Memahami Istilah Salat Tarawih, Qiyamul Lail, Witir, dan Tahajud

Daftar Isi Toggle Makna salat TarawihMakna qiyamul lailMakna salat WitirMakna TahajudContoh kasus I: Memahami jumlah rakaat TarawihContoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1] Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal. Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih. Makna salat Tarawih Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah, وصل عليهم “Dan berdoalah untuk mereka.” [2] Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka. Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah, أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة “Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3] Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan. Al-Fayyumiy rahimahullah berkata, وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا “Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4] Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan, قيام شهر رمضان “Salat malam di bulan Ramadan.” Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5] Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6] Makna qiyamul lail Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah, قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها “Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7] Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam Makna salat Witir Salat witir adalah صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل “Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.” Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8] Makna Tahajud Sedangkan Tahajud adalah صلاة التطوع في الليل بعد النوم “Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.” Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9] Baca juga: Mengapa Disebut “Salat Tarawih”? Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid, قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا “Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10] Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam. Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?” Di dalamnya, terdapat pembahasan: Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?” Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11] Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar. Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** 1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mishbahul Munir fi Gharib Asy-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faihaa, Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [2] QS. At-Taubah: 103. [3] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 51: 27. [4] Al-Mishbahul Munir, hal. 243. [5] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [6] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 358. [7] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 34: 117. [8] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 289. [9] Lihat Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 136. [10] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 141. [11] Lihat https://islamqa.info/id/answers/65702 (12 Maret 2024) Tags: salat tarawih

Memahami Istilah Salat Tarawih, Qiyamul Lail, Witir, dan Tahajud

Daftar Isi Toggle Makna salat TarawihMakna qiyamul lailMakna salat WitirMakna TahajudContoh kasus I: Memahami jumlah rakaat TarawihContoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1] Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal. Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih. Makna salat Tarawih Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah, وصل عليهم “Dan berdoalah untuk mereka.” [2] Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka. Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah, أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة “Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3] Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan. Al-Fayyumiy rahimahullah berkata, وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا “Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4] Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan, قيام شهر رمضان “Salat malam di bulan Ramadan.” Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5] Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6] Makna qiyamul lail Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah, قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها “Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7] Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam Makna salat Witir Salat witir adalah صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل “Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.” Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8] Makna Tahajud Sedangkan Tahajud adalah صلاة التطوع في الليل بعد النوم “Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.” Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9] Baca juga: Mengapa Disebut “Salat Tarawih”? Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid, قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا “Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10] Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam. Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?” Di dalamnya, terdapat pembahasan: Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?” Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11] Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar. Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** 1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mishbahul Munir fi Gharib Asy-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faihaa, Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [2] QS. At-Taubah: 103. [3] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 51: 27. [4] Al-Mishbahul Munir, hal. 243. [5] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [6] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 358. [7] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 34: 117. [8] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 289. [9] Lihat Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 136. [10] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 141. [11] Lihat https://islamqa.info/id/answers/65702 (12 Maret 2024) Tags: salat tarawih
Daftar Isi Toggle Makna salat TarawihMakna qiyamul lailMakna salat WitirMakna TahajudContoh kasus I: Memahami jumlah rakaat TarawihContoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1] Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal. Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih. Makna salat Tarawih Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah, وصل عليهم “Dan berdoalah untuk mereka.” [2] Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka. Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah, أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة “Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3] Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan. Al-Fayyumiy rahimahullah berkata, وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا “Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4] Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan, قيام شهر رمضان “Salat malam di bulan Ramadan.” Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5] Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6] Makna qiyamul lail Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah, قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها “Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7] Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam Makna salat Witir Salat witir adalah صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل “Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.” Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8] Makna Tahajud Sedangkan Tahajud adalah صلاة التطوع في الليل بعد النوم “Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.” Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9] Baca juga: Mengapa Disebut “Salat Tarawih”? Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid, قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا “Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10] Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam. Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?” Di dalamnya, terdapat pembahasan: Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?” Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11] Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar. Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** 1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mishbahul Munir fi Gharib Asy-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faihaa, Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [2] QS. At-Taubah: 103. [3] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 51: 27. [4] Al-Mishbahul Munir, hal. 243. [5] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [6] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 358. [7] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 34: 117. [8] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 289. [9] Lihat Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 136. [10] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 141. [11] Lihat https://islamqa.info/id/answers/65702 (12 Maret 2024) Tags: salat tarawih


Daftar Isi Toggle Makna salat TarawihMakna qiyamul lailMakna salat WitirMakna TahajudContoh kasus I: Memahami jumlah rakaat TarawihContoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1] Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal. Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih. Makna salat Tarawih Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah, وصل عليهم “Dan berdoalah untuk mereka.” [2] Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka. Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah, أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة “Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3] Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan. Al-Fayyumiy rahimahullah berkata, وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا “Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4] Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan, قيام شهر رمضان “Salat malam di bulan Ramadan.” Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5] Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6] Makna qiyamul lail Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah, قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها “Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7] Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam Makna salat Witir Salat witir adalah صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل “Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.” Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8] Makna Tahajud Sedangkan Tahajud adalah صلاة التطوع في الليل بعد النوم “Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.” Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9] Baca juga: Mengapa Disebut “Salat Tarawih”? Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid, قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا “Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10] Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam. Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?” Di dalamnya, terdapat pembahasan: Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?” Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11] Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar. Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** 1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mishbahul Munir fi Gharib Asy-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faihaa, Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [2] QS. At-Taubah: 103. [3] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 51: 27. [4] Al-Mishbahul Munir, hal. 243. [5] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [6] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 358. [7] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 34: 117. [8] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 289. [9] Lihat Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 136. [10] Al-Mausu’ahul Fiqhiyyahil Kuwaitiyyah, 27: 141. [11] Lihat https://islamqa.info/id/answers/65702 (12 Maret 2024) Tags: salat tarawih

Hukum Shalat di Mushola Lantai P9 atau P10 Tower Zamzam di Mekkah

Pertanyaan: Di tower zamzam yang bersebelahan dengan Masjidil Haram, pada lantai P9 dan P10 terdapat mushola atau tempat shalat yang dibuka untuk umum. Sebagian orang shalat di sana namun bermakmum dengan imam Masjidil Haram karena memang tower zamzam tepat di sebelah Masjidil Haram dan mendengar suara imam Masjidil Haram. Bagaimana hukumnya shalat di tempat tersebut? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, tempat tersebut bukanlah masjid. Namun ia adalah sekedar tempat yang disiapkan dan diperuntukkan untuk shalat bagi pengunjung gedung atau tamu hotel. Boleh shalat di tempat tersebut, terutama bagi yang memang ada kesulitan untuk datang ke masjid.  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan: “Jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti itu tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 104).  Namun tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid karena ia bukanlah masjid, Kedua, shalat di tempat tersebut insyaallah tetap mendapatkan keutamaan pelipatgandaan pahala shalat sebanyak 100.000 kali lipat. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (yaitu Masjid an-Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ahmad [3/343], Ibnu Majah no. 1406. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Masjidil Haram dalam hadis di atas adalah seluruh bagian dari area tanah suci Mekah, termasuk jalan-jalannya dan bangunan-bangunan di dalamnya. Ketiga, jika beberapa orang melakukan shalat berjama’ah di sana dengan imam tersendiri, tanpa mengikuti imam Masjidil Haram, tidak diragukan lagi boleh dan sahnya. Bahkan ini lebih utama daripada ia shalat sendirian. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ “Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Keempat, jika seseorang shalat sendirian di tempat tersebut, seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib, shalat malam, dan semisalnya, juga tidak diragukan boleh dan sahnya. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا “Bumi seluruhnya dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci” (HR. Bukhari no.335). Kelima, jika seseorang shalat di tempat tersebut dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya sebagai shalat berjama’ah.  Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan: إطلاق الخرقي بصحة الاقتداء في المسجد و [في] غير المسجد بشرطه ظاهره: ولو وجد ما يمنع مشاهدة من وراء الإمام، وهو إحدى الروايات عن أحمد، لأن الاقتداء حاصل، أشبه ما لو شاهده، وعلى هذه الرواية لا بد من سماع التكبير لتحصل المتابعة بلا نزاع [واختارها القاضي] (والثانية) لا يصح مطلقا “Al-Kharqi memutlakkan keabsahan shalat jama’ah yang makmumnya berada di dalam masjid atau di luar masjid dengan syarat mengetahui zahir perbuatan imam. Walaupun terdapat penghalang di antara makmum dan imam. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat imam Ahmad. Karena iqtida’ tetap terjadi dalam kondisi ini, semisal dengan keadaan makmum yang melihat langsung imamnya. Dan menurut pendapat ini, disyaratkan makmum harus mendengar takbir, sehingga mereka bisa mengikuti gerakan imam. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Qadhi. Sedangkan dalam riwayat kedua dari imam Ahmad, tidak sah shalatnya makmum yang demikian secara mutlak” (Syarah Mukhtashar Al-Kharqi, 2/105). An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الإمام في المسجد، وحال بينهما حائل لم يصح عندنا، وبه قال أحمد. وقال مالك : تصح إلا في الجمعة . وقال أبو حنيفة : تصح مطلقا Andaikan seseorang shalat di rumahnya atau bangunan semisalnya, bermakmum pada imam di masjid, dan ada penghalang di antara keduanya, maka tidak sah shalatnya menurut ulama madzhab kami (Syafi’iyah) dan juga menurut pendapat imam Ahmad. Imam Malik mengatakan: sah untuk shalat jum’at saja. Imam Abu Hanifah mengatakan: sah secara mutlak” (Al-Majmu’, 4/200). Namun ulama yang mengatakan sahnya shalat yang demikian, mensyaratkan bersambungnya shaf dengan shaf yang ada di masjid jika jama’ah berada di luar masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: وأما صلاة المأموم خلف الإمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائل، فإن كانت صفوف متصلة جاز باتفاق الأئمة “Adapun shalatnya makmum di belakang imam dari luar masjid, atau di dalam masjid namun terdapat penghalang, jika shaf-nya bersambung, ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama”. Dikatakan shaf-nya bersambung adalah jika makmum masih bisa melihat punggung makmum di depannya, seterusnya demikian hingga shaf yang berada di dalam masjid. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: فَصْلٌ: فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ حَائِلٌ يَمْنَعُ رُؤْيَةَ الْإِمَامِ، أَوْ مَنْ وَرَاءَهُ، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: فِيهِ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا، لَا يَصِحُّ الِائْتِمَامُ بِهِ. اخْتَارَهُ الْقَاضِي؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِنِسَاءٍ كُنَّ يُصَلِّينَ فِي حُجْرَتِهَا: لَا تُصَلِّينَ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، فَإِنَّكُنَّ دُونَهُ فِي حِجَابٍ … وَالثَّانِيَةُ: يَصِحُّ “Pasal: jika antara imam dan makmum terdapat penghalang yang menghalangi penglihatan makmum kepada imam atau kepada orang-orang di belakang imam. Ibnu Hamid mengatakan: “Ada dua riwayat dari imam Ahmad dalam masalah ini. Salah satunya mengatakan tidak sah dianggap sebagai shalat jama’ah. Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi. Karena Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada para wanita: Dahulu kami shalat di dalam kamar kami, maka janganlah kalian shalat bermakmum kepada imam (padahal dari dalam kamar) karena kalian terhalangi oleh hijab … riwayat yang kedua mengatakan tidak sah”” (Al-Mughni, 3/45). Sebagian ulama mensyaratkan jarak antara makmum yang berada di luar masjid dengan shaf yang ada di dalam masjid tidak lebih dari 300 hasta (sekitar 13,5 meter). Dalam kitab Fiqhul Ibadah ‘ala Madzhabis Syafi’i (1/396) disebutkan: إن كان الإمام في المسجد والمقتدي خارجه تصح الجماعة بشرط ألا تزيد مسافة البعد ما بين آخر المسجد وأول مقتد يقف خارجه، أو بين كل صفين أو شخصين خارج المسجد، على ثلاثمائة ذراع تقريبا “Jika imam berada di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka sah sebagai shalat berjama’ah dengan syarat jarak antara shaf terakhir di masjid dan shaf terdepan dari makmum yang berada di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta. Atau jarak antara dua shaf, atau antara dua orang yang shalat di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta”  Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta juga mengatakan: لا تصح الصلاة، وهذا مذهب الشافعية وبه قال الإمام أحمد ، إلا إذا اتصلت الصفوف ببيته، وأمكنه الاقتداء بالإمام بالرؤية وسماع الصوت، فإنها تصح، كما تصح صلاة الصفوف التي اتصلت بمنزله، أما بدون الشرط المذكور فلا تصح “Tidak sah shalat yang demikian. Ini adalah madzhab Syafi’iyah dan juga pendapat Imam Ahmad. Kecuali jika shaf-nya bersambung terus hingga rumahnya. Dan sang makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan melihat (makmum yang lain) serta mendengar suara imam. Maka ini sah. Sebagaimana sahnya shalat jika shaf-nya bersambung terus hingga ke rumahnya. Namun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut, maka tidak sah shalat berjamaahnya” (Fatawa Al-Lajnah, 8/31). Oleh karena itu shalat di musholla lantai P9 atau P10 di tower zamzam dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram tidak sah dianggap sebagai shalat berjamaah. Karena shaf-nya tidak bersambung dengan shaf para makmum di Masjidil Haram. Dan terdapat jarak yang jauh antara mereka dengan shaf makmum di Masjidil Haram. Walaupun demikian, shalatnya tetap sah sebagai shalat sendirian, bukan berjama’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: فالصواب في هذه المسألة أنه لا بد من اتصال الصفوف فإن لم تكن متصلة فإن الصلاة لا تصح ولنطبّق هذه المسألة على الواقع يوجد حول الحرم عَمارات فيها شقق يصلي فيها الناس “Pendapat yang benar dalam masalah ini, yaitu wajib adanya ketersambungan shaf. Jika shaf-nya tidak bersambung maka shalatnya tidak sah. Dan kaidah ini kita terapkan pada kasus yang terjadi di zaman sekarang sebagaimana yang terjadi pada menara-menara (hotel) yang ada di sekitar Masjidil Haram yang di sana disediakan ruangan-ruangan untuk tempat shalat” (Syarah Zadul Mustaqni, 7/49). Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih juga memfatwakan: “Tempat-tempat tersebut tidak termasuk masjid, namun ia hanya tempat yang disediakan untuk shalat. Orang yang shalat di sana dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, jika shaf-nya bersambung maka jumhur ulama mengatakan shalatnya sah. Namun jika shaf-nya terputus, maksudnya, shaf para makmum di Masjidil Haram tidak sampai kepada tempat-tempat shalat tersebut, maka disini ulama ada dua pendapat. Sebagian mereka mengatakan, selama mendengar suara imam dan melihat orang-orang yang ada di belakang imam, maka shalatnya sah selama mereka bersebelahan dengan masjid walaupun shaf-nya tidak bersambung. Namun jumhur ulama mengatakan tidak sah shalat yang demikian jika tidak bersambung shaf-nya. Oleh karena itu yang lebih hati-hati hendaknya shalat di tempat-tempat yang masih bersambung dengan shaf yang ada di Masjidil Haram” (Sumber: حكم الصلاة في فنادق الحرم ؟ الشيخ خالد المصلح). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Batas Shalat Dhuha, Larangan Meniup Makanan, Tugas Dan Kewajiban Suami, Biaya Pernikahan Dari Pihak Perempuan, Dp Islam, Sebelum Sholat Idul Fitri Kita Disunnahkan Makan Terlebih Dahulu Karena Visited 1,261 times, 11 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid

Hukum Shalat di Mushola Lantai P9 atau P10 Tower Zamzam di Mekkah

Pertanyaan: Di tower zamzam yang bersebelahan dengan Masjidil Haram, pada lantai P9 dan P10 terdapat mushola atau tempat shalat yang dibuka untuk umum. Sebagian orang shalat di sana namun bermakmum dengan imam Masjidil Haram karena memang tower zamzam tepat di sebelah Masjidil Haram dan mendengar suara imam Masjidil Haram. Bagaimana hukumnya shalat di tempat tersebut? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, tempat tersebut bukanlah masjid. Namun ia adalah sekedar tempat yang disiapkan dan diperuntukkan untuk shalat bagi pengunjung gedung atau tamu hotel. Boleh shalat di tempat tersebut, terutama bagi yang memang ada kesulitan untuk datang ke masjid.  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan: “Jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti itu tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 104).  Namun tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid karena ia bukanlah masjid, Kedua, shalat di tempat tersebut insyaallah tetap mendapatkan keutamaan pelipatgandaan pahala shalat sebanyak 100.000 kali lipat. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (yaitu Masjid an-Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ahmad [3/343], Ibnu Majah no. 1406. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Masjidil Haram dalam hadis di atas adalah seluruh bagian dari area tanah suci Mekah, termasuk jalan-jalannya dan bangunan-bangunan di dalamnya. Ketiga, jika beberapa orang melakukan shalat berjama’ah di sana dengan imam tersendiri, tanpa mengikuti imam Masjidil Haram, tidak diragukan lagi boleh dan sahnya. Bahkan ini lebih utama daripada ia shalat sendirian. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ “Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Keempat, jika seseorang shalat sendirian di tempat tersebut, seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib, shalat malam, dan semisalnya, juga tidak diragukan boleh dan sahnya. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا “Bumi seluruhnya dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci” (HR. Bukhari no.335). Kelima, jika seseorang shalat di tempat tersebut dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya sebagai shalat berjama’ah.  Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan: إطلاق الخرقي بصحة الاقتداء في المسجد و [في] غير المسجد بشرطه ظاهره: ولو وجد ما يمنع مشاهدة من وراء الإمام، وهو إحدى الروايات عن أحمد، لأن الاقتداء حاصل، أشبه ما لو شاهده، وعلى هذه الرواية لا بد من سماع التكبير لتحصل المتابعة بلا نزاع [واختارها القاضي] (والثانية) لا يصح مطلقا “Al-Kharqi memutlakkan keabsahan shalat jama’ah yang makmumnya berada di dalam masjid atau di luar masjid dengan syarat mengetahui zahir perbuatan imam. Walaupun terdapat penghalang di antara makmum dan imam. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat imam Ahmad. Karena iqtida’ tetap terjadi dalam kondisi ini, semisal dengan keadaan makmum yang melihat langsung imamnya. Dan menurut pendapat ini, disyaratkan makmum harus mendengar takbir, sehingga mereka bisa mengikuti gerakan imam. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Qadhi. Sedangkan dalam riwayat kedua dari imam Ahmad, tidak sah shalatnya makmum yang demikian secara mutlak” (Syarah Mukhtashar Al-Kharqi, 2/105). An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الإمام في المسجد، وحال بينهما حائل لم يصح عندنا، وبه قال أحمد. وقال مالك : تصح إلا في الجمعة . وقال أبو حنيفة : تصح مطلقا Andaikan seseorang shalat di rumahnya atau bangunan semisalnya, bermakmum pada imam di masjid, dan ada penghalang di antara keduanya, maka tidak sah shalatnya menurut ulama madzhab kami (Syafi’iyah) dan juga menurut pendapat imam Ahmad. Imam Malik mengatakan: sah untuk shalat jum’at saja. Imam Abu Hanifah mengatakan: sah secara mutlak” (Al-Majmu’, 4/200). Namun ulama yang mengatakan sahnya shalat yang demikian, mensyaratkan bersambungnya shaf dengan shaf yang ada di masjid jika jama’ah berada di luar masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: وأما صلاة المأموم خلف الإمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائل، فإن كانت صفوف متصلة جاز باتفاق الأئمة “Adapun shalatnya makmum di belakang imam dari luar masjid, atau di dalam masjid namun terdapat penghalang, jika shaf-nya bersambung, ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama”. Dikatakan shaf-nya bersambung adalah jika makmum masih bisa melihat punggung makmum di depannya, seterusnya demikian hingga shaf yang berada di dalam masjid. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: فَصْلٌ: فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ حَائِلٌ يَمْنَعُ رُؤْيَةَ الْإِمَامِ، أَوْ مَنْ وَرَاءَهُ، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: فِيهِ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا، لَا يَصِحُّ الِائْتِمَامُ بِهِ. اخْتَارَهُ الْقَاضِي؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِنِسَاءٍ كُنَّ يُصَلِّينَ فِي حُجْرَتِهَا: لَا تُصَلِّينَ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، فَإِنَّكُنَّ دُونَهُ فِي حِجَابٍ … وَالثَّانِيَةُ: يَصِحُّ “Pasal: jika antara imam dan makmum terdapat penghalang yang menghalangi penglihatan makmum kepada imam atau kepada orang-orang di belakang imam. Ibnu Hamid mengatakan: “Ada dua riwayat dari imam Ahmad dalam masalah ini. Salah satunya mengatakan tidak sah dianggap sebagai shalat jama’ah. Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi. Karena Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada para wanita: Dahulu kami shalat di dalam kamar kami, maka janganlah kalian shalat bermakmum kepada imam (padahal dari dalam kamar) karena kalian terhalangi oleh hijab … riwayat yang kedua mengatakan tidak sah”” (Al-Mughni, 3/45). Sebagian ulama mensyaratkan jarak antara makmum yang berada di luar masjid dengan shaf yang ada di dalam masjid tidak lebih dari 300 hasta (sekitar 13,5 meter). Dalam kitab Fiqhul Ibadah ‘ala Madzhabis Syafi’i (1/396) disebutkan: إن كان الإمام في المسجد والمقتدي خارجه تصح الجماعة بشرط ألا تزيد مسافة البعد ما بين آخر المسجد وأول مقتد يقف خارجه، أو بين كل صفين أو شخصين خارج المسجد، على ثلاثمائة ذراع تقريبا “Jika imam berada di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka sah sebagai shalat berjama’ah dengan syarat jarak antara shaf terakhir di masjid dan shaf terdepan dari makmum yang berada di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta. Atau jarak antara dua shaf, atau antara dua orang yang shalat di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta”  Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta juga mengatakan: لا تصح الصلاة، وهذا مذهب الشافعية وبه قال الإمام أحمد ، إلا إذا اتصلت الصفوف ببيته، وأمكنه الاقتداء بالإمام بالرؤية وسماع الصوت، فإنها تصح، كما تصح صلاة الصفوف التي اتصلت بمنزله، أما بدون الشرط المذكور فلا تصح “Tidak sah shalat yang demikian. Ini adalah madzhab Syafi’iyah dan juga pendapat Imam Ahmad. Kecuali jika shaf-nya bersambung terus hingga rumahnya. Dan sang makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan melihat (makmum yang lain) serta mendengar suara imam. Maka ini sah. Sebagaimana sahnya shalat jika shaf-nya bersambung terus hingga ke rumahnya. Namun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut, maka tidak sah shalat berjamaahnya” (Fatawa Al-Lajnah, 8/31). Oleh karena itu shalat di musholla lantai P9 atau P10 di tower zamzam dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram tidak sah dianggap sebagai shalat berjamaah. Karena shaf-nya tidak bersambung dengan shaf para makmum di Masjidil Haram. Dan terdapat jarak yang jauh antara mereka dengan shaf makmum di Masjidil Haram. Walaupun demikian, shalatnya tetap sah sebagai shalat sendirian, bukan berjama’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: فالصواب في هذه المسألة أنه لا بد من اتصال الصفوف فإن لم تكن متصلة فإن الصلاة لا تصح ولنطبّق هذه المسألة على الواقع يوجد حول الحرم عَمارات فيها شقق يصلي فيها الناس “Pendapat yang benar dalam masalah ini, yaitu wajib adanya ketersambungan shaf. Jika shaf-nya tidak bersambung maka shalatnya tidak sah. Dan kaidah ini kita terapkan pada kasus yang terjadi di zaman sekarang sebagaimana yang terjadi pada menara-menara (hotel) yang ada di sekitar Masjidil Haram yang di sana disediakan ruangan-ruangan untuk tempat shalat” (Syarah Zadul Mustaqni, 7/49). Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih juga memfatwakan: “Tempat-tempat tersebut tidak termasuk masjid, namun ia hanya tempat yang disediakan untuk shalat. Orang yang shalat di sana dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, jika shaf-nya bersambung maka jumhur ulama mengatakan shalatnya sah. Namun jika shaf-nya terputus, maksudnya, shaf para makmum di Masjidil Haram tidak sampai kepada tempat-tempat shalat tersebut, maka disini ulama ada dua pendapat. Sebagian mereka mengatakan, selama mendengar suara imam dan melihat orang-orang yang ada di belakang imam, maka shalatnya sah selama mereka bersebelahan dengan masjid walaupun shaf-nya tidak bersambung. Namun jumhur ulama mengatakan tidak sah shalat yang demikian jika tidak bersambung shaf-nya. Oleh karena itu yang lebih hati-hati hendaknya shalat di tempat-tempat yang masih bersambung dengan shaf yang ada di Masjidil Haram” (Sumber: حكم الصلاة في فنادق الحرم ؟ الشيخ خالد المصلح). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Batas Shalat Dhuha, Larangan Meniup Makanan, Tugas Dan Kewajiban Suami, Biaya Pernikahan Dari Pihak Perempuan, Dp Islam, Sebelum Sholat Idul Fitri Kita Disunnahkan Makan Terlebih Dahulu Karena Visited 1,261 times, 11 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Di tower zamzam yang bersebelahan dengan Masjidil Haram, pada lantai P9 dan P10 terdapat mushola atau tempat shalat yang dibuka untuk umum. Sebagian orang shalat di sana namun bermakmum dengan imam Masjidil Haram karena memang tower zamzam tepat di sebelah Masjidil Haram dan mendengar suara imam Masjidil Haram. Bagaimana hukumnya shalat di tempat tersebut? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, tempat tersebut bukanlah masjid. Namun ia adalah sekedar tempat yang disiapkan dan diperuntukkan untuk shalat bagi pengunjung gedung atau tamu hotel. Boleh shalat di tempat tersebut, terutama bagi yang memang ada kesulitan untuk datang ke masjid.  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan: “Jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti itu tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 104).  Namun tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid karena ia bukanlah masjid, Kedua, shalat di tempat tersebut insyaallah tetap mendapatkan keutamaan pelipatgandaan pahala shalat sebanyak 100.000 kali lipat. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (yaitu Masjid an-Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ahmad [3/343], Ibnu Majah no. 1406. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Masjidil Haram dalam hadis di atas adalah seluruh bagian dari area tanah suci Mekah, termasuk jalan-jalannya dan bangunan-bangunan di dalamnya. Ketiga, jika beberapa orang melakukan shalat berjama’ah di sana dengan imam tersendiri, tanpa mengikuti imam Masjidil Haram, tidak diragukan lagi boleh dan sahnya. Bahkan ini lebih utama daripada ia shalat sendirian. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ “Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Keempat, jika seseorang shalat sendirian di tempat tersebut, seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib, shalat malam, dan semisalnya, juga tidak diragukan boleh dan sahnya. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا “Bumi seluruhnya dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci” (HR. Bukhari no.335). Kelima, jika seseorang shalat di tempat tersebut dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya sebagai shalat berjama’ah.  Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan: إطلاق الخرقي بصحة الاقتداء في المسجد و [في] غير المسجد بشرطه ظاهره: ولو وجد ما يمنع مشاهدة من وراء الإمام، وهو إحدى الروايات عن أحمد، لأن الاقتداء حاصل، أشبه ما لو شاهده، وعلى هذه الرواية لا بد من سماع التكبير لتحصل المتابعة بلا نزاع [واختارها القاضي] (والثانية) لا يصح مطلقا “Al-Kharqi memutlakkan keabsahan shalat jama’ah yang makmumnya berada di dalam masjid atau di luar masjid dengan syarat mengetahui zahir perbuatan imam. Walaupun terdapat penghalang di antara makmum dan imam. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat imam Ahmad. Karena iqtida’ tetap terjadi dalam kondisi ini, semisal dengan keadaan makmum yang melihat langsung imamnya. Dan menurut pendapat ini, disyaratkan makmum harus mendengar takbir, sehingga mereka bisa mengikuti gerakan imam. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Qadhi. Sedangkan dalam riwayat kedua dari imam Ahmad, tidak sah shalatnya makmum yang demikian secara mutlak” (Syarah Mukhtashar Al-Kharqi, 2/105). An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الإمام في المسجد، وحال بينهما حائل لم يصح عندنا، وبه قال أحمد. وقال مالك : تصح إلا في الجمعة . وقال أبو حنيفة : تصح مطلقا Andaikan seseorang shalat di rumahnya atau bangunan semisalnya, bermakmum pada imam di masjid, dan ada penghalang di antara keduanya, maka tidak sah shalatnya menurut ulama madzhab kami (Syafi’iyah) dan juga menurut pendapat imam Ahmad. Imam Malik mengatakan: sah untuk shalat jum’at saja. Imam Abu Hanifah mengatakan: sah secara mutlak” (Al-Majmu’, 4/200). Namun ulama yang mengatakan sahnya shalat yang demikian, mensyaratkan bersambungnya shaf dengan shaf yang ada di masjid jika jama’ah berada di luar masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: وأما صلاة المأموم خلف الإمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائل، فإن كانت صفوف متصلة جاز باتفاق الأئمة “Adapun shalatnya makmum di belakang imam dari luar masjid, atau di dalam masjid namun terdapat penghalang, jika shaf-nya bersambung, ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama”. Dikatakan shaf-nya bersambung adalah jika makmum masih bisa melihat punggung makmum di depannya, seterusnya demikian hingga shaf yang berada di dalam masjid. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: فَصْلٌ: فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ حَائِلٌ يَمْنَعُ رُؤْيَةَ الْإِمَامِ، أَوْ مَنْ وَرَاءَهُ، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: فِيهِ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا، لَا يَصِحُّ الِائْتِمَامُ بِهِ. اخْتَارَهُ الْقَاضِي؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِنِسَاءٍ كُنَّ يُصَلِّينَ فِي حُجْرَتِهَا: لَا تُصَلِّينَ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، فَإِنَّكُنَّ دُونَهُ فِي حِجَابٍ … وَالثَّانِيَةُ: يَصِحُّ “Pasal: jika antara imam dan makmum terdapat penghalang yang menghalangi penglihatan makmum kepada imam atau kepada orang-orang di belakang imam. Ibnu Hamid mengatakan: “Ada dua riwayat dari imam Ahmad dalam masalah ini. Salah satunya mengatakan tidak sah dianggap sebagai shalat jama’ah. Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi. Karena Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada para wanita: Dahulu kami shalat di dalam kamar kami, maka janganlah kalian shalat bermakmum kepada imam (padahal dari dalam kamar) karena kalian terhalangi oleh hijab … riwayat yang kedua mengatakan tidak sah”” (Al-Mughni, 3/45). Sebagian ulama mensyaratkan jarak antara makmum yang berada di luar masjid dengan shaf yang ada di dalam masjid tidak lebih dari 300 hasta (sekitar 13,5 meter). Dalam kitab Fiqhul Ibadah ‘ala Madzhabis Syafi’i (1/396) disebutkan: إن كان الإمام في المسجد والمقتدي خارجه تصح الجماعة بشرط ألا تزيد مسافة البعد ما بين آخر المسجد وأول مقتد يقف خارجه، أو بين كل صفين أو شخصين خارج المسجد، على ثلاثمائة ذراع تقريبا “Jika imam berada di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka sah sebagai shalat berjama’ah dengan syarat jarak antara shaf terakhir di masjid dan shaf terdepan dari makmum yang berada di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta. Atau jarak antara dua shaf, atau antara dua orang yang shalat di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta”  Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta juga mengatakan: لا تصح الصلاة، وهذا مذهب الشافعية وبه قال الإمام أحمد ، إلا إذا اتصلت الصفوف ببيته، وأمكنه الاقتداء بالإمام بالرؤية وسماع الصوت، فإنها تصح، كما تصح صلاة الصفوف التي اتصلت بمنزله، أما بدون الشرط المذكور فلا تصح “Tidak sah shalat yang demikian. Ini adalah madzhab Syafi’iyah dan juga pendapat Imam Ahmad. Kecuali jika shaf-nya bersambung terus hingga rumahnya. Dan sang makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan melihat (makmum yang lain) serta mendengar suara imam. Maka ini sah. Sebagaimana sahnya shalat jika shaf-nya bersambung terus hingga ke rumahnya. Namun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut, maka tidak sah shalat berjamaahnya” (Fatawa Al-Lajnah, 8/31). Oleh karena itu shalat di musholla lantai P9 atau P10 di tower zamzam dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram tidak sah dianggap sebagai shalat berjamaah. Karena shaf-nya tidak bersambung dengan shaf para makmum di Masjidil Haram. Dan terdapat jarak yang jauh antara mereka dengan shaf makmum di Masjidil Haram. Walaupun demikian, shalatnya tetap sah sebagai shalat sendirian, bukan berjama’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: فالصواب في هذه المسألة أنه لا بد من اتصال الصفوف فإن لم تكن متصلة فإن الصلاة لا تصح ولنطبّق هذه المسألة على الواقع يوجد حول الحرم عَمارات فيها شقق يصلي فيها الناس “Pendapat yang benar dalam masalah ini, yaitu wajib adanya ketersambungan shaf. Jika shaf-nya tidak bersambung maka shalatnya tidak sah. Dan kaidah ini kita terapkan pada kasus yang terjadi di zaman sekarang sebagaimana yang terjadi pada menara-menara (hotel) yang ada di sekitar Masjidil Haram yang di sana disediakan ruangan-ruangan untuk tempat shalat” (Syarah Zadul Mustaqni, 7/49). Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih juga memfatwakan: “Tempat-tempat tersebut tidak termasuk masjid, namun ia hanya tempat yang disediakan untuk shalat. Orang yang shalat di sana dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, jika shaf-nya bersambung maka jumhur ulama mengatakan shalatnya sah. Namun jika shaf-nya terputus, maksudnya, shaf para makmum di Masjidil Haram tidak sampai kepada tempat-tempat shalat tersebut, maka disini ulama ada dua pendapat. Sebagian mereka mengatakan, selama mendengar suara imam dan melihat orang-orang yang ada di belakang imam, maka shalatnya sah selama mereka bersebelahan dengan masjid walaupun shaf-nya tidak bersambung. Namun jumhur ulama mengatakan tidak sah shalat yang demikian jika tidak bersambung shaf-nya. Oleh karena itu yang lebih hati-hati hendaknya shalat di tempat-tempat yang masih bersambung dengan shaf yang ada di Masjidil Haram” (Sumber: حكم الصلاة في فنادق الحرم ؟ الشيخ خالد المصلح). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Batas Shalat Dhuha, Larangan Meniup Makanan, Tugas Dan Kewajiban Suami, Biaya Pernikahan Dari Pihak Perempuan, Dp Islam, Sebelum Sholat Idul Fitri Kita Disunnahkan Makan Terlebih Dahulu Karena Visited 1,261 times, 11 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Di tower zamzam yang bersebelahan dengan Masjidil Haram, pada lantai P9 dan P10 terdapat mushola atau tempat shalat yang dibuka untuk umum. Sebagian orang shalat di sana namun bermakmum dengan imam Masjidil Haram karena memang tower zamzam tepat di sebelah Masjidil Haram dan mendengar suara imam Masjidil Haram. Bagaimana hukumnya shalat di tempat tersebut? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, tempat tersebut bukanlah masjid. Namun ia adalah sekedar tempat yang disiapkan dan diperuntukkan untuk shalat bagi pengunjung gedung atau tamu hotel. Boleh shalat di tempat tersebut, terutama bagi yang memang ada kesulitan untuk datang ke masjid.  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan: “Jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti itu tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 104).  Namun tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid karena ia bukanlah masjid, Kedua, shalat di tempat tersebut insyaallah tetap mendapatkan keutamaan pelipatgandaan pahala shalat sebanyak 100.000 kali lipat. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (yaitu Masjid an-Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ahmad [3/343], Ibnu Majah no. 1406. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Masjidil Haram dalam hadis di atas adalah seluruh bagian dari area tanah suci Mekah, termasuk jalan-jalannya dan bangunan-bangunan di dalamnya. Ketiga, jika beberapa orang melakukan shalat berjama’ah di sana dengan imam tersendiri, tanpa mengikuti imam Masjidil Haram, tidak diragukan lagi boleh dan sahnya. Bahkan ini lebih utama daripada ia shalat sendirian. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ “Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Keempat, jika seseorang shalat sendirian di tempat tersebut, seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib, shalat malam, dan semisalnya, juga tidak diragukan boleh dan sahnya. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا “Bumi seluruhnya dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci” (HR. Bukhari no.335). Kelima, jika seseorang shalat di tempat tersebut dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang keabsahannya sebagai shalat berjama’ah.  Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan: إطلاق الخرقي بصحة الاقتداء في المسجد و [في] غير المسجد بشرطه ظاهره: ولو وجد ما يمنع مشاهدة من وراء الإمام، وهو إحدى الروايات عن أحمد، لأن الاقتداء حاصل، أشبه ما لو شاهده، وعلى هذه الرواية لا بد من سماع التكبير لتحصل المتابعة بلا نزاع [واختارها القاضي] (والثانية) لا يصح مطلقا “Al-Kharqi memutlakkan keabsahan shalat jama’ah yang makmumnya berada di dalam masjid atau di luar masjid dengan syarat mengetahui zahir perbuatan imam. Walaupun terdapat penghalang di antara makmum dan imam. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat imam Ahmad. Karena iqtida’ tetap terjadi dalam kondisi ini, semisal dengan keadaan makmum yang melihat langsung imamnya. Dan menurut pendapat ini, disyaratkan makmum harus mendengar takbir, sehingga mereka bisa mengikuti gerakan imam. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Qadhi. Sedangkan dalam riwayat kedua dari imam Ahmad, tidak sah shalatnya makmum yang demikian secara mutlak” (Syarah Mukhtashar Al-Kharqi, 2/105). An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الإمام في المسجد، وحال بينهما حائل لم يصح عندنا، وبه قال أحمد. وقال مالك : تصح إلا في الجمعة . وقال أبو حنيفة : تصح مطلقا Andaikan seseorang shalat di rumahnya atau bangunan semisalnya, bermakmum pada imam di masjid, dan ada penghalang di antara keduanya, maka tidak sah shalatnya menurut ulama madzhab kami (Syafi’iyah) dan juga menurut pendapat imam Ahmad. Imam Malik mengatakan: sah untuk shalat jum’at saja. Imam Abu Hanifah mengatakan: sah secara mutlak” (Al-Majmu’, 4/200). Namun ulama yang mengatakan sahnya shalat yang demikian, mensyaratkan bersambungnya shaf dengan shaf yang ada di masjid jika jama’ah berada di luar masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: وأما صلاة المأموم خلف الإمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائل، فإن كانت صفوف متصلة جاز باتفاق الأئمة “Adapun shalatnya makmum di belakang imam dari luar masjid, atau di dalam masjid namun terdapat penghalang, jika shaf-nya bersambung, ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama”. Dikatakan shaf-nya bersambung adalah jika makmum masih bisa melihat punggung makmum di depannya, seterusnya demikian hingga shaf yang berada di dalam masjid. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: فَصْلٌ: فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ حَائِلٌ يَمْنَعُ رُؤْيَةَ الْإِمَامِ، أَوْ مَنْ وَرَاءَهُ، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: فِيهِ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا، لَا يَصِحُّ الِائْتِمَامُ بِهِ. اخْتَارَهُ الْقَاضِي؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِنِسَاءٍ كُنَّ يُصَلِّينَ فِي حُجْرَتِهَا: لَا تُصَلِّينَ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ، فَإِنَّكُنَّ دُونَهُ فِي حِجَابٍ … وَالثَّانِيَةُ: يَصِحُّ “Pasal: jika antara imam dan makmum terdapat penghalang yang menghalangi penglihatan makmum kepada imam atau kepada orang-orang di belakang imam. Ibnu Hamid mengatakan: “Ada dua riwayat dari imam Ahmad dalam masalah ini. Salah satunya mengatakan tidak sah dianggap sebagai shalat jama’ah. Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi. Karena Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada para wanita: Dahulu kami shalat di dalam kamar kami, maka janganlah kalian shalat bermakmum kepada imam (padahal dari dalam kamar) karena kalian terhalangi oleh hijab … riwayat yang kedua mengatakan tidak sah”” (Al-Mughni, 3/45). Sebagian ulama mensyaratkan jarak antara makmum yang berada di luar masjid dengan shaf yang ada di dalam masjid tidak lebih dari 300 hasta (sekitar 13,5 meter). Dalam kitab Fiqhul Ibadah ‘ala Madzhabis Syafi’i (1/396) disebutkan: إن كان الإمام في المسجد والمقتدي خارجه تصح الجماعة بشرط ألا تزيد مسافة البعد ما بين آخر المسجد وأول مقتد يقف خارجه، أو بين كل صفين أو شخصين خارج المسجد، على ثلاثمائة ذراع تقريبا “Jika imam berada di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka sah sebagai shalat berjama’ah dengan syarat jarak antara shaf terakhir di masjid dan shaf terdepan dari makmum yang berada di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta. Atau jarak antara dua shaf, atau antara dua orang yang shalat di luar masjid, tidak lebih dari 300 hasta”  Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta juga mengatakan: لا تصح الصلاة، وهذا مذهب الشافعية وبه قال الإمام أحمد ، إلا إذا اتصلت الصفوف ببيته، وأمكنه الاقتداء بالإمام بالرؤية وسماع الصوت، فإنها تصح، كما تصح صلاة الصفوف التي اتصلت بمنزله، أما بدون الشرط المذكور فلا تصح “Tidak sah shalat yang demikian. Ini adalah madzhab Syafi’iyah dan juga pendapat Imam Ahmad. Kecuali jika shaf-nya bersambung terus hingga rumahnya. Dan sang makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan melihat (makmum yang lain) serta mendengar suara imam. Maka ini sah. Sebagaimana sahnya shalat jika shaf-nya bersambung terus hingga ke rumahnya. Namun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut, maka tidak sah shalat berjamaahnya” (Fatawa Al-Lajnah, 8/31). Oleh karena itu shalat di musholla lantai P9 atau P10 di tower zamzam dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram tidak sah dianggap sebagai shalat berjamaah. Karena shaf-nya tidak bersambung dengan shaf para makmum di Masjidil Haram. Dan terdapat jarak yang jauh antara mereka dengan shaf makmum di Masjidil Haram. Walaupun demikian, shalatnya tetap sah sebagai shalat sendirian, bukan berjama’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: فالصواب في هذه المسألة أنه لا بد من اتصال الصفوف فإن لم تكن متصلة فإن الصلاة لا تصح ولنطبّق هذه المسألة على الواقع يوجد حول الحرم عَمارات فيها شقق يصلي فيها الناس “Pendapat yang benar dalam masalah ini, yaitu wajib adanya ketersambungan shaf. Jika shaf-nya tidak bersambung maka shalatnya tidak sah. Dan kaidah ini kita terapkan pada kasus yang terjadi di zaman sekarang sebagaimana yang terjadi pada menara-menara (hotel) yang ada di sekitar Masjidil Haram yang di sana disediakan ruangan-ruangan untuk tempat shalat” (Syarah Zadul Mustaqni, 7/49). Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih juga memfatwakan: “Tempat-tempat tersebut tidak termasuk masjid, namun ia hanya tempat yang disediakan untuk shalat. Orang yang shalat di sana dengan bermakmum kepada imam Masjidil Haram, jika shaf-nya bersambung maka jumhur ulama mengatakan shalatnya sah. Namun jika shaf-nya terputus, maksudnya, shaf para makmum di Masjidil Haram tidak sampai kepada tempat-tempat shalat tersebut, maka disini ulama ada dua pendapat. Sebagian mereka mengatakan, selama mendengar suara imam dan melihat orang-orang yang ada di belakang imam, maka shalatnya sah selama mereka bersebelahan dengan masjid walaupun shaf-nya tidak bersambung. Namun jumhur ulama mengatakan tidak sah shalat yang demikian jika tidak bersambung shaf-nya. Oleh karena itu yang lebih hati-hati hendaknya shalat di tempat-tempat yang masih bersambung dengan shaf yang ada di Masjidil Haram” (Sumber: حكم الصلاة في فنادق الحرم ؟ الشيخ خالد المصلح). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Batas Shalat Dhuha, Larangan Meniup Makanan, Tugas Dan Kewajiban Suami, Biaya Pernikahan Dari Pihak Perempuan, Dp Islam, Sebelum Sholat Idul Fitri Kita Disunnahkan Makan Terlebih Dahulu Karena Visited 1,261 times, 11 visit(s) today Post Views: 583 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Sekali Lagi, Bersikap Lembutlah kepada Sesama Ahlusunah

ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه Segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau. وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول: {فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ}، ويقول: {وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ}، ويقول: {وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)). Amma ba’du: Yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang berkutat dengan ilmu syar’i dari kalangan Ahlusunah wal jamaah – yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf umat ini – pada zaman ini adalah persatuan dan saling menasihati. Terlebih lagi, mereka adalah minoritas jika dibandingkan dengan sekte-sekte dan golongan-golongan sesat yang berbelok dari pemahaman para salaf umat ini.  Sebelum lebih dari 15 tahun yang lalu, pada akhir-akhir zaman dua syaikh yang mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumallah; beberapa orang dari kalangan Ahlusunah berusaha untuk memberi peringatan dari beberapa aliran yang menyelisihi jalan para salaf; dan ini adalah usaha yang terpuji dan patut dihargai. Namun, yang disayangkan adalah setelah wafatnya dua syaikh tersebut, ada beberapa orang yang mencela sebagian saudara mereka sendiri dari kalangan Ahlusunah yang menyeru agar berpegang kepada pemahaman para salaf, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Padahal, seharusnya mereka wajib menerima kebaikan para dai tersebut, mendukung usaha mereka, dan meluruskan kesalahan mereka jika memang telah dipastikan itu salah. Kemudian mereka hendaknya tidak sibuk mengisi majelis mereka dengan menyebutkan keburukan para dai itu dan memperingatkan orang-orang dari mereka. Justru, seharusnya mereka menyibukkan diri dengan ilmu, baik itu dengan membaca, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Inilah metode yang benar dalam menghadirkan kebaikan dan perbaikan yang dulu dipakai oleh Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Imam Ahlusunah wal jamaah pada zaman ini – rahimahullah.  Orang-orang yang berkutat dengan ilmu (penuntut ilmu dan ulama) dari kalangan Ahlusunah hanya sedikit pada zaman ini, sehingga mereka butuh peningkatan jumlah; dan bukan sebaliknya, saling merendahkan. Dan mereka butuh saling menguatkan, bukan saling memutus hubungan. Perumpamaan yang sesuai dengan mereka seperti yang diungkapkan ulama nahwu, “Lafaz dalam bentuk tashghir (kecil) tidak perlu dikecilkan lagi.”  Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa, jilid 28 hlm. 51, “Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa di antara kaidah agung yang menjadi pokok agama adalah pengharmonisan hati, penyatuan kalimat, dan pendamaian dua pihak yang berselisih; karena Allah Ta’ala telah berfirman,  فَاتَّقُواْ اللهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ “… Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu …” (QS. Al-Anfal: 1) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS. Ali Imran: 103) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105) Dan nash-nash lain semisalnya yang memerintahkan untuk berjamaah dan bersatu, dan melarang dari perpecahan dan perselisihan. Golongan yang menerapkan dasar ini adalah Ahlusunah; sedangkan orang-orang Khawarij adalah golongan yang menyukai perpecahan.” وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر. Saya telah menulis risalah dalam tema ini dengan judul “Rifqan Ahl as-Sunnah bi-Ahl as-Sunnah” (Bersikap lembutlah kepada sesama Ahlusunah) yang dicetak pada tahun 1424 H, dan cetakan kedua pada tahun 1426 H, lalu dicetak dalam kumpulan buku dan tulisan saya lainnya (jilid 6 halaman 281-327) pada tahun 1428 H. Dalam risalah itu, saya menyebutkan banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, serta perkataan para ulama yang teliti dari kalangan Ahlusunah. Setelah pendahuluan, risalah itu bersisi pembahasan-pembahasan sebagai berikut; (1) nikmat dapat berbicara dan menjelaskan, (2) menjaga lisan dari berbicara kecuali bicara yang baik, (3) prasangka dan mencari-cari aib, (4) lemah lembut, (5) sikap Ahlusunah terhadap ulama jika melakukan kesalahan adalah memberi uzur, bukan membidahkan dan memboikot, (6) fitnah pencelaan dan boikot dari sebagian Ahlusunah pada zaman ini, dan cara agar selamat darinya, (7) kebidahan menilai orang lain berdasarkan sosok panutan, (8) dan peringatan terhadap fitnah pencelaan dan pembidahan yang dilakukan sebagian Ahlusunah pada zaman ini. ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)). Di antara hal yang sangat disayangkan adalah akhir-akhir ini keadaan tersebut semakin parah, dengan pengarahan panah pencelaan dan pembidahan terhadap sebagian Ahlusunah, dan saling memboikot sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut. Saat ini sering sekali muncul pertanyaan, “Bagaimana menurut Anda tentang si A yang membidahkan si B? Apakah saya boleh membaca kitab ini yang ditulis si A yang telah membidahkan si B? Anda harus punya sikap dalam masalah ini, kalau tidak maka kami akan berpaling dari Anda!”  Hal ini lebih buruk lagi ketika terjadi di sebagian negara Eropa dan lainnya, yang para penuntut ilmunya dari kalangan Ahlusunah, hanya memiliki bekal sangat sedikit, dan mereka sangat butuh belajar lagi agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan agar selamat dari fitnah saling memboikot karena ikut-ikutan dalam pencelaan pihak lainnya. Manhaj ini mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya berkata tentang organisasi ini, “Dakwah kalian paling berhak untuk didatangi oleh orang-orang, dan tidak perlu datang kepada orang lain … karena dakwah ini adalah pokok segala kebaikan, sedangkan yang lain tidak terbebas dari kekurangan!” (Kitab Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hlm. 232, cetakan Dar asy-Syihab, karya Syaikh Hasan al-Banna). Beliau juga berkata, “Sikap kita terhadap berbagai dakwah yang berlebihan pada zaman ini, sehingga mencerai berai hati dan mengacaukan pemikiran, adalah menimbangnya dengan dakwah kita; dakwah yang sesuai dengannya akan kita sambut, adapun dakwah yang menyelisihinya maka kami berlepas diri darinya!” (Kitab Majmu’ah Rasail Hasan al-Banna, hlm. 240, cetakan Dar ad-Da’wah, tahun 1411 H). Daripada para penuntut ilmu itu sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka menyibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat milik Ahlusunah, terlebih lagi buku-buku karya ulama kontemporer seperti fatwa-fatwa Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, fatwa-fatwa Lajnah Daimah lil-Ifta’, buku-buku karya Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya. Dengan buku-buku itu, mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan selamat dari ‘katanya ini dan itu’ dan memakan daging saudaranya dari sesama Ahlusunah. Dalam kitab “al-Jawab al-Kafi” halaman 203, Ibnu al-Qayyim berkata, “Di antara hal yang mengherankan adalah manusia dengan mudah menjaga diri dan menjauh dari memakan makanan haram, kezaliman, zina, mencuri, meminum khamr, melihat hal yang diharamkan, dan lain sebagainya; akan tetapi dia susah menjaga diri dari gerakan lisannya. Bahkan, terkadang ada orang yang terkenal dengan agama, kezuhudan, dan ibadahnya; tapi dia mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa menghiraukannya. Akibat satu kalimat itu, dia menempatkan dirinya terhadap Allah lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Betapa sering kamu melihat orang yang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kezaliman, tapi lisannya melecehkan kehormatan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati, tanpa memedulikan apa yang dia katakan.” وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)). Apabila ada ucapan yang umum dan ucapan yang terperinci dari seorang Ahlusunah, hendaklah kita berbaik sangka kepadanya dan memahami ucapannya yang umum berdasarkan ucapannya yang terperinci. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kamu menyangka satu pun kalimat yang keluar dari lisan saudaramu seiman, kecuali dengan sangkaan yang baik; dan kamu dapat mencarikan kemungkinan yang baik bagi ucapan itu.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir surat al-Hujurat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab “al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri” halaman 324, “Sebagaimana diketahui, ucapan yang terperinci dari seseorang menjelaskan ucapannya yang umum; dan ucapannya yang terang-terangan harus didahulukan daripada ucapannya yang berupa kiasan.” Beliau juga berkata dalam kitab “ash-Sharim al-Maslul” jilid 2 hlm. 512, “Mengikuti mazhab-mazhab para ulama secara mutlak tanpa merujuk kembali kepada penafsiran atas ucapan mereka dan hasil dari kaidah-kaidah mereka, dapat menjerumuskan kepada mazhab-mazhab yang buruk.” Beliau juga berkata dalam kitab “al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Din al-Masih” jilid 4 hlm. 44, “Perkataan seseorang harus ditafsirkan dengan perkataannya yang lain; dan perkataannya harus dinukil dari sana sini; serta harus diketahui kebiasaannya jika dia berkata seperti itu, apa sebenarnya yang biasa dia maksud dan inginkan.” والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق. Orang-orang yang mengkritik dan yang dikritik sama-sama tidak punya jaminan dan tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Namun, mencari tingkat yang sempurna adalah hal yang diharuskan; meskipun tidak boleh juga berpaling dan menyia-nyiakan kebaikan yang berada di bawah tingkat sempurna. Sehingga tidak boleh dikatakan, “Antara mendapatkan yang sempurna atau tidak sama sekali,” atau “Antara meraih cahaya yang sempurna atau kegelapan.” Namun, harus menjaga cahaya yang redup dan berusaha untuk meningkatkan sinarnya. Jika tidak dapat diraih dua lentera atau lebih, maka satu lentera lebih baik daripada harus mengalami kegelapan. Semoga Allah merahmati Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang telah mewakafkan hidupnya untuk ilmu syar’i dengan belajar, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Dulu beliau orang yang sangat serius dalam menyemangati para syaikh dan penuntut ilmu untuk mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasihati salah seorang syaikh dalam hal ini, tapi syaikh tersebut enggan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh beliau; maka beliau berkata, “Dengan keadaan rabun atau buta!” Yakni hal yang tidak dapat diraih sepenuhnya, tidak lantas ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada orang yang punya penglihatan tajam, tapi adanya hanya orang yang punya penglihatan buram (rabun), maka rabun itu lebih baik daripada buta sama sekali. Syaikh kami Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah kehilangan penglihatannya pada usia 20 tahun; tapi Allah mengganti bagi beliau cahaya batin yang sudah masyhur di kalangan orang yang dekat maupun yang jauh dengan beliau. Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 10 hlm. 364, “Jika tidak dapat diraih cahaya yang terang benderang karena tidak ada cahaya kecuali yang redup (maka itulah yang harus diraih), karena jika tidak maka manusia akan berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencela dan melarang dari cahaya yang redup, kecuali jika memang ada cahaya yang terang benderang; sebab betapa banyak orang yang berpaling dari cahaya yang redup itu, sehingga dia kehilangan cahaya sepenuhnya.” Hal ini mirip dengan ucapan (yang salah) dari sebagian orang, “Kebenaran itu absolut, tidak terbagi-bagi; maka ambillah kebenaran itu atau tinggalkan saja sepenuhnya.” Mengikuti kebenaran sepenuhnya adalah sikap yang benar, sedangkan meninggalkannya sepenuhnya adalah sikap yang salah; dan barang siapa yang memiliki sedikit kebenaran, disarankan baginya untuk terus menjaganya dan berusaha meraih kebenaran yang belum dia miliki. والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)). Boikot yang baik adalah yang mendatangkan kemaslahatan, bukan justru yang mendatangkan kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 28 hlm. 173, “Seandainya setiap kali ada dua orang Muslim yang berselisih dalam suatu perkara, keduanya kemudian saling memboikot; niscaya tidak tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.”  Beliau juga berkata dalam jilid 28 hlm. 206, “Masalah boikot ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan para pelakunya, dari sisi kekuatan dan kelemahan mereka, dan dari sisi banyak atau sedikitnya mereka. Karena tujuan dari boikot adalah memberi tekanan dan pelajaran bagi pihak yang diboikot, serta memberi pelajaran kepada masyarakat umum agar berhenti dari sikap pihak yang diboikot itu. Apabila ada maslahat yang lebih besar dari aksi boikot, sehingga menjadikan keburukan menjadi melemah dan berkurang; maka boikot itu disyariatkan. Namun, jika pihak yang diboikot dan yang lainnya tidak berhenti dari sikap buruknya, atau bahkan justru bertambah buruk – sedangkan yang memboikot adalah pihak yang lemah, sehingga kerusakan yang didapatkan lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan.” Hingga perkataan beliau, “… jika ini telah dipahami, maka aksi boikot yang disyariatkan termasuk amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan harus dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan perintah-Nya; sehingga ketaatan itu ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang benar. Sehingga barang siapa yang memboikot berdasarkan hawa nafsu, atau melakukan boikot yang tidak diperintahkan Allah; maka boikot itu telah keluar dari hal ini (ketaatan). Betapa sering jiwa ini melakukan sesuatu yang diinginkan hawa nafsunya, dan dia mengira telah melakukan ketaatan kepada Allah.” وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟! Para ulama telah menyebutkan bahwa jika seorang ulama melakukan kesalahan, tidak boleh diikuti kesalahannya, tapi tidak juga dijauhi orangnya; dan kesalahannya dimaklumi karena dibandingkan dengan kebenarannya yang banyak. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 3 hlm. 349 setelah perkataan beliau sebelumnya, “Orang-orang seperti ini, jika tidak menjadikan apa yang mereka buat itu sebagai pendapat yang memisahkan mereka dari jamaah Islam, serta berlepas diri dan memusuhi Islam; maka itu hanya suatu kesalahan biasa; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni orang-orang beriman atas kesalahan mereka yang seperti ini. Oleh sebab itu, banyak para salaf dan ulama umat yang melakukan hal semacam ini; mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ucapkan berdasarkan ijtihad, tapi pendapat-pendapat itu menyelisihi apa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lain halnya jika seseorang membela orang yang sepakat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya, dan berpisah dari jamaah kaum Muslimin.” Imam adz-Dzahabi berkata dalam kitab “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 14 hlm. 39, “Seandainya setiap kali seorang imam (ulama) salah dalam berijtihad tentang beberapa masalah yang masih dapat dimaklumi, kita segera melawan, membidahkan, dan memboikotnya; niscaya tidak akan selamat dari kita seorang Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih besar dari mereka berdua. Allah adalah Maha Pemberi hidayah bagi makhluk-Nya menuju kebenaran, dan Dia Maha Pengasih; maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap kasar.” Beliau juga berkata, dalam jilid 14 hlm. 376, “Andai setiap kali ada ulama yang salah dalam berijtihad – padahal imannya lurus dan sangat berusaha mengikuti kebenaran – lalu kita segera sia-siakan dan bidahkan ulama itu, niscaya hanya sedikit sekali ulama yang selamat untuk tetap sejalan dengan kita. Semoga Allah merahmati semua pihak dengan karunia dan kemurahan-Nya.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk pencelaan jika yang menjadi pemicu perbuatan itu adalah hawa nafsu. Beliau berkata dalam kitab “Shaid al-Khathir” hlm. 143, “Saya telah berjumpa dengan banyak guru, keadaan mereka berbeda-beda dan tingkat keilmuan mereka juga beragam. Namun, yang paling banyak membawa manfaat bagiku dari mereka saat saya membersamai mereka adalah yang mengamalkan ilmunya, meskipun ulama yang lain lebih luas ilmunya. Saya juga telah berjumpa dengan beberapa ulama hadis yang menghafal dan mengetahui banyak hadis, tapi mereka mudah untuk melakukan gibah, dan menganggapnya sebagai bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang mempelajari keadaan para perawi hadis). Dan saya telah berjumpa dengan Abdul Wahhab al-Anmathi; beliau dulu berada di atas jalan para salaf, dan di majelisnya tidak terdengar gibah.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah juga berkata dalam kitab “Talbis Iblis” jilid 2 hlm. 689, “Di antara bentuk hasutan Iblis kepada para ulama hadis adalah saling mencela satu sama lain untuk meluapkan balas dendam atau amarah; dan mereka menganggap itu bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil yang dipakai para ulama terdahulu dari umat ini untuk mempertahankan syariat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui tentang tujuan mereka.” Jika ini terjadi pada zaman Ibnu al-Jauzi yang telah wafat sekitar tahun 597 H, lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada abad ke-15 hijriyah ini? وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)). Belum lama ini, terbit kitab berharga dengan judul “al-Ibanah ‘an Kaifiyah at-Ta’amul ma’a al-Khilaf Baina Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” (Penjelasan tata cara berinteraksi dengan perbedaan pendapat antara Ahlusunah waljamaah), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam yang berasal dari Yaman. Kitab ini telah mendapat testimoni baik dari lima Syaikh dari Yaman. Kitab ini menyebutkan banyak nukilan dari para ulama terdahulu maupun kontemporer; terlebih lagi dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallah. Kitab ini berisi nasihat bagi Ahlusunah untuk berinteraksi dengan baik sesama mereka. Saya telah membaca banyak bab dari kitab ini dan mendapatkan referensi beberapa nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim yang saya cantumkan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk membaca kitab ini dan mengambil manfaat darinya.  Di antara kalimat terbaik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam dalam kitab tersebut adalah yang disebutkan di halaman 170, “Terkadang ada ulama terpercaya yang mencela sebagian Ahlusunah lainnya, sehingga tertancaplah fitnah boikot, perpecahan, dan saling bermusuhan. Bahkan, bisa jadi timbul peperangan di antara sesama Ahlusunah. Ketika ini terjadi, dapat diketahui bahwa pencelaan dapat menimbulkan banyak fitnah; sehingga hal yang wajib dilakukan adalah meninjau kembali metode pencelaan, dan memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin terjadi, serta melakukan hal yang dapat memperkokoh persaudaraan, menjaga keberlangsungan dakwah, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Tidak baik terus menggunakan suatu metode pencelaan yang telah terbukti menimbulkan kemudaratan.” وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها. Tidak diragukan lagi bahwa para syaikh dan penuntut ilmu dari kalangan Ahlusunah merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Yaman ini, dan merasa sakit atas perpecahan dan perselisihan, serta berhasrat untuk menyampaikan nasihat kepada saudara mereka lainnya. Namun, penyampaian nasihat ini telah didahului oleh saudara-saudara kita dari Yaman, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Mungkin nasihat ini adalah bagian dari yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keimanan ada di orang-orang Yaman, dan kebijaksanaan ada di orang-orang Yaman.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 3499 dan Imam Muslim no. 188).  Diharapkan nasihat dari saudara-saudara kita dari Yaman ini dapat terealisasi tujuan dari penulisan dan publikasinya. Saya mengira tidak ada seorang pun dari Ahlusunah yang mendukung bentuk pencelaan seperti itu dan berusaha mengikutinya, karena pencelaan seperti itu tidak menghasilkan apapun kecuali permusuhan dan kebencian di antara kalangan Ahlusunah, serta kekerasan hati mereka. ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم. Orang yang berakal tidak akan berhenti terheran-heran, di waktu orang-orang yang berkiblat ke negara-negara Barat berusaha membuat kerusakan di negara dua Tanah Suci – terlebih lagi ada musibah akhlak dalam konferensi mereka di Jeddah yang mereka namai dengan dusta “Konferensi Khadijah binti Khuwailid”; dan saya telah menanggapi konferensi ini melalui artikel yang berjudul “Tidak pantas memakai nama Khadijah binti Khuwailid sebagai tema untuk acara yang berisi degradasi moral kaum wanita” –; bersamaan dengan waktu ini, sebagian orang dari kalangan Ahlusunah masih sibuk mencela dan mencekal sesama mereka. وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه. عبد المحسن بن حمد العباد البدر Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada setiap penganut Ahlusunah di setiap tempat sehingga mereka dapat berpegang teguh kepada as-Sunnah, saling bersatu padu sesama mereka, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan mengesampingkan segala perpecahan dan perselisihan di antara mereka.  Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi taufik kepada seluruh kaum Muslimin dalam memahami agama dan beristiqamah di atas kebenaran. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr Sumber: https://al-abbaad.com/articles/45-1432-01-16  PDF sumber artikel. 🔍 Tanya Jawab Agama Islam, Bahasa Arab Penghuni Surga, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Aturan Makan Semut Jepang, Munjiyat, Menyusui Sambil Berhubungan Intim Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 559 QRIS donasi Yufid

Sekali Lagi, Bersikap Lembutlah kepada Sesama Ahlusunah

ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه Segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau. وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول: {فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ}، ويقول: {وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ}، ويقول: {وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)). Amma ba’du: Yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang berkutat dengan ilmu syar’i dari kalangan Ahlusunah wal jamaah – yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf umat ini – pada zaman ini adalah persatuan dan saling menasihati. Terlebih lagi, mereka adalah minoritas jika dibandingkan dengan sekte-sekte dan golongan-golongan sesat yang berbelok dari pemahaman para salaf umat ini.  Sebelum lebih dari 15 tahun yang lalu, pada akhir-akhir zaman dua syaikh yang mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumallah; beberapa orang dari kalangan Ahlusunah berusaha untuk memberi peringatan dari beberapa aliran yang menyelisihi jalan para salaf; dan ini adalah usaha yang terpuji dan patut dihargai. Namun, yang disayangkan adalah setelah wafatnya dua syaikh tersebut, ada beberapa orang yang mencela sebagian saudara mereka sendiri dari kalangan Ahlusunah yang menyeru agar berpegang kepada pemahaman para salaf, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Padahal, seharusnya mereka wajib menerima kebaikan para dai tersebut, mendukung usaha mereka, dan meluruskan kesalahan mereka jika memang telah dipastikan itu salah. Kemudian mereka hendaknya tidak sibuk mengisi majelis mereka dengan menyebutkan keburukan para dai itu dan memperingatkan orang-orang dari mereka. Justru, seharusnya mereka menyibukkan diri dengan ilmu, baik itu dengan membaca, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Inilah metode yang benar dalam menghadirkan kebaikan dan perbaikan yang dulu dipakai oleh Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Imam Ahlusunah wal jamaah pada zaman ini – rahimahullah.  Orang-orang yang berkutat dengan ilmu (penuntut ilmu dan ulama) dari kalangan Ahlusunah hanya sedikit pada zaman ini, sehingga mereka butuh peningkatan jumlah; dan bukan sebaliknya, saling merendahkan. Dan mereka butuh saling menguatkan, bukan saling memutus hubungan. Perumpamaan yang sesuai dengan mereka seperti yang diungkapkan ulama nahwu, “Lafaz dalam bentuk tashghir (kecil) tidak perlu dikecilkan lagi.”  Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa, jilid 28 hlm. 51, “Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa di antara kaidah agung yang menjadi pokok agama adalah pengharmonisan hati, penyatuan kalimat, dan pendamaian dua pihak yang berselisih; karena Allah Ta’ala telah berfirman,  فَاتَّقُواْ اللهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ “… Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu …” (QS. Al-Anfal: 1) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS. Ali Imran: 103) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105) Dan nash-nash lain semisalnya yang memerintahkan untuk berjamaah dan bersatu, dan melarang dari perpecahan dan perselisihan. Golongan yang menerapkan dasar ini adalah Ahlusunah; sedangkan orang-orang Khawarij adalah golongan yang menyukai perpecahan.” وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر. Saya telah menulis risalah dalam tema ini dengan judul “Rifqan Ahl as-Sunnah bi-Ahl as-Sunnah” (Bersikap lembutlah kepada sesama Ahlusunah) yang dicetak pada tahun 1424 H, dan cetakan kedua pada tahun 1426 H, lalu dicetak dalam kumpulan buku dan tulisan saya lainnya (jilid 6 halaman 281-327) pada tahun 1428 H. Dalam risalah itu, saya menyebutkan banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, serta perkataan para ulama yang teliti dari kalangan Ahlusunah. Setelah pendahuluan, risalah itu bersisi pembahasan-pembahasan sebagai berikut; (1) nikmat dapat berbicara dan menjelaskan, (2) menjaga lisan dari berbicara kecuali bicara yang baik, (3) prasangka dan mencari-cari aib, (4) lemah lembut, (5) sikap Ahlusunah terhadap ulama jika melakukan kesalahan adalah memberi uzur, bukan membidahkan dan memboikot, (6) fitnah pencelaan dan boikot dari sebagian Ahlusunah pada zaman ini, dan cara agar selamat darinya, (7) kebidahan menilai orang lain berdasarkan sosok panutan, (8) dan peringatan terhadap fitnah pencelaan dan pembidahan yang dilakukan sebagian Ahlusunah pada zaman ini. ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)). Di antara hal yang sangat disayangkan adalah akhir-akhir ini keadaan tersebut semakin parah, dengan pengarahan panah pencelaan dan pembidahan terhadap sebagian Ahlusunah, dan saling memboikot sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut. Saat ini sering sekali muncul pertanyaan, “Bagaimana menurut Anda tentang si A yang membidahkan si B? Apakah saya boleh membaca kitab ini yang ditulis si A yang telah membidahkan si B? Anda harus punya sikap dalam masalah ini, kalau tidak maka kami akan berpaling dari Anda!”  Hal ini lebih buruk lagi ketika terjadi di sebagian negara Eropa dan lainnya, yang para penuntut ilmunya dari kalangan Ahlusunah, hanya memiliki bekal sangat sedikit, dan mereka sangat butuh belajar lagi agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan agar selamat dari fitnah saling memboikot karena ikut-ikutan dalam pencelaan pihak lainnya. Manhaj ini mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya berkata tentang organisasi ini, “Dakwah kalian paling berhak untuk didatangi oleh orang-orang, dan tidak perlu datang kepada orang lain … karena dakwah ini adalah pokok segala kebaikan, sedangkan yang lain tidak terbebas dari kekurangan!” (Kitab Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hlm. 232, cetakan Dar asy-Syihab, karya Syaikh Hasan al-Banna). Beliau juga berkata, “Sikap kita terhadap berbagai dakwah yang berlebihan pada zaman ini, sehingga mencerai berai hati dan mengacaukan pemikiran, adalah menimbangnya dengan dakwah kita; dakwah yang sesuai dengannya akan kita sambut, adapun dakwah yang menyelisihinya maka kami berlepas diri darinya!” (Kitab Majmu’ah Rasail Hasan al-Banna, hlm. 240, cetakan Dar ad-Da’wah, tahun 1411 H). Daripada para penuntut ilmu itu sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka menyibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat milik Ahlusunah, terlebih lagi buku-buku karya ulama kontemporer seperti fatwa-fatwa Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, fatwa-fatwa Lajnah Daimah lil-Ifta’, buku-buku karya Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya. Dengan buku-buku itu, mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan selamat dari ‘katanya ini dan itu’ dan memakan daging saudaranya dari sesama Ahlusunah. Dalam kitab “al-Jawab al-Kafi” halaman 203, Ibnu al-Qayyim berkata, “Di antara hal yang mengherankan adalah manusia dengan mudah menjaga diri dan menjauh dari memakan makanan haram, kezaliman, zina, mencuri, meminum khamr, melihat hal yang diharamkan, dan lain sebagainya; akan tetapi dia susah menjaga diri dari gerakan lisannya. Bahkan, terkadang ada orang yang terkenal dengan agama, kezuhudan, dan ibadahnya; tapi dia mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa menghiraukannya. Akibat satu kalimat itu, dia menempatkan dirinya terhadap Allah lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Betapa sering kamu melihat orang yang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kezaliman, tapi lisannya melecehkan kehormatan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati, tanpa memedulikan apa yang dia katakan.” وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)). Apabila ada ucapan yang umum dan ucapan yang terperinci dari seorang Ahlusunah, hendaklah kita berbaik sangka kepadanya dan memahami ucapannya yang umum berdasarkan ucapannya yang terperinci. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kamu menyangka satu pun kalimat yang keluar dari lisan saudaramu seiman, kecuali dengan sangkaan yang baik; dan kamu dapat mencarikan kemungkinan yang baik bagi ucapan itu.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir surat al-Hujurat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab “al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri” halaman 324, “Sebagaimana diketahui, ucapan yang terperinci dari seseorang menjelaskan ucapannya yang umum; dan ucapannya yang terang-terangan harus didahulukan daripada ucapannya yang berupa kiasan.” Beliau juga berkata dalam kitab “ash-Sharim al-Maslul” jilid 2 hlm. 512, “Mengikuti mazhab-mazhab para ulama secara mutlak tanpa merujuk kembali kepada penafsiran atas ucapan mereka dan hasil dari kaidah-kaidah mereka, dapat menjerumuskan kepada mazhab-mazhab yang buruk.” Beliau juga berkata dalam kitab “al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Din al-Masih” jilid 4 hlm. 44, “Perkataan seseorang harus ditafsirkan dengan perkataannya yang lain; dan perkataannya harus dinukil dari sana sini; serta harus diketahui kebiasaannya jika dia berkata seperti itu, apa sebenarnya yang biasa dia maksud dan inginkan.” والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق. Orang-orang yang mengkritik dan yang dikritik sama-sama tidak punya jaminan dan tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Namun, mencari tingkat yang sempurna adalah hal yang diharuskan; meskipun tidak boleh juga berpaling dan menyia-nyiakan kebaikan yang berada di bawah tingkat sempurna. Sehingga tidak boleh dikatakan, “Antara mendapatkan yang sempurna atau tidak sama sekali,” atau “Antara meraih cahaya yang sempurna atau kegelapan.” Namun, harus menjaga cahaya yang redup dan berusaha untuk meningkatkan sinarnya. Jika tidak dapat diraih dua lentera atau lebih, maka satu lentera lebih baik daripada harus mengalami kegelapan. Semoga Allah merahmati Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang telah mewakafkan hidupnya untuk ilmu syar’i dengan belajar, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Dulu beliau orang yang sangat serius dalam menyemangati para syaikh dan penuntut ilmu untuk mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasihati salah seorang syaikh dalam hal ini, tapi syaikh tersebut enggan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh beliau; maka beliau berkata, “Dengan keadaan rabun atau buta!” Yakni hal yang tidak dapat diraih sepenuhnya, tidak lantas ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada orang yang punya penglihatan tajam, tapi adanya hanya orang yang punya penglihatan buram (rabun), maka rabun itu lebih baik daripada buta sama sekali. Syaikh kami Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah kehilangan penglihatannya pada usia 20 tahun; tapi Allah mengganti bagi beliau cahaya batin yang sudah masyhur di kalangan orang yang dekat maupun yang jauh dengan beliau. Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 10 hlm. 364, “Jika tidak dapat diraih cahaya yang terang benderang karena tidak ada cahaya kecuali yang redup (maka itulah yang harus diraih), karena jika tidak maka manusia akan berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencela dan melarang dari cahaya yang redup, kecuali jika memang ada cahaya yang terang benderang; sebab betapa banyak orang yang berpaling dari cahaya yang redup itu, sehingga dia kehilangan cahaya sepenuhnya.” Hal ini mirip dengan ucapan (yang salah) dari sebagian orang, “Kebenaran itu absolut, tidak terbagi-bagi; maka ambillah kebenaran itu atau tinggalkan saja sepenuhnya.” Mengikuti kebenaran sepenuhnya adalah sikap yang benar, sedangkan meninggalkannya sepenuhnya adalah sikap yang salah; dan barang siapa yang memiliki sedikit kebenaran, disarankan baginya untuk terus menjaganya dan berusaha meraih kebenaran yang belum dia miliki. والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)). Boikot yang baik adalah yang mendatangkan kemaslahatan, bukan justru yang mendatangkan kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 28 hlm. 173, “Seandainya setiap kali ada dua orang Muslim yang berselisih dalam suatu perkara, keduanya kemudian saling memboikot; niscaya tidak tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.”  Beliau juga berkata dalam jilid 28 hlm. 206, “Masalah boikot ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan para pelakunya, dari sisi kekuatan dan kelemahan mereka, dan dari sisi banyak atau sedikitnya mereka. Karena tujuan dari boikot adalah memberi tekanan dan pelajaran bagi pihak yang diboikot, serta memberi pelajaran kepada masyarakat umum agar berhenti dari sikap pihak yang diboikot itu. Apabila ada maslahat yang lebih besar dari aksi boikot, sehingga menjadikan keburukan menjadi melemah dan berkurang; maka boikot itu disyariatkan. Namun, jika pihak yang diboikot dan yang lainnya tidak berhenti dari sikap buruknya, atau bahkan justru bertambah buruk – sedangkan yang memboikot adalah pihak yang lemah, sehingga kerusakan yang didapatkan lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan.” Hingga perkataan beliau, “… jika ini telah dipahami, maka aksi boikot yang disyariatkan termasuk amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan harus dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan perintah-Nya; sehingga ketaatan itu ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang benar. Sehingga barang siapa yang memboikot berdasarkan hawa nafsu, atau melakukan boikot yang tidak diperintahkan Allah; maka boikot itu telah keluar dari hal ini (ketaatan). Betapa sering jiwa ini melakukan sesuatu yang diinginkan hawa nafsunya, dan dia mengira telah melakukan ketaatan kepada Allah.” وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟! Para ulama telah menyebutkan bahwa jika seorang ulama melakukan kesalahan, tidak boleh diikuti kesalahannya, tapi tidak juga dijauhi orangnya; dan kesalahannya dimaklumi karena dibandingkan dengan kebenarannya yang banyak. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 3 hlm. 349 setelah perkataan beliau sebelumnya, “Orang-orang seperti ini, jika tidak menjadikan apa yang mereka buat itu sebagai pendapat yang memisahkan mereka dari jamaah Islam, serta berlepas diri dan memusuhi Islam; maka itu hanya suatu kesalahan biasa; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni orang-orang beriman atas kesalahan mereka yang seperti ini. Oleh sebab itu, banyak para salaf dan ulama umat yang melakukan hal semacam ini; mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ucapkan berdasarkan ijtihad, tapi pendapat-pendapat itu menyelisihi apa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lain halnya jika seseorang membela orang yang sepakat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya, dan berpisah dari jamaah kaum Muslimin.” Imam adz-Dzahabi berkata dalam kitab “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 14 hlm. 39, “Seandainya setiap kali seorang imam (ulama) salah dalam berijtihad tentang beberapa masalah yang masih dapat dimaklumi, kita segera melawan, membidahkan, dan memboikotnya; niscaya tidak akan selamat dari kita seorang Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih besar dari mereka berdua. Allah adalah Maha Pemberi hidayah bagi makhluk-Nya menuju kebenaran, dan Dia Maha Pengasih; maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap kasar.” Beliau juga berkata, dalam jilid 14 hlm. 376, “Andai setiap kali ada ulama yang salah dalam berijtihad – padahal imannya lurus dan sangat berusaha mengikuti kebenaran – lalu kita segera sia-siakan dan bidahkan ulama itu, niscaya hanya sedikit sekali ulama yang selamat untuk tetap sejalan dengan kita. Semoga Allah merahmati semua pihak dengan karunia dan kemurahan-Nya.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk pencelaan jika yang menjadi pemicu perbuatan itu adalah hawa nafsu. Beliau berkata dalam kitab “Shaid al-Khathir” hlm. 143, “Saya telah berjumpa dengan banyak guru, keadaan mereka berbeda-beda dan tingkat keilmuan mereka juga beragam. Namun, yang paling banyak membawa manfaat bagiku dari mereka saat saya membersamai mereka adalah yang mengamalkan ilmunya, meskipun ulama yang lain lebih luas ilmunya. Saya juga telah berjumpa dengan beberapa ulama hadis yang menghafal dan mengetahui banyak hadis, tapi mereka mudah untuk melakukan gibah, dan menganggapnya sebagai bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang mempelajari keadaan para perawi hadis). Dan saya telah berjumpa dengan Abdul Wahhab al-Anmathi; beliau dulu berada di atas jalan para salaf, dan di majelisnya tidak terdengar gibah.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah juga berkata dalam kitab “Talbis Iblis” jilid 2 hlm. 689, “Di antara bentuk hasutan Iblis kepada para ulama hadis adalah saling mencela satu sama lain untuk meluapkan balas dendam atau amarah; dan mereka menganggap itu bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil yang dipakai para ulama terdahulu dari umat ini untuk mempertahankan syariat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui tentang tujuan mereka.” Jika ini terjadi pada zaman Ibnu al-Jauzi yang telah wafat sekitar tahun 597 H, lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada abad ke-15 hijriyah ini? وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)). Belum lama ini, terbit kitab berharga dengan judul “al-Ibanah ‘an Kaifiyah at-Ta’amul ma’a al-Khilaf Baina Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” (Penjelasan tata cara berinteraksi dengan perbedaan pendapat antara Ahlusunah waljamaah), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam yang berasal dari Yaman. Kitab ini telah mendapat testimoni baik dari lima Syaikh dari Yaman. Kitab ini menyebutkan banyak nukilan dari para ulama terdahulu maupun kontemporer; terlebih lagi dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallah. Kitab ini berisi nasihat bagi Ahlusunah untuk berinteraksi dengan baik sesama mereka. Saya telah membaca banyak bab dari kitab ini dan mendapatkan referensi beberapa nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim yang saya cantumkan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk membaca kitab ini dan mengambil manfaat darinya.  Di antara kalimat terbaik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam dalam kitab tersebut adalah yang disebutkan di halaman 170, “Terkadang ada ulama terpercaya yang mencela sebagian Ahlusunah lainnya, sehingga tertancaplah fitnah boikot, perpecahan, dan saling bermusuhan. Bahkan, bisa jadi timbul peperangan di antara sesama Ahlusunah. Ketika ini terjadi, dapat diketahui bahwa pencelaan dapat menimbulkan banyak fitnah; sehingga hal yang wajib dilakukan adalah meninjau kembali metode pencelaan, dan memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin terjadi, serta melakukan hal yang dapat memperkokoh persaudaraan, menjaga keberlangsungan dakwah, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Tidak baik terus menggunakan suatu metode pencelaan yang telah terbukti menimbulkan kemudaratan.” وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها. Tidak diragukan lagi bahwa para syaikh dan penuntut ilmu dari kalangan Ahlusunah merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Yaman ini, dan merasa sakit atas perpecahan dan perselisihan, serta berhasrat untuk menyampaikan nasihat kepada saudara mereka lainnya. Namun, penyampaian nasihat ini telah didahului oleh saudara-saudara kita dari Yaman, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Mungkin nasihat ini adalah bagian dari yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keimanan ada di orang-orang Yaman, dan kebijaksanaan ada di orang-orang Yaman.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 3499 dan Imam Muslim no. 188).  Diharapkan nasihat dari saudara-saudara kita dari Yaman ini dapat terealisasi tujuan dari penulisan dan publikasinya. Saya mengira tidak ada seorang pun dari Ahlusunah yang mendukung bentuk pencelaan seperti itu dan berusaha mengikutinya, karena pencelaan seperti itu tidak menghasilkan apapun kecuali permusuhan dan kebencian di antara kalangan Ahlusunah, serta kekerasan hati mereka. ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم. Orang yang berakal tidak akan berhenti terheran-heran, di waktu orang-orang yang berkiblat ke negara-negara Barat berusaha membuat kerusakan di negara dua Tanah Suci – terlebih lagi ada musibah akhlak dalam konferensi mereka di Jeddah yang mereka namai dengan dusta “Konferensi Khadijah binti Khuwailid”; dan saya telah menanggapi konferensi ini melalui artikel yang berjudul “Tidak pantas memakai nama Khadijah binti Khuwailid sebagai tema untuk acara yang berisi degradasi moral kaum wanita” –; bersamaan dengan waktu ini, sebagian orang dari kalangan Ahlusunah masih sibuk mencela dan mencekal sesama mereka. وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه. عبد المحسن بن حمد العباد البدر Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada setiap penganut Ahlusunah di setiap tempat sehingga mereka dapat berpegang teguh kepada as-Sunnah, saling bersatu padu sesama mereka, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan mengesampingkan segala perpecahan dan perselisihan di antara mereka.  Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi taufik kepada seluruh kaum Muslimin dalam memahami agama dan beristiqamah di atas kebenaran. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr Sumber: https://al-abbaad.com/articles/45-1432-01-16  PDF sumber artikel. 🔍 Tanya Jawab Agama Islam, Bahasa Arab Penghuni Surga, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Aturan Makan Semut Jepang, Munjiyat, Menyusui Sambil Berhubungan Intim Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 559 QRIS donasi Yufid
ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه Segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau. وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول: {فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ}، ويقول: {وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ}، ويقول: {وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)). Amma ba’du: Yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang berkutat dengan ilmu syar’i dari kalangan Ahlusunah wal jamaah – yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf umat ini – pada zaman ini adalah persatuan dan saling menasihati. Terlebih lagi, mereka adalah minoritas jika dibandingkan dengan sekte-sekte dan golongan-golongan sesat yang berbelok dari pemahaman para salaf umat ini.  Sebelum lebih dari 15 tahun yang lalu, pada akhir-akhir zaman dua syaikh yang mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumallah; beberapa orang dari kalangan Ahlusunah berusaha untuk memberi peringatan dari beberapa aliran yang menyelisihi jalan para salaf; dan ini adalah usaha yang terpuji dan patut dihargai. Namun, yang disayangkan adalah setelah wafatnya dua syaikh tersebut, ada beberapa orang yang mencela sebagian saudara mereka sendiri dari kalangan Ahlusunah yang menyeru agar berpegang kepada pemahaman para salaf, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Padahal, seharusnya mereka wajib menerima kebaikan para dai tersebut, mendukung usaha mereka, dan meluruskan kesalahan mereka jika memang telah dipastikan itu salah. Kemudian mereka hendaknya tidak sibuk mengisi majelis mereka dengan menyebutkan keburukan para dai itu dan memperingatkan orang-orang dari mereka. Justru, seharusnya mereka menyibukkan diri dengan ilmu, baik itu dengan membaca, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Inilah metode yang benar dalam menghadirkan kebaikan dan perbaikan yang dulu dipakai oleh Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Imam Ahlusunah wal jamaah pada zaman ini – rahimahullah.  Orang-orang yang berkutat dengan ilmu (penuntut ilmu dan ulama) dari kalangan Ahlusunah hanya sedikit pada zaman ini, sehingga mereka butuh peningkatan jumlah; dan bukan sebaliknya, saling merendahkan. Dan mereka butuh saling menguatkan, bukan saling memutus hubungan. Perumpamaan yang sesuai dengan mereka seperti yang diungkapkan ulama nahwu, “Lafaz dalam bentuk tashghir (kecil) tidak perlu dikecilkan lagi.”  Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa, jilid 28 hlm. 51, “Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa di antara kaidah agung yang menjadi pokok agama adalah pengharmonisan hati, penyatuan kalimat, dan pendamaian dua pihak yang berselisih; karena Allah Ta’ala telah berfirman,  فَاتَّقُواْ اللهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ “… Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu …” (QS. Al-Anfal: 1) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS. Ali Imran: 103) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105) Dan nash-nash lain semisalnya yang memerintahkan untuk berjamaah dan bersatu, dan melarang dari perpecahan dan perselisihan. Golongan yang menerapkan dasar ini adalah Ahlusunah; sedangkan orang-orang Khawarij adalah golongan yang menyukai perpecahan.” وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر. Saya telah menulis risalah dalam tema ini dengan judul “Rifqan Ahl as-Sunnah bi-Ahl as-Sunnah” (Bersikap lembutlah kepada sesama Ahlusunah) yang dicetak pada tahun 1424 H, dan cetakan kedua pada tahun 1426 H, lalu dicetak dalam kumpulan buku dan tulisan saya lainnya (jilid 6 halaman 281-327) pada tahun 1428 H. Dalam risalah itu, saya menyebutkan banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, serta perkataan para ulama yang teliti dari kalangan Ahlusunah. Setelah pendahuluan, risalah itu bersisi pembahasan-pembahasan sebagai berikut; (1) nikmat dapat berbicara dan menjelaskan, (2) menjaga lisan dari berbicara kecuali bicara yang baik, (3) prasangka dan mencari-cari aib, (4) lemah lembut, (5) sikap Ahlusunah terhadap ulama jika melakukan kesalahan adalah memberi uzur, bukan membidahkan dan memboikot, (6) fitnah pencelaan dan boikot dari sebagian Ahlusunah pada zaman ini, dan cara agar selamat darinya, (7) kebidahan menilai orang lain berdasarkan sosok panutan, (8) dan peringatan terhadap fitnah pencelaan dan pembidahan yang dilakukan sebagian Ahlusunah pada zaman ini. ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)). Di antara hal yang sangat disayangkan adalah akhir-akhir ini keadaan tersebut semakin parah, dengan pengarahan panah pencelaan dan pembidahan terhadap sebagian Ahlusunah, dan saling memboikot sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut. Saat ini sering sekali muncul pertanyaan, “Bagaimana menurut Anda tentang si A yang membidahkan si B? Apakah saya boleh membaca kitab ini yang ditulis si A yang telah membidahkan si B? Anda harus punya sikap dalam masalah ini, kalau tidak maka kami akan berpaling dari Anda!”  Hal ini lebih buruk lagi ketika terjadi di sebagian negara Eropa dan lainnya, yang para penuntut ilmunya dari kalangan Ahlusunah, hanya memiliki bekal sangat sedikit, dan mereka sangat butuh belajar lagi agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan agar selamat dari fitnah saling memboikot karena ikut-ikutan dalam pencelaan pihak lainnya. Manhaj ini mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya berkata tentang organisasi ini, “Dakwah kalian paling berhak untuk didatangi oleh orang-orang, dan tidak perlu datang kepada orang lain … karena dakwah ini adalah pokok segala kebaikan, sedangkan yang lain tidak terbebas dari kekurangan!” (Kitab Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hlm. 232, cetakan Dar asy-Syihab, karya Syaikh Hasan al-Banna). Beliau juga berkata, “Sikap kita terhadap berbagai dakwah yang berlebihan pada zaman ini, sehingga mencerai berai hati dan mengacaukan pemikiran, adalah menimbangnya dengan dakwah kita; dakwah yang sesuai dengannya akan kita sambut, adapun dakwah yang menyelisihinya maka kami berlepas diri darinya!” (Kitab Majmu’ah Rasail Hasan al-Banna, hlm. 240, cetakan Dar ad-Da’wah, tahun 1411 H). Daripada para penuntut ilmu itu sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka menyibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat milik Ahlusunah, terlebih lagi buku-buku karya ulama kontemporer seperti fatwa-fatwa Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, fatwa-fatwa Lajnah Daimah lil-Ifta’, buku-buku karya Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya. Dengan buku-buku itu, mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan selamat dari ‘katanya ini dan itu’ dan memakan daging saudaranya dari sesama Ahlusunah. Dalam kitab “al-Jawab al-Kafi” halaman 203, Ibnu al-Qayyim berkata, “Di antara hal yang mengherankan adalah manusia dengan mudah menjaga diri dan menjauh dari memakan makanan haram, kezaliman, zina, mencuri, meminum khamr, melihat hal yang diharamkan, dan lain sebagainya; akan tetapi dia susah menjaga diri dari gerakan lisannya. Bahkan, terkadang ada orang yang terkenal dengan agama, kezuhudan, dan ibadahnya; tapi dia mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa menghiraukannya. Akibat satu kalimat itu, dia menempatkan dirinya terhadap Allah lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Betapa sering kamu melihat orang yang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kezaliman, tapi lisannya melecehkan kehormatan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati, tanpa memedulikan apa yang dia katakan.” وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)). Apabila ada ucapan yang umum dan ucapan yang terperinci dari seorang Ahlusunah, hendaklah kita berbaik sangka kepadanya dan memahami ucapannya yang umum berdasarkan ucapannya yang terperinci. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kamu menyangka satu pun kalimat yang keluar dari lisan saudaramu seiman, kecuali dengan sangkaan yang baik; dan kamu dapat mencarikan kemungkinan yang baik bagi ucapan itu.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir surat al-Hujurat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab “al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri” halaman 324, “Sebagaimana diketahui, ucapan yang terperinci dari seseorang menjelaskan ucapannya yang umum; dan ucapannya yang terang-terangan harus didahulukan daripada ucapannya yang berupa kiasan.” Beliau juga berkata dalam kitab “ash-Sharim al-Maslul” jilid 2 hlm. 512, “Mengikuti mazhab-mazhab para ulama secara mutlak tanpa merujuk kembali kepada penafsiran atas ucapan mereka dan hasil dari kaidah-kaidah mereka, dapat menjerumuskan kepada mazhab-mazhab yang buruk.” Beliau juga berkata dalam kitab “al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Din al-Masih” jilid 4 hlm. 44, “Perkataan seseorang harus ditafsirkan dengan perkataannya yang lain; dan perkataannya harus dinukil dari sana sini; serta harus diketahui kebiasaannya jika dia berkata seperti itu, apa sebenarnya yang biasa dia maksud dan inginkan.” والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق. Orang-orang yang mengkritik dan yang dikritik sama-sama tidak punya jaminan dan tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Namun, mencari tingkat yang sempurna adalah hal yang diharuskan; meskipun tidak boleh juga berpaling dan menyia-nyiakan kebaikan yang berada di bawah tingkat sempurna. Sehingga tidak boleh dikatakan, “Antara mendapatkan yang sempurna atau tidak sama sekali,” atau “Antara meraih cahaya yang sempurna atau kegelapan.” Namun, harus menjaga cahaya yang redup dan berusaha untuk meningkatkan sinarnya. Jika tidak dapat diraih dua lentera atau lebih, maka satu lentera lebih baik daripada harus mengalami kegelapan. Semoga Allah merahmati Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang telah mewakafkan hidupnya untuk ilmu syar’i dengan belajar, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Dulu beliau orang yang sangat serius dalam menyemangati para syaikh dan penuntut ilmu untuk mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasihati salah seorang syaikh dalam hal ini, tapi syaikh tersebut enggan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh beliau; maka beliau berkata, “Dengan keadaan rabun atau buta!” Yakni hal yang tidak dapat diraih sepenuhnya, tidak lantas ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada orang yang punya penglihatan tajam, tapi adanya hanya orang yang punya penglihatan buram (rabun), maka rabun itu lebih baik daripada buta sama sekali. Syaikh kami Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah kehilangan penglihatannya pada usia 20 tahun; tapi Allah mengganti bagi beliau cahaya batin yang sudah masyhur di kalangan orang yang dekat maupun yang jauh dengan beliau. Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 10 hlm. 364, “Jika tidak dapat diraih cahaya yang terang benderang karena tidak ada cahaya kecuali yang redup (maka itulah yang harus diraih), karena jika tidak maka manusia akan berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencela dan melarang dari cahaya yang redup, kecuali jika memang ada cahaya yang terang benderang; sebab betapa banyak orang yang berpaling dari cahaya yang redup itu, sehingga dia kehilangan cahaya sepenuhnya.” Hal ini mirip dengan ucapan (yang salah) dari sebagian orang, “Kebenaran itu absolut, tidak terbagi-bagi; maka ambillah kebenaran itu atau tinggalkan saja sepenuhnya.” Mengikuti kebenaran sepenuhnya adalah sikap yang benar, sedangkan meninggalkannya sepenuhnya adalah sikap yang salah; dan barang siapa yang memiliki sedikit kebenaran, disarankan baginya untuk terus menjaganya dan berusaha meraih kebenaran yang belum dia miliki. والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)). Boikot yang baik adalah yang mendatangkan kemaslahatan, bukan justru yang mendatangkan kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 28 hlm. 173, “Seandainya setiap kali ada dua orang Muslim yang berselisih dalam suatu perkara, keduanya kemudian saling memboikot; niscaya tidak tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.”  Beliau juga berkata dalam jilid 28 hlm. 206, “Masalah boikot ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan para pelakunya, dari sisi kekuatan dan kelemahan mereka, dan dari sisi banyak atau sedikitnya mereka. Karena tujuan dari boikot adalah memberi tekanan dan pelajaran bagi pihak yang diboikot, serta memberi pelajaran kepada masyarakat umum agar berhenti dari sikap pihak yang diboikot itu. Apabila ada maslahat yang lebih besar dari aksi boikot, sehingga menjadikan keburukan menjadi melemah dan berkurang; maka boikot itu disyariatkan. Namun, jika pihak yang diboikot dan yang lainnya tidak berhenti dari sikap buruknya, atau bahkan justru bertambah buruk – sedangkan yang memboikot adalah pihak yang lemah, sehingga kerusakan yang didapatkan lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan.” Hingga perkataan beliau, “… jika ini telah dipahami, maka aksi boikot yang disyariatkan termasuk amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan harus dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan perintah-Nya; sehingga ketaatan itu ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang benar. Sehingga barang siapa yang memboikot berdasarkan hawa nafsu, atau melakukan boikot yang tidak diperintahkan Allah; maka boikot itu telah keluar dari hal ini (ketaatan). Betapa sering jiwa ini melakukan sesuatu yang diinginkan hawa nafsunya, dan dia mengira telah melakukan ketaatan kepada Allah.” وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟! Para ulama telah menyebutkan bahwa jika seorang ulama melakukan kesalahan, tidak boleh diikuti kesalahannya, tapi tidak juga dijauhi orangnya; dan kesalahannya dimaklumi karena dibandingkan dengan kebenarannya yang banyak. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 3 hlm. 349 setelah perkataan beliau sebelumnya, “Orang-orang seperti ini, jika tidak menjadikan apa yang mereka buat itu sebagai pendapat yang memisahkan mereka dari jamaah Islam, serta berlepas diri dan memusuhi Islam; maka itu hanya suatu kesalahan biasa; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni orang-orang beriman atas kesalahan mereka yang seperti ini. Oleh sebab itu, banyak para salaf dan ulama umat yang melakukan hal semacam ini; mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ucapkan berdasarkan ijtihad, tapi pendapat-pendapat itu menyelisihi apa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lain halnya jika seseorang membela orang yang sepakat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya, dan berpisah dari jamaah kaum Muslimin.” Imam adz-Dzahabi berkata dalam kitab “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 14 hlm. 39, “Seandainya setiap kali seorang imam (ulama) salah dalam berijtihad tentang beberapa masalah yang masih dapat dimaklumi, kita segera melawan, membidahkan, dan memboikotnya; niscaya tidak akan selamat dari kita seorang Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih besar dari mereka berdua. Allah adalah Maha Pemberi hidayah bagi makhluk-Nya menuju kebenaran, dan Dia Maha Pengasih; maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap kasar.” Beliau juga berkata, dalam jilid 14 hlm. 376, “Andai setiap kali ada ulama yang salah dalam berijtihad – padahal imannya lurus dan sangat berusaha mengikuti kebenaran – lalu kita segera sia-siakan dan bidahkan ulama itu, niscaya hanya sedikit sekali ulama yang selamat untuk tetap sejalan dengan kita. Semoga Allah merahmati semua pihak dengan karunia dan kemurahan-Nya.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk pencelaan jika yang menjadi pemicu perbuatan itu adalah hawa nafsu. Beliau berkata dalam kitab “Shaid al-Khathir” hlm. 143, “Saya telah berjumpa dengan banyak guru, keadaan mereka berbeda-beda dan tingkat keilmuan mereka juga beragam. Namun, yang paling banyak membawa manfaat bagiku dari mereka saat saya membersamai mereka adalah yang mengamalkan ilmunya, meskipun ulama yang lain lebih luas ilmunya. Saya juga telah berjumpa dengan beberapa ulama hadis yang menghafal dan mengetahui banyak hadis, tapi mereka mudah untuk melakukan gibah, dan menganggapnya sebagai bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang mempelajari keadaan para perawi hadis). Dan saya telah berjumpa dengan Abdul Wahhab al-Anmathi; beliau dulu berada di atas jalan para salaf, dan di majelisnya tidak terdengar gibah.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah juga berkata dalam kitab “Talbis Iblis” jilid 2 hlm. 689, “Di antara bentuk hasutan Iblis kepada para ulama hadis adalah saling mencela satu sama lain untuk meluapkan balas dendam atau amarah; dan mereka menganggap itu bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil yang dipakai para ulama terdahulu dari umat ini untuk mempertahankan syariat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui tentang tujuan mereka.” Jika ini terjadi pada zaman Ibnu al-Jauzi yang telah wafat sekitar tahun 597 H, lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada abad ke-15 hijriyah ini? وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)). Belum lama ini, terbit kitab berharga dengan judul “al-Ibanah ‘an Kaifiyah at-Ta’amul ma’a al-Khilaf Baina Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” (Penjelasan tata cara berinteraksi dengan perbedaan pendapat antara Ahlusunah waljamaah), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam yang berasal dari Yaman. Kitab ini telah mendapat testimoni baik dari lima Syaikh dari Yaman. Kitab ini menyebutkan banyak nukilan dari para ulama terdahulu maupun kontemporer; terlebih lagi dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallah. Kitab ini berisi nasihat bagi Ahlusunah untuk berinteraksi dengan baik sesama mereka. Saya telah membaca banyak bab dari kitab ini dan mendapatkan referensi beberapa nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim yang saya cantumkan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk membaca kitab ini dan mengambil manfaat darinya.  Di antara kalimat terbaik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam dalam kitab tersebut adalah yang disebutkan di halaman 170, “Terkadang ada ulama terpercaya yang mencela sebagian Ahlusunah lainnya, sehingga tertancaplah fitnah boikot, perpecahan, dan saling bermusuhan. Bahkan, bisa jadi timbul peperangan di antara sesama Ahlusunah. Ketika ini terjadi, dapat diketahui bahwa pencelaan dapat menimbulkan banyak fitnah; sehingga hal yang wajib dilakukan adalah meninjau kembali metode pencelaan, dan memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin terjadi, serta melakukan hal yang dapat memperkokoh persaudaraan, menjaga keberlangsungan dakwah, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Tidak baik terus menggunakan suatu metode pencelaan yang telah terbukti menimbulkan kemudaratan.” وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها. Tidak diragukan lagi bahwa para syaikh dan penuntut ilmu dari kalangan Ahlusunah merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Yaman ini, dan merasa sakit atas perpecahan dan perselisihan, serta berhasrat untuk menyampaikan nasihat kepada saudara mereka lainnya. Namun, penyampaian nasihat ini telah didahului oleh saudara-saudara kita dari Yaman, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Mungkin nasihat ini adalah bagian dari yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keimanan ada di orang-orang Yaman, dan kebijaksanaan ada di orang-orang Yaman.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 3499 dan Imam Muslim no. 188).  Diharapkan nasihat dari saudara-saudara kita dari Yaman ini dapat terealisasi tujuan dari penulisan dan publikasinya. Saya mengira tidak ada seorang pun dari Ahlusunah yang mendukung bentuk pencelaan seperti itu dan berusaha mengikutinya, karena pencelaan seperti itu tidak menghasilkan apapun kecuali permusuhan dan kebencian di antara kalangan Ahlusunah, serta kekerasan hati mereka. ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم. Orang yang berakal tidak akan berhenti terheran-heran, di waktu orang-orang yang berkiblat ke negara-negara Barat berusaha membuat kerusakan di negara dua Tanah Suci – terlebih lagi ada musibah akhlak dalam konferensi mereka di Jeddah yang mereka namai dengan dusta “Konferensi Khadijah binti Khuwailid”; dan saya telah menanggapi konferensi ini melalui artikel yang berjudul “Tidak pantas memakai nama Khadijah binti Khuwailid sebagai tema untuk acara yang berisi degradasi moral kaum wanita” –; bersamaan dengan waktu ini, sebagian orang dari kalangan Ahlusunah masih sibuk mencela dan mencekal sesama mereka. وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه. عبد المحسن بن حمد العباد البدر Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada setiap penganut Ahlusunah di setiap tempat sehingga mereka dapat berpegang teguh kepada as-Sunnah, saling bersatu padu sesama mereka, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan mengesampingkan segala perpecahan dan perselisihan di antara mereka.  Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi taufik kepada seluruh kaum Muslimin dalam memahami agama dan beristiqamah di atas kebenaran. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr Sumber: https://al-abbaad.com/articles/45-1432-01-16  PDF sumber artikel. 🔍 Tanya Jawab Agama Islam, Bahasa Arab Penghuni Surga, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Aturan Makan Semut Jepang, Munjiyat, Menyusui Sambil Berhubungan Intim Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 559 QRIS donasi Yufid


ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه Segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau. وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول: {فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ}، ويقول: {وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ}، ويقول: {وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)). Amma ba’du: Yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang berkutat dengan ilmu syar’i dari kalangan Ahlusunah wal jamaah – yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf umat ini – pada zaman ini adalah persatuan dan saling menasihati. Terlebih lagi, mereka adalah minoritas jika dibandingkan dengan sekte-sekte dan golongan-golongan sesat yang berbelok dari pemahaman para salaf umat ini.  Sebelum lebih dari 15 tahun yang lalu, pada akhir-akhir zaman dua syaikh yang mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumallah; beberapa orang dari kalangan Ahlusunah berusaha untuk memberi peringatan dari beberapa aliran yang menyelisihi jalan para salaf; dan ini adalah usaha yang terpuji dan patut dihargai. Namun, yang disayangkan adalah setelah wafatnya dua syaikh tersebut, ada beberapa orang yang mencela sebagian saudara mereka sendiri dari kalangan Ahlusunah yang menyeru agar berpegang kepada pemahaman para salaf, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Padahal, seharusnya mereka wajib menerima kebaikan para dai tersebut, mendukung usaha mereka, dan meluruskan kesalahan mereka jika memang telah dipastikan itu salah. Kemudian mereka hendaknya tidak sibuk mengisi majelis mereka dengan menyebutkan keburukan para dai itu dan memperingatkan orang-orang dari mereka. Justru, seharusnya mereka menyibukkan diri dengan ilmu, baik itu dengan membaca, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Inilah metode yang benar dalam menghadirkan kebaikan dan perbaikan yang dulu dipakai oleh Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Imam Ahlusunah wal jamaah pada zaman ini – rahimahullah.  Orang-orang yang berkutat dengan ilmu (penuntut ilmu dan ulama) dari kalangan Ahlusunah hanya sedikit pada zaman ini, sehingga mereka butuh peningkatan jumlah; dan bukan sebaliknya, saling merendahkan. Dan mereka butuh saling menguatkan, bukan saling memutus hubungan. Perumpamaan yang sesuai dengan mereka seperti yang diungkapkan ulama nahwu, “Lafaz dalam bentuk tashghir (kecil) tidak perlu dikecilkan lagi.”  Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa, jilid 28 hlm. 51, “Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa di antara kaidah agung yang menjadi pokok agama adalah pengharmonisan hati, penyatuan kalimat, dan pendamaian dua pihak yang berselisih; karena Allah Ta’ala telah berfirman,  فَاتَّقُواْ اللهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ “… Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu …” (QS. Al-Anfal: 1) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS. Ali Imran: 103) Allah Ta’ala juga berfirman,  وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105) Dan nash-nash lain semisalnya yang memerintahkan untuk berjamaah dan bersatu, dan melarang dari perpecahan dan perselisihan. Golongan yang menerapkan dasar ini adalah Ahlusunah; sedangkan orang-orang Khawarij adalah golongan yang menyukai perpecahan.” وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر. Saya telah menulis risalah dalam tema ini dengan judul “Rifqan Ahl as-Sunnah bi-Ahl as-Sunnah” (Bersikap lembutlah kepada sesama Ahlusunah) yang dicetak pada tahun 1424 H, dan cetakan kedua pada tahun 1426 H, lalu dicetak dalam kumpulan buku dan tulisan saya lainnya (jilid 6 halaman 281-327) pada tahun 1428 H. Dalam risalah itu, saya menyebutkan banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, serta perkataan para ulama yang teliti dari kalangan Ahlusunah. Setelah pendahuluan, risalah itu bersisi pembahasan-pembahasan sebagai berikut; (1) nikmat dapat berbicara dan menjelaskan, (2) menjaga lisan dari berbicara kecuali bicara yang baik, (3) prasangka dan mencari-cari aib, (4) lemah lembut, (5) sikap Ahlusunah terhadap ulama jika melakukan kesalahan adalah memberi uzur, bukan membidahkan dan memboikot, (6) fitnah pencelaan dan boikot dari sebagian Ahlusunah pada zaman ini, dan cara agar selamat darinya, (7) kebidahan menilai orang lain berdasarkan sosok panutan, (8) dan peringatan terhadap fitnah pencelaan dan pembidahan yang dilakukan sebagian Ahlusunah pada zaman ini. ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)). Di antara hal yang sangat disayangkan adalah akhir-akhir ini keadaan tersebut semakin parah, dengan pengarahan panah pencelaan dan pembidahan terhadap sebagian Ahlusunah, dan saling memboikot sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut. Saat ini sering sekali muncul pertanyaan, “Bagaimana menurut Anda tentang si A yang membidahkan si B? Apakah saya boleh membaca kitab ini yang ditulis si A yang telah membidahkan si B? Anda harus punya sikap dalam masalah ini, kalau tidak maka kami akan berpaling dari Anda!”  Hal ini lebih buruk lagi ketika terjadi di sebagian negara Eropa dan lainnya, yang para penuntut ilmunya dari kalangan Ahlusunah, hanya memiliki bekal sangat sedikit, dan mereka sangat butuh belajar lagi agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan agar selamat dari fitnah saling memboikot karena ikut-ikutan dalam pencelaan pihak lainnya. Manhaj ini mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya berkata tentang organisasi ini, “Dakwah kalian paling berhak untuk didatangi oleh orang-orang, dan tidak perlu datang kepada orang lain … karena dakwah ini adalah pokok segala kebaikan, sedangkan yang lain tidak terbebas dari kekurangan!” (Kitab Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hlm. 232, cetakan Dar asy-Syihab, karya Syaikh Hasan al-Banna). Beliau juga berkata, “Sikap kita terhadap berbagai dakwah yang berlebihan pada zaman ini, sehingga mencerai berai hati dan mengacaukan pemikiran, adalah menimbangnya dengan dakwah kita; dakwah yang sesuai dengannya akan kita sambut, adapun dakwah yang menyelisihinya maka kami berlepas diri darinya!” (Kitab Majmu’ah Rasail Hasan al-Banna, hlm. 240, cetakan Dar ad-Da’wah, tahun 1411 H). Daripada para penuntut ilmu itu sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka menyibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat milik Ahlusunah, terlebih lagi buku-buku karya ulama kontemporer seperti fatwa-fatwa Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, fatwa-fatwa Lajnah Daimah lil-Ifta’, buku-buku karya Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya. Dengan buku-buku itu, mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan selamat dari ‘katanya ini dan itu’ dan memakan daging saudaranya dari sesama Ahlusunah. Dalam kitab “al-Jawab al-Kafi” halaman 203, Ibnu al-Qayyim berkata, “Di antara hal yang mengherankan adalah manusia dengan mudah menjaga diri dan menjauh dari memakan makanan haram, kezaliman, zina, mencuri, meminum khamr, melihat hal yang diharamkan, dan lain sebagainya; akan tetapi dia susah menjaga diri dari gerakan lisannya. Bahkan, terkadang ada orang yang terkenal dengan agama, kezuhudan, dan ibadahnya; tapi dia mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa menghiraukannya. Akibat satu kalimat itu, dia menempatkan dirinya terhadap Allah lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Betapa sering kamu melihat orang yang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kezaliman, tapi lisannya melecehkan kehormatan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati, tanpa memedulikan apa yang dia katakan.” وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)). Apabila ada ucapan yang umum dan ucapan yang terperinci dari seorang Ahlusunah, hendaklah kita berbaik sangka kepadanya dan memahami ucapannya yang umum berdasarkan ucapannya yang terperinci. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kamu menyangka satu pun kalimat yang keluar dari lisan saudaramu seiman, kecuali dengan sangkaan yang baik; dan kamu dapat mencarikan kemungkinan yang baik bagi ucapan itu.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir surat al-Hujurat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab “al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri” halaman 324, “Sebagaimana diketahui, ucapan yang terperinci dari seseorang menjelaskan ucapannya yang umum; dan ucapannya yang terang-terangan harus didahulukan daripada ucapannya yang berupa kiasan.” Beliau juga berkata dalam kitab “ash-Sharim al-Maslul” jilid 2 hlm. 512, “Mengikuti mazhab-mazhab para ulama secara mutlak tanpa merujuk kembali kepada penafsiran atas ucapan mereka dan hasil dari kaidah-kaidah mereka, dapat menjerumuskan kepada mazhab-mazhab yang buruk.” Beliau juga berkata dalam kitab “al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Din al-Masih” jilid 4 hlm. 44, “Perkataan seseorang harus ditafsirkan dengan perkataannya yang lain; dan perkataannya harus dinukil dari sana sini; serta harus diketahui kebiasaannya jika dia berkata seperti itu, apa sebenarnya yang biasa dia maksud dan inginkan.” والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق. Orang-orang yang mengkritik dan yang dikritik sama-sama tidak punya jaminan dan tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Namun, mencari tingkat yang sempurna adalah hal yang diharuskan; meskipun tidak boleh juga berpaling dan menyia-nyiakan kebaikan yang berada di bawah tingkat sempurna. Sehingga tidak boleh dikatakan, “Antara mendapatkan yang sempurna atau tidak sama sekali,” atau “Antara meraih cahaya yang sempurna atau kegelapan.” Namun, harus menjaga cahaya yang redup dan berusaha untuk meningkatkan sinarnya. Jika tidak dapat diraih dua lentera atau lebih, maka satu lentera lebih baik daripada harus mengalami kegelapan. Semoga Allah merahmati Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang telah mewakafkan hidupnya untuk ilmu syar’i dengan belajar, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Dulu beliau orang yang sangat serius dalam menyemangati para syaikh dan penuntut ilmu untuk mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasihati salah seorang syaikh dalam hal ini, tapi syaikh tersebut enggan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh beliau; maka beliau berkata, “Dengan keadaan rabun atau buta!” Yakni hal yang tidak dapat diraih sepenuhnya, tidak lantas ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada orang yang punya penglihatan tajam, tapi adanya hanya orang yang punya penglihatan buram (rabun), maka rabun itu lebih baik daripada buta sama sekali. Syaikh kami Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah kehilangan penglihatannya pada usia 20 tahun; tapi Allah mengganti bagi beliau cahaya batin yang sudah masyhur di kalangan orang yang dekat maupun yang jauh dengan beliau. Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 10 hlm. 364, “Jika tidak dapat diraih cahaya yang terang benderang karena tidak ada cahaya kecuali yang redup (maka itulah yang harus diraih), karena jika tidak maka manusia akan berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencela dan melarang dari cahaya yang redup, kecuali jika memang ada cahaya yang terang benderang; sebab betapa banyak orang yang berpaling dari cahaya yang redup itu, sehingga dia kehilangan cahaya sepenuhnya.” Hal ini mirip dengan ucapan (yang salah) dari sebagian orang, “Kebenaran itu absolut, tidak terbagi-bagi; maka ambillah kebenaran itu atau tinggalkan saja sepenuhnya.” Mengikuti kebenaran sepenuhnya adalah sikap yang benar, sedangkan meninggalkannya sepenuhnya adalah sikap yang salah; dan barang siapa yang memiliki sedikit kebenaran, disarankan baginya untuk terus menjaganya dan berusaha meraih kebenaran yang belum dia miliki. والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)). Boikot yang baik adalah yang mendatangkan kemaslahatan, bukan justru yang mendatangkan kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 28 hlm. 173, “Seandainya setiap kali ada dua orang Muslim yang berselisih dalam suatu perkara, keduanya kemudian saling memboikot; niscaya tidak tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.”  Beliau juga berkata dalam jilid 28 hlm. 206, “Masalah boikot ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan para pelakunya, dari sisi kekuatan dan kelemahan mereka, dan dari sisi banyak atau sedikitnya mereka. Karena tujuan dari boikot adalah memberi tekanan dan pelajaran bagi pihak yang diboikot, serta memberi pelajaran kepada masyarakat umum agar berhenti dari sikap pihak yang diboikot itu. Apabila ada maslahat yang lebih besar dari aksi boikot, sehingga menjadikan keburukan menjadi melemah dan berkurang; maka boikot itu disyariatkan. Namun, jika pihak yang diboikot dan yang lainnya tidak berhenti dari sikap buruknya, atau bahkan justru bertambah buruk – sedangkan yang memboikot adalah pihak yang lemah, sehingga kerusakan yang didapatkan lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan.” Hingga perkataan beliau, “… jika ini telah dipahami, maka aksi boikot yang disyariatkan termasuk amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan harus dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan perintah-Nya; sehingga ketaatan itu ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang benar. Sehingga barang siapa yang memboikot berdasarkan hawa nafsu, atau melakukan boikot yang tidak diperintahkan Allah; maka boikot itu telah keluar dari hal ini (ketaatan). Betapa sering jiwa ini melakukan sesuatu yang diinginkan hawa nafsunya, dan dia mengira telah melakukan ketaatan kepada Allah.” وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟! Para ulama telah menyebutkan bahwa jika seorang ulama melakukan kesalahan, tidak boleh diikuti kesalahannya, tapi tidak juga dijauhi orangnya; dan kesalahannya dimaklumi karena dibandingkan dengan kebenarannya yang banyak. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 3 hlm. 349 setelah perkataan beliau sebelumnya, “Orang-orang seperti ini, jika tidak menjadikan apa yang mereka buat itu sebagai pendapat yang memisahkan mereka dari jamaah Islam, serta berlepas diri dan memusuhi Islam; maka itu hanya suatu kesalahan biasa; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni orang-orang beriman atas kesalahan mereka yang seperti ini. Oleh sebab itu, banyak para salaf dan ulama umat yang melakukan hal semacam ini; mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ucapkan berdasarkan ijtihad, tapi pendapat-pendapat itu menyelisihi apa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lain halnya jika seseorang membela orang yang sepakat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya, dan berpisah dari jamaah kaum Muslimin.” Imam adz-Dzahabi berkata dalam kitab “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 14 hlm. 39, “Seandainya setiap kali seorang imam (ulama) salah dalam berijtihad tentang beberapa masalah yang masih dapat dimaklumi, kita segera melawan, membidahkan, dan memboikotnya; niscaya tidak akan selamat dari kita seorang Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih besar dari mereka berdua. Allah adalah Maha Pemberi hidayah bagi makhluk-Nya menuju kebenaran, dan Dia Maha Pengasih; maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap kasar.” Beliau juga berkata, dalam jilid 14 hlm. 376, “Andai setiap kali ada ulama yang salah dalam berijtihad – padahal imannya lurus dan sangat berusaha mengikuti kebenaran – lalu kita segera sia-siakan dan bidahkan ulama itu, niscaya hanya sedikit sekali ulama yang selamat untuk tetap sejalan dengan kita. Semoga Allah merahmati semua pihak dengan karunia dan kemurahan-Nya.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk pencelaan jika yang menjadi pemicu perbuatan itu adalah hawa nafsu. Beliau berkata dalam kitab “Shaid al-Khathir” hlm. 143, “Saya telah berjumpa dengan banyak guru, keadaan mereka berbeda-beda dan tingkat keilmuan mereka juga beragam. Namun, yang paling banyak membawa manfaat bagiku dari mereka saat saya membersamai mereka adalah yang mengamalkan ilmunya, meskipun ulama yang lain lebih luas ilmunya. Saya juga telah berjumpa dengan beberapa ulama hadis yang menghafal dan mengetahui banyak hadis, tapi mereka mudah untuk melakukan gibah, dan menganggapnya sebagai bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang mempelajari keadaan para perawi hadis). Dan saya telah berjumpa dengan Abdul Wahhab al-Anmathi; beliau dulu berada di atas jalan para salaf, dan di majelisnya tidak terdengar gibah.” Ibnu al-Jauzi rahimahullah juga berkata dalam kitab “Talbis Iblis” jilid 2 hlm. 689, “Di antara bentuk hasutan Iblis kepada para ulama hadis adalah saling mencela satu sama lain untuk meluapkan balas dendam atau amarah; dan mereka menganggap itu bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil yang dipakai para ulama terdahulu dari umat ini untuk mempertahankan syariat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui tentang tujuan mereka.” Jika ini terjadi pada zaman Ibnu al-Jauzi yang telah wafat sekitar tahun 597 H, lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada abad ke-15 hijriyah ini? وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)). Belum lama ini, terbit kitab berharga dengan judul “al-Ibanah ‘an Kaifiyah at-Ta’amul ma’a al-Khilaf Baina Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” (Penjelasan tata cara berinteraksi dengan perbedaan pendapat antara Ahlusunah waljamaah), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam yang berasal dari Yaman. Kitab ini telah mendapat testimoni baik dari lima Syaikh dari Yaman. Kitab ini menyebutkan banyak nukilan dari para ulama terdahulu maupun kontemporer; terlebih lagi dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallah. Kitab ini berisi nasihat bagi Ahlusunah untuk berinteraksi dengan baik sesama mereka. Saya telah membaca banyak bab dari kitab ini dan mendapatkan referensi beberapa nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim yang saya cantumkan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk membaca kitab ini dan mengambil manfaat darinya.  Di antara kalimat terbaik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam dalam kitab tersebut adalah yang disebutkan di halaman 170, “Terkadang ada ulama terpercaya yang mencela sebagian Ahlusunah lainnya, sehingga tertancaplah fitnah boikot, perpecahan, dan saling bermusuhan. Bahkan, bisa jadi timbul peperangan di antara sesama Ahlusunah. Ketika ini terjadi, dapat diketahui bahwa pencelaan dapat menimbulkan banyak fitnah; sehingga hal yang wajib dilakukan adalah meninjau kembali metode pencelaan, dan memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin terjadi, serta melakukan hal yang dapat memperkokoh persaudaraan, menjaga keberlangsungan dakwah, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Tidak baik terus menggunakan suatu metode pencelaan yang telah terbukti menimbulkan kemudaratan.” وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها. Tidak diragukan lagi bahwa para syaikh dan penuntut ilmu dari kalangan Ahlusunah merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Yaman ini, dan merasa sakit atas perpecahan dan perselisihan, serta berhasrat untuk menyampaikan nasihat kepada saudara mereka lainnya. Namun, penyampaian nasihat ini telah didahului oleh saudara-saudara kita dari Yaman, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Mungkin nasihat ini adalah bagian dari yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keimanan ada di orang-orang Yaman, dan kebijaksanaan ada di orang-orang Yaman.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 3499 dan Imam Muslim no. 188).  Diharapkan nasihat dari saudara-saudara kita dari Yaman ini dapat terealisasi tujuan dari penulisan dan publikasinya. Saya mengira tidak ada seorang pun dari Ahlusunah yang mendukung bentuk pencelaan seperti itu dan berusaha mengikutinya, karena pencelaan seperti itu tidak menghasilkan apapun kecuali permusuhan dan kebencian di antara kalangan Ahlusunah, serta kekerasan hati mereka. ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم. Orang yang berakal tidak akan berhenti terheran-heran, di waktu orang-orang yang berkiblat ke negara-negara Barat berusaha membuat kerusakan di negara dua Tanah Suci – terlebih lagi ada musibah akhlak dalam konferensi mereka di Jeddah yang mereka namai dengan dusta “Konferensi Khadijah binti Khuwailid”; dan saya telah menanggapi konferensi ini melalui artikel yang berjudul “Tidak pantas memakai nama Khadijah binti Khuwailid sebagai tema untuk acara yang berisi degradasi moral kaum wanita” –; bersamaan dengan waktu ini, sebagian orang dari kalangan Ahlusunah masih sibuk mencela dan mencekal sesama mereka. وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه. عبد المحسن بن حمد العباد البدر Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada setiap penganut Ahlusunah di setiap tempat sehingga mereka dapat berpegang teguh kepada as-Sunnah, saling bersatu padu sesama mereka, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan mengesampingkan segala perpecahan dan perselisihan di antara mereka.  Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi taufik kepada seluruh kaum Muslimin dalam memahami agama dan beristiqamah di atas kebenaran. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr Sumber: https://al-abbaad.com/articles/45-1432-01-16  PDF sumber artikel. 🔍 Tanya Jawab Agama Islam, Bahasa Arab Penghuni Surga, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Aturan Makan Semut Jepang, Munjiyat, Menyusui Sambil Berhubungan Intim Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 559 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan

Daftar Isi Toggle Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haramKesalahan kedua: Berakhlak burukKesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari RamadanKesalahan keempat: Banyak makan dan minumKesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Ramadan adalah bulan umat Islam yang paling mulia. Ia adalah bulan diturunkannya sebuah kitab pedoman hidup seluruh manusia. Bulan ditutupnya pintu-pintu neraka. Bulan dibelenggunya setan-setan yang membisiki keburukan kepada manusia. Bulan yang terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dan bulan kesempatan bagi kita semua untuk memperbaiki diri, bertobat, bermuhasabah, dan kembali menyegarkan keimanan kita untuk menyadari bahwasanya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju kampung akhirat, tempat kita semua kembali. Tidak diragukan lagi, orang yang berpuasa di bulan Ramadan dijanjikan berbagai keutamaan, seperti dijauhkan dari api neraka [1], dimudahkan jalan menuju surga [2], puasanya menjadi syafaat penolong dirinya di hari kiamat [3], dan penghapus dosa yang telah dilakukan [4]. Namun, untuk meraih berbagai keutamaan tersebut, kita perlu menghindari beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian orang. Yang dapat membuat kita tidak mendapatkan bermacam keutamaan tersebut dan dapat membuat bulan Ramadan gagal menjadi madrasah pendidikan bagi diri kita. Sehingga, kita tidak mendapatkan manfaat dari atmosfer ibadah pada bulan Ramadan. Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haram Sebagian orang berpuasa dari makan, minum, dan berhubungan biologis, tetapi tidak berpuasa dari hal-hal yang haram. Seperti gibah, mengadu domba, berucap kata-kata kotor, berbohong, mencela dan merendahkan orang, menipu, iri hati kepada nikmat orang lain, dan ucapan serta perbuatan haram lainnya. Jika kita masih melakukan hal-hal haram tersebut, walaupun kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, kita akan kehilangan hikmah serta konsep puasa itu sendiri. Sebab, puasa merupakan pendidikan bagi pelakunya. Maka, tidak masuk akal jika Allah menyuruh kita menahan diri dari hal yang mubah, seperti makan dan minum, tetapi malah kita terjang hal-hal yang haram. Bahkan, beberapa ulama berpendapat melakukan hal-hal haram bisa membatalkan puasa. Di antaranya Ibnu Hazm [5] rahimahullah, yang berdalil menggunakan hadis riwayat Ahmad no. 22545 tentang dua orang perempuan yang Nabi ﷺ katakan puasanya batal sebab melakukan hal haram. Tetapi, yang tepat adalah hadis tersebut hukumnya lemah, menurut pendapat Syaikh Al-Albani [6], sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sehingga, yang benar adalah melakukan hal-hal yang haram tidak membatalkan puasa, namun dapat menghilangkan pahala puasa. Intinya, meskipun tidak membatalkan puasa, melakukan hal-hal haram saat berpuasa menghilangkan pahala puasa pelakunya. Sehingga, yang ia dapatkan hanya lapar dan haus. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من لم يدعْ قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشراب “Siapa yang berpuasa, namun tidak meninggalkan dan masih mengucapkan kebohongan dan tuduhan yang tidak benar, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.” [7] Kesalahan kedua: Berakhlak buruk Sebagian orang yang berpuasa menjadi temperamen, cepat emosi, dan mudah tersinggung. Menjadi galak terhadap keluarganya, sering mengumpat kepada orang lain, serta perilakunya keras dan kasar. Maka, ini semua bertentangan dengan hikmah dilaksanakannya puasa. Sebagaimana yang Nabi ﷺ sabdakan, والصيام جُنَّة، فإذا كان يوم صوم أحدِكُم فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فإن سَابَّهُ أحَدٌ أو قَاتَلَهُ فليَقل: إنِّي صائم “Puasa adalah perisai. Maka, pada hari salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia bicara kotor dan jangan teriak-teriak (memancing keributan). Jika seseorang mencela atau memusuhinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa.’” [8] Baca juga: Bimbingan Islam dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain Kesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari Ramadan Sebagian orang menjadikan bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan dengan alasan lemas dan kurang energi. Padahal, orang-orang yang pertama masuk Islam tidaklah demikian. Bahkan, mayoritas peperangan yang terjadi di awal-awal dakwah Islam terjadi di bulan Ramadan, seperti perang Badr (2 H), Fathu Makkah (8 H), perang Al-Qadisiyyah (15 H), dan lainnya. Sebagian orang juga menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk tidur sepanjang hari, dengan berdalil menggunakan hadis, نوم الصائم عبادة “Tidurnya orang yang puasa adalah ibadah.” [9] Padahal, hadis ini adalah hadis lemah [10], tidak bisa digunakan sebagai dalil. Maka, orang yang puasa seharusnya memanfaatkan Ramadan sebagai penambah amal saleh yang dilakukan dengan semangat. Kesalahan keempat: Banyak makan dan minum Betapa banyak dari kita yang sibuk mencoba jenis-jenis makanan yang tidak muncul, kecuali pada bulan Ramadan. Sore hari yang harusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, mengingat Allah, malah digunakan sebagai waktu berburu makanan. Kemudian, pada waktu buka puasa, dia makan sekenyang-kenyangnya, sehingga salat Magrib, Isya, dan Tarawih menjadi terasa berat. Maka, tentunya sibuk berburu kuliner dan banyak makan menafikan hikmah berpuasa. Kesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Banyak di antara kita yang menghidupkan awal hari bulan Ramadan, tetapi mulai kendur semangatnya di hari-hari terakhir. Bisa kita lihat, masjid pasti penuh ketika hari pertama Ramadan, kemudian berkurang pada hari kedua, dan seterusnya hingga 10 hari terakhir Ramadan yang harusnya momen paling krusial, malah paling sepi. Padahal, salah satu sebab mengapa kita harus semangat beribadah di bulan Ramadan adalah karena ada malam lailatul qadar. Sedangkan malam itu ada di sepuluh malam terakhir, tetapi sepuluh malam terakhir malah momen paling sepi saat Ramadan. Maka, ini merupakan cerminan ketidakpahaman kita terhadap keutamaan bulan Ramadan. Kebanyakan kita hanya ikut arus. Jika orang-orang sibuk siap-siap lebaran, kita ikut. Jika orang-orang sibuk pulang kampung, kita juga ikut repot pulang kampung. Bukan berarti maksudnya kita tidak boleh memeriahkan Idulfitri dan silaturahim kepada sanak keluarga di kampung. Maka, sepatutnya kita tetap semangat hingga akhir bulan Ramadan, bahkan harus semakin meningkat. Sehingga, ketika kita keluar bulan Ramadan, kita senantiasa istikamah melaksanakan kebiasaan baik yang telah terbentuk di bulan Ramadan. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kitab Durūs Ramadān Waqafāt li-Shā’imīn, hal. 30-32 dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 2685 dan Muslim no. 1153. [2] HR. Bukhari no. 1797. [3] HR. Ahmad no. 6626 dan Al-Hakim no. 2036, hasan. [4] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 60. [5] Al-Muhalla bil Atsar, hal. 306, cet. Dar Al-Fikr, Beirut. [6] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 519. [7] HR. Bukhari no. 1903. [8] HR. Bukhari no. 1894. [9] HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3: 1437. [10] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 4696. Tags: kesalahan puasa

5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan

Daftar Isi Toggle Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haramKesalahan kedua: Berakhlak burukKesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari RamadanKesalahan keempat: Banyak makan dan minumKesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Ramadan adalah bulan umat Islam yang paling mulia. Ia adalah bulan diturunkannya sebuah kitab pedoman hidup seluruh manusia. Bulan ditutupnya pintu-pintu neraka. Bulan dibelenggunya setan-setan yang membisiki keburukan kepada manusia. Bulan yang terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dan bulan kesempatan bagi kita semua untuk memperbaiki diri, bertobat, bermuhasabah, dan kembali menyegarkan keimanan kita untuk menyadari bahwasanya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju kampung akhirat, tempat kita semua kembali. Tidak diragukan lagi, orang yang berpuasa di bulan Ramadan dijanjikan berbagai keutamaan, seperti dijauhkan dari api neraka [1], dimudahkan jalan menuju surga [2], puasanya menjadi syafaat penolong dirinya di hari kiamat [3], dan penghapus dosa yang telah dilakukan [4]. Namun, untuk meraih berbagai keutamaan tersebut, kita perlu menghindari beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian orang. Yang dapat membuat kita tidak mendapatkan bermacam keutamaan tersebut dan dapat membuat bulan Ramadan gagal menjadi madrasah pendidikan bagi diri kita. Sehingga, kita tidak mendapatkan manfaat dari atmosfer ibadah pada bulan Ramadan. Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haram Sebagian orang berpuasa dari makan, minum, dan berhubungan biologis, tetapi tidak berpuasa dari hal-hal yang haram. Seperti gibah, mengadu domba, berucap kata-kata kotor, berbohong, mencela dan merendahkan orang, menipu, iri hati kepada nikmat orang lain, dan ucapan serta perbuatan haram lainnya. Jika kita masih melakukan hal-hal haram tersebut, walaupun kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, kita akan kehilangan hikmah serta konsep puasa itu sendiri. Sebab, puasa merupakan pendidikan bagi pelakunya. Maka, tidak masuk akal jika Allah menyuruh kita menahan diri dari hal yang mubah, seperti makan dan minum, tetapi malah kita terjang hal-hal yang haram. Bahkan, beberapa ulama berpendapat melakukan hal-hal haram bisa membatalkan puasa. Di antaranya Ibnu Hazm [5] rahimahullah, yang berdalil menggunakan hadis riwayat Ahmad no. 22545 tentang dua orang perempuan yang Nabi ﷺ katakan puasanya batal sebab melakukan hal haram. Tetapi, yang tepat adalah hadis tersebut hukumnya lemah, menurut pendapat Syaikh Al-Albani [6], sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sehingga, yang benar adalah melakukan hal-hal yang haram tidak membatalkan puasa, namun dapat menghilangkan pahala puasa. Intinya, meskipun tidak membatalkan puasa, melakukan hal-hal haram saat berpuasa menghilangkan pahala puasa pelakunya. Sehingga, yang ia dapatkan hanya lapar dan haus. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من لم يدعْ قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشراب “Siapa yang berpuasa, namun tidak meninggalkan dan masih mengucapkan kebohongan dan tuduhan yang tidak benar, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.” [7] Kesalahan kedua: Berakhlak buruk Sebagian orang yang berpuasa menjadi temperamen, cepat emosi, dan mudah tersinggung. Menjadi galak terhadap keluarganya, sering mengumpat kepada orang lain, serta perilakunya keras dan kasar. Maka, ini semua bertentangan dengan hikmah dilaksanakannya puasa. Sebagaimana yang Nabi ﷺ sabdakan, والصيام جُنَّة، فإذا كان يوم صوم أحدِكُم فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فإن سَابَّهُ أحَدٌ أو قَاتَلَهُ فليَقل: إنِّي صائم “Puasa adalah perisai. Maka, pada hari salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia bicara kotor dan jangan teriak-teriak (memancing keributan). Jika seseorang mencela atau memusuhinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa.’” [8] Baca juga: Bimbingan Islam dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain Kesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari Ramadan Sebagian orang menjadikan bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan dengan alasan lemas dan kurang energi. Padahal, orang-orang yang pertama masuk Islam tidaklah demikian. Bahkan, mayoritas peperangan yang terjadi di awal-awal dakwah Islam terjadi di bulan Ramadan, seperti perang Badr (2 H), Fathu Makkah (8 H), perang Al-Qadisiyyah (15 H), dan lainnya. Sebagian orang juga menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk tidur sepanjang hari, dengan berdalil menggunakan hadis, نوم الصائم عبادة “Tidurnya orang yang puasa adalah ibadah.” [9] Padahal, hadis ini adalah hadis lemah [10], tidak bisa digunakan sebagai dalil. Maka, orang yang puasa seharusnya memanfaatkan Ramadan sebagai penambah amal saleh yang dilakukan dengan semangat. Kesalahan keempat: Banyak makan dan minum Betapa banyak dari kita yang sibuk mencoba jenis-jenis makanan yang tidak muncul, kecuali pada bulan Ramadan. Sore hari yang harusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, mengingat Allah, malah digunakan sebagai waktu berburu makanan. Kemudian, pada waktu buka puasa, dia makan sekenyang-kenyangnya, sehingga salat Magrib, Isya, dan Tarawih menjadi terasa berat. Maka, tentunya sibuk berburu kuliner dan banyak makan menafikan hikmah berpuasa. Kesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Banyak di antara kita yang menghidupkan awal hari bulan Ramadan, tetapi mulai kendur semangatnya di hari-hari terakhir. Bisa kita lihat, masjid pasti penuh ketika hari pertama Ramadan, kemudian berkurang pada hari kedua, dan seterusnya hingga 10 hari terakhir Ramadan yang harusnya momen paling krusial, malah paling sepi. Padahal, salah satu sebab mengapa kita harus semangat beribadah di bulan Ramadan adalah karena ada malam lailatul qadar. Sedangkan malam itu ada di sepuluh malam terakhir, tetapi sepuluh malam terakhir malah momen paling sepi saat Ramadan. Maka, ini merupakan cerminan ketidakpahaman kita terhadap keutamaan bulan Ramadan. Kebanyakan kita hanya ikut arus. Jika orang-orang sibuk siap-siap lebaran, kita ikut. Jika orang-orang sibuk pulang kampung, kita juga ikut repot pulang kampung. Bukan berarti maksudnya kita tidak boleh memeriahkan Idulfitri dan silaturahim kepada sanak keluarga di kampung. Maka, sepatutnya kita tetap semangat hingga akhir bulan Ramadan, bahkan harus semakin meningkat. Sehingga, ketika kita keluar bulan Ramadan, kita senantiasa istikamah melaksanakan kebiasaan baik yang telah terbentuk di bulan Ramadan. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kitab Durūs Ramadān Waqafāt li-Shā’imīn, hal. 30-32 dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 2685 dan Muslim no. 1153. [2] HR. Bukhari no. 1797. [3] HR. Ahmad no. 6626 dan Al-Hakim no. 2036, hasan. [4] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 60. [5] Al-Muhalla bil Atsar, hal. 306, cet. Dar Al-Fikr, Beirut. [6] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 519. [7] HR. Bukhari no. 1903. [8] HR. Bukhari no. 1894. [9] HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3: 1437. [10] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 4696. Tags: kesalahan puasa
Daftar Isi Toggle Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haramKesalahan kedua: Berakhlak burukKesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari RamadanKesalahan keempat: Banyak makan dan minumKesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Ramadan adalah bulan umat Islam yang paling mulia. Ia adalah bulan diturunkannya sebuah kitab pedoman hidup seluruh manusia. Bulan ditutupnya pintu-pintu neraka. Bulan dibelenggunya setan-setan yang membisiki keburukan kepada manusia. Bulan yang terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dan bulan kesempatan bagi kita semua untuk memperbaiki diri, bertobat, bermuhasabah, dan kembali menyegarkan keimanan kita untuk menyadari bahwasanya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju kampung akhirat, tempat kita semua kembali. Tidak diragukan lagi, orang yang berpuasa di bulan Ramadan dijanjikan berbagai keutamaan, seperti dijauhkan dari api neraka [1], dimudahkan jalan menuju surga [2], puasanya menjadi syafaat penolong dirinya di hari kiamat [3], dan penghapus dosa yang telah dilakukan [4]. Namun, untuk meraih berbagai keutamaan tersebut, kita perlu menghindari beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian orang. Yang dapat membuat kita tidak mendapatkan bermacam keutamaan tersebut dan dapat membuat bulan Ramadan gagal menjadi madrasah pendidikan bagi diri kita. Sehingga, kita tidak mendapatkan manfaat dari atmosfer ibadah pada bulan Ramadan. Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haram Sebagian orang berpuasa dari makan, minum, dan berhubungan biologis, tetapi tidak berpuasa dari hal-hal yang haram. Seperti gibah, mengadu domba, berucap kata-kata kotor, berbohong, mencela dan merendahkan orang, menipu, iri hati kepada nikmat orang lain, dan ucapan serta perbuatan haram lainnya. Jika kita masih melakukan hal-hal haram tersebut, walaupun kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, kita akan kehilangan hikmah serta konsep puasa itu sendiri. Sebab, puasa merupakan pendidikan bagi pelakunya. Maka, tidak masuk akal jika Allah menyuruh kita menahan diri dari hal yang mubah, seperti makan dan minum, tetapi malah kita terjang hal-hal yang haram. Bahkan, beberapa ulama berpendapat melakukan hal-hal haram bisa membatalkan puasa. Di antaranya Ibnu Hazm [5] rahimahullah, yang berdalil menggunakan hadis riwayat Ahmad no. 22545 tentang dua orang perempuan yang Nabi ﷺ katakan puasanya batal sebab melakukan hal haram. Tetapi, yang tepat adalah hadis tersebut hukumnya lemah, menurut pendapat Syaikh Al-Albani [6], sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sehingga, yang benar adalah melakukan hal-hal yang haram tidak membatalkan puasa, namun dapat menghilangkan pahala puasa. Intinya, meskipun tidak membatalkan puasa, melakukan hal-hal haram saat berpuasa menghilangkan pahala puasa pelakunya. Sehingga, yang ia dapatkan hanya lapar dan haus. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من لم يدعْ قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشراب “Siapa yang berpuasa, namun tidak meninggalkan dan masih mengucapkan kebohongan dan tuduhan yang tidak benar, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.” [7] Kesalahan kedua: Berakhlak buruk Sebagian orang yang berpuasa menjadi temperamen, cepat emosi, dan mudah tersinggung. Menjadi galak terhadap keluarganya, sering mengumpat kepada orang lain, serta perilakunya keras dan kasar. Maka, ini semua bertentangan dengan hikmah dilaksanakannya puasa. Sebagaimana yang Nabi ﷺ sabdakan, والصيام جُنَّة، فإذا كان يوم صوم أحدِكُم فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فإن سَابَّهُ أحَدٌ أو قَاتَلَهُ فليَقل: إنِّي صائم “Puasa adalah perisai. Maka, pada hari salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia bicara kotor dan jangan teriak-teriak (memancing keributan). Jika seseorang mencela atau memusuhinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa.’” [8] Baca juga: Bimbingan Islam dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain Kesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari Ramadan Sebagian orang menjadikan bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan dengan alasan lemas dan kurang energi. Padahal, orang-orang yang pertama masuk Islam tidaklah demikian. Bahkan, mayoritas peperangan yang terjadi di awal-awal dakwah Islam terjadi di bulan Ramadan, seperti perang Badr (2 H), Fathu Makkah (8 H), perang Al-Qadisiyyah (15 H), dan lainnya. Sebagian orang juga menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk tidur sepanjang hari, dengan berdalil menggunakan hadis, نوم الصائم عبادة “Tidurnya orang yang puasa adalah ibadah.” [9] Padahal, hadis ini adalah hadis lemah [10], tidak bisa digunakan sebagai dalil. Maka, orang yang puasa seharusnya memanfaatkan Ramadan sebagai penambah amal saleh yang dilakukan dengan semangat. Kesalahan keempat: Banyak makan dan minum Betapa banyak dari kita yang sibuk mencoba jenis-jenis makanan yang tidak muncul, kecuali pada bulan Ramadan. Sore hari yang harusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, mengingat Allah, malah digunakan sebagai waktu berburu makanan. Kemudian, pada waktu buka puasa, dia makan sekenyang-kenyangnya, sehingga salat Magrib, Isya, dan Tarawih menjadi terasa berat. Maka, tentunya sibuk berburu kuliner dan banyak makan menafikan hikmah berpuasa. Kesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Banyak di antara kita yang menghidupkan awal hari bulan Ramadan, tetapi mulai kendur semangatnya di hari-hari terakhir. Bisa kita lihat, masjid pasti penuh ketika hari pertama Ramadan, kemudian berkurang pada hari kedua, dan seterusnya hingga 10 hari terakhir Ramadan yang harusnya momen paling krusial, malah paling sepi. Padahal, salah satu sebab mengapa kita harus semangat beribadah di bulan Ramadan adalah karena ada malam lailatul qadar. Sedangkan malam itu ada di sepuluh malam terakhir, tetapi sepuluh malam terakhir malah momen paling sepi saat Ramadan. Maka, ini merupakan cerminan ketidakpahaman kita terhadap keutamaan bulan Ramadan. Kebanyakan kita hanya ikut arus. Jika orang-orang sibuk siap-siap lebaran, kita ikut. Jika orang-orang sibuk pulang kampung, kita juga ikut repot pulang kampung. Bukan berarti maksudnya kita tidak boleh memeriahkan Idulfitri dan silaturahim kepada sanak keluarga di kampung. Maka, sepatutnya kita tetap semangat hingga akhir bulan Ramadan, bahkan harus semakin meningkat. Sehingga, ketika kita keluar bulan Ramadan, kita senantiasa istikamah melaksanakan kebiasaan baik yang telah terbentuk di bulan Ramadan. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kitab Durūs Ramadān Waqafāt li-Shā’imīn, hal. 30-32 dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 2685 dan Muslim no. 1153. [2] HR. Bukhari no. 1797. [3] HR. Ahmad no. 6626 dan Al-Hakim no. 2036, hasan. [4] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 60. [5] Al-Muhalla bil Atsar, hal. 306, cet. Dar Al-Fikr, Beirut. [6] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 519. [7] HR. Bukhari no. 1903. [8] HR. Bukhari no. 1894. [9] HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3: 1437. [10] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 4696. Tags: kesalahan puasa


Daftar Isi Toggle Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haramKesalahan kedua: Berakhlak burukKesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari RamadanKesalahan keempat: Banyak makan dan minumKesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Ramadan adalah bulan umat Islam yang paling mulia. Ia adalah bulan diturunkannya sebuah kitab pedoman hidup seluruh manusia. Bulan ditutupnya pintu-pintu neraka. Bulan dibelenggunya setan-setan yang membisiki keburukan kepada manusia. Bulan yang terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dan bulan kesempatan bagi kita semua untuk memperbaiki diri, bertobat, bermuhasabah, dan kembali menyegarkan keimanan kita untuk menyadari bahwasanya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju kampung akhirat, tempat kita semua kembali. Tidak diragukan lagi, orang yang berpuasa di bulan Ramadan dijanjikan berbagai keutamaan, seperti dijauhkan dari api neraka [1], dimudahkan jalan menuju surga [2], puasanya menjadi syafaat penolong dirinya di hari kiamat [3], dan penghapus dosa yang telah dilakukan [4]. Namun, untuk meraih berbagai keutamaan tersebut, kita perlu menghindari beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian orang. Yang dapat membuat kita tidak mendapatkan bermacam keutamaan tersebut dan dapat membuat bulan Ramadan gagal menjadi madrasah pendidikan bagi diri kita. Sehingga, kita tidak mendapatkan manfaat dari atmosfer ibadah pada bulan Ramadan. Kesalahan pertama: Masih melakukan hal-hal haram Sebagian orang berpuasa dari makan, minum, dan berhubungan biologis, tetapi tidak berpuasa dari hal-hal yang haram. Seperti gibah, mengadu domba, berucap kata-kata kotor, berbohong, mencela dan merendahkan orang, menipu, iri hati kepada nikmat orang lain, dan ucapan serta perbuatan haram lainnya. Jika kita masih melakukan hal-hal haram tersebut, walaupun kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, kita akan kehilangan hikmah serta konsep puasa itu sendiri. Sebab, puasa merupakan pendidikan bagi pelakunya. Maka, tidak masuk akal jika Allah menyuruh kita menahan diri dari hal yang mubah, seperti makan dan minum, tetapi malah kita terjang hal-hal yang haram. Bahkan, beberapa ulama berpendapat melakukan hal-hal haram bisa membatalkan puasa. Di antaranya Ibnu Hazm [5] rahimahullah, yang berdalil menggunakan hadis riwayat Ahmad no. 22545 tentang dua orang perempuan yang Nabi ﷺ katakan puasanya batal sebab melakukan hal haram. Tetapi, yang tepat adalah hadis tersebut hukumnya lemah, menurut pendapat Syaikh Al-Albani [6], sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sehingga, yang benar adalah melakukan hal-hal yang haram tidak membatalkan puasa, namun dapat menghilangkan pahala puasa. Intinya, meskipun tidak membatalkan puasa, melakukan hal-hal haram saat berpuasa menghilangkan pahala puasa pelakunya. Sehingga, yang ia dapatkan hanya lapar dan haus. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من لم يدعْ قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشراب “Siapa yang berpuasa, namun tidak meninggalkan dan masih mengucapkan kebohongan dan tuduhan yang tidak benar, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.” [7] Kesalahan kedua: Berakhlak buruk Sebagian orang yang berpuasa menjadi temperamen, cepat emosi, dan mudah tersinggung. Menjadi galak terhadap keluarganya, sering mengumpat kepada orang lain, serta perilakunya keras dan kasar. Maka, ini semua bertentangan dengan hikmah dilaksanakannya puasa. Sebagaimana yang Nabi ﷺ sabdakan, والصيام جُنَّة، فإذا كان يوم صوم أحدِكُم فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فإن سَابَّهُ أحَدٌ أو قَاتَلَهُ فليَقل: إنِّي صائم “Puasa adalah perisai. Maka, pada hari salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia bicara kotor dan jangan teriak-teriak (memancing keributan). Jika seseorang mencela atau memusuhinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa.’” [8] Baca juga: Bimbingan Islam dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain Kesalahan ketiga: Bermalas-malasan di siang hari Ramadan Sebagian orang menjadikan bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan dengan alasan lemas dan kurang energi. Padahal, orang-orang yang pertama masuk Islam tidaklah demikian. Bahkan, mayoritas peperangan yang terjadi di awal-awal dakwah Islam terjadi di bulan Ramadan, seperti perang Badr (2 H), Fathu Makkah (8 H), perang Al-Qadisiyyah (15 H), dan lainnya. Sebagian orang juga menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk tidur sepanjang hari, dengan berdalil menggunakan hadis, نوم الصائم عبادة “Tidurnya orang yang puasa adalah ibadah.” [9] Padahal, hadis ini adalah hadis lemah [10], tidak bisa digunakan sebagai dalil. Maka, orang yang puasa seharusnya memanfaatkan Ramadan sebagai penambah amal saleh yang dilakukan dengan semangat. Kesalahan keempat: Banyak makan dan minum Betapa banyak dari kita yang sibuk mencoba jenis-jenis makanan yang tidak muncul, kecuali pada bulan Ramadan. Sore hari yang harusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, mengingat Allah, malah digunakan sebagai waktu berburu makanan. Kemudian, pada waktu buka puasa, dia makan sekenyang-kenyangnya, sehingga salat Magrib, Isya, dan Tarawih menjadi terasa berat. Maka, tentunya sibuk berburu kuliner dan banyak makan menafikan hikmah berpuasa. Kesalahan kelima: Kendur beribadah di akhir Ramadan Banyak di antara kita yang menghidupkan awal hari bulan Ramadan, tetapi mulai kendur semangatnya di hari-hari terakhir. Bisa kita lihat, masjid pasti penuh ketika hari pertama Ramadan, kemudian berkurang pada hari kedua, dan seterusnya hingga 10 hari terakhir Ramadan yang harusnya momen paling krusial, malah paling sepi. Padahal, salah satu sebab mengapa kita harus semangat beribadah di bulan Ramadan adalah karena ada malam lailatul qadar. Sedangkan malam itu ada di sepuluh malam terakhir, tetapi sepuluh malam terakhir malah momen paling sepi saat Ramadan. Maka, ini merupakan cerminan ketidakpahaman kita terhadap keutamaan bulan Ramadan. Kebanyakan kita hanya ikut arus. Jika orang-orang sibuk siap-siap lebaran, kita ikut. Jika orang-orang sibuk pulang kampung, kita juga ikut repot pulang kampung. Bukan berarti maksudnya kita tidak boleh memeriahkan Idulfitri dan silaturahim kepada sanak keluarga di kampung. Maka, sepatutnya kita tetap semangat hingga akhir bulan Ramadan, bahkan harus semakin meningkat. Sehingga, ketika kita keluar bulan Ramadan, kita senantiasa istikamah melaksanakan kebiasaan baik yang telah terbentuk di bulan Ramadan. Baca juga: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kitab Durūs Ramadān Waqafāt li-Shā’imīn, hal. 30-32 dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 2685 dan Muslim no. 1153. [2] HR. Bukhari no. 1797. [3] HR. Ahmad no. 6626 dan Al-Hakim no. 2036, hasan. [4] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 60. [5] Al-Muhalla bil Atsar, hal. 306, cet. Dar Al-Fikr, Beirut. [6] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 519. [7] HR. Bukhari no. 1903. [8] HR. Bukhari no. 1894. [9] HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3: 1437. [10] Al-Silsilah Al-Dha’ifah, no. 4696. Tags: kesalahan puasa

Kebahagiaan di Balik Ahli Quran

Daftar Isi Toggle Ajaibnya Al-Qur’anPenyebab hati yang beratKebahagiaan di balik ahli Qur’an Al-Qur’an merupakan kalamullah yang redaksinya langsung bersumber dari Allah Ta’ala melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidakkah terpikirkan oleh kita, sejenak saja, tentang sebuah pertanyaan, “Kenapa kita ditakdirkan menjadi seorang muslim?” Sebuah pertanyaan yang sejatinya merupakan renungan agar kita bersyukur dengan sungguh-sungguh karena menyadari betapa besar nikmat Islam dan iman ini. Menjadi seorang muslim di mana Al-Qur’an merupakan pedoman hidup duniawi dan ukhrawi bagi kita adalah anugerah yang sangat agung yang patut kita syukuri setiap waktu. Kitab suci yang mengandung segala hal yang berkaitan dengan kunci-kunci sukses dunia dan akhirat. Warisan yang amat berharga yang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai pegangan yang dengannya kita tidak akan tersesat selamanya. تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ “Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hal. 12-13) Ajaibnya Al-Qur’an Al-Qur’an, sebuah kitab di mana karena mentadaburinya, banyak ilmuwan cerdas (yang sebelumnya menganggap akal adalah di atas segalanya) serta merta tunduk kepada Islam dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim melalui syahadatain. Kitab suci yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu mendatangkan, walaupun satu saja dari 6236 ayat yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24) Sebagai seorang muslim pun, membacanya saja kita mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ “Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut. Satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan di dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 6469) Kalamullah yang mulia, dengannya para ahli Qur’an mendapatkan syafa’at karena banyak membacanya selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu.) Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Penyebab hati yang berat Namun, semulia-mulianya janji Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui keagungan Al-Qur’an, ada saja yang masih enggan untuk menjadi seorang ahli Qur’an. Buktinya, meskipun telah mengetahui pahala yang berlipat ganda, rasanya masih ada rasa berat untuk benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai prioritas dalam kehidupan. Tak peduli bahwa seseorang itu telah mengkhatamkan ilmu tajwid, pernah belajar tahsin, ataupun sudah pernah hafal Al-Qur’an. Tetapi, kenapa kadangkala ada saja penghalang untuk membuka hati untuk benar-benar menjadi ahli Al-Qur’an? Mungkin, termasuk kita yang sedang membaca artikel ini. Bolehlah kita sebentar bertanya, pada diri sendiri. Di manakah Al-Qur’anku kini? Kapan aku terakhir membacanya? Kapan terakhir aku mentadaburinya? Sudah rampungkah ilmu tajwid dan sudah benarkah bacaan Qur’anku? Dari puluhan tahun kesempatan hidup di dunia, sudah berapa ayat yang sanggup kuhafalkan dan masih tersimpan dalam memori hafalanku? Adakah hafalan baru yang kuterapkan dalam salatku? Bahkan, renungkan dan tanyakan pada diri, kitakah orangnya yang kini benar-benar memahami keutamaan Al-Qur’an, tetapi masih belum tergerak untuk senantiasa menjadikannya pedoman hidup? Saudaraku, mungkin, masih ada dosa yang menghalangi kita untuk melakukan amalan mulia itu. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Latha’iful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ما نستطيع قيام الليل؟ “Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?” Beliau pun menjawab, أقعدتكم ذنوبكم “Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 46) Kebahagiaan di balik ahli Qur’an Ada hal penting yang mungkin belum kita sadari tentang Al-Qur’an. Bahwa ketika hati kita tergerak untuk membacanya, sesungguhnya Allah Ta’ala sedang ingin berbicara kepada kita melalui perantara Al-Qur’an Al-Karim. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kamu telah mendengar bahwa Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka fokuskanlah pendengaranmu, karena (di sana) terdapat kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 374) Membaca Al-Qur’an sama dengan membaca kalamullah. Kandungan Al-Qur’an berupa perintah dan larangan, kisah-kisah, peringatan tentang hari kiamat, tauhid, akidah, hukum, akhlak, ilmu pengetahuan, dan berbagai substansi mahapenting lainnya. Adalah kalimat-kalimat yang tak ternilai harganya jika kita mampu menghadirkan perasaan bahwa membaca dan mentadaburi Al-Qur’an tersebut berarti Allah sedang berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini bahagia tatkala mengetahui bahwa Allah Ta’ala sedang berbicara kepada kita? Sebaliknya, terkadang kita enggan membacanya, bahkan menyentuh mushaf pun terasa amat berat. Padahal, kitab suci tersebut ada dekat dengan fisik kita, terletak manis di atas meja, atau terpampang kokoh di dalam lemari. Setiap hari kita bisa lihat. Namun, ada saja hal yang memalingkan kita dari menyentuhnya, membuka lembar demi lembar isi kandungannya, serta mambacanya. Atau, ketika kita hidup di zaman dengan kecanggihan teknologi di mana belajar membaca Al-Qur’an tidak lagi menjadi perkara yang sulit. Justru sangat mudah bagi kita untuk dapat mengakses sumber-sumber pembelajaran yang berkualitas, bahkan kita dapat memperolehnya dengan cuma-cuma (gratis) seperti di channel-channel yang menyediakan konten belajar Al-Qur’an atau situs-situs website yang memberikan akses untuk mendapatkan e-book gratis untuk belajar. Lalu, kenapa hati ini masih berat untuk tergerak memanfaatkan fasilitas yang telah Allah anugerahkan kepada kita tersebut? Allah Ta’ala berfirman, خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka telah tertutup.” (QS. Al-Baqarah: 7) Maka, sadarilah bahwa bisa saja hal itu bermakna bahwa Allah Ta’ala sedang tidak ingin berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini tergerak untuk segera berupaya mencari jalan agar mendapatkan kemudahan dalam membaca Al-Qur’an dan hati terdorong untuk selalu bersamanya? Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Ahli quran

Kebahagiaan di Balik Ahli Quran

Daftar Isi Toggle Ajaibnya Al-Qur’anPenyebab hati yang beratKebahagiaan di balik ahli Qur’an Al-Qur’an merupakan kalamullah yang redaksinya langsung bersumber dari Allah Ta’ala melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidakkah terpikirkan oleh kita, sejenak saja, tentang sebuah pertanyaan, “Kenapa kita ditakdirkan menjadi seorang muslim?” Sebuah pertanyaan yang sejatinya merupakan renungan agar kita bersyukur dengan sungguh-sungguh karena menyadari betapa besar nikmat Islam dan iman ini. Menjadi seorang muslim di mana Al-Qur’an merupakan pedoman hidup duniawi dan ukhrawi bagi kita adalah anugerah yang sangat agung yang patut kita syukuri setiap waktu. Kitab suci yang mengandung segala hal yang berkaitan dengan kunci-kunci sukses dunia dan akhirat. Warisan yang amat berharga yang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai pegangan yang dengannya kita tidak akan tersesat selamanya. تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ “Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hal. 12-13) Ajaibnya Al-Qur’an Al-Qur’an, sebuah kitab di mana karena mentadaburinya, banyak ilmuwan cerdas (yang sebelumnya menganggap akal adalah di atas segalanya) serta merta tunduk kepada Islam dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim melalui syahadatain. Kitab suci yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu mendatangkan, walaupun satu saja dari 6236 ayat yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24) Sebagai seorang muslim pun, membacanya saja kita mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ “Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut. Satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan di dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 6469) Kalamullah yang mulia, dengannya para ahli Qur’an mendapatkan syafa’at karena banyak membacanya selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu.) Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Penyebab hati yang berat Namun, semulia-mulianya janji Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui keagungan Al-Qur’an, ada saja yang masih enggan untuk menjadi seorang ahli Qur’an. Buktinya, meskipun telah mengetahui pahala yang berlipat ganda, rasanya masih ada rasa berat untuk benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai prioritas dalam kehidupan. Tak peduli bahwa seseorang itu telah mengkhatamkan ilmu tajwid, pernah belajar tahsin, ataupun sudah pernah hafal Al-Qur’an. Tetapi, kenapa kadangkala ada saja penghalang untuk membuka hati untuk benar-benar menjadi ahli Al-Qur’an? Mungkin, termasuk kita yang sedang membaca artikel ini. Bolehlah kita sebentar bertanya, pada diri sendiri. Di manakah Al-Qur’anku kini? Kapan aku terakhir membacanya? Kapan terakhir aku mentadaburinya? Sudah rampungkah ilmu tajwid dan sudah benarkah bacaan Qur’anku? Dari puluhan tahun kesempatan hidup di dunia, sudah berapa ayat yang sanggup kuhafalkan dan masih tersimpan dalam memori hafalanku? Adakah hafalan baru yang kuterapkan dalam salatku? Bahkan, renungkan dan tanyakan pada diri, kitakah orangnya yang kini benar-benar memahami keutamaan Al-Qur’an, tetapi masih belum tergerak untuk senantiasa menjadikannya pedoman hidup? Saudaraku, mungkin, masih ada dosa yang menghalangi kita untuk melakukan amalan mulia itu. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Latha’iful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ما نستطيع قيام الليل؟ “Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?” Beliau pun menjawab, أقعدتكم ذنوبكم “Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 46) Kebahagiaan di balik ahli Qur’an Ada hal penting yang mungkin belum kita sadari tentang Al-Qur’an. Bahwa ketika hati kita tergerak untuk membacanya, sesungguhnya Allah Ta’ala sedang ingin berbicara kepada kita melalui perantara Al-Qur’an Al-Karim. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kamu telah mendengar bahwa Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka fokuskanlah pendengaranmu, karena (di sana) terdapat kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 374) Membaca Al-Qur’an sama dengan membaca kalamullah. Kandungan Al-Qur’an berupa perintah dan larangan, kisah-kisah, peringatan tentang hari kiamat, tauhid, akidah, hukum, akhlak, ilmu pengetahuan, dan berbagai substansi mahapenting lainnya. Adalah kalimat-kalimat yang tak ternilai harganya jika kita mampu menghadirkan perasaan bahwa membaca dan mentadaburi Al-Qur’an tersebut berarti Allah sedang berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini bahagia tatkala mengetahui bahwa Allah Ta’ala sedang berbicara kepada kita? Sebaliknya, terkadang kita enggan membacanya, bahkan menyentuh mushaf pun terasa amat berat. Padahal, kitab suci tersebut ada dekat dengan fisik kita, terletak manis di atas meja, atau terpampang kokoh di dalam lemari. Setiap hari kita bisa lihat. Namun, ada saja hal yang memalingkan kita dari menyentuhnya, membuka lembar demi lembar isi kandungannya, serta mambacanya. Atau, ketika kita hidup di zaman dengan kecanggihan teknologi di mana belajar membaca Al-Qur’an tidak lagi menjadi perkara yang sulit. Justru sangat mudah bagi kita untuk dapat mengakses sumber-sumber pembelajaran yang berkualitas, bahkan kita dapat memperolehnya dengan cuma-cuma (gratis) seperti di channel-channel yang menyediakan konten belajar Al-Qur’an atau situs-situs website yang memberikan akses untuk mendapatkan e-book gratis untuk belajar. Lalu, kenapa hati ini masih berat untuk tergerak memanfaatkan fasilitas yang telah Allah anugerahkan kepada kita tersebut? Allah Ta’ala berfirman, خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka telah tertutup.” (QS. Al-Baqarah: 7) Maka, sadarilah bahwa bisa saja hal itu bermakna bahwa Allah Ta’ala sedang tidak ingin berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini tergerak untuk segera berupaya mencari jalan agar mendapatkan kemudahan dalam membaca Al-Qur’an dan hati terdorong untuk selalu bersamanya? Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Ahli quran
Daftar Isi Toggle Ajaibnya Al-Qur’anPenyebab hati yang beratKebahagiaan di balik ahli Qur’an Al-Qur’an merupakan kalamullah yang redaksinya langsung bersumber dari Allah Ta’ala melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidakkah terpikirkan oleh kita, sejenak saja, tentang sebuah pertanyaan, “Kenapa kita ditakdirkan menjadi seorang muslim?” Sebuah pertanyaan yang sejatinya merupakan renungan agar kita bersyukur dengan sungguh-sungguh karena menyadari betapa besar nikmat Islam dan iman ini. Menjadi seorang muslim di mana Al-Qur’an merupakan pedoman hidup duniawi dan ukhrawi bagi kita adalah anugerah yang sangat agung yang patut kita syukuri setiap waktu. Kitab suci yang mengandung segala hal yang berkaitan dengan kunci-kunci sukses dunia dan akhirat. Warisan yang amat berharga yang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai pegangan yang dengannya kita tidak akan tersesat selamanya. تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ “Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hal. 12-13) Ajaibnya Al-Qur’an Al-Qur’an, sebuah kitab di mana karena mentadaburinya, banyak ilmuwan cerdas (yang sebelumnya menganggap akal adalah di atas segalanya) serta merta tunduk kepada Islam dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim melalui syahadatain. Kitab suci yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu mendatangkan, walaupun satu saja dari 6236 ayat yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24) Sebagai seorang muslim pun, membacanya saja kita mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ “Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut. Satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan di dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 6469) Kalamullah yang mulia, dengannya para ahli Qur’an mendapatkan syafa’at karena banyak membacanya selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu.) Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Penyebab hati yang berat Namun, semulia-mulianya janji Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui keagungan Al-Qur’an, ada saja yang masih enggan untuk menjadi seorang ahli Qur’an. Buktinya, meskipun telah mengetahui pahala yang berlipat ganda, rasanya masih ada rasa berat untuk benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai prioritas dalam kehidupan. Tak peduli bahwa seseorang itu telah mengkhatamkan ilmu tajwid, pernah belajar tahsin, ataupun sudah pernah hafal Al-Qur’an. Tetapi, kenapa kadangkala ada saja penghalang untuk membuka hati untuk benar-benar menjadi ahli Al-Qur’an? Mungkin, termasuk kita yang sedang membaca artikel ini. Bolehlah kita sebentar bertanya, pada diri sendiri. Di manakah Al-Qur’anku kini? Kapan aku terakhir membacanya? Kapan terakhir aku mentadaburinya? Sudah rampungkah ilmu tajwid dan sudah benarkah bacaan Qur’anku? Dari puluhan tahun kesempatan hidup di dunia, sudah berapa ayat yang sanggup kuhafalkan dan masih tersimpan dalam memori hafalanku? Adakah hafalan baru yang kuterapkan dalam salatku? Bahkan, renungkan dan tanyakan pada diri, kitakah orangnya yang kini benar-benar memahami keutamaan Al-Qur’an, tetapi masih belum tergerak untuk senantiasa menjadikannya pedoman hidup? Saudaraku, mungkin, masih ada dosa yang menghalangi kita untuk melakukan amalan mulia itu. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Latha’iful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ما نستطيع قيام الليل؟ “Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?” Beliau pun menjawab, أقعدتكم ذنوبكم “Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 46) Kebahagiaan di balik ahli Qur’an Ada hal penting yang mungkin belum kita sadari tentang Al-Qur’an. Bahwa ketika hati kita tergerak untuk membacanya, sesungguhnya Allah Ta’ala sedang ingin berbicara kepada kita melalui perantara Al-Qur’an Al-Karim. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kamu telah mendengar bahwa Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka fokuskanlah pendengaranmu, karena (di sana) terdapat kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 374) Membaca Al-Qur’an sama dengan membaca kalamullah. Kandungan Al-Qur’an berupa perintah dan larangan, kisah-kisah, peringatan tentang hari kiamat, tauhid, akidah, hukum, akhlak, ilmu pengetahuan, dan berbagai substansi mahapenting lainnya. Adalah kalimat-kalimat yang tak ternilai harganya jika kita mampu menghadirkan perasaan bahwa membaca dan mentadaburi Al-Qur’an tersebut berarti Allah sedang berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini bahagia tatkala mengetahui bahwa Allah Ta’ala sedang berbicara kepada kita? Sebaliknya, terkadang kita enggan membacanya, bahkan menyentuh mushaf pun terasa amat berat. Padahal, kitab suci tersebut ada dekat dengan fisik kita, terletak manis di atas meja, atau terpampang kokoh di dalam lemari. Setiap hari kita bisa lihat. Namun, ada saja hal yang memalingkan kita dari menyentuhnya, membuka lembar demi lembar isi kandungannya, serta mambacanya. Atau, ketika kita hidup di zaman dengan kecanggihan teknologi di mana belajar membaca Al-Qur’an tidak lagi menjadi perkara yang sulit. Justru sangat mudah bagi kita untuk dapat mengakses sumber-sumber pembelajaran yang berkualitas, bahkan kita dapat memperolehnya dengan cuma-cuma (gratis) seperti di channel-channel yang menyediakan konten belajar Al-Qur’an atau situs-situs website yang memberikan akses untuk mendapatkan e-book gratis untuk belajar. Lalu, kenapa hati ini masih berat untuk tergerak memanfaatkan fasilitas yang telah Allah anugerahkan kepada kita tersebut? Allah Ta’ala berfirman, خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka telah tertutup.” (QS. Al-Baqarah: 7) Maka, sadarilah bahwa bisa saja hal itu bermakna bahwa Allah Ta’ala sedang tidak ingin berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini tergerak untuk segera berupaya mencari jalan agar mendapatkan kemudahan dalam membaca Al-Qur’an dan hati terdorong untuk selalu bersamanya? Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Ahli quran


Daftar Isi Toggle Ajaibnya Al-Qur’anPenyebab hati yang beratKebahagiaan di balik ahli Qur’an Al-Qur’an merupakan kalamullah yang redaksinya langsung bersumber dari Allah Ta’ala melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidakkah terpikirkan oleh kita, sejenak saja, tentang sebuah pertanyaan, “Kenapa kita ditakdirkan menjadi seorang muslim?” Sebuah pertanyaan yang sejatinya merupakan renungan agar kita bersyukur dengan sungguh-sungguh karena menyadari betapa besar nikmat Islam dan iman ini. Menjadi seorang muslim di mana Al-Qur’an merupakan pedoman hidup duniawi dan ukhrawi bagi kita adalah anugerah yang sangat agung yang patut kita syukuri setiap waktu. Kitab suci yang mengandung segala hal yang berkaitan dengan kunci-kunci sukses dunia dan akhirat. Warisan yang amat berharga yang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai pegangan yang dengannya kita tidak akan tersesat selamanya. تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ “Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hal. 12-13) Ajaibnya Al-Qur’an Al-Qur’an, sebuah kitab di mana karena mentadaburinya, banyak ilmuwan cerdas (yang sebelumnya menganggap akal adalah di atas segalanya) serta merta tunduk kepada Islam dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim melalui syahadatain. Kitab suci yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu mendatangkan, walaupun satu saja dari 6236 ayat yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24) Sebagai seorang muslim pun, membacanya saja kita mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ “Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut. Satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan di dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 6469) Kalamullah yang mulia, dengannya para ahli Qur’an mendapatkan syafa’at karena banyak membacanya selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu.) Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Penyebab hati yang berat Namun, semulia-mulianya janji Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui keagungan Al-Qur’an, ada saja yang masih enggan untuk menjadi seorang ahli Qur’an. Buktinya, meskipun telah mengetahui pahala yang berlipat ganda, rasanya masih ada rasa berat untuk benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai prioritas dalam kehidupan. Tak peduli bahwa seseorang itu telah mengkhatamkan ilmu tajwid, pernah belajar tahsin, ataupun sudah pernah hafal Al-Qur’an. Tetapi, kenapa kadangkala ada saja penghalang untuk membuka hati untuk benar-benar menjadi ahli Al-Qur’an? Mungkin, termasuk kita yang sedang membaca artikel ini. Bolehlah kita sebentar bertanya, pada diri sendiri. Di manakah Al-Qur’anku kini? Kapan aku terakhir membacanya? Kapan terakhir aku mentadaburinya? Sudah rampungkah ilmu tajwid dan sudah benarkah bacaan Qur’anku? Dari puluhan tahun kesempatan hidup di dunia, sudah berapa ayat yang sanggup kuhafalkan dan masih tersimpan dalam memori hafalanku? Adakah hafalan baru yang kuterapkan dalam salatku? Bahkan, renungkan dan tanyakan pada diri, kitakah orangnya yang kini benar-benar memahami keutamaan Al-Qur’an, tetapi masih belum tergerak untuk senantiasa menjadikannya pedoman hidup? Saudaraku, mungkin, masih ada dosa yang menghalangi kita untuk melakukan amalan mulia itu. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Latha’iful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ما نستطيع قيام الليل؟ “Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?” Beliau pun menjawab, أقعدتكم ذنوبكم “Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 46) Kebahagiaan di balik ahli Qur’an Ada hal penting yang mungkin belum kita sadari tentang Al-Qur’an. Bahwa ketika hati kita tergerak untuk membacanya, sesungguhnya Allah Ta’ala sedang ingin berbicara kepada kita melalui perantara Al-Qur’an Al-Karim. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kamu telah mendengar bahwa Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka fokuskanlah pendengaranmu, karena (di sana) terdapat kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 374) Membaca Al-Qur’an sama dengan membaca kalamullah. Kandungan Al-Qur’an berupa perintah dan larangan, kisah-kisah, peringatan tentang hari kiamat, tauhid, akidah, hukum, akhlak, ilmu pengetahuan, dan berbagai substansi mahapenting lainnya. Adalah kalimat-kalimat yang tak ternilai harganya jika kita mampu menghadirkan perasaan bahwa membaca dan mentadaburi Al-Qur’an tersebut berarti Allah sedang berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini bahagia tatkala mengetahui bahwa Allah Ta’ala sedang berbicara kepada kita? Sebaliknya, terkadang kita enggan membacanya, bahkan menyentuh mushaf pun terasa amat berat. Padahal, kitab suci tersebut ada dekat dengan fisik kita, terletak manis di atas meja, atau terpampang kokoh di dalam lemari. Setiap hari kita bisa lihat. Namun, ada saja hal yang memalingkan kita dari menyentuhnya, membuka lembar demi lembar isi kandungannya, serta mambacanya. Atau, ketika kita hidup di zaman dengan kecanggihan teknologi di mana belajar membaca Al-Qur’an tidak lagi menjadi perkara yang sulit. Justru sangat mudah bagi kita untuk dapat mengakses sumber-sumber pembelajaran yang berkualitas, bahkan kita dapat memperolehnya dengan cuma-cuma (gratis) seperti di channel-channel yang menyediakan konten belajar Al-Qur’an atau situs-situs website yang memberikan akses untuk mendapatkan e-book gratis untuk belajar. Lalu, kenapa hati ini masih berat untuk tergerak memanfaatkan fasilitas yang telah Allah anugerahkan kepada kita tersebut? Allah Ta’ala berfirman, خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka telah tertutup.” (QS. Al-Baqarah: 7) Maka, sadarilah bahwa bisa saja hal itu bermakna bahwa Allah Ta’ala sedang tidak ingin berbicara kepada kita. Tidakkah hati ini tergerak untuk segera berupaya mencari jalan agar mendapatkan kemudahan dalam membaca Al-Qur’an dan hati terdorong untuk selalu bersamanya? Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Ahli quran

Laporan Produksi Yufid Bulan Februari 2024

Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.616 video dengan total 4.749.400 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.379 video Total Subscribers: 3.973.583 Total Tayangan Video: 674.753.792 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Februari 2024: 103 video Tayangan Video Februari 2024: 3.634.640 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 298.684 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +13.991 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.295 video Total Subscribers: 301.323 Total Tayangan Video: 20.987.892 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Februari 2024: 22 video Tayangan Video Februari 2024: 124.545 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 6.910 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +1.381 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 420.743 Total Tayangan Video: 127.798.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Februari 2024: 1 video Tayangan Video Februari 2024: 2.271.403 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 128,199 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +7.280 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.651 Total Tayangan Video: 457.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Februari 2024: 2.371 views Jam Tayang Video Februari 2024: 604 Jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +31 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 49.100 Total Tayangan Video: 2.753.081 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Februari 2024: 54.239 views Penambahan Subscribers Februari 2024: +900 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.755 Total Pengikut: 1.151.947 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +8.446 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.664 Total Pengikut: 501.760 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +2.921 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.995 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 9 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.087 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 409 audio dan rata-rata menghasilkan 17 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.242 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.488 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Februari 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Februari 2024 ini saja telah didengarkan 27.360 kali dan telah di download sebanyak 1.009 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.303.641 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.825 kata kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 71.711 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.416 artikel dengan total durasi audio 210 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 33 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Februari 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Telinga Berdenging Menurut Islam, Ziarah Kubur Bagi Wanita, Arti Hari Orang Meninggal Dunia, Rezeki Adalah, Sholat Taubat Lengkap Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Februari 2024

Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.616 video dengan total 4.749.400 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.379 video Total Subscribers: 3.973.583 Total Tayangan Video: 674.753.792 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Februari 2024: 103 video Tayangan Video Februari 2024: 3.634.640 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 298.684 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +13.991 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.295 video Total Subscribers: 301.323 Total Tayangan Video: 20.987.892 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Februari 2024: 22 video Tayangan Video Februari 2024: 124.545 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 6.910 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +1.381 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 420.743 Total Tayangan Video: 127.798.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Februari 2024: 1 video Tayangan Video Februari 2024: 2.271.403 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 128,199 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +7.280 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.651 Total Tayangan Video: 457.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Februari 2024: 2.371 views Jam Tayang Video Februari 2024: 604 Jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +31 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 49.100 Total Tayangan Video: 2.753.081 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Februari 2024: 54.239 views Penambahan Subscribers Februari 2024: +900 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.755 Total Pengikut: 1.151.947 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +8.446 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.664 Total Pengikut: 501.760 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +2.921 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.995 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 9 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.087 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 409 audio dan rata-rata menghasilkan 17 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.242 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.488 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Februari 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Februari 2024 ini saja telah didengarkan 27.360 kali dan telah di download sebanyak 1.009 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.303.641 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.825 kata kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 71.711 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.416 artikel dengan total durasi audio 210 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 33 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Februari 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Telinga Berdenging Menurut Islam, Ziarah Kubur Bagi Wanita, Arti Hari Orang Meninggal Dunia, Rezeki Adalah, Sholat Taubat Lengkap Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid
Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.616 video dengan total 4.749.400 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.379 video Total Subscribers: 3.973.583 Total Tayangan Video: 674.753.792 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Februari 2024: 103 video Tayangan Video Februari 2024: 3.634.640 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 298.684 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +13.991 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.295 video Total Subscribers: 301.323 Total Tayangan Video: 20.987.892 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Februari 2024: 22 video Tayangan Video Februari 2024: 124.545 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 6.910 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +1.381 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 420.743 Total Tayangan Video: 127.798.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Februari 2024: 1 video Tayangan Video Februari 2024: 2.271.403 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 128,199 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +7.280 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.651 Total Tayangan Video: 457.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Februari 2024: 2.371 views Jam Tayang Video Februari 2024: 604 Jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +31 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 49.100 Total Tayangan Video: 2.753.081 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Februari 2024: 54.239 views Penambahan Subscribers Februari 2024: +900 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.755 Total Pengikut: 1.151.947 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +8.446 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.664 Total Pengikut: 501.760 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +2.921 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.995 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 9 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.087 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 409 audio dan rata-rata menghasilkan 17 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.242 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.488 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Februari 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Februari 2024 ini saja telah didengarkan 27.360 kali dan telah di download sebanyak 1.009 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.303.641 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.825 kata kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 71.711 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.416 artikel dengan total durasi audio 210 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 33 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Februari 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Telinga Berdenging Menurut Islam, Ziarah Kubur Bagi Wanita, Arti Hari Orang Meninggal Dunia, Rezeki Adalah, Sholat Taubat Lengkap Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid


Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.616 video dengan total 4.749.400 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sambil mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/sAW_YFmWgSuA_vcclK2-xBjw0Caouc-YewwsXNtj207B58_oMFwj_tABZmEP62k61wFmhsbIMjY0ri9SLyCV7MTMY--z5GrAVAB_PZJ4cbdarZJsOVsaYYpp9Qu5cICgRYK-QZt8v-j-y8WThVapk0A" alt=""/> Total Video Yufid.TV: 17.379 video Total Subscribers: 3.973.583 Total Tayangan Video: 674.753.792 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Februari 2024: 103 video Tayangan Video Februari 2024: 3.634.640 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 298.684 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +13.991 Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/aav92txATw6xjOIaLG_c00mfpWdK1gjLOmONOkfmcovrqo4Y9XLKOudU1V0_Se_iyJ0fSiQQj-dakhTSC66kGytpqea8xl3OwpD1fZ_N3FB7kg4luGWphdHX65NvjWXFWFbU-mmvVzcuxEtZ2w5hEjk" alt=""/> Total Video Yufid Edu: 2.295 video Total Subscribers: 301.323 Total Tayangan Video: 20.987.892 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Februari 2024: 22 video Tayangan Video Februari 2024: 124.545 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 6.910 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +1.381 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/MuX3TlJxkGnVg-MR0YNYL8fUrSPIISuXobyJFOPejJgO7RWmpKpAiy_2Tqq0KBLm2PBByW-s5W5wbIPut5HgHELnvzNQMQ_L0DRKkOXzZIxXym75tKjNjV19fB0vzt9X_kZRXkG-qzChyL7uWGWMNo4" alt=""/> Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 420.743 Total Tayangan Video: 127.798.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Februari 2024: 1 video Tayangan Video Februari 2024: 2.271.403 views Waktu Tayang Video Februari 2024: 128,199 jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +7.280 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.651 Total Tayangan Video: 457.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Februari 2024: 2.371 views Jam Tayang Video Februari 2024: 604 Jam Penambahan Subscribers Februari 2024: +31 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 49.100 Total Tayangan Video: 2.753.081 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Februari 2024: 54.239 views Penambahan Subscribers Februari 2024: +900 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/8jARpN97qzfLByO1xI-Omj2W4aIhWK7BtW7m8WBwjcRgc_nHRNWwsk8o3iaYS4VNKtSqZ1HjxaKjxpNjdAywdreOaucm9q3G3HFTL6kg5DtUzyowEYECSV3XmdVzs6uWCGTVwI5w4kIcmlSxAKQB6-0" alt=""/> Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.755 Total Pengikut: 1.151.947 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +8.446 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.664 Total Pengikut: 501.760 Konten Bulan Februari 2024: 41 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Februari 2024: +2.921 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/xPJhVMkkmIv6m1Xr6NH2cZUHGGKgfKJwduKtNeyBq0SzDi9vHB1h7MuPGHxQACVwXLk6eKX2JEhogf3-A__tXeADLp_1CLS61kqc9Rl2u8_nVHXT3gBP-ppUkToF0sVEME1HdWNm7Ek-Lg9Lz3L5awY" alt=""/> Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/hdHQ0tBiDh0kBtHFED7CIcSrq21b-PfE3fXGVrnm-UylzO6NHFHrU_jcZFNxnAziRKyrHQNHMgV3Qzp3fJe1EJ0JP2lgyB8B3O33XFfVM5KbYly33fMThEYTM5JaT0_QhNmF_DsntBwJt_BHAuFgagw" alt=""/> Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 4.995 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 1.904 audio dan rata-rata menghasilkan 29 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 9 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.087 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 409 audio dan rata-rata menghasilkan 17 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.242 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.488 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Februari 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Februari 2024 ini saja telah didengarkan 27.360 kali dan telah di download sebanyak 1.009 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.303.641 kata dengan rata-rata produksi per bulan 50.825 kata kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 71.711 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.416 artikel dengan total durasi audio 210 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Februari 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 33 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Februari 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Telinga Berdenging Menurut Islam, Ziarah Kubur Bagi Wanita, Arti Hari Orang Meninggal Dunia, Rezeki Adalah, Sholat Taubat Lengkap Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Belum Bayar Puasa tapi Sudah Masuk Ramadan Berikutnya, Bagaimana Solusinya?

Daftar Isi Toggle Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:Pertama: Memiliki uzurKedua: Tidak memiliki uzur Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi, كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ. “Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146) Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini, وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ “Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191) Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut. Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi: Pertama: Memiliki uzur Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya. Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab, Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa. Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi) Baca juga: Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia Kedua: Tidak memiliki uzur Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut. Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan. Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan? Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya, قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.'” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35) Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan, “Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451) Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik. Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: hutang puasa ramadan

Belum Bayar Puasa tapi Sudah Masuk Ramadan Berikutnya, Bagaimana Solusinya?

Daftar Isi Toggle Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:Pertama: Memiliki uzurKedua: Tidak memiliki uzur Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi, كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ. “Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146) Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini, وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ “Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191) Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut. Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi: Pertama: Memiliki uzur Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya. Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab, Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa. Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi) Baca juga: Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia Kedua: Tidak memiliki uzur Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut. Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan. Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan? Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya, قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.'” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35) Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan, “Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451) Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik. Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: hutang puasa ramadan
Daftar Isi Toggle Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:Pertama: Memiliki uzurKedua: Tidak memiliki uzur Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi, كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ. “Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146) Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini, وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ “Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191) Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut. Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi: Pertama: Memiliki uzur Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya. Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab, Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa. Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi) Baca juga: Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia Kedua: Tidak memiliki uzur Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut. Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan. Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan? Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya, قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.'” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35) Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan, “Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451) Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik. Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: hutang puasa ramadan


Daftar Isi Toggle Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:Pertama: Memiliki uzurKedua: Tidak memiliki uzur Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi, كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ. “Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146) Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini, وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ “Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191) Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut. Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi: Pertama: Memiliki uzur Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya. Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab, Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa. Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi) Baca juga: Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia Kedua: Tidak memiliki uzur Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut. Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan. Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan? Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya, قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.'” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35) Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan, “Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451) Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik. Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: hutang puasa ramadan

Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama

Daftar Isi Toggle GibahAkibat gibahRenungan bagi ahli gibahAgar terhindar dari gibah Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan. Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini? أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah. Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau) Gibah Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya). Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama. Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ. “Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589) Akibat gibah Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya? Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu? Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120) Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah. Baca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya Renungan bagi ahli gibah Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah. Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi. Agar terhindar dari gibah Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah: Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala. Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah. Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah. Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu. Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia. Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Wallahu a’lam. Baca juga: Membuka Aib Saudara *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187. Tags: menjaga aib

Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama

Daftar Isi Toggle GibahAkibat gibahRenungan bagi ahli gibahAgar terhindar dari gibah Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan. Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini? أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah. Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau) Gibah Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya). Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama. Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ. “Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589) Akibat gibah Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya? Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu? Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120) Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah. Baca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya Renungan bagi ahli gibah Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah. Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi. Agar terhindar dari gibah Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah: Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala. Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah. Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah. Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu. Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia. Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Wallahu a’lam. Baca juga: Membuka Aib Saudara *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187. Tags: menjaga aib
Daftar Isi Toggle GibahAkibat gibahRenungan bagi ahli gibahAgar terhindar dari gibah Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan. Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini? أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah. Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau) Gibah Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya). Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama. Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ. “Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589) Akibat gibah Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya? Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu? Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120) Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah. Baca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya Renungan bagi ahli gibah Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah. Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi. Agar terhindar dari gibah Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah: Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala. Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah. Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah. Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu. Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia. Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Wallahu a’lam. Baca juga: Membuka Aib Saudara *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187. Tags: menjaga aib


Daftar Isi Toggle GibahAkibat gibahRenungan bagi ahli gibahAgar terhindar dari gibah Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan. Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini? أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah. Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau) Gibah Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya). Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama. Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ. “Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589) Akibat gibah Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya? Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu? Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120) Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah. Baca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya Renungan bagi ahli gibah Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah. Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi. Agar terhindar dari gibah Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah: Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala. Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah. Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah. Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu. Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia. Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Wallahu a’lam. Baca juga: Membuka Aib Saudara *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187. Tags: menjaga aib

Menyambut Ramadhan Dengan Tekad Dan Ilmu

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MATidak semua orang mendapatkan kesempatan umur untuk bersua dengan Ramadhan. Juga tidak semua orang yang berjumpa dengan bulan mulia ini, menghargai karunia tersebut. Maka agar tidak menjadi manusia yang menyia-nyiakan nikmat agung itu; sekurang-kurangnya ada dua hal prinsipiil yang perlu diwujudkan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Yaitu: tekad dan ilmu.Hal Pertama: Tekad untuk TaatDikisahkan dalam kitab Manâqib Imam Ahmad, bahwa suatu hari Abdullah; putra Imam Ahmad bin Hambal meminta nasehat kepada ayahnya. Maka Imam Ahmad rahimahullah pun menjawab, “Anakku, hendaklah engkau selalu berniat untuk melakukan kebaikan. Sebab engkau akan senantiasa dalam kebaikan, selama engkau berniat melakukan kebaikan”.Sebab siapapun yang telah berniat untuk melakukan kebaikan, lalu tidak jadi melakukannya—karena ada halangan—niscaya ia tetap akan mendapatkan pahala. Dalam hadits sahih dijelaskan,“مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ”“Barang siapa telah bertekad untuk melakukan kebaikan, namun ia tidak jadi melakukannya; niscaya Allah akan menuliskan untuknya pahala sempurna. Jika ia bertekad melakukan kebaikan, lalu ia melakukannya; maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh pahala hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan berlipat-lipat lebih banyak lagi”. HR. Bukhari (no. 6491) dan Muslim (no. 206).Maka salah satu modal utama menghadapi bulan suci Ramadhan, adalah berniat untuk melakukan kebaikan di dalamnya. Yakni bertekad bulat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dimulai dari perintah Allah yang berlevel wajib dan larangan-Nya yang berlevel haram. Lalu dilengkapi dengan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.Contohnya: bertekad untuk menjalankan perintah shalat fardhu tepat waktu secara berjamaah di masjid, terutama bagi kaum pria. Bertekad untuk menjaga puasa dari perbuatan yang bisa mengotorinya. Yakni dosa dan maksiat, serta hal-hal tidak bermanfaat. Seperti menghabiskan waktu untuk bermain gadget, nonton TV dan lainnya.Hal Kedua: Ilmu AgamaSekedar bersemangat dan memiliki tekad untuk melakukan kebaikan, belum cukup. Namun harus diiringi dengan ilmu tentang kebaikan yang akan dikerjakannya tersebut. Sebab jika tidak, sangat mungkin ia melakukan sesuatu yang dikiranya kebaikan, ternyata adalah keburukan, atau sebaliknya. Karena itulah belajar ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap orang Islam.“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”.“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah (no. 224), dan dinyatakan hasan oleh al-Mizziy serta as-Suyuthiy. Sedangkan al-Albâniy menilai hadits ini sahih.Maka pelajarilah detil amalan-amalan Ramadhan yang disyariatkan dalam Islam. Semisal shalat, puasa, membaca al-Qur’an, zakat, sedekah, i’tikaf dan lain-lain, sebelum datangnya tamu agung ini. Semoga Allah menerima amal salih kita semua. Amien…Terinspirasi dari ceramah singkat Syaikh Prof. Dr. Abdussalam asy-Syuwai’ir yang berjudul Ahwâl as-Salaf fî Istiqbâl Syahr Ramadhan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 30 Sya’ban 1445 / 11 Maret 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

Menyambut Ramadhan Dengan Tekad Dan Ilmu

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MATidak semua orang mendapatkan kesempatan umur untuk bersua dengan Ramadhan. Juga tidak semua orang yang berjumpa dengan bulan mulia ini, menghargai karunia tersebut. Maka agar tidak menjadi manusia yang menyia-nyiakan nikmat agung itu; sekurang-kurangnya ada dua hal prinsipiil yang perlu diwujudkan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Yaitu: tekad dan ilmu.Hal Pertama: Tekad untuk TaatDikisahkan dalam kitab Manâqib Imam Ahmad, bahwa suatu hari Abdullah; putra Imam Ahmad bin Hambal meminta nasehat kepada ayahnya. Maka Imam Ahmad rahimahullah pun menjawab, “Anakku, hendaklah engkau selalu berniat untuk melakukan kebaikan. Sebab engkau akan senantiasa dalam kebaikan, selama engkau berniat melakukan kebaikan”.Sebab siapapun yang telah berniat untuk melakukan kebaikan, lalu tidak jadi melakukannya—karena ada halangan—niscaya ia tetap akan mendapatkan pahala. Dalam hadits sahih dijelaskan,“مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ”“Barang siapa telah bertekad untuk melakukan kebaikan, namun ia tidak jadi melakukannya; niscaya Allah akan menuliskan untuknya pahala sempurna. Jika ia bertekad melakukan kebaikan, lalu ia melakukannya; maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh pahala hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan berlipat-lipat lebih banyak lagi”. HR. Bukhari (no. 6491) dan Muslim (no. 206).Maka salah satu modal utama menghadapi bulan suci Ramadhan, adalah berniat untuk melakukan kebaikan di dalamnya. Yakni bertekad bulat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dimulai dari perintah Allah yang berlevel wajib dan larangan-Nya yang berlevel haram. Lalu dilengkapi dengan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.Contohnya: bertekad untuk menjalankan perintah shalat fardhu tepat waktu secara berjamaah di masjid, terutama bagi kaum pria. Bertekad untuk menjaga puasa dari perbuatan yang bisa mengotorinya. Yakni dosa dan maksiat, serta hal-hal tidak bermanfaat. Seperti menghabiskan waktu untuk bermain gadget, nonton TV dan lainnya.Hal Kedua: Ilmu AgamaSekedar bersemangat dan memiliki tekad untuk melakukan kebaikan, belum cukup. Namun harus diiringi dengan ilmu tentang kebaikan yang akan dikerjakannya tersebut. Sebab jika tidak, sangat mungkin ia melakukan sesuatu yang dikiranya kebaikan, ternyata adalah keburukan, atau sebaliknya. Karena itulah belajar ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap orang Islam.“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”.“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah (no. 224), dan dinyatakan hasan oleh al-Mizziy serta as-Suyuthiy. Sedangkan al-Albâniy menilai hadits ini sahih.Maka pelajarilah detil amalan-amalan Ramadhan yang disyariatkan dalam Islam. Semisal shalat, puasa, membaca al-Qur’an, zakat, sedekah, i’tikaf dan lain-lain, sebelum datangnya tamu agung ini. Semoga Allah menerima amal salih kita semua. Amien…Terinspirasi dari ceramah singkat Syaikh Prof. Dr. Abdussalam asy-Syuwai’ir yang berjudul Ahwâl as-Salaf fî Istiqbâl Syahr Ramadhan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 30 Sya’ban 1445 / 11 Maret 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma
Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MATidak semua orang mendapatkan kesempatan umur untuk bersua dengan Ramadhan. Juga tidak semua orang yang berjumpa dengan bulan mulia ini, menghargai karunia tersebut. Maka agar tidak menjadi manusia yang menyia-nyiakan nikmat agung itu; sekurang-kurangnya ada dua hal prinsipiil yang perlu diwujudkan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Yaitu: tekad dan ilmu.Hal Pertama: Tekad untuk TaatDikisahkan dalam kitab Manâqib Imam Ahmad, bahwa suatu hari Abdullah; putra Imam Ahmad bin Hambal meminta nasehat kepada ayahnya. Maka Imam Ahmad rahimahullah pun menjawab, “Anakku, hendaklah engkau selalu berniat untuk melakukan kebaikan. Sebab engkau akan senantiasa dalam kebaikan, selama engkau berniat melakukan kebaikan”.Sebab siapapun yang telah berniat untuk melakukan kebaikan, lalu tidak jadi melakukannya—karena ada halangan—niscaya ia tetap akan mendapatkan pahala. Dalam hadits sahih dijelaskan,“مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ”“Barang siapa telah bertekad untuk melakukan kebaikan, namun ia tidak jadi melakukannya; niscaya Allah akan menuliskan untuknya pahala sempurna. Jika ia bertekad melakukan kebaikan, lalu ia melakukannya; maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh pahala hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan berlipat-lipat lebih banyak lagi”. HR. Bukhari (no. 6491) dan Muslim (no. 206).Maka salah satu modal utama menghadapi bulan suci Ramadhan, adalah berniat untuk melakukan kebaikan di dalamnya. Yakni bertekad bulat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dimulai dari perintah Allah yang berlevel wajib dan larangan-Nya yang berlevel haram. Lalu dilengkapi dengan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.Contohnya: bertekad untuk menjalankan perintah shalat fardhu tepat waktu secara berjamaah di masjid, terutama bagi kaum pria. Bertekad untuk menjaga puasa dari perbuatan yang bisa mengotorinya. Yakni dosa dan maksiat, serta hal-hal tidak bermanfaat. Seperti menghabiskan waktu untuk bermain gadget, nonton TV dan lainnya.Hal Kedua: Ilmu AgamaSekedar bersemangat dan memiliki tekad untuk melakukan kebaikan, belum cukup. Namun harus diiringi dengan ilmu tentang kebaikan yang akan dikerjakannya tersebut. Sebab jika tidak, sangat mungkin ia melakukan sesuatu yang dikiranya kebaikan, ternyata adalah keburukan, atau sebaliknya. Karena itulah belajar ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap orang Islam.“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”.“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah (no. 224), dan dinyatakan hasan oleh al-Mizziy serta as-Suyuthiy. Sedangkan al-Albâniy menilai hadits ini sahih.Maka pelajarilah detil amalan-amalan Ramadhan yang disyariatkan dalam Islam. Semisal shalat, puasa, membaca al-Qur’an, zakat, sedekah, i’tikaf dan lain-lain, sebelum datangnya tamu agung ini. Semoga Allah menerima amal salih kita semua. Amien…Terinspirasi dari ceramah singkat Syaikh Prof. Dr. Abdussalam asy-Syuwai’ir yang berjudul Ahwâl as-Salaf fî Istiqbâl Syahr Ramadhan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 30 Sya’ban 1445 / 11 Maret 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma


Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MATidak semua orang mendapatkan kesempatan umur untuk bersua dengan Ramadhan. Juga tidak semua orang yang berjumpa dengan bulan mulia ini, menghargai karunia tersebut. Maka agar tidak menjadi manusia yang menyia-nyiakan nikmat agung itu; sekurang-kurangnya ada dua hal prinsipiil yang perlu diwujudkan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Yaitu: tekad dan ilmu.Hal Pertama: Tekad untuk TaatDikisahkan dalam kitab Manâqib Imam Ahmad, bahwa suatu hari Abdullah; putra Imam Ahmad bin Hambal meminta nasehat kepada ayahnya. Maka Imam Ahmad rahimahullah pun menjawab, “Anakku, hendaklah engkau selalu berniat untuk melakukan kebaikan. Sebab engkau akan senantiasa dalam kebaikan, selama engkau berniat melakukan kebaikan”.Sebab siapapun yang telah berniat untuk melakukan kebaikan, lalu tidak jadi melakukannya—karena ada halangan—niscaya ia tetap akan mendapatkan pahala. Dalam hadits sahih dijelaskan,“مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ”“Barang siapa telah bertekad untuk melakukan kebaikan, namun ia tidak jadi melakukannya; niscaya Allah akan menuliskan untuknya pahala sempurna. Jika ia bertekad melakukan kebaikan, lalu ia melakukannya; maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh pahala hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan berlipat-lipat lebih banyak lagi”. HR. Bukhari (no. 6491) dan Muslim (no. 206).Maka salah satu modal utama menghadapi bulan suci Ramadhan, adalah berniat untuk melakukan kebaikan di dalamnya. Yakni bertekad bulat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dimulai dari perintah Allah yang berlevel wajib dan larangan-Nya yang berlevel haram. Lalu dilengkapi dengan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.Contohnya: bertekad untuk menjalankan perintah shalat fardhu tepat waktu secara berjamaah di masjid, terutama bagi kaum pria. Bertekad untuk menjaga puasa dari perbuatan yang bisa mengotorinya. Yakni dosa dan maksiat, serta hal-hal tidak bermanfaat. Seperti menghabiskan waktu untuk bermain gadget, nonton TV dan lainnya.Hal Kedua: Ilmu AgamaSekedar bersemangat dan memiliki tekad untuk melakukan kebaikan, belum cukup. Namun harus diiringi dengan ilmu tentang kebaikan yang akan dikerjakannya tersebut. Sebab jika tidak, sangat mungkin ia melakukan sesuatu yang dikiranya kebaikan, ternyata adalah keburukan, atau sebaliknya. Karena itulah belajar ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap orang Islam.“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”.“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah (no. 224), dan dinyatakan hasan oleh al-Mizziy serta as-Suyuthiy. Sedangkan al-Albâniy menilai hadits ini sahih.Maka pelajarilah detil amalan-amalan Ramadhan yang disyariatkan dalam Islam. Semisal shalat, puasa, membaca al-Qur’an, zakat, sedekah, i’tikaf dan lain-lain, sebelum datangnya tamu agung ini. Semoga Allah menerima amal salih kita semua. Amien…Terinspirasi dari ceramah singkat Syaikh Prof. Dr. Abdussalam asy-Syuwai’ir yang berjudul Ahwâl as-Salaf fî Istiqbâl Syahr Ramadhan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 30 Sya’ban 1445 / 11 Maret 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

Apakah Surga dan Neraka Sudah Ada Penghuninya?

Pertanyaan: Apakah surga dan neraka sudah ada penghuninya sekarang? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Pertama perlu dipahami bahwa di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah meyakini adanya surga dan bahwa surga telah Allah ciptakan. Allah ‘azza wa jalla berfirman, وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133). Dalam ayat yang lain disebutkan, أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ “Surga telah disediakan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya” (QS. An-Najm: 13-15). Imam Qurthubi rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat ini, وعامة العلماء على أن الجنة مخلوقة موجودة، لقوله (( أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)). وهو نص في حديث الإسراء وغيره في الصحيحين و غيرهما “Seluruh ulama meyakini bahwa surga telah tercipta dan telah ada sekarang. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya) “telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa“. Dan ini ditegaskan dalam hadis yang menceritakan tentang Isra’ Mi’raj yang terdapat dalam Shahihain maupun kitab hadis lainnya” (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 5/316). Allah ta’ala juga berfirman tentang surga, ketika menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ  “Dan sesungguhnya Muhammad melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) sekali lagi. Di sisi Sidratul Muntaha. Di sisi Sidrotul Muntaha ada surga, tempat tinggal orang-orang mukmin” (QS. An-Najm: 13-15). Dan kita juga mengetahui bahwa kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya dahulu tinggal di surga. Berarti surga telah ada. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى عليهما السَّلَامُ عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قالَ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الذي خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ في جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ بِخَطِيئَتِكَ إلى الأرْضِ “Nabi Adam dan Nabi Musa ‘alaihimassalam pernah berdebat di sisi Allah, ketika itu Nabi Adam berhasil mengalahkan argumen Nabi Musa. Nabi Musa berkata: “Wahai Adam, engkaulah orang yang Allah ciptakan langsung dengan Tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadamu, dan Allah juga telah memberimu kesempatan untuk tinggal di surga-Nya, kemudian engkau karena dosamu menurunkan seluruh manusia (anak keturunanmu) ke bumi.’” (HR. Muslim no. 2652) Dalil-dalil ini serta dalil yang lainnya menunjukkan secara pasti bahwa surga telah ada dan telah Allah ciptakan. Dengan demikian konsekuensinya surga telah ada penghuninya berupa kenikmatan-kenikmatan surga. Seperti bidadari surga, sungai-sungai, rumah-rumah, pohon-pohon, buah-buahan, minuman berupa susu, khamr, madu, pakaian sutera, perhiasan, dan kenikmatan lainnya. Dan semua ini sudah siap dinikmati bahkan sudah pernah dinikmati oleh kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istri beliau. Allah ta’ala berfirman: فِيْهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍغَيْرِ ءَاسِنٍ وَ أَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَ أَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِّلشَّارِبِيْنَ وَ أَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring. Dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan.” (QS. Muhammad : 15). Allah ta’ala berfirman: وَحُورٌ عِينٌ . كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ “Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. Al-Waqi’ah 22 – 23). Sebagaimana firman Allah: كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ “Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad-Dukhan: 54) Allah ta’ala berfirman: وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ “Dan di surga terdapat buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al-Waqiah: 32-33), Allah ta’ala berfirman, يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ “Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (QS. Al-Hajj: 23). Adapun penghuni surga berupa manusia, maka sekarang belum ada sama sekali. Mereka akan masuk surga kelak di hari Kiamat. Semoga kita termasuk di antaranya.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan: أما الآن ما هو إلا الحياة البرزخية فدخول الجنة والنار مؤقت بالحساب حتى البعث يوم القيامة كلهم لكن أرواحهم لها نعيم خاص كما قال عليه السلام: ( أرواح الشهداء في حواصل طيور خضر تعلق من ثمر الجنة ) . وكذلك أرواح المؤمنين في بطون طيور خضر تعلق من ثمر الجنة فهذا نعيم روحي ؛ أما النعيم البدني والروحي معا وكذلك الجحيم فذلك لا يكون إلا بعد البعث والنشور . “Adapun sekarang, bagi manusia yang sudah meninggal tidak ada kehidupan kecuali di alam barzakh. Surga dan neraka ditentukan oleh hisab dan hisab itu terjadi di hari Kiamat. Semua manusia demikian termasuk para Nabi. Namun arwah-arwah mereka mendapatkan nikmat khusus sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam: “Arwahnya para syuhada ada di tembolok-tembolok burung hijau yang bertengger di pohon-pohon surga” (HR. At-Tirmidzi no.1641). Demikian juga arwah orang-orang yang beriman, mereka ada di tembolok burung hijau yang bertengger di pohon surga. Ini adakah nikmat yang dirasakan oleh ruh mereka. Adapun nikmat yang dirasakan oleh ruh dan badan, demikian juga azab, ini akan dirasakan setelah hari kebangkitan.  فإن الجنة ليس فيها أحد من البشر الآن وسيدخلها المؤمنون، وأول من يدخلها هو نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، فهو أول من يقرع بابها، وأول من يؤذن له بالدخول بعد ما ينشق عنه قبره ويخرج من الأرض، فقد روى الترمذي وغيره أنه صلى الله عليه وسلم قال: أنا أول من يدخل الجنة يوم القيامة “Maka di surga sekarang tidak ada manusia seorang pun. Dan surga akan dimasuki pertama kali oleh orang-orang yang beriman. Dan orang pertama yang akan memasukinya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Beliau yang pertama kali akan mengetuk pintu surga. Dan beliau yang pertama kali diizinkan masuk ke surga setelah kuburan beliau terbelah dan beliau dibangkitkan dari kuburnya di hari Kiamat. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi dan lainnya, bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah orang yang pertama kali akan masuk ke surga di hari Kiamat” (HR. Ahmad no.12469)”  (Silsilah Huda wan Nur, no.28). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasisyariah.com, Perempuan Mandi Bersama Laki Laki, Ibadah Menurut Bahasa, Puasa Senin Kamis Tidak Sahur, Doa Agar Dimudahkan Melahirkan Normal, Film Omar Umar Bin Khattab Visited 1,395 times, 3 visit(s) today Post Views: 712 QRIS donasi Yufid

Apakah Surga dan Neraka Sudah Ada Penghuninya?

Pertanyaan: Apakah surga dan neraka sudah ada penghuninya sekarang? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Pertama perlu dipahami bahwa di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah meyakini adanya surga dan bahwa surga telah Allah ciptakan. Allah ‘azza wa jalla berfirman, وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133). Dalam ayat yang lain disebutkan, أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ “Surga telah disediakan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya” (QS. An-Najm: 13-15). Imam Qurthubi rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat ini, وعامة العلماء على أن الجنة مخلوقة موجودة، لقوله (( أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)). وهو نص في حديث الإسراء وغيره في الصحيحين و غيرهما “Seluruh ulama meyakini bahwa surga telah tercipta dan telah ada sekarang. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya) “telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa“. Dan ini ditegaskan dalam hadis yang menceritakan tentang Isra’ Mi’raj yang terdapat dalam Shahihain maupun kitab hadis lainnya” (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 5/316). Allah ta’ala juga berfirman tentang surga, ketika menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ  “Dan sesungguhnya Muhammad melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) sekali lagi. Di sisi Sidratul Muntaha. Di sisi Sidrotul Muntaha ada surga, tempat tinggal orang-orang mukmin” (QS. An-Najm: 13-15). Dan kita juga mengetahui bahwa kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya dahulu tinggal di surga. Berarti surga telah ada. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى عليهما السَّلَامُ عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قالَ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الذي خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ في جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ بِخَطِيئَتِكَ إلى الأرْضِ “Nabi Adam dan Nabi Musa ‘alaihimassalam pernah berdebat di sisi Allah, ketika itu Nabi Adam berhasil mengalahkan argumen Nabi Musa. Nabi Musa berkata: “Wahai Adam, engkaulah orang yang Allah ciptakan langsung dengan Tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadamu, dan Allah juga telah memberimu kesempatan untuk tinggal di surga-Nya, kemudian engkau karena dosamu menurunkan seluruh manusia (anak keturunanmu) ke bumi.’” (HR. Muslim no. 2652) Dalil-dalil ini serta dalil yang lainnya menunjukkan secara pasti bahwa surga telah ada dan telah Allah ciptakan. Dengan demikian konsekuensinya surga telah ada penghuninya berupa kenikmatan-kenikmatan surga. Seperti bidadari surga, sungai-sungai, rumah-rumah, pohon-pohon, buah-buahan, minuman berupa susu, khamr, madu, pakaian sutera, perhiasan, dan kenikmatan lainnya. Dan semua ini sudah siap dinikmati bahkan sudah pernah dinikmati oleh kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istri beliau. Allah ta’ala berfirman: فِيْهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍغَيْرِ ءَاسِنٍ وَ أَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَ أَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِّلشَّارِبِيْنَ وَ أَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring. Dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan.” (QS. Muhammad : 15). Allah ta’ala berfirman: وَحُورٌ عِينٌ . كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ “Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. Al-Waqi’ah 22 – 23). Sebagaimana firman Allah: كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ “Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad-Dukhan: 54) Allah ta’ala berfirman: وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ “Dan di surga terdapat buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al-Waqiah: 32-33), Allah ta’ala berfirman, يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ “Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (QS. Al-Hajj: 23). Adapun penghuni surga berupa manusia, maka sekarang belum ada sama sekali. Mereka akan masuk surga kelak di hari Kiamat. Semoga kita termasuk di antaranya.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan: أما الآن ما هو إلا الحياة البرزخية فدخول الجنة والنار مؤقت بالحساب حتى البعث يوم القيامة كلهم لكن أرواحهم لها نعيم خاص كما قال عليه السلام: ( أرواح الشهداء في حواصل طيور خضر تعلق من ثمر الجنة ) . وكذلك أرواح المؤمنين في بطون طيور خضر تعلق من ثمر الجنة فهذا نعيم روحي ؛ أما النعيم البدني والروحي معا وكذلك الجحيم فذلك لا يكون إلا بعد البعث والنشور . “Adapun sekarang, bagi manusia yang sudah meninggal tidak ada kehidupan kecuali di alam barzakh. Surga dan neraka ditentukan oleh hisab dan hisab itu terjadi di hari Kiamat. Semua manusia demikian termasuk para Nabi. Namun arwah-arwah mereka mendapatkan nikmat khusus sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam: “Arwahnya para syuhada ada di tembolok-tembolok burung hijau yang bertengger di pohon-pohon surga” (HR. At-Tirmidzi no.1641). Demikian juga arwah orang-orang yang beriman, mereka ada di tembolok burung hijau yang bertengger di pohon surga. Ini adakah nikmat yang dirasakan oleh ruh mereka. Adapun nikmat yang dirasakan oleh ruh dan badan, demikian juga azab, ini akan dirasakan setelah hari kebangkitan.  فإن الجنة ليس فيها أحد من البشر الآن وسيدخلها المؤمنون، وأول من يدخلها هو نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، فهو أول من يقرع بابها، وأول من يؤذن له بالدخول بعد ما ينشق عنه قبره ويخرج من الأرض، فقد روى الترمذي وغيره أنه صلى الله عليه وسلم قال: أنا أول من يدخل الجنة يوم القيامة “Maka di surga sekarang tidak ada manusia seorang pun. Dan surga akan dimasuki pertama kali oleh orang-orang yang beriman. Dan orang pertama yang akan memasukinya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Beliau yang pertama kali akan mengetuk pintu surga. Dan beliau yang pertama kali diizinkan masuk ke surga setelah kuburan beliau terbelah dan beliau dibangkitkan dari kuburnya di hari Kiamat. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi dan lainnya, bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah orang yang pertama kali akan masuk ke surga di hari Kiamat” (HR. Ahmad no.12469)”  (Silsilah Huda wan Nur, no.28). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasisyariah.com, Perempuan Mandi Bersama Laki Laki, Ibadah Menurut Bahasa, Puasa Senin Kamis Tidak Sahur, Doa Agar Dimudahkan Melahirkan Normal, Film Omar Umar Bin Khattab Visited 1,395 times, 3 visit(s) today Post Views: 712 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apakah surga dan neraka sudah ada penghuninya sekarang? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Pertama perlu dipahami bahwa di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah meyakini adanya surga dan bahwa surga telah Allah ciptakan. Allah ‘azza wa jalla berfirman, وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133). Dalam ayat yang lain disebutkan, أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ “Surga telah disediakan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya” (QS. An-Najm: 13-15). Imam Qurthubi rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat ini, وعامة العلماء على أن الجنة مخلوقة موجودة، لقوله (( أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)). وهو نص في حديث الإسراء وغيره في الصحيحين و غيرهما “Seluruh ulama meyakini bahwa surga telah tercipta dan telah ada sekarang. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya) “telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa“. Dan ini ditegaskan dalam hadis yang menceritakan tentang Isra’ Mi’raj yang terdapat dalam Shahihain maupun kitab hadis lainnya” (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 5/316). Allah ta’ala juga berfirman tentang surga, ketika menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ  “Dan sesungguhnya Muhammad melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) sekali lagi. Di sisi Sidratul Muntaha. Di sisi Sidrotul Muntaha ada surga, tempat tinggal orang-orang mukmin” (QS. An-Najm: 13-15). Dan kita juga mengetahui bahwa kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya dahulu tinggal di surga. Berarti surga telah ada. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى عليهما السَّلَامُ عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قالَ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الذي خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ في جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ بِخَطِيئَتِكَ إلى الأرْضِ “Nabi Adam dan Nabi Musa ‘alaihimassalam pernah berdebat di sisi Allah, ketika itu Nabi Adam berhasil mengalahkan argumen Nabi Musa. Nabi Musa berkata: “Wahai Adam, engkaulah orang yang Allah ciptakan langsung dengan Tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadamu, dan Allah juga telah memberimu kesempatan untuk tinggal di surga-Nya, kemudian engkau karena dosamu menurunkan seluruh manusia (anak keturunanmu) ke bumi.’” (HR. Muslim no. 2652) Dalil-dalil ini serta dalil yang lainnya menunjukkan secara pasti bahwa surga telah ada dan telah Allah ciptakan. Dengan demikian konsekuensinya surga telah ada penghuninya berupa kenikmatan-kenikmatan surga. Seperti bidadari surga, sungai-sungai, rumah-rumah, pohon-pohon, buah-buahan, minuman berupa susu, khamr, madu, pakaian sutera, perhiasan, dan kenikmatan lainnya. Dan semua ini sudah siap dinikmati bahkan sudah pernah dinikmati oleh kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istri beliau. Allah ta’ala berfirman: فِيْهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍغَيْرِ ءَاسِنٍ وَ أَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَ أَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِّلشَّارِبِيْنَ وَ أَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring. Dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan.” (QS. Muhammad : 15). Allah ta’ala berfirman: وَحُورٌ عِينٌ . كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ “Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. Al-Waqi’ah 22 – 23). Sebagaimana firman Allah: كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ “Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad-Dukhan: 54) Allah ta’ala berfirman: وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ “Dan di surga terdapat buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al-Waqiah: 32-33), Allah ta’ala berfirman, يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ “Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (QS. Al-Hajj: 23). Adapun penghuni surga berupa manusia, maka sekarang belum ada sama sekali. Mereka akan masuk surga kelak di hari Kiamat. Semoga kita termasuk di antaranya.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan: أما الآن ما هو إلا الحياة البرزخية فدخول الجنة والنار مؤقت بالحساب حتى البعث يوم القيامة كلهم لكن أرواحهم لها نعيم خاص كما قال عليه السلام: ( أرواح الشهداء في حواصل طيور خضر تعلق من ثمر الجنة ) . وكذلك أرواح المؤمنين في بطون طيور خضر تعلق من ثمر الجنة فهذا نعيم روحي ؛ أما النعيم البدني والروحي معا وكذلك الجحيم فذلك لا يكون إلا بعد البعث والنشور . “Adapun sekarang, bagi manusia yang sudah meninggal tidak ada kehidupan kecuali di alam barzakh. Surga dan neraka ditentukan oleh hisab dan hisab itu terjadi di hari Kiamat. Semua manusia demikian termasuk para Nabi. Namun arwah-arwah mereka mendapatkan nikmat khusus sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam: “Arwahnya para syuhada ada di tembolok-tembolok burung hijau yang bertengger di pohon-pohon surga” (HR. At-Tirmidzi no.1641). Demikian juga arwah orang-orang yang beriman, mereka ada di tembolok burung hijau yang bertengger di pohon surga. Ini adakah nikmat yang dirasakan oleh ruh mereka. Adapun nikmat yang dirasakan oleh ruh dan badan, demikian juga azab, ini akan dirasakan setelah hari kebangkitan.  فإن الجنة ليس فيها أحد من البشر الآن وسيدخلها المؤمنون، وأول من يدخلها هو نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، فهو أول من يقرع بابها، وأول من يؤذن له بالدخول بعد ما ينشق عنه قبره ويخرج من الأرض، فقد روى الترمذي وغيره أنه صلى الله عليه وسلم قال: أنا أول من يدخل الجنة يوم القيامة “Maka di surga sekarang tidak ada manusia seorang pun. Dan surga akan dimasuki pertama kali oleh orang-orang yang beriman. Dan orang pertama yang akan memasukinya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Beliau yang pertama kali akan mengetuk pintu surga. Dan beliau yang pertama kali diizinkan masuk ke surga setelah kuburan beliau terbelah dan beliau dibangkitkan dari kuburnya di hari Kiamat. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi dan lainnya, bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah orang yang pertama kali akan masuk ke surga di hari Kiamat” (HR. Ahmad no.12469)”  (Silsilah Huda wan Nur, no.28). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasisyariah.com, Perempuan Mandi Bersama Laki Laki, Ibadah Menurut Bahasa, Puasa Senin Kamis Tidak Sahur, Doa Agar Dimudahkan Melahirkan Normal, Film Omar Umar Bin Khattab Visited 1,395 times, 3 visit(s) today Post Views: 712 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apakah surga dan neraka sudah ada penghuninya sekarang? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Pertama perlu dipahami bahwa di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah meyakini adanya surga dan bahwa surga telah Allah ciptakan. Allah ‘azza wa jalla berfirman, وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133). Dalam ayat yang lain disebutkan, أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ “Surga telah disediakan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya” (QS. An-Najm: 13-15). Imam Qurthubi rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat ini, وعامة العلماء على أن الجنة مخلوقة موجودة، لقوله (( أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)). وهو نص في حديث الإسراء وغيره في الصحيحين و غيرهما “Seluruh ulama meyakini bahwa surga telah tercipta dan telah ada sekarang. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya) “telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa“. Dan ini ditegaskan dalam hadis yang menceritakan tentang Isra’ Mi’raj yang terdapat dalam Shahihain maupun kitab hadis lainnya” (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 5/316). Allah ta’ala juga berfirman tentang surga, ketika menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ  “Dan sesungguhnya Muhammad melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) sekali lagi. Di sisi Sidratul Muntaha. Di sisi Sidrotul Muntaha ada surga, tempat tinggal orang-orang mukmin” (QS. An-Najm: 13-15). Dan kita juga mengetahui bahwa kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya dahulu tinggal di surga. Berarti surga telah ada. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى عليهما السَّلَامُ عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قالَ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الذي خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِن رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ في جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ بِخَطِيئَتِكَ إلى الأرْضِ “Nabi Adam dan Nabi Musa ‘alaihimassalam pernah berdebat di sisi Allah, ketika itu Nabi Adam berhasil mengalahkan argumen Nabi Musa. Nabi Musa berkata: “Wahai Adam, engkaulah orang yang Allah ciptakan langsung dengan Tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadamu, dan Allah juga telah memberimu kesempatan untuk tinggal di surga-Nya, kemudian engkau karena dosamu menurunkan seluruh manusia (anak keturunanmu) ke bumi.’” (HR. Muslim no. 2652) Dalil-dalil ini serta dalil yang lainnya menunjukkan secara pasti bahwa surga telah ada dan telah Allah ciptakan. Dengan demikian konsekuensinya surga telah ada penghuninya berupa kenikmatan-kenikmatan surga. Seperti bidadari surga, sungai-sungai, rumah-rumah, pohon-pohon, buah-buahan, minuman berupa susu, khamr, madu, pakaian sutera, perhiasan, dan kenikmatan lainnya. Dan semua ini sudah siap dinikmati bahkan sudah pernah dinikmati oleh kakek moyang kita yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istri beliau. Allah ta’ala berfirman: فِيْهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍغَيْرِ ءَاسِنٍ وَ أَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَ أَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِّلشَّارِبِيْنَ وَ أَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring. Dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan.” (QS. Muhammad : 15). Allah ta’ala berfirman: وَحُورٌ عِينٌ . كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ “Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. Al-Waqi’ah 22 – 23). Sebagaimana firman Allah: كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ “Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad-Dukhan: 54) Allah ta’ala berfirman: وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ “Dan di surga terdapat buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al-Waqiah: 32-33), Allah ta’ala berfirman, يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ “Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (QS. Al-Hajj: 23). Adapun penghuni surga berupa manusia, maka sekarang belum ada sama sekali. Mereka akan masuk surga kelak di hari Kiamat. Semoga kita termasuk di antaranya.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan: أما الآن ما هو إلا الحياة البرزخية فدخول الجنة والنار مؤقت بالحساب حتى البعث يوم القيامة كلهم لكن أرواحهم لها نعيم خاص كما قال عليه السلام: ( أرواح الشهداء في حواصل طيور خضر تعلق من ثمر الجنة ) . وكذلك أرواح المؤمنين في بطون طيور خضر تعلق من ثمر الجنة فهذا نعيم روحي ؛ أما النعيم البدني والروحي معا وكذلك الجحيم فذلك لا يكون إلا بعد البعث والنشور . “Adapun sekarang, bagi manusia yang sudah meninggal tidak ada kehidupan kecuali di alam barzakh. Surga dan neraka ditentukan oleh hisab dan hisab itu terjadi di hari Kiamat. Semua manusia demikian termasuk para Nabi. Namun arwah-arwah mereka mendapatkan nikmat khusus sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam: “Arwahnya para syuhada ada di tembolok-tembolok burung hijau yang bertengger di pohon-pohon surga” (HR. At-Tirmidzi no.1641). Demikian juga arwah orang-orang yang beriman, mereka ada di tembolok burung hijau yang bertengger di pohon surga. Ini adakah nikmat yang dirasakan oleh ruh mereka. Adapun nikmat yang dirasakan oleh ruh dan badan, demikian juga azab, ini akan dirasakan setelah hari kebangkitan.  فإن الجنة ليس فيها أحد من البشر الآن وسيدخلها المؤمنون، وأول من يدخلها هو نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، فهو أول من يقرع بابها، وأول من يؤذن له بالدخول بعد ما ينشق عنه قبره ويخرج من الأرض، فقد روى الترمذي وغيره أنه صلى الله عليه وسلم قال: أنا أول من يدخل الجنة يوم القيامة “Maka di surga sekarang tidak ada manusia seorang pun. Dan surga akan dimasuki pertama kali oleh orang-orang yang beriman. Dan orang pertama yang akan memasukinya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Beliau yang pertama kali akan mengetuk pintu surga. Dan beliau yang pertama kali diizinkan masuk ke surga setelah kuburan beliau terbelah dan beliau dibangkitkan dari kuburnya di hari Kiamat. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi dan lainnya, bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah orang yang pertama kali akan masuk ke surga di hari Kiamat” (HR. Ahmad no.12469)”  (Silsilah Huda wan Nur, no.28). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasisyariah.com, Perempuan Mandi Bersama Laki Laki, Ibadah Menurut Bahasa, Puasa Senin Kamis Tidak Sahur, Doa Agar Dimudahkan Melahirkan Normal, Film Omar Umar Bin Khattab Visited 1,395 times, 3 visit(s) today Post Views: 712 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Anjuran Berjalan Kaki untuk Bertafakur

Daftar Isi Toggle Kewajiban tafakurBerjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7) Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan. Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya, وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ “Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106) Kewajiban tafakur Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44) “Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44) Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya. Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya, إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (QS. Ali Imran: 190-191) Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh. Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ “Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46) Allah Ta’ala juga befirman, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109) Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140) Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251) Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat, يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4) Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا “Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429) Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh. Baca juga: Cara Berjalan Ala Rasulullah *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or id   Referensi: A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah Tags: tafakur

Anjuran Berjalan Kaki untuk Bertafakur

Daftar Isi Toggle Kewajiban tafakurBerjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7) Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan. Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya, وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ “Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106) Kewajiban tafakur Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44) “Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44) Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya. Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya, إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (QS. Ali Imran: 190-191) Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh. Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ “Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46) Allah Ta’ala juga befirman, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109) Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140) Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251) Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat, يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4) Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا “Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429) Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh. Baca juga: Cara Berjalan Ala Rasulullah *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or id   Referensi: A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah Tags: tafakur
Daftar Isi Toggle Kewajiban tafakurBerjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7) Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan. Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya, وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ “Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106) Kewajiban tafakur Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44) “Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44) Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya. Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya, إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (QS. Ali Imran: 190-191) Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh. Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ “Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46) Allah Ta’ala juga befirman, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109) Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140) Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251) Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat, يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4) Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا “Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429) Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh. Baca juga: Cara Berjalan Ala Rasulullah *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or id   Referensi: A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah Tags: tafakur


Daftar Isi Toggle Kewajiban tafakurBerjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7) Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan. Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya, وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ “Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106) Kewajiban tafakur Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44) “Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44) Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya. Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya, إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (QS. Ali Imran: 190-191) Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh. Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ “Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46) Allah Ta’ala juga befirman, أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109) Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140) Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251) Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat, يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4) Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا “Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429) Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh. Baca juga: Cara Berjalan Ala Rasulullah *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or id   Referensi: A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah Tags: tafakur

Renungan Ayat #31: Ayat-Ayat Ini Menunjukkan Masuk Surga itu Karena Amal

Dua ayat ini sering kita temukan dalam Al-Qur’an dan ada hadits yang seolah-olah bertentangan dengannya. Benarkah kita masuk surga karena amal kita?   Daftar Isi tutup 1. Dalil pertama 2. Dalil kedua 3. Penjelasan dua macam dalil di atas 4. Kesimpulan Dalil pertama Dalam ayat disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى ٱلْأَيَّامِ ٱلْخَالِيَةِ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā aslaftum fil-ayyāmil-khāliyah “(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haqqah: 24) Dalam ayat lainnya disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā kuntum ta’malụn “(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan“.” (QS. Al-Mursalat: 42)   Dalil kedua Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ “Amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari, no. 5673 dan Muslim, no. 2816)   Penjelasan dua macam dalil di atas Menurut Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya, ini adalah dalil tegas bahwa amal manusia di dunia adalah sebab ia mendapatkan nikmat surga di akhirat. Namun, dalam hadits disebutkan bahwa salah seorang di antara kalian tidak akan masuk surga dengan amalnya. Dua macam dalil ini tidaklah saling bertentangan. Masuk surga itu dengan KARUNIA ALLAH. Setelah memasuki surga, akan mendapati nikmat surga yang diwariskan dan mendapatkan derajat di surga. Seseorang di surga akan bersenang-senang KARENA SEBAB AMAL. Masuk surga itu karena KARUNIA ALLAH. Namun, ketika sudah masuk surga, penduduknya akan berbeda dalam tingkatan TERGANTUNG AMALNYA. (Diambil dari Aplikasi Tadabbur wa ‘Amal) Baca juga: Karunia Allah dengan Amalan yang Dibalas Berlipat   Penjelasan lainnya dari Imam Nawawi rahimahullah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun, di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14:145) Baca juga: Masuk Surga Bukan dengan Amalan, Benarkah?   Kesimpulan Orang beriman kelak masuk surga itu karena karunia Allah dan tingkatan di surga itu tergantung amal. Orang beriman kelak masuk surga karena taufik dari Allah untuk beramal. Masuk surga itu karena adanya amalan. Namun, amalan itu ada karena rahmat Allah. Semoga menjadi renungan yang bermanfaat.   –   Selesai ditulis pada Malam 2 Ramadhan 1445 H, 12 Maret 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan surga masuk surga renungan ayat renungan quran

Renungan Ayat #31: Ayat-Ayat Ini Menunjukkan Masuk Surga itu Karena Amal

Dua ayat ini sering kita temukan dalam Al-Qur’an dan ada hadits yang seolah-olah bertentangan dengannya. Benarkah kita masuk surga karena amal kita?   Daftar Isi tutup 1. Dalil pertama 2. Dalil kedua 3. Penjelasan dua macam dalil di atas 4. Kesimpulan Dalil pertama Dalam ayat disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى ٱلْأَيَّامِ ٱلْخَالِيَةِ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā aslaftum fil-ayyāmil-khāliyah “(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haqqah: 24) Dalam ayat lainnya disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā kuntum ta’malụn “(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan“.” (QS. Al-Mursalat: 42)   Dalil kedua Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ “Amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari, no. 5673 dan Muslim, no. 2816)   Penjelasan dua macam dalil di atas Menurut Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya, ini adalah dalil tegas bahwa amal manusia di dunia adalah sebab ia mendapatkan nikmat surga di akhirat. Namun, dalam hadits disebutkan bahwa salah seorang di antara kalian tidak akan masuk surga dengan amalnya. Dua macam dalil ini tidaklah saling bertentangan. Masuk surga itu dengan KARUNIA ALLAH. Setelah memasuki surga, akan mendapati nikmat surga yang diwariskan dan mendapatkan derajat di surga. Seseorang di surga akan bersenang-senang KARENA SEBAB AMAL. Masuk surga itu karena KARUNIA ALLAH. Namun, ketika sudah masuk surga, penduduknya akan berbeda dalam tingkatan TERGANTUNG AMALNYA. (Diambil dari Aplikasi Tadabbur wa ‘Amal) Baca juga: Karunia Allah dengan Amalan yang Dibalas Berlipat   Penjelasan lainnya dari Imam Nawawi rahimahullah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun, di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14:145) Baca juga: Masuk Surga Bukan dengan Amalan, Benarkah?   Kesimpulan Orang beriman kelak masuk surga itu karena karunia Allah dan tingkatan di surga itu tergantung amal. Orang beriman kelak masuk surga karena taufik dari Allah untuk beramal. Masuk surga itu karena adanya amalan. Namun, amalan itu ada karena rahmat Allah. Semoga menjadi renungan yang bermanfaat.   –   Selesai ditulis pada Malam 2 Ramadhan 1445 H, 12 Maret 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan surga masuk surga renungan ayat renungan quran
Dua ayat ini sering kita temukan dalam Al-Qur’an dan ada hadits yang seolah-olah bertentangan dengannya. Benarkah kita masuk surga karena amal kita?   Daftar Isi tutup 1. Dalil pertama 2. Dalil kedua 3. Penjelasan dua macam dalil di atas 4. Kesimpulan Dalil pertama Dalam ayat disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى ٱلْأَيَّامِ ٱلْخَالِيَةِ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā aslaftum fil-ayyāmil-khāliyah “(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haqqah: 24) Dalam ayat lainnya disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā kuntum ta’malụn “(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan“.” (QS. Al-Mursalat: 42)   Dalil kedua Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ “Amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari, no. 5673 dan Muslim, no. 2816)   Penjelasan dua macam dalil di atas Menurut Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya, ini adalah dalil tegas bahwa amal manusia di dunia adalah sebab ia mendapatkan nikmat surga di akhirat. Namun, dalam hadits disebutkan bahwa salah seorang di antara kalian tidak akan masuk surga dengan amalnya. Dua macam dalil ini tidaklah saling bertentangan. Masuk surga itu dengan KARUNIA ALLAH. Setelah memasuki surga, akan mendapati nikmat surga yang diwariskan dan mendapatkan derajat di surga. Seseorang di surga akan bersenang-senang KARENA SEBAB AMAL. Masuk surga itu karena KARUNIA ALLAH. Namun, ketika sudah masuk surga, penduduknya akan berbeda dalam tingkatan TERGANTUNG AMALNYA. (Diambil dari Aplikasi Tadabbur wa ‘Amal) Baca juga: Karunia Allah dengan Amalan yang Dibalas Berlipat   Penjelasan lainnya dari Imam Nawawi rahimahullah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun, di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14:145) Baca juga: Masuk Surga Bukan dengan Amalan, Benarkah?   Kesimpulan Orang beriman kelak masuk surga itu karena karunia Allah dan tingkatan di surga itu tergantung amal. Orang beriman kelak masuk surga karena taufik dari Allah untuk beramal. Masuk surga itu karena adanya amalan. Namun, amalan itu ada karena rahmat Allah. Semoga menjadi renungan yang bermanfaat.   –   Selesai ditulis pada Malam 2 Ramadhan 1445 H, 12 Maret 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan surga masuk surga renungan ayat renungan quran


Dua ayat ini sering kita temukan dalam Al-Qur’an dan ada hadits yang seolah-olah bertentangan dengannya. Benarkah kita masuk surga karena amal kita?   Daftar Isi tutup 1. Dalil pertama 2. Dalil kedua 3. Penjelasan dua macam dalil di atas 4. Kesimpulan Dalil pertama Dalam ayat disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى ٱلْأَيَّامِ ٱلْخَالِيَةِ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā aslaftum fil-ayyāmil-khāliyah “(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haqqah: 24) Dalam ayat lainnya disebutkan, كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ Arab-Latin: Kulụ wasyrabụ hanī`am bimā kuntum ta’malụn “(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan“.” (QS. Al-Mursalat: 42)   Dalil kedua Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ “Amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari, no. 5673 dan Muslim, no. 2816)   Penjelasan dua macam dalil di atas Menurut Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya, ini adalah dalil tegas bahwa amal manusia di dunia adalah sebab ia mendapatkan nikmat surga di akhirat. Namun, dalam hadits disebutkan bahwa salah seorang di antara kalian tidak akan masuk surga dengan amalnya. Dua macam dalil ini tidaklah saling bertentangan. Masuk surga itu dengan KARUNIA ALLAH. Setelah memasuki surga, akan mendapati nikmat surga yang diwariskan dan mendapatkan derajat di surga. Seseorang di surga akan bersenang-senang KARENA SEBAB AMAL. Masuk surga itu karena KARUNIA ALLAH. Namun, ketika sudah masuk surga, penduduknya akan berbeda dalam tingkatan TERGANTUNG AMALNYA. (Diambil dari Aplikasi Tadabbur wa ‘Amal) Baca juga: Karunia Allah dengan Amalan yang Dibalas Berlipat   Penjelasan lainnya dari Imam Nawawi rahimahullah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun, di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14:145) Baca juga: Masuk Surga Bukan dengan Amalan, Benarkah?   Kesimpulan Orang beriman kelak masuk surga itu karena karunia Allah dan tingkatan di surga itu tergantung amal. Orang beriman kelak masuk surga karena taufik dari Allah untuk beramal. Masuk surga itu karena adanya amalan. Namun, amalan itu ada karena rahmat Allah. Semoga menjadi renungan yang bermanfaat.   –   Selesai ditulis pada Malam 2 Ramadhan 1445 H, 12 Maret 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan surga masuk surga renungan ayat renungan quran

“Beragama Itu yang Biasa-Biasa Saja”

Daftar Isi Toggle Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam iniPertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariatKedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasaSebab kemunculan ucapan semacam iniKesimpulan Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya. Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini. Apa maksud dari konsep beragama secara biasa? Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa? Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?” Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat. Kemungkinan maksud “beragama secara biasa” Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat. Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat. Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam. Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini: Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam. Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.” Baca juga: Jangan Menjadi Penuntut Ilmu yang Angkuh dan Sombong Sebab kemunculan ucapan semacam ini Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan, وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116) Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran. Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan, كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ “Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).” [1] Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه. “Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.” [2] Kesimpulan Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan, أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ “Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38) Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah: Pertama: Berusaha menjadi sepertinya Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.” Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah, أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه “Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.” [3] Baca juga: Kesombongan Menghalangi Hidayah *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513 [2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله [3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html Tags: cara beragama

“Beragama Itu yang Biasa-Biasa Saja”

Daftar Isi Toggle Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam iniPertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariatKedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasaSebab kemunculan ucapan semacam iniKesimpulan Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya. Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini. Apa maksud dari konsep beragama secara biasa? Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa? Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?” Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat. Kemungkinan maksud “beragama secara biasa” Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat. Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat. Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam. Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini: Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam. Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.” Baca juga: Jangan Menjadi Penuntut Ilmu yang Angkuh dan Sombong Sebab kemunculan ucapan semacam ini Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan, وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116) Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran. Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan, كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ “Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).” [1] Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه. “Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.” [2] Kesimpulan Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan, أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ “Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38) Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah: Pertama: Berusaha menjadi sepertinya Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.” Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah, أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه “Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.” [3] Baca juga: Kesombongan Menghalangi Hidayah *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513 [2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله [3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html Tags: cara beragama
Daftar Isi Toggle Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam iniPertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariatKedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasaSebab kemunculan ucapan semacam iniKesimpulan Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya. Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini. Apa maksud dari konsep beragama secara biasa? Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa? Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?” Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat. Kemungkinan maksud “beragama secara biasa” Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat. Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat. Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam. Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini: Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam. Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.” Baca juga: Jangan Menjadi Penuntut Ilmu yang Angkuh dan Sombong Sebab kemunculan ucapan semacam ini Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan, وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116) Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran. Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan, كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ “Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).” [1] Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه. “Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.” [2] Kesimpulan Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan, أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ “Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38) Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah: Pertama: Berusaha menjadi sepertinya Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.” Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah, أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه “Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.” [3] Baca juga: Kesombongan Menghalangi Hidayah *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513 [2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله [3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html Tags: cara beragama


Daftar Isi Toggle Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam iniPertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariatKedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasaSebab kemunculan ucapan semacam iniKesimpulan Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya. Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini. Apa maksud dari konsep beragama secara biasa? Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa? Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?” Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat. Kemungkinan maksud “beragama secara biasa” Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat. Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat. Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam. Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini: Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam. Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.” Baca juga: Jangan Menjadi Penuntut Ilmu yang Angkuh dan Sombong Sebab kemunculan ucapan semacam ini Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan, وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116) Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran. Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan, كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ “Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).” [1] Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه. “Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.” [2] Kesimpulan Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan, أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ “Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38) Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah: Pertama: Berusaha menjadi sepertinya Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.” Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah, أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه “Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.” [3] Baca juga: Kesombongan Menghalangi Hidayah *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.   Catatan kaki: [1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513 [2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله [3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html Tags: cara beragama

Menyambut Ramadan, Bulan Penuh Kebaikan

Daftar Isi Toggle Satu dua hari menjelang RamadanMenentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilalApabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnyaTidak boleh puasa pada hari yang diragukanBerpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.) Satu dua hari menjelang Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih) Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi) Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits) Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih) Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142) Baca juga: Menyoal Metode Hisab Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah) Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141) Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174) Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585) Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?'” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf) Semoga bermanfaat. Baca juga: Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadan

Menyambut Ramadan, Bulan Penuh Kebaikan

Daftar Isi Toggle Satu dua hari menjelang RamadanMenentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilalApabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnyaTidak boleh puasa pada hari yang diragukanBerpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.) Satu dua hari menjelang Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih) Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi) Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits) Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih) Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142) Baca juga: Menyoal Metode Hisab Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah) Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141) Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174) Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585) Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?'” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf) Semoga bermanfaat. Baca juga: Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadan
Daftar Isi Toggle Satu dua hari menjelang RamadanMenentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilalApabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnyaTidak boleh puasa pada hari yang diragukanBerpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.) Satu dua hari menjelang Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih) Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi) Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits) Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih) Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142) Baca juga: Menyoal Metode Hisab Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah) Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141) Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174) Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585) Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?'” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf) Semoga bermanfaat. Baca juga: Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadan


Daftar Isi Toggle Satu dua hari menjelang RamadanMenentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilalApabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnyaTidak boleh puasa pada hari yang diragukanBerpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.) Satu dua hari menjelang Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih) Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi) Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits) Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih) Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142) Baca juga: Menyoal Metode Hisab Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah) Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141) Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174) Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585) Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?'” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf) Semoga bermanfaat. Baca juga: Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadan
Prev     Next