الشاب الذي له شهوة وقدرة على النكاح هل يأثم في تأخيره أو لا يأتم؟ فمنهم من قال: إنه يأثم؛ لأن الأمر فيه ردود، وتأخير الواجب محرم، ومنهم من قال: إنه لا يأثم؛ لأن الأمر فيه للإرشاد “Laki-laki jika menunda nikah, padahal ia mampu secara finansial dan fisik, ini bertentangan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Dan para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang pemuda yang punya syahwat dan mampu menikah, apakah ia berdosa jika menunda menikah? Sebagian ulama mengatakan, ia berdosa. Karena perintah mengandung tuntutan, dan mengakhirkan yang wajib hukumnya haram, Sebagian ulama mengatakan, ia tidak berdosa. Karena perintah yang ada adalah dalam rangka bimbingan semata” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no. 253). Maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, dan jangan menunda-nunda menikah jika sudah mampu. Bersegeralah menjalankan ibadah dan sunnah yang mulia ini. Raihlah banyak pahala dan keutamaan yang ada di dalamnya.  Semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Wanita Memakai Celana, Pekerjaan Wanita Dalam Islam, Arti Salam Dalam Islam, Zahir Small Business, Malam Rajab, Akibat Sering Onani Visited 327 times, 1 visit(s) today Post Views: 622 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, usia saya sudah lebih dari 30 tahun namun saya belum menikah. Apakah telat menikah itu tercela ustadz? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du. Perlu dipahami bahwa menikah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firman-Nya, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah/kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32). Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhum, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: تزوَّجوا الودودَ الوَلودَ فإنِّي مُكاثِرٌ بِكُمُ الأممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku bangga dengan banyaknya umatku” (HR. An-Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih). Dalam hadis ini juga digunakan fi’il amr تزوَّجوا (menikahlah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga mencela orang yang tidak mau menikah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ “Menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383). Dengan demikian sudah semestinya seorang Muslim bersemangat untuk menikah ketika ia sudah mampu.  Adapun orang yang terlambat menikah, bisa kita bagi menjadi dua macam: Pertama, orang yang sudah berusaha untuk menikah dan mencari calon pasangan tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Atau ia mendapati banyak halangan dan rintangan untuk menikah. Yang seperti ini tidak tercela dan boleh mengatakan “qaddarallah” (ini adalah takdir Allah). Karena boleh beralasan dengan takdir untuk musibah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan, “Andaikan saya melakukan ini dan itu.” Namun ucapkan, “qaddarallah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: تبين لنا أن الاحتجاج بالقدر على المصائب جائز، وكذلك الاحتجاج بالقدر على المعصية بعد التوبة منها جائز، وأما الاحتجاج بالقدر على المعصية تبريراً لموقف الإنسان واستمراراً فيها: فغير جائز “Jelas bagi kita bahwa beralasan dengan takdir terhadap suatu musibah, ini dibolehkan. Demikian juga beralasan dengan takdir terhadap suatu maksiat, setelah pelakunya bertaubat, ini juga dibolehkan. Adapun beralasan dengan takdir untuk membenarkan suatu maksiat dan membela maksiat seseorang, dan agar bisa terus-menerus melakukannya, maka ini tidak diperbolehkan” (Syarah Hadis Jibril ‘alaihissalam, 93). Orang yang sudah berusaha mencari jodoh namun belum mendapatkannya, hendaknya terus bersemangat berusaha mencarinya, tingkatkan takwa kepada Allah, dan banyak-banyak bertaubat dari maksiat agar Allah mudahkan jalannya. Allah ta’ala berfirman, ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Kedua, orang yang tidak berusaha untuk menikah, serta menunda-nundanya. Inilah yang tercela dan keliru. Dan tidak boleh mengatakan “qaddarallah” untuk kasus ini. Karena tidak boleh beralasan dengan takdir untuk kekeliruan. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk segera menikah. Dalil-dalil tentang menikah menggunakan kata perintah فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah), وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah), تزوَّجوا (menikahlah) dan semisalnya. Jumhur ulama mengatakan: الأمر يقتضي الفور “Kata perintah menghasilkan tuntutan untuk bersegera”. Terlebih Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam memerintahkan para syabab (pemuda dan pemudi) untuk menikah, beliau bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah …” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadis ini: هذا الحديث العظيم يدل على شرعية المبادرة بالزواج، وهو يعم الشباب الذكور والإناث جميعًا، يعم الرجال والنساء، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى وجوب ذلك مع الاستطاعة، وقال آخرون: إن خاف على نفسه أو خافت على نفسها وجب وإلا شرع فقط من دون وجوب “Hadis yang agung ini menunjukkan disyariatkannya bersegera untuk menikah. Dan ini mencakup pemuda dan pemudi semuanya. Mencakup laki-laki dan wanita. Dan sebagian ulama mengatakan wajib untuk segera menikah jika mampu. Sebagian ulama yang lain mengatakan, wajib jika seorang pemuda atau pemudi khawatir akan dirinya, namun hanya disyariatkan dan tidak wajib jika tidak demikian” (Fatawa Nurun’ alad Darbi, rekaman no. 863 pertanyaan no. 4). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, تأخير الزواج للرجل إذا كان قادراً قدرة مالية وبدنية مخالف لتوجيه الرسول عليه الصلاة والسلام … واختلف العلماء رحمهم الله في الشاب الذي له شهوة وقدرة على النكاح هل يأثم في تأخيره أو لا يأتم؟ فمنهم من قال: إنه يأثم؛ لأن الأمر فيه ردود، وتأخير الواجب محرم، ومنهم من قال: إنه لا يأثم؛ لأن الأمر فيه للإرشاد “Laki-laki jika menunda nikah, padahal ia mampu secara finansial dan fisik, ini bertentangan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Dan para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang pemuda yang punya syahwat dan mampu menikah, apakah ia berdosa jika menunda menikah? Sebagian ulama mengatakan, ia berdosa. Karena perintah mengandung tuntutan, dan mengakhirkan yang wajib hukumnya haram, Sebagian ulama mengatakan, ia tidak berdosa. Karena perintah yang ada adalah dalam rangka bimbingan semata” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no. 253). Maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, dan jangan menunda-nunda menikah jika sudah mampu. Bersegeralah menjalankan ibadah dan sunnah yang mulia ini. Raihlah banyak pahala dan keutamaan yang ada di dalamnya.  Semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Wanita Memakai Celana, Pekerjaan Wanita Dalam Islam, Arti Salam Dalam Islam, Zahir Small Business, Malam Rajab, Akibat Sering Onani Visited 327 times, 1 visit(s) today Post Views: 622 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, usia saya sudah lebih dari 30 tahun namun saya belum menikah. Apakah telat menikah itu tercela ustadz? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du. Perlu dipahami bahwa menikah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firman-Nya, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah/kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32). Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhum, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: تزوَّجوا الودودَ الوَلودَ فإنِّي مُكاثِرٌ بِكُمُ الأممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku bangga dengan banyaknya umatku” (HR. An-Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih). Dalam hadis ini juga digunakan fi’il amr تزوَّجوا (menikahlah). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga mencela orang yang tidak mau menikah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ “Menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383). Dengan demikian sudah semestinya seorang Muslim bersemangat untuk menikah ketika ia sudah mampu.  Adapun orang yang terlambat menikah, bisa kita bagi menjadi dua macam: Pertama, orang yang sudah berusaha untuk menikah dan mencari calon pasangan tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Atau ia mendapati banyak halangan dan rintangan untuk menikah. Yang seperti ini tidak tercela dan boleh mengatakan “qaddarallah” (ini adalah takdir Allah). Karena boleh beralasan dengan takdir untuk musibah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan, “Andaikan saya melakukan ini dan itu.” Namun ucapkan, “qaddarallah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: تبين لنا أن الاحتجاج بالقدر على المصائب جائز، وكذلك الاحتجاج بالقدر على المعصية بعد التوبة منها جائز، وأما الاحتجاج بالقدر على المعصية تبريراً لموقف الإنسان واستمراراً فيها: فغير جائز “Jelas bagi kita bahwa beralasan dengan takdir terhadap suatu musibah, ini dibolehkan. Demikian juga beralasan dengan takdir terhadap suatu maksiat, setelah pelakunya bertaubat, ini juga dibolehkan. Adapun beralasan dengan takdir untuk membenarkan suatu maksiat dan membela maksiat seseorang, dan agar bisa terus-menerus melakukannya, maka ini tidak diperbolehkan” (Syarah Hadis Jibril ‘alaihissalam, 93). Orang yang sudah berusaha mencari jodoh namun belum mendapatkannya, hendaknya terus bersemangat berusaha mencarinya, tingkatkan takwa kepada Allah, dan banyak-banyak bertaubat dari maksiat agar Allah mudahkan jalannya. Allah ta’ala berfirman, ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Kedua, orang yang tidak berusaha untuk menikah, serta menunda-nundanya. Inilah yang tercela dan keliru. Dan tidak boleh mengatakan “qaddarallah” untuk kasus ini. Karena tidak boleh beralasan dengan takdir untuk kekeliruan. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk segera menikah. Dalil-dalil tentang menikah menggunakan kata perintah فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah), وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah), تزوَّجوا (menikahlah) dan semisalnya. Jumhur ulama mengatakan: الأمر يقتضي الفور “Kata perintah menghasilkan tuntutan untuk bersegera”. Terlebih Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam memerintahkan para syabab (pemuda dan pemudi) untuk menikah, beliau bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  “Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah …” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400). Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadis ini: هذا الحديث العظيم يدل على شرعية المبادرة بالزواج، وهو يعم الشباب الذكور والإناث جميعًا، يعم الرجال والنساء، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى وجوب ذلك مع الاستطاعة، وقال آخرون: إن خاف على نفسه أو خافت على نفسها وجب وإلا شرع فقط من دون وجوب “Hadis yang agung ini menunjukkan disyariatkannya bersegera untuk menikah. Dan ini mencakup pemuda dan pemudi semuanya. Mencakup laki-laki dan wanita. Dan sebagian ulama mengatakan wajib untuk segera menikah jika mampu. Sebagian ulama yang lain mengatakan, wajib jika seorang pemuda atau pemudi khawatir akan dirinya, namun hanya disyariatkan dan tidak wajib jika tidak demikian” (Fatawa Nurun’ alad Darbi, rekaman no. 863 pertanyaan no. 4). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, تأخير الزواج للرجل إذا كان قادراً قدرة مالية وبدنية مخالف لتوجيه الرسول عليه الصلاة والسلام … واختلف العلماء رحمهم الله في الشاب الذي له شهوة وقدرة على النكاح هل يأثم في تأخيره أو لا يأتم؟ فمنهم من قال: إنه يأثم؛ لأن الأمر فيه ردود، وتأخير الواجب محرم، ومنهم من قال: إنه لا يأثم؛ لأن الأمر فيه للإرشاد “Laki-laki jika menunda nikah, padahal ia mampu secara finansial dan fisik, ini bertentangan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Dan para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang pemuda yang punya syahwat dan mampu menikah, apakah ia berdosa jika menunda menikah? Sebagian ulama mengatakan, ia berdosa. Karena perintah mengandung tuntutan, dan mengakhirkan yang wajib hukumnya haram, Sebagian ulama mengatakan, ia tidak berdosa. Karena perintah yang ada adalah dalam rangka bimbingan semata” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no. 253). Maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, dan jangan menunda-nunda menikah jika sudah mampu. Bersegeralah menjalankan ibadah dan sunnah yang mulia ini. Raihlah banyak pahala dan keutamaan yang ada di dalamnya.  Semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Wanita Memakai Celana, Pekerjaan Wanita Dalam Islam, Arti Salam Dalam Islam, Zahir Small Business, Malam Rajab, Akibat Sering Onani Visited 327 times, 1 visit(s) today Post Views: 622 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Jika Terjadi Gempa Apakah Tetap Melanjutkan Salat?

Pertanyaan: Ustadz, jika kita sedang salat kemudian terjadi gempa. Apakah lebih baik membatalkan salat dan menyelamatkan diri ataukah melanjutkan salat? Dan apakah yang menyelamatkan diri berarti imannya kurang? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, Islam melarang manusia untuk menjerumuskan dirinya dalam bahaya. Allah ta’ala berfirman: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “Dan janganlah jerumuskan diri kalian dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan ayat ini: وَالْحَقُّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ، فَكُلُّ مَا صَدَقَ عَلَيْهِ أَنَّهُ تَهْلُكَةٌ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا ، فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ “Pendapat yang benar dalam memahami ayat ini adalah menerapkan keumuman lafaznya bukan kekhususan sebabnya. Maka semua perkara yang valid sebagai suatu bahaya bagi agama dan dunia seseorang, ia termasuk dalam keumuman ayat ini. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari” (Fathul Qadir, 1/222). Sehingga salah satu yang termasuk dalam keumuman ayat ini adalah bahaya gempa. Tidak boleh seseorang membiarkan dirinya terkena potensi bahaya gempa, dengan terus melanjutkan salat. Wajib baginya untuk segera membatalkan salatnya dan menyelamatkan dirinya.  Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: يجب تقديم الخطر، فإذا كان هناك خطر غرقٍ أو حريق؛ لا مانع من قطع الصلاة، بل قد يجب قطعها إذا كان يتحقق في الخطر، فتُقطع وتُقْضَى بعد ذلك، هذا هو الصواب، فالنبي ﷺ لما اشتدَّت الحربُ مع الأحزاب يوم الأحزاب أخَّر الظهر والعصر حتى صلاها بعد المغرب؛ لشدَّة الحرب، والصحابة يوم تُستر في قتال فارس لما اشتدَّت بهم الحرب أذان الفجر، وصار بعضُهم على أبواب البلد، وبعضهم على الأسوار؛ أخَّروا صلاة الفجر وصلوها ضُحًى. “Wajib mendahulukan keselamatan dari bahaya. Jika ada bahaya berupa tenggelam atau kebakaran, maka tidak mengapa membatalkan salat. Bahkan wajib membatalkannya, jika bahayanya benar-benar nyata. Batalkan salatnya kemudian nanti diqada. Inilah yang benar. Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika perang berkecamuk melawan pasukan Ahzab, beliau mengakhirkan salat zuhur dan asar sampai waktu magrib. Karena begitu dahsyatnya perang. Para sahabat ketika mereka tidak mendengar azan salat subuh karena begitu dahsyatnya perang melawan Persia, ketika itu sebagian mereka ada yang berjaga di gerbang, ada yang berjaga di pos penjagaan, sehingga akhirnya mereka salat subuh di waktu duha”. (Fatawa ad-Durus, no. 130). Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafizhahullah ketika ditanya tentang membatalkan salat ketika gempa, beliau menjelaskan: فالأصل أن المصلي إذا دخل في صلاته يحرم عليه قطعها اختياراً، أما إذا قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر، أو قطعها لإحراز مال يخاف ضياعه، فيجوز له ذلك، وقد يجب في بعض الحالات كإغاثة ملهوف وإنقاذ غريق أو إطفاء حريق، أو قطعها لطفل أو أعمى يقعان في بئر أو نار. “Hukum asalnya tidak boleh seseorang sembarang membatalkan salat jika sudah masuk ke dalam salat. Adapun jika ia membatalkan salatnya karena darurat, seperti untuk menjaga jiwa yang terjaga dari kebinasaan atau bahaya, atau membatalkan salat untuk menjaga hartanya yang khawatir hilang, maka itu diperbolehkan. Bahkan wajib untuk membatalkannya dalam sebagian keadaan seperti untuk menolong orang membutuhkan pertolongan, untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau untuk memadamkan kebakaran, atau untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan jatuh ke sumur atau ke dalam api”. ولا يجوز للإمام أن يكمل صلاته في الحال المذكورة، بل الواجب عليه أن يأمر المصلين بالخروج فورا، وخارج المسجد بعيدا عن الأبنية فحفظ النفوس البشرية من الهلاك من كليات المقاصد القطعية، وفواتها لا يستدرك، أما فوات الصلاة في وقتها فيستدرك، حتى لو فات وقتها فلا بأس، ويكون عليهم القضاء. “Dan tidak boleh imam melanjutkan salatnya dalam keadaan demikian. Bahkan wajib baginya untuk membatalkan salat dan memerintahkan orang-orang untuk keluar dengan segera. Keluar dari masjid untuk menjauh dari bangunan. Menjaga jiwa dari kematian dalam salah satu maqashid syari’ah yang sangat jelas. Jika jiwa tidak terselamatkan, ia tidak bisa digantikan. Namun jika salat terlewatkan, ia masih bisa diulang kembali pada waktunya. Bahkan andaikan menunda salat karena ada gempa sampai keluar dari waktunya pun, ini tidak mengapa. Sehingga wajib bagi mereka untuk mengqadanya”.  (Fatawa Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, no. 4529). Dan orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa, tidak dikatakan kurang imannya atau semisalnya. Justru ini dalam rangka menjalankan perintah Allah ta’ala untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.  Al-Azraq bin Qais rahimahullah mengatakan: كُنَّا بالأهْوَازِ نُقَاتِلُ الحَرُورِيَّةَ، فَبيْنَا أنَا علَى جُرُفِ نَهَرٍ إذا رَجُلٌ يُصَلِّي، وإذا لِجَامُ دابَّتِهِ بيَدِهِ، فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنازِعُهُ وجَعَلَ يَتْبَعُهَا – قالَ شُعْبَةُ: هو أبو بَرْزَةَ الأسْلَمِيُّ “Dahulu ketika kami berada di Ahwaz untuk memerangi orang-orang Haruriyah. Ketika aku ada di tepi sungai, aku melihat ada seorang laki-laki yang sedang salat. Tali kekang hewan tunggangan berada di tangannya. Kemudian hewan tunggangannya pun berusaha melepaskan diri kemudian lari. Lelaki tersebut pun (membatalkan salat) lalu mengejar hewan tunggangannya. Syu’bah berkata: lelaki tersebut adalah Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu” (HR. Al-Bukhari no.1211). Seorang sahabat yang mulia, Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu, membatalkan salatnya agar tidak kehilangan hewan tunggangannya. Dan sungguh tidak layak jika ada yang mengatakan iman beliau kurang atau lemah! Sama sekali tidak layak. Oleh karena itu, tidak boleh mengatakan hal yang demikian kepada orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa. Selama ia tetap mengqada salatnya ketika kondisinya telah aman. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Puasa Bulan Rajab, Pertanyaan Tentang Fertilisasi, Umroh Tanpa Mahram, Pengertian Assabiqunal Awwalun, Hak Istri Atas Gaji Suami Menurut Islam, Tata Cara Solat Istiqoroh Visited 63 times, 1 visit(s) today Post Views: 391 QRIS donasi Yufid

Jika Terjadi Gempa Apakah Tetap Melanjutkan Salat?

Pertanyaan: Ustadz, jika kita sedang salat kemudian terjadi gempa. Apakah lebih baik membatalkan salat dan menyelamatkan diri ataukah melanjutkan salat? Dan apakah yang menyelamatkan diri berarti imannya kurang? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, Islam melarang manusia untuk menjerumuskan dirinya dalam bahaya. Allah ta’ala berfirman: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “Dan janganlah jerumuskan diri kalian dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan ayat ini: وَالْحَقُّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ، فَكُلُّ مَا صَدَقَ عَلَيْهِ أَنَّهُ تَهْلُكَةٌ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا ، فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ “Pendapat yang benar dalam memahami ayat ini adalah menerapkan keumuman lafaznya bukan kekhususan sebabnya. Maka semua perkara yang valid sebagai suatu bahaya bagi agama dan dunia seseorang, ia termasuk dalam keumuman ayat ini. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari” (Fathul Qadir, 1/222). Sehingga salah satu yang termasuk dalam keumuman ayat ini adalah bahaya gempa. Tidak boleh seseorang membiarkan dirinya terkena potensi bahaya gempa, dengan terus melanjutkan salat. Wajib baginya untuk segera membatalkan salatnya dan menyelamatkan dirinya.  Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: يجب تقديم الخطر، فإذا كان هناك خطر غرقٍ أو حريق؛ لا مانع من قطع الصلاة، بل قد يجب قطعها إذا كان يتحقق في الخطر، فتُقطع وتُقْضَى بعد ذلك، هذا هو الصواب، فالنبي ﷺ لما اشتدَّت الحربُ مع الأحزاب يوم الأحزاب أخَّر الظهر والعصر حتى صلاها بعد المغرب؛ لشدَّة الحرب، والصحابة يوم تُستر في قتال فارس لما اشتدَّت بهم الحرب أذان الفجر، وصار بعضُهم على أبواب البلد، وبعضهم على الأسوار؛ أخَّروا صلاة الفجر وصلوها ضُحًى. “Wajib mendahulukan keselamatan dari bahaya. Jika ada bahaya berupa tenggelam atau kebakaran, maka tidak mengapa membatalkan salat. Bahkan wajib membatalkannya, jika bahayanya benar-benar nyata. Batalkan salatnya kemudian nanti diqada. Inilah yang benar. Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika perang berkecamuk melawan pasukan Ahzab, beliau mengakhirkan salat zuhur dan asar sampai waktu magrib. Karena begitu dahsyatnya perang. Para sahabat ketika mereka tidak mendengar azan salat subuh karena begitu dahsyatnya perang melawan Persia, ketika itu sebagian mereka ada yang berjaga di gerbang, ada yang berjaga di pos penjagaan, sehingga akhirnya mereka salat subuh di waktu duha”. (Fatawa ad-Durus, no. 130). Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafizhahullah ketika ditanya tentang membatalkan salat ketika gempa, beliau menjelaskan: فالأصل أن المصلي إذا دخل في صلاته يحرم عليه قطعها اختياراً، أما إذا قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر، أو قطعها لإحراز مال يخاف ضياعه، فيجوز له ذلك، وقد يجب في بعض الحالات كإغاثة ملهوف وإنقاذ غريق أو إطفاء حريق، أو قطعها لطفل أو أعمى يقعان في بئر أو نار. “Hukum asalnya tidak boleh seseorang sembarang membatalkan salat jika sudah masuk ke dalam salat. Adapun jika ia membatalkan salatnya karena darurat, seperti untuk menjaga jiwa yang terjaga dari kebinasaan atau bahaya, atau membatalkan salat untuk menjaga hartanya yang khawatir hilang, maka itu diperbolehkan. Bahkan wajib untuk membatalkannya dalam sebagian keadaan seperti untuk menolong orang membutuhkan pertolongan, untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau untuk memadamkan kebakaran, atau untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan jatuh ke sumur atau ke dalam api”. ولا يجوز للإمام أن يكمل صلاته في الحال المذكورة، بل الواجب عليه أن يأمر المصلين بالخروج فورا، وخارج المسجد بعيدا عن الأبنية فحفظ النفوس البشرية من الهلاك من كليات المقاصد القطعية، وفواتها لا يستدرك، أما فوات الصلاة في وقتها فيستدرك، حتى لو فات وقتها فلا بأس، ويكون عليهم القضاء. “Dan tidak boleh imam melanjutkan salatnya dalam keadaan demikian. Bahkan wajib baginya untuk membatalkan salat dan memerintahkan orang-orang untuk keluar dengan segera. Keluar dari masjid untuk menjauh dari bangunan. Menjaga jiwa dari kematian dalam salah satu maqashid syari’ah yang sangat jelas. Jika jiwa tidak terselamatkan, ia tidak bisa digantikan. Namun jika salat terlewatkan, ia masih bisa diulang kembali pada waktunya. Bahkan andaikan menunda salat karena ada gempa sampai keluar dari waktunya pun, ini tidak mengapa. Sehingga wajib bagi mereka untuk mengqadanya”.  (Fatawa Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, no. 4529). Dan orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa, tidak dikatakan kurang imannya atau semisalnya. Justru ini dalam rangka menjalankan perintah Allah ta’ala untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.  Al-Azraq bin Qais rahimahullah mengatakan: كُنَّا بالأهْوَازِ نُقَاتِلُ الحَرُورِيَّةَ، فَبيْنَا أنَا علَى جُرُفِ نَهَرٍ إذا رَجُلٌ يُصَلِّي، وإذا لِجَامُ دابَّتِهِ بيَدِهِ، فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنازِعُهُ وجَعَلَ يَتْبَعُهَا – قالَ شُعْبَةُ: هو أبو بَرْزَةَ الأسْلَمِيُّ “Dahulu ketika kami berada di Ahwaz untuk memerangi orang-orang Haruriyah. Ketika aku ada di tepi sungai, aku melihat ada seorang laki-laki yang sedang salat. Tali kekang hewan tunggangan berada di tangannya. Kemudian hewan tunggangannya pun berusaha melepaskan diri kemudian lari. Lelaki tersebut pun (membatalkan salat) lalu mengejar hewan tunggangannya. Syu’bah berkata: lelaki tersebut adalah Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu” (HR. Al-Bukhari no.1211). Seorang sahabat yang mulia, Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu, membatalkan salatnya agar tidak kehilangan hewan tunggangannya. Dan sungguh tidak layak jika ada yang mengatakan iman beliau kurang atau lemah! Sama sekali tidak layak. Oleh karena itu, tidak boleh mengatakan hal yang demikian kepada orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa. Selama ia tetap mengqada salatnya ketika kondisinya telah aman. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Puasa Bulan Rajab, Pertanyaan Tentang Fertilisasi, Umroh Tanpa Mahram, Pengertian Assabiqunal Awwalun, Hak Istri Atas Gaji Suami Menurut Islam, Tata Cara Solat Istiqoroh Visited 63 times, 1 visit(s) today Post Views: 391 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, jika kita sedang salat kemudian terjadi gempa. Apakah lebih baik membatalkan salat dan menyelamatkan diri ataukah melanjutkan salat? Dan apakah yang menyelamatkan diri berarti imannya kurang? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, Islam melarang manusia untuk menjerumuskan dirinya dalam bahaya. Allah ta’ala berfirman: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “Dan janganlah jerumuskan diri kalian dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan ayat ini: وَالْحَقُّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ، فَكُلُّ مَا صَدَقَ عَلَيْهِ أَنَّهُ تَهْلُكَةٌ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا ، فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ “Pendapat yang benar dalam memahami ayat ini adalah menerapkan keumuman lafaznya bukan kekhususan sebabnya. Maka semua perkara yang valid sebagai suatu bahaya bagi agama dan dunia seseorang, ia termasuk dalam keumuman ayat ini. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari” (Fathul Qadir, 1/222). Sehingga salah satu yang termasuk dalam keumuman ayat ini adalah bahaya gempa. Tidak boleh seseorang membiarkan dirinya terkena potensi bahaya gempa, dengan terus melanjutkan salat. Wajib baginya untuk segera membatalkan salatnya dan menyelamatkan dirinya.  Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: يجب تقديم الخطر، فإذا كان هناك خطر غرقٍ أو حريق؛ لا مانع من قطع الصلاة، بل قد يجب قطعها إذا كان يتحقق في الخطر، فتُقطع وتُقْضَى بعد ذلك، هذا هو الصواب، فالنبي ﷺ لما اشتدَّت الحربُ مع الأحزاب يوم الأحزاب أخَّر الظهر والعصر حتى صلاها بعد المغرب؛ لشدَّة الحرب، والصحابة يوم تُستر في قتال فارس لما اشتدَّت بهم الحرب أذان الفجر، وصار بعضُهم على أبواب البلد، وبعضهم على الأسوار؛ أخَّروا صلاة الفجر وصلوها ضُحًى. “Wajib mendahulukan keselamatan dari bahaya. Jika ada bahaya berupa tenggelam atau kebakaran, maka tidak mengapa membatalkan salat. Bahkan wajib membatalkannya, jika bahayanya benar-benar nyata. Batalkan salatnya kemudian nanti diqada. Inilah yang benar. Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika perang berkecamuk melawan pasukan Ahzab, beliau mengakhirkan salat zuhur dan asar sampai waktu magrib. Karena begitu dahsyatnya perang. Para sahabat ketika mereka tidak mendengar azan salat subuh karena begitu dahsyatnya perang melawan Persia, ketika itu sebagian mereka ada yang berjaga di gerbang, ada yang berjaga di pos penjagaan, sehingga akhirnya mereka salat subuh di waktu duha”. (Fatawa ad-Durus, no. 130). Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafizhahullah ketika ditanya tentang membatalkan salat ketika gempa, beliau menjelaskan: فالأصل أن المصلي إذا دخل في صلاته يحرم عليه قطعها اختياراً، أما إذا قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر، أو قطعها لإحراز مال يخاف ضياعه، فيجوز له ذلك، وقد يجب في بعض الحالات كإغاثة ملهوف وإنقاذ غريق أو إطفاء حريق، أو قطعها لطفل أو أعمى يقعان في بئر أو نار. “Hukum asalnya tidak boleh seseorang sembarang membatalkan salat jika sudah masuk ke dalam salat. Adapun jika ia membatalkan salatnya karena darurat, seperti untuk menjaga jiwa yang terjaga dari kebinasaan atau bahaya, atau membatalkan salat untuk menjaga hartanya yang khawatir hilang, maka itu diperbolehkan. Bahkan wajib untuk membatalkannya dalam sebagian keadaan seperti untuk menolong orang membutuhkan pertolongan, untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau untuk memadamkan kebakaran, atau untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan jatuh ke sumur atau ke dalam api”. ولا يجوز للإمام أن يكمل صلاته في الحال المذكورة، بل الواجب عليه أن يأمر المصلين بالخروج فورا، وخارج المسجد بعيدا عن الأبنية فحفظ النفوس البشرية من الهلاك من كليات المقاصد القطعية، وفواتها لا يستدرك، أما فوات الصلاة في وقتها فيستدرك، حتى لو فات وقتها فلا بأس، ويكون عليهم القضاء. “Dan tidak boleh imam melanjutkan salatnya dalam keadaan demikian. Bahkan wajib baginya untuk membatalkan salat dan memerintahkan orang-orang untuk keluar dengan segera. Keluar dari masjid untuk menjauh dari bangunan. Menjaga jiwa dari kematian dalam salah satu maqashid syari’ah yang sangat jelas. Jika jiwa tidak terselamatkan, ia tidak bisa digantikan. Namun jika salat terlewatkan, ia masih bisa diulang kembali pada waktunya. Bahkan andaikan menunda salat karena ada gempa sampai keluar dari waktunya pun, ini tidak mengapa. Sehingga wajib bagi mereka untuk mengqadanya”.  (Fatawa Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, no. 4529). Dan orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa, tidak dikatakan kurang imannya atau semisalnya. Justru ini dalam rangka menjalankan perintah Allah ta’ala untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.  Al-Azraq bin Qais rahimahullah mengatakan: كُنَّا بالأهْوَازِ نُقَاتِلُ الحَرُورِيَّةَ، فَبيْنَا أنَا علَى جُرُفِ نَهَرٍ إذا رَجُلٌ يُصَلِّي، وإذا لِجَامُ دابَّتِهِ بيَدِهِ، فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنازِعُهُ وجَعَلَ يَتْبَعُهَا – قالَ شُعْبَةُ: هو أبو بَرْزَةَ الأسْلَمِيُّ “Dahulu ketika kami berada di Ahwaz untuk memerangi orang-orang Haruriyah. Ketika aku ada di tepi sungai, aku melihat ada seorang laki-laki yang sedang salat. Tali kekang hewan tunggangan berada di tangannya. Kemudian hewan tunggangannya pun berusaha melepaskan diri kemudian lari. Lelaki tersebut pun (membatalkan salat) lalu mengejar hewan tunggangannya. Syu’bah berkata: lelaki tersebut adalah Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu” (HR. Al-Bukhari no.1211). Seorang sahabat yang mulia, Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu, membatalkan salatnya agar tidak kehilangan hewan tunggangannya. Dan sungguh tidak layak jika ada yang mengatakan iman beliau kurang atau lemah! Sama sekali tidak layak. Oleh karena itu, tidak boleh mengatakan hal yang demikian kepada orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa. Selama ia tetap mengqada salatnya ketika kondisinya telah aman. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Puasa Bulan Rajab, Pertanyaan Tentang Fertilisasi, Umroh Tanpa Mahram, Pengertian Assabiqunal Awwalun, Hak Istri Atas Gaji Suami Menurut Islam, Tata Cara Solat Istiqoroh Visited 63 times, 1 visit(s) today Post Views: 391 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, jika kita sedang salat kemudian terjadi gempa. Apakah lebih baik membatalkan salat dan menyelamatkan diri ataukah melanjutkan salat? Dan apakah yang menyelamatkan diri berarti imannya kurang? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, Islam melarang manusia untuk menjerumuskan dirinya dalam bahaya. Allah ta’ala berfirman: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “Dan janganlah jerumuskan diri kalian dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan ayat ini: وَالْحَقُّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ، فَكُلُّ مَا صَدَقَ عَلَيْهِ أَنَّهُ تَهْلُكَةٌ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا ، فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ “Pendapat yang benar dalam memahami ayat ini adalah menerapkan keumuman lafaznya bukan kekhususan sebabnya. Maka semua perkara yang valid sebagai suatu bahaya bagi agama dan dunia seseorang, ia termasuk dalam keumuman ayat ini. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari” (Fathul Qadir, 1/222). Sehingga salah satu yang termasuk dalam keumuman ayat ini adalah bahaya gempa. Tidak boleh seseorang membiarkan dirinya terkena potensi bahaya gempa, dengan terus melanjutkan salat. Wajib baginya untuk segera membatalkan salatnya dan menyelamatkan dirinya.  Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: يجب تقديم الخطر، فإذا كان هناك خطر غرقٍ أو حريق؛ لا مانع من قطع الصلاة، بل قد يجب قطعها إذا كان يتحقق في الخطر، فتُقطع وتُقْضَى بعد ذلك، هذا هو الصواب، فالنبي ﷺ لما اشتدَّت الحربُ مع الأحزاب يوم الأحزاب أخَّر الظهر والعصر حتى صلاها بعد المغرب؛ لشدَّة الحرب، والصحابة يوم تُستر في قتال فارس لما اشتدَّت بهم الحرب أذان الفجر، وصار بعضُهم على أبواب البلد، وبعضهم على الأسوار؛ أخَّروا صلاة الفجر وصلوها ضُحًى. “Wajib mendahulukan keselamatan dari bahaya. Jika ada bahaya berupa tenggelam atau kebakaran, maka tidak mengapa membatalkan salat. Bahkan wajib membatalkannya, jika bahayanya benar-benar nyata. Batalkan salatnya kemudian nanti diqada. Inilah yang benar. Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika perang berkecamuk melawan pasukan Ahzab, beliau mengakhirkan salat zuhur dan asar sampai waktu magrib. Karena begitu dahsyatnya perang. Para sahabat ketika mereka tidak mendengar azan salat subuh karena begitu dahsyatnya perang melawan Persia, ketika itu sebagian mereka ada yang berjaga di gerbang, ada yang berjaga di pos penjagaan, sehingga akhirnya mereka salat subuh di waktu duha”. (Fatawa ad-Durus, no. 130). Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafizhahullah ketika ditanya tentang membatalkan salat ketika gempa, beliau menjelaskan: فالأصل أن المصلي إذا دخل في صلاته يحرم عليه قطعها اختياراً، أما إذا قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر، أو قطعها لإحراز مال يخاف ضياعه، فيجوز له ذلك، وقد يجب في بعض الحالات كإغاثة ملهوف وإنقاذ غريق أو إطفاء حريق، أو قطعها لطفل أو أعمى يقعان في بئر أو نار. “Hukum asalnya tidak boleh seseorang sembarang membatalkan salat jika sudah masuk ke dalam salat. Adapun jika ia membatalkan salatnya karena darurat, seperti untuk menjaga jiwa yang terjaga dari kebinasaan atau bahaya, atau membatalkan salat untuk menjaga hartanya yang khawatir hilang, maka itu diperbolehkan. Bahkan wajib untuk membatalkannya dalam sebagian keadaan seperti untuk menolong orang membutuhkan pertolongan, untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau untuk memadamkan kebakaran, atau untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan jatuh ke sumur atau ke dalam api”. ولا يجوز للإمام أن يكمل صلاته في الحال المذكورة، بل الواجب عليه أن يأمر المصلين بالخروج فورا، وخارج المسجد بعيدا عن الأبنية فحفظ النفوس البشرية من الهلاك من كليات المقاصد القطعية، وفواتها لا يستدرك، أما فوات الصلاة في وقتها فيستدرك، حتى لو فات وقتها فلا بأس، ويكون عليهم القضاء. “Dan tidak boleh imam melanjutkan salatnya dalam keadaan demikian. Bahkan wajib baginya untuk membatalkan salat dan memerintahkan orang-orang untuk keluar dengan segera. Keluar dari masjid untuk menjauh dari bangunan. Menjaga jiwa dari kematian dalam salah satu maqashid syari’ah yang sangat jelas. Jika jiwa tidak terselamatkan, ia tidak bisa digantikan. Namun jika salat terlewatkan, ia masih bisa diulang kembali pada waktunya. Bahkan andaikan menunda salat karena ada gempa sampai keluar dari waktunya pun, ini tidak mengapa. Sehingga wajib bagi mereka untuk mengqadanya”.  (Fatawa Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, no. 4529). Dan orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa, tidak dikatakan kurang imannya atau semisalnya. Justru ini dalam rangka menjalankan perintah Allah ta’ala untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.  Al-Azraq bin Qais rahimahullah mengatakan: كُنَّا بالأهْوَازِ نُقَاتِلُ الحَرُورِيَّةَ، فَبيْنَا أنَا علَى جُرُفِ نَهَرٍ إذا رَجُلٌ يُصَلِّي، وإذا لِجَامُ دابَّتِهِ بيَدِهِ، فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنازِعُهُ وجَعَلَ يَتْبَعُهَا – قالَ شُعْبَةُ: هو أبو بَرْزَةَ الأسْلَمِيُّ “Dahulu ketika kami berada di Ahwaz untuk memerangi orang-orang Haruriyah. Ketika aku ada di tepi sungai, aku melihat ada seorang laki-laki yang sedang salat. Tali kekang hewan tunggangan berada di tangannya. Kemudian hewan tunggangannya pun berusaha melepaskan diri kemudian lari. Lelaki tersebut pun (membatalkan salat) lalu mengejar hewan tunggangannya. Syu’bah berkata: lelaki tersebut adalah Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu” (HR. Al-Bukhari no.1211). Seorang sahabat yang mulia, Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu’anhu, membatalkan salatnya agar tidak kehilangan hewan tunggangannya. Dan sungguh tidak layak jika ada yang mengatakan iman beliau kurang atau lemah! Sama sekali tidak layak. Oleh karena itu, tidak boleh mengatakan hal yang demikian kepada orang yang membatalkan salat karena menyelamatkan diri dari gempa. Selama ia tetap mengqada salatnya ketika kondisinya telah aman. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Puasa Bulan Rajab, Pertanyaan Tentang Fertilisasi, Umroh Tanpa Mahram, Pengertian Assabiqunal Awwalun, Hak Istri Atas Gaji Suami Menurut Islam, Tata Cara Solat Istiqoroh Visited 63 times, 1 visit(s) today Post Views: 391 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Teks Khotbah Jumat: Kedudukan dan Keutamaan Amalan Hati

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dirahmati dan dimuliakan Allah Taala. Pertama-tama, marilah senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Ketahuilah wahai saudaraku, ketakwaan seorang mukmin tidaklah sempurna kecuali dengan hati yang bersih dan lurus. Bersih dari segala macam penyakit yang mengotorinya serta dihiasi dengan amal kebaikan dan ketaatan. Wahai hamba-hamba Allah sekalian, sesungguhnya amal ibadah hati memiliki kedudukan yang sangat penting melebihi amal ibadah anggota tubuh lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh tubuh. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Hati ini laksana komandan dalam pertempuran, sedangkan anggota tubuh lainnya adalah prajurit-prajuritnya yang patuh lagi tunduk kepadanya. Dengan hati yang saleh dan benar, maka seluruh anggota badan pun akan menjadi saleh juga. Sebaliknya, jika hati ini rusak dan kotor, maka tubuh pun akan ikut rusak karena banyaknya maksiat yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik. Jemaah jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang bersih oleh Allah Ta’ala, Dalam bahasa Arab, hati disebut dengan kalbu. Jika dirunut secara bahasa, berasal dari kata Al-Qalbu. Maknanya adalah perubahan dan pergantian. Hati disebut dengan kalbu karena begitu mudah dan begitu cepatnya ia berubah-rubah dan berganti suasana. Dengan adanya pengaruh kecil saja, suasana hati dapat berubah 180 derajat. Begitu mudahnya hati ini berubah-ubah sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membiasakan diri untuk berdoa kepada Allah Ta’ala, meminta agar diberikan keteguhan hati. Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كانَ أَكْثرُ دعائِهِ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي علَى دينِكَ قالَت فقُلتُ يا رسولَ اللَّهِ ما أَكْثرَ دعاءِكَ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قَلبي علَى دينِكَ قال يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلَّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ فمَن شاءَ أقامَ ومن شاءَ أزاغَ “Doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling sering adalah, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu!’ Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa sering anda berdoa, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.’” Beliau bersabda, ‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun, melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan meluruskannya. Dan barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan membelokkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679) Salah satu perawi hadis ini, Muadz bin Muadz, setelah membacakan hadis ini, beliau membaca firman Allah Ta’ala, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh hanya Engkaulah Yang Maha Pemberi karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8). Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya hati kita menjadi patokan baik atau buruknya diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وأَمْوالِكُمْ، ولَكِنْ يَنْظُرُ إلى قُلُوبِكُمْ وأَعْمالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa hati yang selamat dan bersih akan menyelamatkan seseorang di akhirat nanti. Ia berfirman, يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ “(Yaitu), pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Apa yang ada di dalam hati memiliki pengaruh besar terhadap pahala dari sebuah amal saleh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, فإن الأعمال تتفاضل بتفاضل ما في القلوب من الإيمان والإخلاص، وإن الرجلين ليكون مقامهما في الصف واحدا، وبين صلاتيهما كما بين السماء والأرض، أولئك أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوبًا “Karena sesungguhnya amalan-amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang ada di hati. Sesungguhnya ada dua orang yang berdiri dalam satu saf salat, akan tetapi pahala salat mereka jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi.” (Minhajus Sunnah, 6: 222) Semoga Allah Taala senantiasa menjadikan hati kita bersih dari kesyirikan, memberikan kita hati yang senantiasa takut kepada-Nya, hati yang diliputi perasaan muraqabah, kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, di mana pun dan kapan pun kita berada. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah Jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang hanif dan lurus, Keutamaan amal ibadah hati ini juga disebutkan di dalam hadis yang masyhur. Hadis tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ: الإمَامُ العَادِلُ، وشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ، ورَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ في المَسَاجِدِ، ورَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ اجْتَمعا عليه وتَفَرَّقَا عليه، ورَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وجَمَالٍ، فَقَالَ: إنِّي أخَافُ اللَّهَ، ورَجُلٌ تَصَدَّقَ، أخْفَى حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما تُنْفِقُ يَمِينُهُ، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, (yaitu): imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; seorang yang hatinya bergantung ke masjid; dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’; dan seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya; serta seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 1031) Di tengah panasnya dan teriknya matahari, pada hari di mana Allah dekatkan matahari kepada kita, sehingga sebagian manusia ada yang keringatnya menenggelamkannya, Allah selamatkan sebagian golongan dengan memberikan naungan dan perlindungan-Nya kepada mereka. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya apa yang mereka dapatkan tersebut merupakan hasil dari amal ibadah hati yang mereka lakukan. Yang pertama, seorang pemimpin yang adil timbul karena adanya perasaan muraqabah di dalam hatinya, merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Ketika seorang pemimpin memiliki hal tersebut di dalam hatinya, maka ia akan lebih bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinannya dan lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab dirinya mendapatkan naungan Allah Ta’ala. Yang kedua, pemuda yang tumbuh dan berkembang di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hatinya tidak kalah dari nafsu syahwat dan godaan setan, serta dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Yang ketiga, lelaki yang hatinya tertambat begitu kuat dengan masjid dan ia pun jatuh cinta kepadanya. Tatkala waktu salat itu datang, ia segera bergegas berjalan ke arahnya. Tidak ada tempat yang lebih ia cintai di dalam hatinya melebihi cintanya kepada masjid-masjid Allah Ta’ala. Yang keempat, dua orang manusia yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Tidaklah mereka berkumpul, kecuali pasti di dalamnya selalu mengingat Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka berpisah, kecuali karena Allah Ta’ala. Yang kelima, seorang lelaki yang memiliki rasa takut kepada Allah di dalam hatinya. Maka, ia menolak ajakan seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik untuk melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Yang keeenam, seseorang yang bersedekah dan memberi manusia tanpa mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka. Hatinya hanyalah mengharapkan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Sedekah tersebut ia lakukan atas dasar keikhlasan yang selalu menghiasi hatinya, keikhlasan yang jauh dari riya’ ataupun sum’ah. Yang ketujuh, seseorang yang hatinya dipenuhi pengagungan akan kebesaran Allah Ta’ala. Ia sadar bahwa Allah Mahaagung. Allah Ta’ala sangatlah luas rahmat-Nya. Kemudian, ia menyendiri untuk berzikir dan mengingat Allah Ta’ala hingga air mata pun menetes dari kedua matanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Perasaan muraqabah, keistikamahan, kecintaan kepada kebaikan dan rumah-rumah Allah Ta’ala, rasa takut kepada Allah Ta’ala, keikhlasan dalam beramal, serta pengagungan kepada Allah Ta’ala adalah contoh amal ibadah hati. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, kesemuanya itu menjadi sebab seorang hamba mendapatkan perlindungan dan naungan Allah di hari akhir nanti. Di dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan. قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Manusia bagaimanakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Semua (orang) yang hatinya bersedih dan lisan (ucapannya) benar.” Mereka berkata, “Perkataannya yang benar telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang bersedih?” Beliau bersabda, “Hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada kedurhakaan, kezaliman padanya, kedengkian, dan hasad.” (HR. Ibnu Majah no. 4216 dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Silsilah As-Shahihah) Mereka yang memiliki hati yang bersih dan senantiasa dalam ketakwaan merupakan manusia-manusia yang paling mulia. Karena seseorang yang hatinya bersih, maka telah selamat dari kesyirikan dan kedengkian. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hati kita keistikamahan dalam beramal. اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Korelasi Amalan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: amalan hati

Teks Khotbah Jumat: Kedudukan dan Keutamaan Amalan Hati

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dirahmati dan dimuliakan Allah Taala. Pertama-tama, marilah senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Ketahuilah wahai saudaraku, ketakwaan seorang mukmin tidaklah sempurna kecuali dengan hati yang bersih dan lurus. Bersih dari segala macam penyakit yang mengotorinya serta dihiasi dengan amal kebaikan dan ketaatan. Wahai hamba-hamba Allah sekalian, sesungguhnya amal ibadah hati memiliki kedudukan yang sangat penting melebihi amal ibadah anggota tubuh lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh tubuh. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Hati ini laksana komandan dalam pertempuran, sedangkan anggota tubuh lainnya adalah prajurit-prajuritnya yang patuh lagi tunduk kepadanya. Dengan hati yang saleh dan benar, maka seluruh anggota badan pun akan menjadi saleh juga. Sebaliknya, jika hati ini rusak dan kotor, maka tubuh pun akan ikut rusak karena banyaknya maksiat yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik. Jemaah jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang bersih oleh Allah Ta’ala, Dalam bahasa Arab, hati disebut dengan kalbu. Jika dirunut secara bahasa, berasal dari kata Al-Qalbu. Maknanya adalah perubahan dan pergantian. Hati disebut dengan kalbu karena begitu mudah dan begitu cepatnya ia berubah-rubah dan berganti suasana. Dengan adanya pengaruh kecil saja, suasana hati dapat berubah 180 derajat. Begitu mudahnya hati ini berubah-ubah sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membiasakan diri untuk berdoa kepada Allah Ta’ala, meminta agar diberikan keteguhan hati. Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كانَ أَكْثرُ دعائِهِ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي علَى دينِكَ قالَت فقُلتُ يا رسولَ اللَّهِ ما أَكْثرَ دعاءِكَ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قَلبي علَى دينِكَ قال يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلَّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ فمَن شاءَ أقامَ ومن شاءَ أزاغَ “Doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling sering adalah, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu!’ Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa sering anda berdoa, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.’” Beliau bersabda, ‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun, melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan meluruskannya. Dan barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan membelokkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679) Salah satu perawi hadis ini, Muadz bin Muadz, setelah membacakan hadis ini, beliau membaca firman Allah Ta’ala, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh hanya Engkaulah Yang Maha Pemberi karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8). Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya hati kita menjadi patokan baik atau buruknya diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وأَمْوالِكُمْ، ولَكِنْ يَنْظُرُ إلى قُلُوبِكُمْ وأَعْمالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa hati yang selamat dan bersih akan menyelamatkan seseorang di akhirat nanti. Ia berfirman, يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ “(Yaitu), pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Apa yang ada di dalam hati memiliki pengaruh besar terhadap pahala dari sebuah amal saleh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, فإن الأعمال تتفاضل بتفاضل ما في القلوب من الإيمان والإخلاص، وإن الرجلين ليكون مقامهما في الصف واحدا، وبين صلاتيهما كما بين السماء والأرض، أولئك أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوبًا “Karena sesungguhnya amalan-amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang ada di hati. Sesungguhnya ada dua orang yang berdiri dalam satu saf salat, akan tetapi pahala salat mereka jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi.” (Minhajus Sunnah, 6: 222) Semoga Allah Taala senantiasa menjadikan hati kita bersih dari kesyirikan, memberikan kita hati yang senantiasa takut kepada-Nya, hati yang diliputi perasaan muraqabah, kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, di mana pun dan kapan pun kita berada. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah Jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang hanif dan lurus, Keutamaan amal ibadah hati ini juga disebutkan di dalam hadis yang masyhur. Hadis tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ: الإمَامُ العَادِلُ، وشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ، ورَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ في المَسَاجِدِ، ورَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ اجْتَمعا عليه وتَفَرَّقَا عليه، ورَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وجَمَالٍ، فَقَالَ: إنِّي أخَافُ اللَّهَ، ورَجُلٌ تَصَدَّقَ، أخْفَى حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما تُنْفِقُ يَمِينُهُ، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, (yaitu): imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; seorang yang hatinya bergantung ke masjid; dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’; dan seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya; serta seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 1031) Di tengah panasnya dan teriknya matahari, pada hari di mana Allah dekatkan matahari kepada kita, sehingga sebagian manusia ada yang keringatnya menenggelamkannya, Allah selamatkan sebagian golongan dengan memberikan naungan dan perlindungan-Nya kepada mereka. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya apa yang mereka dapatkan tersebut merupakan hasil dari amal ibadah hati yang mereka lakukan. Yang pertama, seorang pemimpin yang adil timbul karena adanya perasaan muraqabah di dalam hatinya, merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Ketika seorang pemimpin memiliki hal tersebut di dalam hatinya, maka ia akan lebih bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinannya dan lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab dirinya mendapatkan naungan Allah Ta’ala. Yang kedua, pemuda yang tumbuh dan berkembang di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hatinya tidak kalah dari nafsu syahwat dan godaan setan, serta dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Yang ketiga, lelaki yang hatinya tertambat begitu kuat dengan masjid dan ia pun jatuh cinta kepadanya. Tatkala waktu salat itu datang, ia segera bergegas berjalan ke arahnya. Tidak ada tempat yang lebih ia cintai di dalam hatinya melebihi cintanya kepada masjid-masjid Allah Ta’ala. Yang keempat, dua orang manusia yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Tidaklah mereka berkumpul, kecuali pasti di dalamnya selalu mengingat Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka berpisah, kecuali karena Allah Ta’ala. Yang kelima, seorang lelaki yang memiliki rasa takut kepada Allah di dalam hatinya. Maka, ia menolak ajakan seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik untuk melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Yang keeenam, seseorang yang bersedekah dan memberi manusia tanpa mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka. Hatinya hanyalah mengharapkan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Sedekah tersebut ia lakukan atas dasar keikhlasan yang selalu menghiasi hatinya, keikhlasan yang jauh dari riya’ ataupun sum’ah. Yang ketujuh, seseorang yang hatinya dipenuhi pengagungan akan kebesaran Allah Ta’ala. Ia sadar bahwa Allah Mahaagung. Allah Ta’ala sangatlah luas rahmat-Nya. Kemudian, ia menyendiri untuk berzikir dan mengingat Allah Ta’ala hingga air mata pun menetes dari kedua matanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Perasaan muraqabah, keistikamahan, kecintaan kepada kebaikan dan rumah-rumah Allah Ta’ala, rasa takut kepada Allah Ta’ala, keikhlasan dalam beramal, serta pengagungan kepada Allah Ta’ala adalah contoh amal ibadah hati. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, kesemuanya itu menjadi sebab seorang hamba mendapatkan perlindungan dan naungan Allah di hari akhir nanti. Di dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan. قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Manusia bagaimanakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Semua (orang) yang hatinya bersedih dan lisan (ucapannya) benar.” Mereka berkata, “Perkataannya yang benar telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang bersedih?” Beliau bersabda, “Hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada kedurhakaan, kezaliman padanya, kedengkian, dan hasad.” (HR. Ibnu Majah no. 4216 dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Silsilah As-Shahihah) Mereka yang memiliki hati yang bersih dan senantiasa dalam ketakwaan merupakan manusia-manusia yang paling mulia. Karena seseorang yang hatinya bersih, maka telah selamat dari kesyirikan dan kedengkian. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hati kita keistikamahan dalam beramal. اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Korelasi Amalan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: amalan hati
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dirahmati dan dimuliakan Allah Taala. Pertama-tama, marilah senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Ketahuilah wahai saudaraku, ketakwaan seorang mukmin tidaklah sempurna kecuali dengan hati yang bersih dan lurus. Bersih dari segala macam penyakit yang mengotorinya serta dihiasi dengan amal kebaikan dan ketaatan. Wahai hamba-hamba Allah sekalian, sesungguhnya amal ibadah hati memiliki kedudukan yang sangat penting melebihi amal ibadah anggota tubuh lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh tubuh. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Hati ini laksana komandan dalam pertempuran, sedangkan anggota tubuh lainnya adalah prajurit-prajuritnya yang patuh lagi tunduk kepadanya. Dengan hati yang saleh dan benar, maka seluruh anggota badan pun akan menjadi saleh juga. Sebaliknya, jika hati ini rusak dan kotor, maka tubuh pun akan ikut rusak karena banyaknya maksiat yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik. Jemaah jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang bersih oleh Allah Ta’ala, Dalam bahasa Arab, hati disebut dengan kalbu. Jika dirunut secara bahasa, berasal dari kata Al-Qalbu. Maknanya adalah perubahan dan pergantian. Hati disebut dengan kalbu karena begitu mudah dan begitu cepatnya ia berubah-rubah dan berganti suasana. Dengan adanya pengaruh kecil saja, suasana hati dapat berubah 180 derajat. Begitu mudahnya hati ini berubah-ubah sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membiasakan diri untuk berdoa kepada Allah Ta’ala, meminta agar diberikan keteguhan hati. Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كانَ أَكْثرُ دعائِهِ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي علَى دينِكَ قالَت فقُلتُ يا رسولَ اللَّهِ ما أَكْثرَ دعاءِكَ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قَلبي علَى دينِكَ قال يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلَّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ فمَن شاءَ أقامَ ومن شاءَ أزاغَ “Doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling sering adalah, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu!’ Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa sering anda berdoa, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.’” Beliau bersabda, ‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun, melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan meluruskannya. Dan barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan membelokkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679) Salah satu perawi hadis ini, Muadz bin Muadz, setelah membacakan hadis ini, beliau membaca firman Allah Ta’ala, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh hanya Engkaulah Yang Maha Pemberi karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8). Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya hati kita menjadi patokan baik atau buruknya diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وأَمْوالِكُمْ، ولَكِنْ يَنْظُرُ إلى قُلُوبِكُمْ وأَعْمالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa hati yang selamat dan bersih akan menyelamatkan seseorang di akhirat nanti. Ia berfirman, يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ “(Yaitu), pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Apa yang ada di dalam hati memiliki pengaruh besar terhadap pahala dari sebuah amal saleh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, فإن الأعمال تتفاضل بتفاضل ما في القلوب من الإيمان والإخلاص، وإن الرجلين ليكون مقامهما في الصف واحدا، وبين صلاتيهما كما بين السماء والأرض، أولئك أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوبًا “Karena sesungguhnya amalan-amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang ada di hati. Sesungguhnya ada dua orang yang berdiri dalam satu saf salat, akan tetapi pahala salat mereka jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi.” (Minhajus Sunnah, 6: 222) Semoga Allah Taala senantiasa menjadikan hati kita bersih dari kesyirikan, memberikan kita hati yang senantiasa takut kepada-Nya, hati yang diliputi perasaan muraqabah, kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, di mana pun dan kapan pun kita berada. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah Jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang hanif dan lurus, Keutamaan amal ibadah hati ini juga disebutkan di dalam hadis yang masyhur. Hadis tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ: الإمَامُ العَادِلُ، وشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ، ورَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ في المَسَاجِدِ، ورَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ اجْتَمعا عليه وتَفَرَّقَا عليه، ورَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وجَمَالٍ، فَقَالَ: إنِّي أخَافُ اللَّهَ، ورَجُلٌ تَصَدَّقَ، أخْفَى حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما تُنْفِقُ يَمِينُهُ، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, (yaitu): imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; seorang yang hatinya bergantung ke masjid; dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’; dan seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya; serta seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 1031) Di tengah panasnya dan teriknya matahari, pada hari di mana Allah dekatkan matahari kepada kita, sehingga sebagian manusia ada yang keringatnya menenggelamkannya, Allah selamatkan sebagian golongan dengan memberikan naungan dan perlindungan-Nya kepada mereka. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya apa yang mereka dapatkan tersebut merupakan hasil dari amal ibadah hati yang mereka lakukan. Yang pertama, seorang pemimpin yang adil timbul karena adanya perasaan muraqabah di dalam hatinya, merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Ketika seorang pemimpin memiliki hal tersebut di dalam hatinya, maka ia akan lebih bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinannya dan lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab dirinya mendapatkan naungan Allah Ta’ala. Yang kedua, pemuda yang tumbuh dan berkembang di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hatinya tidak kalah dari nafsu syahwat dan godaan setan, serta dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Yang ketiga, lelaki yang hatinya tertambat begitu kuat dengan masjid dan ia pun jatuh cinta kepadanya. Tatkala waktu salat itu datang, ia segera bergegas berjalan ke arahnya. Tidak ada tempat yang lebih ia cintai di dalam hatinya melebihi cintanya kepada masjid-masjid Allah Ta’ala. Yang keempat, dua orang manusia yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Tidaklah mereka berkumpul, kecuali pasti di dalamnya selalu mengingat Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka berpisah, kecuali karena Allah Ta’ala. Yang kelima, seorang lelaki yang memiliki rasa takut kepada Allah di dalam hatinya. Maka, ia menolak ajakan seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik untuk melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Yang keeenam, seseorang yang bersedekah dan memberi manusia tanpa mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka. Hatinya hanyalah mengharapkan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Sedekah tersebut ia lakukan atas dasar keikhlasan yang selalu menghiasi hatinya, keikhlasan yang jauh dari riya’ ataupun sum’ah. Yang ketujuh, seseorang yang hatinya dipenuhi pengagungan akan kebesaran Allah Ta’ala. Ia sadar bahwa Allah Mahaagung. Allah Ta’ala sangatlah luas rahmat-Nya. Kemudian, ia menyendiri untuk berzikir dan mengingat Allah Ta’ala hingga air mata pun menetes dari kedua matanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Perasaan muraqabah, keistikamahan, kecintaan kepada kebaikan dan rumah-rumah Allah Ta’ala, rasa takut kepada Allah Ta’ala, keikhlasan dalam beramal, serta pengagungan kepada Allah Ta’ala adalah contoh amal ibadah hati. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, kesemuanya itu menjadi sebab seorang hamba mendapatkan perlindungan dan naungan Allah di hari akhir nanti. Di dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan. قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Manusia bagaimanakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Semua (orang) yang hatinya bersedih dan lisan (ucapannya) benar.” Mereka berkata, “Perkataannya yang benar telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang bersedih?” Beliau bersabda, “Hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada kedurhakaan, kezaliman padanya, kedengkian, dan hasad.” (HR. Ibnu Majah no. 4216 dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Silsilah As-Shahihah) Mereka yang memiliki hati yang bersih dan senantiasa dalam ketakwaan merupakan manusia-manusia yang paling mulia. Karena seseorang yang hatinya bersih, maka telah selamat dari kesyirikan dan kedengkian. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hati kita keistikamahan dalam beramal. اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Korelasi Amalan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: amalan hati


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dirahmati dan dimuliakan Allah Taala. Pertama-tama, marilah senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Ketahuilah wahai saudaraku, ketakwaan seorang mukmin tidaklah sempurna kecuali dengan hati yang bersih dan lurus. Bersih dari segala macam penyakit yang mengotorinya serta dihiasi dengan amal kebaikan dan ketaatan. Wahai hamba-hamba Allah sekalian, sesungguhnya amal ibadah hati memiliki kedudukan yang sangat penting melebihi amal ibadah anggota tubuh lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh tubuh. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Hati ini laksana komandan dalam pertempuran, sedangkan anggota tubuh lainnya adalah prajurit-prajuritnya yang patuh lagi tunduk kepadanya. Dengan hati yang saleh dan benar, maka seluruh anggota badan pun akan menjadi saleh juga. Sebaliknya, jika hati ini rusak dan kotor, maka tubuh pun akan ikut rusak karena banyaknya maksiat yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik. Jemaah jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang bersih oleh Allah Ta’ala, Dalam bahasa Arab, hati disebut dengan kalbu. Jika dirunut secara bahasa, berasal dari kata Al-Qalbu. Maknanya adalah perubahan dan pergantian. Hati disebut dengan kalbu karena begitu mudah dan begitu cepatnya ia berubah-rubah dan berganti suasana. Dengan adanya pengaruh kecil saja, suasana hati dapat berubah 180 derajat. Begitu mudahnya hati ini berubah-ubah sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membiasakan diri untuk berdoa kepada Allah Ta’ala, meminta agar diberikan keteguhan hati. Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كانَ أَكْثرُ دعائِهِ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي علَى دينِكَ قالَت فقُلتُ يا رسولَ اللَّهِ ما أَكْثرَ دعاءِكَ يا مقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قَلبي علَى دينِكَ قال يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلَّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ فمَن شاءَ أقامَ ومن شاءَ أزاغَ “Doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling sering adalah, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu!’ Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa sering anda berdoa, ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.’” Beliau bersabda, ‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun, melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan meluruskannya. Dan barangsiapa yang Allah kehendaki, maka Dia akan membelokkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679) Salah satu perawi hadis ini, Muadz bin Muadz, setelah membacakan hadis ini, beliau membaca firman Allah Ta’ala, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh hanya Engkaulah Yang Maha Pemberi karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8). Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya hati kita menjadi patokan baik atau buruknya diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وأَمْوالِكُمْ، ولَكِنْ يَنْظُرُ إلى قُلُوبِكُمْ وأَعْمالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa hati yang selamat dan bersih akan menyelamatkan seseorang di akhirat nanti. Ia berfirman, يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ “(Yaitu), pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Apa yang ada di dalam hati memiliki pengaruh besar terhadap pahala dari sebuah amal saleh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, فإن الأعمال تتفاضل بتفاضل ما في القلوب من الإيمان والإخلاص، وإن الرجلين ليكون مقامهما في الصف واحدا، وبين صلاتيهما كما بين السماء والأرض، أولئك أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كانوا أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوبًا “Karena sesungguhnya amalan-amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang ada di hati. Sesungguhnya ada dua orang yang berdiri dalam satu saf salat, akan tetapi pahala salat mereka jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi.” (Minhajus Sunnah, 6: 222) Semoga Allah Taala senantiasa menjadikan hati kita bersih dari kesyirikan, memberikan kita hati yang senantiasa takut kepada-Nya, hati yang diliputi perasaan muraqabah, kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, di mana pun dan kapan pun kita berada. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah Jumat yang semoga senantiasa diberikan hati yang hanif dan lurus, Keutamaan amal ibadah hati ini juga disebutkan di dalam hadis yang masyhur. Hadis tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ: الإمَامُ العَادِلُ، وشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ، ورَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ في المَسَاجِدِ، ورَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ اجْتَمعا عليه وتَفَرَّقَا عليه، ورَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وجَمَالٍ، فَقَالَ: إنِّي أخَافُ اللَّهَ، ورَجُلٌ تَصَدَّقَ، أخْفَى حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما تُنْفِقُ يَمِينُهُ، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, (yaitu): imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; seorang yang hatinya bergantung ke masjid; dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’; dan seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya; serta seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 1031) Di tengah panasnya dan teriknya matahari, pada hari di mana Allah dekatkan matahari kepada kita, sehingga sebagian manusia ada yang keringatnya menenggelamkannya, Allah selamatkan sebagian golongan dengan memberikan naungan dan perlindungan-Nya kepada mereka. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya apa yang mereka dapatkan tersebut merupakan hasil dari amal ibadah hati yang mereka lakukan. Yang pertama, seorang pemimpin yang adil timbul karena adanya perasaan muraqabah di dalam hatinya, merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Ketika seorang pemimpin memiliki hal tersebut di dalam hatinya, maka ia akan lebih bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinannya dan lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya. Dan inilah yang menjadi penyebab dirinya mendapatkan naungan Allah Ta’ala. Yang kedua, pemuda yang tumbuh dan berkembang di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hatinya tidak kalah dari nafsu syahwat dan godaan setan, serta dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Yang ketiga, lelaki yang hatinya tertambat begitu kuat dengan masjid dan ia pun jatuh cinta kepadanya. Tatkala waktu salat itu datang, ia segera bergegas berjalan ke arahnya. Tidak ada tempat yang lebih ia cintai di dalam hatinya melebihi cintanya kepada masjid-masjid Allah Ta’ala. Yang keempat, dua orang manusia yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Tidaklah mereka berkumpul, kecuali pasti di dalamnya selalu mengingat Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka berpisah, kecuali karena Allah Ta’ala. Yang kelima, seorang lelaki yang memiliki rasa takut kepada Allah di dalam hatinya. Maka, ia menolak ajakan seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik untuk melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Yang keeenam, seseorang yang bersedekah dan memberi manusia tanpa mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka. Hatinya hanyalah mengharapkan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Sedekah tersebut ia lakukan atas dasar keikhlasan yang selalu menghiasi hatinya, keikhlasan yang jauh dari riya’ ataupun sum’ah. Yang ketujuh, seseorang yang hatinya dipenuhi pengagungan akan kebesaran Allah Ta’ala. Ia sadar bahwa Allah Mahaagung. Allah Ta’ala sangatlah luas rahmat-Nya. Kemudian, ia menyendiri untuk berzikir dan mengingat Allah Ta’ala hingga air mata pun menetes dari kedua matanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Perasaan muraqabah, keistikamahan, kecintaan kepada kebaikan dan rumah-rumah Allah Ta’ala, rasa takut kepada Allah Ta’ala, keikhlasan dalam beramal, serta pengagungan kepada Allah Ta’ala adalah contoh amal ibadah hati. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, kesemuanya itu menjadi sebab seorang hamba mendapatkan perlindungan dan naungan Allah di hari akhir nanti. Di dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan. قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Manusia bagaimanakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Semua (orang) yang hatinya bersedih dan lisan (ucapannya) benar.” Mereka berkata, “Perkataannya yang benar telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang bersedih?” Beliau bersabda, “Hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada kedurhakaan, kezaliman padanya, kedengkian, dan hasad.” (HR. Ibnu Majah no. 4216 dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Silsilah As-Shahihah) Mereka yang memiliki hati yang bersih dan senantiasa dalam ketakwaan merupakan manusia-manusia yang paling mulia. Karena seseorang yang hatinya bersih, maka telah selamat dari kesyirikan dan kedengkian. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hati kita keistikamahan dalam beramal. اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Korelasi Amalan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: amalan hati

Hukum Menggambar Menggunakan AI (Artificial Intelligence)

Daftar Isi Toggle Kecerdasan buatanKecerdasan buatan dalam seniPenggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Setahun terakhir merupakan tahun perkembangan pesat teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan. Teknologi yang viral baru-baru ini tanpa diduga telah memasuki berbagai lini kehidupan, termasuk dunia seni dan hiburan. Belakangan, seringkali kita dapati konten-konten yang bertebaran di internet merupakan hasil buatan AI. Baik berupa tulisan, gambar, video, maupun audio. Bahkan, suatu konten utuh berbentuk video dapat dibuat secara penuh oleh AI. Mulai dari ide penulisan, alur cerita, pembacaan teks cerita, video latar, hingga musik pengiring video, semua dihasilkan oleh AI. Menyebarnya konten buatan AI di berbagai lini kehidupan membuat kita sebagai umat Islam perlu berhati-hati. Sebab, Islam adalah agama yang universal dan komprehensif membahas berbagai sisi kehidupan. Apa pun suatu fenomena baru, bisa dipastikan Islam sudah memiliki regulasinya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3) وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَـٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur`an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115) Kecerdasan buatan Kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer digital atau komputer yang dikendalikan robot untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya diasosiasikan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering digunakan dalam proyek pengembangan sistem yang memiliki karakteristik proses intelektual seperti manusia. Seperti: kemampuan berpikir, menemukan arti, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman sebelumya. [1] Kecerdasan buatan digunakan di bidang industri, pemerintahan, dan sains. Beberapa perusahaan terkenal juga menggunakan AI sebagai basis operasinya. Seperti: sistem rekomendasi (digunakan oleh YouTube, Amazon, dan Netflix), rekognisi suara manusia (digunakan oleh Google Assistant, Siri, dan Alexa), kemudi mobil otomatis (seperti Tesla), serta yang bersifat generatif dan kreatif seperti ChatGPT dan AI Art. Kecerdasan buatan dalam seni Salah satu bidang AI yang belakangan sedang marak digunakan para pembuat konten adalah Generative Artificial Intelligence (GenAI). Generative AI adalah cabang AI yang digunakan untuk memproduksi konten berdasarkan berbagai jenis input. Input dan output model AI ini dapat berupa teks, gambar, suara, animasi, model 3D, atau jenis data lainnya. [2] Produk-produk GenAI yang populer seperti chatbots ChatGPT, Copilot, dan Bard. Ada pula yang berbentuk input teks dengan output gambar, seperti Stable Diffusion, Midjourney, dan DALL-E. Baca juga: Hukum Memakai Baju Bergambar Makhluk Bernyawa Penggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Larangan menggambar makhluk bernyawa telah jelas larangannya di dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ “Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat seraya diseru, ‘Hidupkan apa yang kalian buat!’ ” (HR. Bukhari no. 5607 dan Muslim no. 2108) Nabi ﷺ juga bersabda, أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ “Manusia yang paling pedih azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berusaha menyaingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5610 dan Muslim no. 2107) Imam Nawawi rahimahullah berkomentar terhadap hadis di atas sebagai berikut, قال أصحابنا وغيرهم من العلماء : تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم ، وهو من الكبائر ؛ لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور فى الأحاديث ، وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال ؛ لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى ، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها ، وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان : فليس بحرام ، هذا حكم نفس التصوير “Ashab kami (ulama Syafi’iyyah) dan ulama-ulama lainnya berkata, ‘Menggambar hewan sangat haram hukumnya. Ia termasuk dosa besar. Karena pelakunya diancam dengan ancaman keras yang disebutkan dalam beberapa hadis, baik dibuat dengan hal yang tercela atau selainnya. Menggambar hal itu haram dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan ada aspek menyaingi ciptaan Allah Ta’ala. Baik gambar tersebut ada di baju, bantal, dirham, dinar, fils (uang koin), bejana, dinding, atau barang lainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan hal lain yang tidak ada unsur gambar hewan, maka tidak haram. Demikianlah hukum menggambar.” [3] Adapun menggambar dengan perantara AI, dengan memerintahkan AI untuk membuatkan gambar makhluk bernyawa, maka hal tersebut sama hukumnya seperti menggambar menggunakan tangan. Adapun jika gambar makhluk tersebut tidak sempurna, maka tidak mengapa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه, لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. “Apabila dihilangkan bagian yang membuat makhluk hidup tidak bisa hidup jika kehilangan bagian itu, seperti: dadanya, perutnya, atau menjadikan kepalanya terpisah dari badannya, maka tidak termasuk ke dalam larangan. Karena tidak lagi disebut gambar (makhluk) setelah kehilangan organ-organ tersebut, serupa dengan memotong kepala.” [4] Syekh Al-Munajjid rahimahullah juga memberikan fatwa dalam website beliau, رسم الصور عن طريق الذكاء الاصطناعي، بحيث يأمر الإنسان الجهاز برسم شيء ما، فيقوم بما يأمره به، يأخذ حكم الرسم؛ إذ لا فرق بين أن يرسم بالقلم، أو عبر الكمبيوتر، بنفسه، أو بغيره. فإن كان الرسم لصورة من ذوات الأرواح تبقى معها الحياة، كان محرما، وإن كان لصورة ناقصة فهو جائز. “Menggambar dengan menggunakan Kecerdasan Buatan, yaitu seseorang memerintahkan perangkat aplikasi untuk menggambar sesuatu, kemudian aplikasi tersebut melakukan hal yang diperintahkan, maka masuk ke dalam hukum menggambar. Sebab tidak ada bedanya antara menggambar menggunakan pulpen atau komputer atau lainnya, baik dia sendiri yang menggambar atau alat lainnya. Apabila gambar tersebut termasuk gambar yang bernyawa dan hidup, maka haram. Apabila gambar tersebut tidak sempurna, maka boleh.” [5] Wallahu Ta’ala A’lam Baca juga: Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence [2] https://www.nvidia.com/en-us/glossary/generative-ai/ [3] Syarhu Muslim li An-Nawawi, 14: 81, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. [4] Al-Mughni li Ibn Qudamah, 10: 201, cet. Dar ‘Aalam al-Kutub. [5] https://islamqa.info/ar/432556 Tags: Artificial Intelligencemenggambar

Hukum Menggambar Menggunakan AI (Artificial Intelligence)

Daftar Isi Toggle Kecerdasan buatanKecerdasan buatan dalam seniPenggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Setahun terakhir merupakan tahun perkembangan pesat teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan. Teknologi yang viral baru-baru ini tanpa diduga telah memasuki berbagai lini kehidupan, termasuk dunia seni dan hiburan. Belakangan, seringkali kita dapati konten-konten yang bertebaran di internet merupakan hasil buatan AI. Baik berupa tulisan, gambar, video, maupun audio. Bahkan, suatu konten utuh berbentuk video dapat dibuat secara penuh oleh AI. Mulai dari ide penulisan, alur cerita, pembacaan teks cerita, video latar, hingga musik pengiring video, semua dihasilkan oleh AI. Menyebarnya konten buatan AI di berbagai lini kehidupan membuat kita sebagai umat Islam perlu berhati-hati. Sebab, Islam adalah agama yang universal dan komprehensif membahas berbagai sisi kehidupan. Apa pun suatu fenomena baru, bisa dipastikan Islam sudah memiliki regulasinya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3) وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَـٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur`an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115) Kecerdasan buatan Kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer digital atau komputer yang dikendalikan robot untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya diasosiasikan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering digunakan dalam proyek pengembangan sistem yang memiliki karakteristik proses intelektual seperti manusia. Seperti: kemampuan berpikir, menemukan arti, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman sebelumya. [1] Kecerdasan buatan digunakan di bidang industri, pemerintahan, dan sains. Beberapa perusahaan terkenal juga menggunakan AI sebagai basis operasinya. Seperti: sistem rekomendasi (digunakan oleh YouTube, Amazon, dan Netflix), rekognisi suara manusia (digunakan oleh Google Assistant, Siri, dan Alexa), kemudi mobil otomatis (seperti Tesla), serta yang bersifat generatif dan kreatif seperti ChatGPT dan AI Art. Kecerdasan buatan dalam seni Salah satu bidang AI yang belakangan sedang marak digunakan para pembuat konten adalah Generative Artificial Intelligence (GenAI). Generative AI adalah cabang AI yang digunakan untuk memproduksi konten berdasarkan berbagai jenis input. Input dan output model AI ini dapat berupa teks, gambar, suara, animasi, model 3D, atau jenis data lainnya. [2] Produk-produk GenAI yang populer seperti chatbots ChatGPT, Copilot, dan Bard. Ada pula yang berbentuk input teks dengan output gambar, seperti Stable Diffusion, Midjourney, dan DALL-E. Baca juga: Hukum Memakai Baju Bergambar Makhluk Bernyawa Penggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Larangan menggambar makhluk bernyawa telah jelas larangannya di dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ “Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat seraya diseru, ‘Hidupkan apa yang kalian buat!’ ” (HR. Bukhari no. 5607 dan Muslim no. 2108) Nabi ﷺ juga bersabda, أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ “Manusia yang paling pedih azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berusaha menyaingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5610 dan Muslim no. 2107) Imam Nawawi rahimahullah berkomentar terhadap hadis di atas sebagai berikut, قال أصحابنا وغيرهم من العلماء : تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم ، وهو من الكبائر ؛ لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور فى الأحاديث ، وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال ؛ لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى ، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها ، وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان : فليس بحرام ، هذا حكم نفس التصوير “Ashab kami (ulama Syafi’iyyah) dan ulama-ulama lainnya berkata, ‘Menggambar hewan sangat haram hukumnya. Ia termasuk dosa besar. Karena pelakunya diancam dengan ancaman keras yang disebutkan dalam beberapa hadis, baik dibuat dengan hal yang tercela atau selainnya. Menggambar hal itu haram dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan ada aspek menyaingi ciptaan Allah Ta’ala. Baik gambar tersebut ada di baju, bantal, dirham, dinar, fils (uang koin), bejana, dinding, atau barang lainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan hal lain yang tidak ada unsur gambar hewan, maka tidak haram. Demikianlah hukum menggambar.” [3] Adapun menggambar dengan perantara AI, dengan memerintahkan AI untuk membuatkan gambar makhluk bernyawa, maka hal tersebut sama hukumnya seperti menggambar menggunakan tangan. Adapun jika gambar makhluk tersebut tidak sempurna, maka tidak mengapa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه, لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. “Apabila dihilangkan bagian yang membuat makhluk hidup tidak bisa hidup jika kehilangan bagian itu, seperti: dadanya, perutnya, atau menjadikan kepalanya terpisah dari badannya, maka tidak termasuk ke dalam larangan. Karena tidak lagi disebut gambar (makhluk) setelah kehilangan organ-organ tersebut, serupa dengan memotong kepala.” [4] Syekh Al-Munajjid rahimahullah juga memberikan fatwa dalam website beliau, رسم الصور عن طريق الذكاء الاصطناعي، بحيث يأمر الإنسان الجهاز برسم شيء ما، فيقوم بما يأمره به، يأخذ حكم الرسم؛ إذ لا فرق بين أن يرسم بالقلم، أو عبر الكمبيوتر، بنفسه، أو بغيره. فإن كان الرسم لصورة من ذوات الأرواح تبقى معها الحياة، كان محرما، وإن كان لصورة ناقصة فهو جائز. “Menggambar dengan menggunakan Kecerdasan Buatan, yaitu seseorang memerintahkan perangkat aplikasi untuk menggambar sesuatu, kemudian aplikasi tersebut melakukan hal yang diperintahkan, maka masuk ke dalam hukum menggambar. Sebab tidak ada bedanya antara menggambar menggunakan pulpen atau komputer atau lainnya, baik dia sendiri yang menggambar atau alat lainnya. Apabila gambar tersebut termasuk gambar yang bernyawa dan hidup, maka haram. Apabila gambar tersebut tidak sempurna, maka boleh.” [5] Wallahu Ta’ala A’lam Baca juga: Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence [2] https://www.nvidia.com/en-us/glossary/generative-ai/ [3] Syarhu Muslim li An-Nawawi, 14: 81, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. [4] Al-Mughni li Ibn Qudamah, 10: 201, cet. Dar ‘Aalam al-Kutub. [5] https://islamqa.info/ar/432556 Tags: Artificial Intelligencemenggambar
Daftar Isi Toggle Kecerdasan buatanKecerdasan buatan dalam seniPenggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Setahun terakhir merupakan tahun perkembangan pesat teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan. Teknologi yang viral baru-baru ini tanpa diduga telah memasuki berbagai lini kehidupan, termasuk dunia seni dan hiburan. Belakangan, seringkali kita dapati konten-konten yang bertebaran di internet merupakan hasil buatan AI. Baik berupa tulisan, gambar, video, maupun audio. Bahkan, suatu konten utuh berbentuk video dapat dibuat secara penuh oleh AI. Mulai dari ide penulisan, alur cerita, pembacaan teks cerita, video latar, hingga musik pengiring video, semua dihasilkan oleh AI. Menyebarnya konten buatan AI di berbagai lini kehidupan membuat kita sebagai umat Islam perlu berhati-hati. Sebab, Islam adalah agama yang universal dan komprehensif membahas berbagai sisi kehidupan. Apa pun suatu fenomena baru, bisa dipastikan Islam sudah memiliki regulasinya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3) وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَـٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur`an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115) Kecerdasan buatan Kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer digital atau komputer yang dikendalikan robot untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya diasosiasikan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering digunakan dalam proyek pengembangan sistem yang memiliki karakteristik proses intelektual seperti manusia. Seperti: kemampuan berpikir, menemukan arti, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman sebelumya. [1] Kecerdasan buatan digunakan di bidang industri, pemerintahan, dan sains. Beberapa perusahaan terkenal juga menggunakan AI sebagai basis operasinya. Seperti: sistem rekomendasi (digunakan oleh YouTube, Amazon, dan Netflix), rekognisi suara manusia (digunakan oleh Google Assistant, Siri, dan Alexa), kemudi mobil otomatis (seperti Tesla), serta yang bersifat generatif dan kreatif seperti ChatGPT dan AI Art. Kecerdasan buatan dalam seni Salah satu bidang AI yang belakangan sedang marak digunakan para pembuat konten adalah Generative Artificial Intelligence (GenAI). Generative AI adalah cabang AI yang digunakan untuk memproduksi konten berdasarkan berbagai jenis input. Input dan output model AI ini dapat berupa teks, gambar, suara, animasi, model 3D, atau jenis data lainnya. [2] Produk-produk GenAI yang populer seperti chatbots ChatGPT, Copilot, dan Bard. Ada pula yang berbentuk input teks dengan output gambar, seperti Stable Diffusion, Midjourney, dan DALL-E. Baca juga: Hukum Memakai Baju Bergambar Makhluk Bernyawa Penggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Larangan menggambar makhluk bernyawa telah jelas larangannya di dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ “Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat seraya diseru, ‘Hidupkan apa yang kalian buat!’ ” (HR. Bukhari no. 5607 dan Muslim no. 2108) Nabi ﷺ juga bersabda, أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ “Manusia yang paling pedih azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berusaha menyaingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5610 dan Muslim no. 2107) Imam Nawawi rahimahullah berkomentar terhadap hadis di atas sebagai berikut, قال أصحابنا وغيرهم من العلماء : تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم ، وهو من الكبائر ؛ لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور فى الأحاديث ، وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال ؛ لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى ، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها ، وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان : فليس بحرام ، هذا حكم نفس التصوير “Ashab kami (ulama Syafi’iyyah) dan ulama-ulama lainnya berkata, ‘Menggambar hewan sangat haram hukumnya. Ia termasuk dosa besar. Karena pelakunya diancam dengan ancaman keras yang disebutkan dalam beberapa hadis, baik dibuat dengan hal yang tercela atau selainnya. Menggambar hal itu haram dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan ada aspek menyaingi ciptaan Allah Ta’ala. Baik gambar tersebut ada di baju, bantal, dirham, dinar, fils (uang koin), bejana, dinding, atau barang lainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan hal lain yang tidak ada unsur gambar hewan, maka tidak haram. Demikianlah hukum menggambar.” [3] Adapun menggambar dengan perantara AI, dengan memerintahkan AI untuk membuatkan gambar makhluk bernyawa, maka hal tersebut sama hukumnya seperti menggambar menggunakan tangan. Adapun jika gambar makhluk tersebut tidak sempurna, maka tidak mengapa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه, لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. “Apabila dihilangkan bagian yang membuat makhluk hidup tidak bisa hidup jika kehilangan bagian itu, seperti: dadanya, perutnya, atau menjadikan kepalanya terpisah dari badannya, maka tidak termasuk ke dalam larangan. Karena tidak lagi disebut gambar (makhluk) setelah kehilangan organ-organ tersebut, serupa dengan memotong kepala.” [4] Syekh Al-Munajjid rahimahullah juga memberikan fatwa dalam website beliau, رسم الصور عن طريق الذكاء الاصطناعي، بحيث يأمر الإنسان الجهاز برسم شيء ما، فيقوم بما يأمره به، يأخذ حكم الرسم؛ إذ لا فرق بين أن يرسم بالقلم، أو عبر الكمبيوتر، بنفسه، أو بغيره. فإن كان الرسم لصورة من ذوات الأرواح تبقى معها الحياة، كان محرما، وإن كان لصورة ناقصة فهو جائز. “Menggambar dengan menggunakan Kecerdasan Buatan, yaitu seseorang memerintahkan perangkat aplikasi untuk menggambar sesuatu, kemudian aplikasi tersebut melakukan hal yang diperintahkan, maka masuk ke dalam hukum menggambar. Sebab tidak ada bedanya antara menggambar menggunakan pulpen atau komputer atau lainnya, baik dia sendiri yang menggambar atau alat lainnya. Apabila gambar tersebut termasuk gambar yang bernyawa dan hidup, maka haram. Apabila gambar tersebut tidak sempurna, maka boleh.” [5] Wallahu Ta’ala A’lam Baca juga: Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence [2] https://www.nvidia.com/en-us/glossary/generative-ai/ [3] Syarhu Muslim li An-Nawawi, 14: 81, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. [4] Al-Mughni li Ibn Qudamah, 10: 201, cet. Dar ‘Aalam al-Kutub. [5] https://islamqa.info/ar/432556 Tags: Artificial Intelligencemenggambar


Daftar Isi Toggle Kecerdasan buatanKecerdasan buatan dalam seniPenggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Setahun terakhir merupakan tahun perkembangan pesat teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan. Teknologi yang viral baru-baru ini tanpa diduga telah memasuki berbagai lini kehidupan, termasuk dunia seni dan hiburan. Belakangan, seringkali kita dapati konten-konten yang bertebaran di internet merupakan hasil buatan AI. Baik berupa tulisan, gambar, video, maupun audio. Bahkan, suatu konten utuh berbentuk video dapat dibuat secara penuh oleh AI. Mulai dari ide penulisan, alur cerita, pembacaan teks cerita, video latar, hingga musik pengiring video, semua dihasilkan oleh AI. Menyebarnya konten buatan AI di berbagai lini kehidupan membuat kita sebagai umat Islam perlu berhati-hati. Sebab, Islam adalah agama yang universal dan komprehensif membahas berbagai sisi kehidupan. Apa pun suatu fenomena baru, bisa dipastikan Islam sudah memiliki regulasinya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3) وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَـٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur`an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115) Kecerdasan buatan Kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer digital atau komputer yang dikendalikan robot untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya diasosiasikan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering digunakan dalam proyek pengembangan sistem yang memiliki karakteristik proses intelektual seperti manusia. Seperti: kemampuan berpikir, menemukan arti, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman sebelumya. [1] Kecerdasan buatan digunakan di bidang industri, pemerintahan, dan sains. Beberapa perusahaan terkenal juga menggunakan AI sebagai basis operasinya. Seperti: sistem rekomendasi (digunakan oleh YouTube, Amazon, dan Netflix), rekognisi suara manusia (digunakan oleh Google Assistant, Siri, dan Alexa), kemudi mobil otomatis (seperti Tesla), serta yang bersifat generatif dan kreatif seperti ChatGPT dan AI Art. Kecerdasan buatan dalam seni Salah satu bidang AI yang belakangan sedang marak digunakan para pembuat konten adalah Generative Artificial Intelligence (GenAI). Generative AI adalah cabang AI yang digunakan untuk memproduksi konten berdasarkan berbagai jenis input. Input dan output model AI ini dapat berupa teks, gambar, suara, animasi, model 3D, atau jenis data lainnya. [2] Produk-produk GenAI yang populer seperti chatbots ChatGPT, Copilot, dan Bard. Ada pula yang berbentuk input teks dengan output gambar, seperti Stable Diffusion, Midjourney, dan DALL-E. Baca juga: Hukum Memakai Baju Bergambar Makhluk Bernyawa Penggunaan kecerdasan buatan yang dilarang: Menggambar makhluk bernyawa Larangan menggambar makhluk bernyawa telah jelas larangannya di dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ “Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat seraya diseru, ‘Hidupkan apa yang kalian buat!’ ” (HR. Bukhari no. 5607 dan Muslim no. 2108) Nabi ﷺ juga bersabda, أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ “Manusia yang paling pedih azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berusaha menyaingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5610 dan Muslim no. 2107) Imam Nawawi rahimahullah berkomentar terhadap hadis di atas sebagai berikut, قال أصحابنا وغيرهم من العلماء : تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم ، وهو من الكبائر ؛ لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور فى الأحاديث ، وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال ؛ لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى ، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها ، وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان : فليس بحرام ، هذا حكم نفس التصوير “Ashab kami (ulama Syafi’iyyah) dan ulama-ulama lainnya berkata, ‘Menggambar hewan sangat haram hukumnya. Ia termasuk dosa besar. Karena pelakunya diancam dengan ancaman keras yang disebutkan dalam beberapa hadis, baik dibuat dengan hal yang tercela atau selainnya. Menggambar hal itu haram dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan ada aspek menyaingi ciptaan Allah Ta’ala. Baik gambar tersebut ada di baju, bantal, dirham, dinar, fils (uang koin), bejana, dinding, atau barang lainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan hal lain yang tidak ada unsur gambar hewan, maka tidak haram. Demikianlah hukum menggambar.” [3] Adapun menggambar dengan perantara AI, dengan memerintahkan AI untuk membuatkan gambar makhluk bernyawa, maka hal tersebut sama hukumnya seperti menggambar menggunakan tangan. Adapun jika gambar makhluk tersebut tidak sempurna, maka tidak mengapa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه, لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. “Apabila dihilangkan bagian yang membuat makhluk hidup tidak bisa hidup jika kehilangan bagian itu, seperti: dadanya, perutnya, atau menjadikan kepalanya terpisah dari badannya, maka tidak termasuk ke dalam larangan. Karena tidak lagi disebut gambar (makhluk) setelah kehilangan organ-organ tersebut, serupa dengan memotong kepala.” [4] Syekh Al-Munajjid rahimahullah juga memberikan fatwa dalam website beliau, رسم الصور عن طريق الذكاء الاصطناعي، بحيث يأمر الإنسان الجهاز برسم شيء ما، فيقوم بما يأمره به، يأخذ حكم الرسم؛ إذ لا فرق بين أن يرسم بالقلم، أو عبر الكمبيوتر، بنفسه، أو بغيره. فإن كان الرسم لصورة من ذوات الأرواح تبقى معها الحياة، كان محرما، وإن كان لصورة ناقصة فهو جائز. “Menggambar dengan menggunakan Kecerdasan Buatan, yaitu seseorang memerintahkan perangkat aplikasi untuk menggambar sesuatu, kemudian aplikasi tersebut melakukan hal yang diperintahkan, maka masuk ke dalam hukum menggambar. Sebab tidak ada bedanya antara menggambar menggunakan pulpen atau komputer atau lainnya, baik dia sendiri yang menggambar atau alat lainnya. Apabila gambar tersebut termasuk gambar yang bernyawa dan hidup, maka haram. Apabila gambar tersebut tidak sempurna, maka boleh.” [5] Wallahu Ta’ala A’lam Baca juga: Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence [2] https://www.nvidia.com/en-us/glossary/generative-ai/ [3] Syarhu Muslim li An-Nawawi, 14: 81, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. [4] Al-Mughni li Ibn Qudamah, 10: 201, cet. Dar ‘Aalam al-Kutub. [5] https://islamqa.info/ar/432556 Tags: Artificial Intelligencemenggambar

Kebaikan Yang Menarik Hati

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati semua orang dengan harta kalian. Namun kalian bisa menarik hati mereka dengan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar) Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa apabila berkumpul dua perkara (harta & akhlak mulia), maka itulah yang sempurna. Berkumpul dua perkara, maksudnya berbuat baik kepada manusia dengan akhlak mulia dan berbuat baik kepada mereka dengan memberikan harta. Adapun jika tidak bisa berbuat baik dengan harta, maka bisa diganti dengan akhlak yang mulia serta kebaikan sikap dan perkataan. Bisa jadi ini lebih besar dampaknya daripada manfaat harta. Ini tidak perlu diragukan, akhlak yang mulia–sebagaimana dalam prakata Syaikh di awal pembahasannya– akan menarik simpati orang yang jauh dan dekat, serta membuat jiwa merasa nyaman dan tentram karenanya. Dia akan dicintai orang-orang karena akhlaknya yang mulia. ==== قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ” – رَوَاهُ الْبَزَّارُ قَالَ رَحِمَهُ اللهُ: “فَمَتَى اجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ فَهُوَ الْكَمَالُ اِجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ أَيْ إِحْسَانُ لِلنَّاسِ بِالْخُلُقِ وَإِحْسَانٌ لِلنَّاسِ بِالْمَالِ وَمَتَى فُقِدَ الْإِحْسَانُ الْمَالِيُّ نَابَ عَنْهُ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِِحْسَانُ الْحَالِيُّ وَالْمَقَالِيُّ فَرُبَّمَا صَارَ لَهُ مَوْقِعٌ أَكْبَرَ مِنْ نَفْعِ الْمَالِ وَهَذَا لَا شَكَّ فِيهِ حُسْنُ الْخُلُقِ ,كَمَا قَدَّمَ الشَّيْخُ فِي أَوَّلِ حَدِيثِهِ, يَكْسَبُ بِهِ الْمَرْءُ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ وَتَأْلَفُهُ النُّفُوسُ وَتَرْتَاحُ لَهُ هُوَ حَبِيبٌ إِلَى النَّاسِ بِحُسْنِ خُلُقِهِ

Kebaikan Yang Menarik Hati

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati semua orang dengan harta kalian. Namun kalian bisa menarik hati mereka dengan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar) Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa apabila berkumpul dua perkara (harta & akhlak mulia), maka itulah yang sempurna. Berkumpul dua perkara, maksudnya berbuat baik kepada manusia dengan akhlak mulia dan berbuat baik kepada mereka dengan memberikan harta. Adapun jika tidak bisa berbuat baik dengan harta, maka bisa diganti dengan akhlak yang mulia serta kebaikan sikap dan perkataan. Bisa jadi ini lebih besar dampaknya daripada manfaat harta. Ini tidak perlu diragukan, akhlak yang mulia–sebagaimana dalam prakata Syaikh di awal pembahasannya– akan menarik simpati orang yang jauh dan dekat, serta membuat jiwa merasa nyaman dan tentram karenanya. Dia akan dicintai orang-orang karena akhlaknya yang mulia. ==== قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ” – رَوَاهُ الْبَزَّارُ قَالَ رَحِمَهُ اللهُ: “فَمَتَى اجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ فَهُوَ الْكَمَالُ اِجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ أَيْ إِحْسَانُ لِلنَّاسِ بِالْخُلُقِ وَإِحْسَانٌ لِلنَّاسِ بِالْمَالِ وَمَتَى فُقِدَ الْإِحْسَانُ الْمَالِيُّ نَابَ عَنْهُ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِِحْسَانُ الْحَالِيُّ وَالْمَقَالِيُّ فَرُبَّمَا صَارَ لَهُ مَوْقِعٌ أَكْبَرَ مِنْ نَفْعِ الْمَالِ وَهَذَا لَا شَكَّ فِيهِ حُسْنُ الْخُلُقِ ,كَمَا قَدَّمَ الشَّيْخُ فِي أَوَّلِ حَدِيثِهِ, يَكْسَبُ بِهِ الْمَرْءُ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ وَتَأْلَفُهُ النُّفُوسُ وَتَرْتَاحُ لَهُ هُوَ حَبِيبٌ إِلَى النَّاسِ بِحُسْنِ خُلُقِهِ
Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati semua orang dengan harta kalian. Namun kalian bisa menarik hati mereka dengan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar) Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa apabila berkumpul dua perkara (harta & akhlak mulia), maka itulah yang sempurna. Berkumpul dua perkara, maksudnya berbuat baik kepada manusia dengan akhlak mulia dan berbuat baik kepada mereka dengan memberikan harta. Adapun jika tidak bisa berbuat baik dengan harta, maka bisa diganti dengan akhlak yang mulia serta kebaikan sikap dan perkataan. Bisa jadi ini lebih besar dampaknya daripada manfaat harta. Ini tidak perlu diragukan, akhlak yang mulia–sebagaimana dalam prakata Syaikh di awal pembahasannya– akan menarik simpati orang yang jauh dan dekat, serta membuat jiwa merasa nyaman dan tentram karenanya. Dia akan dicintai orang-orang karena akhlaknya yang mulia. ==== قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ” – رَوَاهُ الْبَزَّارُ قَالَ رَحِمَهُ اللهُ: “فَمَتَى اجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ فَهُوَ الْكَمَالُ اِجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ أَيْ إِحْسَانُ لِلنَّاسِ بِالْخُلُقِ وَإِحْسَانٌ لِلنَّاسِ بِالْمَالِ وَمَتَى فُقِدَ الْإِحْسَانُ الْمَالِيُّ نَابَ عَنْهُ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِِحْسَانُ الْحَالِيُّ وَالْمَقَالِيُّ فَرُبَّمَا صَارَ لَهُ مَوْقِعٌ أَكْبَرَ مِنْ نَفْعِ الْمَالِ وَهَذَا لَا شَكَّ فِيهِ حُسْنُ الْخُلُقِ ,كَمَا قَدَّمَ الشَّيْخُ فِي أَوَّلِ حَدِيثِهِ, يَكْسَبُ بِهِ الْمَرْءُ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ وَتَأْلَفُهُ النُّفُوسُ وَتَرْتَاحُ لَهُ هُوَ حَبِيبٌ إِلَى النَّاسِ بِحُسْنِ خُلُقِهِ


Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati semua orang dengan harta kalian. Namun kalian bisa menarik hati mereka dengan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar) Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa apabila berkumpul dua perkara (harta & akhlak mulia), maka itulah yang sempurna. Berkumpul dua perkara, maksudnya berbuat baik kepada manusia dengan akhlak mulia dan berbuat baik kepada mereka dengan memberikan harta. Adapun jika tidak bisa berbuat baik dengan harta, maka bisa diganti dengan akhlak yang mulia serta kebaikan sikap dan perkataan. Bisa jadi ini lebih besar dampaknya daripada manfaat harta. Ini tidak perlu diragukan, akhlak yang mulia–sebagaimana dalam prakata Syaikh di awal pembahasannya– akan menarik simpati orang yang jauh dan dekat, serta membuat jiwa merasa nyaman dan tentram karenanya. Dia akan dicintai orang-orang karena akhlaknya yang mulia. ==== قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ” – رَوَاهُ الْبَزَّارُ قَالَ رَحِمَهُ اللهُ: “فَمَتَى اجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ فَهُوَ الْكَمَالُ اِجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ أَيْ إِحْسَانُ لِلنَّاسِ بِالْخُلُقِ وَإِحْسَانٌ لِلنَّاسِ بِالْمَالِ وَمَتَى فُقِدَ الْإِحْسَانُ الْمَالِيُّ نَابَ عَنْهُ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِِحْسَانُ الْحَالِيُّ وَالْمَقَالِيُّ فَرُبَّمَا صَارَ لَهُ مَوْقِعٌ أَكْبَرَ مِنْ نَفْعِ الْمَالِ وَهَذَا لَا شَكَّ فِيهِ حُسْنُ الْخُلُقِ ,كَمَا قَدَّمَ الشَّيْخُ فِي أَوَّلِ حَدِيثِهِ, يَكْسَبُ بِهِ الْمَرْءُ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ وَتَأْلَفُهُ النُّفُوسُ وَتَرْتَاحُ لَهُ هُوَ حَبِيبٌ إِلَى النَّاسِ بِحُسْنِ خُلُقِهِ

Istikamah Bukan Hal Mudah

Daftar Isi Toggle Beratnya istikamahPenghalang-penghalang istikamahBersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Mengikuti bisikan-bisikan setanMeremehkan dosaLemah semangat dan panjang angan-anganTips agar tetap istikamah Beratnya istikamah Seorang muslim dituntut untuk beristikamah dalam menjalankan dan mengamalkan syariat agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula, orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 112) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya agar istikamah. Yakni, dengan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan. Perintah ini adalah perintah yang cukup memberatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ – صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – آَيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ عَلَيِهِ “Tidak ada satu ayat pun yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih memberatkan dan menyulitkan beliau, melainkan ayat ini.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubiy surah Hud ayat 112 dan Tafsir Al-Baghawiy dalam ayat yang sama) Hal ini dikarenakan beratnya perkata istikamah. Untuk tetap tegar dan teguh di atas syariat Allah ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Saking beratnya perintah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya tidak memiliki uban. Tatkala turun ayat ini, beliau pun menjadi beruban. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas, beliau bercerita, قالَ أبو بَكْرٍ رضيَ اللَّهُ عنهُ: يا رسولَ اللَّهِ قد شِبْتَ، قالَ: شَيَّبَتْنِي هُوْدٌ، والواقعةُ، والمرسلاتُ، وعمَّ يتَسَاءَلُونَ، وإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ “Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah beruban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku dibuat beruban oleh surah Hud, surah Al-Waqi’ah, surah Al-Mursalat, ‘Amma yatasa’alun (surah An-Naba), dan Idzasy syamsu kuwwirat (surah At-Takwir).”  (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3297 disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Dikarenakan dalam surah-surah tersebut terdapat penyebutan tentang kaum-kaum terdahulu yang Allah timpakan azab-Nya kepada mereka, begitu pun tentang hari kiamat, dan perintah untuk beristikamah. Hal-hal inilah yang memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Tuhfatul Ahwadziy Syarah Sunan At-Tirmidzi) Penghalang-penghalang istikamah Karena begitu beratnya perkara istikamah ini, yaitu untuk tetap tegar dan teguh di atas agama ini dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan larangan, maka istikamah terdapat banyak penghalangnya. Berikut ini di antara penghalang-penghalang istikamah yang harus dihindari: Bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Maksudnya, kebanyakan orang yang sulit untuk istikamah dikarenakan mereka bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala dalam melakukan perbuatan dosa. Sehingga, mereka pun semakin jauh dari kata istikamah dan tenggelam dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56) Allah firmankan bahwa rahmat Allah dekat dengan orang yang baik. Apakah orang-orang yang berbuat dosa pantas dikatakan sebagai orang-orang yang berbuat baik? Mereka hanya berharap kepada rahmat Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap azab Allah. Yang seharusnya adalah rasa takut dan berharap akan rahmat Allah senantiasa berjalan beriringan dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Maka, tidak bisa seseorang berbuat dosa dengan alasan karena rahmat Allah begitu luas. Tentu ini pemahaman yang keliru dan ini termasuk dari penghalang istikamah. Mengikuti bisikan-bisikan setan Setan senantiasa membisikkan kepada hamba-hamba Allah Ta’ala agar tidak beristikamah. Inilah yang dikatakan oleh kepalanya setan, yaitu Iblis, kepada Allah, قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ “Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17) Ini sudah menjadi janji Iblis kepada Allah Ta’ala. Bahwa Iblis akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ “(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” (Allah) berfirman, “Maka, yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam denganmu dan orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” (QS. Shad: 85) Sehingga, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus berhati-hati. Jangan sampai termasuk dari pengikut bisikan-bisikan setan dan juga iblis. Karena mengikuti bisikan mereka merupakan penghalang untuk beristikamah. Meremehkan dosa Di antara penghalang untuk istikamah adalah seseorang meremehkan dosa. Sehingga, ia terjatuh ke dalam dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ “Jauhilah oleh kalian sifat meremehkan dosa! Karena dosa-dosa itu tidaklah berkumpul pada seseorang, melainkan akan membinasakannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 1: 402. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2470) Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari ibadah. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari mengerjakan kebajikan dan takwa. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari istikamah. Maka, berusahalah untuk menjauhi dosa-dosa yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah larang. Lemah semangat dan panjang angan-angan Seseorang yang lemah semangat dan panjang angan-angan akan sulit untuk istikamah. Sebagian orang ada yang hanya berangan-angan untuk beramal. Namun, ia tidak bergerak untuk beramal dan mencoba untuk istikamah. Ia tenggelam di dalam taswif (menunda-nunda) amalan dan tenggelam di dalam angan-angannya. Dalam sebuah syair dikatakan, يَا مَنْ بِدُنْيَاهُ اشْـــــتَغَلْ وَقَدْ غَرَّهُ طُوْلُ الأَمَلِ المَوْتُ يَأْتِي بَغْتَــــــــــةً وَالْقَبْرُ صُنْدُوْقُ الْعَمَلِ Wahai orang-orang yang sibuk dengan dunianya             Sungguh ia telah tertipu dengan panjangnya angan-angan Kematian akan datang kepadanya secara tiba-tiba             Kubur pun akan menjadi perbendaharaan amalnya [1] Tentu masih banyak lagi penghalang-penghalang istikamah. Setidaknya keempat hal di atas yang benar-benar harus dihindari agar kita tetap istikamah. Karena istikamah bukan hal mudah, maka perlu adanya usaha lebih untuk bisa istikamah. Baca juga: Istikamah, Anugerah Terindah Tips agar tetap istikamah Di antara tips yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar tetap istikamah yaitu, tetaplah beramal walaupun sedikit. Karena yang terpenting adalah bukan banyaknya amal, namun yang terpenting adalah tetap beramal. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang konsisten, walaupun sedikit.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5523 dan Muslim no. 783. Dan ini lafaz Imam Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa agar tetap istikamah di atas agama ini, اللَّهُمَّ! ‌يَا ‌مُقَلِّبَ ‌القُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِيْنِكَ “Ya Allah, yang membolak-balikkan hati. Teguhkanlah hati kami di atas agamamu.” (Lihat Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 253 karya Syekh Al-Albani rahimahullah). Inilah sedikit tips yang bisa dilakukan agar bisa tetap istikamah. Mengingat ganjaran istikamah sangatlah besar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) pernah berkata, وَإِنَّمَا غَايَةُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ “Puncak karamah (bagi seorang hamba) adalah tetap teguh dengan keistikamahan.” (Lihat kitab Al-Furqan Baina Aulia’irrahman wa Aulia’issyaithan karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 187) Hal yang serupa dikatakan juga oleh murid beliau Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2: 106). Kendati istikamah bukanlah hal yang mudah untuk dijaga, namun ganjaran terhadap istikamah amatlah besar dan begitu menggembirakan. Semoga hal ini bisa menjadi pendorong semangat untuk tetap beramal dan tetap istikamah dalam menjalankan agama ini. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Istiqamah di atas Tauhid *** Depok, 06 Rajab 1445/ 18 Januari 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dikatakan ini merupakan syair dari Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Lihat https://www.aldiwan.net/poem30909.html Tags: istikamah

Istikamah Bukan Hal Mudah

Daftar Isi Toggle Beratnya istikamahPenghalang-penghalang istikamahBersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Mengikuti bisikan-bisikan setanMeremehkan dosaLemah semangat dan panjang angan-anganTips agar tetap istikamah Beratnya istikamah Seorang muslim dituntut untuk beristikamah dalam menjalankan dan mengamalkan syariat agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula, orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 112) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya agar istikamah. Yakni, dengan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan. Perintah ini adalah perintah yang cukup memberatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ – صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – آَيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ عَلَيِهِ “Tidak ada satu ayat pun yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih memberatkan dan menyulitkan beliau, melainkan ayat ini.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubiy surah Hud ayat 112 dan Tafsir Al-Baghawiy dalam ayat yang sama) Hal ini dikarenakan beratnya perkata istikamah. Untuk tetap tegar dan teguh di atas syariat Allah ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Saking beratnya perintah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya tidak memiliki uban. Tatkala turun ayat ini, beliau pun menjadi beruban. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas, beliau bercerita, قالَ أبو بَكْرٍ رضيَ اللَّهُ عنهُ: يا رسولَ اللَّهِ قد شِبْتَ، قالَ: شَيَّبَتْنِي هُوْدٌ، والواقعةُ، والمرسلاتُ، وعمَّ يتَسَاءَلُونَ، وإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ “Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah beruban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku dibuat beruban oleh surah Hud, surah Al-Waqi’ah, surah Al-Mursalat, ‘Amma yatasa’alun (surah An-Naba), dan Idzasy syamsu kuwwirat (surah At-Takwir).”  (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3297 disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Dikarenakan dalam surah-surah tersebut terdapat penyebutan tentang kaum-kaum terdahulu yang Allah timpakan azab-Nya kepada mereka, begitu pun tentang hari kiamat, dan perintah untuk beristikamah. Hal-hal inilah yang memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Tuhfatul Ahwadziy Syarah Sunan At-Tirmidzi) Penghalang-penghalang istikamah Karena begitu beratnya perkara istikamah ini, yaitu untuk tetap tegar dan teguh di atas agama ini dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan larangan, maka istikamah terdapat banyak penghalangnya. Berikut ini di antara penghalang-penghalang istikamah yang harus dihindari: Bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Maksudnya, kebanyakan orang yang sulit untuk istikamah dikarenakan mereka bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala dalam melakukan perbuatan dosa. Sehingga, mereka pun semakin jauh dari kata istikamah dan tenggelam dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56) Allah firmankan bahwa rahmat Allah dekat dengan orang yang baik. Apakah orang-orang yang berbuat dosa pantas dikatakan sebagai orang-orang yang berbuat baik? Mereka hanya berharap kepada rahmat Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap azab Allah. Yang seharusnya adalah rasa takut dan berharap akan rahmat Allah senantiasa berjalan beriringan dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Maka, tidak bisa seseorang berbuat dosa dengan alasan karena rahmat Allah begitu luas. Tentu ini pemahaman yang keliru dan ini termasuk dari penghalang istikamah. Mengikuti bisikan-bisikan setan Setan senantiasa membisikkan kepada hamba-hamba Allah Ta’ala agar tidak beristikamah. Inilah yang dikatakan oleh kepalanya setan, yaitu Iblis, kepada Allah, قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ “Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17) Ini sudah menjadi janji Iblis kepada Allah Ta’ala. Bahwa Iblis akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ “(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” (Allah) berfirman, “Maka, yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam denganmu dan orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” (QS. Shad: 85) Sehingga, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus berhati-hati. Jangan sampai termasuk dari pengikut bisikan-bisikan setan dan juga iblis. Karena mengikuti bisikan mereka merupakan penghalang untuk beristikamah. Meremehkan dosa Di antara penghalang untuk istikamah adalah seseorang meremehkan dosa. Sehingga, ia terjatuh ke dalam dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ “Jauhilah oleh kalian sifat meremehkan dosa! Karena dosa-dosa itu tidaklah berkumpul pada seseorang, melainkan akan membinasakannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 1: 402. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2470) Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari ibadah. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari mengerjakan kebajikan dan takwa. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari istikamah. Maka, berusahalah untuk menjauhi dosa-dosa yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah larang. Lemah semangat dan panjang angan-angan Seseorang yang lemah semangat dan panjang angan-angan akan sulit untuk istikamah. Sebagian orang ada yang hanya berangan-angan untuk beramal. Namun, ia tidak bergerak untuk beramal dan mencoba untuk istikamah. Ia tenggelam di dalam taswif (menunda-nunda) amalan dan tenggelam di dalam angan-angannya. Dalam sebuah syair dikatakan, يَا مَنْ بِدُنْيَاهُ اشْـــــتَغَلْ وَقَدْ غَرَّهُ طُوْلُ الأَمَلِ المَوْتُ يَأْتِي بَغْتَــــــــــةً وَالْقَبْرُ صُنْدُوْقُ الْعَمَلِ Wahai orang-orang yang sibuk dengan dunianya             Sungguh ia telah tertipu dengan panjangnya angan-angan Kematian akan datang kepadanya secara tiba-tiba             Kubur pun akan menjadi perbendaharaan amalnya [1] Tentu masih banyak lagi penghalang-penghalang istikamah. Setidaknya keempat hal di atas yang benar-benar harus dihindari agar kita tetap istikamah. Karena istikamah bukan hal mudah, maka perlu adanya usaha lebih untuk bisa istikamah. Baca juga: Istikamah, Anugerah Terindah Tips agar tetap istikamah Di antara tips yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar tetap istikamah yaitu, tetaplah beramal walaupun sedikit. Karena yang terpenting adalah bukan banyaknya amal, namun yang terpenting adalah tetap beramal. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang konsisten, walaupun sedikit.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5523 dan Muslim no. 783. Dan ini lafaz Imam Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa agar tetap istikamah di atas agama ini, اللَّهُمَّ! ‌يَا ‌مُقَلِّبَ ‌القُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِيْنِكَ “Ya Allah, yang membolak-balikkan hati. Teguhkanlah hati kami di atas agamamu.” (Lihat Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 253 karya Syekh Al-Albani rahimahullah). Inilah sedikit tips yang bisa dilakukan agar bisa tetap istikamah. Mengingat ganjaran istikamah sangatlah besar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) pernah berkata, وَإِنَّمَا غَايَةُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ “Puncak karamah (bagi seorang hamba) adalah tetap teguh dengan keistikamahan.” (Lihat kitab Al-Furqan Baina Aulia’irrahman wa Aulia’issyaithan karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 187) Hal yang serupa dikatakan juga oleh murid beliau Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2: 106). Kendati istikamah bukanlah hal yang mudah untuk dijaga, namun ganjaran terhadap istikamah amatlah besar dan begitu menggembirakan. Semoga hal ini bisa menjadi pendorong semangat untuk tetap beramal dan tetap istikamah dalam menjalankan agama ini. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Istiqamah di atas Tauhid *** Depok, 06 Rajab 1445/ 18 Januari 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dikatakan ini merupakan syair dari Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Lihat https://www.aldiwan.net/poem30909.html Tags: istikamah
Daftar Isi Toggle Beratnya istikamahPenghalang-penghalang istikamahBersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Mengikuti bisikan-bisikan setanMeremehkan dosaLemah semangat dan panjang angan-anganTips agar tetap istikamah Beratnya istikamah Seorang muslim dituntut untuk beristikamah dalam menjalankan dan mengamalkan syariat agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula, orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 112) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya agar istikamah. Yakni, dengan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan. Perintah ini adalah perintah yang cukup memberatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ – صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – آَيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ عَلَيِهِ “Tidak ada satu ayat pun yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih memberatkan dan menyulitkan beliau, melainkan ayat ini.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubiy surah Hud ayat 112 dan Tafsir Al-Baghawiy dalam ayat yang sama) Hal ini dikarenakan beratnya perkata istikamah. Untuk tetap tegar dan teguh di atas syariat Allah ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Saking beratnya perintah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya tidak memiliki uban. Tatkala turun ayat ini, beliau pun menjadi beruban. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas, beliau bercerita, قالَ أبو بَكْرٍ رضيَ اللَّهُ عنهُ: يا رسولَ اللَّهِ قد شِبْتَ، قالَ: شَيَّبَتْنِي هُوْدٌ، والواقعةُ، والمرسلاتُ، وعمَّ يتَسَاءَلُونَ، وإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ “Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah beruban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku dibuat beruban oleh surah Hud, surah Al-Waqi’ah, surah Al-Mursalat, ‘Amma yatasa’alun (surah An-Naba), dan Idzasy syamsu kuwwirat (surah At-Takwir).”  (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3297 disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Dikarenakan dalam surah-surah tersebut terdapat penyebutan tentang kaum-kaum terdahulu yang Allah timpakan azab-Nya kepada mereka, begitu pun tentang hari kiamat, dan perintah untuk beristikamah. Hal-hal inilah yang memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Tuhfatul Ahwadziy Syarah Sunan At-Tirmidzi) Penghalang-penghalang istikamah Karena begitu beratnya perkara istikamah ini, yaitu untuk tetap tegar dan teguh di atas agama ini dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan larangan, maka istikamah terdapat banyak penghalangnya. Berikut ini di antara penghalang-penghalang istikamah yang harus dihindari: Bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Maksudnya, kebanyakan orang yang sulit untuk istikamah dikarenakan mereka bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala dalam melakukan perbuatan dosa. Sehingga, mereka pun semakin jauh dari kata istikamah dan tenggelam dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56) Allah firmankan bahwa rahmat Allah dekat dengan orang yang baik. Apakah orang-orang yang berbuat dosa pantas dikatakan sebagai orang-orang yang berbuat baik? Mereka hanya berharap kepada rahmat Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap azab Allah. Yang seharusnya adalah rasa takut dan berharap akan rahmat Allah senantiasa berjalan beriringan dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Maka, tidak bisa seseorang berbuat dosa dengan alasan karena rahmat Allah begitu luas. Tentu ini pemahaman yang keliru dan ini termasuk dari penghalang istikamah. Mengikuti bisikan-bisikan setan Setan senantiasa membisikkan kepada hamba-hamba Allah Ta’ala agar tidak beristikamah. Inilah yang dikatakan oleh kepalanya setan, yaitu Iblis, kepada Allah, قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ “Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17) Ini sudah menjadi janji Iblis kepada Allah Ta’ala. Bahwa Iblis akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ “(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” (Allah) berfirman, “Maka, yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam denganmu dan orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” (QS. Shad: 85) Sehingga, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus berhati-hati. Jangan sampai termasuk dari pengikut bisikan-bisikan setan dan juga iblis. Karena mengikuti bisikan mereka merupakan penghalang untuk beristikamah. Meremehkan dosa Di antara penghalang untuk istikamah adalah seseorang meremehkan dosa. Sehingga, ia terjatuh ke dalam dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ “Jauhilah oleh kalian sifat meremehkan dosa! Karena dosa-dosa itu tidaklah berkumpul pada seseorang, melainkan akan membinasakannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 1: 402. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2470) Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari ibadah. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari mengerjakan kebajikan dan takwa. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari istikamah. Maka, berusahalah untuk menjauhi dosa-dosa yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah larang. Lemah semangat dan panjang angan-angan Seseorang yang lemah semangat dan panjang angan-angan akan sulit untuk istikamah. Sebagian orang ada yang hanya berangan-angan untuk beramal. Namun, ia tidak bergerak untuk beramal dan mencoba untuk istikamah. Ia tenggelam di dalam taswif (menunda-nunda) amalan dan tenggelam di dalam angan-angannya. Dalam sebuah syair dikatakan, يَا مَنْ بِدُنْيَاهُ اشْـــــتَغَلْ وَقَدْ غَرَّهُ طُوْلُ الأَمَلِ المَوْتُ يَأْتِي بَغْتَــــــــــةً وَالْقَبْرُ صُنْدُوْقُ الْعَمَلِ Wahai orang-orang yang sibuk dengan dunianya             Sungguh ia telah tertipu dengan panjangnya angan-angan Kematian akan datang kepadanya secara tiba-tiba             Kubur pun akan menjadi perbendaharaan amalnya [1] Tentu masih banyak lagi penghalang-penghalang istikamah. Setidaknya keempat hal di atas yang benar-benar harus dihindari agar kita tetap istikamah. Karena istikamah bukan hal mudah, maka perlu adanya usaha lebih untuk bisa istikamah. Baca juga: Istikamah, Anugerah Terindah Tips agar tetap istikamah Di antara tips yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar tetap istikamah yaitu, tetaplah beramal walaupun sedikit. Karena yang terpenting adalah bukan banyaknya amal, namun yang terpenting adalah tetap beramal. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang konsisten, walaupun sedikit.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5523 dan Muslim no. 783. Dan ini lafaz Imam Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa agar tetap istikamah di atas agama ini, اللَّهُمَّ! ‌يَا ‌مُقَلِّبَ ‌القُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِيْنِكَ “Ya Allah, yang membolak-balikkan hati. Teguhkanlah hati kami di atas agamamu.” (Lihat Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 253 karya Syekh Al-Albani rahimahullah). Inilah sedikit tips yang bisa dilakukan agar bisa tetap istikamah. Mengingat ganjaran istikamah sangatlah besar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) pernah berkata, وَإِنَّمَا غَايَةُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ “Puncak karamah (bagi seorang hamba) adalah tetap teguh dengan keistikamahan.” (Lihat kitab Al-Furqan Baina Aulia’irrahman wa Aulia’issyaithan karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 187) Hal yang serupa dikatakan juga oleh murid beliau Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2: 106). Kendati istikamah bukanlah hal yang mudah untuk dijaga, namun ganjaran terhadap istikamah amatlah besar dan begitu menggembirakan. Semoga hal ini bisa menjadi pendorong semangat untuk tetap beramal dan tetap istikamah dalam menjalankan agama ini. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Istiqamah di atas Tauhid *** Depok, 06 Rajab 1445/ 18 Januari 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dikatakan ini merupakan syair dari Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Lihat https://www.aldiwan.net/poem30909.html Tags: istikamah


Daftar Isi Toggle Beratnya istikamahPenghalang-penghalang istikamahBersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Mengikuti bisikan-bisikan setanMeremehkan dosaLemah semangat dan panjang angan-anganTips agar tetap istikamah Beratnya istikamah Seorang muslim dituntut untuk beristikamah dalam menjalankan dan mengamalkan syariat agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula, orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 112) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya agar istikamah. Yakni, dengan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan. Perintah ini adalah perintah yang cukup memberatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ – صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – آَيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ عَلَيِهِ “Tidak ada satu ayat pun yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih memberatkan dan menyulitkan beliau, melainkan ayat ini.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubiy surah Hud ayat 112 dan Tafsir Al-Baghawiy dalam ayat yang sama) Hal ini dikarenakan beratnya perkata istikamah. Untuk tetap tegar dan teguh di atas syariat Allah ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Saking beratnya perintah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya tidak memiliki uban. Tatkala turun ayat ini, beliau pun menjadi beruban. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas, beliau bercerita, قالَ أبو بَكْرٍ رضيَ اللَّهُ عنهُ: يا رسولَ اللَّهِ قد شِبْتَ، قالَ: شَيَّبَتْنِي هُوْدٌ، والواقعةُ، والمرسلاتُ، وعمَّ يتَسَاءَلُونَ، وإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ “Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah beruban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku dibuat beruban oleh surah Hud, surah Al-Waqi’ah, surah Al-Mursalat, ‘Amma yatasa’alun (surah An-Naba), dan Idzasy syamsu kuwwirat (surah At-Takwir).”  (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3297 disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Dikarenakan dalam surah-surah tersebut terdapat penyebutan tentang kaum-kaum terdahulu yang Allah timpakan azab-Nya kepada mereka, begitu pun tentang hari kiamat, dan perintah untuk beristikamah. Hal-hal inilah yang memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Tuhfatul Ahwadziy Syarah Sunan At-Tirmidzi) Penghalang-penghalang istikamah Karena begitu beratnya perkara istikamah ini, yaitu untuk tetap tegar dan teguh di atas agama ini dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan larangan, maka istikamah terdapat banyak penghalangnya. Berikut ini di antara penghalang-penghalang istikamah yang harus dihindari: Bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala Maksudnya, kebanyakan orang yang sulit untuk istikamah dikarenakan mereka bersandar kepada rahmat Allah Ta’ala dalam melakukan perbuatan dosa. Sehingga, mereka pun semakin jauh dari kata istikamah dan tenggelam dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56) Allah firmankan bahwa rahmat Allah dekat dengan orang yang baik. Apakah orang-orang yang berbuat dosa pantas dikatakan sebagai orang-orang yang berbuat baik? Mereka hanya berharap kepada rahmat Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap azab Allah. Yang seharusnya adalah rasa takut dan berharap akan rahmat Allah senantiasa berjalan beriringan dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Maka, tidak bisa seseorang berbuat dosa dengan alasan karena rahmat Allah begitu luas. Tentu ini pemahaman yang keliru dan ini termasuk dari penghalang istikamah. Mengikuti bisikan-bisikan setan Setan senantiasa membisikkan kepada hamba-hamba Allah Ta’ala agar tidak beristikamah. Inilah yang dikatakan oleh kepalanya setan, yaitu Iblis, kepada Allah, قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ “Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17) Ini sudah menjadi janji Iblis kepada Allah Ta’ala. Bahwa Iblis akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ “(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” (Allah) berfirman, “Maka, yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam denganmu dan orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” (QS. Shad: 85) Sehingga, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus berhati-hati. Jangan sampai termasuk dari pengikut bisikan-bisikan setan dan juga iblis. Karena mengikuti bisikan mereka merupakan penghalang untuk beristikamah. Meremehkan dosa Di antara penghalang untuk istikamah adalah seseorang meremehkan dosa. Sehingga, ia terjatuh ke dalam dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ “Jauhilah oleh kalian sifat meremehkan dosa! Karena dosa-dosa itu tidaklah berkumpul pada seseorang, melainkan akan membinasakannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 1: 402. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2470) Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari ibadah. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari mengerjakan kebajikan dan takwa. Dengan sebab dosa, seseorang dapat terhalang dari istikamah. Maka, berusahalah untuk menjauhi dosa-dosa yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam telah larang. Lemah semangat dan panjang angan-angan Seseorang yang lemah semangat dan panjang angan-angan akan sulit untuk istikamah. Sebagian orang ada yang hanya berangan-angan untuk beramal. Namun, ia tidak bergerak untuk beramal dan mencoba untuk istikamah. Ia tenggelam di dalam taswif (menunda-nunda) amalan dan tenggelam di dalam angan-angannya. Dalam sebuah syair dikatakan, يَا مَنْ بِدُنْيَاهُ اشْـــــتَغَلْ وَقَدْ غَرَّهُ طُوْلُ الأَمَلِ المَوْتُ يَأْتِي بَغْتَــــــــــةً وَالْقَبْرُ صُنْدُوْقُ الْعَمَلِ Wahai orang-orang yang sibuk dengan dunianya             Sungguh ia telah tertipu dengan panjangnya angan-angan Kematian akan datang kepadanya secara tiba-tiba             Kubur pun akan menjadi perbendaharaan amalnya [1] Tentu masih banyak lagi penghalang-penghalang istikamah. Setidaknya keempat hal di atas yang benar-benar harus dihindari agar kita tetap istikamah. Karena istikamah bukan hal mudah, maka perlu adanya usaha lebih untuk bisa istikamah. Baca juga: Istikamah, Anugerah Terindah Tips agar tetap istikamah Di antara tips yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar tetap istikamah yaitu, tetaplah beramal walaupun sedikit. Karena yang terpenting adalah bukan banyaknya amal, namun yang terpenting adalah tetap beramal. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang konsisten, walaupun sedikit.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5523 dan Muslim no. 783. Dan ini lafaz Imam Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa agar tetap istikamah di atas agama ini, اللَّهُمَّ! ‌يَا ‌مُقَلِّبَ ‌القُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِيْنِكَ “Ya Allah, yang membolak-balikkan hati. Teguhkanlah hati kami di atas agamamu.” (Lihat Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 253 karya Syekh Al-Albani rahimahullah). Inilah sedikit tips yang bisa dilakukan agar bisa tetap istikamah. Mengingat ganjaran istikamah sangatlah besar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) pernah berkata, وَإِنَّمَا غَايَةُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ “Puncak karamah (bagi seorang hamba) adalah tetap teguh dengan keistikamahan.” (Lihat kitab Al-Furqan Baina Aulia’irrahman wa Aulia’issyaithan karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 187) Hal yang serupa dikatakan juga oleh murid beliau Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2: 106). Kendati istikamah bukanlah hal yang mudah untuk dijaga, namun ganjaran terhadap istikamah amatlah besar dan begitu menggembirakan. Semoga hal ini bisa menjadi pendorong semangat untuk tetap beramal dan tetap istikamah dalam menjalankan agama ini. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Istiqamah di atas Tauhid *** Depok, 06 Rajab 1445/ 18 Januari 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dikatakan ini merupakan syair dari Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Lihat https://www.aldiwan.net/poem30909.html Tags: istikamah

Petaka di Balik Amarah

Daftar Isi Toggle Kerugian terbesar bagi pemarahMarah menyiksa diriBuah kesabaranKemuliaan pada hari kiamatSurgaPahala tanpa batasKeberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’alaMelatih diri untuk senantiasa bersabar Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya. Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia. Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya. Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah. Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia. Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini. Kerugian terbesar bagi pemarah Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu: “Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.” Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153) Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala? Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya, لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609) Marah menyiksa diri Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara. Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian? Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah. Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini, الغضب أوله جنون وآخره ندم “Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.” Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya? Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Baca juga: Marah yang Dianjurkan Buah kesabaran Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah. Kemuliaan pada hari kiamat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani) Surga Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Pahala tanpa batas Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Melatih diri untuk senantiasa bersabar Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah: Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita. Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala. Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah. Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah. Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah. Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Baca juga: Menggapai Pahala dalam Amarah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: marah

Petaka di Balik Amarah

Daftar Isi Toggle Kerugian terbesar bagi pemarahMarah menyiksa diriBuah kesabaranKemuliaan pada hari kiamatSurgaPahala tanpa batasKeberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’alaMelatih diri untuk senantiasa bersabar Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya. Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia. Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya. Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah. Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia. Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini. Kerugian terbesar bagi pemarah Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu: “Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.” Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153) Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala? Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya, لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609) Marah menyiksa diri Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara. Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian? Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah. Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini, الغضب أوله جنون وآخره ندم “Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.” Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya? Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Baca juga: Marah yang Dianjurkan Buah kesabaran Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah. Kemuliaan pada hari kiamat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani) Surga Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Pahala tanpa batas Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Melatih diri untuk senantiasa bersabar Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah: Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita. Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala. Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah. Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah. Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah. Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Baca juga: Menggapai Pahala dalam Amarah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: marah
Daftar Isi Toggle Kerugian terbesar bagi pemarahMarah menyiksa diriBuah kesabaranKemuliaan pada hari kiamatSurgaPahala tanpa batasKeberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’alaMelatih diri untuk senantiasa bersabar Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya. Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia. Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya. Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah. Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia. Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini. Kerugian terbesar bagi pemarah Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu: “Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.” Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153) Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala? Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya, لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609) Marah menyiksa diri Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara. Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian? Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah. Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini, الغضب أوله جنون وآخره ندم “Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.” Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya? Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Baca juga: Marah yang Dianjurkan Buah kesabaran Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah. Kemuliaan pada hari kiamat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani) Surga Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Pahala tanpa batas Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Melatih diri untuk senantiasa bersabar Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah: Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita. Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala. Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah. Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah. Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah. Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Baca juga: Menggapai Pahala dalam Amarah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: marah


Daftar Isi Toggle Kerugian terbesar bagi pemarahMarah menyiksa diriBuah kesabaranKemuliaan pada hari kiamatSurgaPahala tanpa batasKeberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’alaMelatih diri untuk senantiasa bersabar Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya. Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia. Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya. Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah. Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia. Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini. Kerugian terbesar bagi pemarah Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu: “Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.” Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153) Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala? Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya, لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609) Marah menyiksa diri Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara. Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian? Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah. Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini, الغضب أوله جنون وآخره ندم “Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.” Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya? Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ “Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Baca juga: Marah yang Dianjurkan Buah kesabaran Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah. Kemuliaan pada hari kiamat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani) Surga Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.) Pahala tanpa batas Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Melatih diri untuk senantiasa bersabar Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah: Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita. Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala. Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah. Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah. Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah. Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Baca juga: Menggapai Pahala dalam Amarah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: marah

Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah

Daftar Isi Toggle Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-SyaikhAkidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifatAkidah Jahmiyah dalam masalah imanAkidah Jahmiyah dalam masalah takdirAkidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain. Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat. Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat). Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia. Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk. Baca juga: Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya Akidah Jahmiyah dalam masalah iman Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah). Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui). Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali. Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal. Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya. Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417). Baca juga: Mengenal Al Qa’diyah, Salah Satu Sekte Khawarij *** Penerjemah: Yulian Purnama Artikel: Muslim.or.id Tags: jahmiyah

Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah

Daftar Isi Toggle Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-SyaikhAkidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifatAkidah Jahmiyah dalam masalah imanAkidah Jahmiyah dalam masalah takdirAkidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain. Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat. Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat). Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia. Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk. Baca juga: Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya Akidah Jahmiyah dalam masalah iman Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah). Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui). Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali. Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal. Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya. Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417). Baca juga: Mengenal Al Qa’diyah, Salah Satu Sekte Khawarij *** Penerjemah: Yulian Purnama Artikel: Muslim.or.id Tags: jahmiyah
Daftar Isi Toggle Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-SyaikhAkidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifatAkidah Jahmiyah dalam masalah imanAkidah Jahmiyah dalam masalah takdirAkidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain. Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat. Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat). Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia. Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk. Baca juga: Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya Akidah Jahmiyah dalam masalah iman Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah). Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui). Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali. Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal. Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya. Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417). Baca juga: Mengenal Al Qa’diyah, Salah Satu Sekte Khawarij *** Penerjemah: Yulian Purnama Artikel: Muslim.or.id Tags: jahmiyah


Daftar Isi Toggle Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-SyaikhAkidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifatAkidah Jahmiyah dalam masalah imanAkidah Jahmiyah dalam masalah takdirAkidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain. Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat. Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat). Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia. Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk. Baca juga: Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya Akidah Jahmiyah dalam masalah iman Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah). Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui). Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali. Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal. Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya. Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417). Baca juga: Mengenal Al Qa’diyah, Salah Satu Sekte Khawarij *** Penerjemah: Yulian Purnama Artikel: Muslim.or.id Tags: jahmiyah

Teks Khotbah Jumat: Bahaya Menyebarkan Berita dan Rumor yang Belum Jelas

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya di antara perkara yang paling berbahaya, yang dapat merusak individu dan masyarakat, mengganggu kedamaian dan melemahkan keselamatan dan keamanan mereka, adalah penyebaran rumor tidak berdasar serta informasi yang mengandung hoaks dan kesalahpahaman. Baik itu seputar politik, medis, agama, ilmiah, ataupun topik umum lainnya. Di mana sumbernya itu tidak jelas dan penulisnya tidak diketahui. Betapa banyak informasi yang dibagikan oleh manusia yang tidak ada sumbernya dan tidak dipastikan serta dikroscek terlebih dahulu. Di zaman di mana informasi begitu cepatnya tersebar, isu dan rumor begitu mudahnya tersampaikan, fakta menjadi kabur, dan berita bohong justru begitu mudahnya dikonsumsi. Seorang muslim yang hakiki, seharusnya lebih berhati-hati di dalam menyampaikan informasi yang didapatkannya, memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, serta menilai apakah yang akan disampaikannya itu memiliki kebermanfaatan untuk dirinya ataukah tidak. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bermudah-mudahan menyebarkan informasi yang baru saja kita dengar tanpa kroscek terlebih dahulu. Beliau bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafaz, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh yang dia dengar.” (HR. Abu Dawud no. 4992) Imam Malik rahimahullah juga mengatakan, اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، ولا يكون إماماً أبداً وهو يحدث بكل ما سمع “Ketahuilah bahwa tidak ada orang yang aman dan selamat jika menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidak akan mungkin seseorang menjadi pemimpin jika ia terus menceritakan apa yang dia dengar.” (Syarh Shahih Muslim) Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Hendaknya setiap muslim merenungi dan mengamalkan firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ   “Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Di dalam kitab Zubdatu At-Tafsir karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, disebutkan, “Yakni, pastikanlah kebenarannya. Dan termasuk dari memastikan adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa, dan memperhatikan urusan yang terjadi dan berita yang ada, sehingga dapat jelas kebenarannya.” Ketahuilah wahai saudaraku, tergesa-gesa di dalam menyebarkan rumor dan informasi yang belum jelas memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat kita. Berita dan rumor yang simpang siur seringkali berujung pada kekacauan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Betapa banyak hubungan persaudaraan yang putus karena rumor tak berdasar. Betapa banyak hubungan pertemanan yang menjadi renggang karena berita simpang siur yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu. Sungguh, rumor dan hoaks merupakan salah satu sumber malapetaka bagi kaum muslimin yang harus kita hindari. Mari saling membantu di antara kita dengan saling mengingatkan, menasihati keluarga kita, saudara kita, dan teman-teman kita untuk lebih berhati-hati di dalam menerima sebuah berita, terlebih lagi di dalam menyebarkannya. Tidak asal posting, sharing, dan berbagi di media sosial perihal sesuatu yang belum jelas sumber dan faktanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di antara bentuk kehati-hatian kita terhadap rumor dan berita yang sampai kepada kita adalah dengan berpikir dua kali sebelum mem-posting atau menyebarkannya. Jika pun itu berita yang benar, alangkah baiknya untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada mereka yang lebih paham agama. Layakkah berita ini kita sampaikan? Layakkah hal ini menjadi konsumsi publik? Karena tidak setiap yang kita ketahui itu harus diceritakan ke orang lain. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Menyibukkan Diri dengan Berita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Sesungguhnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari akhir nanti. Setiap perbuatan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap posting-an yang kita sebarkan, semuanya itu akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا “Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan dan mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36) Memvalidasi dan mencari kebenaran setiap berita yang sampai kepada kita sebelum menerima dan menyebarkannya merupakan salah satu sifat kaum mukminin. Jangan sampai timbul sebuah kebencian kepada saudara kita karena berita yang belum kita cari tahu kebenarannya. Jangan sampai muncul penyesalan karena timbulnya sebuah kerusakan dan keretakan hubungan hanya karena terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمغْرِبِ “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas perkaranya, yang menggelincirkannya ke neraka yang lebih luas dari jauhnya timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988) Di hadis yang lain ditegaskan, إنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن رِضْوانِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بها دَرَجاتٍ، وإنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن سَخَطِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَهْوِي بها في جَهَنَّمَ. “Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridaan Allah. Dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam.” (HR Bukhari, no. 6478) Semoga Allah senantiasa menjaga lidah kita untuk tidak berucap, kecuali yang bermanfaat bagi diri kita. Menjaga sikap dan tangan kita untuk tidak menyebarkan berita dan informasi, kecuali setelah kita teliti dan periksa terlebih dahulu kebenarannya serta kita timbang apakah hal tersebut layak untuk kita sebarkan ataukah tidak. Karena menjaga lisan merupakan pertanda keistikamahan dan lurusnya hati seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” (HR. Ahmad no. 13048) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Jangan Sembarang Share Berita Dan Wacana Yang Membuat Resah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: beritarumor

Teks Khotbah Jumat: Bahaya Menyebarkan Berita dan Rumor yang Belum Jelas

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya di antara perkara yang paling berbahaya, yang dapat merusak individu dan masyarakat, mengganggu kedamaian dan melemahkan keselamatan dan keamanan mereka, adalah penyebaran rumor tidak berdasar serta informasi yang mengandung hoaks dan kesalahpahaman. Baik itu seputar politik, medis, agama, ilmiah, ataupun topik umum lainnya. Di mana sumbernya itu tidak jelas dan penulisnya tidak diketahui. Betapa banyak informasi yang dibagikan oleh manusia yang tidak ada sumbernya dan tidak dipastikan serta dikroscek terlebih dahulu. Di zaman di mana informasi begitu cepatnya tersebar, isu dan rumor begitu mudahnya tersampaikan, fakta menjadi kabur, dan berita bohong justru begitu mudahnya dikonsumsi. Seorang muslim yang hakiki, seharusnya lebih berhati-hati di dalam menyampaikan informasi yang didapatkannya, memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, serta menilai apakah yang akan disampaikannya itu memiliki kebermanfaatan untuk dirinya ataukah tidak. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bermudah-mudahan menyebarkan informasi yang baru saja kita dengar tanpa kroscek terlebih dahulu. Beliau bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafaz, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh yang dia dengar.” (HR. Abu Dawud no. 4992) Imam Malik rahimahullah juga mengatakan, اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، ولا يكون إماماً أبداً وهو يحدث بكل ما سمع “Ketahuilah bahwa tidak ada orang yang aman dan selamat jika menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidak akan mungkin seseorang menjadi pemimpin jika ia terus menceritakan apa yang dia dengar.” (Syarh Shahih Muslim) Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Hendaknya setiap muslim merenungi dan mengamalkan firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ   “Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Di dalam kitab Zubdatu At-Tafsir karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, disebutkan, “Yakni, pastikanlah kebenarannya. Dan termasuk dari memastikan adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa, dan memperhatikan urusan yang terjadi dan berita yang ada, sehingga dapat jelas kebenarannya.” Ketahuilah wahai saudaraku, tergesa-gesa di dalam menyebarkan rumor dan informasi yang belum jelas memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat kita. Berita dan rumor yang simpang siur seringkali berujung pada kekacauan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Betapa banyak hubungan persaudaraan yang putus karena rumor tak berdasar. Betapa banyak hubungan pertemanan yang menjadi renggang karena berita simpang siur yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu. Sungguh, rumor dan hoaks merupakan salah satu sumber malapetaka bagi kaum muslimin yang harus kita hindari. Mari saling membantu di antara kita dengan saling mengingatkan, menasihati keluarga kita, saudara kita, dan teman-teman kita untuk lebih berhati-hati di dalam menerima sebuah berita, terlebih lagi di dalam menyebarkannya. Tidak asal posting, sharing, dan berbagi di media sosial perihal sesuatu yang belum jelas sumber dan faktanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di antara bentuk kehati-hatian kita terhadap rumor dan berita yang sampai kepada kita adalah dengan berpikir dua kali sebelum mem-posting atau menyebarkannya. Jika pun itu berita yang benar, alangkah baiknya untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada mereka yang lebih paham agama. Layakkah berita ini kita sampaikan? Layakkah hal ini menjadi konsumsi publik? Karena tidak setiap yang kita ketahui itu harus diceritakan ke orang lain. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Menyibukkan Diri dengan Berita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Sesungguhnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari akhir nanti. Setiap perbuatan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap posting-an yang kita sebarkan, semuanya itu akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا “Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan dan mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36) Memvalidasi dan mencari kebenaran setiap berita yang sampai kepada kita sebelum menerima dan menyebarkannya merupakan salah satu sifat kaum mukminin. Jangan sampai timbul sebuah kebencian kepada saudara kita karena berita yang belum kita cari tahu kebenarannya. Jangan sampai muncul penyesalan karena timbulnya sebuah kerusakan dan keretakan hubungan hanya karena terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمغْرِبِ “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas perkaranya, yang menggelincirkannya ke neraka yang lebih luas dari jauhnya timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988) Di hadis yang lain ditegaskan, إنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن رِضْوانِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بها دَرَجاتٍ، وإنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن سَخَطِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَهْوِي بها في جَهَنَّمَ. “Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridaan Allah. Dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam.” (HR Bukhari, no. 6478) Semoga Allah senantiasa menjaga lidah kita untuk tidak berucap, kecuali yang bermanfaat bagi diri kita. Menjaga sikap dan tangan kita untuk tidak menyebarkan berita dan informasi, kecuali setelah kita teliti dan periksa terlebih dahulu kebenarannya serta kita timbang apakah hal tersebut layak untuk kita sebarkan ataukah tidak. Karena menjaga lisan merupakan pertanda keistikamahan dan lurusnya hati seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” (HR. Ahmad no. 13048) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Jangan Sembarang Share Berita Dan Wacana Yang Membuat Resah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: beritarumor
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya di antara perkara yang paling berbahaya, yang dapat merusak individu dan masyarakat, mengganggu kedamaian dan melemahkan keselamatan dan keamanan mereka, adalah penyebaran rumor tidak berdasar serta informasi yang mengandung hoaks dan kesalahpahaman. Baik itu seputar politik, medis, agama, ilmiah, ataupun topik umum lainnya. Di mana sumbernya itu tidak jelas dan penulisnya tidak diketahui. Betapa banyak informasi yang dibagikan oleh manusia yang tidak ada sumbernya dan tidak dipastikan serta dikroscek terlebih dahulu. Di zaman di mana informasi begitu cepatnya tersebar, isu dan rumor begitu mudahnya tersampaikan, fakta menjadi kabur, dan berita bohong justru begitu mudahnya dikonsumsi. Seorang muslim yang hakiki, seharusnya lebih berhati-hati di dalam menyampaikan informasi yang didapatkannya, memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, serta menilai apakah yang akan disampaikannya itu memiliki kebermanfaatan untuk dirinya ataukah tidak. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bermudah-mudahan menyebarkan informasi yang baru saja kita dengar tanpa kroscek terlebih dahulu. Beliau bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafaz, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh yang dia dengar.” (HR. Abu Dawud no. 4992) Imam Malik rahimahullah juga mengatakan, اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، ولا يكون إماماً أبداً وهو يحدث بكل ما سمع “Ketahuilah bahwa tidak ada orang yang aman dan selamat jika menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidak akan mungkin seseorang menjadi pemimpin jika ia terus menceritakan apa yang dia dengar.” (Syarh Shahih Muslim) Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Hendaknya setiap muslim merenungi dan mengamalkan firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ   “Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Di dalam kitab Zubdatu At-Tafsir karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, disebutkan, “Yakni, pastikanlah kebenarannya. Dan termasuk dari memastikan adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa, dan memperhatikan urusan yang terjadi dan berita yang ada, sehingga dapat jelas kebenarannya.” Ketahuilah wahai saudaraku, tergesa-gesa di dalam menyebarkan rumor dan informasi yang belum jelas memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat kita. Berita dan rumor yang simpang siur seringkali berujung pada kekacauan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Betapa banyak hubungan persaudaraan yang putus karena rumor tak berdasar. Betapa banyak hubungan pertemanan yang menjadi renggang karena berita simpang siur yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu. Sungguh, rumor dan hoaks merupakan salah satu sumber malapetaka bagi kaum muslimin yang harus kita hindari. Mari saling membantu di antara kita dengan saling mengingatkan, menasihati keluarga kita, saudara kita, dan teman-teman kita untuk lebih berhati-hati di dalam menerima sebuah berita, terlebih lagi di dalam menyebarkannya. Tidak asal posting, sharing, dan berbagi di media sosial perihal sesuatu yang belum jelas sumber dan faktanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di antara bentuk kehati-hatian kita terhadap rumor dan berita yang sampai kepada kita adalah dengan berpikir dua kali sebelum mem-posting atau menyebarkannya. Jika pun itu berita yang benar, alangkah baiknya untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada mereka yang lebih paham agama. Layakkah berita ini kita sampaikan? Layakkah hal ini menjadi konsumsi publik? Karena tidak setiap yang kita ketahui itu harus diceritakan ke orang lain. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Menyibukkan Diri dengan Berita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Sesungguhnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari akhir nanti. Setiap perbuatan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap posting-an yang kita sebarkan, semuanya itu akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا “Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan dan mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36) Memvalidasi dan mencari kebenaran setiap berita yang sampai kepada kita sebelum menerima dan menyebarkannya merupakan salah satu sifat kaum mukminin. Jangan sampai timbul sebuah kebencian kepada saudara kita karena berita yang belum kita cari tahu kebenarannya. Jangan sampai muncul penyesalan karena timbulnya sebuah kerusakan dan keretakan hubungan hanya karena terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمغْرِبِ “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas perkaranya, yang menggelincirkannya ke neraka yang lebih luas dari jauhnya timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988) Di hadis yang lain ditegaskan, إنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن رِضْوانِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بها دَرَجاتٍ، وإنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن سَخَطِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَهْوِي بها في جَهَنَّمَ. “Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridaan Allah. Dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam.” (HR Bukhari, no. 6478) Semoga Allah senantiasa menjaga lidah kita untuk tidak berucap, kecuali yang bermanfaat bagi diri kita. Menjaga sikap dan tangan kita untuk tidak menyebarkan berita dan informasi, kecuali setelah kita teliti dan periksa terlebih dahulu kebenarannya serta kita timbang apakah hal tersebut layak untuk kita sebarkan ataukah tidak. Karena menjaga lisan merupakan pertanda keistikamahan dan lurusnya hati seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” (HR. Ahmad no. 13048) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Jangan Sembarang Share Berita Dan Wacana Yang Membuat Resah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: beritarumor


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya di antara perkara yang paling berbahaya, yang dapat merusak individu dan masyarakat, mengganggu kedamaian dan melemahkan keselamatan dan keamanan mereka, adalah penyebaran rumor tidak berdasar serta informasi yang mengandung hoaks dan kesalahpahaman. Baik itu seputar politik, medis, agama, ilmiah, ataupun topik umum lainnya. Di mana sumbernya itu tidak jelas dan penulisnya tidak diketahui. Betapa banyak informasi yang dibagikan oleh manusia yang tidak ada sumbernya dan tidak dipastikan serta dikroscek terlebih dahulu. Di zaman di mana informasi begitu cepatnya tersebar, isu dan rumor begitu mudahnya tersampaikan, fakta menjadi kabur, dan berita bohong justru begitu mudahnya dikonsumsi. Seorang muslim yang hakiki, seharusnya lebih berhati-hati di dalam menyampaikan informasi yang didapatkannya, memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, serta menilai apakah yang akan disampaikannya itu memiliki kebermanfaatan untuk dirinya ataukah tidak. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bermudah-mudahan menyebarkan informasi yang baru saja kita dengar tanpa kroscek terlebih dahulu. Beliau bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafaz, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh yang dia dengar.” (HR. Abu Dawud no. 4992) Imam Malik rahimahullah juga mengatakan, اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، ولا يكون إماماً أبداً وهو يحدث بكل ما سمع “Ketahuilah bahwa tidak ada orang yang aman dan selamat jika menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidak akan mungkin seseorang menjadi pemimpin jika ia terus menceritakan apa yang dia dengar.” (Syarh Shahih Muslim) Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Hendaknya setiap muslim merenungi dan mengamalkan firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ   “Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Di dalam kitab Zubdatu At-Tafsir karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, disebutkan, “Yakni, pastikanlah kebenarannya. Dan termasuk dari memastikan adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa, dan memperhatikan urusan yang terjadi dan berita yang ada, sehingga dapat jelas kebenarannya.” Ketahuilah wahai saudaraku, tergesa-gesa di dalam menyebarkan rumor dan informasi yang belum jelas memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat kita. Berita dan rumor yang simpang siur seringkali berujung pada kekacauan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Betapa banyak hubungan persaudaraan yang putus karena rumor tak berdasar. Betapa banyak hubungan pertemanan yang menjadi renggang karena berita simpang siur yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu. Sungguh, rumor dan hoaks merupakan salah satu sumber malapetaka bagi kaum muslimin yang harus kita hindari. Mari saling membantu di antara kita dengan saling mengingatkan, menasihati keluarga kita, saudara kita, dan teman-teman kita untuk lebih berhati-hati di dalam menerima sebuah berita, terlebih lagi di dalam menyebarkannya. Tidak asal posting, sharing, dan berbagi di media sosial perihal sesuatu yang belum jelas sumber dan faktanya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di antara bentuk kehati-hatian kita terhadap rumor dan berita yang sampai kepada kita adalah dengan berpikir dua kali sebelum mem-posting atau menyebarkannya. Jika pun itu berita yang benar, alangkah baiknya untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada mereka yang lebih paham agama. Layakkah berita ini kita sampaikan? Layakkah hal ini menjadi konsumsi publik? Karena tidak setiap yang kita ketahui itu harus diceritakan ke orang lain. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Menyibukkan Diri dengan Berita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Sesungguhnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari akhir nanti. Setiap perbuatan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap posting-an yang kita sebarkan, semuanya itu akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا “Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan dan mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36) Memvalidasi dan mencari kebenaran setiap berita yang sampai kepada kita sebelum menerima dan menyebarkannya merupakan salah satu sifat kaum mukminin. Jangan sampai timbul sebuah kebencian kepada saudara kita karena berita yang belum kita cari tahu kebenarannya. Jangan sampai muncul penyesalan karena timbulnya sebuah kerusakan dan keretakan hubungan hanya karena terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمغْرِبِ “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas perkaranya, yang menggelincirkannya ke neraka yang lebih luas dari jauhnya timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988) Di hadis yang lain ditegaskan, إنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن رِضْوانِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بها دَرَجاتٍ، وإنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن سَخَطِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَهْوِي بها في جَهَنَّمَ. “Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridaan Allah. Dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam.” (HR Bukhari, no. 6478) Semoga Allah senantiasa menjaga lidah kita untuk tidak berucap, kecuali yang bermanfaat bagi diri kita. Menjaga sikap dan tangan kita untuk tidak menyebarkan berita dan informasi, kecuali setelah kita teliti dan periksa terlebih dahulu kebenarannya serta kita timbang apakah hal tersebut layak untuk kita sebarkan ataukah tidak. Karena menjaga lisan merupakan pertanda keistikamahan dan lurusnya hati seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” (HR. Ahmad no. 13048) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Jangan Sembarang Share Berita Dan Wacana Yang Membuat Resah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: beritarumor

Hanya Doa yang Mengubah Takdirmu – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Termasuk beriman kepada takdir dan keempat tingkatannya adalah beriman dengan tingkatan al-Kitābah (Penulisan Takdir), yang mana ini berkaitan dengan masalah doa. Ada sebuah riwayat sahih bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ”Tiada yang bisa menolak takdir kecuali doa.” (HR. Ibnu Majah) Jadi, doa bisa menolak dan mengubah takdir. Makna doa bisa mengubahnya dan maksud takdir yang berubah karena doa adalah sebagaimana yang tersebut dalam Kitabullah ʿAzza wa Jalla ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Ali —Semoga Allah Meridainya— ketika membaca ayat ini mengatakan bahwa Allah ʿAzza wa Jalla Memiliki sebuah kitab, sebuah kitab di langit dunia yang dilihat oleh para malaikat untuk menurunkan urusan rezeki, hujan, pencabutan nyawa, dan lain-lain. Inilah yang Allah ʿAzza wa Jalla Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Dalam kitab itu tertulis bahwa rezeki si fulan sekian, tetapi jika dia berdoa akan ditambah, dan jika tidak berdoa, akan dikurangi. Dalam kitab itu tertulis bahwa umurnya sekian, jika dia berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi, maka umurnya akan ditambah, dan jika tidak melakukannya, umurnya akan dikurangi. Demikian juga dengan segala yang telah Allah ʿAzza wa Jalla Takdirkan. Inilah yang Allah Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Jadi, doa bisa mengubah apa yang tertulis dalam kitab yang ada di langit dunia ini. Adapun Kitab yang ada di sisi-Nya dan ilmu-Nya Subẖānahu wa Taʿālā, maka tidak akan berubah maupun berganti. “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Jadi, termasuk beriman dengan takdir dan ketetapan Allah dan dengan doa yang menjadi syarat dikabulkannya doa adalah dengan Anda beriman bahwa Allah ʿAzza wa Jalla akan Mengabulkan doa. Termasuk cara-Nya mengabulkan doa adalah diubahnya perkara yang telah ditetapkan dan ditulis di langit dunia yang berdasarkan itulah para malaikat turun dan melihat rezeki-rezeki para hamba. ==== وَإِنَّ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَدَرِ وَمَرَاتِبِهِ الْأَرْبَعِ الْإِيمَانُ بِمَرْتَبَةِ الْكِتَابَةِ وَهَذَا يَتَعَلَّقُ بِالدُّعَاءِ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَمَا غَيَّرَ الْقَدَرَ وَمَا رَدَّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه فَالدُّعَاءُ يَرُدُّ الْقَدَرَ وَيُغَيِّرُهُ وَمَعْنَى تَغْيِيرِهِ لِلدُّعَاءِ وَمَعْنَى تَغْيِيرِ الدُّعَاءِ لِلْقَدَرِ مَا جَاءَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حِينَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ إِنَّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ كِتَابًا كِتَابٌ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا تَنْظُرُ فِيهِ الْمَلَائِكَةُ فَتَتَنَزَّلُ بِالرِّزْقِ وَالْقَطْرِ وَقَبْضِ الرُّوحِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذَا يَمْحُوا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ مَكْتُوبٌ فِيهِ أَنَّ رِزْقَ فُلَانٍ كَذَا فَإِنْ دَعَا زِيْدَ فِيهِ وَإِنْ تَرَكَ الدُّعَاءَ نُقِصَ مِنْهُ مَكْتُوبٌ أَنَّ عُمْرَهُ كَذَا فَإِنْ بَرَّ وَالِدَيهِ وَوَصَلَ رَحِمَهُ زِيدَ فِي عُمْرِهِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ نُقِصَ مِنْ عُمْرِهِ وَهَكَذَا مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي قَدَّرَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذَا الَّذِي يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ فِيهِ وَيُثْبِتُ فَالدُّعَاءُ يُغَيِّرُ مَا فِي الْكِتَابِ الْمَوْجُودِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْكِتَابُ الَّذِي عِنْدَهُ وَعِلْمُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَلَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ إِذَنْ فَمِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَمِنَ الْإِيمَانِ بِالدُّعَاءِ الَّذِي هُوَ شَرْطٌ لِإِجَابَتِهِ أَنَّ تُؤْمِنُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَجِيبُ الدُّعَاءَ وَمِنِ اسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ تَغْيِيرُ الْمَقْدُورِ وَالْمَكْتُوبِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا الَّذِي تَتَنَزَّلُ بِهِ الْمَلَاَئِكَةُ وَتَنْظُرُ أَرْزَاقَ الْعِبَادِ

Hanya Doa yang Mengubah Takdirmu – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Termasuk beriman kepada takdir dan keempat tingkatannya adalah beriman dengan tingkatan al-Kitābah (Penulisan Takdir), yang mana ini berkaitan dengan masalah doa. Ada sebuah riwayat sahih bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ”Tiada yang bisa menolak takdir kecuali doa.” (HR. Ibnu Majah) Jadi, doa bisa menolak dan mengubah takdir. Makna doa bisa mengubahnya dan maksud takdir yang berubah karena doa adalah sebagaimana yang tersebut dalam Kitabullah ʿAzza wa Jalla ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Ali —Semoga Allah Meridainya— ketika membaca ayat ini mengatakan bahwa Allah ʿAzza wa Jalla Memiliki sebuah kitab, sebuah kitab di langit dunia yang dilihat oleh para malaikat untuk menurunkan urusan rezeki, hujan, pencabutan nyawa, dan lain-lain. Inilah yang Allah ʿAzza wa Jalla Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Dalam kitab itu tertulis bahwa rezeki si fulan sekian, tetapi jika dia berdoa akan ditambah, dan jika tidak berdoa, akan dikurangi. Dalam kitab itu tertulis bahwa umurnya sekian, jika dia berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi, maka umurnya akan ditambah, dan jika tidak melakukannya, umurnya akan dikurangi. Demikian juga dengan segala yang telah Allah ʿAzza wa Jalla Takdirkan. Inilah yang Allah Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Jadi, doa bisa mengubah apa yang tertulis dalam kitab yang ada di langit dunia ini. Adapun Kitab yang ada di sisi-Nya dan ilmu-Nya Subẖānahu wa Taʿālā, maka tidak akan berubah maupun berganti. “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Jadi, termasuk beriman dengan takdir dan ketetapan Allah dan dengan doa yang menjadi syarat dikabulkannya doa adalah dengan Anda beriman bahwa Allah ʿAzza wa Jalla akan Mengabulkan doa. Termasuk cara-Nya mengabulkan doa adalah diubahnya perkara yang telah ditetapkan dan ditulis di langit dunia yang berdasarkan itulah para malaikat turun dan melihat rezeki-rezeki para hamba. ==== وَإِنَّ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَدَرِ وَمَرَاتِبِهِ الْأَرْبَعِ الْإِيمَانُ بِمَرْتَبَةِ الْكِتَابَةِ وَهَذَا يَتَعَلَّقُ بِالدُّعَاءِ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَمَا غَيَّرَ الْقَدَرَ وَمَا رَدَّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه فَالدُّعَاءُ يَرُدُّ الْقَدَرَ وَيُغَيِّرُهُ وَمَعْنَى تَغْيِيرِهِ لِلدُّعَاءِ وَمَعْنَى تَغْيِيرِ الدُّعَاءِ لِلْقَدَرِ مَا جَاءَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حِينَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ إِنَّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ كِتَابًا كِتَابٌ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا تَنْظُرُ فِيهِ الْمَلَائِكَةُ فَتَتَنَزَّلُ بِالرِّزْقِ وَالْقَطْرِ وَقَبْضِ الرُّوحِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذَا يَمْحُوا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ مَكْتُوبٌ فِيهِ أَنَّ رِزْقَ فُلَانٍ كَذَا فَإِنْ دَعَا زِيْدَ فِيهِ وَإِنْ تَرَكَ الدُّعَاءَ نُقِصَ مِنْهُ مَكْتُوبٌ أَنَّ عُمْرَهُ كَذَا فَإِنْ بَرَّ وَالِدَيهِ وَوَصَلَ رَحِمَهُ زِيدَ فِي عُمْرِهِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ نُقِصَ مِنْ عُمْرِهِ وَهَكَذَا مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي قَدَّرَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذَا الَّذِي يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ فِيهِ وَيُثْبِتُ فَالدُّعَاءُ يُغَيِّرُ مَا فِي الْكِتَابِ الْمَوْجُودِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْكِتَابُ الَّذِي عِنْدَهُ وَعِلْمُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَلَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ إِذَنْ فَمِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَمِنَ الْإِيمَانِ بِالدُّعَاءِ الَّذِي هُوَ شَرْطٌ لِإِجَابَتِهِ أَنَّ تُؤْمِنُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَجِيبُ الدُّعَاءَ وَمِنِ اسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ تَغْيِيرُ الْمَقْدُورِ وَالْمَكْتُوبِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا الَّذِي تَتَنَزَّلُ بِهِ الْمَلَاَئِكَةُ وَتَنْظُرُ أَرْزَاقَ الْعِبَادِ
Termasuk beriman kepada takdir dan keempat tingkatannya adalah beriman dengan tingkatan al-Kitābah (Penulisan Takdir), yang mana ini berkaitan dengan masalah doa. Ada sebuah riwayat sahih bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ”Tiada yang bisa menolak takdir kecuali doa.” (HR. Ibnu Majah) Jadi, doa bisa menolak dan mengubah takdir. Makna doa bisa mengubahnya dan maksud takdir yang berubah karena doa adalah sebagaimana yang tersebut dalam Kitabullah ʿAzza wa Jalla ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Ali —Semoga Allah Meridainya— ketika membaca ayat ini mengatakan bahwa Allah ʿAzza wa Jalla Memiliki sebuah kitab, sebuah kitab di langit dunia yang dilihat oleh para malaikat untuk menurunkan urusan rezeki, hujan, pencabutan nyawa, dan lain-lain. Inilah yang Allah ʿAzza wa Jalla Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Dalam kitab itu tertulis bahwa rezeki si fulan sekian, tetapi jika dia berdoa akan ditambah, dan jika tidak berdoa, akan dikurangi. Dalam kitab itu tertulis bahwa umurnya sekian, jika dia berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi, maka umurnya akan ditambah, dan jika tidak melakukannya, umurnya akan dikurangi. Demikian juga dengan segala yang telah Allah ʿAzza wa Jalla Takdirkan. Inilah yang Allah Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Jadi, doa bisa mengubah apa yang tertulis dalam kitab yang ada di langit dunia ini. Adapun Kitab yang ada di sisi-Nya dan ilmu-Nya Subẖānahu wa Taʿālā, maka tidak akan berubah maupun berganti. “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Jadi, termasuk beriman dengan takdir dan ketetapan Allah dan dengan doa yang menjadi syarat dikabulkannya doa adalah dengan Anda beriman bahwa Allah ʿAzza wa Jalla akan Mengabulkan doa. Termasuk cara-Nya mengabulkan doa adalah diubahnya perkara yang telah ditetapkan dan ditulis di langit dunia yang berdasarkan itulah para malaikat turun dan melihat rezeki-rezeki para hamba. ==== وَإِنَّ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَدَرِ وَمَرَاتِبِهِ الْأَرْبَعِ الْإِيمَانُ بِمَرْتَبَةِ الْكِتَابَةِ وَهَذَا يَتَعَلَّقُ بِالدُّعَاءِ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَمَا غَيَّرَ الْقَدَرَ وَمَا رَدَّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه فَالدُّعَاءُ يَرُدُّ الْقَدَرَ وَيُغَيِّرُهُ وَمَعْنَى تَغْيِيرِهِ لِلدُّعَاءِ وَمَعْنَى تَغْيِيرِ الدُّعَاءِ لِلْقَدَرِ مَا جَاءَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حِينَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ إِنَّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ كِتَابًا كِتَابٌ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا تَنْظُرُ فِيهِ الْمَلَائِكَةُ فَتَتَنَزَّلُ بِالرِّزْقِ وَالْقَطْرِ وَقَبْضِ الرُّوحِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذَا يَمْحُوا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ مَكْتُوبٌ فِيهِ أَنَّ رِزْقَ فُلَانٍ كَذَا فَإِنْ دَعَا زِيْدَ فِيهِ وَإِنْ تَرَكَ الدُّعَاءَ نُقِصَ مِنْهُ مَكْتُوبٌ أَنَّ عُمْرَهُ كَذَا فَإِنْ بَرَّ وَالِدَيهِ وَوَصَلَ رَحِمَهُ زِيدَ فِي عُمْرِهِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ نُقِصَ مِنْ عُمْرِهِ وَهَكَذَا مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي قَدَّرَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذَا الَّذِي يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ فِيهِ وَيُثْبِتُ فَالدُّعَاءُ يُغَيِّرُ مَا فِي الْكِتَابِ الْمَوْجُودِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْكِتَابُ الَّذِي عِنْدَهُ وَعِلْمُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَلَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ إِذَنْ فَمِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَمِنَ الْإِيمَانِ بِالدُّعَاءِ الَّذِي هُوَ شَرْطٌ لِإِجَابَتِهِ أَنَّ تُؤْمِنُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَجِيبُ الدُّعَاءَ وَمِنِ اسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ تَغْيِيرُ الْمَقْدُورِ وَالْمَكْتُوبِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا الَّذِي تَتَنَزَّلُ بِهِ الْمَلَاَئِكَةُ وَتَنْظُرُ أَرْزَاقَ الْعِبَادِ


Termasuk beriman kepada takdir dan keempat tingkatannya adalah beriman dengan tingkatan al-Kitābah (Penulisan Takdir), yang mana ini berkaitan dengan masalah doa. Ada sebuah riwayat sahih bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ”Tiada yang bisa menolak takdir kecuali doa.” (HR. Ibnu Majah) Jadi, doa bisa menolak dan mengubah takdir. Makna doa bisa mengubahnya dan maksud takdir yang berubah karena doa adalah sebagaimana yang tersebut dalam Kitabullah ʿAzza wa Jalla ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Ali —Semoga Allah Meridainya— ketika membaca ayat ini mengatakan bahwa Allah ʿAzza wa Jalla Memiliki sebuah kitab, sebuah kitab di langit dunia yang dilihat oleh para malaikat untuk menurunkan urusan rezeki, hujan, pencabutan nyawa, dan lain-lain. Inilah yang Allah ʿAzza wa Jalla Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Dalam kitab itu tertulis bahwa rezeki si fulan sekian, tetapi jika dia berdoa akan ditambah, dan jika tidak berdoa, akan dikurangi. Dalam kitab itu tertulis bahwa umurnya sekian, jika dia berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi, maka umurnya akan ditambah, dan jika tidak melakukannya, umurnya akan dikurangi. Demikian juga dengan segala yang telah Allah ʿAzza wa Jalla Takdirkan. Inilah yang Allah Hapus dan Tetapkan sekehendak-Nya. Jadi, doa bisa mengubah apa yang tertulis dalam kitab yang ada di langit dunia ini. Adapun Kitab yang ada di sisi-Nya dan ilmu-Nya Subẖānahu wa Taʿālā, maka tidak akan berubah maupun berganti. “Allah Menghapus dan Menetapkan sekehendak-Nya, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Jadi, termasuk beriman dengan takdir dan ketetapan Allah dan dengan doa yang menjadi syarat dikabulkannya doa adalah dengan Anda beriman bahwa Allah ʿAzza wa Jalla akan Mengabulkan doa. Termasuk cara-Nya mengabulkan doa adalah diubahnya perkara yang telah ditetapkan dan ditulis di langit dunia yang berdasarkan itulah para malaikat turun dan melihat rezeki-rezeki para hamba. ==== وَإِنَّ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَدَرِ وَمَرَاتِبِهِ الْأَرْبَعِ الْإِيمَانُ بِمَرْتَبَةِ الْكِتَابَةِ وَهَذَا يَتَعَلَّقُ بِالدُّعَاءِ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَمَا غَيَّرَ الْقَدَرَ وَمَا رَدَّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه فَالدُّعَاءُ يَرُدُّ الْقَدَرَ وَيُغَيِّرُهُ وَمَعْنَى تَغْيِيرِهِ لِلدُّعَاءِ وَمَعْنَى تَغْيِيرِ الدُّعَاءِ لِلْقَدَرِ مَا جَاءَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حِينَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ إِنَّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ كِتَابًا كِتَابٌ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا تَنْظُرُ فِيهِ الْمَلَائِكَةُ فَتَتَنَزَّلُ بِالرِّزْقِ وَالْقَطْرِ وَقَبْضِ الرُّوحِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذَا يَمْحُوا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ مَكْتُوبٌ فِيهِ أَنَّ رِزْقَ فُلَانٍ كَذَا فَإِنْ دَعَا زِيْدَ فِيهِ وَإِنْ تَرَكَ الدُّعَاءَ نُقِصَ مِنْهُ مَكْتُوبٌ أَنَّ عُمْرَهُ كَذَا فَإِنْ بَرَّ وَالِدَيهِ وَوَصَلَ رَحِمَهُ زِيدَ فِي عُمْرِهِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ نُقِصَ مِنْ عُمْرِهِ وَهَكَذَا مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي قَدَّرَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذَا الَّذِي يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ فِيهِ وَيُثْبِتُ فَالدُّعَاءُ يُغَيِّرُ مَا فِي الْكِتَابِ الْمَوْجُودِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْكِتَابُ الَّذِي عِنْدَهُ وَعِلْمُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَلَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ إِذَنْ فَمِنَ الْإِيمَانِ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَمِنَ الْإِيمَانِ بِالدُّعَاءِ الَّذِي هُوَ شَرْطٌ لِإِجَابَتِهِ أَنَّ تُؤْمِنُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَجِيبُ الدُّعَاءَ وَمِنِ اسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ تَغْيِيرُ الْمَقْدُورِ وَالْمَكْتُوبِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا الَّذِي تَتَنَزَّلُ بِهِ الْمَلَاَئِكَةُ وَتَنْظُرُ أَرْزَاقَ الْعِبَادِ

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 1): Mukadimah

Daftar Isi Toggle Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun NadaHal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun Nada Di antara kitab kaidah nahwu dalam bahasa Arab yang sangat penting dipelajari adalah kitab Qathrun Nada yang ditulis dan di-syarah (diberi penjelasan) oleh Al-’Alamah Abu Muhammad Abdullah Ibn Hisyam Al-Anshari, masyhur dengan panggilan Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam wafat tahun 761 H. Kemudian, Syekh Abdullah Al-Fauzan men-syarah kitab ini yang kemudian diberi judul Ta’jilun Nada setelah beliau selesai mengajarkannya pada suatu majelis yang ada di salah satu masjid. Majelis beliau dilaksanakan satu kali dalam sepekan dimulai semenjak Selasa sore tanggal 13 Syawal 1415 H dan selesai pada Selasa sore tanggal 16 Zulkaidah 1417 H. Beliau menulis kitab ini berdasarkan penjelasan yang beliau sampaikan di majelis dengan beberapa revisi. Metodologi yang beliau gunakan di dalam kitab ini adalah: Pertama: Syekh Abdullah Al-Fauzan menulis penjelasan kitab tersebut dengan metode yang mudah, agar penuntut ilmu pemula mudah memahaminya. Kitab tersebut bisa dipelajari setelah kitab Matan Al-Ajurrumiyyah. Kedua: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan khilaf (perbedaan pendapat) dalam nahwu. Beliau hanya menuliskan pendapat yang kuat. Kecuali, khilaf yang ditegaskan Ibnu Hisyam di Matan Qathrun Nada, dan itu pun sedikit. Adapun khilaf yang ada dalam nahwu mayoritas adalah khilaf tanawwu’. Apabila salah memilih dalam khilaf tanawwu’ dalam nahwu, maka konsekuensinya tidak fatal. Tentunya khilaf tanawwu’ tersebut tidak berdampak besar pada i’tiqad seseorang (keyakinan seorang muslim kepada Allah Ta’ala) dan amalan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Oleh karena itulah, Syekh Abdullah Al-Fauzan menghindari penyebutan permasalahan khilaf nahwu di dalam syarah. Ketiga: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan ta’lil. Ta’lil nahwu adalah alasan-alasan dalam nahwu. Contohnya adalah kenapa mutabda itu marfu’, khobar itu marfu’, dan lain-lain. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, ulama berselisih dalam menjawabnya. Adapun penuntut ilmu cenderung kesusahan dalam memahaminya, terlebih-lebih pemula dalam mempelajari nahwu. Hal tersebut juga tidak terlalu bermanfaat. Yang terpenting adalah mengetahui cara baca kitab gundul dan mengetahui i’rab setiap kata di dalam kalimat. Keempat: Syekh Abdullah Al-Fauzan memperhatikan i’rab dari contoh-contoh yang ditulis di kitab ini. Ada yang diambil dari Al-Qur’an dan syair-syair Arab jahiliah pada dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam. Syair Arab dianggap tingkat kefasihannya paling tinggi setelah Al-Qur’an. Namun, ada beberapa contoh yang tidak di-i’rab oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan karena dianggap i’rab-nya mudah bagi pembaca. Kelima: Syekh Abdullah Al-Fauzan memberikan judul pada setiap bab sebagaimana kitab nahwu yang lain, agar pembaca mengetahui materi apa yang akan dipelajari, pembahasan sesuai dengan judul, dan materi tidak keluar dari judul pembahasan. Syarah dalam kitab ini adalah syarah yang ringkas yang berisi pengetahuan-pengetahuan umum yang ditunjang dan merujuk kepada kitab-kitab nahwu klasik, yaitu: Audhahu Al-Masalik Syarh Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Syarhu Ibnu Aqil Syarh Alfiyah Ibni Malik karya Ibnu Aqil, An-Nahwu Al-Wafiy, Syarhu Al-Fakihiy Kitab Qathrun Nada dan Kitab An-Nahwu Al-Wadhih, dan kitab-kitab lainya. Baca juga: Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama Hal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Ibnu Hisyam telah menulis Syarah Matan Qathrun Nada dengan syarah yang cukup. Akan tetapi, Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan berpendapat ada 2 hal yang perlu diketahui sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada, yaitu: Pertama: Ibnu Hisyam terkadang merinci pembahasan pada sebagian permasalahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab nahwu yang tebal dan Ibnu Hisyam juga memberikan contohnya. Padahal, khilaf yang disampaikan tidak terlalu berfaedah. Dari sudut pandang ini, tidak cocok dengan judul matan. Karena judul syarah adalah qatrun yang artinya tetesan. Maksudnya adalah ringkas. Akan tetapi, pada kitab Syarah Ibnu Hisyam berpanjang lebar. Di sisi lain, penuntut ilmu pemula cenderung kesusahan dalam memahaminya. Kedua: Pada kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam tidak terdapat pembahasan tentang masalah yang ada pada matan Qathrun Nada. Pada matan ada, namun pada syarah tidak dibahas. Di antara pembahasan yang tidak disebutkan adalah: Kata عَالَمُوْنَ (segala sesuatu yang selain Allah). Kata tersebut dinamakan isim mulhaq (distatuskan sama dengan) jamak mudzakkar salim. Kata tersebut dikatakan mulhaq jamak mudzakar salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai isim jamak mudzakar salim. Dikarenakan syarat isim jamak mudzakar salim harus عَاقِلٌ (berakal). Akan tetapi, kata tersebut غَيْرُ العَاقِلِ (tidak berakal). Oleh karena itu, kata عَالَمُوْنَ dinamakan isim mulhaq jamak mudzakar salim. Kata ini tidak dibahas dalam kitab Syarah Ibnu Hisyam. أُوْلَاتٌ (pemilik). Kata tersebut juga tidak disebutkan pada kitab syarah-nya Ibnu Hisyam. Kata tersebut dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai jamak muannats salim. Oleh karena itu, dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim. Mendahulukan maf’ul bih (objek). Contoh: ضَرَبْتُ زَيْدًا (Aku telah memukul Zaid). ضَرَبْتُ adalah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek), sedangkan kata زَيْدًا adalah maf’ul bih. Maf’ul bih boleh didahulukan, sehingga dibaca  زَيْدًا ضَرَبْتُ. Ketika maf’ul bih didahulukan, maka menunjukkan makna pembatasan. Kaidahnya adalah mendahulukan sesuatu yang harusnya di belakang, maka menimbulkan makna pembatasan. Pembahasan ini juga tidak disebutkan dalam kitab syarah. Kata yang tidak disebutkan di dalam kitab syarah-nya Ibnu Hisyam adalah fa’il نِعْمَ (sebaik-baik) yang ma’rifah dengan أل jinsiyah. Ibnu Hisyam menyebutkan dalam Matan Qathrun Nada bahwasanya, mufassar untuk fa’il نِعْمَ apabila berupa dhamir (kata ganti), maka dia harus menyesuaikan dengan makhsus. Akan tetapi, di dalam kitab syarah tersebut tidak disebutkan kesesuaian hal tersebut. Ibnu Hisyam menyebutkan sebagian hukum isim fi’il di Matan Qathrun Nada. Akan tetapi, tidak disajikan hukum isim fi’il pada kitab syarahnya. Pada kitab syarah Ibnu Hisyam halaman 260 yang di-tahqiq oleh Muhammad Abdil Hamid, terdapat pada Matan Qathrun Nada dalil nahwu berupa syair. Akan tetapi, di kitab syarah adalah bait syair yang lain. Pada pembahasan التَنَازُعُ , Ibnu Hisyam menyebutkan dalil syair. Akan tetapi, pada kitab syarah Ibnu Hisyam tidak membahas bait syair tersebut. Syekh Abdullah Ibnu Shalih Al-Fauzan berprasangka baik, bahwasanya catatan yang dituliskan oleh beliau bisa jadi dikarenakan Ibnu Hisyam mengabaikan hal-hal tersebut atau bisa jadi dikarenakan penjelasan tersebut memang tidak ada pada sebagian naskah. Ibnu Hisyam mengabaikan hal tersebut bisa jadi karena dianggap sudah jelas, sehingga tidak perlu dijelaskan kembali. Sebagaimana pada setiap zaman, tingkat keilmuan manusia berbeda-beda. Bisa jadi pada zaman Ibnu Hisyam, tingkat pengetahuan bahasa Arab mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Bisa jadi pada zaman ini dianggap susah, akan tetapi pada zaman Ibnu Hisyam dianggap mudah, sehingga Ibnu Hisyam tidak men-syarah penjelasan tersebut. Sebagaimana pada awal munculnya ilmu nahwu hanya membahas mubtada dan khabar, fa’il, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah berkembangnya zaman, semakin banyak poin-poin yang samar bagi orang Arab sendiri untuk memahaminya, sehingga muncullah kaidah-kaidah baru. Seperti maf’ul muthlaq, dan lain-lain. Lanjut ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 1): Mukadimah

Daftar Isi Toggle Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun NadaHal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun Nada Di antara kitab kaidah nahwu dalam bahasa Arab yang sangat penting dipelajari adalah kitab Qathrun Nada yang ditulis dan di-syarah (diberi penjelasan) oleh Al-’Alamah Abu Muhammad Abdullah Ibn Hisyam Al-Anshari, masyhur dengan panggilan Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam wafat tahun 761 H. Kemudian, Syekh Abdullah Al-Fauzan men-syarah kitab ini yang kemudian diberi judul Ta’jilun Nada setelah beliau selesai mengajarkannya pada suatu majelis yang ada di salah satu masjid. Majelis beliau dilaksanakan satu kali dalam sepekan dimulai semenjak Selasa sore tanggal 13 Syawal 1415 H dan selesai pada Selasa sore tanggal 16 Zulkaidah 1417 H. Beliau menulis kitab ini berdasarkan penjelasan yang beliau sampaikan di majelis dengan beberapa revisi. Metodologi yang beliau gunakan di dalam kitab ini adalah: Pertama: Syekh Abdullah Al-Fauzan menulis penjelasan kitab tersebut dengan metode yang mudah, agar penuntut ilmu pemula mudah memahaminya. Kitab tersebut bisa dipelajari setelah kitab Matan Al-Ajurrumiyyah. Kedua: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan khilaf (perbedaan pendapat) dalam nahwu. Beliau hanya menuliskan pendapat yang kuat. Kecuali, khilaf yang ditegaskan Ibnu Hisyam di Matan Qathrun Nada, dan itu pun sedikit. Adapun khilaf yang ada dalam nahwu mayoritas adalah khilaf tanawwu’. Apabila salah memilih dalam khilaf tanawwu’ dalam nahwu, maka konsekuensinya tidak fatal. Tentunya khilaf tanawwu’ tersebut tidak berdampak besar pada i’tiqad seseorang (keyakinan seorang muslim kepada Allah Ta’ala) dan amalan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Oleh karena itulah, Syekh Abdullah Al-Fauzan menghindari penyebutan permasalahan khilaf nahwu di dalam syarah. Ketiga: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan ta’lil. Ta’lil nahwu adalah alasan-alasan dalam nahwu. Contohnya adalah kenapa mutabda itu marfu’, khobar itu marfu’, dan lain-lain. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, ulama berselisih dalam menjawabnya. Adapun penuntut ilmu cenderung kesusahan dalam memahaminya, terlebih-lebih pemula dalam mempelajari nahwu. Hal tersebut juga tidak terlalu bermanfaat. Yang terpenting adalah mengetahui cara baca kitab gundul dan mengetahui i’rab setiap kata di dalam kalimat. Keempat: Syekh Abdullah Al-Fauzan memperhatikan i’rab dari contoh-contoh yang ditulis di kitab ini. Ada yang diambil dari Al-Qur’an dan syair-syair Arab jahiliah pada dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam. Syair Arab dianggap tingkat kefasihannya paling tinggi setelah Al-Qur’an. Namun, ada beberapa contoh yang tidak di-i’rab oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan karena dianggap i’rab-nya mudah bagi pembaca. Kelima: Syekh Abdullah Al-Fauzan memberikan judul pada setiap bab sebagaimana kitab nahwu yang lain, agar pembaca mengetahui materi apa yang akan dipelajari, pembahasan sesuai dengan judul, dan materi tidak keluar dari judul pembahasan. Syarah dalam kitab ini adalah syarah yang ringkas yang berisi pengetahuan-pengetahuan umum yang ditunjang dan merujuk kepada kitab-kitab nahwu klasik, yaitu: Audhahu Al-Masalik Syarh Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Syarhu Ibnu Aqil Syarh Alfiyah Ibni Malik karya Ibnu Aqil, An-Nahwu Al-Wafiy, Syarhu Al-Fakihiy Kitab Qathrun Nada dan Kitab An-Nahwu Al-Wadhih, dan kitab-kitab lainya. Baca juga: Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama Hal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Ibnu Hisyam telah menulis Syarah Matan Qathrun Nada dengan syarah yang cukup. Akan tetapi, Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan berpendapat ada 2 hal yang perlu diketahui sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada, yaitu: Pertama: Ibnu Hisyam terkadang merinci pembahasan pada sebagian permasalahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab nahwu yang tebal dan Ibnu Hisyam juga memberikan contohnya. Padahal, khilaf yang disampaikan tidak terlalu berfaedah. Dari sudut pandang ini, tidak cocok dengan judul matan. Karena judul syarah adalah qatrun yang artinya tetesan. Maksudnya adalah ringkas. Akan tetapi, pada kitab Syarah Ibnu Hisyam berpanjang lebar. Di sisi lain, penuntut ilmu pemula cenderung kesusahan dalam memahaminya. Kedua: Pada kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam tidak terdapat pembahasan tentang masalah yang ada pada matan Qathrun Nada. Pada matan ada, namun pada syarah tidak dibahas. Di antara pembahasan yang tidak disebutkan adalah: Kata عَالَمُوْنَ (segala sesuatu yang selain Allah). Kata tersebut dinamakan isim mulhaq (distatuskan sama dengan) jamak mudzakkar salim. Kata tersebut dikatakan mulhaq jamak mudzakar salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai isim jamak mudzakar salim. Dikarenakan syarat isim jamak mudzakar salim harus عَاقِلٌ (berakal). Akan tetapi, kata tersebut غَيْرُ العَاقِلِ (tidak berakal). Oleh karena itu, kata عَالَمُوْنَ dinamakan isim mulhaq jamak mudzakar salim. Kata ini tidak dibahas dalam kitab Syarah Ibnu Hisyam. أُوْلَاتٌ (pemilik). Kata tersebut juga tidak disebutkan pada kitab syarah-nya Ibnu Hisyam. Kata tersebut dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai jamak muannats salim. Oleh karena itu, dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim. Mendahulukan maf’ul bih (objek). Contoh: ضَرَبْتُ زَيْدًا (Aku telah memukul Zaid). ضَرَبْتُ adalah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek), sedangkan kata زَيْدًا adalah maf’ul bih. Maf’ul bih boleh didahulukan, sehingga dibaca  زَيْدًا ضَرَبْتُ. Ketika maf’ul bih didahulukan, maka menunjukkan makna pembatasan. Kaidahnya adalah mendahulukan sesuatu yang harusnya di belakang, maka menimbulkan makna pembatasan. Pembahasan ini juga tidak disebutkan dalam kitab syarah. Kata yang tidak disebutkan di dalam kitab syarah-nya Ibnu Hisyam adalah fa’il نِعْمَ (sebaik-baik) yang ma’rifah dengan أل jinsiyah. Ibnu Hisyam menyebutkan dalam Matan Qathrun Nada bahwasanya, mufassar untuk fa’il نِعْمَ apabila berupa dhamir (kata ganti), maka dia harus menyesuaikan dengan makhsus. Akan tetapi, di dalam kitab syarah tersebut tidak disebutkan kesesuaian hal tersebut. Ibnu Hisyam menyebutkan sebagian hukum isim fi’il di Matan Qathrun Nada. Akan tetapi, tidak disajikan hukum isim fi’il pada kitab syarahnya. Pada kitab syarah Ibnu Hisyam halaman 260 yang di-tahqiq oleh Muhammad Abdil Hamid, terdapat pada Matan Qathrun Nada dalil nahwu berupa syair. Akan tetapi, di kitab syarah adalah bait syair yang lain. Pada pembahasan التَنَازُعُ , Ibnu Hisyam menyebutkan dalil syair. Akan tetapi, pada kitab syarah Ibnu Hisyam tidak membahas bait syair tersebut. Syekh Abdullah Ibnu Shalih Al-Fauzan berprasangka baik, bahwasanya catatan yang dituliskan oleh beliau bisa jadi dikarenakan Ibnu Hisyam mengabaikan hal-hal tersebut atau bisa jadi dikarenakan penjelasan tersebut memang tidak ada pada sebagian naskah. Ibnu Hisyam mengabaikan hal tersebut bisa jadi karena dianggap sudah jelas, sehingga tidak perlu dijelaskan kembali. Sebagaimana pada setiap zaman, tingkat keilmuan manusia berbeda-beda. Bisa jadi pada zaman Ibnu Hisyam, tingkat pengetahuan bahasa Arab mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Bisa jadi pada zaman ini dianggap susah, akan tetapi pada zaman Ibnu Hisyam dianggap mudah, sehingga Ibnu Hisyam tidak men-syarah penjelasan tersebut. Sebagaimana pada awal munculnya ilmu nahwu hanya membahas mubtada dan khabar, fa’il, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah berkembangnya zaman, semakin banyak poin-poin yang samar bagi orang Arab sendiri untuk memahaminya, sehingga muncullah kaidah-kaidah baru. Seperti maf’ul muthlaq, dan lain-lain. Lanjut ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun NadaHal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun Nada Di antara kitab kaidah nahwu dalam bahasa Arab yang sangat penting dipelajari adalah kitab Qathrun Nada yang ditulis dan di-syarah (diberi penjelasan) oleh Al-’Alamah Abu Muhammad Abdullah Ibn Hisyam Al-Anshari, masyhur dengan panggilan Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam wafat tahun 761 H. Kemudian, Syekh Abdullah Al-Fauzan men-syarah kitab ini yang kemudian diberi judul Ta’jilun Nada setelah beliau selesai mengajarkannya pada suatu majelis yang ada di salah satu masjid. Majelis beliau dilaksanakan satu kali dalam sepekan dimulai semenjak Selasa sore tanggal 13 Syawal 1415 H dan selesai pada Selasa sore tanggal 16 Zulkaidah 1417 H. Beliau menulis kitab ini berdasarkan penjelasan yang beliau sampaikan di majelis dengan beberapa revisi. Metodologi yang beliau gunakan di dalam kitab ini adalah: Pertama: Syekh Abdullah Al-Fauzan menulis penjelasan kitab tersebut dengan metode yang mudah, agar penuntut ilmu pemula mudah memahaminya. Kitab tersebut bisa dipelajari setelah kitab Matan Al-Ajurrumiyyah. Kedua: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan khilaf (perbedaan pendapat) dalam nahwu. Beliau hanya menuliskan pendapat yang kuat. Kecuali, khilaf yang ditegaskan Ibnu Hisyam di Matan Qathrun Nada, dan itu pun sedikit. Adapun khilaf yang ada dalam nahwu mayoritas adalah khilaf tanawwu’. Apabila salah memilih dalam khilaf tanawwu’ dalam nahwu, maka konsekuensinya tidak fatal. Tentunya khilaf tanawwu’ tersebut tidak berdampak besar pada i’tiqad seseorang (keyakinan seorang muslim kepada Allah Ta’ala) dan amalan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Oleh karena itulah, Syekh Abdullah Al-Fauzan menghindari penyebutan permasalahan khilaf nahwu di dalam syarah. Ketiga: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan ta’lil. Ta’lil nahwu adalah alasan-alasan dalam nahwu. Contohnya adalah kenapa mutabda itu marfu’, khobar itu marfu’, dan lain-lain. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, ulama berselisih dalam menjawabnya. Adapun penuntut ilmu cenderung kesusahan dalam memahaminya, terlebih-lebih pemula dalam mempelajari nahwu. Hal tersebut juga tidak terlalu bermanfaat. Yang terpenting adalah mengetahui cara baca kitab gundul dan mengetahui i’rab setiap kata di dalam kalimat. Keempat: Syekh Abdullah Al-Fauzan memperhatikan i’rab dari contoh-contoh yang ditulis di kitab ini. Ada yang diambil dari Al-Qur’an dan syair-syair Arab jahiliah pada dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam. Syair Arab dianggap tingkat kefasihannya paling tinggi setelah Al-Qur’an. Namun, ada beberapa contoh yang tidak di-i’rab oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan karena dianggap i’rab-nya mudah bagi pembaca. Kelima: Syekh Abdullah Al-Fauzan memberikan judul pada setiap bab sebagaimana kitab nahwu yang lain, agar pembaca mengetahui materi apa yang akan dipelajari, pembahasan sesuai dengan judul, dan materi tidak keluar dari judul pembahasan. Syarah dalam kitab ini adalah syarah yang ringkas yang berisi pengetahuan-pengetahuan umum yang ditunjang dan merujuk kepada kitab-kitab nahwu klasik, yaitu: Audhahu Al-Masalik Syarh Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Syarhu Ibnu Aqil Syarh Alfiyah Ibni Malik karya Ibnu Aqil, An-Nahwu Al-Wafiy, Syarhu Al-Fakihiy Kitab Qathrun Nada dan Kitab An-Nahwu Al-Wadhih, dan kitab-kitab lainya. Baca juga: Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama Hal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Ibnu Hisyam telah menulis Syarah Matan Qathrun Nada dengan syarah yang cukup. Akan tetapi, Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan berpendapat ada 2 hal yang perlu diketahui sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada, yaitu: Pertama: Ibnu Hisyam terkadang merinci pembahasan pada sebagian permasalahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab nahwu yang tebal dan Ibnu Hisyam juga memberikan contohnya. Padahal, khilaf yang disampaikan tidak terlalu berfaedah. Dari sudut pandang ini, tidak cocok dengan judul matan. Karena judul syarah adalah qatrun yang artinya tetesan. Maksudnya adalah ringkas. Akan tetapi, pada kitab Syarah Ibnu Hisyam berpanjang lebar. Di sisi lain, penuntut ilmu pemula cenderung kesusahan dalam memahaminya. Kedua: Pada kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam tidak terdapat pembahasan tentang masalah yang ada pada matan Qathrun Nada. Pada matan ada, namun pada syarah tidak dibahas. Di antara pembahasan yang tidak disebutkan adalah: Kata عَالَمُوْنَ (segala sesuatu yang selain Allah). Kata tersebut dinamakan isim mulhaq (distatuskan sama dengan) jamak mudzakkar salim. Kata tersebut dikatakan mulhaq jamak mudzakar salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai isim jamak mudzakar salim. Dikarenakan syarat isim jamak mudzakar salim harus عَاقِلٌ (berakal). Akan tetapi, kata tersebut غَيْرُ العَاقِلِ (tidak berakal). Oleh karena itu, kata عَالَمُوْنَ dinamakan isim mulhaq jamak mudzakar salim. Kata ini tidak dibahas dalam kitab Syarah Ibnu Hisyam. أُوْلَاتٌ (pemilik). Kata tersebut juga tidak disebutkan pada kitab syarah-nya Ibnu Hisyam. Kata tersebut dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai jamak muannats salim. Oleh karena itu, dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim. Mendahulukan maf’ul bih (objek). Contoh: ضَرَبْتُ زَيْدًا (Aku telah memukul Zaid). ضَرَبْتُ adalah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek), sedangkan kata زَيْدًا adalah maf’ul bih. Maf’ul bih boleh didahulukan, sehingga dibaca  زَيْدًا ضَرَبْتُ. Ketika maf’ul bih didahulukan, maka menunjukkan makna pembatasan. Kaidahnya adalah mendahulukan sesuatu yang harusnya di belakang, maka menimbulkan makna pembatasan. Pembahasan ini juga tidak disebutkan dalam kitab syarah. Kata yang tidak disebutkan di dalam kitab syarah-nya Ibnu Hisyam adalah fa’il نِعْمَ (sebaik-baik) yang ma’rifah dengan أل jinsiyah. Ibnu Hisyam menyebutkan dalam Matan Qathrun Nada bahwasanya, mufassar untuk fa’il نِعْمَ apabila berupa dhamir (kata ganti), maka dia harus menyesuaikan dengan makhsus. Akan tetapi, di dalam kitab syarah tersebut tidak disebutkan kesesuaian hal tersebut. Ibnu Hisyam menyebutkan sebagian hukum isim fi’il di Matan Qathrun Nada. Akan tetapi, tidak disajikan hukum isim fi’il pada kitab syarahnya. Pada kitab syarah Ibnu Hisyam halaman 260 yang di-tahqiq oleh Muhammad Abdil Hamid, terdapat pada Matan Qathrun Nada dalil nahwu berupa syair. Akan tetapi, di kitab syarah adalah bait syair yang lain. Pada pembahasan التَنَازُعُ , Ibnu Hisyam menyebutkan dalil syair. Akan tetapi, pada kitab syarah Ibnu Hisyam tidak membahas bait syair tersebut. Syekh Abdullah Ibnu Shalih Al-Fauzan berprasangka baik, bahwasanya catatan yang dituliskan oleh beliau bisa jadi dikarenakan Ibnu Hisyam mengabaikan hal-hal tersebut atau bisa jadi dikarenakan penjelasan tersebut memang tidak ada pada sebagian naskah. Ibnu Hisyam mengabaikan hal tersebut bisa jadi karena dianggap sudah jelas, sehingga tidak perlu dijelaskan kembali. Sebagaimana pada setiap zaman, tingkat keilmuan manusia berbeda-beda. Bisa jadi pada zaman Ibnu Hisyam, tingkat pengetahuan bahasa Arab mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Bisa jadi pada zaman ini dianggap susah, akan tetapi pada zaman Ibnu Hisyam dianggap mudah, sehingga Ibnu Hisyam tidak men-syarah penjelasan tersebut. Sebagaimana pada awal munculnya ilmu nahwu hanya membahas mubtada dan khabar, fa’il, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah berkembangnya zaman, semakin banyak poin-poin yang samar bagi orang Arab sendiri untuk memahaminya, sehingga muncullah kaidah-kaidah baru. Seperti maf’ul muthlaq, dan lain-lain. Lanjut ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun NadaHal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun Nada Di antara kitab kaidah nahwu dalam bahasa Arab yang sangat penting dipelajari adalah kitab Qathrun Nada yang ditulis dan di-syarah (diberi penjelasan) oleh Al-’Alamah Abu Muhammad Abdullah Ibn Hisyam Al-Anshari, masyhur dengan panggilan Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam wafat tahun 761 H. Kemudian, Syekh Abdullah Al-Fauzan men-syarah kitab ini yang kemudian diberi judul Ta’jilun Nada setelah beliau selesai mengajarkannya pada suatu majelis yang ada di salah satu masjid. Majelis beliau dilaksanakan satu kali dalam sepekan dimulai semenjak Selasa sore tanggal 13 Syawal 1415 H dan selesai pada Selasa sore tanggal 16 Zulkaidah 1417 H. Beliau menulis kitab ini berdasarkan penjelasan yang beliau sampaikan di majelis dengan beberapa revisi. Metodologi yang beliau gunakan di dalam kitab ini adalah: Pertama: Syekh Abdullah Al-Fauzan menulis penjelasan kitab tersebut dengan metode yang mudah, agar penuntut ilmu pemula mudah memahaminya. Kitab tersebut bisa dipelajari setelah kitab Matan Al-Ajurrumiyyah. Kedua: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan khilaf (perbedaan pendapat) dalam nahwu. Beliau hanya menuliskan pendapat yang kuat. Kecuali, khilaf yang ditegaskan Ibnu Hisyam di Matan Qathrun Nada, dan itu pun sedikit. Adapun khilaf yang ada dalam nahwu mayoritas adalah khilaf tanawwu’. Apabila salah memilih dalam khilaf tanawwu’ dalam nahwu, maka konsekuensinya tidak fatal. Tentunya khilaf tanawwu’ tersebut tidak berdampak besar pada i’tiqad seseorang (keyakinan seorang muslim kepada Allah Ta’ala) dan amalan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Oleh karena itulah, Syekh Abdullah Al-Fauzan menghindari penyebutan permasalahan khilaf nahwu di dalam syarah. Ketiga: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan ta’lil. Ta’lil nahwu adalah alasan-alasan dalam nahwu. Contohnya adalah kenapa mutabda itu marfu’, khobar itu marfu’, dan lain-lain. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, ulama berselisih dalam menjawabnya. Adapun penuntut ilmu cenderung kesusahan dalam memahaminya, terlebih-lebih pemula dalam mempelajari nahwu. Hal tersebut juga tidak terlalu bermanfaat. Yang terpenting adalah mengetahui cara baca kitab gundul dan mengetahui i’rab setiap kata di dalam kalimat. Keempat: Syekh Abdullah Al-Fauzan memperhatikan i’rab dari contoh-contoh yang ditulis di kitab ini. Ada yang diambil dari Al-Qur’an dan syair-syair Arab jahiliah pada dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam. Syair Arab dianggap tingkat kefasihannya paling tinggi setelah Al-Qur’an. Namun, ada beberapa contoh yang tidak di-i’rab oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan karena dianggap i’rab-nya mudah bagi pembaca. Kelima: Syekh Abdullah Al-Fauzan memberikan judul pada setiap bab sebagaimana kitab nahwu yang lain, agar pembaca mengetahui materi apa yang akan dipelajari, pembahasan sesuai dengan judul, dan materi tidak keluar dari judul pembahasan. Syarah dalam kitab ini adalah syarah yang ringkas yang berisi pengetahuan-pengetahuan umum yang ditunjang dan merujuk kepada kitab-kitab nahwu klasik, yaitu: Audhahu Al-Masalik Syarh Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Syarhu Ibnu Aqil Syarh Alfiyah Ibni Malik karya Ibnu Aqil, An-Nahwu Al-Wafiy, Syarhu Al-Fakihiy Kitab Qathrun Nada dan Kitab An-Nahwu Al-Wadhih, dan kitab-kitab lainya. Baca juga: Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama Hal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada Ibnu Hisyam telah menulis Syarah Matan Qathrun Nada dengan syarah yang cukup. Akan tetapi, Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan berpendapat ada 2 hal yang perlu diketahui sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada, yaitu: Pertama: Ibnu Hisyam terkadang merinci pembahasan pada sebagian permasalahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab nahwu yang tebal dan Ibnu Hisyam juga memberikan contohnya. Padahal, khilaf yang disampaikan tidak terlalu berfaedah. Dari sudut pandang ini, tidak cocok dengan judul matan. Karena judul syarah adalah qatrun yang artinya tetesan. Maksudnya adalah ringkas. Akan tetapi, pada kitab Syarah Ibnu Hisyam berpanjang lebar. Di sisi lain, penuntut ilmu pemula cenderung kesusahan dalam memahaminya. Kedua: Pada kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam tidak terdapat pembahasan tentang masalah yang ada pada matan Qathrun Nada. Pada matan ada, namun pada syarah tidak dibahas. Di antara pembahasan yang tidak disebutkan adalah: Kata عَالَمُوْنَ (segala sesuatu yang selain Allah). Kata tersebut dinamakan isim mulhaq (distatuskan sama dengan) jamak mudzakkar salim. Kata tersebut dikatakan mulhaq jamak mudzakar salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai isim jamak mudzakar salim. Dikarenakan syarat isim jamak mudzakar salim harus عَاقِلٌ (berakal). Akan tetapi, kata tersebut غَيْرُ العَاقِلِ (tidak berakal). Oleh karena itu, kata عَالَمُوْنَ dinamakan isim mulhaq jamak mudzakar salim. Kata ini tidak dibahas dalam kitab Syarah Ibnu Hisyam. أُوْلَاتٌ (pemilik). Kata tersebut juga tidak disebutkan pada kitab syarah-nya Ibnu Hisyam. Kata tersebut dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai jamak muannats salim. Oleh karena itu, dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim. Mendahulukan maf’ul bih (objek). Contoh: ضَرَبْتُ زَيْدًا (Aku telah memukul Zaid). ضَرَبْتُ adalah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek), sedangkan kata زَيْدًا adalah maf’ul bih. Maf’ul bih boleh didahulukan, sehingga dibaca  زَيْدًا ضَرَبْتُ. Ketika maf’ul bih didahulukan, maka menunjukkan makna pembatasan. Kaidahnya adalah mendahulukan sesuatu yang harusnya di belakang, maka menimbulkan makna pembatasan. Pembahasan ini juga tidak disebutkan dalam kitab syarah. Kata yang tidak disebutkan di dalam kitab syarah-nya Ibnu Hisyam adalah fa’il نِعْمَ (sebaik-baik) yang ma’rifah dengan أل jinsiyah. Ibnu Hisyam menyebutkan dalam Matan Qathrun Nada bahwasanya, mufassar untuk fa’il نِعْمَ apabila berupa dhamir (kata ganti), maka dia harus menyesuaikan dengan makhsus. Akan tetapi, di dalam kitab syarah tersebut tidak disebutkan kesesuaian hal tersebut. Ibnu Hisyam menyebutkan sebagian hukum isim fi’il di Matan Qathrun Nada. Akan tetapi, tidak disajikan hukum isim fi’il pada kitab syarahnya. Pada kitab syarah Ibnu Hisyam halaman 260 yang di-tahqiq oleh Muhammad Abdil Hamid, terdapat pada Matan Qathrun Nada dalil nahwu berupa syair. Akan tetapi, di kitab syarah adalah bait syair yang lain. Pada pembahasan التَنَازُعُ , Ibnu Hisyam menyebutkan dalil syair. Akan tetapi, pada kitab syarah Ibnu Hisyam tidak membahas bait syair tersebut. Syekh Abdullah Ibnu Shalih Al-Fauzan berprasangka baik, bahwasanya catatan yang dituliskan oleh beliau bisa jadi dikarenakan Ibnu Hisyam mengabaikan hal-hal tersebut atau bisa jadi dikarenakan penjelasan tersebut memang tidak ada pada sebagian naskah. Ibnu Hisyam mengabaikan hal tersebut bisa jadi karena dianggap sudah jelas, sehingga tidak perlu dijelaskan kembali. Sebagaimana pada setiap zaman, tingkat keilmuan manusia berbeda-beda. Bisa jadi pada zaman Ibnu Hisyam, tingkat pengetahuan bahasa Arab mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Bisa jadi pada zaman ini dianggap susah, akan tetapi pada zaman Ibnu Hisyam dianggap mudah, sehingga Ibnu Hisyam tidak men-syarah penjelasan tersebut. Sebagaimana pada awal munculnya ilmu nahwu hanya membahas mubtada dan khabar, fa’il, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah berkembangnya zaman, semakin banyak poin-poin yang samar bagi orang Arab sendiri untuk memahaminya, sehingga muncullah kaidah-kaidah baru. Seperti maf’ul muthlaq, dan lain-lain. Lanjut ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Prev     Next